BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teoritis yang terdiri dari pengertian, teori, aspek/dimensi, faktor-faktor yang memengaruhi dan peran iklim organisasi dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Selain itu, dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian terdahulu, model penelitian, dan hipotesis penelitian. 2.1. KEPUASAN KERJA 2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja, atasan, peraturan dan kebijakan organisasi, standar kinerja, kondisi kerja dan sebagainya. Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan, sebaliknya individu yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Locke (dalam Luthans, 2011) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian atau pengalaman seseorang terhadap pekerjaannya. Dalam hal ini, dipahami bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada seberapa besar seorang pegawai menyukai pekerjaannya (dalam Cherington, 2007). Sementara itu, Singh (dalam Jain, Jabeen, Mishra, & Gupta, 2007) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup seseorang secara umum sebagai reaksi afektif yang terkait dengan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, supervisi, rekan kerja, gaji, kemajuan karirnya saat ini, dan masa depannya. 15 Kepuasan kerja merupakan salah satu elemen yang cukup penting karena berpengaruh pada produktivitas suatu organisasi secara langsung maupun tidak langsung serta merangsang semangat kerja dan loyalitas pegawai dalam bekerja. Menurut Smith, Jones, dan Blair (2000), kepuasan kerja sebagai serangkaian perasaan senang atau tidak senang dan emosi seorang pegawai yang berkenaan dengan pekerjaannya sehingga merupakan penilaian pegawai terhadap perasaan menyenangkan, positif atau tidak terhadap pekerjaannya. Hal senada pula di ungkapkan Handoko (2000) bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang nampak dari sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan kerjanya. Dalam suatu kesempatan, Wexley dan Yukl (dalam Muhaimin, 2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja secara umum merupakan sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda bagi pekerja. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya tersebut menggambarkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan dan harapan-harapan mengenai pengalaman mendatang. Sehubungan dengan pernyataan di atas, ada ungkapan yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah apa yang dirasakan orang tentang banyak aspek dalam pekerjaan mereka. Aspek tersebut meliputi gaji, kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, dan kesempatan promosi. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Bruce dan Mc. Afee (1987:40), sebagai berikut: 16 Job satisfaction refers to how people feel about various aspects of their job. Those aspect include pay, working conditions, co-workers, supervision and promotional oppurtunities. Selain itu, ada ungkapan yang menyatakan bahwa kepuasan kerja berarti perasaan positif dan negatif dan sikap kita mengenai pekerjaan kita. Hal ini tergantung dari banyak faktor kerja, berkisar dari kapan kita dapat merasakan apa yang kita dapat dari tugas sehari-hari. Faktor personal juga dapat memengaruhi kepuasan kerja. Faktor ini meliputi usia, kesehatan, jangka waktu dari masa percobaan, kestabilan, emosi, status sosial, aktifitas yang menyenangkan, dan keluarga serta hubungan sosial lainnya. Setiap motivasi dan aspirasi dan perasaan puas dengan tiap pekerjaan juga berpengaruh pada kerja dan sikap terhadap pekerjaan tersebut. Pendapat ini dijelaskan oleh Schultz dan Schultz (1998:271), sebagai berikut: Job satisfaction refers to the positive and negative feelings and attitudes we hold about our jobs, it depends on many workrelated factors, ranging from where we have to park to the sense fulfillment we get from our daily tasks. Personal factors can influence job satisfaction. These factors include age, health, length of the job experience, emotional stability, social status, leisure activities, and family and other social relationships. Our motivations and aspirations and how well these are satisfied by our work also affect our attitudes toward our job. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual, setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan masing-masing individu. Semakin banyak aspekaspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, semakin tinggi kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya bila semakin sedikit aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka makin rendah tingkat kepuasannya (dalam As’ad, 2004). 17 Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan seorang pegawai terhadap pekerjaannya baik positif atau puas maupun negatif atau ketidakpuasan terhadap lima aspek pekerjaan yaitu gaji, kesempatan promosi, rekan kerja, pengawasan, dan pekerjaan itu sendiri. 2.1.2. Teori Kepuasan Kerja. 1. Teori Keadilan (Equity Theory) Teori ini dikembangkan oleh John Stacy Adams. Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh individu dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini elemen-elemen dari equity ada tiga yaitu: input, outcome, comparison, dan equity-in-equity. Input ialah is anything of value that an employee perceives that the contributes to his job. Ini berarti input ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Dalam hal ini misalnya: education, experience, skills, amount of effort expected, number of hours worked, and personal tools dan sebagainya. Adapun yang dimaksud outcomes adalah is anything of value that the employee perceives he obtains from the job. Ini berarti outcomes adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya seperti misalnya: pay, fringe benefits, status symbols, recognition, opportunity for achievement or self-expression. Sedangkan yang dimaksud dengan comparison persons ialah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan ratio input-outcomes yang dimilikinya. Comparison persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, 18 atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau (the comparison person may be someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person himself in a previous job). Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan ratio input – outcomes dirinya dengan ratio input – outcomes orang lain (comparison persons). Bila perbandingan itu dianggapnya cukup adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation inequity), bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation in-equity), akan timbul ketidakpuasan (Wexley & Yukl, dalam As’ad, 2004). 2. Teori Kesesuaian (Discrepancy Theory) Menurut Locke, teori ketidaksesuaian mengungkapkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari beberapa aspek pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dua nilai (values), yaitu: 1). Kesesuaian yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam kenyataannya dan (2). Apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan individu. Contohnya: seorang supervisor mempunyai keinginan lebih mengutamakan aspek kenaikan jabatan dari pada kenaikan gaji, maka supervisor tersebut akan memberi rangking yang lebih tinggi pada aspek kenaikan jabatan dibanding dengan kenaikan gaji (dalam Wijono, 2010). 19 3. Model dari Kepuasan Bidang/ Bagian (Facet Satisfaction). Wijono (2010) menuliskan bahwa kepuasan bidang menurut model Lawler mempunyai kaitan erat dengan teori keadilan J. Adam. Model Lawler mengatakan bahwa individu akan merasa puas terhadap bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya: hubungan antara rekan kerja, atasan dan bawahan, dan atau gaji). Individu dapat menerima dan melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati dalam bidang yang dia persepsikan, maka hasilnya akan sama dengan jumlah yang dia persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan individu akan menjadi sesuai tergantung dari bagaimana individu mempersepsikan nilai dari pekerjaan dan karakteristik pekerjaannya. Selain itu, persoalan yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana individu mempersepsikan “input and output” dari orang lain yang digunakan sebagai pembanding bagi dirinya sendiri. Akhirnya, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang terhadap apa yang individu terima secara nyata tergantung dari hasil output yang secara nyata individu terima dan hasil output yang dipersepsikan dari orang dengan siapa individu akan membandingkan dirinya sendiri (dalam Wijono, 2010). 4. Teori Proses Bertentangan (Opponent-Process Theory). Dalam teori proses-bertentangan Landy (dalam Munandar, 2010) memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini memberi tekanan bahwa individu ingin mempertahankan keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Dalam teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrem tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja menimbulkan mekanisme fisiologis dalam system pusat saraf yang membuat aktif emosi yang berlawanan. Kesimpulan 20 sementara (hipotesis) menunjukkan bahwa emosi tersebut akan terus ada dalam jangka waktu relatif lama. Misalnya, individu merasa takut gagal dalam tugas yang diberikan oleh atasannya. Walaupun dalam kenyataannya, dia sering kali berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Atas keberhasilannya tersebut dia menjadi senang dan bangga. Jadi, antara rasa senang dan bangga karena sering berhasil dalam tugasnya, tetapi dia masih mempunyai rasa takut. Hal ini menjadi beban psikologis bagi dirinya (pertentangan). Teori ini menjelaskan bahwa jika individu memperoleh keberhasilan dalam pekerjaannya, maka individu akan merasa senang sekaligus takut gagal atau tidak senang (yang lebih lemah). Setelah beberapa saat perasaan senang dan bangga berangsur-angsur menjadi turun dan semakin melemah sehingga individu akan merasa gagal atau sedih sebelum kembali dalam kondisi yang normal. Hal ini terjadi karena keadaan emosi tidak senang (emosi yang berlawanan berlangsung lama). Atas dasar asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya adalah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara terus menerus dan periodik sesuai dengan rentang waktu secara interval. Asumsi ini dibuat untuk meminimalisir kondisi kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh emosi yang berlawanan sesuai dengan interval rentang waktu terjadinya (dalam Wijono, 2010). 5. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Teori dua faktor (two factor theory) yang dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg (dalam Thoha, 2009). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kepuasan bekerja itu selalu dihubungkan dengan isi jenis pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (job context). 21 Kepuasan bekerja oleh Herzberg disebut Motivator dan ketidakpuasan bekerja disebut Hygiene. Dari kedua istilah inilah yang dinamakan teori dua faktor. Adapun penjelasan dari dua faktor sebagai berikut (dalam Thoha, 2009): 1. Faktor motivasi (motivator) yang menyangkut kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaannya (elemen pekerjaan itu sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja. Faktor-faktor tersebut mencakup : a Pekerjaan itu sendiri (The work itself) menyangkut karakteristik dari pekerjaan, yaitu apakah pekerjaan tersebut menantang, menarik ataukah justru membosankan. b Prestasi kerja (Achievement) yaitu adanya kesempatan untuk menunjukkan prestasi yang lebih baik dari sebelumnya, yang diperoleh melalui usaha dan kemampuan. c Promosi (Promotion) yaitu tersedianya kesempatan untuk berkembang dalam pekerjaan dan jabatan. d Pengakuan (Recognition) adalah adanya penghargaan dan pengakuan atas prestasi kerja melalui umpan balik yang diterima. e Tanggung jawab (Reponsibility) adalah kewajiban menjalankan fungsi jabatan dan tugas yang sesuai dengan kemampuannya serta pengarahan yang diterima. 2. Faktor-faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau dikenal juga dengan hygene factors atau dissatisfier. Merupakan faktor-faktor yang berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Faktor-faktor ini mencakup: 22 a Rekan kerja (co-worker) yang dimaksud adalah apakah dalam bekerja rekan-rekan kerja dapat diajak bekerjasama, memiliki kompetensi, bersahabat, dan saling tolong- menolong. b Gaya penyeliaan (quality and technical support). Gaya penyeliaan yang dimaksud adalah kualitas dan bentuk pengawasan, pengarahan dan pembimbingan yang diterima dari atasan. c Hubungan antar karyawan (relations with others) yakni adanya kerja sama antar bawahan dan atasan dalam hal tolong menolong dan saling memberikan dorongan. d Kondisi lingkungan fisik kerja (psychological working conditions) meliputi kondisi lingkungan baik tempat bekerja, seperti penerangan, temperatur, kualitas udara, serta peralatan kerja. e Kebijaksanaan perusahaan (company policies) termasuk di dalamnya mengenai administrasi, dan prosedur kerja yang diterapkan perusahaan, peraturan-peraturan kebijaksanaan perusahaan, dan tindakan yang diambil perusahaan untuk kepentingan karyawan. f Gaji (salary pay) yang dimaksud adalah imbalan jasa berupa uang yang dibawa oleh karyawan sesuai dengan jenis dan beban pekerjaan yang dilaksanakan. g Keamanan kerja (job security) berupa kejelasan dari pekerjaan yang dipegang, kelangsungan pekerjaan, jaminan hari tua, tunjangan-tunjangan, tingkat kepangkatan, serta kedudukan dalam organisasi. Berdasarkan teori yang telah di uraikan di atas, maka teori kepuasan kerja yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori kepuasan kerja berdasarkan konsep Herzberg (dalam Thoha, 2009) yakni teori dua faktor (Two Factor Theory). Penggunaan teori kepuasan kerja 23 tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian ini yakni untuk menjelaskan kepuasan kerja pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang dengan tujuan untuk melihat kepuasan kerja pegawai melalui dua faktor tersebut. Pada prinsipnya teori ini menjelaskan bahwa kepuasan dalam bekerja itu selalu dihubungkan dengan isi jenis pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (job context). 2.1.3. Aspek-aspek Kepuasan Kerja. Menurut Mas`ud (dalam Mahesa, 2010), ada dua komponen kepuasan kerja, yaitu: pertama, kepuasan intrinsik meliputi variasi tugas, kesempatan berkembang, kesempatan menggunakan kemampuan dan ketrampilan, otonomi, kepercayaan, pekerjaan yang menantang dan bermakna. Kedua, kepuasan ekstrinsik, meliputi gaji (upah) yang diperoleh, supervisi, jaminan kerja, status dan prestise. Sedangkan menurut Ward dan Sloane (dalam Koesmono, 2005), elemen yang termasuk dalam kepuasan adalah: 1). Hububungan dengan rekan kerja, 2). Hubungan dengan pimpinan, 3). Kemampuan dan efisiensi pimpinan, 4). Jam kerja, 5). Kesempatan berinsiatif, 6). Kesempatan promosi, 7). Gaji, 8). Keamanan kerja, 9). Pekerjaan itu sendiri, 10). Keseluruhan kepuasan kerja. Sementara itu, Ruvendi (2005) mengemukakan indikator kepuasan atau ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek di antaranya: a. Jumlah kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran. b. Perasaan senang atau tidak senang dalam melaksanakan pekerjaan. c. Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan. 24 d. Suka atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya. e. Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan penuh tanggung jawab. f. Tingkat motivasi para pegawai yang tercermin dalam perilaku pekerjaan. g. Reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan organisasi. h. Unjuk rasa atau perilaku deskruptif lainnya. Selanjutnya, Cellucci dan DeVries (dalam Koh & Boo, 2001) mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang disebut Job Satisfaction Questionnaire (JSQ) dengan menggunakan lima aspek kepuasan kerja yakni kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap penyelia/ atasan dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Berikut ini penjelasan dari kelima aspek sebagai berikut: a. Kepuasan terhadap gaji (satisfaction with pay) merupakan hal yang berhubungan dengan gaji yang diberikan lembaga dibandingkan dengan lembaga yang lain, mempertimbangkan gaji dengan tanggung jawab dan tunjangan-tunjangan yang memuaskan di tempat kerja. Penelitian Theriault (dalam Mahesa, 2010), menyatakan kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang signifikan terhadap kepuasan kerja. b. Kepuasan terhadap promosi (satisfaction with promotions) merupakan hal yang berhubungan dasar atau sistem promosi di tempat kerja dan tingkat kemajuan karir pegawai yang bekerja dalam suatu lembaga. Luthans (2011) mengemukakan kesempatan promosi sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal ini 25 dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki berbagai penghargaan. Misalnya, individu yang dipromosikan atas dasar senioritas sering mengalami kepuasan kerja, tetapi tidak sebanyak orang yang dipromosikan atas dasar kinerja. c. Kepuasan terhadap rekan kerja (satisfaction with co-workers) merupakan hal yang berhubungan dengan dukungan rekan kerja dan kerja sama dari rekan kerja. Sifat alami dari rekan kerja akan memengaruhi kepuasan kerja. Luthans (2011) mengungkapkan bahwa pada umumnya, rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok kerja yang kuat akan bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota individu. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa kelompok kerja yang memerlukan saling ketergantungan antar anggota dalam menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Kelompok kerja yang baik atau efektif akan membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. Sebaliknya, jika kondisi di mana orang sulit bekerja sama maka faktor itu mungkin memiliki efek negatif pada kepuasan kerja. d. Kepuasan terhadap supervisi/ pengawasan (satisfaction with supervisors) merupakan hal ini berhubungan dengan dukungan dari atasan, atasan yang memiliki kompeten di bidangnya, sikap tidak mendengar pendapat dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan. Pengawasan atau supervisi merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja. Akan tetapi, untuk saat ini dapat dikatakan bahwa gaya pengawasan memengaruhi kepuasan kerja. Gaya pengawasan yang berpusat pada karyawan, diukur menurut tingkat di mana penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada karyawan (dalam Luthans, 2011). 26 e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri (satisfaction with work it self) berkaitan dengan perasaan pegawai yang tertarik dengan pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kurang prestasi pegawai dalam mengerjakan tugas. Hal ini diperkuat Luthans (2011) bahwa pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan. Umpan balik dari pekerjaan itu sendiri dan otonomi merupakan dua faktor motivasi utama yang berhubungan dengan pekerjaan. Dari lima aspek yang telah di paparkan di atas, Robbins dan Judge (2008) menuliskan bahwa lima aspek kepuasan kerja yang terdiri dari kepuasan terhadap gaji, promosi, rekan kerja, supervisi dan pekerjaan itu sendiri merupakan aspek yang dinilai berdasarkan skala standar kepuasan kerja yang kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai serta paling berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara keseluruhan. Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima aspek kepuasan kerja menurut Cellucci dan DeVries yang dikutip dari Koh dan Boo (2001). Alasan dipilihnya aspek kepuasan kerja dari Koh dan Boo (2001) adalah karena aspek-aspek tersebut sesuai dengan teori Herzberg yang sangat relevan dengan kondisi yang ada di dalam kantor Disperindag Provinsi NTT di Kupang secara khusus sesuai dengan karakteristik pegawai yang bekerja pada kantor tersebut yang dipengaruhi oleh gaji yang diterima, promosi, rekan kerja, supervisi/pengawasan oleh atasan dan persepsi terhadap pekerjaannya sendiri. Karena itu, kelima aspek kepuasan kerja tersebut digunakan untuk meneliti kepuasan kerja pegawai Disperindag Provinsi NTT di Kupang yang merupakan obyek dari penelitian ini. 27 2.1. 4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja Kepuasan merupakan sebuah hasil yang dirasakan oleh karyawan. jika karyawan puas dengan pekerjaannya, maka ia akan betah bekerja pada organisasi tersebut. Dengan memahami output yang dihasilkan, maka perlu mengetahui penyebab yang bisa memengaruhi kepuasan kerja. Ada banyak faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktorfaktor-faktor ini memiliki peranannya dalam memberikan kepuasan kerja kepada karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Dalam suatu kesempatan, Burt (dalam As’ad, 2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja karyawan di antaranya: 1. Faktor individu, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan. Misalnya: kepuasan kerja seorang yang menginjak usia 25 tahun berbeda dengan orang yang bekerja menginjak usia 50 tahun. Karena dari segi usia dan kesehatan orang yang menginjak usia 25 tahun lebih baik dari orang yang berusia 50 tahun, maka orang yang menginjak usia 25 tahun cenderung mengharapkan lebih sehingga pada kasus turnover karyawan lebih sering terjadi pada karyawan yang berusia 25 tahun daripada turnover karyawan yang menginjak usia 50 tahun. 2. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan. Misalnya: Tingkat kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh hubungan rekan kerja. Karyawan yang kesulitan untuk berhubungan dengan rekannya cenderung bosan dan tidak maksimal ketika menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya. 3. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam 28 pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. Misalnya: tingkat kepuasan kerja karyawan oleh promosi. Hal ini dikarenakan dengan adanya promosi tentu saja berpengaruh terhadap kenaikan gaji karyawan. Menurut Ghiselli dan Brown (dalam As’ad, 2004), ada lima faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu: a. Kedudukan (posisi). Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa puas daripada mereka yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, justru perubahan dalam tingkatan pekerjaanlah yang memengaruhi kepuasan kerja. b. Pangkat (golongan). Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan), sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya. c. Umur. Merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kepuasan kerja. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun merupakan umur yang paling riskan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut sering terjadi perasaan tidak puas terhadap pekerjaan. d. Jaminan finansial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Misalnya: jaminan kesejahteraan pegawai 29 (KESRA), gaji bulanan yang diterima pegawai, uang lembur untuk pekerjaaan. e. Mutu pengawasan dalam hal ini dikaitkan dengan pihak pimpinan. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Dengan adanya hubungan yang baik di antara kedua pihak nantinya akan menimbulkan perasaan karyawan bahwa dirinya merupakan bagian penting dari organisasi tempatnya bekerja. Sementara itu, Sutrisno (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 1. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan. 2. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan maupun dengan atasannya. 3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya. 4. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya. Selain itu, Robbins (2001) menuliskan lima faktor yang memengaruhi kepuasan kerja antara lain: 1. Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai 30 betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2. Ganjaran yang pantas, para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. 3. Kondisi kerja yang mendukung, karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyaman pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas dengan baik. Karyawan yang lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya/ merepotkan yaitu temperatur, cahaya, derau, faktor lingkungan lain, seharusnya tidak ekstrim. 4. Rekan sekerja yang mendukung. Orang-orang yang mendapat lebih sekedar uang/ prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial, oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar kepuasan kerja meningkat. 5. Kesesuaian kepribadian pekerjaan. Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan akan menghasilkan seorang individu yang lebih terpuaskan. Orang-orang memiliki tipe kepribadiannya sama dan sebanding dengan pekerjaan yang mereka pilih akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan-pekerjaan tersebut dan 31 lebih besar untuk mencapai kepuasan kerja yang tinggi dalam kerja mereka. Selanjutnya, penelitian Lumbanraja (2009) menunjukkan bahwa faktor karakteristik individu, gaya kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Lebih lanjut, Setyawan (2005), dan Mamik (2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor kedisplinan, kualitas kepemimpinan, motivasi kerja, iklim organisasi, dan komitmen organisasi. Dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tinggi rendahnya kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor intrinsik/ personal yang dihubungkan dengan keadaan diri pegawai ketika melakukan pekerjaannya dan faktor eksternal yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan dalam suatu organisasi. Faktorfaktor eksternal antara lain lingkungan fisik dan sosial, gaya kepemimpinan, budaya organisasi, iklim organisasi, sistem manajemen, sifat pekerjaaan, dukungan dan faktor lainnya yang menekankan pada hubungan antar manusia. Sedangkan faktor-faktor personal antara lain motivasi kerja, karakteristik individu, kepribadian, komitmen, dan kedisplinan. Adapun dalam penelitian ini, penulis membatasi pada variabel iklim organisasi sebagai faktor eksternal dan motivasi kerja sebagai faktor personal yang memengaruhi kepuasan kerja pegawai. 32 2.2. IKLIM ORGANISASI 2.2.1. Pengertian Iklim Organisasi Adapun istilah iklim organisasi (Organizational climate) pertama kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, dengan istilah iklim psikologi (psychological climate). Konsep ini bermula dari formulasi konsep Lewin yang beranggapan bahwa perilaku individu (behavior) merupakan fungsi dari variabel personal dan lingkungan psikologisnya. Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh Tagiuri dan Litwin. Tagiuri mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) di mana perilaku muncul: lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behavior setting), dan kondisi (conditions) (dalam Wirawan, 2007). Menurut Steers (1985), iklim organisasi adalah sifat atau karakteristik dari suatu lingkungan kerja yang sebagian besar merupakan hasil dari tindakan-tindakan yang diambil secara sadar maupun tidak oleh suatu organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku berikutnya. Ditambahkan pula oleh Steers (1985) bahwa iklim organisasi merupakan lingkungan internal yang mewakili faktor-faktor dalam organisasi yang menciptakan kultur dan lingkungan sosial di mana aktivitas-aktivitas pencapaian tujuan berlangsung sehingga iklim organisasi berhubungan dengan persepsi karena iklim ini merupakan iklim yang dilihat dan dirasakan oleh para anggota organisasi dan bukan iklim yang sebenarnya. Demikian, dalam perkembangan konsep iklim organisasi telah menjadikan konsep ini untuk digunakan secara leluasa di mana mengacu pada lingkup yang luas dalam organisasi dan variabel perceptual 33 yang merefleksikan interaksi individu dan organisasi serta memengaruhi perilaku individu d alam organisasi. Sementara itu, Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007) mengungkapkan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi memengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Hal ini berarti iklim organisasi merupakan perasaan dan pengalaman terhadap lingkungannya. Selanjutnya, Wirawan (2007) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin yang memengaruhi sikap dan perilaku organisasi. Unsurunsurnya dapat dipersepsikan dan dialami oleh anggota organisasi dan dilaporkan melalui kuesioner yang tepat. Stringer (2002) mengatakan bahwa iklim berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dilihat dan dirasakan oleh individu dalam lingkungan kerja. Sehubungan dengan pengertian di atas, Higgins (1982) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi anggota organisasi termasuk mengenai peraturan, keinginan dari pekerjaan dalam organisasi dan lingkungan sosial dalam organisasi. Dalam hal ini iklim organisasi merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi. Hal senada diungkapkan Litwin dan Stringer bahwa iklim organisasi merupakan suatu konsep yang melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan organisasi yang mendorong motivasi sehingga berpengaruh pada kepuasan dan kinerja (Lafollete & Sims, 1975; Biggs, Miles, & Rogers, 1980). Dengan demikian, terdapat pengaruh yang positif antara iklim organisasi terhadap kinerja dan kepuasan kerja. Semakin 34 sesuai dan menyehatkan suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat kinerja dan kepuasan kerja pegawainya. Oleh karena itu, apabila pegawai merasa bahwa iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik, dan hal ini akan membuat pegawai tersebut merasa puas. Iklim dipengaruhi oleh hampir semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim merupakan suatu konsep sistem yang dinamis yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi. Dalam lembaga pemerintah, iklim organisasi menggambarkan suatu keadaan atau suasana dalam organisasi di mana didalamnya menunjukkan kualitas interaksi atau hubungan seluruh pegawai dalam lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus-menerus meningkat yang dirasakan dan dipersepsikan oleh anggota-anggotanya, memengaruhi perilaku mereka, dan dapat digambarkan menurut seperangkat nilai-nilai, norma-norma yang di yakini secara bersama dalam organisasi. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah persepsi individu mengenai suatu keadaan atau kondisi yang menunjukkan kualitas lingkungan internal suatu organisasi yang dinilai mengenai apa yang dilihat, apa yang dialami atau dirasakan dan dipikirkan oleh semua anggota organisasi yang memengaruhi perilaku anggota-anggota dalam organisasi. 2.2.2. Teori Iklim Organisasi Berdasarkan definisi-definisi mengenai iklim organisasi yang telah diutarakan sebelumnya, menunjukkan bahwa iklim organisasi berkaitan dengan lingkungan kerja yang dinilai individu melalui persepsinya. Oleh karena itu, iklim organisasi dapat dipahami melalui teori yang mengkaji tentang persepsi, salah satunya adalah teori Gestalt. Dalam kaitannya 35 dengan psikologi lingkungan, maka persepsi lingkungan merupakan salah satu aplikasi dari teori Gestalt, di mana teori ini menekankan pada persepsi dan kognisi secara umum. Menurut teori ini pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak hanya sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu bisa berlainan (dalam Gintoe, 2012). Menurut Backler (dalam Abdurahman & Maman, 1988), hubungan manusia dengan lingkungan merupakan titik tolak dan merupakan sumber informasi, sehingga terlihat individu menjadi seorang pengambil keputusan. Dengan demikian sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori Gestalt, persepsi sebagai suatu fungsi biologis (melalui organ-organ sensoris) yang memungkinkan individu menerima dan mengolah informasi dari lingkungan dan mengadakan perubahan-perubahan di lingkungannya. Dalam hal ini berkaitan dengan proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi). Dalam suatu kesempatan, Huczynski dan Buchanan (dalam Widiani, 2010) mengemukakan bahwa dunia perseptual individu dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kedua jenis faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: Faktor internal, merupakan faktor dari dalam diri individu, berupa kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, tujuan, karakteristik psikologis seperti kepribadian, dan pengalaman masa lalu. Adanya perbedaan faktor internal akan berpengaruh pada hasil akhir yang berupa perilaku. 36 Faktor eksternal, merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya di sekitar individu tersebut berada. faktor eksternal tersebut dapat menjadi stimuli yang akan diproses dalam dunia perseptualnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam organisasi dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang menjadi stimuli bagi individu, yang selanjutnya akan diproses dan membentuk persepsi tentang organisasinya. Persepsi terhadap iklim organisasi adalah cara pandang individu terhadap situasi lingkungan kerjanya, yang dilihat, diamati dan dirasakan oleh individu selaku anggota organisasi kemudian diberi makna oleh individu berdasarkan interpretasi mereka terhadap situasi lingkungan kerjanya. Hasil dari interpretasi tersebut dapat memberikan pengaruhpengaruh tertentu terhadap perilaku anggota organisasi. Adanya perbedaan persepsi pada individu terhadap iklim organisasi disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor internal yang terdapat dalam diri individu. Selanjutnya, teori iklim organisasi oleh Stringer (2002) mengatakan bahwa iklim berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dilihat dan dirasakan oleh individu dalam lingkungan pekerjaan baik dalam lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Di katakan pula oleh Stringer bahwa terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya iklim organisasi, yaitu lingkungan eksternal, strategi praktik kepemimpinan, pengaturan organisasi, dan sejarah organisasi. Masingmasing faktor ini sangat menentukan, oleh karena itu orang yang ingin mengubah iklim organisasi dalam suatu organisasi harus mengevaluasi masing-masing faktor tersebut. Adapun gambar faktor-faktor penyebab iklim organisasi sebagai berikut: 37 Pengaturan Organisasi Praktik Kepemimpinan Strategi Organisasi Iklim Organisasi Sejarah Organisasi Lingkungan Eksternal Gambar 2.1. Faktor Penyebab Iklim Organisasi (Dikutip dari Stringer, 2002:83). 1. Lingkungan eksternal. Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum perusahaan atau lembaga asuransi umumnya sama. Demikian juga iklim organisasi pemerintah, sekolah dasar, atau perusahaan angkutan di Indonesia, mempunyai iklim umum yang sama. Kesamaan faktor umum tersebut disebabkan pengaruh lingkungan eksternal organisasi. Walaupun lingkungan eksternal memengaruhi dimensi aspek iklim organisasi. Menurut Stringer (2002) terdapat pengaruh langsung yang paling banyak terhadap tiga dimensi yaitu struktur, tanggung jawab, dan komitmen sedangkan tiga dimensi lainnya: standar, penghargaan, dan dukungan lebih berpengaruh oleh faktor-faktor internal penentu iklim organisasi. 2. Strategi organisasi, merupakan apa yang diupayakan untuk dilakukan, energi yang dimiliki oleh pegawai untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi, dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Oleh karena itu, strategi menentukan apa yang penting 38 bagi organisasi, hasil apa yang mempunyai nilai, dan perilaku-perilaku apa yang paling mungkin mencapai tujuan eksplisit dari strategi. 3. Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh paling kuat terhadap iklim organisasi yakni hubungan desain formal organisasi dan hubungan pelaporan, deskripsi pekerjaan/pernyataan akuntabilitas, penentuan tujuan/ sistem perencanaan, sistem pengukuran kinerja, sistem evaluasi, sistem imbalan, sistem pelatihan dan pengembangan, kebijakan dan prosedur baru, sistem manajemen karier, sistem aliran orang lainnya (misalnya, rekrutmen, penempatan, pemutusan hubungan kerja/ mutasi kerja), rapat formal/komisi, dan pengaturan organisasi formal atau informal. 4. Kekuatan sejarah. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya. dimensi iklim organisasi yang dipengaruhi kekuatan sejarah adalah standar, tanggung jawab, dukungan dan komitmen. 5. Kepemimpinan. Perilaku pemimpin/ atasan setiap hari memengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan. Lebih lanjut, Stringer (2002), mengembangkan kuesioner yang lebih konsisten dan sederhana mengenai iklim organisasi yang disebut Organizational Climate Questionnaire. Menurut Stringer, perlu pengelompokkan dimensi-dimensi tertentu dalam iklim ke dalam kelompok-kelompok yang akan menjadi khas suatu organisasi jika dibandingkan dengan organisasi lain. Yang terpenting pengelompokkan ini berguna bagi pimpinan organisasi sebagai suatu pedoman untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja para pegawai serta kinerja. Di katakan pula bahwa iklim organisasi secara obyektif berada dalam suatu 39 organisasi, tetapi ia hanya bisa dijelaskan dan diukur secara tidak langsung melalui persepsi dari pada anggota-anggotanya. Di tambahkan pula Stringer bahwa iklim bersifat obyektif dan subyektif yang merupakan ekspresi obyektif yang diukur dari persepsi subjektif dari pegawai terhadap lingkungan kerja mereka. Berdasarkan uraian teori yang telah dipaparkan di atas, maka penulis lebih menekankan pada teori iklim organisasi yang telah di kemukakan oleh Stringer (2002). Hal ini dikarenakan teori iklim organisasi dari Stringer secara lengkap menguraikan keseluruhan iklim organisasi baik secara internal maupun eksternal yang penting dalam suatu organisasi yang dipersepsikan oleh anggota yang bekerja dalam organisasi berdasarkan nilai-nilai, aturan-aturan, dan suasana lingkungan kerja yang dialaminya. Selain itu, sejauh penelusuran penulis mengenai iklim organisasi yang dikembangkan oleh Stringer masih kurang untuk di teliti. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai iklim organisasi yang dikembangkan oleh Stringer untuk dapat dilakukan secara khusus di lembaga pemerintah sebagai sektor publik dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan secara rutinitas di tempat kerja. 2.2.3. Dimensi Iklim Organisasi Iklim organisasi yang dirasakan individu secara positif (menyenangkan) akan memberikan tampilan kerja yang baik dan efektif yang akan memengaruhi kepuasan kerja pegawai dan keberhasilan dalam organisasi. Iklim organisasi secara objektif eksis, terjadi di setiap organisasi, dan memengaruhi perilaku anggota organisasi, tetapi hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui persepsi anggota dalam hal ini persepsi pegawai dapat memengaruhi perilaku dalam bekerja dalam organisasi pemerintah. Dimensi iklim organisasi terdiri atas beragam jenis dan berbeda pada setiap organisasi (dalam Wirawan, 2007). 40 Menurut Ekval (dalam Wirawan, 2007), ada sepuluh dimensi iklim organisasi adalah sebagai berikut: 1. Challenge (tantangan) yaitu keterlibatan dan komitmen terhadap organisasi. 2. Freedom (kebebasan) yaitu sampai seberapa tinggi karyawan diberi kebebasan untuk bertindak. 3. Support for ideas (dukungan untuk ide-ide) yaitu sikap manajemen dan karyawan terhadap ide baru. 4. Trust (kepercayaan) yaitu keamanan emosional dan kepercayaan hubungan antar anggota dalam organisasi. 5. Liveliness (semangat) yaitu dinamika dalam organisasi. 6. Playfulnes/humor (keintiman/humor) yaitu kemudahan yang ada dalam organisasi. 7. Debate (debat) yaitu sampai seberapa tinggi perbedaan pendapat serta ide-ide dan pengalaman ada dalam organisasi. 8. Conflict (konflik) yaitu adanya tensi personal dan emosional. 9. Risk taking (pengambilan resiko) yaitu kemauan untuk menoleransi insekuriti dalam organisasi. 10. Ide and time (ide dan waktu) yaitu waktu yang digunakan untuk mengembangkan ide-ide baru. Sementara itu, Wirawan (2007) mengemukakan tujuh dimensi iklim organisasi di antaranya: 1. Keadaan lingkungan fisik, merupakan lingkungan yang berhubungan dengan tempat, peralatan, dan proses kerja. Persepsi karyawan mengenai tempat kerjanya menciptakan persepsi karyawan mengenai iklim organisasi. 2. Keadaan lingkungan sosial, merupakan interaksi antara anggota organisasi. Hubungan tersebut bersifat hubungan formal, informal, 41 kekeluargaan, atau professional. Semua bentuk menentukan iklim organisasi. 3. Pelaksanaan sistem manajemen. Sistem manajemen adalah pola proses pelaksanaan manajemen organisasi. 4. Produk, merupakan barang atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi. Produk suatu organisasi sangat menentukan iklim organisasi. Misalnya, iklim organisasi dinas kebersihan yang produknya berupa layanan pembersihan sampah, berbeda dengan iklim organisasi perusahaan perbankan yang produknya adalah layanan keuangan. 5. Konsumen yang dilayani. Konsumen yang dilayani dan untuk siapa produk ditujukan, memengaruhi iklim organisasi. Misalnya, iklim organisasi klinik bagian anak-anak di suatu rumah sakit berbeda dengan klinik bagian rematik yang umumnya melayani orang dewasa di rumah sakit yang sama. 6. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi. Merupakan persepsi mengenai kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi sangat memengaruhi iklim organisasi. Termasuk dalam kondisi fisik adalah kesehatan, kebugaran, keenergikan, dan ketangkasan. Kondisi kejiwaan misalnya adalah komitmen, moral, kebersamaan, dan keseriusan anggota organisasi. 7. Budaya organisasi. Budaya organisasi maupun iklim organisasi memengaruhi perilaku anggota organisasi yang kemudian memengaruhi kinerja mereka. Misalnya, jika kode etik dilaksanakan dengan sistematis, maka akan memengaruhi persepsi karyawan mengenai lingkungan sosialnya, lalu terjadinya iklim etis dalam lingkungan organisasi. Demikian juga, dalam budaya organisasi terdapat norma tertulis, tetapi banyak dilanggar oleh anggota 42 organisasi dan tanpa sanksi sehingga menimbulkan iklim organisasi negatif. Lebih lanjut, Stringer (2002) mengungkapkan faktor penyebab iklim organisasi berkaitan dengan enam dimensi untuk mengukur iklim organisasi yang disebut Organizational Climate Questionnaire untuk organisasi sektor publik termasuk lembaga pemerintahan yang di tampilkan dalam gambar berikut ini: Praktik Kepemimpinan Pengaturan Organisasi Strategi Kekuatan-kekuatan Historikal Lingkungan Eksternal Dimensi Iklim Organisasi Struktur Standar-standar Tanggung jawab Penghargaan Dukungan Komitmen Gambar 2.2. Keterkaitan Faktor Penyebab Iklim Organisasi Dengan Dimensi-dimensi Iklim Organisasi (Dikutip dari Stringer, 2002:18). 1. Struktur (structure). Struktur merefleksikan perasaan yang dirasakan pegawai dalam organisasi yang secara terorganisir dengan baik dan memiliki uraian tugas mengenai peran dan tanggung jawab yang jelas. Struktur tinggi jika pegawai merasa bahwa pekerjaan setiap orang diorganisir dengan baik. Struktur rendah maka terjadi kebingungan 43 mengenai siapa yang harus melakukan sesuatu dan mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. 2. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat atau derajat kebanggaan pegawai ketika melakukan pekerjaannya dengan baik dalam organisasi. Standar-standar organisasi yang tinggi artinya karyawan dalam organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. 3. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan pegawai bahwa mereka adalah “bos bagi diri mereka sendiri” dan tidak harus melaporkan semua keputusan mereka kepada atasan. Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa pegawai merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sedangkan tanggung jawab yang rendah menunjukkan bahwa pegawai tidak diharapkan untuk mengambil resiko dan mencoba pendekatan baru. 4. Penghargaan (recognition). Penghargaan merefleksikan perasaan pegawai dalam organisasi yang merasa dihargai atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik. Penghargaan merupakan ukuran untuk membandingkan antara imbalan dengan hukuman dan kritikan atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara tidak konsisten. 5. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang berlaku di kelompok kerja/unit kerja dalam organisasi. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam 44 menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa terisolasi dan tersisih sendiri. 6. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga oleh pegawai sebagai bagian dalam organisasi dan tingkat atau derajat komitmen/ loyalitas terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen artinya pegawai merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. Dalam penelitian ini, untuk mengukur iklim organisasi didasarkan pada teori dan dimensi yang dikembangkan langsung oleh Stringer (2002). Hal ini karena kondisi riil yang ada dalam organisasi pemerintah secara khusus di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTT di Kupang sangat relevan dengan enam dimensi iklim organisasi oleh Stringer untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai. 2.2.4. Peran Iklim Organisasi Dalam mengelola sumber daya manusia di dalam organisasi yang efisien dan efektif maka perlunya suatu lingkungan yang menyenangkan untuk bekerja melalui kondisi kerja yang bagus dan tersedianya lingkungan kerja yang sehat, kondusif dan menyenangkan sebagai iklim organisasi yang baik. Noordin dan Jusoff (2009) mengemukakan peran iklim organisasi yang positif dan sehat menjadikan kepuasan kerja karyawan dan peningkatan produktivitas dalam pekerjaan. Selain itu, iklim organisasi sebagai forum komunikasi (communication forum), keterlibatan karyawan (employee involvement), manajemen yang proaktif (proactive management), memperoleh hasil pekerjaan yang positif (positive work Outcomes) semua atribut ini pada akhirnya dapat mengurangi karyawan jika dirasakan bahwa mereka tidak mengalami kepuasan kerja di 45 organisasi. Stoner (dalam Idrus, 2006) mengungkapkan tentang pentingnya iklim organisasi untuk para manajer/ atasan dan individu yang ada dalam organisasi itu, yaitu: 1). Iklim organisasi berpengaruh terhadap penyelesaian tugas; 2). Iklim organisasi dapat relatif dipengaruhi oleh atasan/ manajer; dan 3). Keserasian antara individu dengan organisasi mempunyai pengaruh penting dalam prestasi dan kepuasan individu dalam organisasi. Dalam suatu kesempatan, Achua (2004), mengutarakan bahwa iklim yang kondusif berfungsi sebagai pegangan seluruh jajaran organisasi untuk beroperasi. Secara lebih rinci, iklim yang kondusif dalam suatu organisasi berfungsi sebagai mekanisme pengendali yang membentuk dan mengarahkan sikap dan perilaku pegawai, sebagai lembaga sosial yang membantu memelihara stabilitas sistem sosial melalui pengkomunikasian berbagai standar apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan, untuk pengembangan sense of identity bagi para pegawai, untuk pendefinisian “batas-batas” keperilakuan atau berbagai karakteristik organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain, serta fasilitator pengembangan komitmen terhadap organisasi (corporate first), melebihi kepentingan pribadi. Iklim yang kondusif mempunyai dampak signifikan terhadap kepuasan kerja, kinerja dan keefektifan organisasi. Sebagai suatu sistem nilai yang memberikan pedoman berperilaku kerja dan menjadi prinsip pengoperasian dasar bagi para karyawan. Menurut Gilles (1996), iklim dikatakan positif bagi suatu organisasi apabila memberikan kontribusi pada kinerja efektif, kepuasan kerja dan produktifitas dan bila nilai-nilai inti dipegang dan dianut secara intensif dan meluas. Sedangkan iklim yang negatif bila sangat terfragmentasi dan tidak diikat oleh berbagai nilai dan keyakinan bersama serta menjadi sumber penolakan dan kekacauan, 46 sehingga dapat menghambat pemecahan masalah yang efektif. Sementara itu, Singh dkk., (2011) mengemukakan bahwa iklim organisasi berdampak disetiap aktivitas dalam suatu organisasi secara langsung atau tidak langsung dan dipengaruhi oleh hampir segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi yang berdampak pada organisasi untuk tetap survive dan terus berkembang yang dapat menguntungkan termasuk karyawan yang bekerja di dalamnya dan dikatakan iklim organisasi sebagai faktor pendorong utama yang bertanggung jawab untuk kepuasan dan ketidakpuasan karyawan yang dapat memengaruhi turnover karyawan. Hasil penelitian Lafollete dan Sims (1975) menunjukkan bahwa iklim yang menekankan pada prestasi menghasilkan tingkatan kinerja lebih tinggi, sedangkan iklim demokratis bersahabat menghasilkan kepuasan kerja dan produktivitas yang tinggi. Beberapa hasil penelitian seperti Bemana (2011); Frimansah dan Santy (2009); Sudiyanto (2010) menunjukkan iklim organisasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja pegawai. 2.3. MOTIVASI KERJA 2.3.1. Pengertian Motivasi Motivasi dalam bahasa inggris disebut motivation yang berasal dari bahasa Latin movere yang berarti “menggerakkan” (Steers & Porter, dalam Wijono, 2010). Motif adalah daya penggerak yang mencakup dorongan, alasan dan kemauan yang timbul dari seseorang yang menyebabkan untuk berbuat sesuatu. Motivasi sebagai sesuatu hal yang menggerakkan, memelihara, mengatur, dan menghentikan perilaku. Menurut Notoatmodjo (dalam Afriyantie, 2011), pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau “needs” atau “want”. Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang perlu 47 ditanggapi atau direspons. Sedangkan menurut Hasibuan (2007) bahwa motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. Sementara itu, Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian manusia memiliki peranan penting dalam mewujudkan tujuan organisasi. Karena itu, motivasi sangat penting dalam menentukan perilaku orang-orang untuk bekerja atau dengan kata lain perilaku merupakan cerminan yang paling sederhana dari motivasi. Dalam suatu kesempatan, Chung dan Megginso (dalam Gomes, 2003:177) mengatakan bahwa: Motivation is definied as goal-directed behavior. It concerns the level of effort one exerts in pursing a goal..it is closely related to employee satisfaction and job performance. Pernyataan tersebut mengartikan bahwa motivasi dirumuskan sebagai perilaku yang ditujukan pada suatu tujuan. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan dan motivasi berkaitan erat dengan kepuasan karyawan serta performansi pekerjaan. Sementara itu, Sofyandi dan Garniwa (2007) mengemukakan motivasi sebagai suatu dorongan untuk meningkatkan usaha dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dalam batas-batas kemampuan untuk memberikan kepuasan atas kebutuhan seseorang. 48 Selanjutnya, Keller (1984) mengungkapkan motivasi itu tidak dapat dilihat dari akan tetapi hanya dapat diamati dari perilaku yang dihasilkan, yaitu cara atau pola pemenuhan kebutuhan atau pencapaian yang dikehendaki. Motivasi dapat menjelaskan tentang alasan seseorang melakukan tindakan karena motivasi merupakan daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat (maupun tidak berbuat) sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini sependapat dengan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa motivasi adalah keadaan dalam diri individu yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku-perilaku tertentu atau khusus. Pernyataan ini ditegaskan oleh Spector (2007:200) yaitu: Motivation is generally defined as an internal state that induces a person to engage in particular behaviors. Dari definisi-definisi yang ada, motivasi merupakan suatu konsep yang sangat kompleks dan sulit didefinisikan karena masing-masing ahli memiliki pendapat sendiri berdasarkan aliran masing-masing. Namun menurut penulis hal penting dalam motivasi yang dapat dijelaskan yaitu motivasi adalah suatu dorongan dalam diri individu yang menggerakkan individu untuk berperilaku mencapai tujuan-tujuannya dalam organisasi di mana individu tersebut berada di dalamnya. Motivasi tidaklah dilihat dengan kasat mata namun dimanifestasikan melalui perilaku. 49 2.3.2. Pengertian Motivasi Kerja Motivasi kerja pegawai merupakan sesuatu hal yang dibutuhkan suatu organisasi secara substansial. Tanpa adanya motivasi kerja seorang karyawan akan menemukan kesulitan dalam memperoleh kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas. Hal ini senada diungkapkan Umar (1999) menyatakan motivasi kerja adalah faktor yang kehadirannya dapat menimbulkan kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas atau hasil kerja dan menimbulkan berbagai perilaku manusia. Menurut Munandar (2010), motivasi kerja sebagai suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Sedangkan Kartono (2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja tidak hanya berwujud kebutuhan ekonomis saja tetapi dapat juga dalam bentuk kebutuhan psikis untuk aktif berbuat. Sementara itu, menurut Wijono (2010), motivasi kerja ialah suatu kesungguhan atau usaha dari individu untuk melakukan pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi di samping tujuannya sendiri. Selanjutnya Tosi dan Carrol (dalam Wijono, 2010 mengemukakan bahwa motivasi kerja berkaitan dengan kepuasan kerja pegawai. Merangkum serangkaian pendapat yang dikemukakan di atas, jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu kebutuhan yang ada dalam diri pegawai yang mendorong untuk berbuat aktif dalam melakukan pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi disamping tujuannya sendiri untuk kepuasan kerja. 50 2.3.3. Teori Motivasi Kerja Dalam penelitian ini, teori motivasi yang digunakan yaitu teori motivasi Alderfer yang merupakan salah satu bagian dalam kelompok teori motivasi isi. Teori ini masih jarang dikembangkan oleh para ahli, namun salah satu teori dalam motivasi isi ini yaitu teori-teori yang menekankan kepada kebutuhan dalam diri seorang. Pada kesempatan ini, akan dijelaskan mengenai teori motivasi isi (Content Theories of Motivation). Mullins (dalam Wijono, 2010) mengemukakan teori-teori motivasi yang tergolong dalam kelompok teori motivasi isi yaitu: a. Hierarki Kebutuhan Maslow Teori ini melihat bahwa individu yang bekerja mempunyai tahap kebutuhan dasar yang akan dicapai dalam pekerjaannya. Maslow (dalam Wijono, 2010) menyusun kebutuhan-kebutuhan manusia dalam lima tingkat yang akan dicapai menurut kepentingannya sebagai berikut: a) Kebutuhan Fisiologis, merupakan kebutuhan akan makan, minum, pernapasan seperti juga tidur dan seks. b) Kebutuhan Keamanan, merupakan kebutuhan akan perlindungan, kestabilan, ketergantungan, bebas dari rasa takut dan ancaman. c) Kebutuhan Sosial, merupakan kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, perhatian dari seseorang. d) Kebutuhan Harga Diri, merupakan kebutuhan akan kekuasaan, berprestasi, kekuatan, nama baik, status dan pengakuan serta penghargaan dari orang lain. e) Kebutuhan Aktualisasi Diri, merupakan kebutuhan untuk mewujudkan diri sebagai seseorang yang unik. 51 Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kebutuhan seseorang seperti yang dijelaskan Maslow merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu dari tingkat kebutuhan yang paling rendah sampai yang tertinggi. Namun dalam kenyataan tidak semua orang yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka berdasarkan tingkatan ini. Selain itu, kebutuhan yang sudah terpenuhi akan berhenti memberikan motivasi. Tetapi kebutuhan yang tidak terpuaskan akan menyebabkan rasa frustrasi, konflik dan stres. b. Teori kebutuhan Berprestasi McClelland Teori ini mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan usaha individu untuk memenuhi kebutuhan individu guna mencapai tingkah laku tertentu dalam merealisasikan prestasi kerja atau kinerja. Tiga motif yang dikemukakan McClelland dalam teori ini yaitu : 1). Kekuasaan, 2). Afiliasi dan 3). Berprestasi yang dapat memberi pengaruh terhadap prestasi kerja atau kinerja (dalam Wijono, 2010). Dengan demikian, berdasarkan teori ini McClelland tidak melihat kebutuhan individu berdasarkan tingkatan tertentu, tapi dengan melihat tiga motif yang ada dalam diri individu yang dapat memprediksi individu dalam melakukan suatu pekerjaan. Selanjutnya, teori motivasi kerja didasarkan pada konsep dasar motivasi menurut Wijono (2010), bahwa konsep motivasi telah dipahami atau diterima karena pertama, fenomena tersebut tidak dapat diperhatikan secara langsung. Sebaliknya, kedua, motivasi adalah suatu proses hipotesis yang dapat disimpulkan dengan cara memperhatikan tingkah laku seseorang, mengukur perubahan-perubahan dalam prestasi atau mengharapkan penjelasan tentang kebutuhan-kebutuhan dan tujuannya. Teori ini lebih tepat disebut teori kebutuhan dari McClelland karena dalam teori McClelland mengemukakan tiga kebutuhan manusia yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement, n Ach), kebutuhan berkuasa (need for 52 power, n Pow), dan kebutuhan berafiliasi atau berhubungan (need for affiliation, n Aff) (dalam Munandar, 2010). c. Teori Kebutuhan ERG Alderfer Teori motivasi ini dikenal sebagai teori ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth, dikembangkan oleh Psikolog Clayton Alderfer. Teori E.R.G. Alderfer ini dibangun diatas beberapa pemikiran Maslow tetapi mengurangi jumlah kebutuhan universal dari lima menjadi tiga kebutuhan yang lebih fleksibel dalam hal gerakan antara tingkat kebutuhan. Maslow mengasumsikan bahwa kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi adalah sebagai motivator, Alderfer menolak pembatasan ini. Menurut teori ERG, kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dapat menjadi motivator bahkan jika kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah tidak sepenuhnya terpuaskan, dan kebutuhan yang lebih dari satu level bisa menjadi motivator setiap saat. Alderfer setuju dengan Maslow bahwa ketika kebutuhan pada tingkat rendah terpenuhi seorang pekerja menjadi termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Namun Alderfer bertentangan dengan Maslow pada konsekuensi dari kebutuhan frustrasi. Maslow mengatakan bahwa sekali kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpuaskan itu tidak lagi menjadi sumber motivasi. Alderfer mengusulkan bahwa ketika seseorang termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi tetapi memiliki kesulitan melakukannya, motivasi seseorang untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat rendah akan meningkat (dalam George & Jones, 2012). Adapun teori motivasi melalui tiga kebutuhan Alderfer (Landy & Trumbo dalam Wijono, 2010) yaitu: a) Kebutuhan Keberadaan (Existence need), meliputi dorongan individu berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik, seperti gaji, keuntungan, 53 keselamatan secara fisik. Kategori kebutuhan tersebut mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan materi bagi diri individu itu sendiri. Jika kebutuhan materi ini tidak terpenuhi individu mempunyai kecenderungan untuk bersaing dengan individu yang lain. Persaingan ini terjadi bila sumber yang diinginkan terbatas dan dalam persaingan tersebut sering kali dapat mengecewakan individu lainnya. Kebutuhan tersebut akan dicapai oleh individu dengan segala macam cara jika memang diperlukan untuk dipuaskan. Demikian kebutuhan ini mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa aman di dalam teori Maslow. Dengan kata lain, kebutuhan ini dipuaskan oleh faktorfaktor seperti makanan, udara, imbalan, dan kondisi kerja. b) Kebutuhan Relasi (Relatedness need), merupakan kebutuhan untuk mengadakan hubungan dan sosialisasi dengan orang lain. Bila dikaitkan dengan organisasi, maka individu akan berusaha untuk dapat membina hubungan dengan orang-orang di lingkungan kerjanya seperti teman kerja (kolega), atasan dan bawahan. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial dan kasih sayang di dalam teori Maslow. Dengan kata lain, kebutuhan ini dipuaskan oleh hubungan sosial dan interpersonal yang berarti. c) Kebutuhan Pertumbuhan (Growth need), mengacu pada kebutuhan yang mendorong individu untuk menjadi orang yang kreatif dan produktif serta berusaha memberikan yang terbaik untuk diri dan lingkungan di mana dia berada. Kepuasan akan pemenuhan kebutuhan hidup ini akan timbul jika individu dapat menyelesaikan masalah dan memuaskan keinginannya untuk dapat mengembangkan potensi diri dan tumbuh secara optimal dalam kehidupannya, seperti dalam keluarga, dan tempat kerjanya misalnya memperoleh kesempatan untuk mengembangkan karier atau meningkatkan diri dalam 54 pengetahuan, keterampilan, dan keahliannya. Kebutuhan pertumbuhan merangkum kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri di dalam teori Maslow. Dengan kata lain, Kebutuhan ini terpuaskan jika individu membuat kontribusi yang produktif atau kreatif. Teori Alderfer menekankan bahwa bila kebutuhan yang lebih tinggi dikecewakan, kebutuhan yang lebih rendah walaupun sudah terpenuhi, muncul kembali. Hal ini berbeda dengan hierarki kebutuhan Maslow yang melihat orang bergerak secara mantap menaiki tangga hierarki kebutuhan sedangkan Alderfer melihat orang naik turun pada hierarki kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Sehubungan dengan pernyataan di atas, Wijono (2010) mengemukakan bahwa Teori ERG menjelaskan bahwa manusia bekerja memenuhi kebutuhan keberadaan, kebutuhan relasi dan pertumbuhan terletak berdasarkan urutan kekonkretannya. Semakin konkret kebutuhan yang rendah dicapai, maka semakin mudah seorang karyawan untuk mencapainya. Kebutuhan yang konkret menurut Alderfer adalah kebutuhan keberadaan yang paling mudah, kemudian kebutuhan relasi dengan orang lain untuk dipenuhi dalam mencapai kepuasan kerja dan prestasi kerja sebelum seseorang mencapai kebutuhan yang lebih kompleks dan yang paling kurang konkret (abstrak), yaitu kebutuhan pertumbuhan. Sementara itu, teori kebutuhan ERG Alderfer ini memberikan dua alasan yang mendasar yaitu pertama, makin sempurna suatu kebutuhan yang paling konkret dicapai/ dipuasi, maka semakin besar kebutuhan yang kurang konkret (abstrak) dipenuhi. Kedua, makin kurang sempurna kebutuhan dicapai, maka semakin besar keinginan untuk memenuhi kebutuhannya agar mendapat kepuasan. Teori ini hampir sama dengan 55 Maslow bahwa orang akan memenuhi kebutuhan termudah lebih dahulu kemudian memenuhi kebutuhan yang lebih sulit (dalam Wijono, 2010). Teori Alderfer merupakan penyesuaian dari teori Maslow yang menyatakan bahwa ada tiga proses dalam model hubungan antara kebutuhan ERG Alderfer yang digambarkan sebagai berikut: Relatedness needs Existence needs Growth needs Keterangan: Satisfaction/progression Frustration/regression Satisfaction/strengthening Gambar 2.3. Teori Kebutuhan Existence, Relatedness, dan Growth Alderfer (Dikutip dari Saal & Knight, 1995:249). 1. Proses pemuasan-progresif (fullfiilment-progression/ satisfaction progression). Pada dasarnya penjelasan tentang fulfillment-progression/ satisfaction-progression sama dengan proses hirarkhi kebutuhan Maslow yang mengatakan bahwa jika individu memuaskan kebutuhan yang lebih konkret, maka tenaga (energi) yang lebih dapat disiapkan untuk memperoleh aspek-aspek kebutuhan yang kurang konkret, sifatnya lebih personal dan sulit dipastikan. Dengan kata lain, seorang pegawai akan memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya sesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dipuasi. Misalnya jika pegawai telah dipuaskan oleh kebutuhan keberadaan (existence need) melalui kebutuhan56 kebutuhan yang bersifat materi dan keamanan dan keselamatan, maka pegawai akan berusaha maju ke kebutuhan relasi (relatedness need). 2. Kekecewaan-kemunduran (frustration-regression) Proses ini adalah kebalikan dari proses yang pertama. Menurut proses ini individu diumpamakan sebagai seorang yang cenderung untuk memenuhi kebutuhan yang lebih konkret jika dirinya tidak dapat memenuhi kebutuhan yang abstrak. Kebutuhan keberadaan (existence need) akan lebih diinginkan seandainya kebutuhan relasi dengan orang lain (relatedness need) tidak dapat dipuaskan. Hal ini karena lebih mudah atau lebih konkret untuk dapat memenuhi kebutuhan yang survival daripada harus membina hubungan dengan orang lain. Selanjutnya individu juga akan mengulang kembali kebutuhan relasi dengan orang lain (relatedness need) jika dirinya tidak mendapat kepuasan dari kebutuhan pertumbuhan (growth need). Hal ini adalah lebih mudah dicapai untuk memperoleh dukungan dan bantuan daripada mengembangkan kemampuan diri sendiri. Singkatnya proses ini dapat mengakibatkan seseorang individu melakukan pengunduran diri untuk memperoleh kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah jika kebutuhan tingkat tinggi tidak dapat dipuaskan. 3. Kepuasan-kekuatan (satisfaction-strengthening) Ada kecenderungan bahwa individu akan mengarahkan tenaganya pada kebutuhan-kebutuhan yang telah berhasil dipuaskan. Pada gambar 2.3. menunjukkan bila seorang telah mencapai pada tingkat kebutuhan relasi dan kebutuhan pertumbuhan maka dapat menghasilkan kekuatan dari kebutuhan yang telah dipenuhi untuk dipuaskan. Dalam teori Alderfer ini, proses ini memungkinkan untuk terus melanjutkan motivasi dari seseorang untuk mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Demikian ada kecenderungan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda dan kebutuhan-kebutuhan tersebut tergantung pada sejauh 57 mana dirinya berhasil memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut (dalam Wijono, 2010; Saal & Knight, 1995). Adapun proses motivasi ERG Alderfer dapat ditunjukkan seperti dalam tujuh pernyataan sebagai berikut: 1). Kebutuhan existence kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya cenderung akan menginginkannya terus; 2). Kebutuhan relatedness kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya cenderung akan menginginkan kebutuhan existence; 3). Kebutuhan existence lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan relatedness; 4). Kebutuhan relatedness kurang terpuaskan oleh inidividu, maka dirinya cenderung akan menginginkan terus; 5). Kebutuhan growth kurang terpuaskan oleh individu, maka dirinya cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan relatedness; 6). Kebutuhan relatedness lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya cenderung akan lebih menginginkan kebutuhan growth; 7) Kebutuhan growth lebih terpuaskan oleh individu, maka dirinya akan lebih menginginkannya terus (dalam Wijono, 2010). Dalam teori kebutuhan ERG oleh Alderfer belum menstimulasi banyak penelitian namun Salancik dan Preffer menyatakan bahwa model seperti Maslow dan Alderfer menjadi populer karena model-model itu sejalan dengan teori lain mengenai pilihan rasional dan karena modelmodel itu mengatribusikan kebebasan individu (dalam Luthans, 2011; Arnolds & Boshoff, 2002). Ide bahwa individu membentuk tindakan mereka untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi memberikan arah dan tujuan pada aktivitas individu. Lebih lanjut, penjelasan mengenai kebutuhan juga merupakan hal yang populer, walaupun hanya terdapat sedikit verifikasi penelitian yang mendukung hal tersebut. Karena teori 58 tersebut sederhana dan dengan mudah mengekspresikan perilaku manusia (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Sejalan dengan itu, penelitian untuk menguji teori ERG Alderfer sangat jarang dan telah memberikan sedikit dukungan yang konsisten untuk teori tersebut, kurangnya minat dalam teori ERG yang kemungkinan karena sebagian untuk beberapa masalah yang ERG yang sama dengan hirarki kebutuhan Maslow di mana kedua teori mengandalkan pada konsep kebutuhan, yang tidak pernah didefinisikan secara operasional untuk kepuasan banyak peneliti (Rauschenbeger, Schmitt & Hunter; Wanous & Zwany, dalam Saal & Knight, 1995). Sementara itu, Arnolds dan Boshoff (2002) mengemukakan bahwa meskipun literatur motivasi telah didominasi oleh ketidakjelasan teoritis namun teori kebutuhan telah menarik minat penelitian karena dianggap sebagai salah satu cara yang paling tepat untuk memahami motivasi. Hal ini sejalan dengan ungkapan Stahl (dalam Arnolds & Boshoff, 2002) bahwa teori-teori kebutuhan telah menjadi fokus dari banyak penelitian dalam motivasi. Menurut Robbins (2001), teori kebutuhan ERG lebih konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan individual di antara orangorang. Variabel seperti pendidikan, latar belakang keluarga, dan lingkungan budaya dapat mengubah pentingnya atau kekuatan dorong yang dipegang sekelompok kebutuhan untuk seorang individu tertentu. Bukti yang memperlihatkan bahwa orang-orang dalam budaya-budaya lain memeringkatkan kategori kebutuhan secara berbeda misalnya, pribumi Spanyol dan Jepang menempatkan kebutuhan sosial sebelum persyaratan faali-yang konsisten dengan teori kebutuhan ERG. Di tambahkan pula oleh Robbins bahwa secara keseluruhan teori kebutuhan ERG menyatakan suatu versi yang lebih valid dari hirarki kebutuhan sedangkan McClelland lebih menekankan pada teori kebutuhan berprestasi. Sejalan dengan itu, 59 Saal dan Knight (1995) mengemukakan bahwa teori ERG Alderfer lebih canggih (more sophisticated) daripada hirarki kebutuhan Maslow karena memungkinkan untuk mengulang terhadap kebutuhan yang lebih dasar, ERG lebih kompatibel dengan pengalaman nyata kebanyakan dari orang yang bekerja. Sementara itu, menurut Trivellas, Kakkos, dan Reklitis (2010) bahwa keunggulan teori Alderfer yang berasal dari orientasi spesifikasi pekerjaan yang tercermin terutama oleh pembayaran untuk tunjangan, kebutuhan akan hubungan dari rekan kerja dan atasan dan kebutuhan untuk bertumbuh atau berkembang dalam pekerjaan sehingga menghasilkan kepuasan di tempat kerja. Dari berbagai teori motivasi yang dikemukakan di atas maka, dalam penelitian ini penulis menggunakan teori motivasi ERG oleh Alderfer. Hal ini karena teori motivasi ERG oleh Alderfer merupakan teori kebutuhan yang sangat revelan dengan kepuasan kerja pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang. 2.3.3. Aspek-aspek Motivasi Kerja Menurut McClelland (dalam Wexley & Yukl, 1989), ada tiga dimensi yang menunjukkan motivasi kerja, yaitu : a). Motif berprestasi. Seorang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendapat kepuasan dari pengalaman sukses dalam menyelesaikan tugas yang sulit, atau mengembangkan cara penyelesaian yang lebih baik. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang kuat akan lebih memilih tugas yang hasilnya tergantung dari usaha dan kemampuannya daripada faktor keberuntungan yang berada di luar kendalinya. Bagi mereka feedback juga merupakan sarana untuk mengetahui seberapa baik/ kualitas pekerjaan mereka sehingga mereka 60 dapat menikmati pengalaman demi pengalaman dalam menciptakan dan mencapai tujuan. Mereka juga menikmati kompetisi dengan orang lain atau rekan kerja dalam mengerjakan sesuatu yang belum pernah mereka kerjakan sebelumnya. b). Motif afiliasi. Pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan rekan kerja dan hubungan interpersonal yang baik, di mana terdapat kasih sayang, keharmonisan, dan perhatian yang saling memberi dan menerima. Bagaimanapun juga kekuatan dari kebutuhan ini berubah-ubah setiap orangnya. Seseorang dengan kebutuhan afiliasi yang kuat akan sangat memperhatikan apakah ia disukai dan diterima dan juga sensitif sebagai isyarat yang mengidentifikasikan penolakan dan penerimaan dari orang lain. Individu ini akan menemukan kenyamanan yang luar biasa di dalam interaksi sosial dan rekan kerja. c). Motif kekuasaan. Seseorang yang memiliki kebutuhan kekuasaan memiliki keinginan yang besar untuk memengaruhi orang lain, ia juga mendapat kepuasan yang besar pada saat memengaruhi orang lain. Di dalam setiap kelompok, individu juga berkeinginan untuk memberi pengarahan kepada orang lain. Selain itu, menurut Alderfer (dalam Shouksmith, 1989; Arnolds & Boshoff, 2002), ada tiga aspek yang menunjukkan motivasi kerja yang didasarkan pada tiga kebutuhan, yaitu: a). Kebutuhan keberadaan (Existence need) Kebutuhan keberadaan meliputi berbagai macam tingkat dorongan yang berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik, seperti gaji, keuntungan, keselamatan secara fisik. Dalam hal ini lebih diaplikasikan sebagai alasan seseorang untuk bekerja. Alasan 61 seseorang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar yaitu kebutuhan makan, tempat tinggal, kebutuhan yang menyenangkan, serta kebutuhan hidup lainnya. Secara spesifik, kebutuhan keberadaan berkaitan dengan kebutuhan terhadap gaji dan tunjangan tambahan (fringe benefits) yang dibutuhkan pegawai ketika memilih untuk bekerja. b). Kebutuhan relasi (Relatednes need). Kebutuhan relasi ini menekankan pada pentingnya hubungan sosial atau hubungan antar pribadi. Kebutuhan ini dapat dipuaskan melalui hubungan dengan keluarga, teman, supervisor/ atasan, bawahan, dan rekan kerja. Bila dikaitkan dalam pekerjaan bahwa pegawai yang bekerja tidak hanya memperoleh gaji dan tunjangan tambahan saja namun pegawai membutuhkan suatu hubungan atau relasi untuk berkomunikasi dengan atasan dan sesama rekan kerja dalam membantu mencapai kepuasan kerja. Secara spesifik, kebutuhan relasi berkaitan dengan kebutuhan dalam hubungan dengan atasan dan kebutuhan dalam hubungan dengan rekan kerja. c). Kebutuhan pertumbuhan (Growth need). Kebutuhan pertumbuhan meliputi keinginan seseorang untuk menjadi kreatif, sehingga dapat berguna dan memberi kontribusi yang produktif dan memiliki kesempatan untuk pengembangan pribadi. Bila dikaitkan dalam pekerjaan, pegawai yang bekerja tidak hanya memperoleh gaji dan tunjangan tambahan, hubungan antar pribadi namun pegawai membutuhkan suatu pertumbuhan dalam bekerja dengan belajar sesuatu yang baru dalam pekerjaan, menggunakan kemampuan untuk bekerja, membuat satu keputusan atau lebih setiap hari dan melakukan hal-hal yang menantang di tempat kerja. Dengan melihat dan memahami kebutuhan karyawan maka motivasi kerja karyawan akan 62 meningkat sehingga pegawai dapat memperoleh kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja kerja dengan baik. Adapun aspek motivasi kerja yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori motivasi kerja dari Alderfer (dalam Arnolds & Boshoff, 2002). Ketiga aspek motivasi kerja tersebut ialah kebutuhan akan keberadaan (existence need), kebutuhan akan relasi (relatednes need) dan kebutuhan akan pertumbuhan (growth need) yang sangat bersinergi dengan kepuasan kerja yang merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Sementara itu, pada aspek-aspek motivasi kerja oleh McClelland lebih berpengaruh atau berkorelasi dengan kinerja atau produktivitas kerja. Selain itu, sejauh penelusuran penulis mengenai motivasi kerja yang dikembangkan oleh Alderfer masih jarang untuk mendapat perhatian oleh peneliti sebelumnya sehingga hal ini menarik penulis untuk menelitinya. Demikian hal ini akan sangat membantu dalam mengungkap data penelitian mengenai motivasi kerja yang berpengaruh dengan kepuasan kerja pegawai negeri sipil di instansi pemerintah pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang. 2.3.4. Peran Motivasi Kerja Dalam dunia kerja di organisasi apapun, termasuk organisasi pemerintah, motivasi kerja seseorang pegawai terhadap organisasi seringkali menjadi isu yang sangat penting. Dengan memiliki motivasi kerja maka pegawai dapat bekerja dengan lebih baik melalui untuk mencurahkan segala kemampuan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pemenuhan kebutuhannya dalam organisasi. Ishak (dalam Irja, 2008) mengemukakan peran motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja sehingga kepuasan kerja dan produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, pegawai memiliki motivasi dalam pekerjaan akan dapat 63 menyelesaikan tepat waktu sesuai standart yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan sehingga karyawan akan senang melakukan pekerjaannya. Demikian sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul bagi karyawan mempunyai motivasi sehingga melakukannnya dengan bekerja keras. Sementara itu, Remi, Adegoke, dan Toyosi (2011) mengutarakan bahwa motivasi sangat penting dalam organisasi karena bermanfaat dalam membangun kemauan dalam diri karyawan untuk bekerja, meningkatkan tingkat efisiensi di mana tingkat untuk karyawan tidak hanya tergantung pada kualifikasi dan kemampuannya tetapi adanya kesenjangan antara kemampuan dan kemauan yang membantu dalam meningkatkan kepuasan kerja dan tingkat kinerja karyawan yang pada peningkatan produktivitas. Di tambahkan pula oleh Remi dkk., (2011) bahwa motivasi merupakan faktor penting yang membawa kepuasan kerja pegawai. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga ke dalam pikiran dan membingkai sebuah rencana insentif untuk kepentingan karyawan yaitu berupa insentif moneter dan non moneter, peluang promosi bagi karyawan dan disinsentif bagi karyawan yang tidak efisien dan efektif, membangun kerjasama untuk stabilitas organisasi, mengurangi kerusuhan karyawan, penyesuaian karyawan mengenai perubahan untuk membantu dalam memberikan perhatian yang baik untuk kepentingan karyawan dan mengarah pada tujuan organisasi sehingga meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas kerja yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson dkk., (1996) bahwa motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan/ mengarahkan perilaku, atau suatu proses di mana perilaku diberikan energi dan diarahkan. 64 Selain itu, Grasberger dan Synder (2004) mengemukakan bahwa motivasi amatlah penting dalam organisasi karena berasal dari dalam diri karyawan untuk berusaha memenuhi kebutuhan melalui pekerjaan mereka dan melalui hubungan mereka dengan organisasi sebagai motivasi kerja untuk meningkatkan kepuasan kerja. Demikian motivasi kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja melalui perasaan positif dan menyenangkan terhadap pekerjaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Naeem, Sentosa, Nejatian, dan Piaralal (2009) bahwa karyawan yang termotivasi dalam pekerjaan akan menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi melalui pemenuhan kebutuhan yang dominan dan memiliki pengaruh besar sebagai bagian yang penting dari kehidupannya dan berpengaruh dalam situasi pekerjaan. Berdasarkan penjelasan di atas didukung dalam penelitian Adigun dan Stephenson (2001) menemukan motivasi kerja berpengaruh signfikan terhadap kepuasan kerja di antara karyawan Amerika dan Nigeria. Demikian juga penelitian Kakkos, Trivellas, dan Fillipou (2010) membuktikan bahwa motivasi kerja melalui tiga aspek kebutuhan oleh teori Alderfer berpengaruh signfikan terhadap kepuaasan kerja karyawan yang berjumlah 143 karyawan sektor perbankan di dua bank di Yunani. 65 2.4. HASIL-HASIL PENELITIAN TERDAHULU 2.4.1. Iklim Organisasi Sebagai Prediktor Terhadap Kepuasan Kerja Iklim organisasi merupakan suatu persepsi pegawai mengenai keadaan atau ciri-ciri atau sifat-sifat yang menggambarkan suatu lingkungan psikologis organisasi yang dirasakan oleh pegawai yang bekerja dalam lingkungan organisasi. Singh dkk., (2011) mengemukakan bahwa iklim organisasi adalah iklim psikologis dalam organisasi sehingga definisi dari iklim psikologis adalah tepat karena mengacu pada persepsi yang dimiliki oleh individu tentang situasi kerja. Iklim organisasi dan kepuasan kerja adalah konstruksi yang berbeda tetapi terkait (AlShammari; Keuter, Byrne, Voell & Larson, dalam Castro & Martins, 2010). Iklim organisasi difokuskan pada organisasi/ atribut kelembagaan yang dirasakan dan dipersepsikan oleh anggota organisasi, sedangkan kepuasan kerja merupakan perasaan karyawan baik positif maupun negatif mengenai pekerjaannya. Dengan demikian apabila pegawai merasa bahwa iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik maka akan dapat meningkatkan kepuasan kerja para pegawai untuk bekerja lebih baik. Pentingnya iklim organisasi berpengaruh kepada kepuasan kerja dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Adenike (2011) kepada 293 staff karyawan akademik yang bekerja di universitas swasta, Nigeria menemukan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r=0.671, p<0.01). Penelitian Meeusen dkk., (2011) juga menemukan ada korelasi yang positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja perawat ahli anestesi di Belanda dengan sumbangan kepuasan kerja sebesar 20%. Sementara itu, Sari (2009) dalam penelitiannya kepada 60 karyawan menemukan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan 66 kepuasan kerja karyawan administrasi di British International School dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,714 dengan p-value= 0.000. Hasil tersebut dikatakan bahwa iklim organisasi yang diciptakan, antara lain dengan menerapkan hari kerja dan jam kerja yang lebih rendah dari organisasi lain sehingga iklim kerja yang rileks dapat dinikmati oleh karyawan yang mendukung karyawan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan melalui pekerjaannya yang akhirnya menciptakan situasi kerja yang kondusif yang berdampak pada meningkatnya kepuasan kerja karyawan. Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Hartuti (2006) dengan menggunakan pengamatan (observation), wawancara (interview), daftar pertanyaan (quistionaire) dan studi dokumentasi kepada pegawai administrasi yang berstatus pegawai negeri sipil pada Biro Pusat Administrasi Universitas Sumatera Utara menemukan hasil bahwa secara simultan terdapat pengaruh yang signifikan tinggi antara iklim organisasi terhadap kepuasan kerja sebesar 79,6% sedangkan secara parsial iklim organisasi paling dominan yaitu sebesar 30,9% memengaruhi kepuasan kerja pegawai. Pengaruh yang signifikan tinggi ditunjukkan dengan nilai Fhitung 107.146 > Ftabel 2.044 pada tingkat signifikansi 0.000 < 0.05. Hal ini diartikan bahwa tanpa adanya iklim organisasi yang baik dalam organisasi, akan mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja pegawai, atau semakin baik iklim organisasi, maka akan semakin meningkat kepuasan kerja pegawai hal ini dikarenakan iklim organisasi terlah berpihak pada pegawai dan berorientasi pada pegawai, sehingga menimbulkan kegairahan pegawai untuk memperoleh kepuasan dalam bekerja. Sejalan dengan hal itu, penelitian Kabes’s (dalam Xiaofu & Qiwen, 2007) juga telah menemukan hubungan yang positif signifikan antara iklim sekolah dengan kepuasan kerja guru. Sementara itu, penelitian Keuter, Byrne, Voell dan 67 Larson (2000) membuktikan ada korelasi yang positif signifikan antara iklim organisasi secara keseluruhan dengan kepuasan kerja perawat di Amerika Serikat (r = .61, p <.01) di mana empat dimensi iklim organisasi yang terdiri dari struktur organisasi, dukungan, standar, dan status profesional dilaporkan berkorelasi signifikan secara keseluruhan dengan kepuasan kerja. Dalam suatu kesempatan, penelitian Sudiyanto (2010) menemukan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai di Badan Pusat Statistik kabupaten Purworejo dengan koefisien regresi sebesar 0,484 dengan taraf signifikansi 0,000. Hal senada diungkapkan pula oleh Kaya, Koc, dan Topcu (2010) dalam hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa iklim organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan Bank di Turki. Penelitian Widianingtanti (2007) kepada 113 karyawan perusahaan di Semarang yang berstatus karyawan tetap menemukan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pada karyawan, artinya apabila iklim organisasi semakin baik maka kepuasan kerja karyawan akan semakin tinggi dan buruknya iklim organisasi menyebabkan semakin rendah kepuasan kerja karyawan. Penelitian Ahmad, Ahmad, Ahmed, dan Nawaz (2010) menemukan adanya hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan farmasi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Ghaseminejad, Siadat, dan Nouri (2005) kepada 115 guru di kabupaten Shahrecord, Iran menemukan ada hubungan yang positif signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja guru (r = 0.623, sig = 0.000) yang artinya semakin kondusif iklim organisasi di sekolah maka semakin tinggi pula kepuasan kerja guru. 68 Dalam suatu kesempatan yang lain pula, penelitian Castro dan Martins (2010) kepada 696 karyawan yang bekerja di organisasi informasi dan teknologi di Afrika Selatan menemukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r = 0.813, p < 0.01). Demikian juga penelitian Wahat (2009) menyimpulkan ada hubungan yang positif dann signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r = 0.676, p < 0.05). Senada dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dan Utomo (2006) kepada 60 guru menyatakan ada hubungan atau pengaruh yang positif signifikan antara iklim organisasi sekolah dengan kepuasan kerja guru pada SMA Negeri di Kota Madiun dengan koefisien regresi 0,292 dengan taraf signifikansi 0,000. Hasil penelitian Widiani (2010) menunjukkan bahwa terdapat kontribusi yang sangat signifikan antara persepsi iklim organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal ini diketahui dari nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,630 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01). Kemudian hasil penelitian Sangkan (2005) menemukan adanya hubungan positif signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Serawak, Malaysia (r= 0,571, p > 0.000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi nilai iklim organisasi maka semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawan. Penelitian Andriani dkk., (2004) kepada 100 karyawan Bank Mandiri di kota Malang membuktikan iklim organisasi berpengaruh langsung secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dengan hasil uji regresi β = 0,686, thit = 8,940 dengan p=0,000 < 0,05. Adapun sumbangan efektif iklim organisasi terhadap kepuasan kerja sebesar 23,4%. Dikatakan bahwa dengan adanya iklim organisasi yang sehat dan kondusif memengaruhi kepuasan kerja, di mana kondisi tersebut tentuya diikuti dengan peningkatan kepuasan kerja karyawan sedangkan apabila iklim dipandang positif oleh karyawan maka diharapkan sikap dan 69 perilaku yang ditimbulkan juga postif. Prasaja (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan PT. KAI Persero Stasiun Kota Malang. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja, dengan nilai r = 0,484 (p = 0,000), Sementara itu, penelitian Rahwidiharto (2003) menyimpulkan hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai di lingkungan kantor sekretariat kabinet (r = 0,436, p 0,000, thit = 4,024 > ttab = 2,42) sehingga disimpulkan bahwa makin baik iklim organisasi pegawai dalam bekerja, makin tinggi kepuasan kerja pegawai. Sedangkan penelitian Obadara (2008) membuktikan adanya pengaruh iklim organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan baik pengajar maupun staff akademik yang bekerja di 10 universitas di selatan barat Nigeria dengan nilai koefisien regresi 0,596, nilai beta sebesar 0,081, thit 2,342 dengan signifikansi 0,005 <0,05 sehingga disimpulkan bahwa karyawan yang bekerja di organisasi merasakan iklim organisasi yang positif signifikan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal tersebut senada pula diungkapkan oleh Arani dan Abbasi (2004) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa iklim organisasi sekolah mempunyai hubungan positif signifikan terhadap kepuasan kerja guru di Iran dan India. Selain itu, dalam penelitian Frimansah dan Santy (2009) terhadap 100 orang pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi menemukan iklim organisasi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kepuasan kerja. Hal ini ditunjukkan dalam hasil uji thit sebesar 5,575 dengan tingkat signifikansi p =0,000 < 0,05. Demikian pula senada dalam penelitian Bhaesajsanguan (2010) ditemukan hasil nilai koefisien regresi sebesar 0.81 pada taraf signifikansi p<0.01 yang berarti iklim organisasi berpengaruh langsung dengan kepuasan kerja karyawan 70 teknisi telekomunikasi pada perusahaan swasta di Thailand. Sementara itu, penelitian Pangil, Yahya, Johari, Isa, dan Daud (2011) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa iklim organisasi berpengaruh positif signifikan dengan kepuasan kerja pegawai pada instansi pemerintah di Malaysia. Sementara itu, penelitian Ella dan Asuquo (2010) juga menyatakan bahwa iklim organisasi yang dipersepsikan perawat memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja perawat dengan nilai korelasi 0,725 dengan signifikansi 5%. Hasil ini dikarenakan kebijakan pemimpin perawat yang terus melibatkan para perawat dengan program seminar, lokakarya yang membuat iklim organisasi yang dirasakan kondusif bagi kepuasan kerja mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Church (1995) menemukan iklim organisasi yang ada dalam kelompok kerja memberikan pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan dan semangat tim dalam organisasi. Selanjutnya, Bemana (2011) dalam penelitiannya menemukan pengaruh yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja karyawan Shiraz Municipality Personnel di Iran dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.30 pada taraf signifikansi p<0.01. Hal ini sejalan pula dengan penelitian Xiaofu dan Qiwen (2007) menemukan adanya hubungan yang positif signifikan antara iklim organisasi sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP di China. Temuan lain juga diperoleh dalam penelitian oleh Suhanto (2009) menemukan ada pengaruh yang positif antara iklim organisasi dengan kepuasan karyawan Bank Internasional Indonesia (BII). Dari hasil penelitiannya diketahui nilai CR (Critical Ratio) sebesar 4,539 dengan probabilitas sebesar 0,001. Kemudian hasil penelitian oleh Runtu dan Widyarini (2009) menemukan kontribusi iklim organisasi dan stres kerja terhadap kepuasan kerja perawat bagian rawat inap rumah sakit di Jakarta Timur. Hal ini terlihat melalui 71 koefisien determinasi (r2) sebesar 0,85 yang berarti bahwa iklim organisasi dalam rumah sakit memberikan sumbangan efektif sebesar 8.5% terhadap kepuasan kerja perawat. Lebih lanjut, penelitian Satria (2005) kepada 300 karyawan (dosen dan administrasi) tetap di Universitas Muhammadiyah Surakarta menemukan bahwa ada hubungan positif signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja (r = 0,183, p 0,000 sehingga p<0,01). Hal senada pula dalam penelitian Latif, Thiangchanya, dan Nasae (2010) menemukan adanya hubungan positif signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja perawat di rumah sakit pemerintah Bangladesh dengan sampel 126 perawat di dua rumah sakit medical college (r= 0.53. p<0.01) dengan memperhatikan administrasi dan pembuat kebijakan lembaga kesehatan kepada perawat maka dapat menciptakan dan memelihara iklim organisasi yang positif dan menyenangkan sehingga berkontribusi dalam meningkatkan kepuasan kerja perawat di Bangladesh. Sementara itu, penelitian Moody (1996) mengenai kepuasan kerja perawat yang menjadi pengajar di 45 fakultas keperawatan, di mana hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja berupa upah, kesempatan promosi, rekan kerja, pekerjaan dan supervisi. Penelitian yang dilakukan Handriana (2002) kepada karyawan tetap (Pegawai Negeri Sipil/PNS) di Universitas Airlangga Surabaya menyatakan bahwa iklim organisasi secara keseluruhan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Pengaruh positif signifikan ditunjukkan dengan nilai Fhitung 24.226 > Ftabel 2.4675 pada tingkat signifikansi 0.001 < 0.05. Kemudian menurut Church, Hurley, dan Burker (1992) ada bermacam tipe perilaku yang terdiri dari manajer senior, atasan langsung, dan anggota kelompok kerja yang tak lain merupakan elemen-elemen pendukung kondusifitas iklim organisasi secara 72 signifikan memengaruhi kepuasan kerja pegawai. Penelitian Bhutto, Laghari, dan Butt (2012) menemukan iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal ini terlihat dengan nilai F sebesar 7.920 pada taraf signifikansi 0,000 (p<0,05) dan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,61 yang berarti bahwa iklim organisasi memberikan sumbangan efektif sebesar 6.1% terhadap kepuasan kerja karyawan bank. Sebaliknya hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Temitope (2010) tentang pengaruh iklim organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai sipil di organisasi publik, Ekiti State dengan sampel 120 pegawai menemukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja. Hal ini terlihat dari uji koefisien regresi untuk variabel iklim organisasi dengan nilai β sebesar -0,116, thitung sebesar -1.13 dan nilai probabilitas sebesar 0,05. Dalam simpulannya menyatakan kemungkinan iklim organisasi yang tercipta dalam suatu organisasi tidak benar-benar memprediksi untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai selama ada masa perubahan yang terjadi dalam organisasi. Hal senada diperkuat oleh penelitian Mulyanto dan Suryani (2010) yang menyimpulkan iklim organisasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kepuasan kerja guru SD di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar dengan koefisien regresi sebesar -0,316 dan nilai signifikansi sebesar 0,172 > 0,05. Selanjutnya, penelitian Julius (dalam Badoni, 2010) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja di antara operator telepon. Hal senada pula ditemukan dalam penelitian Fahrani (2011) membuktikan iklim organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan PT. Semen Gresik dengan koefisien regresi -0,048, C.R.= -0,516 dan p-value 0,606. Hal ini 73 menunjukkan bahwa iklim organisasi yang terjadi tidak cukup kuat meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang tinggi. Ditambahkan pula oleh Wirawan (2007) bahwa pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku organisasi dapat bersifat positif dan negatif. Misalnya, ruang kerja yang tidak baik, hubungan atasan, bawahan yang konflik, dan birokrasi yang kaku dapat menimbulkan sifat negatif, stres kerja tinggi serta motivasi dan kepuasan kerja yang rendah. Sebaliknya jika karyawan bekerja di ruangan yang nyaman dan bersih, hubungan atasan dan bawahan yang kondusif, dan birokrasi yang longgar akan menimbulkan sikap positif, stres kerja rendah, serta motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah di kemukakan di atas, ditemukan adanya perbedaan dalam hasil-hasil penelitian tersebut dan sejauh penelusuran penulis masih jarang dilakukannya penelitian pada lembaga atau instansi pemerintah. 2.4.2. Motivasi Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kepuasan Kerja Dalam melaksanakan pekerjaan di organisasi apapun, seorang pegawai membutuhkan motivasi untuk bekerja sebagai kekuatan yang mendorong dari dalam diri individu untuk menggerakkan atau mengarahkan dalam berperilaku untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya dengan bekerja keras, menjalin hubungan antar pribadi dan bertumbuh dalam pekerjaan sehingga dapat mencapai kepuasan kerja dan menghasilkan efektivitas, produktivitas dan hasil kerja yang efektif, baik bagi diri individu maupun bagi sebuah organisasi. Semakin terpenuhinya dorongan kebutuhan untuk memotivasi kerja pegawai maka dapat menghasilkan kepuasan kerja pegawai. Ahmed dan Islam (2011) mengemukakan bahwa ada hubungan atau pengaruh antara motivasi dengan kepuasan kerja yang merupakan hal pokok penting dari setiap 74 keberadaan organisasi meskipun selalu ada kebingungan antara konsep motivasi dengan kepuasan kerja. Sementara itu, Gibson dkk., (dalam Peretomode, 1991) mengungkapkan bahwa motivasi dengan kepuasan kerja merupakan kedua hal istilah yang saling terkait tetapi tidak sinonim. Hal ini juga di dukung oleh Mullins (dalam Absar, Azim, Balasundaram, & Akhter, 2010) yang mengemukakan bahwa motivasi berhubungan erat dengan kepuasan kerja karena motivasi merupakan proses untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai. Pentingnya motivasi kerja dengan kepuasan kerja di dukung dalam penelitian yang dilakukan oleh Ayub dan Kafif (2011) tentang hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja di man, menemukan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja kepada 80 manajer Bank yang di Pakistan r=0.563 dengan signifikansi p=0.000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa manajer merasa termotivasi oleh karena lingkungan kerja yang baik dengan rekan kerja, tugas yang menarik, umpan balik serta kompensasi sebagai uang dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan keamanan, tetapi juga kebutuhan yang lebih canggih seperti kebutuhan akan pengakuan. Mamik (2009) melakukan penelitian kepada 100 karyawan bagian operasional pada industri kertas yang ada di Jawa Timur yang membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.351 dengan nilai signifikansi 0,000. Gunawan (2009) menemukan pengaruh positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan PT Sumber Sehat Semarang. Hal ini di tunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.386 dengan signifikansi sebesar 0,008. Demikian pula penelitian Triningsih (2006) menyimpulkan motivasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja guru dan karyawan dengan koefisien regresi sebesar 0,434 75 dengan thitung = 3.734 > ttabel (1.67) dan sumbangan determinasi sebesar 18.8% sehingga dikatakan semakin tinggi pemberian motivasi kerja sesuai dengan kebutuhan gaji atau penghasilan, minat, kebutuhan rasa aman, hubungan interpersonal dan kesempatan untuk berkembang maka dapat menghasilkan kepuasan kerja guru dan karyawan SMP Negeri 30 Semarang. Selain itu penelitian oleh Saleem dkk., (2010) menemukan adanya hubungan positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja kepada 30 karyawan di dua organisasi dalam sektor telekomunikasi di Pakistan dengan koefisien korelasi r= 0.263 pada taraf signifikansi 1%. Secara keseluruhan karyawan merasa puas dengan pekerjaan mereka dan memiliki minat dalam pekerjaan mereka. Penelitian Kartika dan Kaihatu (2010) kepada 72 karyawan yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan di Pakuwon Food Festival. Hasil peneltian tersebut terlihat dari nilai koefisien regresi sebesar 3,326 pada taraf signifikansi 0.001 dan diketahui kontribusi variabel motivasi kerja terhadap kepuasan kerja hanya sebesar 13.6%. Sejalan dengan itu, penelitian Ukeh dan Kwahar (2012) kepada 144 pegawai menemukan pengaruh motivasi yang positif signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai pemerintah lokal Goboko di Nigeria. Hal ini dilihat dari nilai r square sebesar 0.270, dengan nilai regresi motivasi intrinsik sebesar 0.233 dan motivasi ekstrinsik 0.378 terhadap kepuasan kerja. Sementara itu, penelitian Nisaa (2009) membuktikan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan divisi layanan Bisnis Syariah PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, Jakarta (r = 0.532, p 0.004<0.05). Hal senada pula diungkapkan dalam penelitian Kakkos dkk., (2010) kepada 143 karyawan bank di Yunani yang menyimpulkan adanya pengaruh yang signifikan 76 positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya motivasi kerja maka kepuasan kerja akan meningkat. Penelitian Subyantoro (2009) menemukan motivasi kerja berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kepuasan kerja pengurus Koperasi Unit Desa di kabupaten Sleman. Hasil penelitian tersebut terlihat dari koefisien path sebesar 0,258 (positif), uji signifikansi koefisien ini diperoleh nilai C.R sebesar 2,491 dan p = 0,013. Karena nilai C.R = 2,491 > 1,96 pada taraf signifikan 5%. Penelitian Surodilogo (2010) menemukan pengaruh positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan PT Sumber Sehat Semarang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,386 dengan signifikansi sebesar 0,008. Penelitian Ahmed dan Islam (2011) kepada 400 karyawan (baik akademis dan staf administrasi) pada lembaga pendidikan tinggi di Pakistan. Hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan positif dan signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja (r = 0.552, p <0.01). Hal tersebut menyimpulkan bahwa karyawan yang termotivasi akan puas dengan pekerjaan mereka karena mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Sementara itu, Afriyantie (2011) dalam penelitiannya kepada 85 pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah menemukan ada pengaruh positif dan signifikan motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan pegawai. Hasil penelitiannya dibuktikan dengan hasil output SPSS yaitu Y= 4.557 + 0.291 X1+ 0.190 X2 + 0.509 X3 yang berarti motivasi kerja, kepemimpinan, dan budaya organisasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Sedangkan hasil koefisien determinasi antara motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi memengaruhi kepuasan kerja pegawai dengan nilai R = 0.685 dan distribusi frekuensi sebesar 23.870. 77 Penelitian Thomas (2010) juga menemukan hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru. Hal senada pula ditemukan dalam penelitan Suliman dan Sabri (2009) bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan rumah sakit sektor publik di UAE. Selanjutnya penelitian Khalid, Salim, dan Loke (2011) kepada 351 karyawan yang bekerja pada organisasi publik dan swasta di bidang industri penyediaan air minum di Malaysia. Hasil penelitiannya menyimpulkan ada pengaruh yang positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan pada kedua organisasi publik dan swasta (β=0.63, p<0.05). Adapun hasil pada organisasi publik (β=0.62, p<0.05) dan organisasi swasta (β=0.59, p<0.05). Setyawan (2005) dalam penelitiannya kepada 102 pegawai dilingkungan Pemkab Temanggung dari eselon III (tiga) dan IV (empat). Dari pengolahan data diketahui bahwa nilai CR (Critical Ratio) untuk hubungan antara motivasi kerja dengan variabel kepuasan kerja adalah sebesar 2.258 dengan nilai p (Probability) sebesar 0.024. Kedua nilai ini menunjukkan hasil yang memenuhi syarat, yaitu diatas 2.00 untuk CR (Critical Ratio) dan dibawah 0.05 untuk nilai p (Probability). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Penelitian Pool (1997) menemukan adanya hubungan positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan (r = 0.571, p<0.001). Lebih lanjut, penelitian Dartono (2005) membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh secara signiikan terhadap kepuasan kerja dengan koefisien regresi 0.445, t = 4.608, sig 0.000. Senada dengan hal itu, penelitian Sarita (2009) menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja auditor dengan 78 regresi 0.514, t = 4.989, sig 0.000 < 0.05. Sementara itu, dalam penelitian Gunawan (2009) kepada 110 Kepala lembaga prekreditan desa (LPD) menyimpulkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dengan koefisien regresi sebesar 0.715. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi kerja seseorang menyebabkan semakin tingginya kepuasaan kerja. Selanjutnya penelitian Risambessy, Swasto, Thoyib, dan Astuti (2011) menemukan motivasi melalui tiga aspek kebutuhan Alderfer berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi 0,548, nilai thitung = 5.324, dan nilai p value = 0.000 (<0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa memiliki motivasi kerja akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Namun hasil penelitian yang berbeda yang dilakukan Budiyanto dan Oetomo (2011) menemukan bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja PNS yang bekerja pada pemerintah kabupaten Magetan, Jawa Timur (nilai t-statistic = 0.791 <1.96.) di mana terbukti 96,8% pegawai merasa kurang puas dengan pekerjaan itu sendiri karena pekerjaan ini relatif mudah untuk dilakukan dan tidak bervariasi (membosankan), kurang menyenangkan, dan kurang relevan dengan keahlian mereka/ pengalaman dan harapan. Kondisi kerja tersebut tidak memotivasi pegawai dalam pekerjaan mereka sehingga tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Selain itu, penelitian Ekayadi dan Mukodim (2009) menemukan motivasi mempunyai nilai t hitung sebesar 1.315 yang lebih kecil dari t tabelnya dengan nilai α = 5% yaitu sebesar 1.725 karena lebih kecil dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kepuasan karyawan, hal tersebut dapat disebabkan karena karyawan motivasi tidak cukup meningkatkan kepuasan kerja terhadap pekerjaannya, dalam hal ini antara 79 lain pengakuan dari pimpinan, tanggung jawab terhadap pekerjaannya, kesempatan, pengembangan keterampilan dan kemampuan. Hal senada pula dalam penelitian Arifin (2005) yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan di PT SAT Nusa Persada, Batam. Hal ini diperkuat dengan nilai koefisien jalur 0.301, thit 1.842 dengan nilai sign. p=0.065>0.05. Hal ini dikarenakan motivasi kerja karyawan melalui kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai keahilan dan kemampuan karyawan diabaikan sehingga tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Hasil penelitian Firdaus (2011) menyimpulkan bahwa motivasi kerja mempunyai pengaruh kecil terhadap kepuasan kerja karyawan UD Karya Jati Jombang dengan nilai -0.104 sehingga diindikasikan motivasi kerja karyawan melalui kebutuhan afiliasi, kebutuhan kekuasan dan berprestasi yang diterima dalam bekerja masih kurang untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, Peretomode (1991) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki motivasi kerja tinggi kemungkinan juga tidak puas dengan pekerjaannya. Namun Ifinedo (2003) berpendapat bahwa seorang karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi mampu memberikan kontribusi lebih untuk mencapai hasil yang diinginkan organisasi dan sebagian besar puas dengan pekerjaannya. 2.4.3. Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kepuasan Kerja Penelitian Mufidayati (1998), tentang analisis hubungan iklim organisasi dan motivasi dengan kepuasan kerja tenaga kependidikan pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri. Dalam penelitian ini diperoleh data dengan nilai r= 0.600, R2 = 0.36, F = 10.39, di mana nilai tersebut berada pada taraf signifikan α = 0.00 < 0.05, nilai determinasi R2 80 = 0.36% yang diketahui bahwa sumbangan iklim organisasi dan motivasi terhadap kepuasan kerja sebesar 36% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel iklim organisasi dan motivasi secara simultan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja tenaga kependidikan pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri. Penelitian tersebut di atas, di dukung oleh Aridiana (2007), yang meneliti tentang hubungan antara persepsi perawat iklim organisasi dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja perawat di BPKM RSU Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisa pengujian secara simultan diketahui bahwa variabel iklim organisasi dan motivasi kerja mempunyai hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi perawat terhadap iklim organisasi dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kepuasan kerja perawat di BPKM RSU Ngudi Waluyo Wlingi (r=0.734, p=0.000 < p=0.05 R²=0.539). Peranan iklim organisasi dan motivasi kerja merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan tujuan organisasi. Motivasi lebih berperan sebagai faktor personal dari pegawai dalam bekerja, sedangkan iklim organisasi berperan sebagai faktor situasional atau eksternal. Kombinasi dari kedua faktor ini (motivasi dan iklim) pada aktivitas pegawai dalam organisasi sangat penting khususnya dalam kaitannya dengan kepuasan kerja pegawai. Motivasi kerja yang tinggi serta terciptanya iklim organisasi yang kondusif, dapat memacu dan mendorong setiap individu untuk bekerja lebih baik lagi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, menunjukkan adanya beberapa variasi pendapat terkait bagaimana pengaruh atau hubungan iklim organisasi dan motivasi kerja secara parsial terhadap kepuasan kerja pegawai, yang diterapkan pada konteks yang berbeda termasuk dalam konteks lembaga atau instansi pemerintah. Adapun penelitian tentang 81 pengaruh iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap kepuasan kerja telah di teliti oleh penelitian sebelumnya, sejauh ini penulis hanya menemukan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan, namun penerapannya hanya pada karyawan yang bekerja pada sebuah organisasi seperti di perusahaan, lembaga pendidikan, dan di rumah sakit, dan penulis belum menemukan penelitian sejenis yang diterapkan pada pegawai negeri sipil di instansi pemerintah. 2.5. MODEL PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka kaitan antar variabel dapat digambarkan dalam model penelitian sebagai berikut : Gambar 2.4 Model Penelitian Iklim Organisasi (X1) Kepuasan Kerja (Y) Motivasi Kerja (X2) 2.6. HIPOTESA Hipotesis penelitian ini yaitu : iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan sebagai prediktor terhadap kepuasan kerja pegawai di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang. 82