BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK

advertisement
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pemerkosaan merupakan
salah satu bentuk tindak pidana yang dikategorikan pada bentuk kejahatan
terhadap kesusilaan. Kesusilaan diartian sebagai tingkah laku, perbuatan,
percakapan bahwa sesuatu apapun yang harus atau dilindungi oleh hukum demi
terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya, pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan
seksual.Apabila dilihat dari perbuatannya, pemerkosaan hampir mirip dengan
perbuatan
pemerkosaan.R.
Soesilo
berpendapat
pemerkosaan
merupakan
peraduan antara anggota kemaluan laku-laki dan perempuan yang dijalankan
untuk mendapatkan anak. Menurut R. Soesilo, syarat terjadi pemerkosaan adalah
terjadi penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Apabila
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dialihkan sebagai
perbuatan cabul. 27
Peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum pidana, mengatur
mengenai tindak pidana pemerkosaan.Tujuan peraturan perundang-undangan
mengatur sedemikian rupa mengenai tindak pidana pemerkosaan tersebut adalah
untuk melindungi korban, khususnya pada wanita dan anak-anak dari kejahatan
tersebut.Karena, data menyebutkan bahwa anak dan wanita menjadi korban
terbesar dari perbuatan pemerkosaan tersebut.
27
R.Soesilo, Op.cit.Hal. 209
Universitas Sumatera Utara
Pemerkosaanmerupakan kecendrungan untuk melakukan aktivitas seksual
dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pemerkosaan berasal dari bahasa
cabul, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan
yang kotor, keji sifatnya, tidak sesuai dengan sopan santun, tidak susila. 28
Pada dasarnya, pemerkosaan tersebut terjadi karena adanya penyimpangan
dari kondisi kejiwaan sipelaku.Penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa
dikarenakan penyakit kejiwaan, namun yang paling mempengaruhi adalah
dampak negatif dari globalisasi.
Anak-anak yang menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan, juga menjadi
salah satu objek pelampiasan nafsu birahi yang terkendali pelaku tindak
pidana.Sehingga, peraturan perundang-undangan dianggap sangat diperlukan
sebagai upaya perlindungan tindak pidana tersebut.
Tindak pidana pemerkosaan diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan.Perkembangan pengaturan mengenai tindak pidana pemerkosaan
merupakan salah satu bentuk inovasi hukum, yang merupakan konsistensi hukum
dalam mengatur tindak pidana dan memberikan sanksi pidana.Mengingat
perbuatan-perbuatan yang ada dalam masyarakat selalu berubah sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat.
Setiap peraturan perundang-undangan berbeda dalam merumuskan tindak
pidana pemerkosaan tersebut.Perbedaan-perbedaan dalam perumusan tindak
pidana
pemerkosaan
disesuaikan
dengan
perkembangan
kondisi
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka : Jakarta, 1991. Hal. 415
Universitas Sumatera Utara
masyarkat.Pemerkosaan tidak hanya melanda kaum wanita, pada zaman sekarang
ini, pemerkosaan dilakukan juga terhadap anak di bawah umur.
Untuk mengetahui suatu perbuatan tersebut merupakan tindak pidana,
terlebih dahulu harus mengetahui apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam tindak
pidana tersebut. Apakah itu unsur subjektif, objektif, atau unsur-unsur
lainnya.Karena pada dasarnya, tujuan untuk mengetahui unsur-unsur tindak
pidana tersebut adalah untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang melawan hukum atau tidak, untuk mengetahui bentuk-bentuk
delik yang dalam perbuatan tersebut, serta untuk mengetahui apakah perbuatan
tersebut mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian.Sehingga, dengan
mengetahui unsur-unsur tindak pidana ini, dapat mengklasifikasikan secara pasti
bentuk perbuatan yang dilakukan, dan menjadi pedoman kepada aparat penegak
hukum untuk memeberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana tersebut.
A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak
Di Bawah Umur
Kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur berkaitan dengan
kenakalan anak.Kenakalan anak atau yang sering disebut dengan juvenile
delinquency diartikan sebagai sifat anak yang cacat sosial. 29Romli Atmasasmita
mendefiniskan kenakalan anak adalah suatu tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu
sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercelah. 30
29
Maidin Gultom, Op.cit. Hal. 67
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja, Armico : Bandung,
1984. Hal. 23
30
Universitas Sumatera Utara
Kartini Kartono menegaskan bahwa delinquency itu selalu mempunyai
konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh
anak-anak muda dibawah usia 22 tahun. 31
Berdasarkan defenisi mengenai kenakalan anak yang disebutkan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan anak tersebut akan memiliki
relefansi dengan kejahatan yang dilakukan, karena notabenenya kenakalan anak
dan kejahatan sama-sama merupakan bentuk pelanggaran norma-norma yang
berlaku di masyarakat.
Soedjano Dirdjosisworo mengatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau dari
: 32
1. Segi Yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
pelanggarannya diancam dengan sanksi
2. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari
masyarakat
3. Segi psikologi yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat
melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan
dari sipelaku perbuatan tersebut.
Tindak pidana pemerkosaan dilihat dari segi kriminologi, merupakan suatu
tindakan yang melanggar norma kesusilaan. Atas perbuatan pemerkosaan tersebut,
terdapat pula reaksi yang negatife dari masyarakat.
31
32
Kartini kartono, Kenakalan Remaja, Rajawali Pers : Jakarta, 1992. Hal. 7
Soedjono Dirdjosisworo, Ilmu Jiwa Kejahatan, Karya Nusantara : Bandung, 1977. Hal.
20
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang melakukan kejahatan jika ditinjau dari perspektif kriminologi,
memiliki latar belakang ataupun ada suatu penyebab yang menjadikan orang
tersebut berbuat jahat.Apakah faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari
diri sipelaku sendiri, ataupun faktor-faktor yang berada diluar pelaku.
Dalam ilmu kriminologi, faktor-faktor penyebab terjadi kejahatan
dijelaskan dalam berbagai teori sebagai berikut :
1. Teori Biologi
Teori ini melihat sebab-sebab kejahatan dalam karakteristik fisik
penjahat.Aliran kriminologi modern dimulai pada abad ke-19.Pada masa itu ada
ilmuan yang berusaha untuk menentukan karakteristik seorang penjahat yang
bernama Lambroso. Menurut Lambroso, bahwa karakteristik fisik khusus terdapat
di antara penjahat. Menurutnya caliber penjahat pasti memiliki karakteristik fisik
sebagai contoh dahi rendah, dagu yang tertarik kebelakang, dan pendengaran yang
menonjol. 33
2. Teori Psikologi
Teori ini berpendapat bahwa kejahatan melalui studi proses mental dalam
hal ini penyaki kejiwaan, hancur dari pusat ketakutan, kegugupan, ketidak
mampuan seluruhh kemampuan mental. Hal tersebut menyebabkan orang menjadi
jahat. 34
3. Teori Sosiologi
Penjahat menurut teori ini adalah sebuah hasil dari masyarakat dengan
pusat dan titik perhatian adalah hubungan antara manusia dan kepada kenyataan
33
34
Marlina, Op.cit. Hal. 119
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa penyimpangan secara terus menerus karena dikehendaki dan diterima
sebagai dorongan kelompok dan kebanyakan perilaku menyimpang merupakan
bagian dari kebudayaan.Teori ini menolak gagasan timbulnya kejahatan dapat
dipahami dan analisa di mana penjahat sebagai individu.Kejahatan adalah
perwujudan dari sebuah produk dari belajar tentang perilaku dalam hubungannya
dengan masyarakat.35
4. Teori Ekonomi
Sebab-sebab terjadi kejahatan menurut teori ini didasarkan pada gagasan
atau konsep manusia berakal dan faktor lain yang berkaitan dengan gagasan dari
pilihan ekonomi. Hal itu menurut ahli ekonomi karena individu mempunyai
keperluan untuk memuaskan usaha mereka dan ketika dihadapkan pada piliha,
individu menggunakan sebuah pilihan rasional dan diantara alternatif akan
memuaskan kebutuhan mereka, dalam hal ini merupakan kondisi sosial. Tetapi
merela tidak tertarik menerangkan apa sebab atau bentuk pilihan itu. Artinya
bahwa dalam kasus seseorang pelanggar akan berhadapan dengan pertanyaan
bagaimana saya mempersiapkan kesejahteraan atau keselamatan saya. Dia
melakukan pilihan dengan pemikiran bahwa melanggar hukum diartikan dengan
kerja, yaitu sebuah aktivitas yang sah menurut hukum sesuai dengan nilai
pribadinya.Ia juga memperhitungkan keuntungan dan biaya dari pelaksanaan
kejahatan dan dia menerima sesuatu nilai melawan biaya yang tercakup. 36
5. Teori Multifaktor
35
36
Ibid.
Ibid. Hal. 120
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan ini menerangkan perlilaku penjahat adalaj sebuah perpaduan
dari berbagai aliran seperti faktor psikologis, sosial, ekonomi, biologi dan
lainnya. 37
Faktor penyebab yang paling utama anak menjadi nakal adalah faktor
keluarga anak. Kondisi rumah tangga yang kacau balau akan menghasilkan anak
nakal. Menurut R. Simanjuntak, kondisi rumah tangga yang mungkin dapat
menghasilkan anak nakal adalah : 38
a. Ada anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,
pemabuk dan emosional. Sehingga anak tersebut akan mudah
terpengaruh dengan sifat tersebut
b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orang tua si anak karena kematian,
perceraian ataupun pelarian diri
c. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,
terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang
campur tangan
d. Perbedaan rasial, suku dan agama ataupun perbedaan adat istiadat,
rumah piatu, panti asuhan
e. Kurangnya pengawasan orang tua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani.
Tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur,
sebenarnya merupakan pengaruh globalisasi yang bersifat negatif.Selain itu, anak
di bawah umur yang belum mampu menyeimbangkan anatara id, ego, dan super
37
38
Ibid.
B. Simanjuntak, Kriminologi, Tarsito : Bandung, 1984. Hal. 55
Universitas Sumatera Utara
ego
membuka
peluang
untuk
anak
tersebut
melakukan
kejahatan.
Ketidakpahaman anak terhadap apa yang dilakukan, dikarenakan kurangnya
pendidikan atau kebodohan sang anak. Ternyata, faktor kebodohan seseoarang
telah menjadi salah satu rumusan dari PBB dalam kongres ke-8 yang membahas
mengenai faktor penyebab terjadi kejahatan.
Menurut Sigmund Freud, setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi)
yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun demikian, tuntutan untuk
melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat
direalisasikan oleh manusia.Penyebabnya adalah karena adanya norma-norma
sosial, agama kesusilaan dan hukum. Norma-norma inilah yang mengatur syaratsyarat apa saja yang berlaku untuk menyalurkan libido yang selalu menuntut
untuk dilampiaskan. Dengan demikian, libido tersebut terpenjara dalam tubuh
manusia dan selalu meronta-ronta untuk dilampiaskan. 39
Anak di bawah umur sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa juga
tentunya memiliki nafsu birahi.Anak yang belum mampu mengendalikan nafsu
tersebut, serta kurangnya pengawasan dari keluarga, orang tua dan masyarakat
mengakibatkan
anak
melakukan
kejahatan
terkhusus
pada
kekerasan
seksual.Selain itu, situs-situs dewasa yang mudah untuk diakses, mengakibatkan
munculnya nafsu birahi yang sulit terkontrol.Hal ini juga menjadi salah satu
faktor-faktor penyebab anak melakukan kejahatan, terkhusus pada kekerasan
seksual seperti pemerkosaan.
39
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, PT. Buku Seru : Jakarta, 2015. Hal. 7-8
Universitas Sumatera Utara
B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap
Anak Di Bawah Umur
J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan kejahatan
mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang
relatif, mengandung variabelitas dan dinakik serta bertalian dengan perbuatan atau
tingkah laku baik pasif maupun aktif, yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau
minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan
terhadap skala nilai sosial dana tau oerasaan hukum yang hidup dalam
masyarakat.40
Dalam kongres PBB ke-8 pada tahun1990 di Havana, Cuba didefiniskan
sebagai faktor kondusif menyebutkan beberapa aspek sosial sebagai faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan antara lain : 41
1. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketiadaan atay kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang
tidak cocok.
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek
karena proses integrase sosial, juga karena memburuknya
ketimpangan-ketimpangan sosial, juga karena memburuknya
ketimpangan sosial.
3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga
4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang
yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi yang
40
J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali :
Jakarta, 1982. Hal. 59
41
Chandra Adiputra, Makalah, Kriminologi, “Kejahatan dan Faktor Penyebabnya”,
2014. Hal. 6
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kerugian atau
kelemahan
di
bidang
sosial,
kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan.
5. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya oelayanan
bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga.
6. Kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya dalam lingkungan masyarakat,
keluarga, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya.
7. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan penadahan barang-barang
curian
8. Dorongan-dorongan mengena ide dan sikap yang mengarag pada
tindakan kekerasan, ketidak samaan hak dan sikap tidak toleransi.
Apabila dilihat dari kongres PBB ke-8 sebagai mana yang disebutkan di
atas, dapat ditarik kesimpulan, pengaruh keluarga dan pengaruh dari masyarakat
memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap seseorang yang akan melakukan
kejahatan. Berpijak dari pengertian kejahatan dari J.E Sahetapy, dapat dikatakan
bahwa kejahatan tersebut merupakan perbuatan anti sosial yang dinilai negatif
oleh masyarakat.Artinya, perbuatan tersebut menjadi penilaian penting dari
masyarakat.Sehingga,
dalam
upaya
penanggulangan
kejahatan
peranan
masyarakat sangat diperlukan dalam penanggulangan kejahatan.
Selain berbagai bentuk faktor-faktor yang disebutkan di atas, globalisasi
menjadi salah satu bentuk faktor eksternal yang mengakibatkan anak dibawah
Universitas Sumatera Utara
umur melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.Efek
negative ini sering sekali mengakibatkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan.
Dewasa ini, pemandangan terhadap anak dibawah umur yang memiliki
hubungan bebas dengan lawan jenisnya tidak terlalu tabu.Banyak anak-anak yang
belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, berhubungan yang
dikenal dengan istilah pacaran.Kurangnya pengawasan dari orang tua, dan
kurangnya kemampuan mengendalikan emosi diri,
mengakibatkan anak
melakukan hubungan bebas, bahkan berujung dengan hubungan seksualitas yang
dilakukan anak di bawah umur dengan anak di bawah umur.Ini menjadi salah satu
faktor utama dalam mendorong tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh
anak di bawah umur.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
Pertanggungjawaban pidana anak pelaku Tindak pidana pemerkosaan Anak
di bawah umur
Istilah kebijakan berasal dari kata Policy atau dalam bahasa Belanda
dikenal dengan istilah Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintahan dala arti luas,
dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalahmasalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturanperundang-undangan dan
pengaplikasian hukum, peraturan dengan tujuan mengarah pada upaya
mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat. 42
Menurut Mahfud, Politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah meliputi : 43
1. Pembangunan
hukum
yang
berintikan
pembuatan
dan
pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai
dengan kebutuhan
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Sedangkan Utrecht menyebutkan bahwa politik hukum adalah aktivitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
42
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung, 2010. Hal. 23-24
43
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya : Yogyakarta, 1999. Hal. 10
Universitas Sumatera Utara
hukum tertentu dalam masyarakat. secara substansial politik hukum diarakan pada
hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum). 44
Dalam pengertian politik hukum yang dikemukakan para ahli hukum di
atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa politik hukum merupakan salah satu
bentuk aktivitas memilih cara apa yang dapat digunakan oleh para pemerintah,
termasuk
penegak
hukum,
dalam
upaya
menegakan
hukum
serta
mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan
hukum bagi masyarakat.
Hukum pidana yang merupakan hukum yang mengatur mengenai suatu
tindak
pidana
dan
memberikan
sanksi
yang
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban dari tindak pidana tersebut, juga mengatur berbagai bentuk
kebijakan dalam meminta pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana tersebut.
Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana diartikan sebagai
kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap
suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu
perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi
diantara berbagai alternative yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem
hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum
pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat
menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang
melanggarnya.Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana.Yaitu memberikan
44
Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. SInar Grafika : Jakarta, 2011. Hal. 22-
23
Universitas Sumatera Utara
dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap orang atau kelompok
orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana. 45
A. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana, konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.
Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea). 46
Setiap orang yang melakukan tindak pidana, haruslah bertanggungjawab
akan perbuatannya. Tidak terlepas apakah pelaku tindak pidana tersebut
merupakan orang yang sudah dewasa, maupun orang yang belum dewasa.Selagi
tidak ada alasan penghapus pidana dalam perbuatannya tersebut, orang yang
melakukan tindak pidana harus dihukum.
Setiap subjek hukum baik manusia maupun korporasi, apabila dalam
melakukan suatu perbuatan hukum dan dalam perbuatannya tersebut mengandung
unsur-unsur kesalahan, memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap apa
yang telah diperbuatnya.
45
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta, 2008. Hal. 58-59
46
Hanafi, Op.cit
Universitas Sumatera Utara
Bentuk pertanggungjawaban tersebut merupakan salah satu bentuk
keadilan bagi korban dari perbuatan tersebut. Karena pada intinya orang yang
melakukan kejahatan, akan mendapatkan kenikmatan dari perbuatannya tersebut,
walaupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tercela dalam
masyarakat. Perbuatan tersebut akan merugikan korban, baik kerugian materil
maupun kerugian imateril. Pemberian sanksi yang merupakan aplikasi dari
pertanggungjawaban pidana, akan menghukum pelaku kejahatan tersebut dengan
penjatuhan pidana kepadanya dan hal tersebut merupakan bagian dari keadilan
bagi korban.
Dalam penjatuhan pidana, orang yang akan menerima sanksi atau
dimintakan
pertanggungjawabannya,
adalah
orang
yang
mampu
bertanggungjawab akan perbuatannya dan tidak ada alasan penghapus pidana
dalam perbuatan tersebut.
Alasan-alasan penghapus pidana yang dimaksud adalah :
a.
Alasan Pembenar
Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan
tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal tersebut
sebagai alasan pembenar.Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai
perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai
perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Salah satu contoh
alasan pembenar adalah :
1) Keadaan Darurat
Universitas Sumatera Utara
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat apabila seseorang
dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau
merusak kepentingan yang lebih besar.Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak
pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang
menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan
antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu
perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang
sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya
perbenturan antara kepentingan hukum dan kewaiban. Dalam hal ini pelaku
dihadapkan pada keadaan apakan harus melindungi kepentingan hukum dan
kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum
tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang
lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan tersebut di atas, tindak pidana yang
dilakukan hanya dibenarkan jika :
a) Tidak ada jalan lain
b) Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi
dari pada kepentingan yang dikorbankan
2) Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa, dimuat dalam pasal 49 ayat (1) KUHP. Dalam pasal
49 ayat (1) KUHP, yang diisyaratkan sebagai pembelaan terpaksa adalah :
a) Adanya serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga,
kehormatan, kesusilaan atau harta benda
b) Serangan itu bersifat melawan hukum
Universitas Sumatera Utara
c) Pembelaan merupakan keharusan
d) Cara pembelaan adalah patut
3) Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang
Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi
perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perintah atau ketentuan undangundang, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap
perbuatan tersebut. karena, kesalahan terhadap perbuatan tersebut telah
dihapuskan. Dalam hal ini, terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan
kewajiban hukum lainnya.Artinya, bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya,
seseorang harus melanggar kewajan hukum lainnya.Dalam melaksanakan
ketentuan
undang-undang
tersebut,
kewajiban
yang
terbesar
harus
diutamakan.Alasan pembenar tentang melaksanakan ketentuan undang-undang ini
diatur dalam pasal 50 KUHP.
Dalam penjelasan ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan
suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana.Akan tetapi karena
dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka pelaku tidak boleh
dihukum, walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.Selain itu,
perbuatan tersebut harus mementingkan kepentingan umum, dan bukan
kepentingan pribadi.
4) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah
Seorang bawahan melakukan suatu perbuatan, apabila perbuatan tersebut
merupakan perintah dari jabatan yang diberikan oleh atasannya, maka walaupun
perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, pelaku yang
Universitas Sumatera Utara
melakukan
perbuatan
tersebut
tidak
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya.Hal tersebut diatur dalam pasal 51ayat (1) KUHP.
Dengan kata lain, yang memberikan perintah adalah orang yang
berwenang, dan yang diperintahkan harus sesuai dengan atau berhubungan dengan
pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal
melaksanakan ooeruntah jabatan, harus diperhatikan asas keseimbangan,
kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang
yang memerintah.
b.
Alasan Pemaaf
Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan
karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan.Maka
hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal
yang dapat memaafkannya. Jenis-jenis alasan pemaaf adalah sebagai berikut :
1) Tidak mampu bertanggungjawab
Orang yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab adalah orang
yang normal dan memiliki akal sehat.Pasal 44 KUHP menjadi dasar bagi alasan
pemaaf tersebut.Dalam pasal 44 KUHP, orang yang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya adalah orang yang memiliki
cacat dalam pertumbuhan, gangguan dalam kejiwaan dan berubah akal.
Dalam pasal 44 KUHP ini, tampaknya pembentuk undang-undang
membuat
peraturan
khusus
bagi
pelaku
yang
idak
dapat
Universitas Sumatera Utara
mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna
akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.
Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) KUHP, kewenangan untuk tidak
menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa hanya diberikan kepada hakim.Akan
tetapi, dalam menentukan apakah pelaku memang benar memiliki penyakit jiwa
atau sakit berubah akal, hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli
dalam bidang ilmu kejiwaan.Meskipun hakim harus merujuk terhadap keterangan
saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri), hakim dalam memberikan
putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli
tersebut.penerumaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus diuji
berdasarkan kepatutan atau kepantasan.
2) Daya Paksa
Daya paksa merupakan setiap daya, dorongan atau setiap paksaan yang
tidak dapat dilawan.Titik tolak dari daya paksa ini adalah adanya keadaankeadaan yang eksposional yang secara mendadak menyerang pembuat atau
pelaku, buka ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan
pidana untuk mencapai tujuan yang adil.Alasan pemaaf karena daya paksa diatur
dalam pasal 48 KUHP.
Setiap paksaan dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi,
hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau di elakkan lagi oleh
pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana.
Paksaan yang dimaksud adalah paksaan absolut.
3) Pembelaan Terpaksa
Universitas Sumatera Utara
Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a) Harus ada situasi pembelaan terpaksa yang berarti suatu situasi
dimana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda
terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi
keharusan.
b) Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan
akibat langsung dari kegoncangan jiwa hebat dapat mencakup
berbagai jenis emosi, Yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian
yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh
serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu,
guncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan,
tetapi karena pengaruh alcohol atau narkotika.
Perbuatan yang melampaui batas ini, diatur dalam pasal 49 ayat (2)
KUHP.Maksud perbuatan yang melampaui batas adalah perbuatan dengan
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada
saat itu juga.Perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.
Dalam hal ini, hakim berperan dalam menentukan apakah benar terdapat
hubungan sebab akibat antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan
jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas,
sedangkan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Dengan alasan tersebut,
pelaku tetap melakukan perbuatan melawan hukum.Akan tetapi kesalahan dalam
perbuatan tersebut dihapuskan, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana.
4) Melakukan perintah jabatan yang tidak sah dianggap sah
Universitas Sumatera Utara
Pelaku yang melakukan perintah yang tidak sah namun di anggap sah
dapat dihapuskan pidanannya apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang sah
b) Dilakukan dengan itikad baik
c) Pelaksanaannya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya.
Jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia
lakukan, maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi,
dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang
yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa
akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri.
Anak
yang
melakukan
kejahatan,
juga
akan
dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Hanya saja, terdapat perbedaan yang mendasar pada
pemberian pertanggungjawaban pidana kepada anak yang melakukan kejahatan
dengan orang yang telah dewasa yang melakukan kejahatan. Penerapan aturan
dalam pemberian pertanggungjawaban pidana pada anak yang melakukan
kejahatan, sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana anak, yang merupakan lex spesialis dari
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan orang yang
telah dewasa apabila melakukan kejahatan, akan diproses sesuai dengan KUHAP.
Ini artinya, pertanggungjawaba pidana yang dilakukan oleh anak di bawah
umurpun, dapat diselesaikan dengan upaya penal.
Universitas Sumatera Utara
B. PertanggungjawabanPidana
anak
pelaku
Melakukan
Pemerkosaan
Terhadap korban Anak di bawah umur
Perbedaan pengaturan mengenai proses penyelesaian konflik terhadap
anak dan orang dewasa berbeda, dijelaskan dalam penjelasan umum Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena
anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak
memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Oleh karena itu, kepentingan terbaik
bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup
umat manusia.Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat
kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat
pelindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah
membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku
atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain,
disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Prinsip pelindungan hukum
terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). 47
Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain, mengenai penempatan Anak
yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang
ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara
wajar.
Mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur
Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun
hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua
belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan
pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan
terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan
di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses
peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib
dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum
masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib
47
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. 48
Pasal 1 Angka 3 mengkategorikan anak yang berhadapan dengan hukum
atau anak yang melakukan kejahatan akan diproses berdasarkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 adalah anak yang berusia antara 12 sampai dengan 18
Tahun.
Perbedaan yang paling mendasar pada Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Anak ini adalah kewajiban atau keharusan aparat
penegak hukum untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh anak di bawah
umur dengan menggunakan proses diversi, sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Syarat-syarat untuk menerapkan proses diversi menurut Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah :
1. Perbuatan tersebut diancam dengan pidana di bawah 7 Tahun
2. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang berulang (tidak
adanya pengulangan tindak pidana)
Apabila syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tersebut tidak terpenuhi, maka anak tersebut dalam rangka pemberian
pertanggungjawaban pidana, dilakukan dengan cara penal atau melalui proses
peradilan, sesuai dengan apa yang di atur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012.
48
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur,
pelaku dijerat dengan menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 82 ayat (1), barang siapa yang memaksa,
mengancam dengan kekerasan, membujuk, atau perbuatan lainnya untuk
melakukan perbuatan cabul sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 82 ayat (1)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila dilihat dari ancaman pidana dari pasal tersebut yang menyebutkan
ancaman pidana yang diberikan maksimal 15 tahun, maka tidak dapat digunakan
proses diversi pada kasus tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Sehingga,
kasus anak di bawah umur yang melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur, harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana anak sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Berbeda dengan orang dewasa pada saat melakukan kejahatan, apabila
anak di bawah umur melakukan kejahatan, dimintakan pertanggungjawaban
dengan penerapan sanksi pidana, anak yang melakukan kejahatan tersebut
ditempatkan di lapas khusus anak, dan juga anak tersebut dikirim ke lembaga
sosial untuk dibina dan dididik, sebagai upaya perlindungan terhadap masa depan
anak yang melakukan kejahatan.
Universitas Sumatera Utara
C. Analisis
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn.
1. Kasus 49
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.MDN
atas nama terdakwa Irfan Maduwu menjadi salah satu contoh kasus mengenai
tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur terhadap
anak dibawah umur. Berikut analisa putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn atas nama terdakwa Irfan Maduwu :
a. Kasus Posisi
Terdakwa Irfan Maduwu merupakan salah seorang pelajar yang berusia 16
Tahun pada saat itu. Irfan Maduwu merupakan salah seorang siswa SMP di salah
satu kota Medan. Pada saat itu, Irfan Maduwu memiliki hubungan khusus dengan
adik kelasnya yang bernama Mayang Sari. Mayang Sari, yang menjadi saksi
korban pemerkosaan tersebut, pada saat kejadian, Mayang Sari berusia 14 Tahun.
Hal tersebut menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, merupakan kategori usia anak di bawah umur.
Pada tanggal 25 Oktober 2015 pukul 22.00 WIB, saksi korban Mayang
Sari sedang duduk bersama teman-temannya, dan seketika Irfan Maduwu ikut
bergabung dengan saksi korban.
Pada pukul 23.00, terdakwa Irfan Mawudu mengajak saksi korban untuk
jalan-jalan berkeliling, sehingga sampailah di suatu tempat di belakang SMP 39
Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Marelan, tepatnya di belakang benteng
49
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 79/pid.sus.anak/2015/PN.Mdn
Universitas Sumatera Utara
sekolah jalan Yong Panah Hijau, yang juga merupakan kawasan Pengadilan
Negeri Medan.
Setelah berhenti di belakang benteng tersebut, terdakwa mengajak saksi
korban untuk menuju kerumah kosong, dan langsung memegang tangan saksi
korban, mencium kening dan bibir saksi korban, dan memeluk tubuh dari saksi
korban.
Suatu ketika pukul 01.00, terdakwa membujuk saksi korban untuk
melakukan hubungan seksual dengan terdakwa, dengan menyatakan “aku sayang
kamu, aku ingin hubungan kita sampai kakek nenek”.Setelah mengeluarkan katakata tersebut, terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan persetubuhan
dengannya.
Sesaat saksi korban menolak ajakan dari terdakwa, namun terdakwa
kembali membujuk saksi koban dan berjanji akan masuk islam dan
bertanggungjawab atas semua perbuatan tersebut.
Di rumah kosong tersebut, terdakwa meletakan sprei sebagai alas tidur
terdakwa dan saksi korban dalam melakukan persetubuhan tersebut.terdakwa
memegang leher dan mencium saksi korban, sehingga terdakwa Mayang Sari
merasa terangsang.Pada akhirnya persetubuhan tersebut terjadi, dan timbul
penetrasi dari saksi korban yang dibuang kelantai.
Pada tanggal 1 November 2015, pukul 23.00, terdakwa dan saksi korban
kembali duduk bersama dirumah kosong, dan pada akhirnya melakukan kembali
hubungan seksual tersebut. Tidak lama kemudian, petugas ronda yang curiga
Universitas Sumatera Utara
melihat dan menyenter rumah kosong tersebut, sehingga perbuatan yang
dilakukan oleh saksi korban dan terdakwa ketahuan, dan dibawa ke Aloha.
Menurut saksi Harianto, bahwa terdakwa mengakui telah melakukan
persutubuhan dengan saksi korban sebanyak 2 kali. Berdasarkan keterangan saksi
korban Mayang Sari, persetubuhan tersebut terjadi karena saksi korban Mayang
Sari dibujuk oleh terdakwa, dan tidak ada perdamaian yang dilakukan oleh
terdakwa dan saksi korban.
b. Dakwaan
Penuntut Umum mendakwakan terdakwa dengan surat dakwaan yang
disusun secara subsideritas, sebagai berikut :
Primair
Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Subsider
Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 81 ayat (2) jo Pasal 76E Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
c. Tuntutan
Dalam surat tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum, pada
pokoknya Jaksa Penuntut Umum menuntut agar hakim yang mengadili perkara ini
memutuskan :
a. Menyatakan terdakwa Irfan Maduwu telah terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah
melakukan tindak
pidana
“dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur
dalam Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2011.
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwaIrfan Maduwu berupa pidana
penjara selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa ditahan dan 3
(tiga) bulan latihan kerja.
c. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000
(dua ribu rupiah)
Universitas Sumatera Utara
d. Fakta Hukum
Fakta hukum merupakan fakta-fakta yang ditemukan di dalam pengadilan, terkait
dengan kasus ini.Fakta-fakta hukum dapat diketahui dari keterangan saksi dan alat
bukti yang timbul dalam persidangan.Adapun fakta hukum yang tertuang dalam
Putusan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn:
a. Terdakwa dan saksi korban memiliki hubungan khusus atau sedang
berpacaran.
b. Terdakwa yang berusia 16 Tahun, dan Mayang Sari yang bersusia 14
Tahun sebagai saksi korban merupakan adik kelas atau teman sekolah
dari terdakwa.
c. Terdakwa dan saksi korban berjalan dan bercerita di suatu rumah
kosong
Jalan
Yong
Panah
Hijau,
dan
melakukan
hubungan
persetubuhan sebanyak 2 kali.
d. Bahwa dalam suratVisum et Repertum Nomor 201/OBG/2015 yang
dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Sanusi Pilianh. Sp.OG selaku dokter
dokter di Rumah Sakit Pringadi Medan menyimpulkan : selaput darah
(Hymen) tampak robek lama (robek tidak berdarah lagi) robek sampai
ke dasar, pada arah jarum jam 6 (enam) dan arah jarum jam 3 (tiga).
Hasil USG : Rahim Normal dengan kesimpulan selaput darah tidak
utuh (non itake).
Universitas Sumatera Utara
e. Putusan
Dalam menentukan suatu putusan, hakim melakukan musyawarah dengan
mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang muncul di pengadilan.Selain itu,
terdapat pula hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan bagi terdakwa,
yang juga merupakan bagian dari pertimbangan hakim. Adapun hal-hal yang
memberatkan dan meringankan adalah sebagai berikut :
Hal yang memberatkan :
a.
Perbuatan anak tersebut meresahkan masyarakat
b.
Perbuatan anak tersebut sangat merugikan saksi korban
Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut :
a.
Anak tersebut menyesali perbuatannya
b.
Anak tersebut bersikap sopan dipersidangan dan terdakwa belum
pernah dihukum
c.
Anak masih berusia muda (anak) yang diharapkan dapat merubah
sikap lebih baik dimasa akan datang.
Berdasarkan pertimbangan hakim, Sontan M. Sinaga, SH., MH sebagai
hakim tunggal dalam persidangan ini memutuskan :
a.
Menyatakan anak IRFAN MADUWU telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja
Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya”.
b.
Menjatuhkan pidana kepada anak tersebut dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) Tahun dan 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja
selama 3 (tiga)bulan.
Universitas Sumatera Utara
c.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani anak tersebut
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
d.
Membebankan kepada anak tersebut untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000., (dua ribu rupiah)
2.Analisis Putusan Pengadilan
79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn
Negeri
Medan
Nomor:
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn
merupakan salah satu bukti perbuatan yang berasal dari kenakalan remaja dan
pergaulan bebas.Dalam putusan tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
merupakan perbuatan pemerkosaan anak di bawah umur.Dapat diketahui bahwa
terdakwa yang bernama Irfan Maduwu masih merupakan seorang siswa yang pada
saat kejadian berumur 16 tahun.Sedangkan yang menjadi korban adalah Mayang
Sari yang merupakan siswi SMP yang pada saat itu berumur 14 tahun.
Karena perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa yang masih berusia 14
tahun, anak tersebut harus diadili sesuai dengan sistem peradilan pidana anak
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
TentangSistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undangundang Nomor 11 Tahun 2012, Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana,
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Sedangkan Pasal 1 angka 3
menyebutkan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
diambil kesimpulan bahwa terdakwa yang berusia 16 tahun, harus diadili sesuai
dengan Undang-undang Pengadilan Anak.
Dalam proses peradilan pada kasus tersebut, hakim yang menangani kasus
tersebut merupakan hakim tunggal, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 yang berbunyi “Hakim memeriksa dan memutus
perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”. Berdasarkan faktafakta yang terdapat dalam pengadilan, terdakwa terbukti melakukan perbuatan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dan atas perbuatan tersebut, terdakwa
dianggap oleh hakim telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014. Adapun unsur-unsur dalam Pasal 82 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai
berikut :
1.
Unsur setiap orang
Pada unsur setiap orang, dalam tindak pidana tersebut menunjukan bahwa
subjek hukum adalah manusia pribadi (Natuurlijke Persoon), karena terdakwa
Irfan Maduwu telah berusia 16 tahun, maka terdakwa dianggap telah mampu
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri.
2.
Dengan sengaja
Menurut Memorie van Toelchting (MvT), yang dimaksud dengan sengaja
adalah perbuatan tersebut harus menghendaki, dan dalam melakukan perbuatan
tersebut pelaku harus mengetahui atau mengerti apa yang menjadi akibat dari
Universitas Sumatera Utara
perbuatan tersebut. Berdasarkan keterangan saksi korban dan dibenarkan oleh
terdakwa, perbuatan tersebut dilakukan didalam kamar tersebut oleh terdakwa dan
saksi korban, yang dilakukan karena suka sama suka. Maka Hakim berkesimpulan
perbuatan pemerkosaan yang dilakukan terdakwa tersebut kepada saksi korban
merupakan pelaksanaan kehendak serta setidak-tidaknya terdakwa telah mengerti
akan akibat dari perbuatan tersebut. Sehingga hakim berpendapat unsur dengan
sengaja pada perbuatan ini telah terpenuhi.
3.
Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
Dalam putusan ini, hakim berpendapat bahwa unsur yang terpenuhi adalah
unsur
“membujuk” unuk
melakukan perbuatan cabul.Membujuk
adalah
melakukan pengaruh terhadap orang sehingga orang itu (korban) mengikuti dan
menuruti kehendaknya.Dalam putusan tersebut, tidak ada satu kalimatpun yang
menyatakan bahwa terdakwa melakukan pembujukan.Terdakwa pada saat
melakukan perbuatan tersebut, terdakwa tidak dibuktikan berkata sesuatu untuk
membujuk saksi korban.Hakim menginterprestasikan dengan adanya keterangan
dari saksi korban yang menyatakan bahwa terdakwa membuka baju dari saksi
korban,
maka
terdakwa
memang
benar
melakukan
pembujukan.Hakim
menganggap bahwa “membujuk” tidak hanya dengan perkataan, melainkan
dengan perbuatan.
Sedangkan persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perbuatan yang
melanggar kesusilaan (kesopanan), atau perbuatan yang keji, dimana semuanya itu
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, sehingga terjadi penetrasi bagi kedua
Universitas Sumatera Utara
orang tersebut.50Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut kepada korban yang
berusia 14 tahun, yang artinya termasuk dalam kategori anak di bawah
umur.Sehingga, unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (2) telah
terpenuhi.
Mengingat pelaku tindak pidana tersebut merupakan anak dibawah umur
dan korban juga merupakan anak di bawah umur, pelaksanaan peradilan
seharusnya mengikuti aturan-aturan yang termuat dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengenai proses
diversi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi terhadap anak di bawah umur.
Akan tetapi, dalam Putusan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/Mdn tidak menyebutkan
bahwa telah dilaksanakan diversi atau belum.Hanya saja melalui keterangan saksi
korban yang menyatakan tidak terjadi perdamaian antara korban dan terdakwa.
Pasal 81 (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
Perbuatan yang dilakukan dalam putusan tersebut adalah perbuatan yang
melakukan pembujukan untuk melakukan persetubuhan. Ancaman yang diberikan
50
R. Soesilo, Op.cit
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 81 ayat (2), sama dengan yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1)
Undang-undang Perlindungan Anak.
Berdasarkan pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, diketahui bahwa ancaman hukuman yang diberikan
kepada pelaku pemerkosaan terhadap anah adalah pidana penjara maksimal 15
(lima belas) tahun, dan minimal 3 (tiga) tahun.
Ketika kita kaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi wajib dilakukan
apabila ancaman hukuman dari perbuatan tersebut dibawah pidana penjara selama
7 (tujuh) tahun. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a, tidak disebutkan
apakah ancaman hukuman yang dimaksud adalah ancaman hukuman maksimal
ataupun ancaman hukum minimal dari suatu perbuatan.Dalam penjelasan tersebut
disebutkan bahwa ancaman hukuman sesuai dengan hukum pidana.Artinya,
apabila dikembalikan ke KUHP yang merupakan kitab utama dalam hukum
pidana nasional, KUHP hanya mencantumkan hukuman maksimal pada setiap
peraturan
yang
mengatur
mengenai
tindak
pidana.
Sehingga,
dapat
diinterprestasikan bahwa ancaman yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) huruf a
adalah ancaman maksimal dari suatu perbuatan.
Sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memiliki ancaman
maksimal 15 Tahun.Maka dari pada itu, proses diversi tidak dapat dilakukan, dan
perbuatan tersebut harus melalui pengadilan anak dalam ruang lingkup pengadilan
umum.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kuhp mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di
bawah umur dalam Pasal 287 dan 288 KUHP. Hanya saja, dalam Kuhp,
tidak menunjukan adanya motif perbuatan yaitu tipu muslihat, membujuk
dan lainnya. Pemerkosaan yang dimaksud dalam KUHP ini adalah dengan
melakukan ancaman kekerasan ataupun dengan kekerasan melakukan
persetubuhan. Tapi jika melihat contoh pasal 81 ayat (2) sebagai pasal yang
mengatur Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak ada di atur tentang motif yang lain dan
mengatur lebih spesifik
perbuatan pemerkosaan tersebut, dengan mencantumkan motif perbuatan
tipu muslihat, membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya.
Hal ini merupakan bentuk keseriusan dari pemerintah dalam upaya
perlindungan anak terhadap kejahatan.
2. Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan, baik secara internal
maupun faktor eksternal. Artinya, perbuatan jahat terjadi tidak hanya adanya
pengaruh dari orang lain, melainkan terjadi karena faktor diri sendiri.
Tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan
oleh anak di bawah umur, terjadi tidak hanya karena adanya faktor
lingkungan yang jahat, melainkan faktor diri sendiri anak tersebut juga
menjadi penyebab utama. Pergaulan bebas, serta tidak didasarkan kepada
perhatian orang tua, menjadi penyebab utama terjadinya tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
pemerkosaan terhadap anak dibawah umur oleh anak di bawah umur.
Karena notabenenya anak di bawah umur belum mampu menyeimbangkan
id, ego,dan super ego yang ada dalam dirinya.
3. Pemerintah dalam upaya penanggulangan kejahatan,
harus
terus
memberikan perhatian lebih kepada khusus nya Anak-anak generasi
penerus bangsa dan Sebagai kaidah atau norma, hukum dapat dirumuskan
sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur
tata tertib dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini pertanggungjawaban
pidana tetap harus di terima dan di jalankan oleh terdakwadan tetap di
perhatikan dan di bombing sampai terdakwa tersebut habis masa
hukumannya dan bisa di terima lagi di tengah-tengah masyarakat.
B. Saran
1. Sebaiknya, dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak jo Undang-undang-undang Nomor 35 Tahun
2014, memberikan penjelasan mengenai bagaimana kategori perbuatan yang
termasuk sebagai tindakan pencabulan dan persetubuhan. Karena kedua
bentuk kejahatan ini sangat mirip.
2. Dalam melakukan upaya perlindungan terhadap anak yang menjadi korban
tindak pidana, mengingat faktor utama anak melakukan kejahatan adalah
kurangnya pengawasan dari orang tua, seharusnya keluarga memberikan
pengawasan yang lebih kepada anak.
3. Tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan
pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan
Universitas Sumatera Utara
berguna bagi bangsa dan Negara di masa yang akan datang, sedangkan
penahanan anak melalui rumah tahanan Negara di khawatikan akan
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang
masih lemah dan rentan. Selain itu juga akan meimbulkan penilaian yang
buruk untuk anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Download