BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang dikategorikan pada bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. Kesusilaan diartian sebagai tingkah laku, perbuatan, percakapan bahwa sesuatu apapun yang harus atau dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya, pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.Apabila dilihat dari perbuatannya, pemerkosaan hampir mirip dengan perbuatan pemerkosaan.R. Soesilo berpendapat pemerkosaan merupakan peraduan antara anggota kemaluan laku-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Menurut R. Soesilo, syarat terjadi pemerkosaan adalah terjadi penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dialihkan sebagai perbuatan cabul. 27 Peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum pidana, mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan.Tujuan peraturan perundang-undangan mengatur sedemikian rupa mengenai tindak pidana pemerkosaan tersebut adalah untuk melindungi korban, khususnya pada wanita dan anak-anak dari kejahatan tersebut.Karena, data menyebutkan bahwa anak dan wanita menjadi korban terbesar dari perbuatan pemerkosaan tersebut. 27 R.Soesilo, Op.cit.Hal. 209 Universitas Sumatera Utara Pemerkosaanmerupakan kecendrungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pemerkosaan berasal dari bahasa cabul, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan yang kotor, keji sifatnya, tidak sesuai dengan sopan santun, tidak susila. 28 Pada dasarnya, pemerkosaan tersebut terjadi karena adanya penyimpangan dari kondisi kejiwaan sipelaku.Penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa dikarenakan penyakit kejiwaan, namun yang paling mempengaruhi adalah dampak negatif dari globalisasi. Anak-anak yang menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan, juga menjadi salah satu objek pelampiasan nafsu birahi yang terkendali pelaku tindak pidana.Sehingga, peraturan perundang-undangan dianggap sangat diperlukan sebagai upaya perlindungan tindak pidana tersebut. Tindak pidana pemerkosaan diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan.Perkembangan pengaturan mengenai tindak pidana pemerkosaan merupakan salah satu bentuk inovasi hukum, yang merupakan konsistensi hukum dalam mengatur tindak pidana dan memberikan sanksi pidana.Mengingat perbuatan-perbuatan yang ada dalam masyarakat selalu berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Setiap peraturan perundang-undangan berbeda dalam merumuskan tindak pidana pemerkosaan tersebut.Perbedaan-perbedaan dalam perumusan tindak pidana pemerkosaan disesuaikan dengan perkembangan kondisi 28 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka : Jakarta, 1991. Hal. 415 Universitas Sumatera Utara masyarkat.Pemerkosaan tidak hanya melanda kaum wanita, pada zaman sekarang ini, pemerkosaan dilakukan juga terhadap anak di bawah umur. Untuk mengetahui suatu perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, terlebih dahulu harus mengetahui apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut. Apakah itu unsur subjektif, objektif, atau unsur-unsur lainnya.Karena pada dasarnya, tujuan untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum atau tidak, untuk mengetahui bentuk-bentuk delik yang dalam perbuatan tersebut, serta untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian.Sehingga, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana ini, dapat mengklasifikasikan secara pasti bentuk perbuatan yang dilakukan, dan menjadi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk memeberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana tersebut. A. Faktor Internal Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur Kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur berkaitan dengan kenakalan anak.Kenakalan anak atau yang sering disebut dengan juvenile delinquency diartikan sebagai sifat anak yang cacat sosial. 29Romli Atmasasmita mendefiniskan kenakalan anak adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercelah. 30 29 Maidin Gultom, Op.cit. Hal. 67 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja, Armico : Bandung, 1984. Hal. 23 30 Universitas Sumatera Utara Kartini Kartono menegaskan bahwa delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia 22 tahun. 31 Berdasarkan defenisi mengenai kenakalan anak yang disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan anak tersebut akan memiliki relefansi dengan kejahatan yang dilakukan, karena notabenenya kenakalan anak dan kejahatan sama-sama merupakan bentuk pelanggaran norma-norma yang berlaku di masyarakat. Soedjano Dirdjosisworo mengatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau dari : 32 1. Segi Yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya diancam dengan sanksi 2. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat 3. Segi psikologi yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari sipelaku perbuatan tersebut. Tindak pidana pemerkosaan dilihat dari segi kriminologi, merupakan suatu tindakan yang melanggar norma kesusilaan. Atas perbuatan pemerkosaan tersebut, terdapat pula reaksi yang negatife dari masyarakat. 31 32 Kartini kartono, Kenakalan Remaja, Rajawali Pers : Jakarta, 1992. Hal. 7 Soedjono Dirdjosisworo, Ilmu Jiwa Kejahatan, Karya Nusantara : Bandung, 1977. Hal. 20 Universitas Sumatera Utara Setiap orang melakukan kejahatan jika ditinjau dari perspektif kriminologi, memiliki latar belakang ataupun ada suatu penyebab yang menjadikan orang tersebut berbuat jahat.Apakah faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari diri sipelaku sendiri, ataupun faktor-faktor yang berada diluar pelaku. Dalam ilmu kriminologi, faktor-faktor penyebab terjadi kejahatan dijelaskan dalam berbagai teori sebagai berikut : 1. Teori Biologi Teori ini melihat sebab-sebab kejahatan dalam karakteristik fisik penjahat.Aliran kriminologi modern dimulai pada abad ke-19.Pada masa itu ada ilmuan yang berusaha untuk menentukan karakteristik seorang penjahat yang bernama Lambroso. Menurut Lambroso, bahwa karakteristik fisik khusus terdapat di antara penjahat. Menurutnya caliber penjahat pasti memiliki karakteristik fisik sebagai contoh dahi rendah, dagu yang tertarik kebelakang, dan pendengaran yang menonjol. 33 2. Teori Psikologi Teori ini berpendapat bahwa kejahatan melalui studi proses mental dalam hal ini penyaki kejiwaan, hancur dari pusat ketakutan, kegugupan, ketidak mampuan seluruhh kemampuan mental. Hal tersebut menyebabkan orang menjadi jahat. 34 3. Teori Sosiologi Penjahat menurut teori ini adalah sebuah hasil dari masyarakat dengan pusat dan titik perhatian adalah hubungan antara manusia dan kepada kenyataan 33 34 Marlina, Op.cit. Hal. 119 Ibid. Universitas Sumatera Utara bahwa penyimpangan secara terus menerus karena dikehendaki dan diterima sebagai dorongan kelompok dan kebanyakan perilaku menyimpang merupakan bagian dari kebudayaan.Teori ini menolak gagasan timbulnya kejahatan dapat dipahami dan analisa di mana penjahat sebagai individu.Kejahatan adalah perwujudan dari sebuah produk dari belajar tentang perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat.35 4. Teori Ekonomi Sebab-sebab terjadi kejahatan menurut teori ini didasarkan pada gagasan atau konsep manusia berakal dan faktor lain yang berkaitan dengan gagasan dari pilihan ekonomi. Hal itu menurut ahli ekonomi karena individu mempunyai keperluan untuk memuaskan usaha mereka dan ketika dihadapkan pada piliha, individu menggunakan sebuah pilihan rasional dan diantara alternatif akan memuaskan kebutuhan mereka, dalam hal ini merupakan kondisi sosial. Tetapi merela tidak tertarik menerangkan apa sebab atau bentuk pilihan itu. Artinya bahwa dalam kasus seseorang pelanggar akan berhadapan dengan pertanyaan bagaimana saya mempersiapkan kesejahteraan atau keselamatan saya. Dia melakukan pilihan dengan pemikiran bahwa melanggar hukum diartikan dengan kerja, yaitu sebuah aktivitas yang sah menurut hukum sesuai dengan nilai pribadinya.Ia juga memperhitungkan keuntungan dan biaya dari pelaksanaan kejahatan dan dia menerima sesuatu nilai melawan biaya yang tercakup. 36 5. Teori Multifaktor 35 36 Ibid. Ibid. Hal. 120 Universitas Sumatera Utara Pendekatan ini menerangkan perlilaku penjahat adalaj sebuah perpaduan dari berbagai aliran seperti faktor psikologis, sosial, ekonomi, biologi dan lainnya. 37 Faktor penyebab yang paling utama anak menjadi nakal adalah faktor keluarga anak. Kondisi rumah tangga yang kacau balau akan menghasilkan anak nakal. Menurut R. Simanjuntak, kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan anak nakal adalah : 38 a. Ada anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk dan emosional. Sehingga anak tersebut akan mudah terpengaruh dengan sifat tersebut b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orang tua si anak karena kematian, perceraian ataupun pelarian diri c. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu, terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang campur tangan d. Perbedaan rasial, suku dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah piatu, panti asuhan e. Kurangnya pengawasan orang tua karena sikap masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit jasmani atau rohani. Tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, sebenarnya merupakan pengaruh globalisasi yang bersifat negatif.Selain itu, anak di bawah umur yang belum mampu menyeimbangkan anatara id, ego, dan super 37 38 Ibid. B. Simanjuntak, Kriminologi, Tarsito : Bandung, 1984. Hal. 55 Universitas Sumatera Utara ego membuka peluang untuk anak tersebut melakukan kejahatan. Ketidakpahaman anak terhadap apa yang dilakukan, dikarenakan kurangnya pendidikan atau kebodohan sang anak. Ternyata, faktor kebodohan seseoarang telah menjadi salah satu rumusan dari PBB dalam kongres ke-8 yang membahas mengenai faktor penyebab terjadi kejahatan. Menurut Sigmund Freud, setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun demikian, tuntutan untuk melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia.Penyebabnya adalah karena adanya norma-norma sosial, agama kesusilaan dan hukum. Norma-norma inilah yang mengatur syaratsyarat apa saja yang berlaku untuk menyalurkan libido yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Dengan demikian, libido tersebut terpenjara dalam tubuh manusia dan selalu meronta-ronta untuk dilampiaskan. 39 Anak di bawah umur sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa juga tentunya memiliki nafsu birahi.Anak yang belum mampu mengendalikan nafsu tersebut, serta kurangnya pengawasan dari keluarga, orang tua dan masyarakat mengakibatkan anak melakukan kejahatan terkhusus pada kekerasan seksual.Selain itu, situs-situs dewasa yang mudah untuk diakses, mengakibatkan munculnya nafsu birahi yang sulit terkontrol.Hal ini juga menjadi salah satu faktor-faktor penyebab anak melakukan kejahatan, terkhusus pada kekerasan seksual seperti pemerkosaan. 39 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, PT. Buku Seru : Jakarta, 2015. Hal. 7-8 Universitas Sumatera Utara B. Faktor Eksternal Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabelitas dan dinakik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku baik pasif maupun aktif, yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dana tau oerasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.40 Dalam kongres PBB ke-8 pada tahun1990 di Havana, Cuba didefiniskan sebagai faktor kondusif menyebutkan beberapa aspek sosial sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan antara lain : 41 1. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketiadaan atay kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok. 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek karena proses integrase sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial, juga karena memburuknya ketimpangan sosial. 3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi yang 40 J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali : Jakarta, 1982. Hal. 59 41 Chandra Adiputra, Makalah, Kriminologi, “Kejahatan dan Faktor Penyebabnya”, 2014. Hal. 6 Universitas Sumatera Utara menyebabkan kerugian atau kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan. 5. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya oelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga. 6. Kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya dalam lingkungan masyarakat, keluarga, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya. 7. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan penadahan barang-barang curian 8. Dorongan-dorongan mengena ide dan sikap yang mengarag pada tindakan kekerasan, ketidak samaan hak dan sikap tidak toleransi. Apabila dilihat dari kongres PBB ke-8 sebagai mana yang disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan, pengaruh keluarga dan pengaruh dari masyarakat memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap seseorang yang akan melakukan kejahatan. Berpijak dari pengertian kejahatan dari J.E Sahetapy, dapat dikatakan bahwa kejahatan tersebut merupakan perbuatan anti sosial yang dinilai negatif oleh masyarakat.Artinya, perbuatan tersebut menjadi penilaian penting dari masyarakat.Sehingga, dalam upaya penanggulangan kejahatan peranan masyarakat sangat diperlukan dalam penanggulangan kejahatan. Selain berbagai bentuk faktor-faktor yang disebutkan di atas, globalisasi menjadi salah satu bentuk faktor eksternal yang mengakibatkan anak dibawah Universitas Sumatera Utara umur melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.Efek negative ini sering sekali mengakibatkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Dewasa ini, pemandangan terhadap anak dibawah umur yang memiliki hubungan bebas dengan lawan jenisnya tidak terlalu tabu.Banyak anak-anak yang belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, berhubungan yang dikenal dengan istilah pacaran.Kurangnya pengawasan dari orang tua, dan kurangnya kemampuan mengendalikan emosi diri, mengakibatkan anak melakukan hubungan bebas, bahkan berujung dengan hubungan seksualitas yang dilakukan anak di bawah umur dengan anak di bawah umur.Ini menjadi salah satu faktor utama dalam mendorong tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Universitas Sumatera Utara BAB IV Pertanggungjawaban pidana anak pelaku Tindak pidana pemerkosaan Anak di bawah umur Istilah kebijakan berasal dari kata Policy atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintahan dala arti luas, dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalahmasalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturanperundang-undangan dan pengaplikasian hukum, peraturan dengan tujuan mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat. 42 Menurut Mahfud, Politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah meliputi : 43 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Sedangkan Utrecht menyebutkan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan 42 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2010. Hal. 23-24 43 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya : Yogyakarta, 1999. Hal. 10 Universitas Sumatera Utara hukum tertentu dalam masyarakat. secara substansial politik hukum diarakan pada hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum). 44 Dalam pengertian politik hukum yang dikemukakan para ahli hukum di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa politik hukum merupakan salah satu bentuk aktivitas memilih cara apa yang dapat digunakan oleh para pemerintah, termasuk penegak hukum, dalam upaya menegakan hukum serta mengimplementasikan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan hukum bagi masyarakat. Hukum pidana yang merupakan hukum yang mengatur mengenai suatu tindak pidana dan memberikan sanksi yang merupakan bentuk pertanggungjawaban dari tindak pidana tersebut, juga mengatur berbagai bentuk kebijakan dalam meminta pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana tersebut. Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana diartikan sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternative yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya.Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana.Yaitu memberikan 44 Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. SInar Grafika : Jakarta, 2011. Hal. 22- 23 Universitas Sumatera Utara dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap orang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana. 45 A. Pertanggungjawaban Pidana Dalam hukum pidana, konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea). 46 Setiap orang yang melakukan tindak pidana, haruslah bertanggungjawab akan perbuatannya. Tidak terlepas apakah pelaku tindak pidana tersebut merupakan orang yang sudah dewasa, maupun orang yang belum dewasa.Selagi tidak ada alasan penghapus pidana dalam perbuatannya tersebut, orang yang melakukan tindak pidana harus dihukum. Setiap subjek hukum baik manusia maupun korporasi, apabila dalam melakukan suatu perbuatan hukum dan dalam perbuatannya tersebut mengandung unsur-unsur kesalahan, memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. 45 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta, 2008. Hal. 58-59 46 Hanafi, Op.cit Universitas Sumatera Utara Bentuk pertanggungjawaban tersebut merupakan salah satu bentuk keadilan bagi korban dari perbuatan tersebut. Karena pada intinya orang yang melakukan kejahatan, akan mendapatkan kenikmatan dari perbuatannya tersebut, walaupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tercela dalam masyarakat. Perbuatan tersebut akan merugikan korban, baik kerugian materil maupun kerugian imateril. Pemberian sanksi yang merupakan aplikasi dari pertanggungjawaban pidana, akan menghukum pelaku kejahatan tersebut dengan penjatuhan pidana kepadanya dan hal tersebut merupakan bagian dari keadilan bagi korban. Dalam penjatuhan pidana, orang yang akan menerima sanksi atau dimintakan pertanggungjawabannya, adalah orang yang mampu bertanggungjawab akan perbuatannya dan tidak ada alasan penghapus pidana dalam perbuatan tersebut. Alasan-alasan penghapus pidana yang dimaksud adalah : a. Alasan Pembenar Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal tersebut sebagai alasan pembenar.Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Salah satu contoh alasan pembenar adalah : 1) Keadaan Darurat Universitas Sumatera Utara Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar.Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya perbenturan antara kepentingan hukum dan kewaiban. Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakan harus melindungi kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika : a) Tidak ada jalan lain b) Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan 2) Pembelaan Terpaksa Pembelaan terpaksa, dimuat dalam pasal 49 ayat (1) KUHP. Dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, yang diisyaratkan sebagai pembelaan terpaksa adalah : a) Adanya serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda b) Serangan itu bersifat melawan hukum Universitas Sumatera Utara c) Pembelaan merupakan keharusan d) Cara pembelaan adalah patut 3) Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perintah atau ketentuan undangundang, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap perbuatan tersebut. karena, kesalahan terhadap perbuatan tersebut telah dihapuskan. Dalam hal ini, terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya.Artinya, bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajan hukum lainnya.Dalam melaksanakan ketentuan undang-undang tersebut, kewajiban yang terbesar harus diutamakan.Alasan pembenar tentang melaksanakan ketentuan undang-undang ini diatur dalam pasal 50 KUHP. Dalam penjelasan ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana.Akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka pelaku tidak boleh dihukum, walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana.Selain itu, perbuatan tersebut harus mementingkan kepentingan umum, dan bukan kepentingan pribadi. 4) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah Seorang bawahan melakukan suatu perbuatan, apabila perbuatan tersebut merupakan perintah dari jabatan yang diberikan oleh atasannya, maka walaupun perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, pelaku yang Universitas Sumatera Utara melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.Hal tersebut diatur dalam pasal 51ayat (1) KUHP. Dengan kata lain, yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang, dan yang diperintahkan harus sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal melaksanakan ooeruntah jabatan, harus diperhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah. b. Alasan Pemaaf Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan.Maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Jenis-jenis alasan pemaaf adalah sebagai berikut : 1) Tidak mampu bertanggungjawab Orang yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab adalah orang yang normal dan memiliki akal sehat.Pasal 44 KUHP menjadi dasar bagi alasan pemaaf tersebut.Dalam pasal 44 KUHP, orang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya adalah orang yang memiliki cacat dalam pertumbuhan, gangguan dalam kejiwaan dan berubah akal. Dalam pasal 44 KUHP ini, tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang idak dapat Universitas Sumatera Utara mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan. Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) KUHP, kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa hanya diberikan kepada hakim.Akan tetapi, dalam menentukan apakah pelaku memang benar memiliki penyakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan.Meskipun hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri), hakim dalam memberikan putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.penerumaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan. 2) Daya Paksa Daya paksa merupakan setiap daya, dorongan atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan.Titik tolak dari daya paksa ini adalah adanya keadaankeadaan yang eksposional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku, buka ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil.Alasan pemaaf karena daya paksa diatur dalam pasal 48 KUHP. Setiap paksaan dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi, hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau di elakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana. Paksaan yang dimaksud adalah paksaan absolut. 3) Pembelaan Terpaksa Universitas Sumatera Utara Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu : a) Harus ada situasi pembelaan terpaksa yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan. b) Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa hebat dapat mencakup berbagai jenis emosi, Yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, guncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alcohol atau narkotika. Perbuatan yang melampaui batas ini, diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP.Maksud perbuatan yang melampaui batas adalah perbuatan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga.Perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Dalam hal ini, hakim berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan sebab akibat antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Dengan alasan tersebut, pelaku tetap melakukan perbuatan melawan hukum.Akan tetapi kesalahan dalam perbuatan tersebut dihapuskan, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana. 4) Melakukan perintah jabatan yang tidak sah dianggap sah Universitas Sumatera Utara Pelaku yang melakukan perintah yang tidak sah namun di anggap sah dapat dihapuskan pidanannya apabila memenuhi syarat sebagai berikut : a) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang sah b) Dilakukan dengan itikad baik c) Pelaksanaannya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya. Jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan, maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi, dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. Anak yang melakukan kejahatan, juga akan dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hanya saja, terdapat perbedaan yang mendasar pada pemberian pertanggungjawaban pidana kepada anak yang melakukan kejahatan dengan orang yang telah dewasa yang melakukan kejahatan. Penerapan aturan dalam pemberian pertanggungjawaban pidana pada anak yang melakukan kejahatan, sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana anak, yang merupakan lex spesialis dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan orang yang telah dewasa apabila melakukan kejahatan, akan diproses sesuai dengan KUHAP. Ini artinya, pertanggungjawaba pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umurpun, dapat diselesaikan dengan upaya penal. Universitas Sumatera Utara B. PertanggungjawabanPidana anak pelaku Melakukan Pemerkosaan Terhadap korban Anak di bawah umur Perbedaan pengaturan mengenai proses penyelesaian konflik terhadap anak dan orang dewasa berbeda, dijelaskan dalam penjelasan umum Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Universitas Sumatera Utara Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). 47 Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib 47 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Universitas Sumatera Utara mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. 48 Pasal 1 Angka 3 mengkategorikan anak yang berhadapan dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan akan diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah anak yang berusia antara 12 sampai dengan 18 Tahun. Perbedaan yang paling mendasar pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak ini adalah kewajiban atau keharusan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh anak di bawah umur dengan menggunakan proses diversi, sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Syarat-syarat untuk menerapkan proses diversi menurut Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah : 1. Perbuatan tersebut diancam dengan pidana di bawah 7 Tahun 2. Perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang berulang (tidak adanya pengulangan tindak pidana) Apabila syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut tidak terpenuhi, maka anak tersebut dalam rangka pemberian pertanggungjawaban pidana, dilakukan dengan cara penal atau melalui proses peradilan, sesuai dengan apa yang di atur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. 48 Ibid Universitas Sumatera Utara Terkait dengan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, pelaku dijerat dengan menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 82 ayat (1), barang siapa yang memaksa, mengancam dengan kekerasan, membujuk, atau perbuatan lainnya untuk melakukan perbuatan cabul sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila dilihat dari ancaman pidana dari pasal tersebut yang menyebutkan ancaman pidana yang diberikan maksimal 15 tahun, maka tidak dapat digunakan proses diversi pada kasus tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Sehingga, kasus anak di bawah umur yang melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berbeda dengan orang dewasa pada saat melakukan kejahatan, apabila anak di bawah umur melakukan kejahatan, dimintakan pertanggungjawaban dengan penerapan sanksi pidana, anak yang melakukan kejahatan tersebut ditempatkan di lapas khusus anak, dan juga anak tersebut dikirim ke lembaga sosial untuk dibina dan dididik, sebagai upaya perlindungan terhadap masa depan anak yang melakukan kejahatan. Universitas Sumatera Utara C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn. 1. Kasus 49 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.MDN atas nama terdakwa Irfan Maduwu menjadi salah satu contoh kasus mengenai tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur terhadap anak dibawah umur. Berikut analisa putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn atas nama terdakwa Irfan Maduwu : a. Kasus Posisi Terdakwa Irfan Maduwu merupakan salah seorang pelajar yang berusia 16 Tahun pada saat itu. Irfan Maduwu merupakan salah seorang siswa SMP di salah satu kota Medan. Pada saat itu, Irfan Maduwu memiliki hubungan khusus dengan adik kelasnya yang bernama Mayang Sari. Mayang Sari, yang menjadi saksi korban pemerkosaan tersebut, pada saat kejadian, Mayang Sari berusia 14 Tahun. Hal tersebut menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, merupakan kategori usia anak di bawah umur. Pada tanggal 25 Oktober 2015 pukul 22.00 WIB, saksi korban Mayang Sari sedang duduk bersama teman-temannya, dan seketika Irfan Maduwu ikut bergabung dengan saksi korban. Pada pukul 23.00, terdakwa Irfan Mawudu mengajak saksi korban untuk jalan-jalan berkeliling, sehingga sampailah di suatu tempat di belakang SMP 39 Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Marelan, tepatnya di belakang benteng 49 Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 79/pid.sus.anak/2015/PN.Mdn Universitas Sumatera Utara sekolah jalan Yong Panah Hijau, yang juga merupakan kawasan Pengadilan Negeri Medan. Setelah berhenti di belakang benteng tersebut, terdakwa mengajak saksi korban untuk menuju kerumah kosong, dan langsung memegang tangan saksi korban, mencium kening dan bibir saksi korban, dan memeluk tubuh dari saksi korban. Suatu ketika pukul 01.00, terdakwa membujuk saksi korban untuk melakukan hubungan seksual dengan terdakwa, dengan menyatakan “aku sayang kamu, aku ingin hubungan kita sampai kakek nenek”.Setelah mengeluarkan katakata tersebut, terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan persetubuhan dengannya. Sesaat saksi korban menolak ajakan dari terdakwa, namun terdakwa kembali membujuk saksi koban dan berjanji akan masuk islam dan bertanggungjawab atas semua perbuatan tersebut. Di rumah kosong tersebut, terdakwa meletakan sprei sebagai alas tidur terdakwa dan saksi korban dalam melakukan persetubuhan tersebut.terdakwa memegang leher dan mencium saksi korban, sehingga terdakwa Mayang Sari merasa terangsang.Pada akhirnya persetubuhan tersebut terjadi, dan timbul penetrasi dari saksi korban yang dibuang kelantai. Pada tanggal 1 November 2015, pukul 23.00, terdakwa dan saksi korban kembali duduk bersama dirumah kosong, dan pada akhirnya melakukan kembali hubungan seksual tersebut. Tidak lama kemudian, petugas ronda yang curiga Universitas Sumatera Utara melihat dan menyenter rumah kosong tersebut, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh saksi korban dan terdakwa ketahuan, dan dibawa ke Aloha. Menurut saksi Harianto, bahwa terdakwa mengakui telah melakukan persutubuhan dengan saksi korban sebanyak 2 kali. Berdasarkan keterangan saksi korban Mayang Sari, persetubuhan tersebut terjadi karena saksi korban Mayang Sari dibujuk oleh terdakwa, dan tidak ada perdamaian yang dilakukan oleh terdakwa dan saksi korban. b. Dakwaan Penuntut Umum mendakwakan terdakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara subsideritas, sebagai berikut : Primair Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Subsider Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) jo Pasal 76E Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Universitas Sumatera Utara Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. c. Tuntutan Dalam surat tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum, pada pokoknya Jaksa Penuntut Umum menuntut agar hakim yang mengadili perkara ini memutuskan : a. Menyatakan terdakwa Irfan Maduwu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur dalam Perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011. b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwaIrfan Maduwu berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa ditahan dan 3 (tiga) bulan latihan kerja. c. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah) Universitas Sumatera Utara d. Fakta Hukum Fakta hukum merupakan fakta-fakta yang ditemukan di dalam pengadilan, terkait dengan kasus ini.Fakta-fakta hukum dapat diketahui dari keterangan saksi dan alat bukti yang timbul dalam persidangan.Adapun fakta hukum yang tertuang dalam Putusan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn: a. Terdakwa dan saksi korban memiliki hubungan khusus atau sedang berpacaran. b. Terdakwa yang berusia 16 Tahun, dan Mayang Sari yang bersusia 14 Tahun sebagai saksi korban merupakan adik kelas atau teman sekolah dari terdakwa. c. Terdakwa dan saksi korban berjalan dan bercerita di suatu rumah kosong Jalan Yong Panah Hijau, dan melakukan hubungan persetubuhan sebanyak 2 kali. d. Bahwa dalam suratVisum et Repertum Nomor 201/OBG/2015 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Sanusi Pilianh. Sp.OG selaku dokter dokter di Rumah Sakit Pringadi Medan menyimpulkan : selaput darah (Hymen) tampak robek lama (robek tidak berdarah lagi) robek sampai ke dasar, pada arah jarum jam 6 (enam) dan arah jarum jam 3 (tiga). Hasil USG : Rahim Normal dengan kesimpulan selaput darah tidak utuh (non itake). Universitas Sumatera Utara e. Putusan Dalam menentukan suatu putusan, hakim melakukan musyawarah dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang muncul di pengadilan.Selain itu, terdapat pula hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan bagi terdakwa, yang juga merupakan bagian dari pertimbangan hakim. Adapun hal-hal yang memberatkan dan meringankan adalah sebagai berikut : Hal yang memberatkan : a. Perbuatan anak tersebut meresahkan masyarakat b. Perbuatan anak tersebut sangat merugikan saksi korban Hal-hal yang meringankan adalah sebagai berikut : a. Anak tersebut menyesali perbuatannya b. Anak tersebut bersikap sopan dipersidangan dan terdakwa belum pernah dihukum c. Anak masih berusia muda (anak) yang diharapkan dapat merubah sikap lebih baik dimasa akan datang. Berdasarkan pertimbangan hakim, Sontan M. Sinaga, SH., MH sebagai hakim tunggal dalam persidangan ini memutuskan : a. Menyatakan anak IRFAN MADUWU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya”. b. Menjatuhkan pidana kepada anak tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun dan 6 (enam) bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga)bulan. Universitas Sumatera Utara c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani anak tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. d. Membebankan kepada anak tersebut untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000., (dua ribu rupiah) 2.Analisis Putusan Pengadilan 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn Negeri Medan Nomor: Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn merupakan salah satu bukti perbuatan yang berasal dari kenakalan remaja dan pergaulan bebas.Dalam putusan tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pemerkosaan anak di bawah umur.Dapat diketahui bahwa terdakwa yang bernama Irfan Maduwu masih merupakan seorang siswa yang pada saat kejadian berumur 16 tahun.Sedangkan yang menjadi korban adalah Mayang Sari yang merupakan siswi SMP yang pada saat itu berumur 14 tahun. Karena perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa yang masih berusia 14 tahun, anak tersebut harus diadili sesuai dengan sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 TentangSistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undangundang Nomor 11 Tahun 2012, Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sedangkan Pasal 1 angka 3 menyebutkan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sehingga dapat Universitas Sumatera Utara diambil kesimpulan bahwa terdakwa yang berusia 16 tahun, harus diadili sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak. Dalam proses peradilan pada kasus tersebut, hakim yang menangani kasus tersebut merupakan hakim tunggal, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 yang berbunyi “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal”. Berdasarkan faktafakta yang terdapat dalam pengadilan, terdakwa terbukti melakukan perbuatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dan atas perbuatan tersebut, terdakwa dianggap oleh hakim telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014. Adapun unsur-unsur dalam Pasal 82 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang Pada unsur setiap orang, dalam tindak pidana tersebut menunjukan bahwa subjek hukum adalah manusia pribadi (Natuurlijke Persoon), karena terdakwa Irfan Maduwu telah berusia 16 tahun, maka terdakwa dianggap telah mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. 2. Dengan sengaja Menurut Memorie van Toelchting (MvT), yang dimaksud dengan sengaja adalah perbuatan tersebut harus menghendaki, dan dalam melakukan perbuatan tersebut pelaku harus mengetahui atau mengerti apa yang menjadi akibat dari Universitas Sumatera Utara perbuatan tersebut. Berdasarkan keterangan saksi korban dan dibenarkan oleh terdakwa, perbuatan tersebut dilakukan didalam kamar tersebut oleh terdakwa dan saksi korban, yang dilakukan karena suka sama suka. Maka Hakim berkesimpulan perbuatan pemerkosaan yang dilakukan terdakwa tersebut kepada saksi korban merupakan pelaksanaan kehendak serta setidak-tidaknya terdakwa telah mengerti akan akibat dari perbuatan tersebut. Sehingga hakim berpendapat unsur dengan sengaja pada perbuatan ini telah terpenuhi. 3. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Dalam putusan ini, hakim berpendapat bahwa unsur yang terpenuhi adalah unsur “membujuk” unuk melakukan perbuatan cabul.Membujuk adalah melakukan pengaruh terhadap orang sehingga orang itu (korban) mengikuti dan menuruti kehendaknya.Dalam putusan tersebut, tidak ada satu kalimatpun yang menyatakan bahwa terdakwa melakukan pembujukan.Terdakwa pada saat melakukan perbuatan tersebut, terdakwa tidak dibuktikan berkata sesuatu untuk membujuk saksi korban.Hakim menginterprestasikan dengan adanya keterangan dari saksi korban yang menyatakan bahwa terdakwa membuka baju dari saksi korban, maka terdakwa memang benar melakukan pembujukan.Hakim menganggap bahwa “membujuk” tidak hanya dengan perkataan, melainkan dengan perbuatan. Sedangkan persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan), atau perbuatan yang keji, dimana semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, sehingga terjadi penetrasi bagi kedua Universitas Sumatera Utara orang tersebut.50Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut kepada korban yang berusia 14 tahun, yang artinya termasuk dalam kategori anak di bawah umur.Sehingga, unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (2) telah terpenuhi. Mengingat pelaku tindak pidana tersebut merupakan anak dibawah umur dan korban juga merupakan anak di bawah umur, pelaksanaan peradilan seharusnya mengikuti aturan-aturan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengenai proses diversi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi terhadap anak di bawah umur. Akan tetapi, dalam Putusan Nomor 79/Pid.sus.anak/2015/Mdn tidak menyebutkan bahwa telah dilaksanakan diversi atau belum.Hanya saja melalui keterangan saksi korban yang menyatakan tidak terjadi perdamaian antara korban dan terdakwa. Pasal 81 (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berbunyi : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Perbuatan yang dilakukan dalam putusan tersebut adalah perbuatan yang melakukan pembujukan untuk melakukan persetubuhan. Ancaman yang diberikan 50 R. Soesilo, Op.cit Universitas Sumatera Utara berdasarkan Pasal 81 ayat (2), sama dengan yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak. Berdasarkan pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diketahui bahwa ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku pemerkosaan terhadap anah adalah pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun, dan minimal 3 (tiga) tahun. Ketika kita kaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi wajib dilakukan apabila ancaman hukuman dari perbuatan tersebut dibawah pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a, tidak disebutkan apakah ancaman hukuman yang dimaksud adalah ancaman hukuman maksimal ataupun ancaman hukum minimal dari suatu perbuatan.Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa ancaman hukuman sesuai dengan hukum pidana.Artinya, apabila dikembalikan ke KUHP yang merupakan kitab utama dalam hukum pidana nasional, KUHP hanya mencantumkan hukuman maksimal pada setiap peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana. Sehingga, dapat diinterprestasikan bahwa ancaman yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (2) huruf a adalah ancaman maksimal dari suatu perbuatan. Sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memiliki ancaman maksimal 15 Tahun.Maka dari pada itu, proses diversi tidak dapat dilakukan, dan perbuatan tersebut harus melalui pengadilan anak dalam ruang lingkup pengadilan umum. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kuhp mengatur mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dalam Pasal 287 dan 288 KUHP. Hanya saja, dalam Kuhp, tidak menunjukan adanya motif perbuatan yaitu tipu muslihat, membujuk dan lainnya. Pemerkosaan yang dimaksud dalam KUHP ini adalah dengan melakukan ancaman kekerasan ataupun dengan kekerasan melakukan persetubuhan. Tapi jika melihat contoh pasal 81 ayat (2) sebagai pasal yang mengatur Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ada di atur tentang motif yang lain dan mengatur lebih spesifik perbuatan pemerkosaan tersebut, dengan mencantumkan motif perbuatan tipu muslihat, membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Hal ini merupakan bentuk keseriusan dari pemerintah dalam upaya perlindungan anak terhadap kejahatan. 2. Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan, baik secara internal maupun faktor eksternal. Artinya, perbuatan jahat terjadi tidak hanya adanya pengaruh dari orang lain, melainkan terjadi karena faktor diri sendiri. Tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak di bawah umur, terjadi tidak hanya karena adanya faktor lingkungan yang jahat, melainkan faktor diri sendiri anak tersebut juga menjadi penyebab utama. Pergaulan bebas, serta tidak didasarkan kepada perhatian orang tua, menjadi penyebab utama terjadinya tindak pidana Universitas Sumatera Utara pemerkosaan terhadap anak dibawah umur oleh anak di bawah umur. Karena notabenenya anak di bawah umur belum mampu menyeimbangkan id, ego,dan super ego yang ada dalam dirinya. 3. Pemerintah dalam upaya penanggulangan kejahatan, harus terus memberikan perhatian lebih kepada khusus nya Anak-anak generasi penerus bangsa dan Sebagai kaidah atau norma, hukum dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tetap harus di terima dan di jalankan oleh terdakwadan tetap di perhatikan dan di bombing sampai terdakwa tersebut habis masa hukumannya dan bisa di terima lagi di tengah-tengah masyarakat. B. Saran 1. Sebaiknya, dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, memberikan penjelasan mengenai bagaimana kategori perbuatan yang termasuk sebagai tindakan pencabulan dan persetubuhan. Karena kedua bentuk kejahatan ini sangat mirip. 2. Dalam melakukan upaya perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana, mengingat faktor utama anak melakukan kejahatan adalah kurangnya pengawasan dari orang tua, seharusnya keluarga memberikan pengawasan yang lebih kepada anak. 3. Tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan Universitas Sumatera Utara berguna bagi bangsa dan Negara di masa yang akan datang, sedangkan penahanan anak melalui rumah tahanan Negara di khawatikan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan. Selain itu juga akan meimbulkan penilaian yang buruk untuk anak tersebut. Universitas Sumatera Utara