BAB II ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN 2.1 Proses Perilaku Manusia Proses dan pola perilaku manusia dikelompokkan ke dalam dua bagian, (1) proses individual dan (2) proses sosial (Laurens, 2005). 2.1.1 Proses individual Membahas hal-hal yang ada dalam benak seseorang, yaitu bagaimana persepsi lingkungan terjadi, bagaimana lingkungan fisik tersebut diorganisasikan dalam pikiran sesorang, dan mengenal berbagai cara orang berpikir dan mersakan ruang, termasuk preferensi personal dan respon emosional terhadap stimulus lingkungan. Proses individual ini mengacu pada skemata pendekatan perilaku berikut (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Proses Fundamental Perilaku Manusia (Laurens, 2005) Universitas Sumatera Utara 2.1.1.1 Persepsi Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Suatu proses untuk mendapatkan informasi, dari dan tentang lingkungan seseorang, yang berfokus pada penerimaan pengalaman empiris. Biasanya didahului degan adanya stimulus. 2.1.1.2 Kognisi spasial Kognisi spasial berkaiatan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik. 2.1.1.3 Perilaku spasial Perilaku spasial atau bagaimana orang rnenggunakan tatanan dalam lingkungan adalah sesuatu yang dapat diamati secara langsung sehingga pada tingkat deskriptif hal ini tidak menjadi kontroversi seperti halnya usaha orang menjelaskan proses persepsi dan kognisi. 2.1.2 Proses sosial Proses Sosial menunjukkan bahwa manusia juga makhluk sosial, hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosialnya inilah manusia berperilaku sosial dalam lingkungannya yang dapat diamati dari Universitas Sumatera Utara fenomena perilaku-lingkungan, kelompok-kelompok pemakai dan tempat terjadinya aktivitas. Fenomena ini menunjuk pada pola-pola perilaku pribadi, yang berkaitan dengan lingkungan fisik yang ada, terkait dengan perilaku interpersonal manusia atau perilaku sosial manusia. Perilaku interpersonal manusia tersebut yang meliputi halhal sebagai berikut: 2.1.2.1 Ruang personal (Personal Space) Ruang personal seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung yang menyelubungi kita, membatasi jarak dengan orang lain, dan tabung itu membesar atau mengecil bergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Atau dengan kata lain, luas atau sempitnya kapsul tersebut bergantung pada kadar dan sifat hubungan individu dengan individu lainya. 2.1.2.2 Teritorialitas (Territoriality) Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubunganya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Universitas Sumatera Utara 2.1.2.3 Kesesakan (Crowding) Crowding (kesesakan/kesumpekan) terjadi karena privacy yang diperoleh/ lebih tinggi dari pada privacy yang diinginkan. Merupakan pengalaman yang multidimensional, bisa untuk diri sendiri maupun setting. Terlalu besar privacy menyebabkan isolasi sosial, sedangkan terlalu sedikit privacy menyebabkan perasaan terlalu ramai. Keramaian disamakan dengan suatu perasaan kurangnya kontrol terhadap lingkungan. Kondisi-kondisi ramai menyebabkan timbulnya perilaku negatif, karena memiliki hubungan secara kausal dengan beban sosial yang berlebih. Ada beberapa gejala yang dapat mengindikasikan terjadi crowding di masyarakat antara lain, (1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; (3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; (4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982). Selain melihat dari gejala yang timbul, juga akan dilakukan wawancara mengenai pendapat masyarakat mengenai keadaan tinggal di Kampung Aur. 2.1.2.4 Privasi (Privacy) Privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya. Baik itu proses individual maupun proses sosial, masing-masing mempunyai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hal Universitas Sumatera Utara tersebut. Sebagai contoh, persepsi orang mengenai arti lebar terhadap sebuah ruangan dapat berbeda dengan orang yang lain bergantung dari latar belakang budayanya atau keadaan ekonominya atau pun agama yang dianutnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut antara lain (1) faktor personal seperti jenis kelamin, umur, tipe kepribadian; (2) faktor situasi lingkungan; (3) faktor budaya dan Variasi Etnis (Laurens, 2005) Dari beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut, faktor budaya adalah faktor penentu atau modifier utama (Rapoport 1977). Kemudian hubungan antara latar belakang budaya terhadap perilaku, sistem aktivitas dan sistem seting diterjemahkan dalam bentuk diagram (Haryadi dan Setiawan, 2014) (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Hubungan antara budaya, perilaku, sistem aktivitas dan sistem setting (Haryadi dan Setiawan, 2014) Melihat dominannya faktor budaya dalam mempengaruhi perilaku manusia, maka untuk memulai penelitian berdasarkan pendekatan perilakulingkungan diperlukan pemilihan sampel yang didasarkan pada keragaman Universitas Sumatera Utara budayanya. Untuk penelitian yang dilakukan pada tesis ini, pemilihan sampel tersebut akan didasarkan pada suku/etnis yang hidup di Kampung Aur. 2.2 Pemahaman Lingkungan Kata lingkungan banyak sekali digunakan dengan berbagai pengertian sesuai bidang ilmu yang mendalaminya. Misalnya dalam ilmu psikologi, lingkungan adalah manusia dan kepribadiannya, bagi ilmu sosiologi adalah organisasi dan proses sosial, bagi ilmu geografi adalah tanah dan iklim, dan bagi arsitektur adalah bangunan dan ruang luar. Kategorisasi ini bergantung pada kegunaannya. Lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan fisik dan sosial atau lingkungan psikologikal dan behavioural (Laurens, 2005). 1. Lingkungan fisik terdiri atas terstrial atau tatar geografis. 2. Lingkungan sosial terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal. 3. Lingkungan psikologikal terdiri atas imaji yang dimiliki orang dalam benaknya. 4. Lingkungan behavioral mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respon seseorang Perbedaan utama dalam menyusun klasifikasi ini adalah perbedaan antara lingkungan objektif yang nyata disekitar seorang individu dan lingkungan fenomenologis yang dihayati (perceived) dan yang secara sadar ataupun tidak sadar mempengaruhi pola perilaku dan emosi seseorang. Universitas Sumatera Utara Begitu juga untuk penelitian yang akan dilakukan dalam tesis ini. Lingkungan yang akan diteliti akan terdiri dari lingkungan objektif, berupa lingkungan fisik seperti bangunan, fasilitas, prasarana dan saran, serta individu dan masyarakat yang ada di dalamnya dan lingkungan fenomenologis yang akan menjelaskan persepsi manusia terhadap lingkungannya. 2.2.1 Lingkungan permukiman Sejalan dengan penjelasan di atas, maka lingkungan permukiman juga dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu lingkungan fenomenologis dan lingkungan objektif. 2.2.1.1 Lingkungan permukiman yang bersifat fenomenologis Pembahasan terkait lingkungan fenomenologis sudah dibahas terlebih dahulu pada subbab 2.1. Dapat dikatakan bahwa untuk memahami lingkungan fenomenologis, peneliti harus bergerak terlebih dahulu dari faktor utama yang menjadi latar belakang. Dalam hal ini faktor utama tersebut adalah faktor budaya masyarakat setempat. Maka untuk dapat memulai penelitian perilaku-lingkungan pada permukiman Kampung Aur, harus dilakukan observasi perilaku masyarakat didasarkan pada suku atau etnisnya. Universitas Sumatera Utara 2.2.1.2 Lingkungan permukiman yang bersifat objektif Lingkungan permukiman yang bersifat objektif yang pada umumnya terdiri dari lingkungan fisik berupa bangunan. Di dalam konteks permukiman, penulis membagi lingkungan fisik ini menjadi dua bagian besar yaitu unit hunian dan lingkungan (sirkulasi, ruang terbuka, warung, tempat jajanan malam, dan lainnya). Terkait dengan lokasi penelitian di permukiman Kampung Aur, maka pada bab III dan IV akan dijelaskan bahwa ada 7 komponen lingkungan yang akan dijadikan objek pembahasan karena dianggap penting dan langsung berhubungan dengan perilaku masyarakat di Kampung Aur yaitu warung, ruang terbuka umum, ruang terbuka anak, tempat cuci bersama/bantaran sungai, pelataran mesjid, tempat jajanan malam, jalan (sirkulasi). 2.2.1.3 Pengartian lingkungan Mengingat bahwa penelitian yang dilakukan berupa hubungan perilaku terhadap lingkungannya, dimana nanti observasi yang dihasilkan akan berupa deskripsi-deskripsi ruang seperti besar, kecil, nyaman, panas, sejuk dan sebagainya, maka diperlukan suatu pengartian ruang yang konkret untuk dapat menjelaskan arti dari desrkripsi ruang yang dihasilkan. Dalam menterjemahkan arti ruang tersebut, maka teori yang dipergunakan adalah pemahaman lingkungan yang menyodorkan 12 poin dalam mengartikan pemahaman lingkungan yaitu, (1) tingkat kompleksitas unsur atau obyek; (2) urban grain dan texture; (3) skala, tinggi dan kepadatan bangunan; (4) warna, material dan Universitas Sumatera Utara detail; (5) manusia; (6) tanda-tanda; (7) tingkat aktivitas; (8) pemanfaatan ruang; (9) tingkat kebisingan; (10) tingkat penerangan; (11) unsur alami; dan (12) bau dan kebersihan (Rapoport, 1977). Dalam perkembangannya hal ini kemudian disederhanakan menjadi (1) warna, (2) ukuran dan bentuk, (3) perabot dan penataannya, (4) suara, (5) temperatur dan (6) pencahayaan (Haryadi dan Setiawan, 2014). Enam (6) aspek inilah yang akan digunakan untuk dapat mengartikan ruang dalam bentuk yang lebih nyata dalam penelitian ini. Ke enam aspek ini juga yang nantinya akan berfungsi sebagai variabel penelitian untuk data deskripsi ruang. 2.3. Pola Perilaku dan Lingkungan Pola perilaku dan lingkungan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara kedua komponen ini lah yang nantinya akan menimbulkan dampak yang disebut dengan arsitektur. 2.3.1 Hubungan perilaku dan lingkungan Kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik; berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Kebiasaan mental dan sikap perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (Laurens, 2005). Hal ini dapat dilihat pada bagan yang menyatakan bahwa tingkah laku (B = behavior) merupakan fungsi keadaan pribadi seseorang (P = person) dan lingkungan tempat orang itu berada (E = environment) atau B = f(P,E) (Gambar 2.3). Universitas Sumatera Utara E B P Gambar 2.3 Pengaruh E dan P terhadap B (Laurens, 2005) Ini menunjukkan bahwa lingkungan dan perilaku orang/masyarakat yang tinggal di dalamnya akan saling mempengaruhi. Lingkungan fisik akan mempengaruhi perilaku seseorang dan perilaku akan mempengaruhi lingkungan fisik hingga dicapai sebuah keseimbangan. 2.3.2 Hubungan arsitektur dan perilaku manusia Arsitektur merupakan disiplin ilmu yang memiliki kaitan erat dengan ruang, baik itu ruang yang sifatnya privat mapun publik. Ruangan tersebut dalam konteks perilaku-lingkungan dapat diterjemahkan sebagai lingkungan objektif (lingkungan fisik). Didalam pendekatan perilaku-lingkungan, lingkungan dan perilaku manusia akan saling mempengaruhi satu sama. Pada Gambar 2.2 sudah dipaparkan mengenai hubungan perilaku, budaya, sistem aktivitas dan sistem setting. Ketika kita berbicara mengenai sistem setting berarti kita sudah masuk ke dalam ranah arsitektural, karena sistem setting ini berbicara mengenai tata ruang. Namun sebelum sampai ke tahapan sistem setting, maka bagian terpenting dari pendekatan perilaku dan lingkungan ini adalah sistem aktivitas (activity system) Universitas Sumatera Utara atau juga dikenal dengan unit tatar perilaku (behavior setting). Unit tatar perilaku (behavior setting) sebagai konsep kunci bagi analisis manusia dalam arsitektur (Barker, 1968). Unit tatar perilaku (behavior setting) ini didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria. 1. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri dari satu atau lebih pola perilaku ekstraindividual. 2. Dengan tata lingkungan tertentu. 3. Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya. 4. Dilakukan dalam periode waktu tertentu Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Skema Pengertian Behavior Setting Universitas Sumatera Utara Sebagai contoh dari unit tatar perilaku (behavior setting) ini bisa diumpamakan pada sebuah toko, andil pembeli terhadap pola perilaku yang terjadi di toko meliputi perilaku dalam memilih dan mencari barang. Lemari-lemari pajang memamerkan sejumlah barang untuk proses mencari dan memilih tersebut. Di sisi lain pedagang yang menata dagangannya harus mempunyai akses langsung dengan barang dagangannya. Akan tetapi juga harus memungkinkan terjadinya interaksi antara pembeli dan pedagang, bukan didesain untuk pedagang atau pembeli saja. Seperti pembeli bisa melihat barang dagangan, menanyakan harga, memilih, kemudian pedagang memberikan barang yang dipilih atau dibeli. Keseluruhan perilaku dalam unit tatar perilaku (behavior setting) inilah yang nantinya akan membentuk sistem setting dari sebuah toko. Berdasarkan hasil analisa unit tatar perilaku (behavior setting) maka diketahui ukuran lemari pajang yang tepat, luas ruangan pajang yang dibutuhkan, jarak meja kasir dengan ruang pajang, dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan pada subbab 2.2, telah dijelaskan bahwa lingkungan fisik yang akan diteliti berupa unit hunian dan lingkungan (fasilitas bersama, sarana dan prasarana). Untuk itu observasi terhadap unit tatar perilaku (behavior setting) akan dilakukan pada kedua objek ini (unit hunian dan lingkungan). 2.4 Mengumpulkan dan Menggunakan Informasi Perilaku Setelah mengetahui keterkaitan antara perilaku dengan lingkungan dan bagaimana arsitektur mempengaruhi perilaku manusia, maka tahapan yang diperlukan Universitas Sumatera Utara selanjutnya adalah mengetahui bagaimana metode yang digunakan untuk dapat mengumpulkan dan menggunakan informasi perilaku. 2.4.1 Mengumpulkan informasi perilaku Dalam mengumpulkan informasi perilaku (dalam hal ini informasi perilaku yang dikumpulkan dalam tataran behavior setting) maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan, (1) eksperimental (experimental research); (2) observasi partisipatif; (3) pemetaan perilaku; (4) kuisioner dan wawancara; (5) studi kasus; (6) analisis isi. Jika dilihat dari lingkup karakteristik unit tatar perilaku (behavior setting) yang akan diteliti yaitu pada setting unit hunian dan setting lingkungan (fasilitas bersama, sarana dan prasarana), maka cara yang tepat untuk digunakan dalam mengumpulkan data adalah observarsi partisipatif. Observasi partisipatif sebagai suatu proses dimana pengamat atau observer hadir pada suatu situasi sosial untuk kepentingan situasi akademik (Haryadi dan Setiawan, 2014). Disini observer berada dalam situasi hubungan langsung dengan yang diamati, dan dengan berperan serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Observer dalam situasi ini adalah bagian dari konteks yang diamati dan dengan demikian dipengaruhi dan mempengaruhi (meskipun secara tidak langsung) dengan konteks yang diamati. Di dalam penelitian ini cara pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi partisipatif akan digunakan untuk setting unit hunian dan setting lingkungan (Gambar 2.5 dan 2.6). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5 Observasi Partisipatif terhadap Behavior Setting Unit Hunian Gambar 2.6 Observasi Partisipatif terhadap Behavior Setting Lingkungan Universitas Sumatera Utara 2.4.2 Menggunakan informasi perilaku Seperti sudah dijelaskan pada subbab 2.2, hasil yang diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan sifatnya merupakan deskripsi, bagaimana perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya dan sebaliknya. Untuk dapat menterjemahkan deskripsi tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret, maka akan digunakan 6 (enam) tolak ukur, (1) warna, (2) ukuran dan bentuk, (3) perabot dan penataannya, (4) suara, (5) temperatur dan (6) pencahayaan. Hasil dari penterjemahan ini nantinya akan berupa ukuran-ukuran yang sudah dapat langsung digunakan sebagai dasar untuk kriteria perancangan yang akan dilakukakan. Untuk lebih jelasnya, mengenai penggunan keenam komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Penggunaan Informasi Perilaku yang Diterima Universitas Sumatera Utara 2.5 Studi Banding Sebenarnya sudah banyak jenis-jenis penanganan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak non-pemerintah terhadap permasalah permukiman kumuh ini. Penanganan tersebut bervariasi bentuknya mulai dari penggusuran secara paksa, relokasi pada rusunawa yang sudah disediakan, pembangunan dengan konsep community development (salah satu bentuk penanganan yang melibatkan masyarakat) seperti pada program Kampung Improvement Program), dll. Berikut dipaparkan beberapa studi banding dari bentuk-bentuk penanganan yang sudah dilakukan. 2.5.1 Kampung Kebalen improvement program Kampung Improvement Program (KIP), yang selanjutnya akan disebut dengan KIP saja, adalah program perbaikan kampung yang ada di perkotaan. KIP ini sendiri dilaksanakan di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dll. Namun yang akan dijadikan sebagai studi banding disini adalah KIP yang dilaksanakan di Surabaya, tepatnya di Kampung Kebalen. (Gambar 2.8) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8 Lokasi Kampung Kebalen (Google Map, 2016) 2.5.1.1 Data proyek Nama Proyek : Kampung Kebalen Improvment Program Pemilik Proyek : Masyarakat Kampung Kebelen yang diwakili oleh Pemerintah Surabaya Perencana : Chusen Chasbullah dan Eddy Indrayana Konsultan : Johan Silas (ahli perumahan/arsitektural) Bambang Sugeng (ahli sipil) Universitas Sumatera Utara Hasyim Alahad (ahli ekonomi) Kontraktor : PT. Suba Harkat Utama Populasi : 60.000 Jumlah rumah : 20.000 Kepadatan : 800 orang perhektar Luasan : 32 Hektar Lama Pengerjaan : 1980-1981 2.5.1.2 Tujuan program 1. Meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada. 2. Meningkatkan kualitas lingkungan. 3. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarkat. 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengembangkan komunitasnya. 2.5.1.3 Gambaran umum Kampung Kebalen (1980) Kampung Kebalen dihuni oleh 60.000 penduduk yang dapat dikelompokkan dalam 5 etnis utama dengan komposisi, (1) madura 50%; (2) jawa 30%; (3) cina 10%; (4) Bali 6% dan (5) Arab 4%. Mayoritas penduduknya beragama Islam (85%) dan sisanya beragama Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Kampung Kebalen ini juga mempunyai beberapa fasilitas umum seperti, sekolah dasar (5 buah), mesjid (4 buah), Universitas Sumatera Utara fasilitas kesehatan (2 buah), MCK (3 buah), pos jaga (4 buah) dan ruang terbuka (1 buah). 2.5.1.4 Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari KIP Kampung Kebalen ini dalam tingkat perencanaan adalah berupa guideline desain yang ditujukan untuk perbaikan permukiman. Guideline desain ini kemudian dibagi menjadi dua bagian besar yaitu perencanaan unit hunian berdasarkan karakteristik pemakai dan perencanaan lingkungan, dalam hal ini termasuk perencanaan sarana dan prasrana, fasilitas umum, tempat ibadah, dll. Sedangkan dalam tingkat konstruksi atau pembangunan, pemerintah hanya melaksanakan guideline desain untuk lingkungan saja, sedangkan untuk perbaikan unit hunian, diharapkan adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki huniannya berdasarkan petunjuk perencanaan yang sudah diberikan. Guideline desain ini tidak ditampilkan dalam bentuk gambar detail untuk masing-masing unit yang ada di tempat tersebut, melainkan hanya memberikan gambaran konsep mengenai bagaimana konsep keseluruhan mengenai rencanan pengembagan yang diinginkan yang memang sesuai dengan keadaan kondisi sosial masyarakat (Gambar 2.9-2.11) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9 Contoh Guideline Design untuk Fasilitas Umum (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10 Contoh Guideline Design untuk Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.11 Contoh Guideline Design untuk Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 2.5.1.5 Kajian terhadap Kampung Kebalen improvment program Pendekatan desain yang dilakukan terhadap perencanaan Kampung Kebalen, adalah pendekatan community development. Dimana masyarakat, dalam hal ini sebagai owner, diikutsertakan dalam melakukan perencanaan. Pendekatan ini jika dibandingkan dengan pendekatan perilaku-lingkungan yang digunakan dalam tesis ini bisa dikatakan masih termasuk dalam rumpun pendekatan arsitektur yang sama. Masyarakat dan perilakunya menjadi objek penelitian utama yang kemudian dijadikan sebagi input bagi proses perencanaan. Jika dilihat dari proses perencanaan yang dilakukan terhadap Kampung Kebalen,terkait dengan pendekatan perilaku yang dilakukan, maka proses perencanaannya dapat kita kelompokkan. 1. Melakukan pendataan terhadap karakteristik penduduk di permukiman Kampung Kebalen, mulai dari suku, agama, perkerjaan, struktur sosial, dll. Hal ini bisa dilihat dari kepedulian perancang terhadap pendataan struktur sosial dan budaya masyarakat. Data yang dikumpulkan tidak hanya bersifat data teknis seperti jumlah penduduk dan jumlah rumah yang dibutuhkan melainkan juga karakteristik dari masing-masing hunian eksisting seperti hunian yang digunakan oleh satu keluarga, atau dua keluarga atau lebih dari dua keluarga. Universitas Sumatera Utara 2. Melakukan pengelompokkan elemen permukiman yang akan dirancang. Disini pengelompokkan dilakukan menjadi beberapa bagian, yaitu unit hunian, jalan, drainase, MCK, tempat ibadah. 3. Melakukan observasi atas aktivitas/perilaku masyarakat terkait dengan elemen lingkungan yang sudah dikelompokkan sebelumnya. 4. Melakukan perencanaan berdasarkan input data perilaku/aktivitas masyarakat Kampung Kebalen. Dimana perencanaan ini dibagi menjadi dua bagian besar yaitu perencanaan untuk unit hunian dan perencananaan untuk lingkungan (jalan, drainase, MCK, tempat ibadah). Salah satu contohnya adalah disediakannya ruang tanama di bagian depan masing-masing rumah (Gambar 2.12). Penyediaan Ruang untuk Tanaman Gambar 2.12 Hasil Rancangan Lingkungan Terkait Perilaku Masyarakat (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Berdasarkan data literatur yang didapat, diketahui bahwa walaupun Kampung Kebalen termasuk daerah permukiman kumuh sebelum dilakukan peningkatan, namun kebiasaan menanam bunga atau pohon kecil di depan rumah sudah terjadi cukup lama. Untuk itu desain yang dibuat mencoba mengakomodasi kebiasaan ini dengan menyediakan ruang tanam di depan masing-masing unit hunian (Gambar 2.13). Gambar 2.13 Implementasi Hasil Rancangan Lingkungan Terkait Perilaku Masyarakat (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Dari hasil pelaksanaan pembangunan terkait rancangan yang dilakukan terlihat bahwa penyediaan ruang tanam di depan unit hunian bisa dikatakan cukup berhasil. Ruang yang ada memang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam bunga dan pohon kecil, sebagai salah satu bukti bahwa perancanaan yang berorientasi pada masyarakat akan lebih mudah diterima. Universitas Sumatera Utara Mengakomodasi kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan jalan sebagai tempat melakukan aktivitas ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2.14 dan 2.15. Gambar 2.14 Pemanfaatan pinggiran jalan sebagai tempat usaha (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Gambar 2.15 Pemanfaatan pinggiran jalan sebagai tempat usaha (sesudah dilakukan KIP) (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Dari kedua gambar di atas bisa dilihat bagaimana perencana mengakomodasi perilaku masyarakat dalam perencaaan jalan lingkungan. Lebar jalan disesuaikan dengan keperluan masyarkat, yang pada umumnya hamya berjalan kaki dan menggunakan sepeda motor. Bagian pinggiran jalan sengaja disisakan sebagai lahan bagi masyarakat untuk berjualan. Perencanaan ini tentu juga akan menghemat biaya perencanaan jalan, dan jalan yang dibangun juga tidak akan sia-sia karena digunakan sebagai tempat berjualan. Contoh berikutnya dapat dilihat pada Gambar 2.16, dimana berdasarkan data literatur yang diperoleh diketahui bahwa daya tampung mesjid tidak dapat mencukupi jumlah penduduk yang ada, terutama pada hari-hari besar keagamaan. Solusi yang diberikan adalah dengan membuat pembatas ruang ibadah yang fleksibel yang dapat sewaktu-waktu dipindahkan dan jalur pejalan kaki yang di samping mesjid dibuat sama tinggi dengan ruang ibadah sehingga bisa digunakan sebagai tambahan ruang ibadah. Gambar 2.16 Pembatas Ruang Ibadah yang Fleksibel (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Untuk unit hunian, perencana melakukan pengelompokan berdasarkan karakteristik penghuninya. Dari karakteristik penghuni yang ada, maka didapat enam (6) tipe unit hunian. Kemudian dari masing-masing tipe unit hunian akan dibuat sebuah guideline design yang tentunya didasari perilaku dari penghuninya tersebut. 1. Unit hunian keluarga kecil (2 kamar tidur) (Gambar 2.17) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Biasanya anak masih kecil sehingga bisa bergabung dalam satu kamar. Bentukan ruang tidur utama yang cukup besar dan memanjang disebabkan tingkat privasi yang cukup tinggi. Ruang tamu dengan ukuran besar dikarenakan tingkat hubungan yang baik dengan tetangga, serta digunakan juga sebagai ruang keluarga Gambar 2.17 Unit Hunian Keluarga Kecil (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 2. Unit hunian keluarga kecil (3 kamar tidur) (Gambar 2.18) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Biasanya anak memasuki usia menjelang remaja - Lahan cukup luas Ruang tidur utama langsung terhubung dengan ruang tidur anak yang berusia masih muda. Tiga bukaan pintu pada ruang tamu menunjukkan intensitas kunjungan tetangga. Gambar 2.18 Unit Hunian Keluarga Kecil (3 kamar tidur) (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 3. Unit hunian dan kamar sewa (Gambar 2.19) Dapur bersama Kamar sewa Rumah pemilik Gambar 2.19 Unit Hunian dan Kamar Sewa (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara Pada unit hunian dengan tipe ini, biasanya jalur masuk akan dibagi menjadi dua yaitu jalur penyewa dan jalur pemilik rumah, bisa dilihat pada gambar di atas jalur pemilik di sebelah kiri dan jalur penyewa di sebelah kanan. Biasanya penyewa merupkan orang lama juga di kampung ini, sehingga penggunaan dapur secara bersama tidak mengganggu pemilik rumah. 4. Unit hunian keluarga kecil bertingkat (3 kamar tidur) (Gambar 2.20) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Penambahan tingkat dikarenakan oleh keterbatasan lahan. Keberadaan ruang keluarga dan ruang tamu yang terpisah menunjukkan perlunya privasi untuk ruang keluarga bagi keluarga dengan tipe hunian ini Gambar 2.20 Unit Hunian Keluarga Kecil Bertingkat (3 kamar tidur) (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 5. Unit hunian 2 keluarga gandeng (Gambar 2.21) Tipe unit hunian ini biasanya muncul karena hunian yang dulunya dihuni oleh satu keluarga kemudian berkembang menjadi dua keluarga. Sebagai contoh orangtua sebuah keluarga sudah meninggal dan anaknya ada dua orang yang kemudian masing-masing juga memiliki keluarga sendiri dan tetap tinggal di tempat yang sama. Jalur masuk bagi rumah keluarga yang ada di bagian belakang Batasan antara rumah yang ada di depan dengan rumah yang ada di belakang tidak ketat, menunjukkan masih dekatnya hubungan keluarga di antara dua pemilik rumah. Jalur masuk bagi rumah keluarga yang ada di bagian depan Gambar 2.21 Unit Hunian 2 Keluarga Gandeng (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 6. Unit hunian multi keluarga (Gambar 2.22) Unit hunian Multi-Keluarga ini adalah tipe hunian yang biasanya dihuni oleh 4 keluarga atau lebih. Tipe hunian ini diperuntukkan untuk daerah unit hunian yang cukup padat. Ruang terbuka di lantai 2 yang digunakan sebagai ruang santai dan ruang jemur pakaian bagi keluarga di lantai 2. Gambar 2.22 Unit Hunian Multi-Keluarga (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Universitas Sumatera Utara 2.5.2 Aranya community housing Berbeda dengan Kampung Kebalen Improvement Program yang merupakan program perbaikan kampung (slum upgrading), Aranya Community Housing, merupakan program perencanaan kawasan permukiman di lokasi baru yang dilakukan oleh pemerintah India yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indore, India. 2.5.2.1 Data proyek Nama Proyek : Aranya Community Housing Pemilik Proyek : Penduduk perumahan kumuh di Indore diwakili oleh Indore Development Authority Perencana : Balkrishna V Doshi Konsultan : Himansu Parikh (pimpinan proyek) Deepak Kantawala (ahli teknik lingkungan) Vishnu Joshi (ahli sipil) Luasan : 85 Hektar Jumlah rumah : 6.500 Lama Pengerjaan : Desain : 1983-1986 : Konstruksi : 1985-1989 2.5.2.2 Kajian terhadap aranya community housing Aspek yang akan dibahas terkait Aranya Community Housing ini akan dimulai dari tujuan proyek, metode yang digunakan dalam proses desain serta hasil keluaran desain. Universitas Sumatera Utara 1. Lokasi Proyek ini merupakan proyek relokasi permukiman kumuh yang ada di Kota Indore yang padat menuju daerah Aranya yang masih berada di Kota Indore dengan jarak kurang lebih 6-7 Km (Gambar 2.23). Gambar 2.23 Lokasi Aranya Community Housing (Google Map, 2016) Jika dianalisa diketahui bahwa relokasi penduduk tidak dilakukan terlalu jauh dari tempat asal, hanya sekitar 6-7 km atau sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Ini mengindikasikan bahwa lokasi baru yang dipilih untuk relokasi tidak boleh terlalu jauh dari lokasi awal, dikarenakan banyak faktor, terutama faktor ekonomi (lokasi pekerjaan penduduk yang direlokasi). Universitas Sumatera Utara 2. Kondisi awal perumahan Permukiman awal memiliki karakteristik tertentu sebagai berikut. a. Merupakan kumpulan rumah-rumah kumuh yang membentuk suatu lingkungan-lingkungan kecil, dengan bagian rumah yang menjorok hingga ke bagian luar bangunan. b. Toko akan muncul pada bagian pemukiman yang padat. c. Kebiasaan untuk menanam pohon setiap ada ruang kosong di lingkungannya. d. Fungsi jalan yang tidak hanya digunakan sebagai jalur untuk pergerakan, tetapi juga mengakomodasi kegiatan sosial, dan ekonomis. e. Permasalahan utama yang muncul adalah sarana dan prasaran yang tidak mencukupi serta keadaan infrastruktur yang buruk yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan lingkungan serta kesejahteraan penduduk. Karakteristik ini jika dibandingkan dengan lokasi yang akan diteliti memiliki beberapa kemiripan seperti dalam penggunaan jalan, kurang memadainya sarana dan prasarana, dll. Universitas Sumatera Utara 3. Master plan Keluaran desain yang dihasilkan mencoba untuk mengakomodasi kriteria permukiman penduduk yang ada di Indore dalam desain permukiman yang akan dibangun di Aranya selain itu juga tentunya akan menambahkan sarana/prasarana serta infrastruktur yang lebih memadai (Gambar 2.24). Gambar 2.24 Master Plan Aranya Community Housing (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Universitas Sumatera Utara Master plan dibuat agar dapat mengakomodasi ruang terbuka (open space) setiap 10 unit hunian dan juga memperhatikan hubungannya dengan jalur lalu lintas kendaraan. Dimana pada masyarakat yang akan direlokasi ke wilayah ini keberadaan ruang terbuka sifatnya sangat penting, karena bukan hanya sebagai tempat berkumpul warga, ruang terbuka juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan lainnya seperti kegiatan sosial, agama, pesta kecil dan sejenisnya (Gambar 2.25). Jalan Open Space Gambar 2.25 Hubungan Jalan dan Ruang Terbuka (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Perletakan unit hunian juga dibuat berdasarkan tingkat pemasukan dimana masyarakat berpendapatan tinggi dan menengah diletakkan di bagian pinggir jalan utama dan penduduk berpendapatan rendah di bagian dalam (Gambar 2.26). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.26 Perletakan Tipe Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) 4. Unit hunian Bagian unit hunian yang akan dibahas hanya terfokus pada unit hunian yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Dari Gambar 2.27 dibawah bisa dilihat bahwa setiap 10 unit hunian maka terdapat sebuah ruang terbuka yang disediakan sebagai tempat masyarakat berkumpul, ini dilakukan untuk mengakomodasi tipologi bangunan di lokasi awal yang selalu membentuk satu lingkungan kecil untuk setiap beberapa rumah. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.27 Unit Hunian Penduduk Berpendapatan Rendah (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Penghuni juga diberikan keleluasaan untuk memilih sendiri bentukan bangunan yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Hal ini juga termasuk pada fasade dan ornamen fasade yang digunakan. Perencanan menyediakan beberapa ornamen fasade yang akan dipilih, sehingga penghuni dapat membuat pilihan dari fasade/ornamen fasade yang ditawarkan. Hal ini pada akhirnya menghasilkan fasade bangunan yang tidak monoton (Gambar 2.28). Gambar 2.28 Variasi Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Universitas Sumatera Utara Bila dikombinasikan dalam komplek 10 unit hunian maka dapat membentuk variasi fasade seperti pada Gambar 2.29. Gambar 2.29 Variasi Komplek Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Pada Gambar 2.30 menunjukkan bahwa desain yang dihasilkan juga mengakomodasi kemungkinan dibuatnya rumah yang menjorok ke bagian luar dengan memberikan jarak sekitar setengah meter antara jalan dengan bangunan. Gambar 2.30 Jarak Antara Hunian dengan Jalan (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Universitas Sumatera Utara Pada Gambar 2.31 menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan ruang terbuka yang ada untuk menanam pohon. Kebiasaan menanam pohon itu terkait dengan keadaan iklim dan cuaca di lokasi dimana penghuni berada. Gambar 2.31 Jarak Antara Hunian dengan Jalan (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Gambar 2.32 menunjukkan bagaimana jalan sengaja didesain sehingga memungkinkan terjadinya sosialisasi serta kegiatan ekonomi. Gambar 2.33 menunjukkan interior tipikal di tiap rumah yang memberikan fleksibilitas bagi pemilik rumah untuk dapat mengatur rumahnya sendiri. Gambar 2.32 Jalan Sebagai Tempat Sosialisasi dan Kegiatan Ekonomi (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.33 Interior Tipikal Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Universitas Sumatera Utara