81 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam maupun tenaga kerja yang melimpah juga merupakan pelaku dalam perdagangan global. Dengan adanya perdagangan internasional, diharapkan kinerja perekonomian negara Indonesia akan meningkat, dan utilitas masyarakat pada negara tersebut akan menjadi lebih baik. Salah satu kegiatan perdagangana inetrnasional yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi adalah ekspor. Ekspor Indonesia selama periode 1975-2001 mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena terjadinya dua kali peristiwa kenaikan harga minyak (oil boom) yaitu tahun 1973 dan 1979 yang menyebabkan terjadinya peningkatan harga sebagian besar barang ekspor Indonesia di pasar internasional terutama harga minyak bumi yang menunjukkan peningkatan tajam, sehingga penerimaan dari ekspor khususnya sektor migas meningkat menjadi dua kali lipat dan semakin memantapkan perolehan devisa Selain itu, fluktuasi yang terjadinya juga yang disebabkan oleh adanya pergeseran strategi orientasi ekspor Indonesia dari sektor migas ke sektor nonmigas sebagai akibat dari adanya penurunan harga minyak bumi dan gas di pasaran internasional pada tahun 1986. Salah satu Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah Amerika Serikat. Negara ini adalah sebuah republik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. 82 Amerika adalah negara dengan wilayah terbesar keempat didunia, setelah Rusia, Kanada, dan Tiongkok. Negara ini juga negara ketiga terbesar dalam jumlah penduduk setelah Tiongkok dan India. Tetapi jika dilihat dari segi Ekonomi, Amerika adalah nomor satu dunia, meliputi kira-kira seperempat hingga sepertiga total keluaran ekonomi dunia. Hal ini dapat dilihat dari PDB Total (Produk Domestik Bruto) $13.049 triliyun (2003) dan PDB/kapita yaitu $36.010. Amerika Serikat memiliki keunggulan di bidang perekonmian karena memiliki sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang terampil. Hal ini mengakibatkan Amerika Serikat menjadi raksasa ekonomi dunia. Perekonomian Amerika Serikat pada mulanya bersandar pada sektor pertanian, akan tetapi pada saat ini dukungan sektor industri terhadap perekonmian Amerika Serikat kian dominan. Bahan-bahan tambang yang penting untuk industri hamper semua terdapat di Amerika Serikat dan jumlahnyapun cukup besar. Dengan berbagai keunggulan tersebut, Negara Amerika Serikat menjadi Negara terbesar ekonominya di dunia. Berdasarkan World Developmnet Indicator 2007, pendapatan perkapita Negara yang merdeka pada tahun 1776 ini di estimasi sekitar 45.000 dolar AS. Hingga tahun 1990, AS masih punya saingan sebagai Negara super power yaitu Uni Soviet. Tetapi sejak reformasi (glastnost dan prestorika) yang membuat Soviet hancur, praktis AS menjadi satu-satunya Negara terbesar dan terkuat di 83 dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta jiwa, produksi AS di taksir sekitar 28 persen GDP dunia. Tahun 2007 lalu karena dipicu jatuhnya harga obligasi kredit perumahan atau subprime mortgate Negara tersebut memasuki siklus resesi. Ditambah kenaikan harga minyak mentah yang sempat meniginjak harga 100 dolar AS per barel dan tindakan spekulan pasar keuangan AS. Resesi AS kemudian membuat banyak negara berusaha mengatasi dampaknya. Seperti yang dikutip oleh Bisnis Indonesia (31/1), Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa kuartal IV/2007 pertumbuhan ekonomi Negara itu turun pada level terendah selama 26 tahun terakhir, yakni hanya 0,6 persen dari level 4,5 persen pada kuartal sebelumnya. Baru-baru ini IMF (Internasional Monetary Fund) mengoreksi estimasi pertumbuhan ekonomi AS 2007 menjadi 2,2 persen dan pada tahun 2008 diproyeksikan turun menjadi 1,5%. Jika kita lihat dari produksi AS sekitar 28 persen dari total pendapatan dunia, dapat diprakirakan bahwa AS menguasai lebih dari seperempat daya beli dunia. Ketika daya beli masyarakat AS yang porsinya 28 persen turun, maka banyakj Negara lain akan ikut menanggung damapak resesi Negara itu. Prosesnya terjadi melalui kegiatan ekspor dan impor AS dari negara-negara mitranya di seluruh dunia. Ekspor AS diperhitungkan mengambil porsi 10 persen dari total ekspor dunia, dan impornya sekitar 16 persen dari total impor dunia. Dengan kata lain, jika ekspor impor AS merosot, maka ekspor-impor dunia pun akan terganggu. 84 Berikut ini merupakan gambar perkembangan ekspor non migas Indonesia 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03 20 05 Ekspor non migas ke AS ke Amerika Serikat. Tahun Tahun Nilai Ekspor Gambar 4.1 Perkembangan Ekspor Non Migas ke Amerika Serikat Dari grafik diatas dapat terlihat bahwa perkembangan ekspor non migas Indonesia menagalami perkembangan yang fluktuatif, sejak tahun 1983 hingga tahun 1985 nilai ekspor non migas Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu dari 4266,7 miliar menjadi 1720,9 miliar. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mulai mengeluarkan berbagai peket deregulasi yang dapat meningkatkan volume ekspor, diantaranya Paket Kebijakan 6 Mei 1986 yang isinya berupa pengurangan hambatan dalam kegiatan ekspor dengan memberikan kemudahan tata niaga ekspor non migas. Dengan adanya kebijakan ini secara bertahap mulai tahun 1987 hingga awal tahun 1990an, nilai ekspor non migas 85 Indonesia berlahan mengalami peningkatan. Hingga pada tahun 1995 nilai ekspor non migas mengalami peningkatan sebesar 6321,7 miliar. Meski megalami penurunan setelah terjadinya krisis ekonomi yahun 1997, pemerintah mulai meningkatkan kembali kegiatan ekspor non migas, hingga pada tahun 2000 mencapai kenaikan sebesar 8475,5 miliar. Namun kenaikan ini tidak bertahan lama, karena pada tahun berikutnya ekspor non migas ini cenderung mengalami penurunan. Indonesia tidak termasuk dalam daftar 25 besar tujuan ekspor dan impor AS, seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Filiphina. Tetapi dari posisi Indonesia, AS merupakan Negara utama tujuan ekspor dan asal impor. Tahun 2007 diperkirakan sekitar 12,3 persen ekspor Indonesia ialah ke AS, dan sekitar 9,0 persen impor Indoneisa dari AS. Porsi AS sebagai Negara pembeli barang ekspor Indonesia dan sebagai Negara penjual kebutuhan impor Indonesia jelas merupakan faktor yang dapat mengganggu ekonomi nasional. 4.2 Gambaran Umum Variabel Penelitian 4.2.1 Nilai Tukar Mata Uang Rupiah Nilai tukar merupakan variabel yang paling banyak di gunakan dalam pengembangan model perdagangan luar negeri. Suatu kondisi dimana nilai mata uang asing terhadap satuan mata uang asing terhadap mata uang domestik meningkat disebut sebagai depresiasi mata uang. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah : 86 Tabel 4.1 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah tahun 1983-2006 Tahun Nilai Tukar Pertumbuhan Rupiah (%) 1983 909 1984 1026 12,87 1985 1111 8,28 1986 1283 15,48 1987 1644 28,13 1988 1686 2,55 1989 1770 4,98 1990 1843 4,12 1991 1950 5,80 1992 2030 4,10 1993 2087 2,80 1994 2171 4,02 1995 2257 3,96 1996 2419 7,17 1997 6431 165,85 1998 7031 60,94 1999 7855 -24,67 2000 8530 8,41 2001 10265 17,04 2002 9260 -7,79 2003 8572 -6,03 2004 9290 8,37 2005 9713 4,55 2006 9020 -7,13 Sumber : Statistik Keuangan Indonesia BI Secara grafik pergerakanya dapat digambarkan sebagai berikut 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03 20 05 Harga Relatif Ekspor 87 Tahun Tahun Harga Relatif Ekspor (miliar rupiah) Gambar 4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah tahun 1983-2006 Sejak tahun 1983 perkembangan nilai tukar rupiah teris mengalami peningkatan hingga tahun 1987 dengan pertumbuhan yang cukup besar yaitu 28,13% nilai tukar rupiah meningkat dari 909 hingga menjadi 1644. Hal ini berlangsung hingga pada tahun 1990an, dimana niali tukar rupiah ini terus merangkak naik. Pada masa krisis ditahun 1997, Indonesia merubah system nilai tukarnya dari managed floating exchange rate system menjadi pure floating exchange rate system. Sejak tahun 1997, nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi yang menurun secara tajam dari Rp.2419,- per dollar AS tahun 1996 menjadi Rp.6431,- per dollar AS pada tahun 1997 atau terdepresiasi sebesar 166 %. Hal tersebut terjadi karena pengaruh dari krisis nilai tukar yang terjadi di Thailand. Jatuhnya kepercayaan investor asing yang disebabkan oleh besarnya arus dana keluar negeri untuk pembayaran utang luar negeri yang telah jatuh tempo dan depresiasi terjadi karena adanya transaksi spekulasi. Selain itu, buruknya fundamental 88 ekonomi dalam negeri yang disertai oleh krisis kepercayaan masyarkat terhadap perbankan dan adanya inflasi spiral telah menyebabkan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mencapai Rp. 10350,- per dolar AS tahun 1998 atau terdepresiasi sebesar 63,94 %. keadaan ini terjadi karena semakin memburuknya fundamental ekonomi sosial dan politik dan membengkaknya utang luar negeri swasta akibat krisis yang berkepanjangan. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp14.900/US$yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ tahun 1999 melakukan recovery menjadi sebesar Rp7.810/US$, tahun 2000 kembali melemah sebesar Rp8.530/US$, tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp10.265/US$, tahun 2002 kembali menguat menjadi Rp9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp8.570/US$ dan pada tahun 2004 sebesar Rp8.985/US$. Pada tahun 2004, asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN ditetapkan sebesar Rp8.600 per US$. Dalam realisasinya, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ selama tahun 2004 adalah sebesar Rp8.930, atau mengalami penyimpangan sebesar 3,5 persen (under-estimated). Demikian pula pada tahun 2005, dalam APBN-P asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp9.300 per US$, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ sampai dengan Oktober 2005 sebesar Rp9.590 per US$, atau menyimpang sebesar 3 persen. 89 Secara umum, kecendrungan melemahnya nilai tukar rupiah disebabkan oleh menurunnya kepercayaan masayarakat terhadap prospek pemulihan ekonomi akibat berbagai faktor internal mauapun eksternal. Faktor internal yang menyebabkan depresiasi rupiah terkait dengan terbatasnya pasokan valas di pasar sebagai akibat masih rendahnya modal masuk dan tidak kembali sepenuhnya devisa hasil ekspor keluar negeri. Sementara, tekanan permintaan valas dari sektor swasta khususnya untuk keperluan pelunasan utang luar negeri yang jatuh tempo masih tinggi. Sedangkan faktor eksternal antara lain adalah akibat peningkatan suku bunga AS dan penguatan mata uang US$ terhadap berbagai mata uang dunia. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang sangat tajam dan cenderung melemah juga disebabkan tipisnya volume perdagangan valas. Sehingga, jika terjadi sedikit saja tekanan akan mengakibatkan gejolak yang cukup besar. 4.2.2 Harga Relatif Ekspor Harga relatif ekspor yaitu indeks harga ekspor Indonesia dibagi dengan indeks harga ekspor dunia. Perbandingan antara harga komoditas di dalam negeri dengan harga komoditas di luar negeri. Jika terjadi perubahan harga relatif karena harga luar negeri lebih mahal atau lebih murah daripada harga domestik maka permintaan ekspor dari luar negeri akan terpengaruh. Untuk mengetahui harga relatif ekspor non migas, maka penulis mencoba membandingkannya indeks harga Indonesia dengan Amerika Serikat yang dapat dilihat dari tabel dibawah ini: 90 Tabel 4.2 Perkembangan Harga Relatif Ekspor 1983-2006 Tahun Indeks Harga Indeks Harga Harga Relatif Pertumbuhan Indonesia Amerika Ekspor (%) Serikat (miliar rupiah) 1983 13,53 83,29 5590,35 1984 15,3 84,43 5653,26 1,12 1985 15,97 83,78 5821,64 2,97 1986 17,32 84,59 6261,04 7,54 1987 19,92 86,05 7085,64 13,17 1988 21,98 92,11 7064,34 -0,30 1989 23,69 94,52 7044,6 -0,27 1990 25,3 95,39 6948,11 -1,36 1991 27,18 96,25 6903 -0,64 1992 28,83 96,34 6780,2 -1,77 1993 30,91 96,88 6532,31 -3,65 1994 34,13 98,94 6274,19 -3,95 1995 38,88 103,93 6026,19 -3,95 1996 41,3 104,49 6120,07 1,55 1997 44,46 103,08 14855,61 142,73 1998 80,22 99,68 12834 -13,60 1999 94,61 98,42 8169,2 -36,34 2000 100 100 8530 4,41 2001 117,1 99,16 8622,6 1,08 2002 124,21 98,18 7315,4 -15,16 2003 126,19 99,73 6771,88 -7,42 2004 132,36 103,58 7246,2 7,00 2005 82,78 106,88 12529,77 72,91 2006 86,58 110,68 11455,4 -8,5 Sumber : International Finance Statistic (Data di Olah) Secara grafik pergerakanya dapat digambarkan sebagai be:rikut 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03 20 05 Harga Relatif Ekspor 91 Tahun Tahun Harga Relatif Ekspor (miliar rupiah) Gambar 4.3 Perkembangan Harga Relatif Ekspor 1983-2006 Pada tahun 1980an, harga relatif ekspor mengalami peningkatan yang cukup Besar yaitu ditahun 1987 sebesar 13,17%, hal ini dipicu oleh berbagai faktor, diantaranya karena banyaknya pasar Negara-negara industri yang menutup diri, sebagai akibat menurunnya kegiatan perdagangan internasional, hal ini ditambah dengan adanya hambatan-hamabtan dalam ekspor seperti adanya kuota. Kenaikan harga relatif ekspor yang terjadi cukup tajam terjadi pada tahun 1990an, yaitu pada saat terjadinya krisis moneter, dimana harga-harga komoditas melonjak naik harganya, pertumbuhannya mencapai 142,73%. Indonesia pada saat itu tidak terlepas dari krisis, karena nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp14.900/US$yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. 92 Untuk beberapa industri, bahan baku yang diimpor mengalami kenaikan yang cukup drastis pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini terjadi karena melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika, sementara harga bahan baku yang diimpor harus menggunakan mata uang dolar Amerika Ditahun 2000, pemulihan ekonomi mulai di lakukan oleh pemerintah guna meyelamatkan negara ini dari ancaman krisis, beberapa kebijakan mulai dilakukan diantaranya dengan meningkatkan kegiatan promosi ekspor, dan pengurangan berbagai hambatan perdagangan internasional yang dapat mendukung kegiatan ekspor. Pertumbuhan harga relatif ekspor ini cukup fluktuatif setiap tahunnya, namun di tahun 2005 terjadi peningkatan kembali harga relatif ekspor sebesar 72,91 % yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia, beberapa komoditi mengalami kenaikan harga yang cukup besar, karena mahalnya ongkos produksi yang harus dikeluarkan produsen, terutama untuk komoditi ekspor yang memerlukan pengolahan dengan menggunakan bahan bakar minyak. Besarnya harga relatif ini sangat bergantung pada berbagai faktor, diantaranya adalah kondisi harga internasional dan nilai tukar pada saat itu. Pada komoditas non migas ynag dihasilkan oleh Indoenesia, sebagaian besar bahan baku tidak diproduksi di dalam negeri, melainkan harus di impor dari luar negeri, semakin mahal harga komoditas maupun bahan baku yang akan diproduksi, maka harga dari produk yang dihasilkanpun akan semakin mahal. 93 4.2.3 PDB Negara Amerika Serikat Jika dilihat dari segi ekonomi, Amerika adalah nomor satu di dunia, meliputi kira-kira seperempat hingga sepertiga total keluaran ekonomi dunia. Hal ini dapat dilihat dari PDB total $ 13.049 triliyun (2003) dan PDB/kapita yaitu $ 36.010. Hasil penelitian John Kendrick (Simanjuntak :1985) menunjukkan bahwa selama periode 1919-1957 pendapatan nasional Amerika Serikat bertamabah 3,2 persen setahun, sedangkan modal dan tenaga kerja bertambah hanya 1,1 persen setahun. Kemudian disimpulkan bahwa sisanya, yaitu pertambahan pendapatan nasional sebesar 2,1 persen setahun merupakan damapak dari kenaikan produktivitas penduduk Amerika Serikat sebagai akibat dari peningkatan kualitas SDM yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Jika dilihat dari data di bawah ini, PDB Amerika Serikat memang sangat besar, jauh jika dibandingkan dengan Negara-negara berkembang seperti Indonesia, namun demikian Amerika Serikat yang merupakan negara super power tersebut memiliki pengeluaran yang cukup besar, khususnya dalam bidang pertahan militer, dimana Amerika melakukan agresi di beberapa negara seperti Afganistan dan Irak. Berikut ini data mengenai perkembangan PDB AS : 94 Tabel 4.3 Perkembangan PDB Amerika Serikat Tahun 1983-2006 Tahun PDB Amerika Serikat ($) PDB Amerika Serikat (Rp) 1983 3536,66 3214823,9 1984 3933,17 4035432,4 1985 4220,26 4688708,9 1986 4462,82 5725798,1 1987 4739,47 7791688,7 1988 5103,79 8604989,9 1989 5484,35 9707299,5 1990 5803,06 10695040 1991 5995,93 1169206,3 1992 6337,74 12865612 1993 6657,41 13894015 1994 7072,22 15353790 1995 7397,65 16696496 1996 7816,86 18908984 1997 8304,34 53405211 1998 8747 90531450 1999 9268,41 72803361 2000 9816,97 83738754 2001 10128 103963920 2002 10469,6 97262584 2003 10960,8 93955978 2004 11685,9 108562011 2005 12433,9 120770470 2006 13194,7 119016193 Sumber : International Finance Statistic Pertumbuhan (%) 25,52 16,18 22,11 36,08 10,43 12,81 10,17 -89,06 10,37 7,99 10,50 8.74 13,25 182,43 69,51 -19,58 15,02 24,15 -6,44 -3,39 15,54 11,24 -1,45 Secara grafik pergerakanya dapat digambarkan sebagai be:rikut : 140000000 120000000 100000000 80000000 60000000 40000000 20000000 0 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03 20 05 PDB Amerika Serikat/ RP 95 Tahun Tahun PDB Amerika Serikat (Rp) Gambar 4.4 Perkembangan PDB Amerika Serikat Tahun 1983-2006 Perkembangan PDB Amerika Serikat sejak tahun 1983 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 1987 peningkatan terjadi sebesar 36,08%. Meskipun dikenal sebagai Negara maju dan memiliki pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan Negara-negara lainnya, Amerika Serikat pun tidak terlepas dari berbagai permasalahan ekonomi seperti inflasi, kemiskinan, dan pengangguran. Dilihat dari sejarahnya, Negara besar ini sempat mengalami beberapa kali resesi yang membuat perekonomian di negara ini tidak dapat berjalan dengan baik. Sebuah karangan berjudul “ Four Phases of Depression” buah tangan Raymond T. Dalio dalam Journal of Commerce (24 Mei 1982) menggambarkan berbagai depresi yang telah melanda suatu perekonomian seperti yang dialami oleh perekonomian Amerika. Menurut penulis tersebut, sejak tahun 1880 Amerika lebih kurang empat belas kali masa depresi. Pada tahun 1990an, ekonomi Negara maju ini mengalami kecendrungan yang meningkat, terutama pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1997, pada saat itu nilai mata uang dollar begitu meningkat, nilai PDB Amerika Serikat 96 meningkat cukup drastis sebesar 182,43%, dari Rp 18908984 pada tahun 1996 menjadi Rp 53405211 ditahun 1997. Kenaikan PDB Amerika Serikat ini tentu tidak berlangsung lama, karena pada tahun 2000an, PDB Amerika mengalami perkembangan yang cukup fluktuatif. Di tahun 2004 kenaikan mencapai 15,54%, namun hal ini tidak berlangsung lama karena ditahun 2006 menurun cukup drastis menjadi -1, 45%. Penurunan PDB Negara ini di pengaruhi oleh banyak faktor diantaranya, karena terjadinya krisis ekonomi akibat kredit macet perumahan, biaya perang yang mahal, dan kenaikan harga minyak dunia yang membuat kegiatan industri di Negara ini mau tidak mau harus menerima imbas kenaikan harga. 4.2.4 Tarif Ekspor Pada awal 1970-an, kebijakan perdagangan luar negeri bersifat protektif yang antara lain melalui pengenaan tarif tinggi bagi barang-barang impor sejenis yang diproduksi oleh perusahaan domestik. Untuk kebijakan perdagangan dalam negeri, pemerintah mulai memberikan hak monopoli bagi pelaku usaha tertentu. Pada awal 1980-an regulasi perdagangan luar negeri mulai dikendorkan secara perlahan dengan menurunkan tarif terutama untuk bahan baku bagi industri yang berorientasi ekspor. Serangkaian kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menderegulasi perdagangan luar negeri secara bertahap, berikut ini beberapa kebijakan yang pernah dikeluarkan pemerintah : 97 Paket Kebijakan 16 Januari 1982 1. Mengatur ekspor/impor dan lalu lintas devisa untuk memperkuat daya saing ekspor Indonesia 2. Mengeluarkan kebijakan Imbal Beli ( counter purchase) Paket Kebijakan 6 Mei 1986 1986 1. Meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dan mengurangi hambatan yang menyebabkan kurangnya minat investor 2. Kebijakannya meliputi kemudahan tataniaga ekspor non migas, fasilitas pengembalian bea masuk, fasilitas pembebasan bea masuk, dan pemberlakuan kawasan berikat Paket Kebijakan 25 Oktober 1986 Menurunkan biaya produksi dengan menurunkan bea masuk sejumlah komoditi, perlindungan produksi dalam negeri melalui sistem tarif, pemberian fasilitas swap yang baru, dan kebijakan penanaman modal. Paket Kebijakan 15 Januari 1987 Meningkatkan kelancaran penyediaan barang keperluan produksi dan perlindungan industri dalam negeri secara lebih efisien dengan mengubah kebijakan non-tarif menjadi tarif untuk sejumlah komoditas tertentu Paket Kebijakan 24 Desember 1987 Dibukanya mobilisasi dana pada pasar uang, untuk memperlancar perijinan di bidang produksi, jasa dan investasi pada umumnya, serta untuk memperlancar arus ekspor dan impor 98 Paket Kebijakan 28 Mei 1990 Penetapan penggantian proteksi melalui tata niaga impor menjadi proteksi melalui tarif bea masuk yang ditujukan untuk meningkatkan dan memperkuat daya saing produk industri nasional Paket Kebijakan 6 Juli 1992 Pemerintah melonggarkan tata niaga impor dan inti kebijakan sehingga setiap produsen bisa melakukan impor langsung tanpa memerlukan lagi rekomendasi dari Departemen Perindustrian Paket Kebijakan 10 Juni 1993 dan Paket Kebijakan dan Debirokratisasi 23 Oktober 1993 Mencakup deregulasi di bidang otomotif, bidang ekspor/impor, bidang penanaman modal dan perijinan usaha, dan bidang farmasi Disamping itu, dengan masuknya Indonesia dalam WTO pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan Mei 1995 yang secara umum berisi jadwal penurunan tarif. Penurunan tarif yang dilakukan berbeda dari tahun ke tahun tergantung tingkat tarif yang ada sebelum1995. Sebagai hasil Pakmei 95, tarif rata-rata Indonesia telah turun dari 20% di 1994 menjadi kurang dari 8% di tahun 2000. Sementara, Pemerintah juga menyepakati kerjasama perdagangan di kawasan ASEAN untuk meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Meskipun perkembangan tarif ekspor cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, pemerintah tetap berusaha memberikan kemudahan dalam kegiatan 99 perdagangan internasional melalui hambatan-hambatan non tarif. Berikut data mengenai perkembangan tarif ekspor : Tabel 4.4 Perkembangan Tarif Ekspor Tahun 1983-2006 Tahun Tarif Ekspor Pertumbuhan (miliar (%) rupiah ) 1983 104 1984 91 -12,5 1985 51 -43,95 1986 79 54,90 1987 184 132,91 1988 256 39,13 1989 172 -32,81 1990 44 -74,41 1991 17 -61,36 1992 9 -88,88 1993 14 55,55 1994 131 835,71 1995 201 53,43 1996 70 -65,17 1997 100 42,85 1998 582 482 1999 835 43,47 2000 331 -60,35 2001 541 63,44 2002 231 -57,30 2003 230 -0,43 2004 298 29,56 2005 318 6,71 2006 1244 291,19 Sumber : Badan Pusat Statistik Secara grafik pergerakanya dapat digambarkan sebagai be:rikut : 100 1400 Tarif Ekspor 1200 1000 800 600 400 200 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03 20 05 0 Tahun Tarif Ekspor (miliar rupiah ) Gambar 4.5 Perkembangan Tarif Ekspor Tahun 1983-2006 Perkembangan tarif ekspor dari tahun ke tahun mengalami kecendrungan yang meningkat setiap tahunnya, meskipun pemerintah masih berupaya mengurangi tarif ekspor dan mengurangi beberapa hambatan non tarif lainnya untuk mendorong kegiatan ekspor. Ditahun 1980an, kenaikkan harga terjadi cukup besar pada tahun 1987 tarif ekspor ini meningkat sebesar 132,91%. Untuk meningkatkan ekspor maka pada tahun berikutnya 1988 hingga tahun 1993 tarif ekspor cenderung mengalami penurunan. Penurunan tariff ekspor ini berkaitan dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan ekspor pemerintah yang mengatur tentang penurunan tarif dan kemudahan dalam melakukan kegiatan ekspor. Penurunan tarif juga terjadi pada tahun 1999 setelah terjadinya krisis moneter hingga tahun 2005. 101 4.2.5 Tarif Impor AS Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah. Peranan tarif meluas dalam era modern kini, karena pemerintah-pemerintah modern biasanya lebih suka melindungi industri-industri domestik mereka dengan mengenakan berbagai macam bentuk hambatan non-tarif (non tariff barriers). Misalnya, sebelum diterapkan pajak pendapatan, pemerintah Amerika Serikat memperoleh sebagian besar pendapatannya dari tarif. Tingkat tarif ratarata di Amerika Serikat atas impor yang dikenakan bea masuk dari tahun 1920 hingga 1984 (setelah meningkat tajam tahun 1930an) menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu. Namun demikian Negara maju ini merupakan salah satu Negara yang menetapkan tarif cukup besar dibandingkan Negara-negara lainnya. Bagi negara besar, seperti Amerika Serikat. Penerapan tarif merupakan salah satu kebijakan yang sangat penting untuk mendukung kegiatan ekspor impor. Dengan adanya peningkatan tarif, pendapatan negara Amerika juga akan meningkat, dan akan memberikan keuntungan juga bagi para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Berikut ini perkembangan tarif impor Amerika Serikat : 102 Tabel 4.5 Perkembangan Tarif Impor AS Tahun 1983-2006 Tahun Tarif Impor AS (U$) Tarif Impor AS (Rp) Pertumbuhan % 1983 278,1 252792,9 1984 293,3 300925,8 19,04 1985 308,5 342743,5 138,94 1986 323,7 415307,1 21,17 1987 347,9 571947,6 37,71 1988 374,9 632081,4 10,51 1989 399,3 706761 11,81 1990 425,5 7484196,5 958,94 1991 457,5 892125 -88,07 1992 483,8 982114 10,08 1993 503,4 1050595,8 6,97 1994 545,6 1184497,6 12,74 1995 558,2 1259857,4 6,36 1996 581,1 1405680,9 11,57 1997 612 3935772 179,99 1998 639,8 6621930 68,24 1999 674 5294270 -20,04 2000 708,9 6046917 14,21 2001 728,6 7479079 23,68 2002 762,8 7063528 -5,55 2003 807,2 6919318,4 -2,04 2004 863,8 8024702 15,97 2005 921,6 8951500,8 11,54 2006 967,3 8725046 -2,52 Sumber : Flow of Funds Account of the US (Federal Reserve) Secara grafik pergerakanya dapat digambarkan sebagai be:rikut 103 Tarif Impor AS 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 20 05 20 03 20 01 19 99 19 97 19 95 19 93 19 91 19 89 19 87 19 85 19 83 0 Tahun Tahun Tarif Impor AS (Rp) Gambar 4.6 Perkembangan Tarif Impor AS Tahun 1983-2006 Dari data diatas kita dapat melihat bahwa tarif impor Amerika Serikat cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sejak tahun 1983 hingga awal tahun 1990, tarif impor Negara ini terus meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1990 yaitu sebesar 958,94%. Peningkatan tarif ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan Amerika Serikat dari kegiatan perdagangan internasional dengan Negara lainnya. Meskipun tarif impor di Negara ini cenderung meningkat, namun tidak menyurutkan negara-negara lain untuk melakukan kegiatan impor ke negara ini. Hal ini terjadi karena tingginya daya beli masyarakat Amerika Serikat terhadap barang-barang yang dihasilkan oleh Negara pengimpor. Meskipun tarif impor ini sempat mengalami penurunan pada tahun 1991 sampai dengan 1996, di tahun berikutnya tarif impor ini mengalami peningkatan kembali, terutama setelah terjadinya krisis moneter di Asia, hingga tahun 2005. 104 4.3 Analisa Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisisi kuntitatif dengan statistik parametrik. Untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang diteliti, penulis menggunakan model ekonometrika dengan teknik korelasi dan regresi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan EViews (Econometric Views) 5.1, data yang diperoleh dari hasil pengujian EViews adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Pengujian Model Penelitian Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 08/17/08 Time: 08:23 Sample: 1983 2006 Included observations: 24 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. X1 X2 X3 X4 X5 C -0.499504 0.229545 0.327062 0.120092 0.241111 0.954405 0.097252 0.117419 0.049753 0.024976 0.047864 0.935278 -5.136162 1.954923 6.573754 4.808358 5.037452 1.020450 0.0001 0.0663 0.0000 0.0001 0.0001 0.3210 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.963090 0.952838 0.105525 0.200438 23.36913 1.114028 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 8.559489 0.485910 -1.447428 -1.152914 93.93526 0.000000 Sumber: Pengujian model estimasi EViews Dari hasil perhitungan diatas maka diperoleh persamaan model sebagai berikut: 105 Y = 0,954405 - 0,499504 X1 + 0,229545 X2 + 0,327062 X3 + 0,120092 X4 + 0,241111 X5 t = (1,020450) (-5,136162) (1,954923) (6,573754) (4,808358) (5,037452) R2 = 0,963090 Berdasarkan hasil pengujian di atas, nilai koefisien determinasi (R2) mendekati sempurna sebesar 0,963090 atau 96,3090%, artinya dalam model tersebut variabel bebas nilai tukar rupiah (X1), harga relative ekspor (X2), PDB Amerika Serikat (X3), tarif ekspor (X4), dan tarif impor (X5) dapat menjelaskan variabel dependen ekspor non migas (Y) sebesar 96,3090% dan sisanya 1,6729 % dipengaruhi oleh faktor lain. Koefisien determinasi dapat digunakan untuk melihat kualitas model, selain itu dapat digunakan untuk melihat masalah multikolinearitas. Untuk mendapatkan nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) maka dilakukan uji asumsi klasik. Dari hasil pengujian regresi di atas di peroleh informasi mengenai panjang kelambanan dari model regresi berdasarkan kriteria yang di kemukakan oleh Akaike (Akaike Information Criterion) sebesar -1,447428 dan menurut kriteria Schwarz (Schwarz Creterion) sebesar -1.152914. 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel pengganggu terdistribusi normal atau tidak. Untuk mendeteksi normal tidaknya faktor pengganggu dapat dipergunakan metode Jarque-Bera Test (JB-Test). 106 Selanjutnya nilai JBhitung = χ2hitung dibandingkan dengan χ2tabel. Jika JBhitung > χ2tabel maka H0 yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak, begitupun sebaliknya, Jika JBhitung < χ2tabel maka H1 diterima berarti residual berdistribusi normal diterima. 12 Series: Residuals Sample 1983 2006 Observations 24 10 8 6 4 2 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis -1.82E-15 -0.018170 0.265695 -0.142296 0.093353 1.147341 4.434970 Jarque-Bera Probability 7.324704 0.025672 0 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 Gambar 4.7 Uji Normalitas Jarque-Bera (Sumber: Pengujian normalitas Jarque-Bera EViews) Berdasarkan Gambar 4.6 di atas, nilai J-Bhitung diperoleh 7,324704 kemudian dibandingkan dengan χ2tabel dengan probabilitas 5% dan df= 24-6=18, diperoleh nilai χ2tabel sebesar 9,39. Karena nilai JBhitun < χ2tabel maka H1 diterima yang berarti residual berdistribusi normal. 2. Uji Linearitas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah fungsi yang digunakan dalam penelitian berbentuk linier, kuadrat, atau kubik. Untuk menguji linieritas 107 Penulis menggunakan uji Ramsey RESET Test, uji ini dikembangkan oleh Ramsey tahun 1969 yang menyarankan suatu uji yang disebut general test of spesification atau RESET. Ramsey RESET Test bertujuan untuk menghasilkan nilai Fhitung. Fhitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Ftabel, apabila Fhitung > Ftabel maka H0 yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier ditolak, dan sebaliknya bila Fhitung < Ftabel maka H1 yang menyatakan bahwa spesifikasi dalam fungsi linier diterima. Dengan menggunakan perhitungan Eviews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.7 Uji Linearitas Data Ramsey Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio 0.792259 1.093204 Probability Probability 0.385841 0.295762 Test Equation: Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 08/17/08 Time: 08:28 Sample: 1983 2006 Included observations: 24 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. X1 X2 X3 X4 X5 C FITTED^2 -1.556195 0.769431 1.014624 0.397597 0.796796 -6.438741 -0.134495 1.191197 0.617944 0.774083 0.312782 0.626156 8.359172 0.151103 -1.306413 1.245147 1.310743 1.271164 1.272520 -0.770261 -0.890090 0.2088 0.2300 0.2074 0.2208 0.2203 0.4517 0.3858 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.964734 0.952287 0.106139 0.191513 23.91573 1.227544 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 8.559489 0.485910 -1.409645 -1.066045 77.50799 0.000000 Sumber: Pengujian Linieritas Data Ramsey Eviews Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai Ftest sebesar 0,792259 dan Ftabel (2,77). Karena Ftest (0,792259) lebih kecil dari Ftabel (2,77), maka hipotesis yang 108 menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier adalah tidak dapat ditolak. Ini menandakan bahwa model yang digunakan berbentuk linier. 3. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah situasi dimana terdapat korelasi antara variabel bebas. Dalam hal ini variabel tersebut dapat disebut variabel yang tidak ortogonal. Variabel yang bersifat ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antarsesamanya sama dengan nol. Untuk menguji multikolinearitas di dalam model maka penulis menggunakan Deteksi Klien dengan membandingkan koefisien determinasi auxillary dengan koefisien determinasi (R 2 ) model regresi aslinya yaitu Y dengan variabel independen X. Sebagai rule of thumb uji klien ini, jika R 2 X 1 X 2 X 3... X 4 lebih besar dari R 2 maka model mengandung unsur multikolinieritas antara variabel independennya dan jika sebaliknya maka tidak ada korelasi antar variabel independen. Maka model yang digunakan yaitu: X1= f(X2, X3, X4,X5); X2 = f(X1, X3, X4, X5); X3= f(X1, X2, X4, X5); X4= f(X1, X2, X3, X5); dan X5 = f(X1, X2, X3, X4). Tabel 4.8 Pengujian Regresi Parsial Variabel X1 X2 X3 X4 X5 R2 regresi parsial 0,933941 0,522030 0,898430 0,500657 0,867216 Kriteria R2 estimasi Multikolinearitas < < < < < 0,963090 0,963090 0,963090 0,963090 0,963090 Tidak terdapat Tidak terdapat Tidak terdapat Tidak terdapat Tidak terdapat Sumber: Pengujian regresi parsial EViews 109 Berdasarkan hasil pengujian regresi parsial seperti pada Tabel 4.8 di atas, dalam model estimasi secara umum tidak terdapat multikolinearitas karena nilai R2 regresi parsial < R2 estimasi, namun diketahui bahwa nilai R2 Tarif Ekspor (X4) merupakan nilai R2 yang paling rendah yaitu sebesar 0.500657. Namun nilai tersebut tidak terlalu terganggu pada kualitas model karena pengaruhnya biasabiasa saja. Oleh karena itu, masalah tersebut bisa diabaikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak terdapat atau terbebas dari multikolinearitas 4. Uji Heteroskedastisitas Asumsi lain yang penting pada suatu fungsi regresi adalah apabila variasi dari faktor pengganggu selalu sama pada data pengamatan yang satu ke data pengamatan yang lain. Jika ciri ini sudah dipenuhi, berarti variasi faktor pengganggu pada kelompok data tersebut bersifat homoskedastik atau var (µi2) = σ2. Jika asumsi itu tidak dapat dipenuhi maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut heteroskedastisitas (Muhamad Firdaus, 2004:106). Pengujian heteroskedastisitas dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Berdasarkan perhitungan melalui Eviews didapat hasil perhitungan sebagai berikut : hasil 110 Tabel 4.9 Pengujian White Heteroskedastis White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared 1.404296 21.68384 Probability Probability 0.443830 0.357910 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/17/08 Time: 08:28 Sample: 1983 2006 Included observations: 24 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C X1 X1^2 X1*X2 X1*X3 X1*X4 X1*X5 X2 X2^2 X2*X3 X2*X4 X2*X5 X3 X3^2 X3*X4 X3*X5 X4 X4^2 X4*X5 X5 X5^2 115.4948 28.03527 3.212957 -0.736636 -4.126461 -0.108902 -0.192164 -11.64346 -0.329913 5.636131 -0.123794 -4.981208 -44.82233 1.207159 -1.286599 -0.483338 4.386212 0.023697 1.335723 26.85308 0.728614 222.0069 25.29015 2.188342 1.379920 3.289913 0.104109 1.504939 30.06227 0.237689 10.05102 0.072367 9.284723 76.87691 1.071909 0.984821 1.469510 3.082702 0.014338 0.950006 66.94630 0.730424 0.520231 1.108545 1.468215 -0.533825 -1.254277 -1.046034 -0.127689 -0.387312 -1.388004 0.560752 -1.710639 -0.536495 -0.583040 1.126177 -1.306429 -0.328911 1.422847 1.652796 1.406016 0.401114 0.997523 0.6389 0.3485 0.2384 0.6305 0.2986 0.3724 0.9065 0.7244 0.2593 0.6141 0.1857 0.6288 0.6008 0.3420 0.2825 0.7638 0.2499 0.1969 0.2544 0.7152 0.3920 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.903493 0.260115 0.013600 0.000555 94.04241 3.545450 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) Sumber: Pengujian White Heteroskedastis EViews 0.008352 0.015811 -6.086867 -5.056070 1.404296 0.443830 111 Hasil penghitungan melalui White Heteroscedasticity Test menghasilkan nilai R2 yang telah disesuaikan (Adjusted R-Squared) sebesar 0,260115. Jika nilai R2Adjusted dikalikan dengan jumlah data (n) lebih kecil dari nilai χ2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi adalah ditolak. Nilai R2Adjusted = 0,260115 x 24 = 6,24276 ; sedangkan nilai χ2tabel dengan df= 24-6= 18 sebesar 9,39 maka dapat disimpulkan bahwa R2Adjusted < χ2tabel berarti hipotesis yang menyatakan terdapat persoalan heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi adalah ditolak. . Ini berarti dalam model estimasi tidak terdapat heteroskedastisitas, atau dengan kata lain gangguan (disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastis. Ini berarti dalam model estimasi tidak terdapat heteroskedastisitas, atau dengan kata lain gangguan (disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastis. 5. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi yang berupa korelasi antar faktor gangguan antaranggota sampel atau data pengamatan yang diurutkan berdasarkan waktu (time series), sehingga muncul suatu data dipengaruhi oleh data sebelumnya. Model regresi linier mengandung asumsi tidak terdapat autokorelasi atau korelasi serial diantara disturbance term-nya. Autokorelasi dapat mengakibatkan: 112 a. Varians sampel tidak dapat menggambarkan varians populasi, b. Model regresi yang dihasilkan tidak dapat dipergunakan untuk menduga nilai variabel terikat dari nilai variabel bebas tertentu, c. Varians dari koefisiennya menjadi tidak minim lagi (tidak efisien lagi), sehingga koefisien estimasi yang diperoleh kurang akurat lagi, d. Uji t tidak berlaku lagi, jika uji t tersebut tetap digunakan maka kesimpulan yang diperoleh salah. Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka peneliti menggunakan metode Durbin-Watson dua sisi dengan kriteria dU < d < 4 – dU. Berdasarkan hasil perhitungan (lihat tabel 4.9) diperoleh hasil dhitung sebesar 1,114028. Dari tabel diperoleh nilai d tabel dl = 0,93 dan du = 1,90 pada n = 24 dan k = 5 dan taraf signifikansi 5 %. Sehingga 1,90 < 1,114028 < 2,1 sehingga dalam model yang diujikan tidak terdapat autokorelasi. 4.4 Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian dua sisi (two tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis dialakukan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima. 1. Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) Pengujian hipotesis secara parsial (uji t) dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. 113 Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai t hitng untuk masing-masing variabel bebas adalah sebagai berikut: Tabel 4.10 Uji t Variabel t hitung t tabel Keputusan Pengaruh Nilai tukar rupiah -5,136162 < -2,101 Menolak H0 Signifikan Harga relatif ekspor 1,954923 < 2,101 Menerima H0 Tidak Signifikan PDB Amerika Serikat 6,573754 > 2,101 Menolak H0 Signifikan Tarif ekspor 4,808358 > 2,101 Menolak H0 Signifikan Tarif Impor 5,037452 > 2,101 Menolak H0 Signifikan Sumber : Pengujian Eviews Variabel Nilai tukar rupiah (X1) memiliki nilai thitung sebesar -5,136162 sedangkan t tabel dengan df (degree of freedom) sebanyak df= n-6 = 24-6 = 18 buah adalah -2,101 maka thitung < ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 yang berarti Nilai tukar rupiah (X1) berpengaruh secara signifikan dan mempunyai hubungan negatif terhadap Ekspor non migas (Y), hal ini dapat juga diketahui dengan melihat nilai probabilitasnya pada Tabel 4.9 sebelumnya yaitu sebesar 0.0001 atau ketidak yakinan sebesar 0,01 %. Untuk thitung variabel Harga Relatif ekspor (X2) sebesar1,954923 dan ttabel = 2,101, maka thitung < ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 yang berarti Harga Relatif ekspor (X2) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap Ekspor non migas (Y), terbukti dengan nilai probabilitasnya (pada Tabel 4.9) sebesar 0,0663 atau tingkat ketidakyakinan sebesar 66 %. Untuk nilai thitung PDB Amerika Serikat (X3) sebesar 6,573754 dan nilai t tabel = 2,101 , maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 , berarti PDB Amerika Serikat (X3) berpengaruh positif secara signifikan terhadap 114 Ekspor non migas (Y), hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0000 atau tingkat ketidakyakinan sebesar 0%. Untuk nilai thitung Variabel Tarif ekspor (X4) sebesar 4,808358 dan nilai t tabel = 2,101 , maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 , berarti Tarif ekspor (X4) berpengaruh positif secara signifikan terhadap Ekspor non migas (Y), hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0001 atau tingkat ketidakyakinan sebesar 0,01%. Untuk nilai thitung Variabel Tarif impor (X5) sebesar 5,037452 dan nilai t tabel = 2,101 , maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menolak H0 dan menerima H1 , berarti Tarif impor (X5) berpengaruh positif secara signifikan terhadap Ekspor non migas (Y), hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0001 atau tingkat ketidakyakinan sebesar 0,01%. 2. Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) Uji F ini digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan bersama-sama; untuk melihat apakah variabel independen secara keseluruhan mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Tabel 4.11 Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F) F hitung 93,93526 > F tabel Keputusan Pengaruh 2,77 Menolak H0 Berpengaruh secara simultan Sumber: Hasil pengujian model Evie Kriteria pengujian nilai F adalah jika nilai Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan variabel independen terhadap variabel 115 dependen, begitupun sebaliknya. Hasil perhitungan menunjukan bahwa Fhitung sebesar 93,93526 dan Ftabel sebesar 2,77 sehingga dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel, artinya bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel independen nilai tukar rupiah, harga relatife ekspor, tarif ekspor dan tarif impor berpengaruh terhadap ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat. 3. Koefisien Determinasi Uji R2 atau disebut juga koefisien regresi adalah angka yang menunjukkan besarnya derajat kemampuan atau distribusi variabel bebas dalam menjelaskan atau menerangkan variabel terikatnya dalam fungsi yang bersangkutan. Besarnya nilai R2 diantara nol dan satu (0 < R2 <1). Jika nilainya semakin mendekati satu, maka model tersebut baik dan tingkat kedekatan antara variabel bebas dan variabel terikat pun semakin dekat pula. Dalam penelitian ini R2 sebesar 0,963090 atau 96,3090%, Artinya sebesar 96,3090% ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat (Y) dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah (X1), harga relative ekspor (X2), PDB Amerika Serikat (X3), Tarif ekspor (X4), dan Tarif impor sedangkan sisanya sebesar 3,691 % dipengaruhi oleh faktor lain. 116 4.5 Pembahasan Kegiatan ekspor mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting, baik bagi perkembangan industri itu sendiri maupun bagi pemerintah. Manfaat yang bisa diperoleh dengan adanya perdagangan internasional bagi suatu negara akan mendorong negara tersebut untuk memacu transaksi ekspor keluar negeri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional negara. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai ekspor maka pada penelitian ini membahas variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi ekspor non migas diantaranya adalah nilai tukar rupiah, herga relative ekspor, PDB Amerika Serikat, tarif ekspor, dan tarif impor AS. Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis data yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda dengan bantuan software Eviews 5.1 Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menunjukan bahwa variabel-variabel bebas yaitu nilai tukar rupiah, herga relatif ekspor, PDB Amerika Serikat, tarif ekspor, dan tarif impor AS secara bersama-sama atau simultan berpengaruh signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke AS. Begitu pula berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial menyatakan bahwa semua variabel bebas (independent) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent (terikat), kecuali variabel harga relatif ekspor yang tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pengolahan data bahwa variabel nilai tukar, PDB Amerika 117 Serikat, tarif ekspor, dan tariff impor AS berpengaruh signifikan terhadap variabel ekspor non migas. 4.5.1 Hubungan Nilai Tukar Terhadap Ekspor Non Migas Berdasarkan hasil pengujian secara empiris menunjukan nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan, dengan signifikansi sebesar 0,0001. Dari hasil penelitian ternyata thitung lebih besar daripada ttabel atau -5,136162 > -2,101 berada dari hasil pada daerah penerimaan H1 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini H1 diterima dan Ho ditolak. Nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat diterima. Hasil estimasi regresi menunjukkan nilai koefisien variabel nilai tukar sebesar -0,499504, hal ini memberikan gambaran bila terjadi penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar satu satuan akan berakibat menurunnya ekspor non migas Indonesia sebesar 0,499504 satuan. Koefisien yang diharapkan adalah positif ternyata negatif, keadaan ini menunjukkan adanya pengaruh harga rata-rata luar negeri terhadap ekspor non migas Indonesia melalui nilai tukar riil. Depresiasi secara nominal yang terjadi berakibat pula kenaikan harga-harga produk ekspor dan impor Indonesia di luar negeri khususnya adanya penetrasi impor atau permintaan akan impor Indonesia yang tidak elastis dalam ekonomi Indonesia dan selanjutnya akan berakibat pada turunnya kemampuan ekspor Indonesia (Arif dalam Sumarjono, 1993 :199-201). Nilai tukar merupakan variabel yang paling banyak di gunakan dalam pengembangan model perdagangan luar negeri. Suatu kondisi dimana nilai mata uang asing terhadap satuan mata uang asing terhadap mata uang domestik 118 meningkat disebut sebagai depresiasi mata uang. Sebaliknya, jika nilai mata uang asing terhadap mata uang domestik mengalami penurunan disebut sebagai apresiasi mata uang. Terjadinya Apresiasi ataupun depresiasi nilai tukar mata uang akan berpengaruh terhadap penawaran ekspor. 4.5.2 Pengaruh Harga Relatif Ekspor Terhadap Ekspor Non Migas Beberapa teori mengemukakan bahwa harga mempengaruhi kinerja ekspor suatu komoditi. Seperti yang diungkapkan oleh Dorn Busch Rudriger (1997:80) bahwa : “Ekspor sangat tergantung dengan harga relatif ekspor. Apabila terjadi kenaikan harga barang ekspor maka akan memacu volume ekspor suatu komoditas”. Selain itu Darmansyah mengungkapkan tentang pengaruh harga terhadap ekspor“ Banyak faktor yang mempengaruhi ekspor suatu negara yaitu antara lain harga internasional, nilai tukar uang, kuota ekspor-impor, kebijakan tarif serta non-tarif”. (M. Fauzi 1996:27) Harga relatif ekspor merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ekspor non migas, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata thitung lebih kecil daripada ttabel atau 1,954923 < 2,101 berada pada daerah penerimaan H1 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini H1 ditolak dan Ho diterima.. Hal ini menunjukan bahwa Harga relatif ekspor tidak berpengaruh secara signifikan, meskipun dalam persamaan regresi harga relatif ekspor memiliki pengaruh yang positif terhadap ekspor non migas. Hasil estimasi regresi menunjukkan nilai koefisien variabel harga relatif ekspor sebesar 0,229545 , hal ini memberikan gambaran bila terjadi peningkatan 119 harga relatif ekspor sebesar satu satuan akan berakibat meningkatnya ekspor non migas Indonesia sebesar 0,229545 satuan. Apabila di tinjau dari sudut pandang teoritis, seperti halnya yang di ungkapkan oleh Dornbush Rudriger (1997 :86), bahwa ekspor sangat bergantung dengan harga relatif ekspor, apabila terjadi kenaikan harga barang ekspor hal ini akan memacu produksi domestik sehingga volume ekspor akan mengalami peningkatan yang dampaknya kemudian dapat memperbaiki neraca perdagangan karena keuntungan yang diperoleh eksportir akan lebih besar. Tetapi, apabila penurunan harga ekspor lebih rendah dari harga domestik maka akan berakibat sebaliknya. 4.5.3 Pengaruh PDB Terhadap Ekspor Non Migas Untuk variabel PDB Amerika Serikat menunjukkan bahwa ternyata thitung lebih besar daripada ttabel atau 6,573754 > 2,101 berada pada daerah penerimaan H1 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini H1 diterima dan Ho ditolak. Hal ini menunjukan bahwa PDB Amerika Serikat berpengaruh signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia Ke AS. Hasil estimasi regresi menunjukkan nilai koefisien variabel PDB sebesar 0,327062 hal ini memberikan gambaran bila terjadi peningkatan PDB sebesar satu satuan akan berakibat meningkatnya ekspor non migas Indonesia sebesar 0,327062 satuan. Besar kecilnya PDB negera Amerika Serikat ternyata dapat menjadi indikator kondisi ekonomi Negara tersebut, karena Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. 120 Menurut Dumairy (1996: 180) “Kinerja ekspor dapat dipengaruhi oleh 2 faktor utama. Faktor yang pertama yaitu faktor yang bersifat komoditikal dan sekaligus internal yaitu bahwa penerimaan ekspor sangat ditentukan oleh komoditas. Sedangkan faktor kedua yang bersifat eksternal yaitu lingkungan internasional. Dan ekspor suatu negara tentu saja tidak luput dari dinamika atau gejolak perekonomian dunia pada umumnya”. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa gejolak perekonomian internasional sangat berpengaruh terhadap ekspor misalnya kenaikan harga minyak akibat situasi geopolitik atau keamanan di AS dan Jepang yang bergejolak sehingga ikut memepengaruhi kinerja ekspor. Hal ini dikarenakan apabila kenaikan harga komoditi yang berlaku dipasaran internasional naik akan menyebabkan pengusaha dan pemerintah akan terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi lonjakan permintaan dipasaran internasional. 4.5.4 Pengaruh Tarif Ekspor terhadap Ekspor Non Migas Berdasarkan hasil penelitian, terdapat pengaruh yang signifikan antara tarif ekspor dengan ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat.. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji t yang telah dilakukan sebelumnya dimana thitung lebih besar daripada ttabel atau 4,808358 > 2,101 berada pada daerah penerimaan H1 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini H1 diterima dan Ho ditolak. Hal ini menunjukan Tarif ekspor berpengaruh signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia Ke AS dan secara positif mempengaruhi ekspor non migas. 121 Hasil estimasi regresi menunjukkan nilai koefisien variabel Tarif ekspor sebesar 0,120092 hal ini memberikan gambaran bila terjadi peningkatan tarif ekspor sebesar satu satuan akan berakibat meningkatnya ekspor non migas Indonesia sebesar 0,120092 satuan. Dengan adanya Tarif ekspor akan mempengaruhi harga tetapi pengaruh harga akibat tarif ekspor disini bukan hanya harga barang dipasaran internasional tetapi berpengaruh terhadap harga di pasaran domestik. Sehingga dengan adanya tarif ekspor akan berpengaruh terhadap impor komoditi dan terhadap ekspor komoditi. Untuk itu dapat diketahui bahwa besar kecilnya tarif ekspor akan mempengaruhi kinerja ekspor. Seperti yang dikemukakan oleh Paul A. Samuelson (Mikroekonomi:488) bahwa “Tarif cenderung menaikan harga, menurunkan jumlah komoditi yang dikonsumsi dan diimpor, serta menaikan produksi dalam negeri”. Menurut Deperindag, latar belakang pengenaan pajak ekspor untuk barang-barang tertentu adalah dalam rangka : a. Menjaga kesinambungan persediaan bahan baku sehingga terjaminnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri; b. Terlindunginya kelestarian sumber daya alam; c. Terjaminnya stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri; d. Meningkatkan daya saing ekspor tertentu; dan e. Mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu di pasar internasional 122 4.5.5 Pengaruh Tarif Impor Terhadap Ekspor Non Migas Faktor lain yang mempengaruhi ekspor adalah tarif impor, penelitian ternyata thitung lebih besar daripada ttabel atau 5,037452 > 2,101 berada dari hasil pada daerah penerimaan H1 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini H1 diterima dan Ho ditolak. Hal ini menunjukan bahwa tarif impor AS berpengaruh signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia Ke AS dan secara positif mempengaruhi ekspor non migas.. Hasil estimasi regresi menunjukkan nilai koefisien variabel tarif impor sebesar 0,241111 hal ini memberikan gambaran bila terjadi peningkatan tarif impor sebesar satu satuan akan berakibat meningkatnya ekspor non migas Indonesia sebesar 0,241111 satuan. Menurut Kindleberger dalam pengaruh persaingan, penetapan tarif memberikan beberapa pengaruh, seperti dalam model H-O yang mengasumsikan bahwa pesaingan sempurna memasukan tarif atau tanpa tarif. Dalam kenyataanya, persaingan secara bebas tanpa pengenaan tarif sangat baik, terutama untuk pasar barang. Tarif akan menguntungkan negara yang mempunyai faktor produksi yang jarang. Sebaliknya, tarif akan merugikan negara yang mempunyai faktor produksi yang melimpah. Selanjutnya, ekspor akan meningkatkan permintaan untuk faktorfaktor produksi yang melimpah. Pengenaan pajak akan menghambat aktivitas perdagangan. (Hendra, 2005:89) 123 4.6 Implikasi Pendidikan Sektor ekspor merupakan sektor penting bagi suatu negara dalam usaha menciptakan lapangan kerja untuk jutaan petani di bidang pertanian dan berbagai tenaga kerja lainnya yang bergerak di bidang industri serta usaha kecil menegah..Hasil-hasil industri tersebut selain untuk konsumsi pasar dalam negeri juga untuk diekspor karena kita masih belum mampu mengolah seluruhnya di dalam negeri. Peranan ekspor, khususnya ekspor non migas sangat besar bagi pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena ekspor non migas ini dihasilkan oleh banyak industri baik industri besar, kecil, dan menengah yang banyak meyerap tenaga kerja. Hal ini perlu menjadi perhatian karena dengan keunggulan absolut yang dimiliki Indonesia, baik dari sumber daya alam, maupun dari sumber daya manusianya, Indonesia harusnya memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik, dibandingkan dengan Negara-negara pengekspor lainnya, seperti Singapura dan Malaysia. Namun demikian keunggulan absolut yang dimiliki oleh Indonesia itu, belum dapat sepenuhnya medukung kegiatan ekspor, khsusnya ekspor non migas. Beberapa komoditi yang menjadi andalan ekspor Indonesia ternyata masih kalah bersaing di pasar internasional kerena kurang memiliki daya saing, serta kualitas yang masih di bawah standar dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Berdasarkan data Global Competitiveness Report, World Economic Forum 2006, daya saing Indonesia berada pada posisi paling rendah di Asia Pasifik, yaitu urutan ke-50 dari 125 negara. 124 Hal inilah yang menjadi hambatan bagi peningkatan ekspor non migas, produk-produk Indonesia yang diekspor keluar negeri kurang memiliki daya saing, karena penguasaan teknologi yang masih sederhana, khususnya bagi produk industri makanan, maupun produk industri setengah jadi yang memerlukan penguasaan teknologi yang cukup tinggi. Sumber daya manusia di Negara kita yang jumlahnya cukup banyak, belum mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam yang ada secara optimal, hal ini tentu tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan di negara kita. Rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja di Indonesia juga telah mengakibatkan rendahnya partisipasi penduduk dalam kegiatan pembangunan. Hal ini mengingat banyak diantara mereka yang tidak dapat memasuki pasaran kerja terutama yang memerlukan keterampilan khusus. Oleh karena itu banyak sektor pasar kerja tertentu diisi oleh pendatang (migran) dari luar Indonesia. Adanya kompetisi dalam memasuki pasar kerja tersebut merupakan salah satu pemicu munculnya konflik antara pendatang (migran) dengan bukan pendatang (non migran). Untuk menciptakan SDM yang baik dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan di sini diartikan yaitu sebagai pembentukan modal manusia yaitu proses memperoleh dan meningkatkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan pengalaman yang menentukan pembangunan ekonomi dan politik. Dari gambaran diatas terlihat bahwa kondisi pendidikan di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu strategi yang dapat dikembangkan dalam 125 rangka peningkatan bidang pendidikan di Indonesia adalah dengan peningkatan partisipasi sekolah terutama sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan sejenis yang setara,pendirian sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan potensi sumberdaya setempat, peningkatan mutu perguruan tinggi dan peningkatan akses untuk mengikuti Pendidikan Tinggi (di dalam negeri dan di luar negeri). Dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan yang baik di Indonesia, diharapkan Indonesia akan mampu menghadapi tantangan dalam perdagangan internasional, penguasaan teknologi ditambah kualitas Sumber daya manusia yang baik akan mampu memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi di negara ini. Sehingga Ekspor non migas yang menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mendukung kegiatan ekonomi di negara kita dapat terus ditingkatkan.