SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM

advertisement
SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
SINGGIH DWI KUNCORO
E1A109065
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
SINGGIH DWI KUNCORO
E1A109065
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Singgih Dwi Kuncoro
NIM
: E1A109065
Tahun Angkatan
: 2009
Program Studi
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang
lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto,
Agustus 2014
Yang Membuat Pernyataan,
Singgih Dwi Kuncoro
NIM. E1A109065
iii
MOTO PENULIS
"Hidup adalah perjuangan"
"Mimpi adalah kunci kesuksesan"
"Awali hari dengan senyum, salam dan
sapa"
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya
serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul : SMS (SHORT MESSAGE SERVICE)
SEBAGAI
ALAT
NARKOTIKA(Tinjauan
BUKTI
Yuridis
DALAM
Terhadap
PENYALAHGUNAAN
Putusan
No
:
56
/
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.Berbagai
kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.Namun
berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas
segala arahan dan masukan untuk skripsi ini.
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II atas segala
arahan dan masukan untuk skripsi ini.
4. Weda Kupita S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji atas segala arahan dan
masukan untuk skripsi ini.
v
5. Kepada kedua orang tua saya yang telah memberi motivasi saya untuk
lulus dan Keluarga Besar saya yang selalu memberikan dukungannya.
6. Semua teman-teman FH 2009.
7. Dan semua pihak selalu mendukung saya, yang tidak dapat saya sebutkan
satu persatu.
Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.Meskipun demikian,
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto, Agustus 2014
Singgih Dwi Kuncoro
NIM. E1A109065
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ..........................................................................
iii
MOTO ........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
v
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
viii
ABSTRACT ...............................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................................
8
C. Tujuan Penelitian.............................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana .................................
10
B. Asas–Asas Hukum Acara Pidana ....................................................
12
C. Sistem Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
25
D. Alat Bukti Menurut KUHAP..........................................................
33
E. Alat Bukti Elektronik ......................................................................
56
F. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika .....................................
60
vii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .........................................................................
63
B. Spesifikasi Penelitian ......................................................................
63
C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder ...............................................
63
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .............................................
65
E. Metode Penyajian Bahan Hukum ....................................................
65
F. Metode Analisis Bahan Hukum ......................................................
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...............................................................................
66
B. Pembahasan .....................................................................................
86
BAB V PENUTUP
A. Simpulan..........................................................................................
101
B. Saran ................................................................................................
102
DAFTAR PUSTAKA
viii
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul SMS (Short Message Service) sebagai alat
bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika (tinjauan yuridis terhadap putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.PWT.)
Permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah bukti SMS (Short
Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dan
bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti
dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan
adalah yuridis normatif, dengan sumber bahan hukum berupa bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum disajikan dalam bentuk uraian yang di susun
secara sistematis dengan analisis kualitatif.
Hasil Penelitian ini adalah SMS (Short Message Service) diklasifikasikan
sebagai alat bukti ”Surat” apabila sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out
dari SMS (Short Message Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari
hakim dalam memberikan penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) namun
dalam Pasal 187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan
SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan
suatu yang sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa
perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat
bukti surat, serta SMS (Short Message Service) dalam Penyalahgunaan Narkotika
dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt, mempunyai kekuatan pembuktian
yang sah, akan tetapi kekuatannya hanya sebagai pelengkap saja karena dianggap
sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkannya, serta
harus ada penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas
minimum pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan
kepada hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan
keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan
dengan menggunakan hati
nuraninya.
Kata kunci: SMS (Short Message Service), alat bukti ,Penyalahgunaan
Narkotika
ix
ABSTRACT
This study takes the title of SMS (Short Message Service) as a tool for
evidence in Narcotics Abuse (juridical opinions of decision No: 56 / Pid.Sus /
2011 / PN.PWT.).
Problem in this study was What is SMS (Short Message Service) in
narcotics abuse in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt can be classified as
a valid means of evidence and how the strength of the proof of SMS (Short
Message Service) as a tool evidence of abuse of narcotics in Decision No: 56 /
Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt.
To discuss the problem, then the method used is the juridical normative,
with the source material in the form of the law on primary and secondary legal
materials. Material is presented in the form of legal descriptions arranged
systematically with qualitative analysis.
The results of this study are SMS (Short Message Service) is classified as a
tool of evidence "Letter" when it is in the form of print or Print Out of the SMS
(Short Message Service), to determine the subject matter of the judge in giving the
interpretation (interpretation) extensively (expansion ) but in the Criminal
Procedure Code Article 187 point d can be used as a mold enforcement of SMS
(Short Message Service) as a means of evidence "Letter", it is based on a full case
is submitted to the judge examining the case, the interpretation of the SMS can be
categorized as a tool proof of mailing, and SMS (Short Message Service) in the
abuse of narcotics in Decision No: 56 / Pid.Sus / 2011 / PN.Pwt. have valid proof
strength, but strength only as a complementary tool just because it is perceived as
an indication of where the evidence leads proof tool can not stand alone, but must
be supported by other evidence tool to strengthen it, and have no affiliation with
other means of evidence as a consequence of minimum basis of proof and proof
strength assessment fully submitted to the judge, and the judge must be
discerning, wise, full of care and thoroughness in a screening with his conscience.
Keywords: SMS (Short Message Service), the evidence, Narcotics Abuse
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di
Indonesia yang masih sangat terbatas, meskipun telah diatur dalam beberapa
Undang-Undang, namun demikian bukti elektronik sifatnya masih parsial,
sebab bukti elektronik hanya dapat digunakan dalam hukum tertentu. Akan
tetapi, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik atau sering disingkat UU ITE telah
mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam
hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah.Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) UU ITE
mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Penemuan dan penciptaan telepon tidak berhenti sampai pada
telepon yang menggunakan kabel, dimana pada jaman yang mutakhir ini
dengan pekembangan IPTEK yang sangatlah pesat, alat komunikasipun
menjadi semakin canggih yakni dengan ditemukannya telepon tanpa kabel
yang lazim diesebut dengan telepon genggam atau hand phone (HP).
Hand phone merupakan suatu terobosan baru yang merupakan
suatu menjadi bukti dari para ahli di bidang teknologi informasi sebagai
1
2
sebuah penemuan dan penciptaan terbesar pada abad ini. Dengan teknologi
ini, telah tercipta sebuah alat komunikasi yang murah namun berkemampuan
tinggi dengan berbagai sistem yang semula dianggap mustahil dapat
diwujudkan seperti bentuk telepon yang tidak menggunakan kabel dan dalam
penggunaanya dapat dipindahkan dan digunakan dari satu tempat ke tempat
lain selama ada sinyal yang mendukung di tempat tersebut.
Keberadaan dari hand phone sendiri sebagai salah satu alat
komunikasi yang dewasa ini banyak digunakan oleh masyarakat awam di
seluruh dunia merupakan terobosan besar dalam dunia teknologi informasi
seperti yang diketahui bahwa pada awalnya penggunaan telepon sebagai salah
satu sarana komunikasi dalam dunia infomasi tidak dapat dipindahkan atau
statis, namun dengan adanya hand phone maka ada suatu nilai tambah dengan
dapat dibawanya hand phone kemana-mana sebagai pemegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat saat ini yang berkembang sesuai dengan
perkembangan globalisasi dunia yaitu adanya efisiensi dan efektifitas.
Keadaan tersebut juga berlangsung di Indonesia tepatnya pada semua lapisan
sosial masyarakat yang penggunanya dapat disaksikan dengan nyata dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Saat ini seluruh lapisan sosial masyarakat
mulai dari lapisan sosial paling tinggi hingga masyarakat dari lapisan sosial
yang terendah bisa memiliki hand phone karena murahnya alat komunikasi
ini.
Semakin
mudahnya
seseorang
memperoleh
hand
phone
dansemakin murahnya tarif dari berbagai kartu telepon, berakibat pula
3
semakin “merakyatnya” penggunaan hand phone yang jika dipandang dari sisi
lain berdampak pula untuk memunculkan suatu modus-modus dari tindak
pidana atau delik.
SMS merupakan salah satu fitur yang pasti ada dalam setiap kartu
telepon, rentan menimbulkan penyalahgunaan yang bisa dimungkinkan akan
menjerat baik si pengirim maupun si penerimanya, Walaupun banyaknya
penyalahgunaan yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas SMS, akan
tetapi keberadaannya sebagai alat bukti dalam persidangan kasus pidana
masih
dipertanyakan
keabsahannya.
Hal
tersebut
sangat
dimaklumi
dikarenakan saat pembuatan KUHAP, belum ditemukan hand phone. Kasuskasus yang terjadi didunia maya tentunya bukan merupakan hambatan bagi
perkembangan dibidang teknologi informasi di Indonesia, akan tetapi yang
perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti ialah bagaimanakah aturan hukum itu
harus
bisa
diterapkan
dalam
mengantisipasi
maupun
memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat pengguna dan sekaligus
ancaman
hukuman
yang
seberat-beratnya
bagi
siapapun
yang
menyalahgunakan perkembangan dan kemajuan dibidang teknologi informasi
dan Telekomunikasi ini.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah
sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena
Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,
arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan
4
dinamika sasaran opini peredaran gelap. Narkotika diperlukan oleh manusia
untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang
pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus
menerus untuk para penderita tersebut.
Dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menyebutkan bahwa :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”
Pengaruh narkotika selain terhadap individu itu sendiri, juga
berpengaruh pula bagi masyarakat luas, diantaranya akibat adanya pemakaian
narkotika antara lain meningkatkan kriminalitas, timbulnya usaha-usaha yang
bersifat ilegal dalam masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan
menyebarkan penyakit tertentu seperti HIV/AIDS.1
1
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju,
2003, halaman 25.
5
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masingmasing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan
Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Penggunaan narkotika telah diatur secara rigid dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena “narkotika hanya
dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan Pasal 8 ayat (1)
mengatur bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
6
pelayanan kesehatan. Contoh Narkotika Golongan I ini adalah Heroin,
Kokain, dan Ganja.2
Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini
sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat
maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika.
Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku.
Menurut pendapat Mardani3;
“Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi
medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakainnya bersifat
patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam
aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan
sosial.”
Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah
penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ini, disisi lain masalah peredaran
dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat
membahayakan bagi yang mengkonsumsinya.
Menurut Dadang Hawari 4 dampak yang sering terjadi di tengah
masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain :
“Merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar
dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana
perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi
perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan
mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalulintas, tindak kekerasan,
dan kriminalitas lainnya”.
2
Ar. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, halaman 72.
3
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008, halaman 2.
4
Dadang Hawari, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Yogyakarta : Dhana Bakti
Priayasa,1997,halaman 153.
7
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang
melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum
pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di
pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah
tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang
pengadilan, dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.
Kasus
narkotika
dalam
Putusan
Nomor
:
56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, bahwa yang menjadi salah satu alat buktinya
berupa surat yaitu dalam bentuk SMS yang terdapat dalam Ponsel terdakwa
dengan merek Nokia Tipe 112 dengan Nomor hand phone 089665766776
yang kemudian alat bukti tersebut diajukan kedalam persidangan sebagai
salah satu alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam
memperkuat dakwaannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian sebagai bahan penulisan judul :“ SMS (SHORT MESSAGE
SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :
56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.).”
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam Latar belakang di
atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
8
1.
Apakah bukti SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat
diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah ?
2.
Bagaimana kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat
bukti
dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui
bukti
SMS
(Short
Message
Service)dalam
penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt
dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah.
2. Untuk
mengetahui
kekuatan
pembuktian
SMS
(Short
Message
Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan
No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt?
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberiakan
sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi
kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang SMS (Short
Message Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam
Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dapat diklasifikasikan sebagai
9
alat bukti surat yang sah dan kekuatan pembuktian SMS (Short Message
Service)sebagai alat bukti dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan
No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat
penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi
pengetahuan tentang SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam
penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt
dapat
diklasifikasikan
sebagai alat bukti yang sah dan kekuatan
pembuktian SMS (Short Message Service)sebagai alat bukti dalam
penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk
mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang
hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang
delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu
perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan
tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana
pidana itu dapat dijatuhkan.
b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui
alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana.5
Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari
hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya
hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain.
Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada
beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya
adalah sebagai berikut :
5
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.2001.Hal.
4.
10
11
J. Dc Bosch Kemper6
Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan, Undang-Undang yang mengatur hak Negara untuk
menghukum bilamana Undang-Undang pidana itu dilanggar.
R. Soesilo7
Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana
isi putusan itu harus dilakukan.
“Menurut Van Bemmelen8
Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan
bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab
keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana
materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari
hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran
selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan
siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat
karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum
pidana materiil”.
Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi
Hamzah, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah :
“Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara,
karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana,
yaitu sebagai berikut:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
6
Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia,1986,Hal 16.
7
R Soesilo,Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi
penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3
8
R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung:
Tarsito.1983.Hal. 11.
12
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib”.
Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen 9 dikatakan lebih
lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula
substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap
penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada
proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja.
Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para
sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum
acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara
pidana.
Menurut R. Soesilo10, tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai
berikut:
“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari
kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada
hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa
harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang
sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang
selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak
yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat
mengelakkan dan menolak segala godaan.”
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada
waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan.
Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum
9
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6.
Ibid. Hal. 19.
10
13
sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak
hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.
Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang
bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan
kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari
pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan
pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah
kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari
peraturan hukum.
Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu
asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara
cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak
menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada
pihak yang berperkara.
Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie
semakin ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e
dikatakan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
14
Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27
ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat
ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam
ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini
mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan
terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).
Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi
penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut
Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan.
15
Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
MenurutYahya Harahap11 menjabarkan mengenai asas sederhana
dan biaya ringan adalah sebagai berikut :
1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi
yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa.
2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut
ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya
sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses
penahanan.
3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyatanyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan
wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolakbalik, tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence).
Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas
yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak
bersalah
sampai
adanya
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum
butir 3 huruf c yang merumuskan :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
11
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I).,Jakarta :
Pustaka Kartini,2001, Hal 54.
16
Menurut M. Yahya Harahap12 menyatakan pendapatnya yaitu :
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip
akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek
pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat
martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan
dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang
dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan
ditujukan”.
c. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan
kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan
dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas
oportunitas.
Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut
umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia
wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP).
Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
12
Ibid. Hal. 38.
17
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan.
18
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila
ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang
sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara
dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang
lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut
umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
Pasal 143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat
hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
19
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
menyempurnakan
maupun
untuk
tidak
melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu
kaliselambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat
hukum dan penyidik.
Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini
mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan
dirugikan.
A.Z. Abidin Farid 13 memberi perumusan tentang asas oportunitas
sebagai berikut :
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang
memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk
umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali
dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya
anak-anak.
13
A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang:
UNHAS, 1981. Hal. 12.
20
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan
sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka
sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim
ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas
ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan
pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada
pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang
menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal
ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Andi Hamzah14 berpendapat mengenai hal ini bahwa :
“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan
sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk
umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang
dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang
artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup.
Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim
melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut
umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar
sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik
keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban
memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan
kesaksiannya”.
e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya
ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun
jabatannya dalam melakukan pemeriksaan.
14
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18.
21
Romli Atmasasmita15 dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang
dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu
kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata
kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.”
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum
ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a.
Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”16
f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya
terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.
Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang merumuskan :
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri
Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813
dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari
Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka
Jerman juga tidak menganutnya.”
Menurut D. Simons 17 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
15
16
Romli Atmasasmita,Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30.
Ibid. Hal. 20.
22
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu
dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut
maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa
adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari
diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh
bantuan hukum dari seorang penasehat hukum.
Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang
bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai
berikut :
a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut
keamanan negara.
e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari
tersangka / terdakwa.18
Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum
menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari
17
M Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.hal. 22.
18
Andi Hamzah. Opcit.Hal. 21.
23
segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan
bantuan hukum yang merata.
Menurut Adnan Buyung Nasution19
“setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan
oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan
keadaan kesehatan yang memburuk.”
h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor)
Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan
Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang
sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa
dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan
pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting,
sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan
tindakan kekerasan ataupun penganiayaan.
Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi
ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun
terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
19
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
24
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan
universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri
beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum
sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan
dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa
pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.
Dalam bukunya, Andi Hamzah20 mengatakan bahwa:
“Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti
perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang
pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu,
dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim
secara langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini berbeda dengan acara
perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti
dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis
tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa.
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan bahwa :
20
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
25
a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang
pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia
yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan
pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi
memberikan jawaban secara tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
Bambang Poernomo21 berpendapat bahwa :
“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam
persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan
lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar
dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara
pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan
langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa
untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan
keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak
bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses,
perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.
21
Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty,
1985.Hal. 79.
26
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo22 yaitu:
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah
suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian
adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP
menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
1. Penyidikan;
2. Penuntutan;
3. Pemeriksaan di persidangan;
4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam
hukum acara pidana secara keseluruhan.”
1. Penyidikan
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang
diperlukan.”
2. Penuntutan
Pasal
137
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam
daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili.”
3. Pemeriksaan di Persidangan
Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
22
Martiman Prodjohamidjojo.Sistem
Indonesia.1983.Hal. 12.
Pembuktian
dan
Alat-Alat
Bukti.Jakarta:Ghalia
27
“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan
secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada
terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat
tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman
terakhir.”
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal
270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal
277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyebutkan bahwa :
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus
untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim
pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
palinglama dua tahun.
Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di
dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu
dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental
yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan
pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara
Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri
yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin
sidang dan menjatuhkan pidana.
28
Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum
acara pidana, yaitu :
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie)
Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori
pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan
secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa
undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin
dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat
dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup
untuk menentukan kesalahan terdakwa. 23
Menurut D. Simons24seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah:
“Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara
positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat
menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di
Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam
acara pidana.”
Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim
hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai
dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini
adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar
menerapkan
23
24
mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
Yahya Harahap.Op.cit. Hal.257.
Andi Hamzah.Op.cit.Hal.251.
29
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang telah ditentukan undang-undang.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction-in Time)
M. Yahya Harahap25 berpendapat:
“Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu
atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk
menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan
oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil
oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti
yang ada.”
Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu
perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal
ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat
subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang
hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa
melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan
sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan
terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun
dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan
hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang
didakwakan
kepadanya
walaupun
dalam
persidangan
pembuktian
terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.
25
Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 256.
30
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi
teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan
hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasanalasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa
sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus
mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara
logika.
“Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan
jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas
tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori
pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian
berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction
raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan
keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim,
artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan
hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah
jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada
keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian
pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak
didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan
kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”26
26
Yahya Harahap.Ibid.Hal. 257.
31
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara
Negatif (Negatief wettelijk)
Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan
salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut
sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua
komponen yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang;
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan
subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak
ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah
satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa.27
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti
tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.
Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau
teori
27
pembuktian
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.279.
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
32
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
isinya:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwa yang bersalah melakukannya.
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.28
M. Yahya Harahap29 berpendapat :
“Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP
ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin
dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan
kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undangundang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling
tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.”
Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah30 :
“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk
dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus
diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
28
Ibid.Hal. 280.
Ibid. Hal. 256-259.
30
Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264.
29
33
R. Soesilo 31 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan
pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam
memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk
membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi;
b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana;
c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi;
d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran
materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat
bukti tersebut.
Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP
telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undangundang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa
dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan
mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan
alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184
31
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP
bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
34
ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai
kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian
dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak
mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.32
Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang
disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-hal yang bersifat umum
yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan.
Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara
umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan :
1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan
yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;
2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa
berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh
alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri
notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak
tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana
disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang
secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap
sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang
dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.33
a. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
32
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar
Grafika.2002. Hal.252.
33
Ibid. Hal.276.
35
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”
Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat (1)
sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah
saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim
dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau
tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang
lain-lain.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam
Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan
dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing.
Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang
dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika
dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan
sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau
pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan
36
berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap
digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan
tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan
tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena
menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa
sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan
saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut
dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling
lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
merumuskan sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu".
Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut
dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana).
37
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu
peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat
bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai
pembuktian.
b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil
pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang
dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan
merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185
ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu
setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi
harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.34
Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin35 dalam bukunya
"Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut :
"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan
hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan
tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya
mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri oleh orang lain tersebut".
Dalam putusan Mahkamah Agung membenarkan Testimonium De Auditu
dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini
34
M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266.
Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar
Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
35
38
terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25
November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun
harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang
terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turuntemurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu
pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan
demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan
dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan
seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku
dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu
diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima
langsung pesan.Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi
dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan
adalah orang yang langsung menerima pesan.
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena
ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena
mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai
obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana);
39
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal
168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana);
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana);
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang.
Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah
yaitu:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit
gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
Keterangan saksi agar mempunyai kekuatan pembuktian maka harus
dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena
keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup
40
membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang
didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang
didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal
itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence
yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185
ayat (2) adalah :
1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian
tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang
lain.36
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menilai kebenaran
keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu;
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang
sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan
ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli
36
Ibid. Hal.288.
41
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli
dari segi pembuktian.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai
pengertian keterangan ahli, yaitu:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Pasal 184 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli
dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana
sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah
berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak
hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang
memerlukan pengetahuan, dan keahlian.
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam
Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186.
Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan
pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap
penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan
akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli
didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang
keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat
ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan
hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang
bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari
perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang
42
didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di
sidang pengadilan.37
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan
yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan
keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan
sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan
keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam
persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan
keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang
sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.
Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah
jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik
bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya.
Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya
dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan
martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.
Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran
37
R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum EtRepertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana.
Bandung: Mandar Maju.2002. Hal. 3.
43
forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan
tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia
forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam
mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka
ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan
oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab
berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya.
Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam
kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang
berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa
dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli
dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum
dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat
diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam
masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan
ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari
keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum
menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara
tindak pidana yang bersangkutan.
44
Yahya Harahap38 berpendapat:
Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar keterangan ahli
dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :
1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap
penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam
Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan
berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari
laporan atau visum et repertum yaitu :
a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et
repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;
b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga
menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.39
Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman
adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan
diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas
dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat
bukti tersebut atau malah akan menolaknya.
Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda
dengan keterangan saksi yaitu :
38
39
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.299.
Ibid.Hal. 303.
45
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht
yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan
dari ahli tersebut atau akan menolaknya.
2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang
lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya
terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai
dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti
yang lain.40
Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu
keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang
diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal
yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan
tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan
di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan
hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan
bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang
masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
c. Surat
A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo41:
“Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang
menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto
dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang
dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat
keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan
perkara yang sedang diadili.”
40
41
Ibid.Hal. 253.
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta :Pradya Paramitha. 1983.Hal. 24.
46
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut
ketentuan ini:
“Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut
undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat
yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi AsserAnema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”42
Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat
dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus
dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang
dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun
surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain”.
Bunyi dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf
42
Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 276.
47
a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan
sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan
cenderung bersifat
pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan
bahwa
berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain
agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat
berdiri sendiri secara utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika
isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai
berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi
surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan,
barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.43
Berdasarkan psssasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari
surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur suratsurat resmi saja. Penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil
karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu
jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan
tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk
yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya
sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana
yang diperiksa di sidang pengadilan.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang
untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri
43
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.
48
dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai
kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara
lisan dihadapan persidangan pengadilan.
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari
kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati
kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi
hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti
mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang
bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana yang dituntutkan kepadanya.
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap 44 jika dinilai
dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal
Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti
yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut
formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti
surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan
sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya;
c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan
pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut
tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang
di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik
44
Ibid. Hal.309-312.
49
berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan
terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil
Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat
bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang
bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim.
Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada
beberapa asas, antara lain :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan
mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal
dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran
materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal
183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin
tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.
b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP
yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti
tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah
atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang
diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan
moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan
kebenaran sejati.
c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183
KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan
minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim
memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan”
yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat
diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak
bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang
50
didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian
dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian
dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat
terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai
petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru
pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai
sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa
diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti
bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti
yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu
perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah
dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya,
maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum
perbuatan yang didakwakan telah terbukti.45
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara
ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara
perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau
tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa
ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu
merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus
melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
45
I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit.Hal.44.
51
Bunyi Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan
alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan
terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai
seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar
penjatuhan hukuman.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah:
a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan
sengaja kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun
saksi di persidangan.46
Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari,
bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang
penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat
bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain
belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183
KUHAP.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat
bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai
proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber
dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang
lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang
46
Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.:Ghalia.
Indonesia. 1984. Hal. 263.
52
sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari
bukti petunjuk yaitu diperoleh dari :
a) Keterangan saksi
b) Surat
c) Keterangan terdakwa
Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan
ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang
bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini
kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan,
latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu
membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga
sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain
alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain.
Djisman Samosir47 berpendapat bahwa:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati
nuraninya.”
e. Keterangan terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
merumuskan:
47
C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung.Binacipta. 1985. Hal. 90.
53
“Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”
Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada
dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang
merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan
atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan
pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang
menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang
menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat
bukti. Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193
KUHAP.
Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun
pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim
mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian
menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.
sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut.
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
b. Mengaku ia bersalah.48
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas
dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini
lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga
hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.
Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus
mengandung beberapa asas, yaitu :
1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan.
48
Andi Hamzah.Op.cit.Hal.278.
54
2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang
pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri,
penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim,
penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan
ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar
persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian
dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan
keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar
sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu
keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat
dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan
terdakwa;
3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri;
4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri.
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat
bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian
dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) Undang-Undang
55
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
juga
menjelaskan:
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa
harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat
mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan
hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas
dakwaan
yang
ditujukan
padanya.
Kemudian
sifat
nilai
kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai
kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran
yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang
logis yang bisa diterima oleh hakim.
Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh
terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh
terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering
disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh
jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi
tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan
adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada
kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.
56
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan
bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang
melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak
menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan
untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan
perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa
diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain
yang tak bersalah.
E. Alat Bukti Elektronik
Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang
informasi dan transaksi elektronik, dirumuskan.
3. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
4. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
Short Message Service (Selanjutnya disingkat SMS) adalah salah satu
bagian dari Teknologi Informasi yang memiliki pengertian sebagai suatu
teknik
untuk
mengumpulkan,
menyiapkan,
menyimpan,
memproses,
mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi. Dalam hitungan
menit bahkan detik melalui teknologi tersebut individu disuguhi dengan
57
berbagai informasi, tidak lepas dari sifatnya yang positif maupun negatif,
sehingga dalam konteks sikap dan prilaku individu. Pemanfaatan teknologi
informasi tidak lepas dari kemungkinan adanya penyalahgunaan untuk hal-hal
yang bersifat kejahatan dan terhadap hal tersebut juga menyebabkan adanya
kecenderungan yang lebih besar lagi ketika penggunaan teknologi informasi
ini cenderung bersifat tertutup dan sangat mengedepankan aspek privacy,
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa SMS sama dengan apa yang
disebutkan dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 8 tahun 2011.
Layanan SMS merupakan sebuah layanan yang bersifat nonreal-time
dimana sebuah short messages dapat di-submit kesatu tujuan, tidak peduli
apakah tujuan itu dalam keadaan aktif atau tidak. Bila dideteksi tujuan tidak
aktif, maka sistem akan menunda pengiriman ke tujuan hingga tujuan aktif
kembali. Pada dasarnya sitem SMS akan menjamin delivery atau pengiriman
dari suatu short message hingga sampai ke tujuan, karena SMS memiliki masa
tunggu. Kegagalan pengiriman bersifat sementara seperti tujuan tidak aktif
akan selalu teridentifikasi sehingga pengiriman ulang short messages akan
selalu dilakukan aturan bahwa short messages yang melampaui batas tertentu
harus dihapus dan dinyatakan gagal terkirim, sehingga pada dasarnya
penerima SMS tidak dapat menolak SMS yang masuk kedalam ponselnya,
berbeda dengan panggilan langsung yang dapat ditolak bila penerima
panggilan tidak ingin menerima panggilan tersebut.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi dan
transaksi elektronik, dirumuskan.
58
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan
berdasarkan kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan
kebebasan
memilih
teknologi
atau
netral
teknologi”.
Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatakan bahwa “setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.
Dalam Pasal 42 Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang informasi
dan transaksi elektronik, dirumuskan.
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum
Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Dalam pasal 42 Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang informasi
dan transaksi elektronik, dirumuskan.
alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;
dan
b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3).
Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan
komputer, Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada
eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik,
email, maupun catatan transaksi rekening49, sehingga alat bukti tidak hanya
terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa,
49
Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana
Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.
59
akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara
elektronik50.
Yahya Harahap mengungkapkan bahwa:
Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas
petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa
berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh
karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.51
Edmon Makarim mengemukakan bahwa :
Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri
sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu
rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur
yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa
sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu
kasus.52
T. Nasrullah yang menegaskan bahwa:
alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya
berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum
pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo
menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan
SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli
(expertise).53
Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang
berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam
bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui
proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing),
dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya
tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Oleh karena itu, diperlukan
50
51
Ibid, hlm. 138
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312.
52
Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005) hlm. 451
53
Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.
60
kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap
alat bukti yang berupa data digital.
Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga
menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik
mempunyai
karakteristik
khusus
dibandingkan
bukti
non-elektronik,
karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media
elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa
sehingga sering diragukan validitasnya.54
F. Tindak Pidana Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain
"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba"
ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki
risiko kecanduan bagi penggunanya.
Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa
dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk
penyakit tertentu.
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris
narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika
berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius
sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic
54
L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12,
Oktober 2003), hlm. 7.
61
yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.55
Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau
narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa
sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.56
Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini”.
Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat
menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal
atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek
stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan
adiksi atau kecanduan.57
Menurut M. Ridha Ma’roef58, narkotika adalah:
a.
55
Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika
sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin,
ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam
pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam
pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk
didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu:
Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant.
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008,hal. 78.
56
Ibid.
57
Ibid, hal.79.
58
Ibid, hal. 34.
62
b.
c.
Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang
akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.
Berbahaya apabila disalahgunakan.
Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah
mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and
dangerous drugs.
63
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif,
59
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam
kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah
dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi
batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif60 yaitu suatu
penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan
denganbagaimanakah
kekuatan
pembuktian
SMS
(Short
Message
Service)sebagai alat bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dalam Putusan No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt dan bagaimanakahSMS (Short
Message Service)diklasifikasikan sebagai alat bukti surat yang sah.
C. Bahan Hukum Primer dan Sekunder
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut:
59
Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296.
60
Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII
Press, Hal .10
63
64
Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta
yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan
perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya. 61
Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan
Perundang -undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang
digunakan adalah :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pinda
Penyalahgunaan Narkotika.
d) Undang-Undang No 11 tahun 2008 Tentang ITE.
e) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari
kalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan
hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak
dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan
hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi
deskripsi suatu realitas.
61
Ibid.,Hal. 12
65
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi
kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hokum
kuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam
pembuatan karya tulis ini.
E. Metode PengajianBahan Hukum
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun
secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan
yang lainnya
disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang
diperoleh
berdasarkan
norma-norma
atau
kaidah-kaidah,
teori-teori,
pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu
hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terhadap Putusan
Nomor :56/Pid.Sus/2011/PN.Purwokerto, tentang Tindak Pidana Narkotika,
diperoleh sebagai berikut:
1.
Duduk Perkara
Pada awalnya tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi
Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan
tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan
Purwokerto, melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan
pintu Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya
terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269
yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris
menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab
bahwa itu pesanan ganja, dari keterangan terdakwa diketahui bahwa
ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar
kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di Jalan
Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi
Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah
saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan mengambil
ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil
headset serta satu kertas minyak warna coklat yang berisi ganja dan
66
67
terdakwa mengakui ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada
Ari seharga Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing
membayar Rp 50.000,- .
Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa tanggal
30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah terdakwa untuk
memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan terdakwa sepakat untuk
memakai ganja tersebut secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut
patungan juga sebesar Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah
Ari untuk memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau
memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar.
Hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00 WIB
terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di pesan
sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak warna cokelat di
sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu terdakwa memberi tahu
Niko bahwa ganja sudah ada lalu terdakwa bersama Udin pergi ke
Andang
Pangrenan,
namun
belum
sempat
bertemu
Niko
dan
menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi oleh
sejumlah petugas.
Terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang untuk
menggunakan atau mengisap ganja dan terdakwa mengakui dirinya
menggunakan ganja karena di tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa
timbul keinginan kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja
yang sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada Ari
68
seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di
jual.
Barang bukti berupa :Satu bungkus kertas cokelat berisi batang,
daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7
September 2011 No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh
Yayuk Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat
Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor urut 8
(delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika.
2.
Dakwaan Jaksa
Berdasarkan uraian di atas, terdakwa melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika menyimpan, memiliki ganja tanpa ada ijin dari
pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara
pribadi. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan
berbentuk alternatif yaitu :
a. Melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-undang RI No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika atau ;
b. Melanggar ketentuan Pasal 127 huruf a Undang-Undang RI No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
3.
Barang Bukti
a. 1 (satu) paket kecil ganja dalam bungkus kertas minyak seberat 4,025
gram;
b. 1 (satu) buah botol plastik berisi urine milik terdakwa ;
69
c. 1(satu) buah HP merk Nokia warna silver tipe 112 ;
4.
Pembuktian
a. Keterangan Saksi
1) Saksi Aris Budi Setyono
Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan
tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa,kemudian saksi
menjelaskan awal mula kasus ini,yaitu awalnya pada hari Kamis
tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan
saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di
depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem
Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di
depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut,
kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji
menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa)
dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima
SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange
wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi
kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian
dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga
menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab
terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan
Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta
70
terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus
Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil
ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk
kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas
minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di
dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja
tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu)
bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah
milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang
untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan
penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa
ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu
akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota
saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang
Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam
21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba.
2) Saksi Pramuaji
Saksi dalam persidangan menerangkan tidak kenal dan
tidak ada hubungan keluarga dengan Terdakwa, kemudian saksi
menjelaskan awal mula kasus ini, yaitu awalnya pada hari Kamis
71
tanggal 1 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB saksi dan
saksi Pramuji bersama team yang sedang melaksanakan tugas di
depan pintu Taman Andang Pangrenan Kelurahan Karangklesem
Kecamatan Purwokerto, melihat seseorang yang mencurigakan di
depan pintu Taman Andang Pangrenan Purwokerto tersebut,
kemudian saksi dan saksi Pramuaji mendekati lalu saksi Pramuaji
menanyakan identitas dan mengaku bernama Saeful (terdakwa)
dan pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima
SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange
wis ana durung sich” dan atas SMS tersebut saksi Aris Budi
kemudian menanyakan barang apa yang dimaksud dan kemudian
dijawab terdakwa pesanan ganja, setelah itu saksi juga
menanyakan lagi dimana ganja tersebut sekarang yang dijawab
terdakwa ganja disimpan di kamar kosong di rumah Dirin di jalan
Raya Kampus Kel. Grendeng RT 6/7 Kec.Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas, selanjutnya saksi dan saksi Pramuaji serta
terdakwa berangkat menuju rumah Dirin di Jalan Raya Kampus
Kelurahan Grendeng RT 6/7 Kecamatan Purwokerto Utara
Kabupaten Banyumas untuk menunjukkan serta mengambil
ganja; dan setelah berada di rumah Dirin lalu terdakwa masuk
kedalam kamar kosong dan mengambil 1 (satu) bungkus kertas
minyak warna cokelat yang berisi ganja yang disembunyikan di
dalam lemari dan saksi sempat menanyakan terdakwa ganja
72
tersebut darimana dan terdakwa mengakui bahwa 1 (satu)
bungkus kertas minyak warna coklat yang berisi ganja itu adalah
milik terdakwa yang dibeli dari Ari (DPO) seharga Rp 100.000,dan terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang
untuk membeli ganja tersebut sehingga kemudian dilakukan
penangkapan terhadap terdakwa, menurut pengakuan terdakwa
ganja sebanyak 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat itu
akan digunakan sendiri, sebelumnya sebagai seorang anggota
saksi telah mendapat informasi bahwa di taman Andhang
Pangrenan Purwokerto antara sekitar jam 19.00 WIB hingga jam
21.00 WIB dijadikan transaksi narkoba.
3) Saksi Ahmad Sodirin
Saksi
dalam
persidangan
menerangkankenal
dengan
terdakwa dan ada hubungan keluarga yaitu saudara sepupu dan
saksi mengatakan diperiksa oleh penyidik dan keterangan yang ada
di BAP adalah benar dan saksi masih tetap dengan keterangannya
dulu, saksi mengetahui pada hari Kamis tanggal 1 September 2011
sekitar jam 21.30 WIB saat saksi sedang berada di rumahnya di
ruang tengah melihat TV di Kelurahan Grendeng RT 6/7
Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, saksi
kedatangan terdakwa Saeful yang mengatakan kepada saksi akan
mengambil headset yang ketinggalan, karena tidak tahu maka saksi
tetap melihat TV di ruang tengah saat terdakwa masuk ke kamar
73
yang biasanya dipakai Ari anaknya kalau pulang ke rumah untuk
mengambil headset; dan tidak lama kemudian terdakwa keluar dari
kamar tersebut dan pergi; namun saksi tidak tahu terdakwa
membawa apa karena saksi tetap menonton TV dan yang
mengantar serta menutup pintu adalah anak saksi, tempat dimana
terdakwa masuk akan mengambil headset adalah kamar yang biasa
digunakan oleh Ari kalau pulang ke rumah dan di kamar tersebut
juga biasa teman-teman Ari yang laki-laki termasuk terdakwa
sendiri sering masuk; namun saat kejadian kamar tersebut memang
kosong karena Ari tidak ada ditempat, serta saksi menerangkan jika
terdakwa dan teman-temannya yang laki-laki memang sudah sering
dan biasa main di kamar Ari tersebut, akan tetapi tidak tahu apa
yang diambil terdakwa dari dalam lemari anaknya tersebut adalah
benar headset atau bukan karena saksi tidak memperhatikan;
namun kemudian dari Polisi saksi mengetahui kalau yang diambil
terdakwa dari dalam kamar ruamhanya adalah ganja dan saksi juga
tidak mengetahui sewaktu datang kerumahnya sama petugas Polisi
atau tidak karena saksi sedang menonton TV; namun baru
besoknya saksi tahu dari adinya Nino kalau terdakwa datang
bersama polisi, serta saksi membenarkan jika saksi mempunyai
anak yang bernama Ari dan sering main bersama terdakwa; namun
saksi tidak mengetahui kalau anaknya Ari terlibat kasus ganja
dengan terdakwa, akan tetapi sejak terdakwa saeful ditangkap oleh
74
petugas anak saksi yaitu Ari memang pergi dari rumah alasannya
mencari pekerjaan, namun sampai sekarang tidak pernah pulang ke
rumah dan saksi tidak mengetahui keberadaan Ari dimana dan
status Ari saat ini adalah DPO;
b. Surat
1) Hasil laboratoris kriminalistik tertanggal 7 September 2011
No.Lab : 1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk
Murti Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat
Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu) nomor
urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia
Nomer 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2) Kutipan akta kelahiran No.12160/TP/1998 tertanggal 3 Desember
1998 atas nama Saeful Ngibad, lahir pada tanggal 2 September
1993.
3) Kartu keluarga No. 3302272602054207 tertanggal 27 Desember
2006 atas nama Kepala Desa Keluarga Kusworo.
c. Keterangan Terdakwa
Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Terdakwa menerangkan pernah di periksa oleh penyidik
dan keterangan yang terdakwa sampaikan adalah benar, terdakwa
menerangkan awal kasus ini yaitu pada tanggal 1 September 2011
pukul 21.00 WIB saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji
75
bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang
Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto,
melihat tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu
Taman Andang Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya
terdakwa sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor
08190332269 yang isinya “Barange wis ana durung sich”
kemudian saksi Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut
dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja akan tetapi ganja
tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan disimpan di kamar
kosong yang merupakan kamar Ari (DPO) di rumah saksi Dirin di
Jalan Raya Kampus Kelurahan Grendeng Purwokerto Utara,
selanjutnya saksi Aris Budi Setyono dan saksi Pramuaji mengajak
terdakwa menuju rumah saksi Dirin untuk menunjukkan tempat
ganja disimpan dan mengambil ganja tersebut, setelah sampai di
rumah saksi Dirin, terdakwa mengambil headset serta satu kertas
minyak warna coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui
ganja tersebut adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga
Rp 100.000,- yang patungan dengan Niko masing-masing
membayar Rp 50.000,-,Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari
pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko
datang ke rumah terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp
50.000,- dan terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut
secara bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar
76
Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk
memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau
memberikan pesanan tersebut karena terdakwa belum membayar
dan pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam 14.00
terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan ganja yang di
pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus kertas minyak
warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah baju, setelah itu
terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja sudah ada lalu trdakwa
bersama Udin pergi ke Andang Pangrenan, namun belum sempat
bertemu Niko dan menggunakan ganja bersama Niko terdakwa
sudah di datangi oleh sejumlah petugas, sebelumnya terdakwa
sudah dua kali memesan ganja kepada Ari seharga Rp 100.000,dan itu pun selalu digunakan sendiri bukan untuk di jual akan
tetapi terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa menyesali
perbuatannya serta terdakwa membenarkan terhadap barang bukti
yang diperlihatkan di persidangan.
5.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutus
sebagai berikut:
a. Menyatakan bahwa terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri, sebagaimana
77
diatur dan di ancam dalam Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 tentang narkotika;
b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu
selama 2 (dua) tahun, di kurangi selama waktu terdakwa menjalani
tahanan sementara dan memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan.;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat
4,025 gram.
2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin
Kusworo.
Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan.
3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112.
Dirampas untuk negara.
d. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (Dua
Ribu Lima Ratus Rupiah).
6.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh
Penuntut Umum ke persidangan dengan dakwaan Alternatif, yaitu
Kesatu Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kedua Pasal 127 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
78
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum
berbentuk alternatif, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan
yang mendekati dengan pembuktian/fakta di persidangan, dan apabila
salah satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak
perlu dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis akan
mempertimbangkandakwaan kedua, yaitu pasal 127 huruf a UndangUndang Republik
IndonesiaNomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagaiberikut :
1. Setiap Orang ;
2. Penyalah Guna Narkotika golongan I bagi diri sendiri ;
Ad.1.Unsur Setiap Orang
Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud
dengan
“Setiap
Orang”.
Namun
beberapa
mendefinisikan “Setiap Orang” adalah orang
Undang-undang
perseorangan atau
termasuk korporasi.
Menimbang, bahwa unsur “Setiap Orang” dalam perkara ini
ditujukan kepada orang perseorangan, hal ini sebagaimana dari faktafakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa Penuntut Umum
telah mengajukan seorang terdakwa dalam perkara ini adalah
bernama Saiful Ngibad Bin Kusworo dan terdakwa tersebut mampu
79
mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya
sendiri.
Menimbang,
bahwa
dipersidangan
terdakwa
tersebut
membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan
Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini
benar ditujukan kepada terdakwa tersebut diatas, sehingga tidak salah
orang atau error in persona.
Menimbang, bahwa sesuai alat bukti surat berupa Kutipan
Akta
Kelahiran
No.12160/TP/1998
tertanggal
Purwokerto
3
Desember 1998, Kartu keluarga No.3302272602054207 tertanggal 27
Desember
2006,
serta
hasil
Laporan
Petugas
Pembimbing
Kemasyarakatan, dan keterangan terdakwa serta orang tua terdakwa,
terbukti bahwa terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo dilahirkan pada
tanggal 2 September 1993.
Menimbang bahwa apabila kelahiran terdakwa tersebut di atas
dikaitkan dengan tindak pidana yang terjadi pada tanggal 1
September 2011, maka terdakwa Saiful Ngibad Bin Kusworo saat
kejadian tindak pidana berusia 17 (tujuh belas) tahun, 11 (sebelas)
bulan, 29 (duapuluh sembilan) hari artinya masih dibawah 18
(delapan belas) tahun.
Menimbang, bahwa karena usia terdakwa Saiful Ngibad Bin
Kusworo masih dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah, sehingga secara yuridis terdakwa Saiful Ngibid Bin
80
Kusworo masih tergolong anak (vide Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997), dengan demikian maka yang
berwenang memeriksa perkara terdakwa a quo adalah pengadilan
anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
menurut pendapat Hakim unsur “Setiap Orang” ini telah terpenuhi.
Ad.2. Unsur Narkotika golongan I bagi diri sendiri.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “penyalah guna
Narkotika” adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum (vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika);
sedangkan pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
narkotika, baik secara fisik maupun psikis (vide Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika).
Menimbang, bahwa pengertian “tanpa hak” disini adalah
tiadanya kewenangan yang melekat pada diri seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan menurut Undang-Undang atau tidak
termasuk lingkup tugas dan wewenang seseorang atau karena tidak
mendapat ijin dari pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan
Undang-Undang, sedangkan yang dimaksud dengan “melawan
hukum” adalah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan
81
hukum, baik dalam arti formil yaitu bertentangan dengan UndangUndang atau hukum tertulis lainnya, maupun dalam arti materiil
yakni bertentangan nilai-nilai kepatuhan, nilai-nilai keadilan yang
hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Menimbang, bahwa yang dimaksud narkotika golongan I
sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Penjelasan Undang-Undang RI
Nomor 35 Tahun 2009 yaitu Narkotika yang hanya dapat digunakan
utnuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Menimbang, bahwa narkotika golongan I sesuai dengan Pasal
8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika disebutkan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan dalam jumlah terbatas
narkotika
golongan
I
dapat
digunakan
untuk
kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat
persetujuan dari Menteri.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang
terungkap dipersidangan adalah:
1) Bahwa tanggal 1 September 2011 pukul 21.00 WIB saksi Aris
Budi Setyono dan saksi Pramuaji bersama tim sedang
melaksanakan tugas di Taman Andang Pangrenan Kelurahan
Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat tingkah laku
82
terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang
Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa
sedang menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269
yang isinya “Barange wis ana durung sich” kemudian saksi
Aris menanyakannya apa maksud SMS tersebut dan terdakwa
menjawab bahwa itu pesanan ganja.
2) Bahwa ganja tersebut sekarang tidak ada ditangannya dan
disimpan di kamar kosong yang merupakan kamar Ari (DPO)
di rumah saksi Dirin di Jalan Raya Kampus Kelurahan
Grendeng Purwokerto Utara, selanjutnya saksi Aris Budi
Setyono dan saksi Pramuaji mengajak terdakwa menuju rumah
saksi Dirin untuk menunjukkan tempat ganja disimpan dan
mengambil ganja tersebut, setelah sampai di rumah saksi Dirin,
terdakwa mengambil headset serta satu kertas minyak warna
coklat yang berisi ganja dan terdakwa mengakui ganja tersebut
adalah miliknya yang dipesan kepada Ari seharga Rp 100.000,yang patungan dengan Niko masing-masing membayar Rp
50.000,- .
3) Bahwa Pemesanan ganja dilakukan kepada Ari pada hari Selasa
tanggal 30 Agustus 2011, pada waktu itu Niko datang ke rumah
terdakwa untuk memesan ganja seharga Rp 50.000,- dan
terdakwa sepakat untuk memakai ganja tersebut secara
bersama-sama sehingga terdakwa ikut patungan juga sebesar
83
Rp 50.000,-. Kemudian terdakwa pergi ke rumah Ari untuk
memesan ganja seharga Rp 100.000,- tetapi Ari belum mau
memberikan
pesanan
tersebut
karena
terdakwa
belum
membayar.
4) Bahwa Pada hari Kamis tanggal 1 September 2011 sekitar jam
14.00 WIB terdakwa datang ke rumah Ari untuk memastikan
ganja yang di pesan sudah ada di kamar Ari yang di bungkus
kertas minyak warna cokelat di sembunyikan di lemari bawah
baju, setelah itu terdakwa memberi tahu Niko bahwa ganja
sudah ada lalu trdakwa bersama Udin pergi ke Andang
Pangrenan,
namun
belum
sempat
bertemu
Niko
dan
menggunakan ganja bersama Niko terdakwa sudah di datangi
oleh sejumlah petugas.
5) Bahwa terdakwa tidak mempunyai ijin dari pihak yang
berwenang untuk menggunakan atau mengisap ganja dan
terdakwa mengakui dirinya menggunakan ganja karena di
tawari Ari sehingga di dalam diri terdakwa timbul keinginan
kembali untuk menggunakan ganja atau memakai ganja yang
sebelumnya terdakwa sudah dua kali memesan ganja kepada
Ari seharga Rp 100.000,- dan itu pun selalu digunakan sendiri
bukan untuk di jual.
6) Bahwa barang bukti berupa : Satu bungkus kertas cokelat berisi
batang, daun dan biji sesuai dengan hasil laboratoris
84
kriminalistik
tertanggal
7
September
2011
No.Lab
:
1000/NNF/IX/2011 yang di tandatangani oleh Yayuk Murti
Rahayu, B.Sc. dan Ibnu Sutarto, ST adalah positif Derivat
Cannabinoid / ganja dan terdata dalam golongan 1 (satu)
nomor urut 8 (delapan) Lampiran Undang-Undang Republik
Indonesia Nomer 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum
diatas, maka unsur ke-2 “Penyalah Guna Narkotika Golongan I
Bagi Diri Sendiri” menurut pendapat hakim telah terpenuhi.
Hal-hal yang memberatkan :
1) Terdakwa tidak mendukung Program Pemerintah dalam
memberantas peredaran Narkotika.
2) Perbuatan terdakwa dapat merusak mental generasi muda yang
merupakan modal penerus bangsa.
Hal-hal yang meringankan :
1) Terdakwa mengakui dan berterus terang dipersidangan.
2) Terdakwa menyesesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
3) Terdakwa belum pernah dihukum.
4) Terdakwa masih
sangat
muda masih
bisa diharapkan
memperbaiki diri dikemudian hari.
5) Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah lagi.
85
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan
terhadap terdakwa yaitu:
a. Menyatakan terdakwa Saeful Ngibad Bin Kusworo terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri.
b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa oleh karena itu
selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan,
c.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan:
d. memeritahkan terdakwa tetap dalam tahanan;
e. Menyatakan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja
seberat 4,025 gram.
2) 1 (satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin
Kusworo.
Seluruhnya dirampas untuk di musnahkan.
3) 1 (satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112.
Dirampas untuk negara.
f. Menetapakan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp 2.500,(Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).
86
B. Pembahasan
1. SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti dalam Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika.
Ketentuan mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187
KUHAP, berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), SMS dikategorikan sebagai alat
bukti surat.
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain”.
Dari rumusan Pasal 187 KUHAP tersebut tidak memberikan
pengertian secara jelas penggunaan SMS (Short Message Service) sebagai
alat bukti. Akan tetapi dalam pengertian mengenai surat tersebut, poin d
dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS (Short Message Service)
sebagai sebuah “Surat Lain”.
Jadi berdasarkan analisa tersebut, SMS dapat dikategorikan sebagai
alat bukti “surat”. Untuk menentukan termasuk alat bukti surat, tergantung
87
dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya (ConvictionRaisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan.
Untuk menjadikan SMS (Short Message Service)termasuk ke dalam
alat bukti surat maka disini dituntut peranan Hakim untuk dapat
menggunakan suatu metode penafsiran (interpretasi) terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, yaitu dengan menggunakan Interpretasi
ekstensif (perluasan). 62
Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti
kata-kata dan peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan
seperti halnya perluasan mengenai makna “aliran listrik” yang
digolongkan sebagai sebuah “benda”. Sehingga pencurian listrik sama
halnya dengan pencurian sebuah benda.63
Dengan menggunakan penafsiran ekstensif dapat diketahui bahwa
pengertian dari surat jika hanya sebatas berbentuk fisik saja, maka
pengertian tersebut adalah sangat sempit dan tidak akan bisa menjangkau
keadaan dan perkembangan jaman saat ini, dimana surat sudah tidak lagi
harus berbentuk fisik saja.
Dengan demikian, Hakim akan benar-benar berfungsi melengkapi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of
new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming)
baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan
dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan
62
63
C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 36-41.
Ibid
88
alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama
sekali hukum tertulisnya tidak ada. Dalam penegakan hukum, Hakim
senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta
mencerminkan
tiga
(Rechtssicherheit),
unsur
atau
kemanfaatan
asas
yaitu
Kepastian
(Zweckmassigkeiit)
dan
hukum
Keadilan
(Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional
seimbang
diantara
ketiga
unsur
tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak dapat hanya mengutamakan
atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari
ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan
begitu saja.
Untuk memberikan nilai valid pada bukti SMS (Short Message
Service)haruslah ada saksi lebih dari seorang yang menyatakan bahwa
benar telah terjadi suatu tindak pidana dimana saksi juga mengetahui
sendiri adanya keterkaitan antara tindak pidana yang terjadi dengan isi dari
SMS(Short Message Service)tersebut, keterangan tentang apa yang
diketahui saksi tersebut haruslah dinyatakan di depan pengadilan di bawah
sumpah.
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, Saksi Aris Budi Setyono dan Saksi Saksi
Pramuaji dalam persidangan menerangkan :
“Pada saat terdakwa ditanya identitasnya terdakwa menerima
SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya “barange
wis ana durung sich”“
89
Berdasarkan analisa penulis, penggunaan SMS (Short Message
Service) sebagai alat bukti akan lebih valid jika hanya diberlakukan untuk
tindak pidana khusus. Hal tersebut dikarenakan tindak-tindak pidana
khusus ini lebih memberikan pengaturan dan pengertian yang jelas
mengenai pengaturan adanya bukti elektronik. Jadi penerapannya adalah
dengan menggabungkan atau mengaitkan pasal (juncto) yang ada di dalam
KUHAP dengan pasal yang ada dalam undang-undang yang mengatur
tindak pidana khusus tersebut. Penggabungan pasal tersebut sama sekali
tidak melanggar asas hukum. Hal itu bisa dilihat dari poin “mengingat”
dari undang-undang tersebut dimana dicantumkan Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai undang-undang yang dijadikan
acuan.
Di samping itu, menurut Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief
Indra Kusuma Adhi yang kami kutip dari artikel Faksimili Sebagai Alat
Bukti, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti
elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, dengan ketentuan:
“Informasi
elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi
elektronik itu diubah dalam bentuk cetak”64
Dalam pasal 42Undang-undang No 11 Tahun 2008
Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut :
64
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1243b9c9a95/jerat-hukum-buat-pengirim-pesantidak-senonoh-lewat-blackberry diakes pada tanggal 15 Oktober 2013.
90
a.
b.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan
Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Semua uraian diatas menjelaskan bahwa adanya
alat bukti
elektronik sebagai upaya untuk mengantisipasi meningkatnya tindak
kejahatan dengan menggunakan sarana dan media informasi dan
elektronik antara lainSMS (Short Message Service).
SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti”Surat”
jika sudah dalam bentuk hasil cetak atau Print Out dan SMS (Short Message
Service), untuk menentukan hal tersebut tergantung dari hakim dalam
memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam Pasal
187 poin d KUHAP dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS
(Short Message Service) sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut berdasarkan
suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang sepenuhnya hal
tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut,
dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti
surat.
2. Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian SMS (Short Message Service)
sebagai alat bukti dalam Penyalahgunaan Narkotika dalam Putusan
No : 56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Pembuktian
tentang
benar
tidaknya
terdakwa
melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara
pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga
91
bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak
benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran
materiil.Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan
semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.65
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau
teori
pembuktian
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
isinya:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut
sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen
yaitu :
65
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273.
92
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang;
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan
subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak
ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah
satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa.66
Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.67
Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat
bukti maka harus diketahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan
alat bukti surat, alat bukti surat ini diatur dalam pasal 187 KUHAP,
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangan itu;
66
Yahya Harahap.2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.Hal.279.
67
Ibid.Hal. 280.
93
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dan alat pembuktian yang lain”.
Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan
ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara
umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang
pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan
selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus
mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan
pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara
utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku”
jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang
lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang
lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu
terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai
sebagai alat bukti surat.68
Pada perkembangandan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat
telah menyebabkan perubahan kehidupan dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru.Dalam perkembangan kemajuan teknologi tersebut apabila
masyarakat tidak mengimbangi dengan sikap ataupun tingkah laku yang
68
Yahya Harahap.Op.cit.Hal.309.
94
mengarah pada pola kehidupan yang membangun dan berkesinambungan.
Tren kejahatan denganmemanfaatkan teknologi telepon seluller semakin
marak dilakukan.Sementarapara pakar pidana ataupun masyarakat belum
juga mencapai titik temu dalam halpenyebutan ataupun pendefisiannya
sehingga terjadi ambiguitas di masyarakat.
Eksistensi teknologi informasi disamping menjanjikan sejumlah
harapan,pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru
antara lainmunculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk
cyber crime.
Yang menarik dan perlu untuk dicermati adalah kaitannya dengan
pembuktian oleh perundang-undangan kita, dalam hal ini adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Perihal alat bukti
dalam KUHAP bersifat limitatif, hanya terbatas pada apa yang disebut
dalam pasal 184 KUHAP, dimana alat bukti elektronik tidak dikenal
didalamnya. Namun demikian tidak berarti bila terjadi suatu perkara
tindak kejahatan dengan menggunakan media teknologi telekomunikasi
pelakunya lolos dari jeratan hukum.
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan
nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan
di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah
memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara, data
elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim
dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).
95
Disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agaknya dapat digunakan
sebagai sarana untuk menjerat pelaku yang menggunakan sarana
kecanggihan teknologi,sehingga lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum
baru dapat tercover, dengan demikian para praktisi hukum dapat
denganpasti mempunyai senjata andalan untuk menyeret pelaku untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer,
membuat Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada
eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen
elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening69, sehingga alat bukti
tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan
keterangan terdakwa, akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang
tersimpan secara elektronik70.
Mengenai SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti, beberapa
ahli berpendapat sebagai berikut:
Andi Hamzah71 menjelaskan bahwa yang termasuk alat bukti surat,
diantaranya yaitu pesan pendek melalui SMS (Short Message
Services), surat elektronik (e-mail) dan data dalam VCD serta CD,
seperti halnya keterangan saksi, alat bukti surat tidak dapat berdiri
sendiri kecuali diperkuat dengan alat bukti lain.
Yahya Harahap mengungkapkan bahwa:
Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas
petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa
69
Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana
Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.
70
Ibid, hlm. 138
71
http:hukumonline, RUU KUHAP, diakses tanggal 24 oktober 2013, 09:51 WIB
96
berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh
karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.72
Edmon Makarim mengemukakan bahwa :
Alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri
sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu
rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur
yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa
sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu
kasus.73
T. Nasrullah yang menegaskan bahwa:
alat bukti elektronik seperti SMS (Short Message Service) hanya
berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum
pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo
menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal.Penggunaan
SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli
(expertise).74
Dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dirumuskan.
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yangmampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan
dengan menggunakan Komputer, jaringanKomputer, dan/atau
media elektronik lainnya.
Meskipun demikian dengan diundangkannya Undang-undang No
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terdapat
suatu kemajuan, karena memberikan pengakuan bukti transaksi elektronik
72
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312.
73
Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005) hlm. 451
74
Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, 2006.
97
diakui sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur
dalam Pasal 5 Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dirumuskan sebagai berikut:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta.
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt menyebutkan bahwa pada awal tanggal 1
September 2011 pukul 21.00 Wib saksi Aris Budi Setyono dan saksi
Pramuaji bersama tim sedang melaksanakan tugas di Taman Andang
Pangrenan Kelurahan Karangklesem Kecamatan Purwokerto, melihat
tingkah laku terdakwa yang mencurigakan di depan pintu Taman Andang
Pangrenan, bahwa pada saat di tanya identitasnya terdakwa sedang
menerima SMS dari Niko dengan nomor 08190332269 yang isinya
“Barange wis ana durung sich” kemudian saksi Aris menanyakannya apa
maksud SMS tersebut dan terdakwa menjawab bahwa itu pesanan ganja.
98
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:
56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt telah diajukan barang bukti berupa 1 (satu)
bungkus kertas minyak warna coklat berisi ganja seberat 4,025 gram, 1
(satu) botol plastik berisi urine milik Saeful Ngibad Bin Kusworo serta 1
(satu) buah handphone merk Nokia warna silver tipe 112 yang berisikan
SMS (Short Message Service) pemesanan Ganja dari terdakwa ke Niko,
majelis hakim hanya berpegang pada surat dakwaan dan barang bukti dari
penuntut umum, serta dari keterangan para saksi, dan SMS (Short Message
Service) tersebut dikategorikan sebagai surat lain atau surat elektronik,
akan tetapi SMS (Short Message Service) hanya dijadikan sebagai alat
bukti petunjuk.
Dalam pasal 188 ayat 1 di sebutkan bahwa :
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti
haruslah mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang
terjadi. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain
dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan dari pengamatan hakim,
baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.
Pembuktian di dalam petunjuk ini tidak dapat di kesampingkan
begitu saja, karena alat bukti petunjuk ini sangat berperan dalam
99
meberikan gambaran pada hakim untuk memutuskan suatu perkara di saat
alat bukti yang ada tidak mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari bunyi pasal di atas, maka
dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak
langsung (Circumtantial evidence) yang bersifat sebagai pelengkap saja
yang artinya petunjuk bukanlah alat bukti yang mandiri, tetapi alat bukti
sekunder yang di peroleh dari alat bukti primer, dimana alat bukti petunjuk
tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus di dukung oleh alat bukti lainnya
maka disini hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian,
haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan
memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. Keterangan para saksisaksi
telah
membenarkan
bahwa
terdakwa
telah
melakukan
pemesananganja dengan media elektronik berupa SMS (Short Message
Service) tanpa mendapatkan izin dari pihak yang berwenang dan dari
keterangan terdakwa di dalam persidangan tersebut juga telah mengaku
atau membenarkan isi dariSMS (Short Message Service) dalam pemesanan
ganja tersebut tersebut.
Dari semua penjelasan diatas, maka dapat ditari suatu kesimpulan,
yaitu SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam
Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan
100
pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai pelengkap
saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang mana alat bukti
petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didukung oleh alat bukti
lain untuk menguatkanya, serta harus ada penggabungan dengan alat bukti
lain sebagai konsekuensi dari asas minimum pembuktian, adapun
mengenai penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada
hakim, dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan
keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan hati
nuraninya.
101
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN. Pwt, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1) Alat bukti SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti
surat yang sah karena :
a. SMS (Short Message Service) diklasifikasikan sebagai alat bukti ”Surat”
atau alat bukti informasi elektronik apabila sudah dalam bentuk hasil cetak
atau Print Out dari SMS (Short Message Service).
b. Untuk menentukan SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti”Surat”
atau alat bukti informasi elektronik, hal ini tergantung dari hakim dalam
memberikan penafsiran (interpretasi), sebagaimana dimaksud dalam
pasal 187 poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS
(Short Message Service)
sebagai alat bukti “Surat”, hal tersebut
berdasarkan suatu penafsiran (interpretasi) ekstensif (perluasan) yang
sepenuhnya hal tersebut diserahkan kepada hakim yang memeriksa
perkara tersebut, dengan penafsiran tersebut SMS dapat dikategorikan
sebagai alat bukti surat, akan tetapi SMS (Short Message Service) tetap
harus memenuhi syarat yaitu isi dari SMS (Short Message Service) tidak
meragukan dari keasliannya, dapat diperlihatkan dipersidangan, sudah
teregistrasinya nomor dengan registrasi identitas yang lengkap serta harus
didukung dengan alat bukti lain yang sah sebagai konsekuensi dari asas
minimum pembuktian.
101
102
2) Kekuatan pembuktian SMS (Short Message Service) sebagai alat bukti
dalam penyalahgunaan narkotika dalam Putusan No :
56 /
Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
a. SMS (Short Message Service) dalam penyalahgunaan narkotika dalam
Putusan No :
56 / Pid.Sus/2011/PN.Pwt. mempunyai kekuatan
pembuktian yang sah, akan tetapi kekuatanya hanya sebagai
pelengkap saja karena dianggap sebagai alat bukti petunjuk yang
mana alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
didukung oleh alat bukti lain untuk menguatkanya, serta harus ada
penggabungan dengan alat bukti lain sebagai konsekuensi dari asas
minimum pembuktian.
b. Penilaian kekuatan pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim,
dan hakim haruslah arif, bijaksana, penuh kecermatan dan
keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dengan menggunakan
hati nuraninya.
B. Saran
Penulis menyarankan untuk perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang ilmu hukum acara pidana, yaitu KUHAP sebagai acuan
dalam beracara pidana dilakukan revisi khususnya yang mengatur mengenai
pembuktian
khususnya
tentang
alat
bukti.
Revisi
tersebut
harus
mengakomodir perkembangan jaman saat ini dimana khsusnya yang alat
bukti elektronik.
103
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur :
Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta
:BinaCipta.
C.S.T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka.
Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di
Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi dan Indra Dahlan. 1984.
Komentar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Perbandingan KUHP, HIR dan
Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Jilid I), Jakarta: Pustaka Kartini.
. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar
Grafika.
. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Makarao, Moh Taufik dkk. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Moelyatno.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana. Jakarta:Bina Aksara.
Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana.
Yogyakarta: Liberty.
104
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983.
Bukti.Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sistem
Pembuktian
dan
Alat-Alat
Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan
Bandung: Bina Cipta.
Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
Bandung: Mandar Maju.
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana
menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria.
Sujono, A.R, dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan UndanngUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
_____, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.
C. Sumber Lain :
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 56/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Download