strategi pembelajaran berbasis pendidikan nilai dalam

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN NILAI
DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH
Najuah
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan
Corresponding author: [email protected]
Abstrak
Pendidikan IPS di mata pelajaran tingkat SD diberikan dalam bentuk Ilmu Sosial (IPS). Dalam kursus ini, peserta didik
mendapatkan pengalaman belajar mengenai sejarah, geografi, ekonomi dan budaya yang tersedia secara terpadu. Namun,
dalam makalah ini penulis hanya akan membahas tentang studi sejarah dalam studi sosial pembelajaran. Dengan
menghubungkan dengan strategi pembelajaran berbasis nilai-nilai pendidikan. IPS strategi pembelajaran di sekolah dasar,
terutama studi sejarah harus mulai dari nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu serta peristiwa sejarah. nilai pendidikan
diarahkan membentuk kepribadian karakter siswa yang tidak hanya didasarkan pada intelek. Dunia pendidikan diharapkan
untuk mempersiapkan peserta didik kepribadian yang tidak terpisahkan yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai
dasar kehidupan manusia, yaitu saling menghormati dan tidak merugikan orang lain.
Kata kunci : strategi pembelajaran, pendidikan nilai, IPS
PENDAHULUAN
Memperhatikan tujuan dan esensi pendidikan IPS, sebaiknya penyelenggara pembelajaran IPS mampu
mempersiapkan, membina, dan membentuk kemampuan peserta didik yang menguasai pengetahuan, sikap, nilai, dan
kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupan di masyarakat (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1992). Untuk menunjang
tercapainya tujuan IPS tersebut harus di dukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif. Iklim pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dan
kegairahan belajar peserta didik.
Proses belajar tidak sekedar menghapal konsep atau fakta belaka, tetapi lebih merupakan kegiatan internalisasi
antar konsep guna menghasilkan pemahaman yang utuh. Agar tercapai pembelajaran bermakna, guru harus berusaha
mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan memadukannya dengan pengetahuan baru.
seorang guru harus mampu memilih model, metode, strategi, dan media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan
kurikulum dan harus mampu melihat potensi peserta didik. Begitu pula dalam pembelajaran IPS.
Tujuan yang wajib dicapai oleh pendidikan IPS adalah membina anak didik menjadi warga negara yang baik yang
memiliki pengetahuan keterampilan dan kepedulian sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta masyarakat dan negara
(Lif Khoiru Ahmad,2011). Memang pengetahuan sosial itu diperolah secara alamiah dari kehidupan sehari-hari yang telah
ada pada diri kita masing-masing namun hal ini belum cukup mengingat kehidupan masyarakat dengan segala
permasalahannya semakin lama kian berkembang mengikuti perkembangan dan perubahan hidup manusia. Oleh karena itu
pendidikan IPS dipelajari dan diajarkan kepada peserta didik mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
.
PEMBAHASAN
Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar
Pengetahuan sosial telah melekat pada diri kita dan diperoleh secara alami dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi,
hal ini tidak cukup bila merujuk kepada kehidupan masyarakat dengan permasalahan yang kompleks. Untuk menangani
keadaan ini, diperlukan pendidikan formal dan solusi itu jatuh kepada Pendidikan IPS (Ahmadi & Amri: 2011). Pendidikan ini
dirintis mulai tingkat pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Namun, yang menjadi batas dalam pembahasan ini
ada ditingkat pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (SD).
IPS sebagai matapelajaran yang diberikan di SD mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi
yang berkaitan dengan isu-isu sosial. Beragam disiplin ilmu sosial disatukan dalam wadah IPS, mencakup materi geografi,
sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Bahkan, beberapa disiplin ilmu lain seperti psikologi sosial, budaya (antropologi), dan
politik terintegrasi dalam materi IPS. Kedudukan IPS secara substansi ini menunjukkan peran IPS yang potensial
memberikan anak didik kemampuan mengenal konsep-konsep kehidupan masyarakat. Tentu, hal tersebut merupakan salah
satu tujuan dari pembelajaran IPS sendiri.
Pembelajaran IPS yang baik bukan hanya dipandang dari segi kognitif belaka. Melainkan, juga aspek afektif
maupun psikomotorik. Maka dari itu, kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model,
metode, dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkatkan, agar pembelajaran IPS benar-benar mampu
mengkondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar peserta didik (Solihatin & Raharjo: 2009). Semua
penjelasan tersebut mengarah kepada usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS. Melihat keterangan Martorella
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976
p-ISSN: 2549-435X
31
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
(Solihatin & Raharjo: 2009), tujuan dari Pembelajaran IPS adalah pemahaman peserta didik terhadap sejumlah konsep dan
mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya.
Kesempatan pembangunan karakter dimiliki IPS berdasar penjelasan di atas. Kesempatan itu memiliki
ketergantungan kepada guru untuk memaksimalkan materi-materi IPS. Sehingga mampu menumbuhkembangkan karakter
peserta didik. Strategi pembelajaran dibutuhkan untuk mewujudkan harapan tersebut, tentunya dengan pendekatan yang
tepat di tiap materi. Pada pembahasan kali ini, penulis membatasi permasalahan pada materi sejarah dalam pembelajaran
IPS. Pengembangan materi sejarah dengan pendekatan yang mengoptimalkan peran materi tersebut dalam ranah afektif
yang mengarah kepada pembentukan karakter peserta didik, khususnya di tingkat SD.
Kajian Sejarah Dalam IPS Sekolah Dasar
Ilmu sosial mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama orang lain (masyarakat). Sebagai ilmu sosial
atau juga disebut ilmu masyarakat yang mempelajari aspek-aspek tertentu dari kehidupan manusia dalam masyarakat.
Aspek-aspek tertentu dari kehidupan manusia tersebut merupakan disiplin-disiplin ilmu sosial yang bersifat mandiri, dalam
arti mempelajari aspek-aspek tertentu dengan metode keilmuan tertentu pula. Disiplin ilmu sosial itu seperti sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, geografi, politik, dan sejarah (Sapriya, 2009).
IPS merupakan istilah yang sejajar dengan pendidikan yang lain seperti IPA, Istilah tersebut untuk membedakan
dengan pendidikan sekolah tinggi. Dalam lingkup filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, dan ilmu pendidikan, istilah IPS
belum dikenal baik sebagai subdisiplin ilmu (Sapriya, 2009: 8). Disiplin ilmu-ilmu sosial merupakan sekelompok disiplin ilmu
yang memiliki sasaran penyelidikan sama dengan IPS, yaitu perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan
disiplin ilmu merupakan suatu batang tubuh disiplin yang menyeleksi konsep, generalisasi dan teori dan struktur disiplindisiplin (universal) dan disiplin ilmu pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan (Sapriya, 2009: 14). Ilmu-ilmu sosial yang menjadi salah satu sumber IPS adalah antropologi, ekonomi, geografi,
politik, psikologi, sejarah, dan sosiologi.
Memperhatikan secara umum kajian sejarah dalam materi IPS tingkat SD tidaklah sebanyak substansi yang
disajikan dalam matapelajaran Sejarah secara khusus. Kajian sejarah dalam materi IPS berada ditingkat kognitif 1
(Pengetahuan). Peserta didik mengetahui peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan manusia penghuni kepulauan yang
dikenal dengan nama Indonesia hari ini. Seperti peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Peserta didik mengetahui
kapan negara Indonesia merdeka. Selain itu, peserta didik mengetahui pula peristiwa sebelumnya yakni perjuangan para
pahlawan merebut kemerdekaan dari kolonialis.
Lebih jauh lagi ke belakang, peserta didik mengetahui eksistensi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, serta
kehidupan praaksara di Kepulauan Indonesia. Materi-materi tersebut memang tidak segamblang pelajaran Sejarah di
tingkat SMA/sederajat. Materi sejarah dalam IPS lebih terlihat seperti rangkuman yang dinarasikan. Keadaan tersebut
bukan berarti menutup atau mengecilkan kedudukan sejarah maupun ilmu sosial dalam matapelajaran IPS. Hal tersebut
malah menjadi pemicu bagi guru untuk mengem-bangkan materi agar peserta didik menyenangi matapelajaran IPS. Bukan
hanya itu, tujuan pembelajaran IPS itu tercapai dan peserta didik mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam
kehidupan masyarakat.
Kajian sejarah dalam materi IPS tingkat SD dapat pula dikembangkan guru berdasarkan kegunaan sejarah. Guna
pertama tentu guna edukatif yang memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajariny. Karena semangat
sebenanrnya dari kepentingan mempelajari sejarah adalah nilai kontekstualnya. Guna kedua adalah guna instruktif yang
memberi pelajaran mengenai sesuatu baik keterampilan maupun pengetahuan. Guna ketiga yaitu guna inspiratif, yang
memberikan ilham, ide atau inspirasi bagi manusia masa sekarang. Kemudian guna keempat yaitu guna rekreatif yang
menghadirkan kesenangan batin. Contoh seperti berkunjung ke situs atau objek yang mengandung nilai sejarah. Misal,
berkunjung ke Candi Borobudur, guru dapat menghidupkan imajinasi peserta didik mengenai pembangunan masa itu.
Dimulai dari jumlah pekerjanya, arsiteknya, lama pembangunan, tujuan dan sebagainya. Sehingga, dalam hati dan pikiran
peserta didik seperti menembus dimensi waktu (Ahmadi & Amri: 2011).
Pendidikan Nilai
Secara filosofi Socrates menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah
kearifan (Wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya membangun aspek kognisi, afeksi, dan
psikomotor secara berimbang dan berkesinambungan adalah nilai pendidikan paling tinggi (Elmubarok: 2008). Sebagai
suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar dapat melakukan
perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Secara sederhana, pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya
memanusiakan manusia.
Keterkaitan dengan nilai harus dipahami terlebih dahulu. Nilai dapat diartikan sebagai suatu perilaku-perilaku yang
diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut harus mampu membawa manusia
menghadapi kehidupan masyarakat yang majemuk dengan beragam perbedaan. Matapelajaran-matapelajaran yang
mengajarkan nilai dapat dikatakan merata. Namun, hal itu tidak dapat digunakan dengan baik oleh guru. Seperti
matapelajaran sejarah, agama, bahasa Indonesia, dll. Dalam hal ini nilai harus menjadi inti dari pendidikan itu sendiri.
Sebab, hal yang paling penting di dunia ini adalah nilai moral (afeksi) manusia. Dengan kata lain, bukan berarti
mengecualikan intelejensi.
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976
p-ISSN: 2549-435X
32
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
Pembelajaran IPS dengan segala poten-sinya dapat melirik pendidikan nilai sebagai suatu strategi, terutama aspek
afektif. Penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya (Elmubarok: 2008). Melalui pendidikan nilai, pembelajaran
IPS menghidupkan ranah afeksi peserta didik. Hal itu berarti dalam proses belajar mengajar perkembangan perilaku anak
dan pemahamannya mengenai nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta kepedulian terhadap
orang lain merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.
Di sisi lain, pendidikan nilai bisa berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi ini lebih mengutamakan
proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai.
Atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan mengeskplor diri dan dunianya sendiri
sehingga ide, kreativitas,dan keterampilan diri berkembang sebagai bagian dari masyarakatnya (Elmubarok: 2008).
Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran IPS
Sesungguhnya pendidikan IPS dengan pendidikan nilai adalah bagai dua sisi mata uang logam. Sangat banyak
kesempatan untuk saling memadukan dalam pembelajaran IPS dan nilai. Dalam pendidikan nilai kita menginginkan
munculnya kesadaran pelaksanaan nilai-nilai positif dan menghindarkan nilai-nilai negatif. Nilai-nilai positif tersebut adalah :
amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, kerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin,
lapang hati, berlembut hati, beriman dan bertakwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke
depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggungjawab, bertenggangrasa, bijaksana, cerdas,
cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan
(mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain,
menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian,
berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang, rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa
percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, hormat, nalar, tertib,
sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan
sejenisnya.
Adapun nilai-nilai negatif yang seharusnya dihindari adalah anti resiko, boros, bohong, buruk sangka, biadab,
curang, ceroboh, cengeng, dengki, egois, fitnah, feodalistik, gila kekuasaan, iri, ingkar janji, jorok, keras kepala, khianat,
kedaerahan, kikir, kufur, konsumtif, kasar, kesukuan, licik, lupa diri, lalai, munafik, malas, menggampangkan, materialistik,
mudah percaya, mementingkan golongan, mudah terpengaruh, mudah tergoda, rendah diri, meremehkan, melecehkan,
menyalahkan, menggunjing, masa bodoh, otoriter, pemarah, pendendam, pembenci, pesimis, pengecut, pencemooh,
perusak, provokatif, putus asa, ria, sombong, serakah, sekuler, takabur, tertutup, tergesa-gesa, tergantung, omong kosong,
picik, dan sejenisnya (Sjarkawi, 2008:35).
Perwujudan nilai-nilai tersebut dapat dilakukan guru melalui pembelajaran IPS. Dengan memasukkan hidden
curriculum ke tiap materi yang disampaikan. Sejarah memiliki nilai-nilai yang dapat ditanamkan kepada peserta didik seperti
cinta tanah air, patriotik, toleransi, memahami serta menerima perbedaan, menghargai perjuangan pahlawan, dan
membentuk peserta didik sadar sejarah. Nilai-nilai tersebut diharapkan meresap ke sisi afeksi. Terlihat dari pertemanan
peserta didik, respon peserta didik terhadap lingkungan interaksinya, menjaga kebersihan, meneladani sifat-sifat bijak para
pahlawan, dan lain sebagainya.
Pendidikan Nilai Dalam Membentuk Karakter Bangsa
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah
pedagog Jerman FW.Foerster (1869-1966). Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassein dan “kharax” yang
maknanya tools for making atau to engrave yang artinya mengukir, kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa
prancis “caracter” pada abad ke 14 dan kemudian masuk dalam bahasa inggris menjadi “character’ sebelum akhirnya
menjadi bahasa Indonesia menjadi “karakter”. Membentuk karakter seperti kita mengukir di atas batu permata atau
permukaan besi yang keras. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau juga kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan mendasari cara pandang, berpikir, sikap, dan cara bertindak orang
tersebut. Kebajikan tersebut terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya,
hormat kepada orang lain. Karakter terwujud dari karakter masyarakat dan karakter masyarakat terbentuk dari karakter
masing-masing anggota masyarakat bangsa tersebut. Pengembangan karakter, atau pembinaan kepribadian pada anggota
masyarakat, secara teoretis maupun secara empiris, dilakukan sejak usia dini hingga dewasa (Afandi: 2011).
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu moral
knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan
moral. Berdasarkan pengertian pendidikan karakter di atas dapat disadari bahwa pendidikan karakter dengan pendidikan
nilai sangat dekat. Pendidikan nilai menekankan penanaman nilai dan moral yang terinternalisasi ke dalam diri,
bertransformasi dengan sebutan karakter sebagai pola pikir dan dasar perilaku bertindak.
Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada
generasi muda. Oleh sebab itu tema yang sesuai dengan usia peserta didik dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi
(Elmubarok: 2008). Sejarah mengenai perjuangan bangsa, kisah kehidupan, maupun cerita-cerita daerah/kepahlawanan
tetap diperlukan sebagai sumber penggalian nilai teladan. Bahkan imajinasi terhadap kehidupan yang ideal ini (meskipun
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976
p-ISSN: 2549-435X
33
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
tak seperti yang dialami) perlu ditekankan kepada peserta didik agar mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal
yang sama.
Pendidikan nilai ini juga mendorong kecerdasan emosional (EQ) yang menjadi bagian dari pendidikan karakter.
Perlu disadari terlebih dahulu, kecerdasan emosional bukanlah lawan dari kecerdasan intelektual (IQ). Namun, keduanya
berinteraksi secara dinamis dan merupakan kesatuan yang utuh. Melalui kecerdasan emosional ini, peserta didik mampu
mengaktualisasikan diri melalui nilai-nilai yang telah dipercaya dan terinternalisasi dalam dirinya. Sehingga, nilai-nilai positif
yang telah dikemukakan sebelumnya diamalkan oleh peserta didik. Lebih jauh lagi, aktualisasi diri tersebut mampu
melangkah menjadi aktualisasi potensi. Dalam artian mengkolaborasikan kecerdasan intelektualnya dengan kecerdasan
emosional yang didukung kecerdasan spiritual (SQ). Ini merupakan bentuk karakter ideal, yang sangat diharapkan sebagai
hasil pendidikan. Tentunya, individu-individu seperti dijelaskan tadi sangat didambakan oleh bangsa Indonesia.
Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Nilai
Pendekatan atau model pembelajaran tradisional cenderung berasumsi peserta didik memiliki kebutuhan yang
sama, dan belajar dengan cara yang sama pada waktu yang sama, dalam ruang kelas yang tenang, dengan kegiatan
materi pelajaran yang terstruktur secara ketat dan didominasi oleh guru. Karakteristik peserta didik di tingkat SD adalah
senang melakukan aktivitas manipulatif, ingin serba konkrit, dan terpadu (Elmubarok: 2008). Pendekatan penanaman nilai
adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka
(1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh peserta
didik ; Kedua, berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metode yang
digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif,
simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Pendidikan Barat memang banyak mengkritik pendekatan ini, mungkin disebabkan oleh landasan kebebasan
individu dalam alam pikir pendidikan Barat. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Suparta (Elmubarok: 2008) disadari
atau tidak, pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat. Terutamanya dalam penanaman nilai-nilai
agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan kuat untuk meng-gunakan pendekatan ini
dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilainilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertolak dari
ajaran dan nilai-nilai tersebut.
Dimensi moralitas menjadi bahan pertimbangan dalam pola pikir, bicara dan bertindak. Suatu pemikiran yang
terpaut dengan kenyataan dan pengalaman hidup sangat dibutuhkan. Strategi pembelajaran holistik dengan pendekatan
nilai mampu mentrans-formasikan hati dan pikiran. Setiap individu tidak boleh dan tidak dapat menaruh perhatian hanya
pada kemampuan kognitif dan akademik belaka. Semua aspek berperan penting dalam pem-bentukan sikap hati dan pikiran
yang berkesinambungan (Rubiyanto & Hariyanto: 2010). Peranan guru amat dominan dan sentral untuk membentuk
generasi penerus bangsa. Mereka bukan hanya berperanan mendidik, tetapi bahkan membentuk bangsa yang bersatu
padu dan bangsa yang mampu memahami aspirasi negara seterusnya membawa bangsa ke puncak masa depan.
Pendidikan Nilai Bekal Menghadapi MEA
Telah dibahas sebelumnya bagaimana pendidikan nilai melalui pembelajaran IPS membentuk sisi moral, sikap,
kepribadian, dan karakter dari peserta didik. Pendidikan nilai yang berhasil dengan ditunjukkan oleh kemampuan intelektual,
sikap dan kemahiran interaksi sosial, serta keterampilan peserta didik ternyata harus dihadapkan dengan kemajuan zaman.
Kemajuan zaman yang tidak dapat dielak memang memaksa pendidikan Indonesia untuk terus berkembang mencetak
generasi yang memenangkan persaingan internasional. Pendidikan nilai yang beorientasi membentuk karakter peserta didik
memberikan suatu nilai positif bagi mereka sebelum terjun ke gelanggang globalisasi. MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
mengedepankan kebebasan yang membuat perbatasan negara menjadi semu. Tenaga-tenaga terdidik dan terlatih dari luar
negeri akan mengalir masuk ke Indonesia. Maka dari itu, persiapan bagi tiap masyarakat sangat wajib dilakukan. Dengan
keadaan seperti ini, pendidikan menduduki posisi penting menangani masalah ini.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus meningkatkan kepekaannya dalam mendidik. Keahlian
mengembangkan materi dengan menggunakan beragam model, metode, dan pendekatan harus dimiliki. Dorongan untuk
menggunakan pendidikan nilai harus didukung dengan keputusan politis. Sebab telah menjadi rahasia umum dan
permasalahan bangsa bahwa perbaikan moralitas menjadi inti dari tujuan pendidikan. Ketiadaan sosok teladan sebagai
panutan memang manjadi salah satu faktor pemicu keadaan ini. Guru sekali lagi, harusnya bisa menggantikan sosok-sosok
teladan tersebut. Guru bertanggungjawab besar terhadap keadaan ini. Dukungan politis dari pemerintahan dan dorongan
masyarakat untuk mempersiapkan masa depan bangsa yang lebih baik harus saling bersinergi. Agar, dikemudian hari nama
Indonesia masih ada.
Mengapa dikatakan pendidikan nilai perlu mendapatkan dukungan politis? Karena pendidikan nilai tidak dapat
diwujudkan dalam waktu satu tahun ajaran saja, melainkan harus berkesinambungan. Selain itu, penggunaan pendekatan
ini dilakukan oleh seluruh guru di Indonesia dalam berbagai matapelajaran. Selanjutnya, pendidikan nilai juga dapat disisipkan bukan hanya di sekolah, media-media lain seperti acara televisi, media cetak, buku cerita, dan lain sebagainya dapat
disisipi pendidikan nilai. Maka dari pelaksanaan itu, pendidikan nilai berhasil mencetak generasi yang berkarakter. Bersama
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976
p-ISSN: 2549-435X
34
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017
dengan kemampuan kognitif dan psikomotor, peserta didik siap menghadapi persaingan MEA dengan bekal yang mereka
dapatkan.
SIMPULAN
Pembelajaran IPS di tingkat SD dengan cakupan materi yang luas memerlukan suatu pendekatan khusus untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Aspek kognitif memang suatu hal penting yang harus didapat oleh peserta didik. Namun,
aspek afektif juga harus diperhatikan untuk diamalkan oleh peserta didik. Sejarah, sebagai salah satu substansi
matapelajaran IPS memiliki potensi penanaman sikap pada peserta didik. Nilai-nilai yang terkandung dalam kajian sejarah
tersebut haruslah digali lebih dalam oleh guru. Pendidikan nilai perlu dilirik oleh guru untuk menyampaikan morale values
tersebut.
Pendidikan nilai mungkin tidak terlalu familiar dikalangan pendidik. Pemahaman atas pendidikan nilai tersebut perlu
dimiliki oleh guru sebagai strategi pembelajaran. Dukungan pemerintah secara politis sangat dibutuhkan untuk menjadikan
pendidikan nilai sebagai pendekatan pembelajaran. Sebab, muara dari pendidikan nilai adalah pembentukan karakter yang
tidak jauh dari tujuan pendidikan Indonesia. Bila karakter telah ditanamkan kepada peserta didik, permasalahan yang
merongrong bangsa ini dapat diatasi.
Era MEA yang telah datang membawa bangsa ini ke dalam persaingan yang tidak terelakkan. Tenaga kerja yang
terdidik dan terlatih menjadi pesaing masyarakat Indonesia. Menanggapi tantangan tersebut, pendidikan menjadi senjata
utama untuk membentuk generasi yang bukan hanya mampu bersaing. Melainkan memenangkan persiangan. Seluruh
aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan harus diwujudkan melalui strategi pembelajaran efektif. Keberhasilan
membentuk karakter masyarakat melalui peserta didik hari ini, dapat dipastikan mempersiapkan Indonesia yang lebih baik
ke depan.
REFERENSI
Rubiyanto, Nanik & Dany Haryanto. 2010. Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang Terserak, Menyambungkan yang Terputus,
Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta
Ahmadi, Iif Khoiru & Sofan Amri. 2011. Mengembangkan Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta: Pustaka Prestasi
Solihatin, Etin & Raharjo. 2009. Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara
Afandi, Rifki. 2011. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jurnal Pedagogia Vol.1 No.1,
Desember 2011.
Sutrisno. 2010. Pembelajaran IPS Kajian Sejarah dengan Pendekatan Dialog: Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri 1
Kauman Kelas V Kemusu Boyolali. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta
http://semnasfis.unimed.ac.id
e-ISSN: 2549-5976
p-ISSN: 2549-435X
35
Download