3 TINJAUAN PUSTAKA Hama Pengisap Polong Kedelai Hama pengisap polong kedelai ada tiga jenis, yaitu kepik hijau Nezara viridula (L.), kepik hijau pucat Piezodorus hybneri (Gmel.), dan kepik coklat Riptortus linearis (L.) (Hemiptera: Alydidae). Sebaran geografi hama R. linearis meliputi kawasan Asia Tenggara. Selain menyerang tanaman kedelai, R. linearis dapat hidup dengan menyerang tanaman inang kacang-kacangan, Tephrosia spp, Acacia pilosa, dadap, Desmodium, Solanaceae dan Convolvulaceae (Kalshoven 1981). a. Morfologi dan Biologi Morfologi imago R. linearis mirip dengan walang sangit, tetapi mudah dikenal dengan garis putih kekuningan yang terdapat di sepanjang sisi badannya. Panjang badan imago betina 13–14 mm, sedangkan imago jantan 11–13 mm. Bagian tengah abdomen imago betina membesar dan gembung, sedangkan abdomen imago jantan lurus ke belakang (Marwoto et al. 1999). Telur R. linearis diletakkan secara berkelompok pada permukaan bawah daun dan polong dengan jumlah 3–5 butir. Bentuk telur bulat dengan bagian tengahnya agak cekung. Telur yang baru diletakkan berwarna biru keabu-abuan, kemudian berubah menjadi coklat suram. Diameter telur 1,20 mm, dan stadia telur berkisar 6–7 hari (Marwoto et al. 1999). Perkembangan nimfa R. linearis melewati lima instar dan di antara instar terdapat perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Nimfa instar pertama mirip semut gramang, warnanya mula-mula kemerah-merahan, kemudian berubah menjadi coklat kekuning-kuningan dengan panjang badan rata-rata 2,60 mm. Stadia instar pertama 1-3 hari. Nimfa instar dua mirip dengan instar pertama, warnanya mula-mula coklat kekuning-kuningan kemudian berubah menjadi coklat tua. Stadia instar dua adalah 2–4 hari dengan panjang tubuh 3,40 mm. Nimfa instar tiga mirip dengan semut rangrang, mula-mula berwarna kemerah-merahan kemudian berubah menjadi coklat. Stadia instar tiga adalah 2–6 hari dengan 4 panjang badan mencapai 6,00 mm. Nimfa instar empat mula-mula berwarna kemerah-merahan kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Stadia instar empat adalah 3–6 hari dan panjang tubuh instar empat rata-rata 7,00 mm. Nimfa instar lima mirip dengan instar empat, mula-mula berwarna kemerah-merahan kemudian berubah menjadi hitam keabu-abuan. Stadia instar lima adalah 5–8 hari dengan panjang badan rata-rata 9,90 mm. Lama instar nimfa rata-rata 23 hari dan siklus hidup serangga ini dari telur sampai dengan imago rata-rata 29 hari, sedangkan periode prapeneluran adalah 5 hari (Marwoto et al. 1999). b. Pengendalian Hama Riptortus linearis R. linearis merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang sangat penting karena mampu menyebabkan kehilangan hasil hingga mencapai 80% (Tengkano et al. 1988). Pengendalian R. linearis hingga saat ini hanya mengandalkan keampuhan pestisida kimia. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, salah satunya adalah hasilnya dapat diketahui dalam waktu singkat. Namun pengendalian R. linearis menggunakan insektisida kimia hanya mampu membunuh stadia nimfa maupun imago. Sedangkan stadia telur masih dapat bertahan dan berkembang menjadi stadia lebih lanjut sehingga keberadaan hama tersebut di lapangan dapat berlangsung terus menerus. Oleh karena itu, pengendalian R. linearis menggunakan insektisida kimia menjadi kurang berhasil (Prayogo 2009). Prayogo (2004) melaporkan bahwa stadia telur R. linearis dapat diinfeksi oleh cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii Zimm. (Deuteromycotina: Hyphomycetes). Telur yang terinfeksi L. lecanii akhirnya tidak mampu menetas dapat mencapai 51%. Walaupun telur mampu menetas membentuk nimfa instar I, namun kelangsungan hidup nimfa hanya 21%. Kelebihan lain dari L. lecanii juga mampu menginfeksi stadia imago dan nimfa R. linearis sehingga populasi hama tersebut di lapangan selalu terkendali. Di samping itu, L. lecanii mampu hidup dalam jangka waktu yang lama dengan bertahan sebagai saprofit pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian sehingga eksistensi cendawan cukup tinggi. 5 Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii a. Biologi L. lecanii L. lecanii termasuk dalam divisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes. Cendawan dalam kelas ini mempunyai banyak spesies yang mampu menyebabkan penyakit pada serangga hama (Ferron 1985). Cendawan L. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama ordo Homoptera (Cloyd 2003) dan Hemiptera (Charnley 2003; Prayogo 2004). Cendawan ini mudah tumbuh pada berbagai media, terutama pada media potato dextrose agar (PDA) dan beras. Di dalam cawan Petri, diameter koloni dapat mencapai 4–5,50 cm pada 3 hari setelah inokulasi. Koloni cendawan berwarna putih pucat. Kumpulan konidia ditopang oleh tangkai konidiofor yang membentuk fialid seperti huruf L. Setiap konidiofor menopang 5−10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elip, terdiri atas satu sel, tidak berwarna (hialin), berukuran 2,30−10 x 1−2,60 μm (Tanada & Kaya 1993). Cendawan L. lecanii tumbuh baik pada suhu 18–30 oC dan kelembaban minimal 80%. Pada kelembaban lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd 2003). Cendawan L. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian. Cendawan L. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada & Kaya 1993). b. Mekanisme Infeksi L. lecanii pada Serangga Terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan (Ferron 1985). Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga inang. Pada proses tersebut senyawa mukopolisakarida memegang peranan sangat penting. Propagul cendawan L. lecanii berupa konidia. L. lecanii berkembang biak secara tidak sempurna (imperfect fungi) (Ferron 1985). Selain konidia, organ lain seperti hifa juga berfungsi sebagai alat infeksi pada serangga inang. 6 Tahap kedua yaitu proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga (Ferron 1985). Kelembaban yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air sangat diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Glare et al. 1995). Pada tahap ini, konidia cendawan akan memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada lapisan integumen serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium) (Tyrrell & MacLeod 1975). Pada tahap ini, proses tersebut sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dengan titik penetrasi kecambah cendawan (Santoso 1993). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Keempat adalah destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada & Kaya 1993). Sekitar 48 jam proses infeksi, serangga sudah mengalami kematian sebelum proliferasi blastospora (Tanada & Kaya 1993). Beberapa jenis cendawan entomopatogen mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amilase, proteinase (Lee dan Hou 2003), fosfatase, dan esterase (Freimoser et al. 2003). Cendawan L. lecanii memproduksi dua senyawa metabolit, yaitu dipicolonic acid dan cyclodepsipeptide (Cloyd 2003). Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Charnley 2003). Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan cara menyerang jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi baru kemudian menyebar ke seluruh tubuh serangga (Hall 1976). Pada umumnya semua jaringan di dalam tubuh serangga dan cairan tubuh habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen dan toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain, terutama bakteri. Pertumbuhan cendawan tidak selalu menembus ke luar jaringan integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung perkembangan saprofit maka pertumbuhan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga. Oleh karena itu, 7 cendawan membentuk struktur khusus yang dapat bertahan yaitu arthrospora (Ferron 1985). c. Viabilitas L. lecanii Hasil uji viabilitas konidia cendawan L. lecanii yang diformulasikan pada berbagai formula dengan media talk, tepung ubi jalar, tepung ubi kayu, tepung beras, tepung jagung, molase (tetes tebu), minyak kacang tanah, dan minyak kedelai menunjukkan bahwa kemampuan konidia berkecambah masih diatas 90% selama enam bulan disimpan, kecuali pada tepung jagung dan molase. Hal ini mengindikasi bahwa semua jenis bahan formulasi yang dipakai sangat cocok dalam mempertahankan kestabilan L. lecanii (Santoso et al, 2009). Beberapa laporan menyebutkan bahwa viabilitas cendawan entomopatogen sangat dipengaruhi oleh temperatur tempat selain jenis formulasi yang digunakan (Nirmala et al, 2006). Formulasi Mikoinsektisida Bioinsektisida yang berbahan aktif cendawan disebut mikoinsektisida. Formulasi merupakan solusi untuk tetap mempertahankan potensi terbaik dari agens hayati mulai dari dalam kondisi laboratorium sampai menjadi produk komersial (Connick et al. 1989). Prinsip dari formulasi adalah mencampurkan organisme yang diformulasikan dalam bahan pembawa, yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi pada organisme target dan melindungi organisme pengendali hayati setelah aplikasi (Jones & Burges 1998). Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, membantu aplikasi produk sehingga mudah diaplikasikan pada organisme sasaran, melindungi bioinsektisida dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas bioinsektisida untuk mengendalikan organisme sasaran (Jones & Burges 1998). Tidak semua konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan berhasil mencapai sasaran. Hal ini dikarenakan mobilitas serangga yang tinggi terutama hama ordo hemiptera dan homoptera, cara aplikasi yang tidak benar, serta proses 8 ganti kulit pada serangga. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan bahan pembawa (carrier) bagi konidia sebelum berhasil menginfeksi serangga (Prayogo 2006). Bahan-bahan yang umum digunakan dalam formulasi bioinsektisida antara lain bahan pembawa, stabilizer, pencegah pertumbuhan kontaminan, sistem buffer, bahan pengikat (binders), bahan penghambur (dispersant), minyak emulsi (lubricant), aktifator, sumber makanan dan komponen pelapis (coating) (Paau 1998). Namun yang lebih berperan dalam memelihara stabilitas efikasi formulasi agens hayati adalah sumber makanan yang mengandung cukup nutrisi dan bahan pembawa (Cook & Baker 1983). Formulasi bioinsektisida yang umum digunakan adalah dalam bentuk cair maupun tepung (Lohmeyer & Miller 2006). Pada perkembangan lebih lanjut, formulasi cendawan entomopatogen cukup bervariasi baik dalam bentuk cair, butiran, maupun tepung (Sabbour & El-Azis 2002; Daoust et al. 2004; Samodra & Ibrahim 2006). Menurut Derakhshan et al. (2008), bioinsektisida yang baik harus mampu bertahan dalam penyimpanan sampai dengan 18 bulan tanpa kehilangan potensinya. Untuk menjaga stabilitas produk bioinsektisida tersebut, formulasi harus dijaga agar tetap kering selama penyimpanan dan memerlukan pelindung yang tahan air (Paau 1998).