BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Definisi Tanah dan Lahan Tanah adalah sumber daya alam dan sumber hidup serta kehidupan kini maupun di masa datang. Setiap bangsa memiliki aturan-aturan atau norma-norma tertentu dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah untuk hidup dan kehidupannya, secara kompleks mengakomodasi kepentingan dan kelanggengan kehidupan berbangsa dan bernegara. 12 Lahan adalah suatu areal tanah tertentu yang diusahai dalam upaya peruntukkan kegiatan pertanian/ peternakan dan/ atau perikanan. 13 2.1.2 Definisi Rumah/ Perumahan, Tempat Tinggal dan Domisili serta Permukiman Rumah Adalah merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur dan indah serta mempunyai fungsi penting terhadap kesejahteraan dan pertumbuhan serta perkembangan anggota keluarga. 12 Sumber : Buku Pertanahan Dalam Era Pembangunan di Indonesia (Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1982, Hal.13-14). 13 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-undang Pokok Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008. Universitas Sumatera Utara Perumahan adalah sekelompok/ sekumpulan rumah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum tertentu. Tempat Tinggal adalah suatu bangunan, tempat seseorang/ beberapa orang tinggal secara menetap dalam jangka waktu tertentu, di suatu tempat tertentu. Domisisli adalah lokasi/ alamat tempat tinggal/ rumah seseorang/ sekelompok orang yang berada di dalam suatu lokasi/ daerah tertentu. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan bagi masyarakat tertentu.14 2.1.3 Definisi Rusun dan Hunian oleh Orang Asing Indonesia (Kondominium) di Rusun (Rumah susun) dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Condominium. Condominium ini di dalam UU RI No. 16 Tahun 1985 Juncto UU No. 4 Tahun 1992, tentang Rumah Susun memberikan pengertian bahwa : “ Condominium/ Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat, yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam arah horizontal dan/ atau vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang 14 UU RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Universitas Sumatera Utara dilengkapi dengan apa yang disebut “bagian bersama, tanah bersama dan benda bersama.” 15 Pasal 2 PP RI No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia menyatakan, bahwa : Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dalam PP ini, adalah sebagai berikut : 1. Rumah yang berdiri dan dibangun di atas sebidang tanah : a) Hak Pakai Atas Tanah Negara, dan b) Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang Hak Milik dan Hak Pengelolaan Atas Tanah. 2. Satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara, dan seterusnya. 2.2 Definisi Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) Menurut Penjelasan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indoneia No. 12 Tahun 2006 2.2.1 Definisi Warga Negara Indonesia 15 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 Jo. UU RI No. 4 Tahun 1992 op.cit Hal.14. Universitas Sumatera Utara Warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Kewarganaegaraan Adalah segala hal ikhwal yang berkenaan dengan Warga Negara. Pewarganegaraan adalah tata cara warga Negara Asing/ Orang Asing untuk memperoleh Kewarganegaraan di Indonesia melalui suatu permohonan. 16 Seseorang yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia adalah orangorang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan oleh Undang-undang Republik Indonesia sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) melalui permohonan atau pemberian atas jasa dan/ atau tanda kehormatan oleh Pemerintah/ Presiden RI. 2.2.2 Definisi Warga Negara Asing (WNA) Warga Negara Asing adalah Orang/ Badan Hukum Asing yang berstatus Kewarganegaraan Asing dan tidak pernah mengajukan permohonan sehingga ia tidak pernah ditetapkan menjadi Warga Negara Indonesia dan/ atau Badan Hukum Indonesia, serta tidak disebabkan karena kehilangan Kewarganegaraan Indonesia menurut ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia. 16 UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganaegraan Indonesia, Pasal : 1, 2 dan 3. Universitas Sumatera Utara 2.3 Kilasan Sejarah Lahirnya PP RI 40 dan PP RI 41 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB, Hak Pakai Atas Tanah dan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia Dalam tatanan hukum pertanahan Nasional, hubungan hukum antar orang baik yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukumnya yang terkait dengan tanah telah diatur dalam Undang-undang RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Nasional Indonesia/ UUPA (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 104, Tambahan Lembaran Negara No. 2943). Salah satu prinsif/ asas yang dianut oleh UUPA khususnya pada Pasal 9, adalah Prinsif Nasionalitas, yaitu hanya Warga Negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah sebagai salah satu bagian dari bumi dalam frasa (kata/ kalimat) yang termuat di dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar RI Tahun 1945. Hubungan yang dimaksud adalah dalam wujud Hak Milik. Sedangkan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing yang mempunyai Perwakilan di Indonesia dapat diberikan pula hak, yaitu hanya sebatas Hak Pakai Atas Tanah saja. Pelanggaran terhadap hak tersebut, disertai akibat hukumnya diatur di dalam Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Hubungan hukum antara WNA dan Badan Hukum Asing dengan tanah dalam bentuk Hak Pakai sebagaimana dimuat dalam Pasal 42 UUPA telah dijabarkan lebih lanjut dalam PP RI No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah. Universitas Sumatera Utara Pada kurun waktu yang bersamaan ketika industri dan property (perumahan) mengalami kemajuan yang sangat pesat pada dekade tahun 1990an, Timbul gagasan untuk memasarkan Properti kepada Orang Asing, oleh sebab itu hal yang cukup mengejutkan pada masa itu bahwa PP RI No. 40 Tahun 1996 diterbitkan secara bersamaan waktunya dengan PP RI No. 41 Tahun 1996, yakni pada Tanggal 17 Juni 1996. Oleh karena setelah diterbitkannya PP RI No. 41 Tahun 1996 itu meperoleh banyak tanggapan baik yang pro maupun kontra, dengan sigap Pemerintah Indonesia menerbitkan dua Peraturan Menteri Agraria/ Ka. BPN Pusat RI No. 7 Tahun 1996 dan Permeneg. Agraria/ Ka. BPN RI No. 8 Tahun 1996 yang keduannya terbit dalam hanya selang waktu seminggu saja, yakni 7 Oktober 1996 dan 15 Oktober 1996. Di dalam kenyataannya kesigapan Pemerintah menyiapkan aturan hukum sebagai pelaksana PP 40 dan PP 41 Masing-masing Tahun 1996 tersebut, ternyata tidak diimbangi oleh pihak-pihak terkait untuk menerapkannya dengan baik dan konsisten sesuai dengan amanat Peraturan Perundang-undanganan yang telah dibuat tersebut. Dimana terjadi sesuatu apa yang disebut dengan Penyelundupan Hukum oleh Warga Negara Asing, yang tujuannya adalah untuk dapat menguasai hak tertinggi dan terpenuh sifat dan karakteristiknya yaitu Hak Milik, sehingga melalui berbagai macam cara dan teknik mereka terus berusaha, namun pada umumnya cara mereka adalah dengan menggunakan/ Universitas Sumatera Utara membuat sebuah paket perjanjian antara WNA sebagai penerima kuasa dan WNI sebagai pemberi kuasa yang pada intinya memberikan wewenang sepenuhnya kepada WNA selaku penerima kuasa tersebut, untuk menguasai hak atas tanah dan segala hak-hak lain yang menyertainya. Yaitu dapat melakukan suatu perbuatan hukum apapun kepada tanah tersebut baik berupa pengelolaan maupun pengambilan manfaatnya atas dasar perjanjian dimaksud. Salah satu upaya yang telah Pemerintah lakukan untuk dapat mencegah upaya-upaya penyelundupan hukum dimaksud, yaitu dengan menerbitkan PP RI 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah/ Tempat Tinggal oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, dengan segala pengaturan dan pencegahan serta meminimalisir segala bentuk pelanggaran dan kerugian Negara akibat ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, dapat dinilai semenjak diberlakukanya PP RI No. 40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah dan PP RI No. 41 Tahun 1996 tersebut sampai saat ini belumlah berjalan sesuai seperti apa yang diamanatkan, maupun yang diharapkan oleh umumnya masyarakat Indonesia. 2.3.1 Penyebab Lemahnya Industri Property yang Diperuntukkan Bagi Orang Asing di Indonesia Penyebabnya lemahnya industri properti yang diperuntukkan bagi Orang Asing di Indonesia sesungguhnya banyak hal, beberapa diantaranya adalah aturan hukum tentang industri Properti masih sangat lemah, belum adanya grand desain Nasional Indonesia untuk properti Universitas Sumatera Utara bagi Orang Asing yang telah disepakati bersama dari semua unsur, sosialisasi terhadap Peraturan Perundangan-undangan yang ada juga dinilai tidak maksimal, kepastian hukum, iklim investasi yang tidak stabil, prospek keutungan yang tidak pasti, stabilitas Nasional, faktor ancaman kejahatan, dan lain-lain. 2.3.2 Pesatnya Pertumbuhan dan Kemajuan Industri Property di Singapura Sebagai Perbandingan Pesatnya Pertumbuhan dan Kemajuan Industri properti di Singapura dalam pasar investasi properti oleh Warga Negara Asing menunjukkan angka yang sangat signfikan, dalam sebuah Penelitian yang dilakukan oleh Wan Wei Lin pada tahun 1994-1995. 17 Terungkaplah bahwa beberapa faktor yang paling berpengaruh tehadap minat Orang Asing untuk memiliki properti di Singapura, diantaranya adalah disebabkan karena disamping Warga Negara Asing memang benar-benar berminat untuk tinggal di Singapura ada, beberapa faktor lain yang mendukung yaitu : Stabilitas Politik, Iklim ekonomi yang kondusif, penghasilan dan penyewaan properti yang kompetitif, mata uang Singapura yang tergolong kuat dan relatif stabil, tidak adanya capital agains tax dan tingkat suku bunga properti yang rendah. (Lin, 1995 : 29-38). 17 Wan Wei Lin, Peneliti dan Pemerhati Properti Asal Singapura, Tahun 2006-2007. Universitas Sumatera Utara Informasi yang diperoleh pada awal tahun 2007 menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2006, pembelian properti oleh Orang Asing di Singapura mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh total penjualan Negara Properti tersebut. Sekitar awal tahun 2000-an, jumlah Penjualan Properti untuk Orang Asing di Singapura hanya mencapai 15 % saja dari total seluruh penjualan Negara tersebut, maka dalam kurun waktu sekitar 6-7 tahun telah mengalami peningkatan sekitar 10 %, jumlah itu dapat digolongkan sangat tinggi untuk pasaran properti Asia. Proyeksi pertambahan jumlah penduduk Singapura dari 4,5 (empat koma lima) juta menjadi 7 (tujuh) juta orang, pada tahun 2030 yang akan menarik lebih banyak Orang Asing lagi, tentu disertai dengan asumsi bahwa kebutuhan akan properti juga pasti akan semakin meningkat (Angloinfo, 2007). 2.4 Definisi Hak Atas Tanah, Hak Mempergunakan Tanah dan Milik Serta Penguasaan Tanah Menurut UUPA dan Para Ahli 2.4.1 Definisi Hak Atas Tanah Menurut UUPA Sesungguhnya bumi terdiri dari 4 (empat) unsur (komponen) yaitu ; permukaan bumi, tubuh bumi, dan yang berada di bawah air, serta ruang angkasa yang berada di atas bumi, dari ke empat unsur di atas yang dimaksud Tanah menurut UUPA adalah, hanya permukaan bumi saja. Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA, adalah sebagai berikut ; “Atas dasar Hak Menguasai Negara,.. Universitas Sumatera Utara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut Tanah, yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum lainnya.” Selanjutnya diperjelas dengan penjelasan umum II Ayat (1) UUPA yaitu : “…ditegaskan bahwa.. dikenal Hak Milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas bagian dari bumi Indonesia,.. Dalam pada itu hanya permukaan bumi sajalah yang disebut sebagai Tanah, yang dapat di hakki oleh seseorang. Dari penjelasan di atas dapat difahamkan bahwa jika seseorang/ badan hukum baik yang dikuasai secara sendiri-sendiri maupun bersamasama mempunyai hak atas tanah, maka Ia hanya berhak atas permukaan buminya saja, itupun dengan memperhatikan tata ruang dan kelestarian lingkungan hidup yang mendasarkan kepada prinsif-prinsif pembangunan yang berkelanjutan (Suistinable Devlopment), yang ketentuanya diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan tersendiri. Jikapun seseorang memiliki hak atas tanah yang merupakan Hak Milik, yang hak atas tanah tersebut merupakan hak yang paling sempurna dan terpenuh sifat dan kewenangannya di banding dengan hakhak lain yang ada dan berlaku sesuai dengan ketentuaan Perundangan Agraria di Indonesia, tetap saja apabila ditemukan benda peninggalan bersejarah ataupun barang-barang tambang, dan benda-benda berharga lainnya walupun itu di dalam Tubuh bumi berada tepat di bawah Hak Universitas Sumatera Utara Milik atas tanah tersebut, akan tetap menjadi Milik Negara (dikuasai menjadi kekayaan Negara). Prosedur pengambilan maupun ganti rugi kepada pemilik lahan/ lokasi dari barang-barang ataupun benda-benda dimaksud, diatur di dalam Undang-undang tersendiri (Lihat Pasal 8 UUPA). Untuk memahamkan penjelasan di atas, terlebih dahulu harus dibedakan antara Hak Atas Tanah dan Hak Mempergunakan Tanah. Hak atas Tanah adalah Hak yang diberikan kepada seseorang/ badan hukum yang meliputi atas permukaan bumi saja. Sedangkan Hak mempergunakan Tanah adalah Hak yang diberikan oleh Negara kepada Badan Hukum Indonesia untuk dapat melakukan Eksplorasi, dan Eksploitasi serta Penelitian, untuk mengambil manfaat ekonomi dan manfaat-manfaat lainnya dari alam Indonesia, yang bertujuan untuk kepentingan ekonomi yang pada akhirnya baik langsung ataupun tidak langsung akan mensejahterakan rakyat dan demi terwujudnya kemakmuran secara nasional, yang wilayah haknya meliputi Tanah, Tubuh Bumi, dan Ruang angkasa. (Pasal 4 Ayat (2) UUPA). 2.4.2 Definisi Hak Milik Di bawah ini adalah definisi/ pengertian tentang Hak Milik atas Tanah menurut pendapat beberapa sarjana Indonesia, adalah sebagai berikut : a) Menurut Tampil Anshari Siregar, (Dosen Hukum Agraria FH USU, Medan, 2006) Universitas Sumatera Utara Hak Milik Atas Tanah menurut sistem UUPA tidak sama dengan Hak Eigendom yang berdasarkan KUH Perdata/ BW (Burgelijk Wet Book) atau sekalipun hampir sama juga tidak persis, dengan Hak Milik menurut Hukum Adat (Tanah Grand Sultan/ Partikelir/ Petuk, dan lain-lain). Menurutnya, Hak Milik berdasarkan UUPA tidak diperkenalkan sebagai Hak Kebendaan yang pemegang haknya diberi keleluasaan mengambil nikmat/ manfaat dengan lebih mengutamakan kepentingan individu pemiliknya dari pada kepentingan sosial masyarakat. Kemudian untuk Hak Milik yang berdasarkan UUPA itu, tidaklah melekat di atasnya Hak Ulayat dengan mengutamakan kepentingan golongan masyarakat tertentu, melainkan Hak Menguasai Negaralah yang berada di atas semua jenis hak atas tanah, yang sampai saat ini ketentuan Perundang-undangan tentang Hak Milik belum diatur secara rinci dan tegas (lihat Pasal 50 UUPA). 18 b) Menurut Sudikno Mertokusumo (Guru Besar Hukum Agraria, 1986) Hak Milik atas tanah adalah hak untuk memperlakukan suatu benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah yang dimiliki dan hak untuk mempergunakan tanah, yang dalam 18 Tampil Anshari Siregar, op.cit. Hal. 13. Universitas Sumatera Utara batasan arti boleh menjual, menggadaikan, menghibahkan tanah tersebut kepada orang lain 19. c) Menurut Florianus SP Sangsun (Praktisi Hukum, 2008) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan yang dapat dipunyai orang atas tanah, dapat beralih dan dialihakan kepada pihak lain. Pihak yang boleh mendapatkan/ mempunyai Hak Milik atas tanah adalah WNI (Warga Negara Indonesia) dan BHI (Badan Hukum Indonesia). Selain itu dapat juga diberikan Hak Milik atas tanah karena penetapan oleh Pemerintah. 20 d) Menurut Iman Sutiknyo (Perumus UUPA) Bahwa UUPA mendasarkan diri pada sifat dan hakekat/ kodrat manusia sebagai individu dan mahluk sosial seperti yang dimaksudkan oleh Sila kedua Pancasila. Karena UUPA juga mengatur selain hak-hak kolektif, yaitu Hak Menguasi Negara yang merupakan hak tertinggi dan meliputi seluruh bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikenal juga hak-hak perorangan (privat) atas tanah, seperti yang diatur di dalam Pasal 16 UUPA, (Yaitu, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lain lain). 19 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia, Liberty Yogyakarta 1988, Hal. 12 20 Florianus SP Sangsun, Praktisi Hukum Berbagi Ilmu Tata Cara Mengurus Serttfikat Tanah, Visi Media, Jakarta Juni 2008. Hal. 6 Universitas Sumatera Utara Apabila Hak Menguasai Negara itu meliputi seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikenal juga hak-hak perorangan (privat), yaitu hanyalah meliputi permukaan bumi saja, yang disebut dengan tanah (Pasal 4 ayat 1 UUPA). Walaupun demikian, ayat 2 dalam UU yang sama, mengatakan bahwa hak tersebut memberi wewenang juga untuk menggunakan tubuh bumi dan ruang angkasa yang ada di atasnya yaitu sebatas sekedar diperlukan saja (misalnya untuk menanam tanaman atau membuat suatu bangunan atau jalan dan jaringan komunikasi, dan lain-lain). Kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah yang dipunyai oleh perorangan dengan hak apapun, tetap dikuasai oleh Negara dan pengambilannya diatur oleh Peraturan Perundang-undangan, Pasal 8 UUPA. Hak Milik adalah, Hak Privat pokok menurut Pasal 20 Ayat 1 dan 2 UUPA yaitu : Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 UUPA. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Penjelasanya yaitu : Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Hak Milik menurut Hukum Adat, yang juga merupakan hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas sebidang tanah dan juga dapat beralih maupun dialihkan kepada pihak Universitas Sumatera Utara lain ataupun dijadikan tangungan hutang (jaminan pelunasan hutang). 21 2.5 Hak-Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal (Rumah) yang Dimungkinkan Diberikan Kepada Orang Asing di Indonesia 2.5.1 Penjelasan Ringkas PP RI No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia Tujuan dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia ini adalah untuk memberikan Kepastian dan Perlindungan Hukum serta tertibnya administrasi Pertanahan yang diatur secara tegas maupun implisit di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut. Dalam dimaksudkan Peraturan Pemerintah ini, Orang Asing yang adalah yang kehadirannya di Indonesia dinilai memberikan kontribusi (manfaat) luas bagi pembangunan Nasional/ Regional (daerah) dan yang menetap (sebagai penduduk), ataupun datang secara berkala ke Indonesia dalam kepentingan ekonomi maupun kepentingan-kepentingan bisnis lain yang dimungkinkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ini merupakan salah satu syarat utama sebagai pertimbangan untuk dapat diberikannya ijin 21 Iman Sutiknyo, Politik Agraria Nasional Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkna Pancasila, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994. Hal. 60-61 Universitas Sumatera Utara penerbitan hak, baik hak atas rumah dan/ atau bangunan maupun hakhak lainnya, kepada mereka (WNA). 22 2.5.2 Syarat-Syarat Rumah Tempat Tinggal atau Hunian yang Dapat Dimiliki oleh Orang Asing Di bawah ini adalah syarat-syarat rumah tempat tinggal/ hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing di Indonesia, adalah sebagai berikut : 1) Hak atas tanah yang dimungkinkan dibebani hak untuk dapat dibangunnya rumah tinggal/ hunian oleh Orang Asing adalah, hanya hak yang berada di atas bidang Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, atau Tanah Hak Milik. 2) Bagi bangunan Hak Pakai yang dimohonkan oleh Orang Asing dan dibangun di atas Tanah Hak Milik atau Tanah Hak Pengelolaan, harus dibuatkan perjanjian terlebih dahulu antara Orang Asing sebagai Pemegang Hak Pakai Atas Tanah dan Bangunan, dengan Pemegang Hak Milik/ Hak Pengelolaan awal, yang dibuat di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di daerah tempat beradanya lokasi tanah dimaksud, yang selanjutnya akan dicatatkan di dalam buku tanah yang berada pada Kantor Pertanahan daerah (Kabupaten/ Kota) setempat. 22 PP 41 Tahun 1996 op.cit. Hal. 1. Universitas Sumatera Utara 3) Sedangkan Hak Pakai yang dibebankan di atas Tanah Negara (tanah yang dikuasai langsung oleh Negara), adalah cukup memohonkan kepada Badan Pertanahan (BPN) dan Pemerintah daerah setempat, yang kemudian membayar sejumlah uang tertentu kepada Negara dan pemenuhan semua persyaratan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undanganan yang berlaku di Indonesia, termasuk pelunasan biaya administrasi pertanahan yang ditetapakan oleh kepala BPN tempat beradanya tanah/ lahan tersebut. Jika Hak Pakai tersebut diperuntukkan dalam kepentingan Penanaman Modal Asing (PMA), maka terlebih dahulu harus diketahui oleh Menteri Keuangan RI. Setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan di Jakarta dimaksud barulah kemudian BPN menerbitkan sertifikat Hak Pakai yang nantinya akan dipegang oleh Sipemohon Hak dengan pemenuhan segala persyaratan terlebih dahulu untuk terlasananya maksud di atas, serta tetap menjaga dan mematuhi segala bentuk peraturan dan kewajiban agar tetap ia patuhi (tidak dilanggar), karena jika dilanggar ketentuan dan kewajiban tersebut, sanksi terberatnya adalah Pencabutan Hak yang telah diberikan tersebut oleh Pemerintah (BPN). 4) Perjanjian atas rumah tempat tinggal atau hunian antara Orang Asing dengan pemegang hak atas tanah harus dibuat secara tertulis dengan Akta yang ada pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Universitas Sumatera Utara serta dicatatkan dalam buku tanah pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan, yang copy-an dari Akta Hak tertentu tersebut akan dipegang oleh masing-masing pihak. Perjanjian tersebut dibuat dengan jangka waktu yang disepakati oleh para pihak, tetapi tidak boleh melewati batas waktu maksimal, yaitu 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan Untuk jangka waktu perpanjangan hak setelah berakhirnya masa 25 tahun tersebut, maka harus dibuatkan di dalam suatu perjanjian yang baru lagi, antara orang asing selaku pemohon hak, dengan Sipemegang Hak Milik/ Hak Pengelolaan. Dengan ketentuan bahwa jangka waktu perpanjangan tersebut adalah 20 (dua puluh) tahun, dengan syarat utamanya adalah sepanjang Orang Asing yang bersangkutan masih berkedudukan di Indonesia dan masih memenuhi segala syarat serta kewajiban yang menyertainya. 5) Dalam hal Orang Asing tersebut sudah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, atau sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat memegang Hak Pakai tersebut, maka dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya bahwa Orang Asing itu telah tidak memenuhi syarat, maka ia wajib melepaskan atau mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat untuk itu. Universitas Sumatera Utara 2.5.3 Sanksi Kepada Orang Asing yang Tidak Melepaskan atau Mengalihkan Hak atas Tanahnya sedangkan Ia Telah Melanggar Peraturan Perundangan/ Tidak lagi Memenuhi Syarat Apabila Orang Asing pemegang hak tertentu atas tanah di Indonesia sedangkan Ia melanggar ketentuan Perundangan-undangan/ sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah, maka berlakulah ketentuan sebagai berikut ; Untuk rumah tempat tinggal atau hunian yang dibebankan pada bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara, maka Pemerintah (Negara) akan menguasai rumah beserta tanah tersebut, yang selanjutnya akan dilakukan suatu proses lelang. Berkenaan dengan pelaksanaan lelang akibat telah berakhirnya hak/ tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud di atas, maka hasil pelelangan dari rumah dan tanah tersebut akan dikembalikan kepada Orang Asing yang bersangkutan setelah terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya di dalam seluruh proses penyelenggaraan lelang beserta ongkos-ongkos lain yang telah dikeluarkan oleh Panitia penyelenggara lelang maupun biaya-biaya lain yang timbul akibat seluruh proses yang menyertainya, tetapi tidak diperkenankan sampai defisit dari total seluruh hasil lelang. 23 23 Irene Eka Sihombing, SH,CN,M.H. Segi-segi Hukum Tanah Nasional Dalam Penagadaan Tanah Untuk Pembangunan, Universitas Tri Sakti, 2009, Jakarta. hal. 41 Universitas Sumatera Utara 2.5.4 Hak atas Tanah yang Dimungkinkan Dipunyai Orang Asing Menurut Ketentuan UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) Pada Prinsifnya penguasaan hak atas tanah antara Warga Negara Asing (WNA) dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang diatur di dalam ketentuan hukum agraria Nasional Indonesia/ UUPA (UU RI No. 5 Tahun 1960) adalah dibedakan sebagai berikut ; Yaitu ditegaskan di dalam Pasal 9 UUPA “Hanya Warga Negara Indonesia Tunggal yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa Indonesia dalam batasbatas ketentuan pasal 1 dan 2 Undang-undang ini.” Sedangkan untuk WNA (Warga Negara Asing) menurut UU ini tidak dimungkinkan sama sekali mempunyai hubungan secara penuh dengan Bumi, Air, Ruang Angkasa (BAR) Indonesia dengan alasan apapun, selama ia masih tetap berstatus WNA dan tidak mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah Republik Indonesia. Pembatasan hak Warga Negara Asing atas tanah tersebut akan mengandung konsekuensi, yaitu bahwa Mereka hanya dimungkinkan secara maksimal, sebatas menguasai secara langsung dan menggunakan serta memanfaatkan tanah pada batas-batas tertentu saja, yaitu terbatas hanya pada Hak Pakai dan Hak Pengelolaan saja, yang masing-masing hak tersebut memiliki pembatasan waktu dan kewajiban serta syarat- Universitas Sumatera Utara syarat tertentu, yang apabila dilanggar akan berkonsekuensi berakhirnya hak-hak tersebut.24 2.5.5 Kilasan Tentang Permeneg. Agraria/ Ka. BPN Pusat No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ini menjelaskan mengenai persyaratan pemilikan rumah tinggal atau hunian oleh Orang Asing, berfungsi sebagai aturan organik/ peraturan pelaksana yang telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Orang asing yang dimaksud dalam PP RI 41 Tahun 1996 ini adalah Orang Asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi/ bisnis di Indonesia dengan melaksanakan investasi dan memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia. Pemilikan rumah dan cara memperoleh hak atas tanah oleh Orang Asing sebagai berikut : 1. Membeli atau membangun rumah di atas tanah dengan status Hak Pakai atas tanah negara atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik orang lain. 2. Membeli satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. 24 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003. Hal. 97-101 Universitas Sumatera Utara 3. Membeli atau membangun rumah di atas tanah Hak Milik atau Hak Sewa untuk bangunan atas dasar perjanjian tertulis dengan pemilik hak atas tanah yang bersangkutan, tetapi bukan merupakan perjanjian sewa-menyewa. Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun yang dapat dibeli oleh Orang Asing dengan hak atas tanah tertentu adalah rumah atau satuan rumah susun yang tidak termasuk dalam klasifikasi Rumah Sederhana (RS) atau Rumah Sangat Sederhana (RSS), melainkan adalah rumah yang berkategori Elit (Mewah). Perolehan hak-hak atas tanah dan/ atau rumah tinggal atau Hak Milik atas satuan rumah susun oleh Orang Asing tersebut dilakukan menurut tata cara sesuai ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia untuk perbuatan hukum yang bersangkutan. Selama tidak dipergunakan oleh Orang Asing, rumah tersebut dapat disewakan melalui perusahaan/ pengurus rumah di Indonesia berdasarkan perjanjian antara Orang Asing sebagai Pemilik rumah dengan perusahaan/ pengurus rumah tersebut. Namun, Orang Asing diwajibkan untuk melepaskan atau mengalihkan hak kepemilikannya tersebut kepada pihak yang memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP RI No. 41 Tahun 1996, yaitu apabila Orang Asing ataupun keluarganya tersebut Universitas Sumatera Utara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak datang dan menggunakan rumah tersebut. 25 2.5.6 Gambaran Singkat Tentang Situasi Kepemilikan Satuan Rumah Susun oleh Orang Asing di Indonesia Negara Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang di dunia merupakan daerah tujuan investasi bagi Negara-negara maju untuk memperluas kegiatan bisnis dan ekspansi ekonomi globalnya terutama bagi perusahaan-perusahaan yang berkategori multi nasional (Perusahaan memilki cabang di banyak Negara). Oleh sebab itu, tidak bisa dihindari akan semakin banyak pula Orang Asing yang menetap di Indonesia untuk menjalankan bisnis dan usahanya tersebut. Namun, sesungguhnya Peraturan Perundangundangan Indonesia telah membuat batasan-batasan bagi Orang Asing untuk dapat memiliki hunian tempat tinggal terutama hunian rumah susun (apartemen/ condominium), yaitu sebagai berikut : Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Negara atau Hak Pengelolaan seperti yang diatur dalam Pasal Pasal 38 ayat (1) PP RI No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun, juncto Pasal 7 ayat (1) Undang-undang RI No. 16 Tahun 1985, Tentang Rumah Susun (UURS). 25 Sumber : Dishttp://hukumproperti.com/?p=161rusun, Oleh Handy Samot. Di akses terakhir pada hari Rabu Tanggal 12 Mei 2010 sekitar Pukul 09.00 WIB. Universitas Sumatera Utara Hal kepemilikan satuan rumah susun yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UURS tersebut, pada intinya menyebutkan bahwa satuan rumah susun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Maksud dari hak atas tanah tersebut adalah hak atas tanah yang diatur di dalam Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yaitu ; seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan sebagainya. Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh orang asing dan/ atau badan hukum asing adalah hak pakai Privat (Khusus) dan Hak Pakai Publik (Hak diperuntukan bagi kepentingan Umum), hal ini diatur dalam Pasal 42 UUPA. 2.6 Definisi dan Pengaturan Hak Pakai Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut dari hasil tanah yang langsung di kuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang telah ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. 2.6.1 Pihak-pihak yang Dimungkinkan Memperoleh Hak Pakai Atas Tanah di Indonesia Subjek Hukum yang dimungkinkan memperoleh Hak Pakai atas tanah menurut ketentuan Pasal 42 UUPA, Adalah Sebagai berikut ; a) Warga Negara Indonesia (WNI). Universitas Sumatera Utara b) Warga Negara Asing yang berkedudukan/ datang secara berkala ke Indonesia. c) Badan-badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. d) Badan-badan hukum asing/ organisasi asing yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia (Pasal 42 UUPA). Sedangkan menurut ketentuan Pasal 39, PP RI No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, adalah diatur sedikit lebih luas dari ketentuan yang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 42 UUPA di atas. Yang dapat Mempunyai Hak Pakai atas tanah adalah, sebagai berikut ; (a) Warga Negara Indonesia (WNI). (b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. (c) Badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan serta mempunyai usaha di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. (d) Suatu Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, dan Pemerintah di daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial, Badan hukum asing yang mempunyai Perwakilan di Indonesia, Perwakilan Negara Asing (Duta besar Konsul), dan Perwakilan Badan-badan Internasional. 26 26 Tampil Anshari Siregar, op.cit. Hal. 13 dan 24. Universitas Sumatera Utara 2.6.2 Pemberian, Perpanjangan Jangka Waktu atau Pembaharuan dan Pelepasan Hak Pakai atas Tanah Menurut AP. Parlidungan, 27 Hak Pakai Pada Prinsifnya terbagi atas 2 bagian, yaitu ; 1. Hak Pakai Publik Hak Pakai Publik Adalah hak yang diberikan oleh Negara kepada suatu Institusi/ Departemen/ Lembaga/ Badan Hukum tertentu baik Indonesia maupun Asing, yang biasanya diperuntukkan dalam kepentingan umum, yang bercirikan tidak ada pembatasan waktu mutlak untuk jenis Hak Pakai ini, selama lahan dan/ atau bangunan tersebut masih dipergunakan dengan baik dan efektif serta dipergunakan sebagaimana peruntukkannya maka Hak Pakai itu akan tetap berlaku, walaupun masih di mugkinkan terjadinya ruislag (tukar guling). Contoh : a) Lahan dan Gedung-gedung Pemerintah. b) Lahan dan Gedung Sekolah. c) Sarana dan Prasarana Umum. d) Gedung dan Lahan/ halaman Areal Kedutaan Negara Asing/ Konsulat; e) Kantor-kantor Perwakilan Organisasi-organisasi Dunia yang bersifat permanen. dan lain-lain. 27 AP. Parlindungan, Hak Pakai Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju Bandung, 1989. Universitas Sumatera Utara 2. Hak Pakai Privat (Khusus) Hak Pakai Privat adalah hak yang bersifat terbatas, baik waktu maupun luas lahannya, biasanya diperuntukkan untuk kepentingan pribadi atau badan hukum tertentu dalam upaya kepentingan ekonomis/ bisnis, maupun pembangunan dan lainnya. 28 2.6.3 Kewenangan Pemegang Hak Pakai Kewengan-kewenangan yang diberikan /Negara kepada sipemegang Hak Pakai atas tanah di Indonesia, adalah sebagai berikut : 1. Menggunakan tanahnya untuk usaha pertanian. 2. Menggunakan tanahnya untuk mendirikan bangunan. 3. Menggunakan tanahnya untuk membangun rumah tempat tinggal. 4. Dapat menjadikan tanah Hak Pakai ini sebagai jaminan kredit dengan terlebih dahulu dibebani Hak Tanggungan. Terkhusus Hak Pakai yang dikuasai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, dan Pemerintah di daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial, Badan Hukum Asing yang mempunyai Perwakilan di Indonesia, Perwakilan Negara Asing, dan Perwakilan Badan/ Organisasi Internasional, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan (jaminan pelunasan hutang). 5. Dapat memindah tangankan Hak Pakai ini kepada pihak lain, yaitu berlaku bagi jenis Hak Pakai yang digolongkan sebagai Hak Pakai yang bersifat Privat/ khusus/ primer, sedangkan apabila Hak Pakai itu 28 Tampil Anshari Siregar (Edisi Revisi), Op.cit. Hal. 13, 24 dan 40. Universitas Sumatera Utara diberikan di atas Tanah Hak Pengelolaan/ Hak Milik orang lain, maka wajib ada persetujuan terlebih dahulu dari sipemegang Hak milik/ Hak Pengelolaan tersebut, Hak Pakai jenis ini disebut juga Hak Pakai Publik/ umum/ Sekunder. 29 2.6.4 Kewajiban Pemegang Hak Pakai Kewajiban dan Syarat-syarat pemegang Hak Pakai atas Tanah di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Membayar uang pemasukkan kepada Negara, yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan awal pemberian Hak Pakai tersebut. Sedangkan untuk tanah Hak Milik dan Pengelolaan yang dibebani Hak Pakai wajib disertai dengan Perjanjian. 2. Menggunakan sendiri tanah Hak Pakai tersebut sesuai dengan peruntukkan dan memanfaatkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memenuhi segala persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya di awal, atau sesuai dengan perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik dengan pemegang hak atas tanah. 3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan serta segala benda yang ada di atasnya sekaligus menjaga kelestarian lingkungan hidup bagi 29 Irene Eka Sihombing, Op.cit Hal. 32. Universitas Sumatera Utara kesesuaian prinsif pembangunan yang berkelanjutan (suistinable development). 4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan atasnya dengan Hak Pakai ataupun Hak Pengelolaan tersebut kepada Negara apabila telah berakhir. Baik berakhirnya karena jangka waktu, maupun karena dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukkan dan adanya suatu penelantaran maupun dipergunakan tidak sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi sebagaimana yang telah disepakati dan ditetapkan di awal pemberian hak tersebut, dan lain-lain. 5. Menyerahkan sendiri/ dikuasakan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus haknya, kepada Kantor Pertanahan tempat dikeluarkannya Hak Pakai tersebut. 2.6.5 Pembebanan dan Peralihan Hak Pakai Hak-hak atas tanah yang dimungkinkan dibebankan Hak Pakai di atasnya, adalah sebagai berikut : 1) Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan hutang dengan pembebenan Hak Tanggungan terlebih dahulu. 2) Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut telah dibuat secara tegas untuk dimungkinkan dilakukannya pengalihannya di dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan di awal, bersama pemegang Hak Milik kepada sipemegang Hak Pakai. Universitas Sumatera Utara 3) Peralihan Hak Pakai terjadi karena akibat transaksi jual-beli, tukarmenukar, penyertaan modal, hibah dan pewarisan. 4) Peralihan Hak Pakai, wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan tempat beradanya tanah (objek) Hak Pakai tersebut. 5) Peralihan Hak Pakai karena jual beli, kecuali jual beli melalui lembaga lelang, tukar-menukar, penyertaan modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di wilayah tempat beradannya objek (tanah). 6) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan harus dibuktikan dengan berita acara lelang. 7) Peralihan Hak Pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi/ pejabat yang berwenang untuk itu. 8) Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara, harus dilakukan dengan izin dari Pejabat yang berwenang. 9) Pengalihan Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. 10) Pengaliahan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan. 30 30 Irene Eka Sihombing, Op.cit. Hal. 32 dan 42. Universitas Sumatera Utara 11) Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut telah dibuat secara tegas untuk dimungkinkan dilakukannya pengalihan di dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan tersebut, yang disetujui bersama dengan pemegang Hak Pengelolaan dimaksud. 2.7 Definisi dan Prinsif Dasar Tentang Kepariwisataan Definisi Pariwisata : Pariwisata pada hakikatnya adalah suatu proses kepergian sementara dari satu orang atau lebih menuju tempat lain diluar tempat tinggalnya dalam tujuan untuk penyegaran (refreshing) ataupun kegembiraan. Perjalanan Wisata adalah : Suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang diluar tempat tinggal asalnya karena suatu alasan tertentu yang bukan untuk melakukan kegiatan berorientasi kepada upah/ bisnis. Wisatawan adalah : Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan wisata (tourist) yang lama tinggalnya minimal 1 x 24 jam, di daerah/ Negara tempat/ objek wisata tersebut dikunjungi. Apabila seseorang/ sekelompok orang tersebut melakukan perjalanan wisata yang waktunya dibawah 1 x 24 jam disebut sebagai pelancong (excursionist). IOTO (The International Union of official Trafel Organization) menggolongkan wisatawan menjadi dua golongan yaitu : 1) Pesiar (leasure), yaitu : untuk keperluan rekreasi dan liburan, kesehatan, studi dan keagamaan, serta olah raga. Universitas Sumatera Utara 2) Hubungan dagang , sanak saudara, handai taulan, konfrensi, misi, dan sebagainya. 2.7.1 Definisi Paspor, Retrebusi dan Visa Paspor adalah : Suatu keterangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah suatu Negara untuk seeorang wisatawan/ Warga Negara yang akan melakukan perjalanan keluar negeri, yang pembuatannya diurus oleh kantor imigrasi di Negara asal Warga Negara tersebut. Retrebusi memiliki persamaan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menurut Munawir (2000), Retrebusi adalah iuran kepada Pemerintah yang pelaksanaannnya dapat dipaksakan dan jasa baliknya langsung ditujukan (dirasakan) oleh sipengguna jasa. UU No. 20 Tahun 1997 31 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 32 Visa adalah : Surat keterangan ijin tinggal di suatu Negara yang akan dituju oleh para wisatawan, yang surat tersebut diperoleh pada Kedubes (Kedutaan Besar) di Negara tujuan wisata. Berdasarkan penggunaannya Paspor, Visa perjalan ke Indonesia dibagi atas : 1) Visa Diplomatik adalah : 31 32 UU RI No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tomo HS, dkk, Kebijakan dan Manajemen Penerimaan Negara Bukan Pajak, Penerbit : YPAPI (Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia), Yogyakarta, 2005. Universitas Sumatera Utara Visa yang diberikan kepada Orang Asing pemegang Paspor Diplomatik yang hendak bepergian ke Indonesia dengan tugas/ misi Diplomatik (biasanya untuk tugas/ perjalanan Kenegaraan). 2) Visa Dinas adalah : Visa yang diberikan kepada Orang Asing untuk menjalankan tugas resmi dari pemerintah negara lain, atau diutus oleh PBB “Perserikatan Bangsa-Bangsa” (United Nation), dengan tugas yang bukan diplomatik. 3) Visa Biasa, adalah dibagi berdasarkan maksud dan tujuan, yaitu dalam 3 golongan, sebagai berikut ; 1. Visa Transit adalah : Visa yang dapat diberikan kepada Orang Asing yang dalam perjalannya perlu singgah di Indonesia untuk pindah Kapal Laut/ Pesawat Udara (airoplan) guna meneruskan perjalannya. Yang hanya berlaku selama 5 hari saja. Contoh : untuk Pelaut (Nakhoda dan Awak Kapal), Pilot dan krue Penerbangan, dan lain-lain. 2. Visa Kunjungan adalah : Visa yang diberikan kepada Orang Asing yang bermaksud berkunjung ke Indonesia dengan tujuan wisata, usaha, atau kunjungan sosial-budaya dan lainnya yang tidak untuk maksud berdiam di suatu daerah tertentu. Maksimal waktu Visa ini jenis ini adalah 3 bulan. 3. Visa Berdiam Semantara adalah : Universitas Sumatera Utara Visa yang diberikan kepada Orang Asing dalam maksud berdiam sementara untuk bekerja, mengikuti pelatihan, melakukan penelitian dan lainnnya, serta dengan ketentuan harus tunduk kepada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 33 BAB III 33 Gamal Suwantoro, SH. Dasar-dasar Pariwisata, Penerbit Andi, Yogyakarta 2004. Universitas Sumatera Utara