PEMETAAN POTENSI KONFLIK ANTAR DESA DENGAN

advertisement
PEMETAAN POTENSI KONFLIK ANTAR DESA DENGAN PEMERINTAH
UNTUK MENGANTISIPASI REVITALISASI DANAU RAWA PENING.
Mapping of Conflict Vulnerability in Supporting Revitalization Program
of Rawa Pening lake
Suryawan Setianto¹, Dwi Rini Hartati²
¹Balai Litbang Penerapan Teknologi Sumber Daya Air
Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian PUPR
Jalan Sapta Taruna Raya, Pasar Jumat
Email: [email protected]
²Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi
Balitbang Kementerian PUPR
Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru
Email: [email protected]
ABSTRACT
Lake Rawa Pening in Semarang Regency is one of 15 lakes that is in critical condition. Comprehensive solution is
needed in order for the lake to maintain its function. This research aimed to provide description of the propensity of
inter-village conflict surrounding the Rawa Pening lake so that any attempt to revitalize the lake would not suffer
from it. This research utilized quantitative-descriptive approach added with spatial mapping using several layer of
variables; economic vulnerability, accessibility and the possibility of being flooded. Data collection was conducted
through survey to the targeted respondent. The result shows that out of 12 villages located around the lake, 8 of them
are having mid level of conflict potential, and 4 are having low level of conflict potential. Therefore, revitalization
activity could be carried out from the area which has low level of conflict potential.
Key word : conflict, lake, revitalization, rawa pening
ABSTRAK
Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang adalah salah satu dari 15 danau yang berada dalam status kritis.
Diperlukan penanganan agar danau dapat berfungsi kembali sesuai tujuannya. Kegiatan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran potensi konflik antar desa di sekitar Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi yang akan
dikerjakan minim konflik. Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan metode riset yang dipakai
adalah pemetaan spasial dengan lapisan beberapa variabel yaitu: kerentanan ekonomi, aksesibiltas dan kemungkinan
tergenang. Pengumpulan data dilakukan dengan survey kepada responden yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh
bahwa dari 12 desa yang berada di sekitar Rawa Pening, 8 desa potensi konfliknya pada tingkat sedang dan 4 desa pada
tingkat rendah. Dengan demikian, kegiatan revitalisasi dapat dimulai dari desa yang tingkatan potensi konfliknya
rendah.
Kata kunci: danau, konflik , revitalisasi, rawa pening
Pendahuluan
Danau dan situ merupakan sumber air
permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai macam keperluan. Adapun fungsi
utamanya yaitu untuk menahan laju aliran air
permukaan serta menampungnya dalam suatu
area kawasan danau. Selain itu terdapat
beberapa fungsi tambahan dari danau
tergantung dari kondisi danau itu sendiri.
Perlindungan terkait danau sudah ramai
diperbincangkan dalam kurun waktu satu
dasawarsa ini, salah satunya melalui Konferensi
Danau Sedunia. Selain itu, pada Konferensi
Sedunia Pembangunan Berkelanjutan, air adalah
salah satu sektor kunci dan perlu mendapatkan
perhatian disamping sektor energi, kesehatan,
pertanian
dan
keanekaragaman
hayati.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian
Lingkungan
Hidup
menyelenggarakan
Konferensi Nasional Danau Indonesia pada
tahun 2009, yang merumuskan daftar 15 danau
dengan kondisi kritis, salah satunya Danau Rawa
Pening yang berlokasi di Provinsi Jawa Tengah.
Rawa Pening mempunyai luas kurang lebih
2.500 Ha dan mempunyai banyak fungsi antara
lain untuk irigasi, pembangkit listrik, pengendali
banjir, perikanan, pertanian, serta pariwisata.
Kondisi Rawa Pening saat ini hampir 70%
terutup gulma enceng gondok dan volume air
sudah berkurang 30%. Diperlukan upaya
revitalisasi agar danau Rawa Pening dapat
berfungsi kembali pada titik optimum saat ini
mengingat peran Rawa Pening yang banyak
dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini lah yang
mendasari pemilihan lokasi penelitian ini
dilakukan di Danau Rawa Pening.
Upaya revitalisasi sendiri sering mendapat
tantangan dari masyarakat yang tinggal di
sekitar danau, mengingat saat ini keberadaan
danau Rawa Pening memiliki dampak ekonomi
dan sosial yang besar bagi masyarakat.
Tantangan ini apabila dibiarkan dapat berujung
pada munculnya konflik khususnya konflik
penguasaan lahan dan dampaknya bisa
berlangsung lama sehingga mengganggu proses
konservasi. Penelitian ini mencoba menjawab
pertanyaan bagaimana potensi konflik di desa
yang berbatasan langsung dengan Danau Rawa
Pening dengan menggunakan kerentanan sosial
ekonomi dan teori konflik sebagai landasan
konseptual.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah
teridentifikasinya potensi konflik di desa sekitar
Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi
dapat berjalan lancar dengan konflik yang
seminimal mungkin. Penelitian ini dapat
digunakan sebagai landasan pengambilan
kebijakan oleh pemangku kepentingan yang
terkait pengelolaan danau Rawa Pening.
Kajian pustaka
Untuk menjelaskan konsep kerentanan
yang dimaksud dalam tulisan ini, akan diambil
dari berbagai sumber. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) kerentanan adalah
menghasilkan akibat yang tidak dapat diduga.
Bakornas mendeskripsikan kerentanan sebagai
kondisi, atau karakteristik biologi, geografis,
sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi
suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka
waktu
yang
mengurangi
kemampuan
masyarakat tersebut mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak
bahaya tertentu. Sedangkan International
Strategy for Disaster Reduction (ISDR)
menjelaskan bahwa kerentanan juga ditentukan
oleh faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan
lingkungan. Dari penjelasan di atas, tulisan ini
akan melihat kerentanan dari perspektif sosial
dan ekonomi. Kasmat Yusuf dkk (2015) dalam
penelitiannya menjelaskan kerentanan sosial
ekonomi dapat diartikan sebagai kerapuhan
sosial ekonomi masyarakat terhadap bahaya
atau bencana yang menyebabkan masyarakat
berada pada kondisi rentan atau laten. Salah
satu jenis kerentanan sosial adalah konflik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik
social adalah pertentangan antar anggota
masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam
kehidupan.
Teori konflik saat ini sudah semakin
berkembang seiring dengan dinamika yang
terjadi di masyarakat dunia. Temuan beberapa
jurnal terbaru saat ini sudah menggabungkan
teori konflik dengan teori-teori lain. Beberapa
contohnya antara lain dilakukan oleh para
peneliti dari Korea Selatan (Rhee dkk, 2015)
yang menilai kerentanan sosial dengan
pendekatan konflik. Sementara penelitian
tentang konflik berdasarkan kelangkaan sumber
daya air pernah dilakukan di Danau Chad yang
berlokasi di benua Afrika (Okpara dkk, 2015).
Dalam penelitian ini konflik akan dilihat dengan
perspektif kerentanan sosial ekonomi melalui
bagaimana aksesibilitas masyarakat ke lokasi
sumber daya alam
dan kemungkinan
masyarakat kehilangan lahan sebagai mata
pencaharian. Ketimpangan terhadap akses dan
kontrol terhadap sumberdaya adalah salah satu
jenis konflik structural (Sumardjo dkk, 2014).
Dalam menilai potensi konflik yang muncul
akibat program revitalisasi, salah satu bentuk
justifikasi yang digunakan adalah mengukur
tingkat
kerentanan
masyarakat
dalam
menghadapi
perubahan
(the
level
of
vulnerability). Kerentanan ini terdiri dari
karakteristik seseorang atau kelompok, dan
situasi mereka yang mempengaruhi kemampuan
mereka untuk mengantisipasi, mengatasi,
melawan dan pulih dari dampak bahaya alam
(Singh, 2014). Kerentanan juga bisa dilihat dari
keadaan suatu wilayah terkait dengan kondisi
atau karakteristik biologis, geografis, sosial,
ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi
suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka
waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
masyarakat
tersebut
dalam
mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi
dampak bahaya tertentu (Habibi dan Buchori,
2013). Kerentanan sendiri dapat juga disusun
menjadi sebuah indeks sebagai kumpulan
parameter yang menjadi alat ukur potensi
kerentanan tersebut. (Hermawan dkk, 2015).
Operasionalisasi konsep yang digunakan dalam
penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1.
Variabel
yang
bisa
mempengaruhi
kerentanan seperti umur, kelas, pekerjaan, jenis
kelamin, etnis, dan cacat bisa didetailkan dalam
beberapa faktor. Faktor-faktor kerentanan
tersebu meliputi (Habibi dan Buchori, 2013):
 Kerentanan
fisik:
prasarana
dasar,
konstruksi, dan bangunan
Berdasarkan operasionalisasi konsep di
atas, penyusunan peta spasial potensi konflik
menggunakan teknik pelapisan/layer 2 definisi
yaitu:
 Kerentanan
ekonomi:
penghasilan, dan nutrisi
kemiskinan,
 Kerentanan sosial: pendidikan, kesehatan,
politik, hukum, dan kelembagaan
 Kerentanan lingkungan: tanah, air, tanaman,
hutan, dan lautan
Dari variabel dan faktor kerentanan di atas
bisa disederhanakan dalam 2 kategori yaitu
kerentanan dalam penghidupan/livelihood
(sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) dan
kerentanan dalam aksesibilitas (kondisi fisik).
Dalam kasus program revitalisasi ini dipakai lagi
1 kategori yaitu kemungkinan tergenang dimana
ini juga akan berdampak pada kondisi fisik.
Penelitian ini akan mengambil model seperti
yang dilakukan di Danau Limboto dengan
konsep kerentanan sosial ekonomi. (Yusuf dan
Sune, 2015). Model ini dirasa relevan untuk
digunakan
mengingat
karakteristik
permasalahan yang serupa antara Danau
Limboto dan Danau Rawa Pening.
Penelitian terkait dengan Rawa Pening
sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di
Indonesia. Beberapa yang pernah dilakukan
antara lain terkait dengan valuasi ekonomi
sumber daya alam Rawa Pening (Gerhard dan
Susilowati, 2013), dari perspektif politik
lingkungan(Seftyono, 2014), serta terkait status
trofik Rawa Pening dan solusi pengelolaannya
(Soeprobowati dan Seudy, 2014).
Dari berbagai macam penelitian terdahulu
yang dilakukan di Rawa Pening, masih belum
ada yang mengkaji dari perspektif konflik secara
spasial dan digabungkan dengan kerentanan
sosial ekonomi. Penelitian ini akan berfokus
pada menghasilkan peta kerentanan konflik
yang bisa dijadikan dasar dalam mengambil
kebijakan terkait dengan revitalisasi Rawa
Pening.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif deskriptif dan tidak bertujuan untuk
mencari
hubungan
antar
variable.
1. Pola penguasaan lahan
Pola penguasaan lahan menunjukan
penguasaan masyarakat atas lahan di sekitar
danau saat ini. Peta penguasaan lahan di-overlay
dengan peta desa untuk menggabungkan data
jumlah petani penggarap. Sebagian besar lahan
di sekitar Rawa Pening merupakan tanah danau
yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
lahan pertanian. Setiap tipe penguasaan lahan
memiliki tingkat konflik yang berbeda, dalam hal
ini diberikan tingkatan dengan nilai skor dari 1
sampai dengan 5. Skor 5 sebagai skor potensi
konflik tertinggi dan skor 1 sebagai skor potensi
konflik terendah. Batas wilayah pola penguasaan
lahan yang digeneralisasi per desa berdasarkan
informasi dari responden. Hal yang perlu
menjadi catatan adalah batas penguasaan lahan
tidak dapat menjadi acuan yang akurat karena
berpatokan pada garis ketinggian.
Tabel 1. Operasionalisasi Konsep
Konsep
Definisi
Identifikasi
pola
Pengupenguasaan
asaan
lahan
Lahan
berdasarkan
kepemilikan
Pertentanga
n antar
anggota
masyarakat
yang bersifat
Potensi
menyeluruh
Konflik
dalam
kehidupan
dengan
akibat yang
tidak dapat
diduga
Sumber: Data diolah (2016)
Variabe
l
Kepemilikan
Live
lihood,
Aksesibi
Litas,
Kemung
-kinan
Tergenang
Indikator
HGB, HGU,
Hak Milik
(Pemerintah/
pribadi)
- pendidika
- jumlah
tanggungan
- pekerjaan
utama
- pekerjaan
sampinga
- pendapatan
- hutang
Tabel 2. Tipe penguasaan lahan tanah waduk
di sekitar Rawa Pening
Jenis
Bobot
Keterangan
Potensi
Konflik
Tanah
negara
bebas
+ (3)
Tanah patok merah
merupakan tanah
negara yang berada
(istilah lokal
adalah tanah
patok
merah)
ditanami
padi dengan
jumlah
petani
di dalam batas patok
merah (batas tanah
waduk terluar) yang
umumnya
dibudidayakan oleh
petani lokal untuk
ditanami padi
penggarap
< 25 orang
Potensi vulnerabiliti :
Petani penggarap
sawah terancam
kehilangan mata
pencahariannya
apabila area tanah
waduk yang digarap
tidak dapat digarap
lagi.
Tanah
negara
bebas
(istilah lokal
adalah tanah
patok
merah)
ditanami
padi dengan
jumlah
petani
penggarap
antara 25 –
100 orang
Tanah
negara
bebas
(istilah lokal
adalah tanah
patok
merah)
ditanami
padi dengan
jumlah
petani
penggarap
lebih dari
100 orang
Tanah milik
warga yang
masih dalam
batas
genangan
terluar
(maksimal
ketinggian
463)
++ (2)
prmbayaran atas
lahan pribadi.
Sumber: Data diolah (2016)
2. Kerentanan/Vulnarebility
a. Penghidupan/Livelihood
Masyarakat
yang
menggantungkan
hidupnya terhadap tanah waduk dianggap lebih
rentan karena terancam kehilangan mata
pencaharian apabila dilakukan normalisasi
danau. Pengukuran vulnerability livelihood
dilakukan dengan melihat acuan sebagai berikut:
Tabel 3. Acuan pembobotan kerentanan
penghidupan
Indikator
Pendidikan
+++ (1)
Jumlah
Tanggung
an
Pekerjaan
Utama
Pekerjaan
Sampingan
++++
Tidak
masuk
dalam
perhitungan
tingkat
konflik
Tanah milik warga ini
merupakan tanah
milik yang
berbatasan langsung
dengan tanah patok
merah yang masih
berada dalam area
tergenang pada saat
musim penghujan
(maksimal genangan
air di ketinggian 463)
Potensi vulnerabiliti :
Tanah yang
merupakan tanah
milik warga
berpotensi tergenang
di musim penghujan
yang berpotensi
petani kehilangan
tanah sawahnya. Jika
sawah ini tergenang
diasumsikan potensi
konflik akan tinggi
karena harus
melakukan ganti
Pendapatan
Petani
Pendapat
an Non
Pertanian
Vulnerable
Sedang
Skor 1
Rendah
tidak lulus SD
atau lulusan SD
Skor 2
Sedang
lulus atau
tidak lulus
SMP
Tinggi
jumlah
tanggungan
9-11 orang
Sedang
jumlah
tanggungan 58 orang
Non
Pertanian
memiliki
pekerjaan
sampingan
orang
dengan
pendapatan 1-2
juta
orang
dengan
pendapatan1 juta 12 juta
Tidak ada
Petani
tidak memiliki
pekerjaan
sampingan
orang dengan
pendapa-tan >2
juta
orang dengan
pendapa-tan01 juta
Hutang
Ada
Sumber: Data diolah (2016)
Tidak
Vulnera
ble
Skor 3
Tinggi
tidak
atau
lulus
SMA
Rendah
Tanggungan
1-4
orang
orang
dengan
pendapatan
0-1 juta
orang
dengan
pendapa
tan > 2
juta
Semakin tinggi skor menunjukan semakin
baik level kerentanannya, semakin rendah skor
menunjukkan
semakin
rentan
level
kerentanannya. Selanjutnya skor dari tiap
responden ditotal kemudian dibagi sesuai
dengan jumlah responden. Dari nilai rata-rata
itulah yang kemudian dijadikan acuan untuk
mengidentifikasi apakah desa tersebut memiliki
nilai vulnerability yang baik atau tidak. Nilai
vulnerability dibagi di dalam 3 range kategori
yaitu:
 Kerentanan tinggi
: skor 6-8
 Kerentanan sedang
 Kerentanan rendah
: skor 9-11
: skor 12-14
b. Aksesibilitas
Jarak antara rumah dengan sawah yang
berada di wilayah waduk menentukan tingkat
kerentanan petani penggarap tanah waduk.
Dalam hal ini diasumsikan semakin jauh jarak
lokasi sawah garapan terhadap rumah
penggarap maka petani penggarap tersebut
berada dalam kondisi semakin rentan. Tingkat
kerentanan petani dalam hal ini dibagi dalam 3
kategori tingkat kerentanan berdasarkan jarak
permukiman dengan tanah waduk garapan
warga. Zonasi berdasarkan jarak permukiman
terjauh dibandingkan jarak permukiman
terdekat dengan batas sawah langsung yang
berbatasan dengan genangan waduk, yaitu :
a. Zona 1 : < 400 meter dengan skor 3
b. Zona 2 : 400- <800 meter dengan skor 2
c. Zona 3 : 800 - 1200 meter dengan skor 1
c. Kemungkinan tergenang
Kemungkinan tergenang dihitung dari
jarak antara sawah patok merah dengan batas
air terendah. Semakin dekat semakin rentan,
dengan asumsi lebih besar kemungkinan sawah
tergenang
maka
lebih
besar
tingkat
kerentanannya. Tingkat kerentanan petani
dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan jarak
sawah dengan batas terendah genangan (atau
dalam hal ini diwakili dengan titik ketinggian
460). Pembagian zona diambil dari jarak
tertinggi antara batas paling luar sawah
tergenang (ketinggian 463) dengan batas air
terendah (ketinggian 460), yaitu 1500 meter
kemudian dibagi dalam 3 zona dengan jarak
yang sama
a. Zona 1 : <500 meter dengan skor 1
b. Zona 2 : 500 <1000 meter dengan skor 2
c. Zona 3 : 1000-1500 meter dengan skor 3
Unit analisis penelitian ini adalah desa
dengan lingkup pada lahan pasang surut. Lahan
pasang surut di Rawa Pening adalah lahan yang
terbentuk sebagai akibat dari proses naik
turunnya permukaan air danau (Sittadewi,
2011). Populasi adalah seluruh penduduk yang
mempunyai mata pencaharian sebagai petani
dari 12 yang berbatasan langsung dengan Danau
Rawa Pening dan terletak pada 4 Kecamatan
yaitu: Kecamatan Tuntang, Kecamatan Bawen,
Kecamatan
Ambarawa,
dan
Kecamatan
Banyubiru. Jumlah total petani dari 12 desa
tersebut adalah 5.294 orang. Dengan tingkat
kepercayaan 95% dan batas kesalahan 10%
maka jumlah sampel yang diambil adalah 94
orang. Sampel diambil secara purposive, yaitu
para petani yang menggarap lahan pasang surut
dan menjadi pemanfaat utama dari keberadaan
program revitalisasi Danau Rawa Pening serta
memiliki/memanfaatkan lahan di sekitar Rawa
Pening. Pengambilan sampel bertujuan untuk
mengetahui tingkat kerentanan/vulnerability di
setiap desa. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan April dan Juni tahun 2016.
Pengumpulan data primer diambil dari
survey dengan warga pemanfaat lahan.
Sedangkan data sekunder diambil melalui
pengumpulan literasi terkait dengan penelitian
dari berbagai sumber. Untuk teknik analisa data,
penelitian
ini
menggunakan
teknik
pembobotan/scoring dan analisis spasial. Data
hasil analisis kemudian dijabarkan secara
spasial dalam bentuk peta dengan bantuan
software.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Pemetaan
a. Aspek Sosial
1. Tipologi penggunaan lahan di sekitar
Rawa Pening
Penggunaan lahan dan ruang yang ada di
Danau Rawa Pening diatur melalui Perda
Kabupaten Semarang no 6 tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Semarang tahun 2011-2031 dan Peraturan Desa
tentang Pelestarian Lingkungan Hidup yang
disusun oleh masing masing desa. Berdasarkan
aturan
tersebut
kemudian
dirumuskan
penggunaan lahan yang ada di kawasan Danau
Rawa Pening. Khusus untuk area persawahan
atau lahan pemanfaatan pertanian, ada beberapa
tipe pengelolaan lahan di kawasan Danau Rawa
Pening. Tipe pengelolaan lahan tersebut antara
lain tanah pathok merah/tanah PU/tanah
Provinsi, tanah pathok hitam/tanah sanggem,
tanah bengkok/bodho desa, tanah milik.
Konsep-konsep penguasaan tanah tersebut
adalah:

Tanah Pathok Merah / Tanah PU / tanah
Provinsi adalah tanah yang berada pada
elevasi 462.05 dari permukaan air danau dan
dikuasai sepenuhnya oleh negara. Tanah ini
merupakan tanah yang akan terendam air
ketika musim penghujan. Masyarakat bisa
menggunakan tanah ini untuk satu kali
tanam dengan catatan apabila musim
penghujan sudah turun sebelum masa panen
maka tidak bisa meminta ganti rugi kepada
negara. Penggunaan tanah ini juga bebas dari
akuisisi secara pribadi, tidak ada surat resmi
mengenai ukuran tanah dan kepemilikan
bahkan tidak ada pemungutan uang untuk
pajak penggunaan lahan.
dipersewakan
untuk
penghasilan
desa/kecamatan. Tanah ini bisa ditanami
antara 1 – 2 kali.
 Tanah milik adalah diperoleh melalui proses
pembelian tanah yang digunakan untuk
kepentingan pribadi, dibuktikan dengan
surat kepemilikan lahan berupa sertifikat
tanah atau Letter C atau Letter D atau SPT.
Pemanfaatan lahan bisa untuk 1-2 kali tanam.
Untuk mengetahui
gambaran tanah
tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar 1. Patok
merah desa
Tambakrejo tahun
2003
Gambar 2. Patok
merah desa
Tambakrejo tahun
2015
Sumber: BBWS Pemali
Juawan, 2015
Sumber: BBWS Pemali
Juawan, 2015
Gambar 4. Sketsa Tipologi Penggunaan Lahan
sumber: Dinas PSDA (2016)
1. Pendidikan
Gambar 3. Foto Udara Sawah di Area Patok
Merah Desa Candirejo
Sumber: Dokumentasi peneliti, 2016
 Tanah Pathok Hitam/Sanggem adalah
tanah yang berada pada elevasi 462.30 dari
permukaan air, dikuasai sepenuhnya oleh
negara tetapi dikuasakan pemanfaatannya
kepada penduduk. Secara teknis, lahan ini
bisa ditanami antara 1 – 2 kali bergantung
dari posisi tanah. Tanah ini tidak memiliki
sertifikat dan tidak bisa diakusisi secara
permanen oleh pengguna lahan tetapi
pemanfaat lahan wajib membayar pajak
sesuai dengan ketentuan pemakaian.
 Tanah Bengkok/Bondho Desa adalah lahan
yang dikuasai secara tradisional oleh desa
dan
kecamatan
yang
diolah
atau
Merujuk pada hasil temuan lapangan terkait
pendidikan, ditemukan bahwa 45% responden
memiliki tingkat pendidikan SD, kemudian 18%
responden memiliki tingkat pendidikan SMP,
17% responden memiliki tingkat pendidikan
SMA/STM/SMK/SPG.
Sementara
15%
responden tidak lulus SD dan 3% sisanya tidak
sekolah. Hanya 2% responden yang mencapai
pendidikan jenjang D3. Mengacu pada data
temuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
dilihat dari tingkat pendidikan responden
mayoritas adalah lulusan SD, menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan responden dari 12
desa di empat kecamatan tersebut masih
rendah.
Grafik 1. Tingkat Pendidikan Responden
Sumber: Data diolah, 2016
2. Pekerjaan
Berdasarkan temuan lapangan terkait
pekerjaan responden, ditemukan bahwa
pekerjaan utama mayoritas responden adalah
petani yakni sebanyak 34%, diikuti buruh tani
dan nelayan masing-masing sebanyak 24%.
Sementara pekerjaan utama lainnya seperti
perangkat desa sebanyak 5%, kemudian
pedagang sebanyak 2%. Pekerjaan seperti buruh
toko, guru olahraga, karyawan, operator perahu
motor, pembuat kapal, pensiunan TNI dan
serabutan masing-masing sebanyak 1%.
Berdasarkan temuan tersebut maka disimpulkan
jika pekerjaan utama responden adalah cukup
beragam jenisnya.
sampingan. Jika dilihat pada grafik 3 maka dapat
dikatakan
bahwa
pekerjaan
sampingan
responden sedikit lebih beragam jenisnya
dibandingkan dengan pekerjaan utamanya. Dari
grafik 3 terlihat bahwa pekerjaan sampingan
petani tetap menjadi pilihan mayoritas
responden dengan jumlah sebanyak 30
responden, kemudian diikuti dengan pekerjaan
sampingan nelayan sebanyak 7 responden dan
pencari eceng gndok dan ternak masing-masing
sebanyak 5 responden. Untuk pekerjaan kuli
bangunan, pedagang dan warung masing-masing
sebanyak 4 responden. Kemudian ada pula
pekerjaan sampingan jasa sewa perahu
sebanyak 2 responden. Sedangkan pekerjaan
sampingan lainnya seperti bengkel, buruh,
buruh sawah, buruh tani, perangkat desa,
pencari kayu bakar, parkir, pegawai kantor,
pengrajin
kerupuk,
berkebun,
pembuat
keramba, pembesaran ikan, dan pengurus
gapoktan masing-masing sebanyak 1 responden.
Grafik 3. Pekerjaan Sampingan Responden
Sumber: Data diolah, 2016
b. Aspek Ekonomi
1. Pendapatan
Grafik 2. Pekerjaan Utama Responden
Sumber: Data diolah, 2016
3. Pekerjaan Sampingan
Mengacu pada data pekerjaan utama
sebelumnya, responden dalam penelitian juga
memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian,
tidak semua responden memiliki pekerjaan
Mengacu pada hasil temuan lapangan
terkait pendapatan, ditemukan bahwa mayoritas
pendapatan responden penelitian yang terdiri
dari 12 desa dalam 4 kecamatan yakni Tuntang,
Bawen, Ambarawa, dan Banyubiru menunjukkan
bahwa sebanyak 52% responden memiliki
pendapatan berkisar 0-1.000.000. Sementara
33% responden dengan pendapatan berkisar
1.000.001-2.000.000. Kemudian 15% sisanya
merupakan responden dengan pendapatan
berkisar 0-1.000.000. Hal ini menunjukkan
bahwa mayoritas responden merupakan
masyarakat dari kelas menengah ke bawah
dilihat berdasarkan pendapatan yang didapat
setiap bulannya. Aspek Ekonomi
Grafik 5. Pengeluaran Responden Perbulan dari
4 Kecamatan
Sumber: Data diolah (2016)
3. Kepemilikan Hutang
Grafik 4. Pendapatan Responden Perbulan dari
4 Kecamatan
Sumber: Data diolah, 2016
2. Pengeluaran
Mengacu pada hasil temuan lapangan
terkait pengeluaran responden, ditemukan
bahwa sebanyak 48% responden memiliki
pengeluaran setiap bulannya sebesar 01.000.000.
Sementara
40%
memiliki
pengeluaran setiap bulannya sebesar 1.000.0012.000.000. Kemudian 12% responden sisanya
memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar
>2.000.000. Dari temuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa meskipun pada data
sebelumnya ditemukan bahwa mayoritas
responden
merupakan
masyarakat
dari
kalangan menengah ke bawah dengan besaran
pendapatan 0-1.000.000, namun pengeluaran
yang harus dikeluarkan setiap bulannya adalah
lebih besar bila dibandingkan dengan
pendapatan yakni dapat berkisar 1.000.0012.000.000 setiap bulannya. Sementara pada
responden dengan pendapatan >2.000.000
setiap bulannya, pengeluaran yang dikeluarkan
dapat dikatakan hampir sama besarnya dengan
pendapatan yang didapat.
Apabila data sebelumnya menunjukkan
bahwa persentase pengeluaran responden
adalah cukup tinggi bila dibandingkan dengan
besaran pendapatan setiap bulannya, akan
tetapi hal tersebut tidak mendorong responden
untuk melakukan pinjaman/hutang kepada
sanak saudara/tetangga/bank. Berdasarkan
hasil di lapangan ditemukan bahwa sebanyak
62% responden mengaku tidak memiliki hutang.
Sementara 33% responden memiliki hutang, dan
5% responden sisanya mengaku akan
melakukan pinjaman/hutang kepada sanak
saudara/tetangga/bank tergantung pada situasi
kondisi saat itu. Maka dapat disimpulkan,
meskipun pengeluaran responden cenderung
lebih besar dibandingkan dengan pendapatan
setiap bulannya, hal ini tidak membuat
responden melakukan pinjaman kepada sanak
saudara/tetangga/bank.
Sebagian
besar
responden mengaku jika mereka takut untuk
melakukan pinjaman/hutang, karena takut tidak
mampu untuk melunasinya kelak.
Grafik 6. Kepemilikan Hutang Responden dari 4
Kecamatan
Sumber: Data diolah, 2016
Potensi Konflik
Potensi
konflik
didapatkan
dengan
melakukan pelapisan dari 3 variabel yaitu
tingkat kerentanan penghidupan/livelihood,
aksesibilitas dan kemungkinan tergenang.
Masyarakat yang menggantungkan hidupnya
terhadap tanah waduk dianggap lebih rentan
karena terancam kehilangan mata pencaharian
apabila dilakukan normalisasi danau. Hasil
pengukuran vulnerability
sebagai berikut:
livelihood
adalah
Tabel 4. Tingkat Kerentan Penghidupan
Sumber: Data diolah, 2016
Setelah didapatkan tingkat kerentanan
penghidupan/livelihood kemudian dilakukan
pelapisan dengan pola penguasaan lahan,
aksesibilitas dan kemungkinan tergenang
sehingga didapatkan hasil akhir peta potensi
konflik danau Rawa Pening sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
tingkatan potensi konflik sedang dan 4 desa
pada tingkatan potensi konflik rendah. Hasil ini
diperkuat dengan hasil survey dimana 56.38%
penduduk tidak keberatan apabila lahan pasang
surutny
Skor
Tingkat
a nanti
Kerentan Kerentergena
Desa
an
tanan
ng
Penghidu Penghiakibat
pan
dupan
revitali
Banyubiru
9.50
Sedang
sasi
Kebondowo
11.25
Rendah
karena
Asinan
10.50
Sedang
sadar
Kesongo
11.33
Rendah
bahwa
Rowosari
10.62
Sedang
tanah
Bejalen
11.50
Rendah
yang
Rowoboni
11.14
Rendah
digarap
Lopait
10.25
Sedang
sekaran
Candirejo
11
Sedang
g
Tegaron
10.62
Sedang
adalah
Tuntang
10.83
Sedang
tanah
Tambakboyo
11.50
Rendah
negara
dan akan membawa manfaat yang lebih besar.
Dengan demikian, kegiatan revitalisasi yang
akan dilakukan di Rawa Pening dapat dimulai
dari desa yang tingkat potensi konfliknya rendah
yaitu: Banyubiru, Kebondowo, Lopait, dan
Kesongo agar konflik yang terjadi dapat
diminimalisir.
Daftar Pustaka
Gambar 5. Peta Tipologi Kerentanan terhadap
Konflik Berdasarkan Pola
Penguasaan Lahan dan Tingkat
Kerentanan Mata Pencaharian
Penduduk
Sumber: Data diolah, 2016
Dari peta tipologi kerentanan terhadap
konflik di atas, dapat ditafsirkan bahwa dari 12
desa yang menjadi lokasi penelitian tidak ada
desa yang mempunyai potensi konflik tinggi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil pemetaan peta tipologi
kerentanan terhadap konflik didapatkan hasil
bahwa dari 12 desa yang berbatasan langsung
dengan rawa pening, 8 desa berada dalam
Gerhard, G dan Susilowati, I. 2013. Valuasi
Ekomomi Sumberdaya Alam Rawa Pening
Dan Strategi Pelestarianya Di Kabupaten
Semarang. Fakultas Ekonomika Dan
Bisnis).
Habibi, Marbruno dan Buchori, Imam. 2013.
Model Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi
dan Kelembagaan terhadap Bencana
Gunung Merapi. Jurnal Teknik PWK.
Hermawan, FX., Sapei, Asep, Dharmawan, Arya
Hadi., Anna, dan Zuzy. 2015. Formulasi
Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan
Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil
(Studi Kasus: Provinsi Nusa Tenggara
Timur). Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan
Umum.
Okpara, U. T., Stringer, L. C., Dougill, A. J., dan
Bila, M. D. 2015. Conflicts about water in
Lake
Chad:
Are
environmental,
vulnerability
and
security
issues.
Progress in Development Studies.
Rhee, S. H., Min, H. G., Yoon, S. S., Jung, N. S., dan
Chang, W. S. 2015. Social Vulnerability
Assessment by Resident's Conflict
Analysis on Rural Development Project of
Region Unit. Journal of Korean Society of
Rural Planning.
Riyanto, Sutisna, Amiruddin Saleh, and Adi
Firmansyah. Tipologi Konflik Berbasis
Sumber Daya Pangan di Wilayah
Perkebunan Sawit. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia.
Seftyono, C. 2014. Rawa Pening dalam Perspektif
Politik Lingkungan: Sebuah Kajian
Awal. Indonesian Journal of Conservation.
Singh, Sapam Ranabir; Eghdami, Mohammad
Reza; Singh, Sarjbeet. 2014. “The Concept
of Social Vulnerability: A Review from
Disasters Perspectives”. International
Journal
of
Interdisclipinary
and
Multidisclipinary Studies (IJIMS).
Sittadewi, Euthalia Hanggari. 2011. Kondisi
Lahan Pasang Surut Kawasan Rawa
Pening dan Potensi Pemanfaatannya.
Jurnal Teknologi Lingkungan.
Soeprobowati, T. R., dan Suedy, S. W. A. 2014.
Status Trofik Danau Rawapening dan
Solusi Pengelolaannya. Jurnal Sains dan
Matematika.
Yusuf, K., dan Sune, N. 2015. Kajian Spasial
Kerentanan Sosial Ekonomi Penduduk
Sekitar Danau Limboto (Studi di Desa Iluta
Kecamatan Batudaa, Desa Tabumela
Kecamatan Tilango dan Kelurahan
Kayubulan
Kecamatan
Limboto
Kabupaten
Gorontalo). KIM
Fakultas
Matematika dan IP.
Download