PEMETAAN POTENSI KONFLIK ANTAR DESA DENGAN PEMERINTAH UNTUK MENGANTISIPASI REVITALISASI DANAU RAWA PENING. Mapping of Conflict Vulnerability in Supporting Revitalization Program of Rawa Pening lake Suryawan Setianto¹, Dwi Rini Hartati² ¹Balai Litbang Penerapan Teknologi Sumber Daya Air Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian PUPR Jalan Sapta Taruna Raya, Pasar Jumat Email: [email protected] ²Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang Kementerian PUPR Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru Email: [email protected] ABSTRACT Lake Rawa Pening in Semarang Regency is one of 15 lakes that is in critical condition. Comprehensive solution is needed in order for the lake to maintain its function. This research aimed to provide description of the propensity of inter-village conflict surrounding the Rawa Pening lake so that any attempt to revitalize the lake would not suffer from it. This research utilized quantitative-descriptive approach added with spatial mapping using several layer of variables; economic vulnerability, accessibility and the possibility of being flooded. Data collection was conducted through survey to the targeted respondent. The result shows that out of 12 villages located around the lake, 8 of them are having mid level of conflict potential, and 4 are having low level of conflict potential. Therefore, revitalization activity could be carried out from the area which has low level of conflict potential. Key word : conflict, lake, revitalization, rawa pening ABSTRAK Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang adalah salah satu dari 15 danau yang berada dalam status kritis. Diperlukan penanganan agar danau dapat berfungsi kembali sesuai tujuannya. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran potensi konflik antar desa di sekitar Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi yang akan dikerjakan minim konflik. Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan metode riset yang dipakai adalah pemetaan spasial dengan lapisan beberapa variabel yaitu: kerentanan ekonomi, aksesibiltas dan kemungkinan tergenang. Pengumpulan data dilakukan dengan survey kepada responden yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh bahwa dari 12 desa yang berada di sekitar Rawa Pening, 8 desa potensi konfliknya pada tingkat sedang dan 4 desa pada tingkat rendah. Dengan demikian, kegiatan revitalisasi dapat dimulai dari desa yang tingkatan potensi konfliknya rendah. Kata kunci: danau, konflik , revitalisasi, rawa pening Pendahuluan Danau dan situ merupakan sumber air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Adapun fungsi utamanya yaitu untuk menahan laju aliran air permukaan serta menampungnya dalam suatu area kawasan danau. Selain itu terdapat beberapa fungsi tambahan dari danau tergantung dari kondisi danau itu sendiri. Perlindungan terkait danau sudah ramai diperbincangkan dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, salah satunya melalui Konferensi Danau Sedunia. Selain itu, pada Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan, air adalah salah satu sektor kunci dan perlu mendapatkan perhatian disamping sektor energi, kesehatan, pertanian dan keanekaragaman hayati. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Konferensi Nasional Danau Indonesia pada tahun 2009, yang merumuskan daftar 15 danau dengan kondisi kritis, salah satunya Danau Rawa Pening yang berlokasi di Provinsi Jawa Tengah. Rawa Pening mempunyai luas kurang lebih 2.500 Ha dan mempunyai banyak fungsi antara lain untuk irigasi, pembangkit listrik, pengendali banjir, perikanan, pertanian, serta pariwisata. Kondisi Rawa Pening saat ini hampir 70% terutup gulma enceng gondok dan volume air sudah berkurang 30%. Diperlukan upaya revitalisasi agar danau Rawa Pening dapat berfungsi kembali pada titik optimum saat ini mengingat peran Rawa Pening yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini lah yang mendasari pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan di Danau Rawa Pening. Upaya revitalisasi sendiri sering mendapat tantangan dari masyarakat yang tinggal di sekitar danau, mengingat saat ini keberadaan danau Rawa Pening memiliki dampak ekonomi dan sosial yang besar bagi masyarakat. Tantangan ini apabila dibiarkan dapat berujung pada munculnya konflik khususnya konflik penguasaan lahan dan dampaknya bisa berlangsung lama sehingga mengganggu proses konservasi. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana potensi konflik di desa yang berbatasan langsung dengan Danau Rawa Pening dengan menggunakan kerentanan sosial ekonomi dan teori konflik sebagai landasan konseptual. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah teridentifikasinya potensi konflik di desa sekitar Rawa Pening sehingga kegiatan revitalisasi dapat berjalan lancar dengan konflik yang seminimal mungkin. Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan oleh pemangku kepentingan yang terkait pengelolaan danau Rawa Pening. Kajian pustaka Untuk menjelaskan konsep kerentanan yang dimaksud dalam tulisan ini, akan diambil dari berbagai sumber. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kerentanan adalah menghasilkan akibat yang tidak dapat diduga. Bakornas mendeskripsikan kerentanan sebagai kondisi, atau karakteristik biologi, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Sedangkan International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) menjelaskan bahwa kerentanan juga ditentukan oleh faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Dari penjelasan di atas, tulisan ini akan melihat kerentanan dari perspektif sosial dan ekonomi. Kasmat Yusuf dkk (2015) dalam penelitiannya menjelaskan kerentanan sosial ekonomi dapat diartikan sebagai kerapuhan sosial ekonomi masyarakat terhadap bahaya atau bencana yang menyebabkan masyarakat berada pada kondisi rentan atau laten. Salah satu jenis kerentanan sosial adalah konflik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik social adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Teori konflik saat ini sudah semakin berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat dunia. Temuan beberapa jurnal terbaru saat ini sudah menggabungkan teori konflik dengan teori-teori lain. Beberapa contohnya antara lain dilakukan oleh para peneliti dari Korea Selatan (Rhee dkk, 2015) yang menilai kerentanan sosial dengan pendekatan konflik. Sementara penelitian tentang konflik berdasarkan kelangkaan sumber daya air pernah dilakukan di Danau Chad yang berlokasi di benua Afrika (Okpara dkk, 2015). Dalam penelitian ini konflik akan dilihat dengan perspektif kerentanan sosial ekonomi melalui bagaimana aksesibilitas masyarakat ke lokasi sumber daya alam dan kemungkinan masyarakat kehilangan lahan sebagai mata pencaharian. Ketimpangan terhadap akses dan kontrol terhadap sumberdaya adalah salah satu jenis konflik structural (Sumardjo dkk, 2014). Dalam menilai potensi konflik yang muncul akibat program revitalisasi, salah satu bentuk justifikasi yang digunakan adalah mengukur tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi perubahan (the level of vulnerability). Kerentanan ini terdiri dari karakteristik seseorang atau kelompok, dan situasi mereka yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan dan pulih dari dampak bahaya alam (Singh, 2014). Kerentanan juga bisa dilihat dari keadaan suatu wilayah terkait dengan kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut dalam mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu (Habibi dan Buchori, 2013). Kerentanan sendiri dapat juga disusun menjadi sebuah indeks sebagai kumpulan parameter yang menjadi alat ukur potensi kerentanan tersebut. (Hermawan dkk, 2015). Operasionalisasi konsep yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1. Variabel yang bisa mempengaruhi kerentanan seperti umur, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, dan cacat bisa didetailkan dalam beberapa faktor. Faktor-faktor kerentanan tersebu meliputi (Habibi dan Buchori, 2013): Kerentanan fisik: prasarana dasar, konstruksi, dan bangunan Berdasarkan operasionalisasi konsep di atas, penyusunan peta spasial potensi konflik menggunakan teknik pelapisan/layer 2 definisi yaitu: Kerentanan ekonomi: penghasilan, dan nutrisi kemiskinan, Kerentanan sosial: pendidikan, kesehatan, politik, hukum, dan kelembagaan Kerentanan lingkungan: tanah, air, tanaman, hutan, dan lautan Dari variabel dan faktor kerentanan di atas bisa disederhanakan dalam 2 kategori yaitu kerentanan dalam penghidupan/livelihood (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) dan kerentanan dalam aksesibilitas (kondisi fisik). Dalam kasus program revitalisasi ini dipakai lagi 1 kategori yaitu kemungkinan tergenang dimana ini juga akan berdampak pada kondisi fisik. Penelitian ini akan mengambil model seperti yang dilakukan di Danau Limboto dengan konsep kerentanan sosial ekonomi. (Yusuf dan Sune, 2015). Model ini dirasa relevan untuk digunakan mengingat karakteristik permasalahan yang serupa antara Danau Limboto dan Danau Rawa Pening. Penelitian terkait dengan Rawa Pening sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Beberapa yang pernah dilakukan antara lain terkait dengan valuasi ekonomi sumber daya alam Rawa Pening (Gerhard dan Susilowati, 2013), dari perspektif politik lingkungan(Seftyono, 2014), serta terkait status trofik Rawa Pening dan solusi pengelolaannya (Soeprobowati dan Seudy, 2014). Dari berbagai macam penelitian terdahulu yang dilakukan di Rawa Pening, masih belum ada yang mengkaji dari perspektif konflik secara spasial dan digabungkan dengan kerentanan sosial ekonomi. Penelitian ini akan berfokus pada menghasilkan peta kerentanan konflik yang bisa dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan terkait dengan revitalisasi Rawa Pening. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dan tidak bertujuan untuk mencari hubungan antar variable. 1. Pola penguasaan lahan Pola penguasaan lahan menunjukan penguasaan masyarakat atas lahan di sekitar danau saat ini. Peta penguasaan lahan di-overlay dengan peta desa untuk menggabungkan data jumlah petani penggarap. Sebagian besar lahan di sekitar Rawa Pening merupakan tanah danau yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Setiap tipe penguasaan lahan memiliki tingkat konflik yang berbeda, dalam hal ini diberikan tingkatan dengan nilai skor dari 1 sampai dengan 5. Skor 5 sebagai skor potensi konflik tertinggi dan skor 1 sebagai skor potensi konflik terendah. Batas wilayah pola penguasaan lahan yang digeneralisasi per desa berdasarkan informasi dari responden. Hal yang perlu menjadi catatan adalah batas penguasaan lahan tidak dapat menjadi acuan yang akurat karena berpatokan pada garis ketinggian. Tabel 1. Operasionalisasi Konsep Konsep Definisi Identifikasi pola Pengupenguasaan asaan lahan Lahan berdasarkan kepemilikan Pertentanga n antar anggota masyarakat yang bersifat Potensi menyeluruh Konflik dalam kehidupan dengan akibat yang tidak dapat diduga Sumber: Data diolah (2016) Variabe l Kepemilikan Live lihood, Aksesibi Litas, Kemung -kinan Tergenang Indikator HGB, HGU, Hak Milik (Pemerintah/ pribadi) - pendidika - jumlah tanggungan - pekerjaan utama - pekerjaan sampinga - pendapatan - hutang Tabel 2. Tipe penguasaan lahan tanah waduk di sekitar Rawa Pening Jenis Bobot Keterangan Potensi Konflik Tanah negara bebas + (3) Tanah patok merah merupakan tanah negara yang berada (istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani di dalam batas patok merah (batas tanah waduk terluar) yang umumnya dibudidayakan oleh petani lokal untuk ditanami padi penggarap < 25 orang Potensi vulnerabiliti : Petani penggarap sawah terancam kehilangan mata pencahariannya apabila area tanah waduk yang digarap tidak dapat digarap lagi. Tanah negara bebas (istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani penggarap antara 25 – 100 orang Tanah negara bebas (istilah lokal adalah tanah patok merah) ditanami padi dengan jumlah petani penggarap lebih dari 100 orang Tanah milik warga yang masih dalam batas genangan terluar (maksimal ketinggian 463) ++ (2) prmbayaran atas lahan pribadi. Sumber: Data diolah (2016) 2. Kerentanan/Vulnarebility a. Penghidupan/Livelihood Masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap tanah waduk dianggap lebih rentan karena terancam kehilangan mata pencaharian apabila dilakukan normalisasi danau. Pengukuran vulnerability livelihood dilakukan dengan melihat acuan sebagai berikut: Tabel 3. Acuan pembobotan kerentanan penghidupan Indikator Pendidikan +++ (1) Jumlah Tanggung an Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan ++++ Tidak masuk dalam perhitungan tingkat konflik Tanah milik warga ini merupakan tanah milik yang berbatasan langsung dengan tanah patok merah yang masih berada dalam area tergenang pada saat musim penghujan (maksimal genangan air di ketinggian 463) Potensi vulnerabiliti : Tanah yang merupakan tanah milik warga berpotensi tergenang di musim penghujan yang berpotensi petani kehilangan tanah sawahnya. Jika sawah ini tergenang diasumsikan potensi konflik akan tinggi karena harus melakukan ganti Pendapatan Petani Pendapat an Non Pertanian Vulnerable Sedang Skor 1 Rendah tidak lulus SD atau lulusan SD Skor 2 Sedang lulus atau tidak lulus SMP Tinggi jumlah tanggungan 9-11 orang Sedang jumlah tanggungan 58 orang Non Pertanian memiliki pekerjaan sampingan orang dengan pendapatan 1-2 juta orang dengan pendapatan1 juta 12 juta Tidak ada Petani tidak memiliki pekerjaan sampingan orang dengan pendapa-tan >2 juta orang dengan pendapa-tan01 juta Hutang Ada Sumber: Data diolah (2016) Tidak Vulnera ble Skor 3 Tinggi tidak atau lulus SMA Rendah Tanggungan 1-4 orang orang dengan pendapatan 0-1 juta orang dengan pendapa tan > 2 juta Semakin tinggi skor menunjukan semakin baik level kerentanannya, semakin rendah skor menunjukkan semakin rentan level kerentanannya. Selanjutnya skor dari tiap responden ditotal kemudian dibagi sesuai dengan jumlah responden. Dari nilai rata-rata itulah yang kemudian dijadikan acuan untuk mengidentifikasi apakah desa tersebut memiliki nilai vulnerability yang baik atau tidak. Nilai vulnerability dibagi di dalam 3 range kategori yaitu: Kerentanan tinggi : skor 6-8 Kerentanan sedang Kerentanan rendah : skor 9-11 : skor 12-14 b. Aksesibilitas Jarak antara rumah dengan sawah yang berada di wilayah waduk menentukan tingkat kerentanan petani penggarap tanah waduk. Dalam hal ini diasumsikan semakin jauh jarak lokasi sawah garapan terhadap rumah penggarap maka petani penggarap tersebut berada dalam kondisi semakin rentan. Tingkat kerentanan petani dalam hal ini dibagi dalam 3 kategori tingkat kerentanan berdasarkan jarak permukiman dengan tanah waduk garapan warga. Zonasi berdasarkan jarak permukiman terjauh dibandingkan jarak permukiman terdekat dengan batas sawah langsung yang berbatasan dengan genangan waduk, yaitu : a. Zona 1 : < 400 meter dengan skor 3 b. Zona 2 : 400- <800 meter dengan skor 2 c. Zona 3 : 800 - 1200 meter dengan skor 1 c. Kemungkinan tergenang Kemungkinan tergenang dihitung dari jarak antara sawah patok merah dengan batas air terendah. Semakin dekat semakin rentan, dengan asumsi lebih besar kemungkinan sawah tergenang maka lebih besar tingkat kerentanannya. Tingkat kerentanan petani dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan jarak sawah dengan batas terendah genangan (atau dalam hal ini diwakili dengan titik ketinggian 460). Pembagian zona diambil dari jarak tertinggi antara batas paling luar sawah tergenang (ketinggian 463) dengan batas air terendah (ketinggian 460), yaitu 1500 meter kemudian dibagi dalam 3 zona dengan jarak yang sama a. Zona 1 : <500 meter dengan skor 1 b. Zona 2 : 500 <1000 meter dengan skor 2 c. Zona 3 : 1000-1500 meter dengan skor 3 Unit analisis penelitian ini adalah desa dengan lingkup pada lahan pasang surut. Lahan pasang surut di Rawa Pening adalah lahan yang terbentuk sebagai akibat dari proses naik turunnya permukaan air danau (Sittadewi, 2011). Populasi adalah seluruh penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani dari 12 yang berbatasan langsung dengan Danau Rawa Pening dan terletak pada 4 Kecamatan yaitu: Kecamatan Tuntang, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, dan Kecamatan Banyubiru. Jumlah total petani dari 12 desa tersebut adalah 5.294 orang. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan batas kesalahan 10% maka jumlah sampel yang diambil adalah 94 orang. Sampel diambil secara purposive, yaitu para petani yang menggarap lahan pasang surut dan menjadi pemanfaat utama dari keberadaan program revitalisasi Danau Rawa Pening serta memiliki/memanfaatkan lahan di sekitar Rawa Pening. Pengambilan sampel bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan/vulnerability di setiap desa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April dan Juni tahun 2016. Pengumpulan data primer diambil dari survey dengan warga pemanfaat lahan. Sedangkan data sekunder diambil melalui pengumpulan literasi terkait dengan penelitian dari berbagai sumber. Untuk teknik analisa data, penelitian ini menggunakan teknik pembobotan/scoring dan analisis spasial. Data hasil analisis kemudian dijabarkan secara spasial dalam bentuk peta dengan bantuan software. Hasil dan Pembahasan Hasil Pemetaan a. Aspek Sosial 1. Tipologi penggunaan lahan di sekitar Rawa Pening Penggunaan lahan dan ruang yang ada di Danau Rawa Pening diatur melalui Perda Kabupaten Semarang no 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang tahun 2011-2031 dan Peraturan Desa tentang Pelestarian Lingkungan Hidup yang disusun oleh masing masing desa. Berdasarkan aturan tersebut kemudian dirumuskan penggunaan lahan yang ada di kawasan Danau Rawa Pening. Khusus untuk area persawahan atau lahan pemanfaatan pertanian, ada beberapa tipe pengelolaan lahan di kawasan Danau Rawa Pening. Tipe pengelolaan lahan tersebut antara lain tanah pathok merah/tanah PU/tanah Provinsi, tanah pathok hitam/tanah sanggem, tanah bengkok/bodho desa, tanah milik. Konsep-konsep penguasaan tanah tersebut adalah: Tanah Pathok Merah / Tanah PU / tanah Provinsi adalah tanah yang berada pada elevasi 462.05 dari permukaan air danau dan dikuasai sepenuhnya oleh negara. Tanah ini merupakan tanah yang akan terendam air ketika musim penghujan. Masyarakat bisa menggunakan tanah ini untuk satu kali tanam dengan catatan apabila musim penghujan sudah turun sebelum masa panen maka tidak bisa meminta ganti rugi kepada negara. Penggunaan tanah ini juga bebas dari akuisisi secara pribadi, tidak ada surat resmi mengenai ukuran tanah dan kepemilikan bahkan tidak ada pemungutan uang untuk pajak penggunaan lahan. dipersewakan untuk penghasilan desa/kecamatan. Tanah ini bisa ditanami antara 1 – 2 kali. Tanah milik adalah diperoleh melalui proses pembelian tanah yang digunakan untuk kepentingan pribadi, dibuktikan dengan surat kepemilikan lahan berupa sertifikat tanah atau Letter C atau Letter D atau SPT. Pemanfaatan lahan bisa untuk 1-2 kali tanam. Untuk mengetahui gambaran tanah tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 1. Patok merah desa Tambakrejo tahun 2003 Gambar 2. Patok merah desa Tambakrejo tahun 2015 Sumber: BBWS Pemali Juawan, 2015 Sumber: BBWS Pemali Juawan, 2015 Gambar 4. Sketsa Tipologi Penggunaan Lahan sumber: Dinas PSDA (2016) 1. Pendidikan Gambar 3. Foto Udara Sawah di Area Patok Merah Desa Candirejo Sumber: Dokumentasi peneliti, 2016 Tanah Pathok Hitam/Sanggem adalah tanah yang berada pada elevasi 462.30 dari permukaan air, dikuasai sepenuhnya oleh negara tetapi dikuasakan pemanfaatannya kepada penduduk. Secara teknis, lahan ini bisa ditanami antara 1 – 2 kali bergantung dari posisi tanah. Tanah ini tidak memiliki sertifikat dan tidak bisa diakusisi secara permanen oleh pengguna lahan tetapi pemanfaat lahan wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan pemakaian. Tanah Bengkok/Bondho Desa adalah lahan yang dikuasai secara tradisional oleh desa dan kecamatan yang diolah atau Merujuk pada hasil temuan lapangan terkait pendidikan, ditemukan bahwa 45% responden memiliki tingkat pendidikan SD, kemudian 18% responden memiliki tingkat pendidikan SMP, 17% responden memiliki tingkat pendidikan SMA/STM/SMK/SPG. Sementara 15% responden tidak lulus SD dan 3% sisanya tidak sekolah. Hanya 2% responden yang mencapai pendidikan jenjang D3. Mengacu pada data temuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dilihat dari tingkat pendidikan responden mayoritas adalah lulusan SD, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden dari 12 desa di empat kecamatan tersebut masih rendah. Grafik 1. Tingkat Pendidikan Responden Sumber: Data diolah, 2016 2. Pekerjaan Berdasarkan temuan lapangan terkait pekerjaan responden, ditemukan bahwa pekerjaan utama mayoritas responden adalah petani yakni sebanyak 34%, diikuti buruh tani dan nelayan masing-masing sebanyak 24%. Sementara pekerjaan utama lainnya seperti perangkat desa sebanyak 5%, kemudian pedagang sebanyak 2%. Pekerjaan seperti buruh toko, guru olahraga, karyawan, operator perahu motor, pembuat kapal, pensiunan TNI dan serabutan masing-masing sebanyak 1%. Berdasarkan temuan tersebut maka disimpulkan jika pekerjaan utama responden adalah cukup beragam jenisnya. sampingan. Jika dilihat pada grafik 3 maka dapat dikatakan bahwa pekerjaan sampingan responden sedikit lebih beragam jenisnya dibandingkan dengan pekerjaan utamanya. Dari grafik 3 terlihat bahwa pekerjaan sampingan petani tetap menjadi pilihan mayoritas responden dengan jumlah sebanyak 30 responden, kemudian diikuti dengan pekerjaan sampingan nelayan sebanyak 7 responden dan pencari eceng gndok dan ternak masing-masing sebanyak 5 responden. Untuk pekerjaan kuli bangunan, pedagang dan warung masing-masing sebanyak 4 responden. Kemudian ada pula pekerjaan sampingan jasa sewa perahu sebanyak 2 responden. Sedangkan pekerjaan sampingan lainnya seperti bengkel, buruh, buruh sawah, buruh tani, perangkat desa, pencari kayu bakar, parkir, pegawai kantor, pengrajin kerupuk, berkebun, pembuat keramba, pembesaran ikan, dan pengurus gapoktan masing-masing sebanyak 1 responden. Grafik 3. Pekerjaan Sampingan Responden Sumber: Data diolah, 2016 b. Aspek Ekonomi 1. Pendapatan Grafik 2. Pekerjaan Utama Responden Sumber: Data diolah, 2016 3. Pekerjaan Sampingan Mengacu pada data pekerjaan utama sebelumnya, responden dalam penelitian juga memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian, tidak semua responden memiliki pekerjaan Mengacu pada hasil temuan lapangan terkait pendapatan, ditemukan bahwa mayoritas pendapatan responden penelitian yang terdiri dari 12 desa dalam 4 kecamatan yakni Tuntang, Bawen, Ambarawa, dan Banyubiru menunjukkan bahwa sebanyak 52% responden memiliki pendapatan berkisar 0-1.000.000. Sementara 33% responden dengan pendapatan berkisar 1.000.001-2.000.000. Kemudian 15% sisanya merupakan responden dengan pendapatan berkisar 0-1.000.000. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden merupakan masyarakat dari kelas menengah ke bawah dilihat berdasarkan pendapatan yang didapat setiap bulannya. Aspek Ekonomi Grafik 5. Pengeluaran Responden Perbulan dari 4 Kecamatan Sumber: Data diolah (2016) 3. Kepemilikan Hutang Grafik 4. Pendapatan Responden Perbulan dari 4 Kecamatan Sumber: Data diolah, 2016 2. Pengeluaran Mengacu pada hasil temuan lapangan terkait pengeluaran responden, ditemukan bahwa sebanyak 48% responden memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar 01.000.000. Sementara 40% memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar 1.000.0012.000.000. Kemudian 12% responden sisanya memiliki pengeluaran setiap bulannya sebesar >2.000.000. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun pada data sebelumnya ditemukan bahwa mayoritas responden merupakan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah dengan besaran pendapatan 0-1.000.000, namun pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap bulannya adalah lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan yakni dapat berkisar 1.000.0012.000.000 setiap bulannya. Sementara pada responden dengan pendapatan >2.000.000 setiap bulannya, pengeluaran yang dikeluarkan dapat dikatakan hampir sama besarnya dengan pendapatan yang didapat. Apabila data sebelumnya menunjukkan bahwa persentase pengeluaran responden adalah cukup tinggi bila dibandingkan dengan besaran pendapatan setiap bulannya, akan tetapi hal tersebut tidak mendorong responden untuk melakukan pinjaman/hutang kepada sanak saudara/tetangga/bank. Berdasarkan hasil di lapangan ditemukan bahwa sebanyak 62% responden mengaku tidak memiliki hutang. Sementara 33% responden memiliki hutang, dan 5% responden sisanya mengaku akan melakukan pinjaman/hutang kepada sanak saudara/tetangga/bank tergantung pada situasi kondisi saat itu. Maka dapat disimpulkan, meskipun pengeluaran responden cenderung lebih besar dibandingkan dengan pendapatan setiap bulannya, hal ini tidak membuat responden melakukan pinjaman kepada sanak saudara/tetangga/bank. Sebagian besar responden mengaku jika mereka takut untuk melakukan pinjaman/hutang, karena takut tidak mampu untuk melunasinya kelak. Grafik 6. Kepemilikan Hutang Responden dari 4 Kecamatan Sumber: Data diolah, 2016 Potensi Konflik Potensi konflik didapatkan dengan melakukan pelapisan dari 3 variabel yaitu tingkat kerentanan penghidupan/livelihood, aksesibilitas dan kemungkinan tergenang. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap tanah waduk dianggap lebih rentan karena terancam kehilangan mata pencaharian apabila dilakukan normalisasi danau. Hasil pengukuran vulnerability sebagai berikut: livelihood adalah Tabel 4. Tingkat Kerentan Penghidupan Sumber: Data diolah, 2016 Setelah didapatkan tingkat kerentanan penghidupan/livelihood kemudian dilakukan pelapisan dengan pola penguasaan lahan, aksesibilitas dan kemungkinan tergenang sehingga didapatkan hasil akhir peta potensi konflik danau Rawa Pening sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 tingkatan potensi konflik sedang dan 4 desa pada tingkatan potensi konflik rendah. Hasil ini diperkuat dengan hasil survey dimana 56.38% penduduk tidak keberatan apabila lahan pasang surutny Skor Tingkat a nanti Kerentan Kerentergena Desa an tanan ng Penghidu Penghiakibat pan dupan revitali Banyubiru 9.50 Sedang sasi Kebondowo 11.25 Rendah karena Asinan 10.50 Sedang sadar Kesongo 11.33 Rendah bahwa Rowosari 10.62 Sedang tanah Bejalen 11.50 Rendah yang Rowoboni 11.14 Rendah digarap Lopait 10.25 Sedang sekaran Candirejo 11 Sedang g Tegaron 10.62 Sedang adalah Tuntang 10.83 Sedang tanah Tambakboyo 11.50 Rendah negara dan akan membawa manfaat yang lebih besar. Dengan demikian, kegiatan revitalisasi yang akan dilakukan di Rawa Pening dapat dimulai dari desa yang tingkat potensi konfliknya rendah yaitu: Banyubiru, Kebondowo, Lopait, dan Kesongo agar konflik yang terjadi dapat diminimalisir. Daftar Pustaka Gambar 5. Peta Tipologi Kerentanan terhadap Konflik Berdasarkan Pola Penguasaan Lahan dan Tingkat Kerentanan Mata Pencaharian Penduduk Sumber: Data diolah, 2016 Dari peta tipologi kerentanan terhadap konflik di atas, dapat ditafsirkan bahwa dari 12 desa yang menjadi lokasi penelitian tidak ada desa yang mempunyai potensi konflik tinggi. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil pemetaan peta tipologi kerentanan terhadap konflik didapatkan hasil bahwa dari 12 desa yang berbatasan langsung dengan rawa pening, 8 desa berada dalam Gerhard, G dan Susilowati, I. 2013. Valuasi Ekomomi Sumberdaya Alam Rawa Pening Dan Strategi Pelestarianya Di Kabupaten Semarang. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis). Habibi, Marbruno dan Buchori, Imam. 2013. Model Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi dan Kelembagaan terhadap Bencana Gunung Merapi. Jurnal Teknik PWK. Hermawan, FX., Sapei, Asep, Dharmawan, Arya Hadi., Anna, dan Zuzy. 2015. Formulasi Indeks Kerentanan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus: Provinsi Nusa Tenggara Timur). Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Okpara, U. T., Stringer, L. C., Dougill, A. J., dan Bila, M. D. 2015. Conflicts about water in Lake Chad: Are environmental, vulnerability and security issues. Progress in Development Studies. Rhee, S. H., Min, H. G., Yoon, S. S., Jung, N. S., dan Chang, W. S. 2015. Social Vulnerability Assessment by Resident's Conflict Analysis on Rural Development Project of Region Unit. Journal of Korean Society of Rural Planning. Riyanto, Sutisna, Amiruddin Saleh, and Adi Firmansyah. Tipologi Konflik Berbasis Sumber Daya Pangan di Wilayah Perkebunan Sawit. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Seftyono, C. 2014. Rawa Pening dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian Awal. Indonesian Journal of Conservation. Singh, Sapam Ranabir; Eghdami, Mohammad Reza; Singh, Sarjbeet. 2014. “The Concept of Social Vulnerability: A Review from Disasters Perspectives”. International Journal of Interdisclipinary and Multidisclipinary Studies (IJIMS). Sittadewi, Euthalia Hanggari. 2011. Kondisi Lahan Pasang Surut Kawasan Rawa Pening dan Potensi Pemanfaatannya. Jurnal Teknologi Lingkungan. Soeprobowati, T. R., dan Suedy, S. W. A. 2014. Status Trofik Danau Rawapening dan Solusi Pengelolaannya. Jurnal Sains dan Matematika. Yusuf, K., dan Sune, N. 2015. Kajian Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar Danau Limboto (Studi di Desa Iluta Kecamatan Batudaa, Desa Tabumela Kecamatan Tilango dan Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo). KIM Fakultas Matematika dan IP.