jurnal bimas islam vol.6 no 3 tahun 2013 - SIMBI

advertisement
Daftar Isi
Metode Istinbat Hukum
di Lembaga Bahtsul Masail NU
The Method of Decision Making of Islamic Law
in Nahdlatul Ulama (LBM-NU) — 421
Vivin Baharu Sururi
Telaah Seni Rampak Bedug
Sebagai Media Dakwah di Banten
Analysis of Rampak Bedug Art
as Media of Da’wa in Banten — 455
Tatu Siti Rohbiah
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak
(Studi Kasus Majalah Hidayah)
Message of Da’wa Akhlak in Print Mass Media
(A Case Study of Hidayah Magazine) — 477
Uup Gufron
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet”
Welcoming The New Era “Learning Islam
Through The Internet” — 506
A. Khoirul Anam
Dakwah Dengan Media Film :
Oase di Tengah Krisis Film-Film Yang Tidak Bermutu
Dawah By Using Movies:
Oasis in The Midst of Crisis Movies That Are Not Qualified — 530
Naif Adnan
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam
Mystical Epistemology in Islamic Philosophy — 552
Hasan Baharun
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi
Neo Sufisme and Sufi Resistance Movement — 572
Ikhwanul Mu’minin
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan
Aqidah of Human Perfection Principle — 594
Sabiruddin
The Method of Decision Making of Islamic Law
in Nahdlatul Ulama (LBM-NU)
Metode Istinbat Hukum
di Lembaga Bahtsul Masail NU
Vivin Baharu Sururi
Pascasarjana IAIN Surakarta.
email : [email protected]
Abstract : The method of LBM NU istinbat is not static, but he has developed over time, in line
with the changing times and adapt to the surrounding context. For easy of explanation,
it is divided into three periods. At the beginning of the period, LBM NU used qauli
and ilhaqi method. In the second period, or the period is referred to as epidemic update
that began in the 1990s, the method used is manhaji method. Progress in setting legal
form in LBM NU with this method is no longer the word mauquf the problems being
discussed. The latter period is also the period of purification. At this time, LBM NU
fence itself from the current liberal thinking and excessive. Then, came the idea of
tashfiyatul fikrah al-nahdliyah.
Abstraksi : Metode istinbat LBM NU tidaklah statis, tapi ia mengalami perkembangan dari
masa ke masa, seiring dengan perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan
konteks yang melingkupinya. Untuk memudahkan penjabaran, maka dibagi menjadi
tiga periode perkembangan metode istinbat yang digunakan oleh LBM NU dalam
mengambil putusan hukum. Pada periode permulaan, LBM NU menggunakan
metode qauli dan ilhaqi. Pada periode kedua, atau disebut sebagai periode pembaruan
yang dimulai pada taun 1990-an, metode yang digunakan adalah metode manhaji,
jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Bentuk kemajuan dalam penetapan hukum
di LBM NU dengan metode ini adalah tak ada lagi kata mauquf atas persoalan yang
422_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sedang dibahas. Periode terakhir disebut juga dengan periode penjernihan. Pada masa
ini, LBM NU memagari diri dari arus pemikiran yang liberal dan kebablasan. Maka
muncullah gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah, pemurnian cara berfikir ala NU.
Keyword: Decision Making, Islamic Law, Method, Qauli, and Manhaji
A.Pendahuluan
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) adalah lembaga fatwa di kalangan
NU. Sebelum dilembagakan, bahtsul masail merupakan tradisi yang telah
mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU berdiri. Masingmasing pesantren punya forum semacam ini untuk menjawab persoalan
masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait hukum Islam.
Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan
kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU,
31 Agustus 1926.
Bisa dibilang, LBM adalah taswirul afkar-nya kaum pesantren setelah
NU lahir. Lembaga fatwa ini mempunyai keunikan khas yang berbeda
dengan lembaga fatwa yang dimiliki ormas Islam lain. Dalam penggalian
hukum, LBM NU tidak langsung merujuk pada al-Quran dan hadis, tapi
melalui kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning. Kitab-kitab ini
merupakan karya yang berhaluan pada empat mahdzab yang dijadikan
referensi pemikiran dan gagasan dalam pembahasan. Mengapa hanya
empat madzhab? Selain alasan pendapatnya yang telah terkodifikasi
dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas beberapa
alasan.
Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh
mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua,
mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _423
sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam
menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah.
Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat
mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis.
Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan
suatu masalah pada LBM NU. Kitab-kitab yang digunakan pun merujuk
pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat mahdzab tersebut.
Karena yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah
pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat
dalam satu kasus pun seringkali terjadi.
Nah, bagaimana cara menyelesaikan jika terjadi perbedaan pendapat
antar ulama, baik yang termaktub dalam satu kitab, atau kitab-kitab
lain yang sama-sama menjadi rujukan? Pada titik inilah penelitian ini
menjadi menarik. Penelitian ini akan menggali metode yang digunakan
dalam pengambilan hukum di LBM NU. Cara peneyelesaian perbedaan
pendapat dalam kitab-kitab rujukan LBM NU ini, tentu berbeda dengan
cara penyelesaian pertentangan antar ayat dalam al-Quran, atau antar
matan dalam hadis. LBM NU punya cara tersendiri dalam menyelesaikan
masalah khilafiyah dalam satu keputusan.
Uniknya, dinamika cara pengambilan keputusan hukum dalam
LBM NU ini begitu dinamis. Sejak awal berdiri hingga sekarang, telah
terjadi perkembangan yang cukup berarti terkait dengan metode istinbat
hukum. Jadi, cara pemgambilan hukum LBM NU dari masa ke masa
inilah yang akan ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini. Berikut ini
adalah perkembangan metode istinbat di LBM NU dalam memutuskan
hukum atas suatu perkara.
B.Periode Rintisan: Tashwirul Afkar dan Tuntutan Bermadzhab
Jejak Nahdlatul Ulama (NU), kalau ditelisik, sejatinya telah
mengakar dan mendarah daging di bumi Nusantara, jauh sebelum
organisasi ini lahir tahun 1926. Tanggal 31 Januari 1926 tak lebih hanya
424_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sebuah dentuman sejarah, di mana para ulama memproklamasikan
kemerdekaan dan kedaulatan tradisi keislaman yang mereka warisi dari
para pendahulunya, yang kini dikenal dengan Islam Indonesia, atau
Islam yang bersahabat dengan tradisi masyarakat Indonesia.
NU kala itu merupakan rumah besar yang dijadikan tempat berteduh
tradisi-tradisi Islam yang sudah ratusan tahun hidup dan berkembang
di Nusantara. Tradisi itu tidak berdiri sendiri atau diterima begitu saja,
tanpa adanya proses asimilasi pemikiran dan landasan epistemologis.
Tradisi yang berkembang di lingkungan NU selalu diperkuat dengan
argumentasi atau dalil yang bersumber dari kitab-kitab klasik yang
dikaji di pesantren.
Makanya, jangan coba-coba mempermasalahkan keabsahan tradisi
yang dilakoni Nahdliyyin, seperti tahlilan, selamatan, muludan, ziarah
kubur, memukul bedug, dan lain-lain., pasti mereka punya argumentasi
yang kuat dan jelas sumbernya. Ini membuktikan sejak dulu NU punya
prinsip dan tradisi intelektual yang kuat dan mengakar. Persoalan seharihari yang timbul di tengah-tengah masyarakat menjadi bagian dari tugas
kalangan pesantren untuk memberikan pencerahan.
Geliat intelektualisme semacam ini sudah jadi makanan kiai seharihari dan tentunya para santri di pesantren, jauh sebelum tahun 1926.
Biasanya, forum yang mereka gelar disebut syawir atau musyawarah dan
halaqah atau diskusi. Tradisi intelektual berkembang di pesantren melalui
pengajaran kitab-kitab kuning hasil karya para ulama dari berbagai
mazhab yang berkembang sejak masa-masa awal Islam.
Tradisi fiqih juga dikembangkan melalui forum kajian keagamaan
antarpesantren seperti bahtsul masail (pengkajian masalah-masalah
sosial keagamaan), dan forum-forum sejenis, baik yang mengkaji
masalah-masalah aktual (waqi’iyyah) maupun tematik (maudu’iyyah). Ini
menandakan bahwa proses transmisi pengetahuan dan pengembangan
wawasan di kalangan kiai-kiai dan pesantren begitu dinamis dan tak
pernah berhenti.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _425
Tahun 1918, dalam rangka mengembangkan pemikiran Islam di
Nusantara, KH. Abdul Wahab Chasbullah telah mendirikan kelompok
diskusi keislaman di perkotaan untuk merambah kalangan yang lebih
luas. Kelompok itu diberi nama Tashwirul Afkar, (eksplorasi pemikiran)
yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur.1
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang
terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang
diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi
sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak
tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap
penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia
juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar
tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi
muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar
hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke
daerah-daerah lain seluruh Jawa.
Kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalahmasalah keagamaan dan kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga
menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan kala
itu. Tema-tema yang dibahas pun terkait soal-soal kebangsaan dan
nasionalisme, terutama berkenaan dengan kezaliman penjajahan
Belanda.2 Kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik
untuk menentang penjajahan. Progresivitas berpikir dan bertindak
adalah kunci utama komunitas ini. Karena itu, halaqah ini berkembang
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keislaman dan kemasyarakatan.
Dalam perkembangannya, di samping Nahdlatul Wathan (1914) dan
Nahdlatut Tujjar (1918), eksistensi Tashwirul Afkar tidak bisa dilepaskan
426_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dari sejarah kelahiran NU, 1926. Justru, kelompok yang dibidani KH.
Wahab Chasbullah inilah embrio gagasan Ahlussunnah Wal Jamaah
(aswaja) ala NU kali pertama digelindingkan. Lalu, gagasan tersebut
dipatenkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU. Mbah
Hasyim dari awal tidak pernah menjelaskan secara rigid apa definisi
aswaja itu sesungguhnya, melainkan hanya menekankan pentingnya
berpegang teguh pada salah satu mahdzab yang telah ditetapkan.3
Menurut KH. Makruf Amin, genealogi pemikiran aswaja NU yang
mengajak umat Islam untuk bermahdzab ini banyak dipengaruhi oleh
ide-ide Syeikh Nawawi yang dituangkan dalam Nihayah al-Zain.4 Satu
misal, tercermin dengan pembatasan empat mahdzab dalam bidang fikih.
Sebab, kata Syeikh Nawawi, dibanding para fuqaha yang lain, pendapat
imam empat itu telah terkodifikasi dan disusun secara sistematis.
Aswaja model seperti itu yang dianut NU. Meski secara definisi aswaja
adalah ma ana alaihi wa ashabih, tapi NU tidak bisa mengambil pendapat
semua imam ahli fikih atau para sahabat yang jauh lebih senior. Seperti
Imam al-Baqir (57-114 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan al-Tsauri (w. 160
H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), dan lain-lain. Mengapa? Jawabnya
jelas, karena mahdzabnya belum terkodifikasi dan tersusun dengan baik.
Jadi, di mata kiai Ma’ruf, aswaja NU adalah “aswaja selektif”.5 Yaitu
mengikuti mahdzab Syafii, Maliki, Hambali, Atau Hanafi dalam bidang
fikih. Bidang aqidah merujuk pada imam al-Asy’ari atau al-Maturidi. Dan
terakhir, memilih Junaid al-Baghdadi atau al-Ghazali sebagai panutan
dalam lelakon tasawuf. Kalau begitu, aswaja sejatinya mengandung makna
yang amat luas, namun dengan adanya “aswaja selektif” ala NU, maka
keberadaannya disederhanakan, dikotak-kotakkan dalam mahdzab.
Mengapa terjadi? Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya
waktu itu.
Pertama, firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 43, “Maka bertanyalah
kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahuinya.” Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa orang awam
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _427
yang tidak mengetahui duduk persoalan dalam agama, atau soal-soal
lain, sebaiknya bertanya atau mengikuti pendapat orang-orang ahli atau
pakar.
Dalil inilah yang dijadikan argumentasi para ulama tentang
pentingnya bertaqlid pada suatu mahdzab bagi orang awam. Jika
tidak bertaqlid, tindakan atau perbuatan orang awam dikhawatirkan
menyimpang dengan ajaran agama Islam. Dengan adanya madzhab,
maka orang awam tidak akan susah-susah bertanya tentang suatu
masalah, tinggal mengikuti apa kata imam mahdzab yang termkatub
dalam kitab-kitabnya.
Kedua, dari sisi historis, para sahabat Nabi yang memiliki ilmu
keislaman yang tinggi dan mempunyai keahlian dalam menetapkan
fatwa itu jumlahnya sangat minim. Di samping itu, para sahabat Nabi
juga acapkali membuat suatu keputusan atau fatwa tanpa diketahui
dengan jelas dalil atau dasar hukumnya. Pemikiran mereka cenderung
tercerai berai dan tidak tersusun secara sistematis. Sehingga merujukknya
pun dirasa sulit. Jadi bukan karena para sahabat itu tidak lebih pintar
dari imam mahdzab yang dianut NU, tapi pemikiran mereka yang tidak
terkodifikasi dengan baik.
Ketiga, secara rasional akan nampak jelas, ketika ada orang awam
sedang menemukan suatu persoalan yang ia tidak tahu status hukumnya,
maka ada dua kemungkinan. Ia tidak berani bertindak karena belum tahu
dasar hukumnya. Atau bisa juga, ia asal bertindak tanpa memperdulikan
status hukum. Dua kemungkinan ini adalah pilihan yang tidak tepat.
Seharusnya, agar sampai pada tujuan dan tidak tersesat dijalan, sebaiknya
orang yang tidak tahu itu mengikuti pendapat orang yang lebih tahu dan
memahami persoalan.
Itulah beberapa argumentasi mengapa NU harus bermahdzab.
Pemikiran para imam mahdzab ini bisa dibilang sumber mata air yang
tak pernah kering mengalirkan pemikiran-pemikiran segar dan dinamis
di kalangan warga NU. Di antara tiga bidang (fikih, aqidah, tasawuf)
428_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang masuk dalam rumusan aswaja, ternyata bidang fikih lebih dominan
menyedot perhatian kalangan nahdliyyin. Maklum, karena pesantren
yang merupakan basis kekuatan NU adalah tempat rujukan masyarakat
dalam penyelesaian masalah hukum Islam.
Jika masyarakat menemukan masalah, dapat dipastikan, larinya ke
pesantren. Apa kata kiai, itulah jawabannya. Masalah yang mengemuka
di masyarakat adalah masalah sehari-hari, baik terkait dengan hukum
ibadah maupun muamalah. Karena itu, ruang lingkup pengkajiannya
pun seputar masalah fiqhiyyah. Hanya sedikit yang punya masalah soal
aqidah atau tasawuf.
Forum tanya jawab dan pembahasan masalah keagamaan seperti
ini, di kalangan NU, dikenal dengan bahtsul masail. Ini diadakan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis yang
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahtsul masail sejatinya adalah
tradisi yang telah mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU
berdiri. Masing-masing pesantren punya forum semacam ini untuk
menjawab persoalan masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait
hukum Islam.
Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan
kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir
NU, 31 Agustus 1926. Namun, secara institusional, baru mengemuka
pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tahun 1989. Saat itu, Komisi I
merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul
Masail Diniyah sebagai lembaga permanen yang fokus pada soal-soal
keagamaan.
Rekomendasi Komisi I digodok lagi dalam halaqah Denanyar, 26-28
Januari 1990, di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang,
Jawa Timur. Halaqah ini juga menghasilkan rekomendasi untuk
membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Lajnah ini diharapkan jadi
tempat bertemunya para ulama dan intelektual di lingkungan NU untuk
duduk bersama membahas permasalahan keagamaan yang terjadi di
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _429
masyarakat, atau bisa disebut istinbat jama’i, penggalian dan penetapan
hukum secara kolektif.
Berdasarkan rekomendasi-rekomendasi resebut, akhirnya PBNU
menerbitkan Surat Keputusan No. 30/A.I.05/5/1990 perihal terbentuknya
Lajnah Bahtsul Masail Diniyah.6 Sejak itu, lajnah ini menjadi forum resmi
yang memiliki wewenang menjawab segala permasalahn keagamaan
yang dihadapi warga NU. Di sinilah tempat kawah candradimukanya
para intelektual pesantren beradu argumen dalam pembahasan persoalan
keagamaan.
Lajnah Bahtsul Masail, menurut kiai Makruf, adalah taswirul afkar-nya
kaum pesantren setelah NU lahir.7 Dalam pergulatan bahtsul masail, tidak
bisa dilepaskan dari empat mahdzab yang dijadikan referensi pemikiran
dan gagasan dalam pembahasan. Selain alasan pendapatnya yang telah
terkodifikasi dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas
beberapa alasan.
Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh
mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua,
mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka
sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam
menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah.
Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat
mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis.8
Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan
suatu masalah pada forum bahtsul masail. Kitab-kitab yang digunakan
pun merujuk pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat
mahdzab tersebut, atau dikenal dengan sebutan “kitab kuning”. Karena
yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah pendapat
ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat dalam satu
kasus pun seringkali terjadi.
Untuk bisa memilih, pendapat mana atau siapa yang didahulukan?,
Muktamar I di Surabaya sudah memberikan rambu-rambu yang
430_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menunjukkan tingkat kualitas pendapat ulama di antara berbagai
pendapat (qaul) yang bertaburan. Peringkat tersebut yaitu:
Peringkat pertama, pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani, yaitu
imam Nawawi dan imam Rafii. Kedua, pendapat Imam Nawawi. Ketiga,
pendapat imam Rafii. Keempat, pendapat yang didukung oleh jumhur
atau mayoritas ulama. Kelima, pendapat ulama yang terpandai. Dan
terakhir, pendapat ulama yang paling wara’, yaitu menjauhkan diri dari
dosa, kemaksiatan, dan sesuatu yang masih meragukan hukumnya atau
subhat.9
Adanya peringkat ini merupakan bentuk kehati-hatian kalangan
NU dalam memecahkan persoalan dan menetapkan hukum Islam.
Kiai-kiai NU mempunyai karakteristik dalam beristinbat. Mereka tidak
pernah menjawab persoalan langsung bersumber dari al-Quran atau
hadis. Mereka memandang, matarantai khazanah intelektual itu tidak
boleh terputus, dari periode ke periode. Apabila menjawab persoalan
langsung bersumber dari al-Quran atau hadis, berarti ada matarantai
pemikiran yang terputus dan terlompati. Ini tidak dibenarkan dalam
tradisi intelektual NU.
Prinsip ini tergambar jelas seperti dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari
dalam pengantar Anggaran Dasar NU.
“Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari
golongan Ahlussunah Wal Jamaah, golongan madzhab imam yang
empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum
kalian dan begitu seterusnya secara bersambung sampai kepada kalian.
Dan engkau sekalian tak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari
agama. Maka oleh karenanya, kalianlah gudang bahkan pintu ilmu
tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya.
Barang siapa memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka ia disebut
pencuri.”10
Pada titik ini, peran ulama madzhab empat begitu dominan, terutama
melalui karya-karya yang dikategorikan sebagai kitab-kitab mu’tabarah
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _431
(diakui). Kitab-kitab inilah yang dijadikan pintu masuk untuk memahami
segala persoalan yang berkembang di masyarakat. Di pesantrenpesantren yang menjadi basis NU, kitab-kitab itu jamak disebut “kitab
kuning”. Siapapun yang mau memahami nash al-Qur’an atau hadis,
tidak bisa langsung melakukan interpretasi berdasarkan nash an sich,
tapi harus melalui matarantai kitab-kitab kuning yang sudah dianggap
mu’tabarah tadi.
Saking sentralnya, kaitan kitab kuning dengan ormas Islam terbesar di
Indonesia ini pun tak terpisahkan. Warga nahdliyyin menempatkan kitab
kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama
yang menyangkut masalah hukum ibadah atau ritual, akhlak atau
perilaku, dan mu’amalah atau hubungan sosial. Perilaku warga NU itu
tercermin dari cara mereka bersikap. Ketika warga menemui persoalan,
rujukannya adalah bertanya ke kiai. Lalu, kiai menjelaskan berdasarkan
keterangan dari kitab kuning.
Meski dalam bidang fikih NU mengikuti empat madzhab, mayoritas
kitab yang dikaji di pesantren adalah kitab-kitab karya para ulama
Syafi’iyah. Mulai dari kitab fikih tingkat dasar, seperti Safinatun Naja,
Taqrib, Kifayatul Ahyar; menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab,
Fathul Mu’in, I’anatuth Thalibin, Hasyiyah Bajuri, Muhazzab; hingga
tingkat tinggi seperti Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, AlMuharrar, Majmu Syarh Muhazzab. Semuanya merupakan susunan para
ulama mazhab Syafi’i.
Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum
hasil ijtihad Imam Syafi’i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para
ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam
Syafi’i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang
menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah
lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi’i, baik yang
ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang
lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau
Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.
432_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil
ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri
mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang
menggali langsung dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Yang
mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat
temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam
Alquran dan Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam
Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.
Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab kuning di
kalangan NU, setidaknya ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati.
Pertama, cara pandang masyarakat NU terhadap pesantren. Pesantren
jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘subkultur’ yang mengembangkan
pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di
samping faktor kepemimpinan kiai-ulama, kitab kuning adalah faktor
penting yang menjadi karakteristik subkultur itu.
Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab
yang terus ‘diwariskan’ turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai
sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas.
Dengan begitu, ini merupakan bagian dari sebuah proses berlangsungnya
pembentukan dan pemeliharaan subkultur yang unik tersebut.
Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai
‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab
kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai
keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan
Islam masa tabiin dan sahabat.
Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya
membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering
mendengar sebuah hadis yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “alulamâ warosatul anbiyâ”, ulama adalah pewaris para Nabi. “Apapun
masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning.” Itulah ungkapan mudah
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _433
untuk menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning
seperti dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat
terselesaikan olehnya.
Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning. Ternyata segi
dinamisnya adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih yang
didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu
humanistik (adab). Pesantren NU yang akrab dengan khazanah klasik
kitab kuning inilah yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain
yang lebih cenderung pada adopsi terhadap keilmuan Barat.
Dalam penggalian hukum dalam kitab-kitab kuning yang dianggap
mu’tabarah itu tidak asal-asalan, tapi NU punya standar istinbat.
Pertama, metode qauli. Yaitu penggalian hukum berdasarkan pendapat
ulama fikih yang sudah tertera dalam kitab-kitab mu’tabarah. Apapun
pertanyaan yang muncul tinggal dicarikan jawabannya saja. Kalau tidak
ada dalam kitab yang satu, buka kitab-kitab yang lain, sampai ketemu.
Jika telah ditemukan, maka itulah jawabannya. Jadi, pada dasarnya
tidak sampai menggali hukum, tapi hanya “searching pendapat” saja,
lalu disampaikan. Dengan metode ini maka hukum sudah langsung bisa
diketahui tanpa perlu mengotak-atik nash. Tinggal mencomot pendapat
yang sudah jadi saja.
Meski begitu, ada ketentuan baku dalam pemilihan pendapat (qaul)
siapa yang akan dijadikan dasar hukum. Jika jawaban atas masalah telah
ditemukan dalam kitab rujukan, maka ditelusuri lagi, apakah semua
ulama sepakat (satu qaul) atau ada pendapat lain (beberapa qaul). Kalau
tidak ada beda pendapat, berarti jawaban kasus itu telah jelas. Tinggal
menetapkan hukum sesuai yang telah tertera dalam kitab-kitab tersebut.
Bila dalam satu kasus terdapat beberapa pendapat, maka pendapatpendapat itu harus dikompromikan (taqrir jama’i). Jika alot, maka diambil
qaul yang paling kuat (arjah). Bila setelah diteliti, ternyata tidak ada yang
paling kuat maka ditetapkan adanya dua alternatif jawaban (fihi qaulani
atau aqwal).11
434_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ini bisa dilihat dalam keputusan bahtsul masail NU, pada muktamar
I (21-23 September 1926), tentang boleh atau tidaknya harta dari zakat
digunakan untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok pesantren,
yang dianggap bisa disamakan dengan sabilillah. Jawabnya adalah tidak
boleh. Karena yang dimaksud sabilillah adalah mereka yang berperang
untuk membela agama Allah. Jawaban ini bersumber dari kitab Rahmatul
Ummah. Di sana dikatakan dengan redaksi yang jelas, “Para ulama
sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan harta zakat untuk mendirikan
masjid atau mengafani mayat.”12
Kedua, metode ilhaqiy. Ini mirip dengan metode qiyas, menyamakan
hukum perkara yang belum disebutkan dalam teks (al-Quran dan hadis)
dengan perkara yang sudah dijelaskan dalam teks. Bedanya, dalam
ilhaqiy, yang dijadikan sandaran adalah hukum yang sudah termaktub
dalam kitab-kitab mu’tabarah. Jadi, bila suatu masalah tidak ditemukan
redaksinya dalam kitab-kitab kuning yang dianggap sudah mu’tabarah
itu, maka jalan keluarnya adalah ilhaqu masa’il binadhairiha, menyamakan
hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus serupa
yang telah dijawab oleh kitab.
Dalam penggunaan metode ini ada prosedur ilhaq yang harus
dipenuhi: mulhaq bih (perkara yang belum ada ketetapan hukumnya),
mulhaq alaih (perkara yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh
al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq alaih). Semua itu
ditentukan oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang sudah ahli.13
Contohnya adalah hukum jual beli petasan untuk merayakan hari
raya atau acara pengantin. Keputusan bahtsul masail pada Muktamar
II (9-11 Oktober 1927) menyatakan, hukum jual beli tersebut adalah sah.
Karena, ada maksud baik yaitu membuat suasana ramai dan perasaan
gembira dengan adanya suara petasan.14
Pendapat ini didasarkan pada kitab I’anah al-Thalibin juz III/121-122.
“Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan,
makanan, pakaian, dan hadiah, maka tidak termasuk tindakan yang sia-
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _435
sia. Menurut pendapat yang terkuat, mengapa diperbolehkan?, karena
didalamnya mengandung tujuan besar, yaitu mendapatkan pahala atau
bersenang-senang. Karena itu dikatakan, dalam hal kebaikan tidak ada
yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf.”
Pada kitab Al-Bajuri (h. 652-654) diterangkan, “Menjual sesuatu yang
dapat dilihat (dihadirkan) itu diperbolehkan asal memenuhi persyaratan:
barang itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh
pembeli.”
Dari rujukan di atas, tak ada yang mengatakan secara eksplisit hukum
jual beli petasan, yang ada hanya uraian singkat tentang diperbolehkannya
membelanjakan harta untuk kebaikan dan kesenangan. Kemudian soal
keabsahannya merujuk pada keabsahan jual beli benda-benda yang
dapat dihadirkan, suci, dan bermanfaat. Jadi wajh al-ilhaq-nya adalah
sama-sama benda suci dan bermanfaat.
Menurut Kiai Ma’ruf, dua metode ini pada dasarnya belum beranjak
dari nalar copy-paste dari teks (qauli). Kedua metode ini masih terbilang
tekstual. Karena itu, ada masalah besar yang dihadapi para ulama NU
kala itu, banyak permasalahan yang tidak ada jawabannya, atau disebut
mauquf. Ini tentu memprihatinkan, mengingat problem yang muncul
adalah masalah kontemporer yang dihadapi masyarakat sekarang. Di
sinilah letak kelemahan kitab-kitab mu’tabarah itu, ternyata tidak semua
masalah itu sudah termaktub di sana. Ini wajar, sebab kitab-kitab itu
ditulis pada ratusan tahun yang lalu.
Terjadinya keputusan mauquf atas beberapa masalah ini memang
disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, pertama, kitab-kitang kuning
yang dianggap mu’tabarah itu sudah tidak mampu menjangkau
persoalan yang timbul belakangan. Banyak sekali masalah kekinian yang
belum disinggung oleh kitab-kitab tersebut. Kedua, para kiai NU belum
berani memutuskan hukum suatu masalah keluar dari rujukan kitabkitab mu’tabarah. Apalagi, menginterpretasikan langsung dari al-Qur’an
atau hadis.
436_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ketiga, para kiai NU belum berani bermadzhab kepada imam madzhab
empat secara manhaji (metodologi). Keempat, dalam praktik istinbat
hukum, para kiai masih terpaku pada pendapat ulama-ulama madzab
syafii saja, seperti al-Nawawi dan al-Rafii. Padahal, NU memberikan
keleluasaan untuk mengikuti empat madzhab. Karena itulah mahtsul
masail di NU, terutama pada tahun 1980-an, mengalami banyak
kebuntuan. Para kiai NU terkesan gagap dalam menghadapi masalah
modernitas, dan Lajnah Bahtsul Masail kurang memadai dalam menjawab
tantangan zaman.
Kiai Ma’ruf Amin menamai fenomena ini dengan sebutan bermadzhab
secara tekstual. Karena mengikuti apa adanya yang dikatakan oleh imam
madzhab atau murid-muridnya. Kalau begini adanya maka hukum
Islam menjadi statis dan sangat normatif. Akibatnya, banyak masalah
yang menemui jalan buntu (di-mauquf-kan). Ketika masalah dihukumi
mauquf, maka yang bingung adalah masyarakat. Merekalah yang
sehari-hari berhadapan dengan masalah itu. Mereka butuh penjelasan
keputusan hukum yang cepat, realistis, dan tetap tidak menyimpang
dari koridor ketentuan agama Islam.
Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, dibutuhkan langkah terobosan
atas kemandegan yang selama ini dialami para kiai dalam istinbat
hukum. Maka, perlu cara alternatif dalam penetapan hukum di NU.
Bukan berarti saatnya meninggalkan kitab-kitab kuning di pesantren,
tapi mencari metode baru yang kontekstual dan tetap menjadikan kitabkitab mu’tabarah sebagai pijakan.
C.Periode Pembaruan: Perpaduan Qauli dan Manhaji
Pada era 1980-an, forum-forum bahtsul masail NU sering kali
menemukan kebuntuhan, masalah yang mengemuka tak ditemukan
qaulnya dalam kitab-kitab. Karena itu, masalah-masalah pun terpaksa
di-mauquf-kan. Mengapa? Metode qauli nampaknya kurang efektif
menjawab tantangan zaman. Saatnya pembenahan dan penyegaran
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _437
metode istinbat dalam lajnah bahtsul masail. Usulan pembaruan metode
ini lamat-lamat didengungkan oleh beberapa kalangan di NU. Mereka
umumnya menganggap penting peninjauan ulang metode bahtsul
masail yang selama ini berjalan.
Metode qauli saja dianggap tidak cukup untuk membahas
permasalahan kekinian yang membludak. Perlu metode baru yang tidak
kaku, lebih applicable, dan kontekstual dalam pemahaman teks. Salah satu
tokoh yang perihatin dengan kondisi bahtsul masail NU yang sedang
mandeg ini adalah kiai Makruf Amin, yang waktu itu menjabat sebagai
Katib Aam PBNU. Karena itu, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama
(Munas) NU di Bandar Lampung, tahun 1992, ia begitu bersemangat
untuk merumuskan sistem baru dalam pengambilan keputusan hukum
dalam bahtsul masail, yaitu metode manhaji.
“Mulai 1992 para kiai tidak tekstual atau qaulan saja, tapi juga tekstual
atau manhajan,” kata Kiai Ma’ruf Amin.15 Masalahnya, jika persoalan
hukum yang di-bahtsul masa’il-kan sangat krusial dan harus diputus
waktu itu juga, sementara para kiai yang berkumpul dari seluruh
Indonesia berkata, “Kami tidak berani bersuara karena qaul-nya tidak
ada,” lalu kemana lagi umat akan mengadu? Maka, penerapa metode
manhaji dari empat madzhab inilah yang dijadikan jalan keluar untuk
menjawab persoalan kontemporer.
Kalau ditelaah, istilah metode manhaji ini tidak langsung ujugujug muncul di Munas Lampung. Tapi ada proses pergulatan yang
melatarbelakangi. Bermula pada tahun 1988, atas restu Rais Syuriah
NU wilayah Jawa Tengah KH. MA. Sahal Mahfudh dan Rais Syuriah
NU wilayah Jawa Timur KH. Imran Hamzah, halaqah yang bersifat
nasional digelar di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang,
Jawa Tengah. Tema yang diangkat adalah Telaah Kitab Kuning secara
Kontekstual.16
Pertemuan yang digelar dari tanggal 15-17 Desember ini ternyata
mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari kiai-kiai sepuh maupun
438_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
anak-anak muda NU yang berbasis di kampus. Di penghujung acara,
halaqah ini merumuskan lima rekomendasi.
Pertama, Memahami teks kitab klasik harus disertai dengan analisis
terhadap konteks sosial historisnya. Kedua, mengembangkan kemampuan
observasi dan analisis terhadap teks kitab kuning. Ketiga, memperbanyak
studi banding (muqabalah) dengan kitab-kitab lain, baik dalam ligkup
madzhab Syafii maupun madzhab lainnya. Keempat, meningkatkan
intensitas diskusi dengan para intelektuual dan pakar, jika masalah yang
dikaji berkaitan dengan fenomena sosial di luar kitab kuning. Terakhir,
mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual
dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.17
Rekomendasi ini terus didengungkan di berbagai forum, terutama di
halqah-halaqah internal pesantren. Dengan tujuan agar gagasan ini juga
bisa dimengerti dan dipahami oleh kalangan pesantren. Pertengahan
bulan Oktober 1989, menjelang Muktamar XXVIII, forum serupa digelar.
Halaqah kali ini digelar di pondok pesantren al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta, dengan tema yang lebih besar, “Masa Depan NU”. Halaqah
ini melakukan telaah kembali tentang makna “bermadzhab” yang
selama ini berkembang di NU. Kesimpulan saat itu, bermadzhab itu
tidak semata-mata qauli, mengikuti pendapat imam. Tapi bermadzhab
juga bisa secara manhaji, mengikuti metodologinya.18
Muktamar XXVII usai. Sayang, tak ada perubahan mendasar yang
dihasilkan pertemuan kiai-kiai NU lima tahunan itu, terutama terkait
metode istinbat bahtsul masail. Untuk kembali mendengungkan metode
manhaji, halaqah pengkajian metode bahtsul masail kembali digelar.
Kali ini dilaksanakan di pondok pesantren Manbaul Maarif Jombang.
Pertemuan kali ini menghasilkan gagasan penetapan hukum dalam
bahtsul masail yang lebih responsif.19
Pertama, memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan sistem bermadzhab
adalah cara yang terbaik. Kedua, bermadzhab itu ada dua model,
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _439
bermadzhab secara qauli dan manhaji. Ketiga, bagi orang awam
pilihannya adalah bermadzhab secara qauli. Sedang bagi individu yang
memiliki perangkat keilmuan tapi belum mencapai derajat mujtahid
muthlaq mustaqil, mujtahid yang sepenuhnya mandiri, maka bermanhaj
dilakukan secara manhaji.
Keempat, bermadzhab manhaji dilakukan dengan cara istinbat jama’i,
penggalian dan penetapan hukum secara kolektif. Ini bisa dilakukan
bila ditemukan ayat aqwal (beberapa pendapat) dari madzhab empat
oleh para ahlinya. Adapun terhadap hal-hal yang ditemukan aqwalnya,
namun masih berbeda (mukhtalaf fiha), maka dilakukan taqrir jama’i,
penetapan secara kolektif. Kelima, bermdzhab baik manhaji maupun
qauli dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat.
Hasil dari rangkaian halaqah yang digelar di pesantren-pesantren
itulah yang kemudian diusung di Munas Alim Ulama NU di Bandar
Lampung, 1992. Gagasan dan rekomendasi yang ditelorkan di halaqah
itu dibahas pada forum Munas Lampung. Akhirnya usaha untuk
memecah kebekuan metodologi bahtsul masail di NU berbuah manis.
Ini tak bisa dilepaskan dari peran kiai Ma’ruf Amin, yang saat itu bagian
dari kelompok “NU tua” dan strtuktural, yang begitu bersemangat untuk
menggolkan metode ini.
“Ini adalah bagian dari dinamisasi pemikiran di NU,” kata kiai Ma’ruf.
NU itu sebenarnya sangat akomodatif dan fleksibel dengan perubahan
demi kemajuan. “Ini adalah buktinya,” imbuhnya.20 Sikap NU ini bisa
dilihat dari hasil rumusan keputusan Munas yang dibidani oleh kiai
Ma’ruf Amin, terkait dengan alur prosedur penetapan hukum di bahtsul
masail NU.21
1. Dalam kasus ketika jawaban cukup dengan ibarat kitab dan di
sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah
sebagaimana diterangkan dalam ibarat mereka.
2. Dalam kasus ketika jawaban bias dicukupi oleh ibarat kitab dan disana
440_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk
memilih satu qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha
secara jama’i oleh para ahlinya.
4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan ilhaq, maka bias dilakukan istinbat jama’i dengan prosedur
bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
Munas di Lampung saat itu juga menghasilkan terobosan gagasan
kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah
sosisal. Pertama, analisa masalah dan dampaknya. Kajian ini dimulai
dari pembahasan sebab dan mengapa suatu kasus bisa terjadi. Setelah
itu, baru dianalisa dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam
menganalisa suatu masalah dan dampak disyaratkan adanya tinjauan
dari berbagai factor, mulai dari faktor ekonomi, faktor budaya, foktor
politik, faktor sosial dan lainnya.
Kedua, analisa hukum. Usai mempertimbangankan latar belakang
dan dampak, keputusan bahtsul masail juga harus memperhatikan
pertimbangan dari sudut pandang Islam dan hukum posistif. Jika
dirinci, setidaknya analisa hukum itu meliputi Status hukum (al-ahkam alkhamsah), dasar dari ajaran Ahlussunah wal jamaah, dan hukum positif.
Ketiga, analisa tindakan. Analisa ini meliputi peran dan pengawasan.
Apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa diatas. Lalu,
siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal
itu hendak dilakukan? Serta, bagaimana mekanisme pemantauan agar
semua berjalan sesuai dengan rencana? Langkah-langkah yang bisa
ditempuh dalam beberapa analisa tindakan.
(a) Jalur politik. Berusaha pada jalur kewenangan negara dengan
sasaran mempengaruhi lebijaksanaan pemerintah. (b) Jalur budaya.
Berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _441
berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain). (c)
Jalur ekonomi. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat). (d) Jalur sosial
lainnya. Upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan
seterusnya).
Poin terobosan dan terbaru dari prosedur penetapan hukum adalah
penetapan metode manhaji, jika metode qauli sudah tak lagi berkutik.
Dengan menggunakan metode ini, secara otomatis kerangka analisis
masalah juga harus dilakukan. Penerapan metode ini, menurut kiai
Ma’ruf, harus mengikuti secara hirarkis metode istinbat yang diterapkan
oleh empat imam madzhab. Berarti harus mengikuti jalan pikiran dan
kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.22
Pertama, Madzhab Hanafi. Ada tujuh tahapan yang diterapkan
madzhab hanafi dalam penetapan hukum. Secara berurutan mulai dari
al-Qur’an, al-hadis al-shahih, aqwâl al-shahâbah, qiyâs, al-istihsan, ijmâ’ dan
al-‘urf.
Kedua, Madzhab Maliki. Hirarki penetapan hukum yang digunakan
madzhab ini yaitu: al-Quran, al-hadis al-Shahih, Ijma Sahabat, Amal Ahl
Madinah, fatwa sahabat, qiyas, al-istihsan, al-mashalih al-mursalah, dan
al-zara’i.
Ketiga, Madzhab Syafii. Penetapan hukumnya melalui empat urutan
metodologi: al-Quran, al-hadi al-shahih, Ijma, aqwal al-shahabah, qiyas.
Keempat, Madzhab Hambali. Metode penetapan hukumnya
berdasarkan hirarki sebagai berikut: nas, ijma, qiyas, al-mashalih almursalah, al-istihsan, al-zara’i, fatwa shahabat, dan al-istishab.
Munas di lampung, bagi kiai Ma’ruf, adalah masa tajdid di NU. Dulu
yang hanya menggunakan qauli saja, kini menggunakan qauli wa manhaji,
dulu tekstual kini kontekstual. Bentuk kemajuan dalam penetapan
hukum di bahtsul masail ini langsung terlihat di forum Munas tersebut.
Saat itu, tak ada lagi kata mauquf. Pada Munas Lampung 1992, bahtsul
masail telah membahas hukum bunga bank. Dalam penetapan hukum
442_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
bunga bank, para peserta musyawarah punya pandangan yang berbedabeda. Jika diklasifikasi, ada tiga pendapat.
1. Pendapat yang menyamakan antara bunga bank dengan riba secara
mutlak, jadi hukumnya haram.
2. Pendapat yang tidak menyamakan antara bunga bank dengan riba,
berarti hukumnya boleh.
3. Pendapat yang mengatakan hukumnya syubhat, tidak indentik
dengan haram.
Pendapat pertama berpijak pada beberapa argumentasi, antara lain:
a. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga
hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi
boleh dipungut sementara sebelum beroperasinya system
perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu sama dengan riba, hukunmya haram. Akan tetapi boleh
dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Sedang pendapat kedua berpegangan pada beberapa kesimpulan,
antara lain:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga
produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan
riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank
hukumnya boleh.
d. Bunga yang tidak haram, kalau bank itu menetapkan tariff
bunganya terlebih dahulu secara umum.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _443
Sebelum Munas di Lampung, pembahasan hukum bunga bank
ini sudah berkali-kali digelar, tapi belum sampai pada titik klimak
kesimpulan. Antara lain, Muktamar II tahun 1927 yang memutuskan
haramnya bunga gadai; Muktamar XIV tahun 1937 mengenai keharaman
bunga bank; Muktamar XIV tahun 1939 memutuskan bahwa bunga
koperasi haram; Konbes Syuriah NU tahun 1957 yang menegaskan
keharaman bunga bank; Muktamar XXV tahun 1971 mengharamkan
bunga deposito; Munas NU tahun 1987 menetapkan bahwa uang
administrasi bagi peminjam uang koperasi itu sama dengan bunga, jadi
hukumnya haram.
Jadi, pembahasan hukum bunga dalam transaksi keuangan baru
mencapai klimak ketika bahtsul masail di Munas Lampung. Pada aras
ini, posisi kiai Ma’ruf berada pada kelompok yang mengharamkan
bunga bank dengan perkecualian ketika dalam keadaan dharurat,
misalnya ketika seseorang berada pada suatu daerah yang banknya
belum menggunakan sistem tanpa bunga.
Bagi kiai Ma’ruf, bunga bank itu sama persis dengan praktik riba.23
Karena itu, dalil-dalil pengharamannya pun sudah jelas termaktub
dalam nas, baik al-Qur’an maupun hadis. Dalil pertama, bersumber dari
al-Qur’an. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130:
ِ َ‫ﺲ ﻣﺎ ﻋ ِﻤﻠ‬
ِ
ِ
‫ﺖ ِﻣ ْﻦ‬
َ ‫ﺖ ﻣ ْﻦ َﺧ ٍْﲑ ُْﳏ‬
ْ َ‫ﻀًﺮا َوَﻣﺎ َﻋﻤﻠ‬
ْ َ َ ٍ ‫ﻳَـ ْﻮَم َﲡ ُﺪ ُﻛ ﱡﻞ ﻧَـ ْﻔ‬
ٍ
‫ﻴﺪا َوُﳛَ ﱢﺬ ُرُﻛ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ َواﻟﻠﱠ ُﻪ‬
ً ِ‫ُﺳﻮء ﺗَـ َﻮﱡد ﻟَ ْﻮ أَ ﱠن ﺑـَْﻴـﻨَـ َﻬﺎ َوﺑَـْﻴـﻨَﻪُ أ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌ‬
. ‫وف ﺑِﺎﻟْﻌِﺒَ ِﺎد‬
ٌ ُ‫َرء‬
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan
(dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau
kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan
kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hambaNya.” (QS. Ali Imran: 130)
ِ ‫ﻳﺎ أَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ‬
‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ ِﻣ َﻦ اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ‬
‫ﺬ‬
َ َ
َ
ِ‫ﻣ ْﺆِﻣﻨ‬
ٍ ‫ ﻓَِﺈ ْن َﱂ ﺗَـ ْﻔﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ِﲝَﺮ‬. ‫ﲔ‬
‫ب ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ َوإِ ْن ﺗُـْﺒﺘُ ْﻢ‬
َ
َ ْ
ُ
ْ
. ‫ﻓَـﻠَ ُﻜﻢ رءوس أَﻣﻮاﻟِ ُﻜﻢ ﻻ ﺗَﻈْﻠِﻤﻮ َن وﻻ ﺗُﻈْﻠَﻤﻮ َن‬
‫وف ﺑِﺎﻟْﻌِﺒ ِ‬
‫‪.‬‬
‫ﺎد‬
‫ِ‬
‫رء ِ‬
‫ِ‬
‫ﻀﺮا وﻣﺎ ﻋ َِ‬
‫ٍ‬
‫ٍ‬
‫ﳏ‬
‫ﲑ‬
‫ﺧ‬
‫ﻦ‬
‫ﻣ‬
‫ﺖ‬
‫ﻠ‬
‫ﻤ‬
‫ﻋ‬
‫ﺎ‬
‫ﻣ‬
‫ﺲ‬
‫ﻔ‬
‫ـ‬
‫ﻧ‬
‫ﺖ ِﻣ ْﻦ‬
‫ﻠ‬
‫ﻤ‬
‫ﻳََـ ُْﻮَم ٌَﲡ ُﺪ ُﻛ َﱡﻞ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ُْ َ ً َ َ َ ْ‬
‫ﻳـﻮمٍ َِ‬
‫‪ِIslam‬ﻤﻠَ‪ِ Bimas‬‬
‫ﺲ ﻣﺎ ﻋ ِ‬
‫ﺖ ِﻣ ْﻦ َِﺧ ٍْ‬
‫ٍ‬
‫ﳏ‬
‫ﲑ‬
‫ﻠ‬
‫ﻤ‬
‫ﻔ‬
‫ـ‬
‫ﻧ‬
‫ﻞ‬
‫ﻛ‬
‫ﺪ‬
‫‪No.III‬رﻛَوﻢَﻣ‬
‫ﻀﱢﺬًﺮا‬
‫ﲡ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫َ‬
‫ﱡ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫‪444_Jurnal‬‬
‫‪2013‬‬
‫ﺖﺴﻪُﻣ َْﻦواﻟﻠﻪُﱠ‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫‪Vol.6.‬ﺎاﻟﻠﱠَﻋﻪُ ﻧـَ ْﻔ ْ‬
‫َ‬
‫َُْﺳ َﻮء ﺗَـ َﻮﱡد ﻟَ ْﻮ أ ﱠن ﺑـَْﻴـﻨَـََﻬﺎ َوﺑَـْﻴـﻨَﻪُ أ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌ ً‬
‫ﻴﺪا َوُﳛَ ُُ ُ‬
‫َ‬
‫ﺳٍ‬
‫‪Firman‬اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
‫‪ْAllah‬ﻔ َﺴﻪُ َو‬
‫‪surat‬ﱢﺬ ُرُﻛ ُﻢ‬
‫ﻴﺪا َوَُﳛ‬
‫‪َ278-279:‬وﺑَـْﻴـﻨَ ُﻪ‬
‫وفَﻮﺑِﱡدﺎﻟْﻟَﻌِْﺒﻮ أَِﺎد ﱠن‪ .‬ﺑـَْﻴـﻨَـ َﻬﺎ‬
‫ﻮء ﺗَـ‬
‫‪dalam‬اﻟﻠﱠﻪُ ﻧـَ‬
‫‪al-Baqarah‬‬
‫‪ ayat‬أ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌِ ً‬
‫َرُءُ ٌ َ‬
‫وفﺎ ﺑِاﺎﻟﱠﻟْﺬﻌِ‬
‫ﺒ‬
‫ﻳَرﺎءُ أَﻳـﱡ ٌَﻬ‬
‫ﻳﻦِﺎد ‪َ.‬آﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ ِﻣ َﻦ اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ِِ‬
‫ﲔ ‪ .‬ﻓَِﺈ ْن َﱂ ﺗَـ ْﻔﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ِﲝَﺮ ٍ‬
‫ب ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ َوإِ ْن ﺗُـْﺒﺘُ ْﻢ‬
‫ُﻣ ْﺆﻣﻨ َ‬
‫ْ َ‬
‫ْ‬
‫ِ‬
‫ﻓَـﻠَ ُﻜﻢ رءﱠ ِوس ِ‬
‫ﻳﻦ أ َْﻣَآﻣَﻮﻨُاﻟﻮاُﻜاﺗْﱠـﻢ ُﻘﻮاﻻ ﺗَاﻟﻠﱠﻈْﻪَﻠ ُﻤَوﻮَذ َُرنواَوَﻣﻻﺎ ﺗُﺑَِﻘﻈْﻠََﻲُﻤ ِﻮﻣ َنَﻦ ‪.‬اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ‬
‫ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َْﻬﺎ ُاُﻟﺬ ُ‬
‫َ‬
‫‪bertakwalah‬وا ٍﻣﺎِ ﺑ ِ‬
‫‪tinggalkan‬اﻟﱠ ِ‬
‫‪Hai orang-orang‬‬
‫‪kepada Allah dan‬‬
‫‪beriman,‬ﻲ ِ‬
‫‪ yang‬اﻟﱢﺮﺑﺎِِإِ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ﻳَﻣﺎﺆأَِ‬
‫ﻢ‬
‫ﺘ‬
‫ﻨ‬
‫ﻛ‬
‫ن‬
‫ﻦ‬
‫ﻣ‬
‫ﻘ‬
‫ر‬
‫ذ‬
‫و‬
‫ﻪ‬
‫ﻠ‬
‫اﻟ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻘ‬
‫ـ‬
‫ﺗ‬
‫ا‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻨ‬
‫آﻣ‬
‫ﻳﻦ‬
‫ﺬ‬
‫‪Maka‬ﻳـﱡﻨَِﻬﺎ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫ﱠ‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫‪Riba‬ﺘُ ْﻢ‬
‫‪ْ (yang‬ن ﺗُـْْﺒ‬
‫‪belum‬ﻮﻟﻪ َوإ‬
‫)‪ََ dipungut‬وَر ُﺳ‬
‫ب ﻣ َﻦ َاﻟﻠﻪ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻧ‬
‫ذ‬
‫ﺄ‬
‫ﻓ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻠ‬
‫ﻌ‬
‫ﻔ‬
‫ـ‬
‫ﺗ‬
‫ﱂ‬
‫ن‬
‫ﺈ‬
‫ﻓ‬
‫‪.‬‬
‫ﲔ‬
‫ﻣ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫‪sisa‬‬
‫ﲝَُﺮ‪jika‬‬
‫‪kamu‬‬
‫‪orang-orang‬‬
‫‪yang‬‬
‫‪beriman.‬‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َْ‬
‫ُْ َ‬
‫‪ْ ُ sisa riba),َ maka‬‬
‫‪jika kamu tidak‬‬
‫‪mengerjakan‬‬
‫‪(meninggalkan‬‬
‫‪ketahuilah,‬‬
‫‪bahwa‬‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ﻣ ْﺆِﻣﻨِ‬
‫ِ‬
‫ٍ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ﱠ‬
‫ْ‬
‫ﻢ‬
‫ﺘ‬
‫ﺒ‬
‫ـ‬
‫ﺗ‬
‫ن‬
‫إ‬
‫و‬
‫ﻪ‬
‫ﻟ‬
‫ﻮ‬
‫ﺳ‬
‫ر‬
‫و‬
‫ﻪ‬
‫ﻠ‬
‫اﻟ‬
‫ﻦ‬
‫ﻣ‬
‫ب‬
‫ﺮ‬
‫ﲝ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻧ‬
‫ذ‬
‫ﺄ‬
‫ﻓ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬
‫ﻠ‬
‫ﻌ‬
‫ﻔ‬
‫ـ‬
‫ﺗ‬
‫ﱂ‬
‫ن‬
‫ﺈ‬
‫ﻓ‬
‫‪.‬‬
‫ﲔ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫َ‬
‫‪akan‬ﻮ َنَ َ‪ُ .‬‬
‫‪ jika‬ﻻ ﺗ‬
‫‪kamu‬اﻟ ُﻜَْﻢ‬
‫وس أ َْﻣ َْﻮ‬
‫‪ُ(dari‬ﻜ ْﻢ ُرء‬
‫‪ْ ْ dan َRasul-Nya‬‬
‫‪َmemerangimu.‬ﻈْﻠَ ُﻤ‬
‫‪Allah‬‬
‫‪bertaubat‬‬
‫ﻓَُـﻠَ‬
‫‪َDan‬ﻈْﻠ ُﻤﻮََنْ َوﻻ ﺗُ‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫;‪pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu‬‬
‫‪kamu ِtidak Menganiaya dan‬‬
‫ﻗﺎلﻠِ‬
‫ﺗ‬
‫ﻻ‬
‫رﺿﻲَﻮاﻟاﷲُﻜ ْﻢ‬
‫وس أ َْﻣ‬
‫‪.‬‬
‫ن‬
‫ﻮ‬
‫ﻤ‬
‫ﻠ‬
‫ﻈ‬
‫ﺗ‬
‫ﻻ‬
‫و‬
‫ن‬
‫ﻮ‬
‫ﻤ‬
‫ﻈ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ‬
‫اﷲ‬
‫ﺻﻠﻰ‬
‫اﷲ‬
‫رﺳﻮل‬
‫ﻟﻌﻦ‬
‫‪:‬‬
‫ﻋﻨﻪ‬
‫ْ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫‪َ 278-279).‬‬
‫ُ‬
‫ﻓَـﻠَﻋﻦُﻜ ْﻢ ُرءُ‬
‫ﺟﺎﺑﺮ ُ‬
‫‪tidak (pula) dianiaya. (QS.ُ Al-Baqarah:‬‬
‫‪Dalil‬اﻩ‬
‫‪)kedua,‬رو‬
‫‪hadis‬ﺳﻮاء‬
‫وﻗﺎل ﻫﻢ‬
‫وﺳﻠﻢ أﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ وﻣﺆﻛﻠﻪ وﻛﺎﺗﺒﻪ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ‬
‫‪Nabi.‬‬
‫ﻣﺴﻠﻢ(‬
‫ﺟﺎﺑﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل‪ :‬ﻟﻌﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻋﻦ‬
‫رﺳﻮل اﷲ‬
‫ﻛﺎﺗﺒﻪ ﻟﻌﻦ‬
‫ﻋﻨﻪ وﻗﺎل‪:‬‬
‫رﺿﻲﺑﺎ اﷲ‬
‫وﺳﻠﻢﺟﺎﺑﺮ‬
‫ﻋﻦ‬
‫ﻋﻠﻴﻪواﻩ‬
‫اﷲاء )ر‬
‫ﺻﻠﻰﺳﻮ‬
‫وﻗﺎل ﻫﻢ‬
‫وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ‬
‫وﻣﺆﻛﻠﻪ‬
‫أﻛﻞ اﻟﺮ‬
‫ﻣﺴﻠﻢ(أﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ وﻣﺆﻛﻠﻪ وﻛﺎﺗﺒﻪ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ وﻗﺎل ﻫﻢ ﺳﻮاء )رواﻩ‬
‫وﺳﻠﻢ‬
‫‪Dari Jabir RA. Dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat‬‬
‫‪pemakan‬‬
‫‪(pemberi‬‬
‫ﻣﺴﻠﻢ‬
‫اﶈﻈﻮرات‬
‫اﻟﻀﺮورة‪riba,‬ﺗﺒﻴﺢ‬
‫‪makan dengan harta riba, penulis dan kedua saksinya, seraya menegaskan,‬‬
‫‪‘mereka semua sama’.” (HR. Muslim).24‬‬
‫‪Dalil ketiga, kaidah fikih. Dalil ini digunakan untuk melegitimasi‬‬
‫‪pengecualian.‬‬
‫اﻟﻀﺮورة ﺗﺒﻴﺢ اﶈﻈﻮرات‬
‫اﶈﻈﻮرات‬
‫اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ‬
‫ﺗﺒﻴﺢﻣﻨﺰﻟﺔ‬
‫اﻟﻀﺮورة ﺗﻨﺰل‬
‫اﳊﺎﺟﺔ‬
‫‪“Keadaan dharurat itu menyebabkan diperbolehkannya hal-hal yang‬‬
‫‪dilarang.”25‬‬
‫اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ‬
‫اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ‬
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _445
‫اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ‬
“Kebutuhan itu dapat menempati kedudukan dharurat, baik secara umum
maupun khsusus.”26
Sedangkan argumentasi kelompok yang berpendapat, bunga bank
adalah tidak sama dengan riba, yaitu berdasarkan ayat yang sama tapi
interpretasi yang berbeda. Praktik riba memang dilarang dalam alQur’an, sebagaimana ayat yang dikutip di atas, surat Ali Imran ayat 130
dan al-Baqarah ayat 278 sampai 279. Masalahnya adalah apakah sama
antara bunga dengan riba? Bagi kelompok ini, bunga bank itu tidak sama
dengan riba.
Pertama, al-Thabari menyatakan, ayat 130 dalam surat al-Imran turun
terkait dengan adanya praktik riba yang terjadi pada masa jahiliyah.
Konteks riba pada zaman itu yaitu pelipatgandaan umur binatang yang
dihutang. Bila hewan yang dihutang berumur satu tahun, lalu jatuh tempo
dan tidak bisa membayarnya, maka pembayaran boleh ditangguhkan.
Tapi, ketika jatuh tempo lagi, maka pembayarannya harus menggunakan
binatang yang berumur dua tahun. Begitu seterusnya hingga lunas.27
Jadi yang dilarang adalah segala macam dan bentuk praktik riba seperti
yang terjadi pada masa jahiliyah. Tidak semua “nilai tambah” dari
pokok hutang yang kini dikenal dengan istilah “bunga”, secara otomatis
dihukumi layaknya “riba”.
Kedua, riba yang diharamkan dalam surat al-Baqarah 278, menurut
Muhammad Rasyid Ridho, adalah riba yang berlipat ganda seperti
dalam surat Ali Imran ayat 130. Konteksnya disesuaikan dengan sebab
dan kondisi yang melatari pada saat itu.
D.Periode Penjernihan: Tashfiyatul Fikrah Nahdliyah
Adalah sebuah konsekuensi, ketika kran keterbukaan dan dinamisasi
dalam berfikir telah dibuka, maka arus pemikiran yang warna-warni
pun mengalir ke NU. Peluit tajdid, yang ditiup para kiai pada Munas
446_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
NU di Lampung, 1992, ternyata mendapat sambutan yang luar biasa
dari berbagai kalangan, termasuk anak muda NU, yang mengenyam
dunia perguruan tinggi. Mereka memandang, NU tidak lagi jumud,
tekstual, dan kaku, tapi dinamis dan kontekstual. Sejak itu, gagasan dan
pemikiran anak-anak muda NU yang mayoritas berbasis di perguruan
tinggi itu merasa direstui oleh bapaknya, kiai-kiai di pesantren tempat
mereka ngaji atau jajaran pengurus NU.
Sejak dasawarsa 1980-an, disadari atau tidak, pemikiran kalangan
muda NU telah memberikan warna berbeda dalam jagat pemikiran
Islam kontemporer di tanah air. Berbagai gelagat pemikiran mereka
telah menghiasai ragam pemikiran kontemporer, yang tidak hanya,
mencengangkan para kiai pesantren sebagai bapak mereka, namun
juga para pengamat asing yang selama ini menganggap NU sebagai
organisasi kaum tradisional. Tesis Deliar Noor yang mengkategorikan
NU sebagai kaum tradisionalis28 seolah patah, bahkan berbalik seratus
delapan puluh derajat.
Karena yang disinyalir Deliar Noor sebagai kaum modernis saat itu
malah diambang degradasi, dan lambat laun pemikiran mereka tersalip
oleh progresifitas anak muda NU yang mulai menjelajahi berbagai
ruang-ruang di luar mainstream kepesantrenan. Perkembangan
metode bahtsul masail NU dari qauli ke qauli wa manhaji juga tak bisa
dilepaskan dari keterlibatan anak-anak muda ini. Mereka terlibat aktif
dalam halaqah-halaqah ke-NU-an yang digelar pada era 1980-an akhir,
yang mendiskusikan perlunya perubahan tradisi intelektual di NU, dari
tektual ke kontekstual.
Gagasan pembaruan yang mereka usung ini direstui oleh kiai Ma’ruf
Amin saat itu. Makanya, ketika Munas di Lampung, kiai Ma’ruf adalah
kalangan “NU tua” yang gigih dalam memperjuangkan metode manhaji
sebagai terobosan untuk memecah stagnasi dalam bahtsul masail NU.
Namun, dalam perkembangannya, pasca Munas di Lampung, kiai Ma’ruf
memandang bahwa lampu hijau metode manhaji dan kontekstualitas
dalam pemahaman teks keagamaan, yang digagasnya di Lampung itu,
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _447
di salahgunakan oleh anak-anak Muda NU. “Mereka memahaminya
bahwa kontekstual itu ya pemahaman Islam secara liberal, bebas sebebasbebasnya,” katanya.29
Akibatnya, menurut pengamatan kiai Ma’ruf, pemikiran anak-anak
Muda NU ini terlalu kontekstual sampai meninggalkan teks. Pemikiran
mereka pun seringkali memancing resistensi dari beberapa kalangan
kiai-kiai sepuh.
Misalnya, pembacaan teks dengan nalar kritis oleh anak Muda NU
yang progresif-liberal dapat dijumpai dalam buku Kritik Nalar Fiqih
NU30 yang ditulis kaum muda NU sebagai bukti kritik mereka terhadap
disiplin fikih dan tradisi berfikih NU, khususnya dalam forum bahtsul
masa’il. Lebih dari itu, geliat kaum muda kritis dengan memosisikan
ushul fiqh sebagai disiplin yang tidak bebas kritik. Di mata kaum hibrida
NU ini, ushul fiqh dipandang sebagai biang problem yang mendasari
produk-produk fikih yang tidak kreatif dan responsif terhadap masalah
aktual yang dihadapi umat.
Satu lagi, contoh menarik dari konfrontasi NU muda dan NU tua
ini bisa dilihat pada kasus penolakan para peserta Muktamar NU di
Boyolali tahun 2004, terhadap hermeneutika dan kelompok Islam liberal.
Penolakan itu dianggap, beberapa pengamat NU, sebagai cerminan
kesenjangan berpikir antara anak muda dan kalangan kiai tua. Bagi anak
muda NU, penolakan terhadap hermeneutika bukan dianggap sebagai
sebuah wacana tandingan atau wacana alternatif, akan tetapi malah
dibaca sebagai simbol “pengekangan kembali” kebebasan berfikir.
Sementara bagi kiai Ma’ruf dan juga sebagian besar peserta Muktamar,
menganggap bahwa hermeneutika dan ide-ide yang disusung oleh anak
muda NU yang progresif-liberal itu sebagai disiplin yang keluar dari
rel-rel keagamaan yang dipakemkan selama ini. Bahkan, kiai Ma’ruf
maknai gerakan anak Muda NU ini sebagai elemen yang mengancam
pencabutan batas-batas cara berfikir ala NU dengan mengimpor teoriteori dari Barat. Ia berpendapat, ada sebagian pemikiran orang-orang
NU yang sudah berani menabrak pagar fikrah nahdliyah NU.
448_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Karena itu, agar pemikiran dan gerakan ini tidak kian kebablasan, kiai
Ma’ruf membuat rumusan fikrah nahdliyah, paradigma berfikir ala NU.
“Untuk membendung proses liberalisasi di NU, maka kita munculkan
gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah (pemurnian cara berfikir ala NU),”
tegasnya. Dengan gagasan ini, berarti NU balik lagi jadi tertutup dan
normatif? Kiai Ma’ruf menepis, “Nu itu la konservatifiyyan wala librariyyan,
wa lakin tatowwuriyyan wa manhajiyyan,” terangnya. NU itu tidak
konservatif, tidak pula liberal. Tapi NU itu dinamis dan punya kerangka
metode berfikir yang jelas.31
Gagasan kiai Ma’ruf ini ditanggapi positif oleh sebagian besar
kiai NU dan menjadi agenda besar dalam Munas Alim Ulama NU di
Surabaya tahun 2006. Waktu itu, ia dijuluki sebagai arsitek manhaj fikrah
al-nahdliyah, metode berfikir ala NU. Fikrah Nahdliyah adalah kerangka
berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang
dijadikan landasan berpikir NU (khiththah nahdliyah) untuk menentukan
arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah, perbaikan umat. Pada titik
ini, kiai Ma’ruf ingin menempatkan NU sebagai manhaj al-fikr. Sebagai
manhaj, NU punya tiga koridor berfikir.
Pertama, dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti
manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur AlMaturidi.
Kedua dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama
bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu Al-Madzahib Al‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Ketiga, Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam alJunaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al Ghazali.
Tiga aspek itu dalam aplikasinya mempunyai ciri-ciri yang dapat
dijadikan petanda fikrah nahdliyah, atau dalam keputusan Munas tersebut
disebut khashais fikrah nahdliyah.
1. Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa
bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _449
berbagai persoalan. NU tidak tafrith atau ifrath.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup
berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah,
cara pikir, dan budayanya berbeda.
3.Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya NU senantiasa
mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah
ila ma huwa al-ashlah).
4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa
melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya NU senantiasa
menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj
yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Sebagai ketua tim perumus Munas di Surabaya, kiai Ma’ruf, juga
merumuskan “al-kutub mu’tabarah” yang selalu dijadikan rujukan
utama warga NU dalam bahtsul masail. Mengapa dirumuskan?
Sebab, sejak bahtsul masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria al-kutub al
mu’tabarah dipermasalahkan. Tapi, hingga Muktamar ke-31 di Boyolali,
tidak ada perkembangan pembahasan secara signifikan. Karena itu, kata
kiai Ma’ruf, Munas Surabaya memandang perlu untuk membahas dan
menetapkan kreteria al-Kutubu al-Mu’tabarah.32
Al-Kutub Al-Mu’tabarah adalah kitab-kitab dari al-madzhab al-arba’ah
(Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali) dan kitab-kitab lain yang memenuhi
kriteria fikrah nahdliyah. Sedangkan ke-muktabar-an suatu kitab itu
didasarkan atas: pertama, penulis (muallif)-nya yang antara lain memiliki
sifat Sunni, Wara’, dan ‘Alim. Kedua, Isi kitab, baik pendapat(qaul)-nya
sendiri maupun kutipan (manqulat). Jika pendapatnya sendiri tolok
ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan. Namun, jika
berupa kutipan maka tolok ukurnya adalah shihhatun naql (validitas
kutipan). Ketiga, adanya pengakuan kitab tersebut dari komunitas
mazhabnya. []
450_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Asj’ari, Hasjim, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU,
Kendal: tp, 1969
Asy’ari, Hasyim, Qann Asasi Nahdatul Ulama, Kudus: Menara Kudus, 1973
Darwis, Ellya KH. ed., Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta:
LkiS, 1994
Azizy, Ahmad Qodri, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS,
2000, h. 50-54.
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994
Coulson, N.J., A history of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1964
al-Dawâlibî, Ma’rûf, al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Lebanon: Dâr al-Kitâb
al-Jadîd, 1965
Feillard, Andree, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999
Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan
Nahdatul Ulama dan Negara, Yogyakarta: LkiS, 1997
Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No.
3, th. 1, 1990
al-Junaidal, Hamad bin Abdurrahman, Manâhij al-Bâhitsîn fī al Iqtishâd alIslâmî, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1406 H
Khalaf, Abdu al-Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978
Madkur, Muhammad Salam, Manâhij al-Ijtihâd fî al-Islâm, Kuwait: alMathba’ah al-‘Ashriyah, 1973
Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994
Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _451
NU, Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar
Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M.
Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika
Press, tt.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,
1996
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, diterjemahkan
dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1980
Rahmat, Imdadun, ed. kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002
as-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushûl al-Syarî’ah, editor Abdullah
Darras Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
al-Sayyis, Muhammad ‘Alî, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Pent. Dedi Junaidi, Jakarta:
CV. Akademika Pressindo, 1996
al-Suyûthî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân, Tadrîb al-Râwî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972
As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir,
Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H
Sya’labî, Ta’lîl al-Ahkâm, Kairo: Dâr al-Nahdah al-’Arabiyah, 1981
Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, juz IV, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1972
al-Qardhâwî, Yûsuf, al-Ijtihâd fi al-Syari’ah al-Islâmiyah ma’a Nazhrah
Tahlîlilyah fî al-Ijtihâd al-Mua’ashir, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1985
Zahrah, Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1958
al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu Beirut:Dâr al-Fikr, 1998
h. 429
452_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab
secara Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17
Desember 1988.
Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan
Bahtsul Masil Jakarta: Sekjen PBNU, 1002
Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir
Aswaja NU, PP RMI, 2008.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _453
Endnotes
1. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999, h.
8-9.
2. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h. 8-9.
3. Upaya Membakukan buku dan Membukukan Baku Aswaja, Ummu Risalah Aula, 3,
th. XIX, maret 1997, h. 19-20.
4. Wawancara dengan Kiai Ma’ruf Amin
5. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin
6. Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No. 3, th.
1, 1990, h. 22-26.
7. Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir Aswaja
NU, PP RMI, 2008.
8. Khotib Sholeh, Menyoal Efektivitas Bahtsul Masail, dalam Imdadun Rahmat (ed.)
kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002, h. 224.
9. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press,
h. 367.
10. Hasjim Asj’ari, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal:
tp, 1969, h. 37-38.
11. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 364.
12. Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus , Ahkam al-Fuqaha’, Juz I, Semarang: Toha
Putra, tt, h. 9.
13.
14.
15.
16.
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 367.
Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, juz II, h. 24-25.
Wawancara Kiai ma’ruf Amin
Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara
Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.
17. Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah...
18. Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000, h.
50-54.
19. Majalah Santri, No. 3, th. I, 1990, h. 27.
20. Wawancara kiai Ma’ruf Amin.
454_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
21. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan NU,
Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar Lampung, 16-20
Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M.
22. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin
23. Wawancara kiai Ma’ruf Amin
24. Muslim, Shahih Muslim, juz III, h. 1219. Lihat juga, al-Tirmidzi, Jami’ alTirmidzi, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 512.
25. Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 60.
26. Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 62.
27. Al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, juz IV, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1972, h. 204-205.
28. Ulasan selengkapnya lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942, diterjemahkan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 19001942, Jakarta: LP3ES, 1980.
29. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin.
30. M. Imaduddin Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma
Bahtsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam NU, 2002.
31. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin.
32. Pembahasan tentang kitab mu’tabarah ini belum tuntas, baru pada tahap
definisi dan keriteria. Pembahasan belum sampai pada nama-nama kitab
yang bisa dijadikan standar (ummahat al-kitab). Nama-nama kitab dari
masing-masing mahdzab yang disebut di sini adalah masih sebatas usulan,
belum disahkan.
Analysis of Rampak Bedug Art
as Media of Da’wa in Banten
Telaah Seni Rampak Bedug
Sebagai Media Dakwah di Banten
Tatu Siti Rohbiah
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
email : [email protected]
Abstract : Banten has many traditional arts that still exist until now, one of them is rampak
bedug. It is a combined art; music, dance and singing, that at first appears from
Pandeglang society in around 1950. The artist of rampak bedug believes that this art
will exist for long time, because it is the very interesting and special art. Moreover,
this art can be used as the media of da’wa to young generation. The values of Islam
can be found in the performance of dance, music and its lyrics. This research of rampak
bedug uses the dscriptive qualitative method by the six groups of rampak bedug as
the unit of analysis; they are Bale Seni Ciwasiat, group of Haji Ilen, group of Kitapa,
group of Putra Medal, group of Layung Sari, and group of Sentra Pulosari. The datasubmitted technique uses interview, observation, library research, and documentation.
The writer found that rampak bedug is actually has the message of da’wa, because in
the content of lyrics using the lyrics of shalawat Nabi and religious songs. Besides, in
the performance he found the message of tauhid, shari’a dan akhlak. Those points are
the main points of the da’wa in Islam.
Abstraksi : Banten memiliki banyak kesenian tradisional yang hingga kini masih terpelihara, salah
satunya adalah kesenian rampak bedug. Kesenian ini merupakan perpaduan antara
456_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
seni musik, tari dan suara, yang pada awalnya lahir dari masyarakat Pandeglang
sekita tahun 1950-an. Para penggeliat kesnian rampak bedug meyakini bahwa kesenian
ini akan terus terpelihara untuk waktu lama, karena kesenian ini sangat menarik
dan khas. Lebih dari itu, kesenian ini dapat digunakan sebagai media dakwah bagi
kalangan anak muda. Nilai-nilai Islam dapat ditemukan dalam prtunjukan tariannya,
musiknya, hingga liriknya. Penelitian tentang rampak bedug ini menggunakan metode
deskriptif qualitatif dengan menjadikan enam kelompok seni rampak bedug sebagai
unit analisinya, yakni Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, kelompok Kitapa,
kelompok Putra Medal, kelompok Layung Sari, dan kelompok Sentra Pulosari. Penulis
menemukan bahwa rampak bedug sebenarnya mengandung pesan-pesan dakwah,
sebab dalam isi lirik yang digunakan menggunakan lirik-lirik shalat Nabi dan lagulagu religi lainnya. Disamping itu, dalam pertunjukannya penulis juga menemukan
pesan-pesan tauhid, syariat dan akhlak. Ketiga hal ini merupakan hal pokok dalam
dakwah Islam.
Keyword: Art, Bedug, Da’wa, Banten
A.Pendahuluan
Dakwah merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Penyampaian
ajaran Islam kepada orang lain tentu harus dilakukan dengan proses
komunikasi yang baik, menarik dan tepat sasaran. Proses komunikasi
itulah yang kemudian dikenal dalam Islam sebagai dakwah. Namun,
pada prakteknya, proses komunikasi dalam dakwah Islam terkadang
terkendala banyak hal, disebabkan tidak sinkronnya antara apa yang
disampaikan seorang da’i dengan orang yang mendengarkannya. Oleh
karena itu, proses komunikasi harus menggunakan media yang selaras,
komunikatif, dan memahami kecenderungan pendengarnya.
Hingga saat ini ada banyak faktor yang menjadi penyebab tidak
sinkronnya pesan dakwah. Salah satunya adalah karena dakwah yang
selama ini dilakukan cenderung kering, impersonal, dan hanya bersifat
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _457
informatif belaka, dan belum bahkan tidak menggunakan teknik-teknik
komunikasi yang efektif.1 Situasi ini merupakan cermin wajah dakwah
yang belum berpijak di atas realitas sosial yang ada. Dakwah yang terjadi
di masyarakat tidak memiliki hubungan interdependensi yang sangat
kuat,2 sehingga dakwah cenderung tidak tepat sasaran.
Dalam konteks ini, ada dua sisi dakwah yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu menyangkut isi dan bentuk, subtansi dan forma, pesan dan
cara penyampaiannya, esensi dan metode. Dua sisi dari hal tersebut
tentu tidak terpisahkan. Hanya saja, perlu disadari bahwa isi, substansi,
pesan, dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak
terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini subtansi dakwah adalah
pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi
keduanya adalah bentuk, forma, cara penyampaian dan metode.3
Seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari masa ke
masa terus berkembang. Yang tak kalah pentiingnya lagi adalah: media
dakwah tersebut berpijak pada budaya dan kultur masyarakatnya. Salah
satu media dakwah kultural yang mampu mendekatkan seorang da’i
dengan jamaahnya adalah melalui seni dan budaya.
Seni merupakan media yang mempunyai peranan penting dalam
melakukan pelaksanaan kegiatan religi, karena media tersebut memiliki
daya tarik yang dapat mengesankan hati setiap pendengar dan penonton.
Melalui kesenian tentunya tidak hanya sebagai hiburan belaka, namun
orang mencipta kesenian mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya
sebagai mata pencaharian, untuk propaganda atau bahkan untuk
berdakwah. Bagi mereka yang menikmati suatu karya seni tentunya
akan tergerak untuk menghayati apa sebenarnya misi yang terkandung
di dalamnya. Di dalam gempita dan persaingan kelompok kesenian
di zaman modern ini, tidak menjadikan kesenian-kesenian tradisional
merasa pesimis untuk mendapatkan simpatisan dari publik atau
masyarakat, namun justru menjadi acuan untuk lebih meningkatkan
mutu kesenian yang ditampilkan. Hal ini terbukti dengan masih hidup
dengan suburnya kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah.
458_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Media dakwah lewat seni memiliki banyak keunggulan. Seni tidak
lepas dari masalah keindahan, kesenangan dan segala sesuatu yang
mempesona dan mengasyikkan. Hal ini karena pada dasanya seni
diciptakan untuk melahirkan kesenangan. Sedangkan menikmati
keindahan dan kesenangan adalah keinginan dan kegemaran
manusia karena hal tersebut merupakan fitrah naluri manusia yang
dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Sepanjang sejarah kehidupan
manusia belum pernah ditemukan umat yang menjauhkan diri dari
berbagai macam seni, khususnya seni musik dan tari. Kedua kesenian
ini bahkan digunakah oleh para pendakwah terdahulu (para wali) dalam
menyiarkan agama Islam di Nusantara. Hasilnya tentu sangat efektif.
Islam masuk ke Nusantara tanpa peperangan, melainkan dengan aman,
indah dan damai, yakni dengan seni dan budaya.
Sebelum Islam hadir di Tanah Arab, bangsa Arab sebenarnya sudah
mengenal bahkan tergolong mahir dalam bersyair, bernyanyi dan
berorasi. Bernyanyi dan bermain musik saat itu tidak hanya dilakukan
oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh kaum wanita. Mereka sangat mahir
memainkan musik rumah, duff (tamborin), qusaba, dan mizmar (alat musik
sejenis seruling).4 Islam pun datang dan hadir dengan diturunkannya
al-Qur’an, yang setiap ayatnya membuat para pencinta seni dan sastra
terkagum-kagum, karena al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat
Indah.
Maka tak heran, kedatangan Rasulullah dan rombongan saat pertama
kali tiba Yatrib disambut dengan untaian musik. Rasulullah pun merasa
senang dengan sambutan tersebut, yang mengindikasikan bahwa
Rasulullah tidak melarang umat Islam. Musik atau lagu religius (qasidah,
al-handasah, al-shawt) dalam Islam kini tidak dipersoalkan, meskipun
pada awalnya mungkin dipertentangkan.5 Hal ini mengingat bahwa
kesenian merupakan media paling efektif untuk berdakwah, karena para
ulama zaman dulu pun melakoninya. Hal ini tak terkecuali dengan apa
yang terjadi di Banten. Islam hadir di Banten melalui dakwah kultural
yang persuasif dan komunikatif, sehingga mampu diterima.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _459
Para ulama Banten menanamkan nilai-nilai Islam lewat kesenian
dan kebudayaan. Pola dakwah lewat kesenian ini kemudian dijadikan
tokoh-tokoh Banten untuk turut serta melestarikan dan menciptakan
kesenian baru. Salah satunya adalah rampak bedug. Meski tergolong
usia kesenian ini baru sekitar setengah abad lalu, tapi nilai-nilai dakwah
yang ditanamkan masih mengikuti pola dakwah ulama zaman dulu di
Banten. Di tengah pesatnya kemajuan kesenian, para penggeliat kesenian
rudat tetap meyakini bahwa kesenian ini akan tetap bertahan di Banten,
karena memiliki kekhasan tersendiri.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada kesenian rampak
bedug karena kesenian ini mengandung pesan-pesan dakwah Islam di
dalamnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang
pesan dakwah apa saja yang terkandung didalamnya. Dalam tulisan ini
penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menjadikan
enam sanggar rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni sanggar Bale
Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, group seni rampak bedug Kitapa,
group rampak bedug Putra Medal, group Layung Sari, dan group
Sentra Pulosari. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan
wawancara, observasi, pustaka, dan dokumentasi.
B.Seni Islam Sebagai Media Dakwah
Seni adalah tata hubungan manusia dengan bentuk-bentuk pleasure
yang menyenangkan.6 Seni merupakan hasil kreasi manusia yang
mengedepankan estetika sehingga dapat diterima dan dinikmati
oleh orang lain. Menurut Yusuf Qardhawi, seni adalah suatu kemajuan
yang dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia dan tidak
menurunkan martabatnya. Ia merupakan ekspresi jiwa yang mengalir
babas, memerdekakan manusia dari rutinitas dan kehidupan mesin
produksi, berpikir, bekerja dan berproduksi.7 Menurut C. Isror, seni
meliputi seluruh yang dapat menimbulkan kalbu rasa keindahan, sebab
seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan
460_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
manusia.8 Dari beberapa definisi ini dapat diambil suatu gambaran
yang jelas bahwa yang disebut seni adalah usaha manusia yang
bertujuan untuk menjelmakan rasa indah yang ada dalam lubuk hati
manusia dalam bentuk yang dapat menyenangkan orang yang sedang
menikmatinya. Bisa dikatakan bahwa seni adalah sesuatu yang bisa
membuat hati manusia merasa senang, nyaman dan tenang tapi tetap
mendapatkan nilai. Dalam konteks hubungan antar manusia, seni adalah
media komunikasi antara yang melakukan kegiatan seni dengan yang
menikmatinya.
Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke
penerima pesan.9 Jika seorang peraga atau pencipta seni menampilkan
karya seninya, maka ia memerlukan media sebagai jembatan untuk
menyampaikan pesan kepada penikmatnya. Begitu juga dengan seoran
pendakwah. Ia memerlukan media untuk bisa menyampaikan pesanpesan dakwahnya. Media dakwah yang bisa digunakan oleh seorang
seniman dalam berdakwah adalah alat atau perantara untuk mengajak
seseorang untuk ber-amar makrúf nahyi munkar, yakni berupa pertunjukan
seni dan budaya sebagai media syi’ar Islam. Pertunjukan seni yang
digunakan tentu saja harus mengikuti kehendak yang diinginkan orang
penikmatnya. Semakin kesenian itu digandrungi, maka semakin kuat
pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya.
Kini, di tengah perkembangan zaman yang begitu mengglobal dan
kegiatan informasi kian masif dan menyeluruh, maka media-media
dakwah mau tak mau harus mengikuti zamannya pula. Sesuai dan seiring
dengan lajunya perkembangan zaman, usaha penyelenggaraan dakwah
semakin berat dan kompleks. Ini disebabkan karena masalah-masalah
yang dihadapi dakwah semakin berkembang dan kian kompleks.
Dakwah adalah ajakan atau seruan untuk mengajak kepada seseorang
atau sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran dan
nilai-nilai Islam.10
Seni sebenarnya mempunyai bentuk yang bermacam-macam
tergantung penciptanya. Berdasarkan pengertian seni di atas, maka
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _461
pembagian seni bila ditinjau dari segi penyampaiannya ada empat
macam, yaitu; pertama, seni rupa, yaitu karya seni yang disampaikan
dengan menggunakan media rupa seperti lukisan, patung dan
ukiran; kedua, seni suara, yaitu karya seni yang disampaikan dengan
menggunakan media suara baik suara benda, suara musik, atau suara
manusia seperti instrument italia, dan vocal; ketiga, seni gerak, yaitu
karya yang disampaikan dengan menggunakan gerak seperti seni tari,
senam dan sendra tari; dan keempat, seni sastra, yaitu karya seni yang
disampaikan dengan menggunakan media bahasa seperti puisi, cerpen
dan pantun.11
Dalam agama Islam, seni tidaklah masuk ke dalam wilayah agama,
akan tetapi masuk ke dalam wilayah kebudayaan, sebab seni merupakan
hasil karya cipta manusia untuk menjelmakan rasa indah dalam hati
untuk dinikmati orang. Islam membolehkan penganutnya untuk berseni,
selama di dalam berseni itu tidak membawa ke arah yang menyesatkan
atau dilarang oleh syari’at agama.
Salah satu kesenian yang sejak dulu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam manusia modern saat ini adalah seni musik. Musik
mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual tidak hanya
bagi musik itu sendiri melainkan juga dalam hubungannya dengan
syair sebagaimana telah diperlihatkan oleh Jalaluddin Rumi. Al-Qur’an
sekalipun dalam prosodi tradisionalnya merupakan musik dan syair
sekaligus, meskipun secara tradisional ia tidak diklasifikasikan sebagai
keduanya, namun karena ia merupakan firman Tuhan, maka termasuk
dalam kategori ’di atas’ seluruh kategori seni manusia.12 Artinya, secara
bentuk, forma, maka kesenian musik sebenarnya tak terpisahkan dengan
Islam itu sendiri. Sebab, seni dalam mempunyai noktah dan tujuan yang
jelas yaitu sebagai manifestasi beribadah kepada Allah. Menurut Islam,
seni tidak boleh diklasifikasikan kepada subjek atau objek semata-mata.
Ia harus dilihat sebagaimana Islam sendiri memandang sesuatu. Ia tidak
dilihat pada satu sudut tertentu tetapi pada sesuatu yang menyeluruh,
manakala kandungannya pun seiring dengan nilai-nilai Islam.
462_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Seni sebagai media dakwah artinya seni digunakan untuk untuk
mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini
dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu, dan
lain sebagainya. Media dakwah sangat penting sekali peranannya, sebab
dakwah merupakan hal yang sangat komplek dan unik, artinya dalam
dakwah terdapat beberapa obyek dakwah yang berbagai macam
perbedaan, seperti kebudayaan, ideologi, dan sebagainya, sehingga
tujuan dakwah yang ingin dicapai oleh da’i dapat terlaksana secara
efektif dan efisien.
Asmuni syukir menyebutkan bahwa media dakwah bisa dilakukan
lewat enam macam cara atau alat, satu diantaranya adalah lewat seni
dan budaya. Salah satunya adalah lewat seni musik.13 Artinya, seni
rampak, yang merupakan penggabungan kesenian musik suara dan
tari, dapat diidentifikasikan sebagai media dakwah yang efektif, karena
penggabungan ketiga unsur dalam forma kesenian ini begitu estetis.
Bagi masyarakat Islam Banten, seni rampak bedug merupakan kesenian
yang memiliki keunikan, ketertarikan yang menyimpan nilai-nilai Islam
yang agung.
Dalam dunia dakwah, ada tiga hal yang menjadi pesan pokok;
yakni pesan akidah, pesan syariat dan pesan akhlak. Ketiga pesan ini
termaktub dalam kegiatan kesenian rampak bedug. Sebagai kesenian
warisan orang-orang terdahulu, rampak bedug menyimpan filosofi nilai
yang diambil dari nilai-nilai Islam, mengingat Banten merupkan wilayah
yang dibangun dari kerajaan Banten, yang dulu pernah berjaya.
C.Rampak Bedug di Banten
Banten adalah provinsi baru, yang sah berdiri pada tahun 2000.
Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, terdapat beberapa
kesenian khas daerah Banten, diantaranya: kesenian wayang garing,
kesenian ubrug, kesenian terbang gede, kesenian tarian kreasi, rudat,
kesenian pencak silat, pantun bambu, marawis, rampak bedug, kesenian
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _463
pandingdang pandegangan, kesenian buaya putih, dzikir saman,
kesenian dogdog lojor, debus, dan lain-lain.14 Semua jenis kesenian itu
memiliki basis komunitas yang berbeda-beda. Kesnian rampak bedug
sendiri berpusat di Kabupaten Pandeglang.
Istilah ‘rampak bedug’ diambil dari dua kata, yaitu ‘rampak’ dan
‘bedug’. Kata ‘bedug’ sendiri sangat familiar di telinga umat Islam,
mengingat bentuk bedug memang sangat dekat dengan unsur-unsur
dakwah Islam. Bedug juga biasa mudah dijumpai di masjid-masjid
dan surau. Bedug merupakan alat bunyi yang dipergunakan sebagai
petanda bahwa telah masuk waktu untuk melakukan ibadah shalat,
selain itu juga bedug digunakan sebagai pemberitahuan terkait acara
keagamaan. Bedug yang dimaksud dalam hal ini adalah bedug lojor,15
yaitu bedug berukuran sedang dan besar, yang bisa menghasilkan bunyi
yang lumayan nyaring.
Dari sisi sejarah keberadaan bedug di Nusantara, khususnya di
Banten terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyebutkan
bahwa bedug merupakan alat bunyi yang berasal dari Negeri Cina.
Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan
suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa
di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari
tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk
Nusantara.16 Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug
merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. M. Dwi
Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, berpendapat bahwa
pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara
dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan
dengan religi minta hujan.17 Selain dua pendapat itu, ada pula pendapat
lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada
zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De Houtman
dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan
bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi
464_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan
terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat
pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda
bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.
Sementara kata ‘rampak’ mengandung arti ‘serempak’. Serempak
artinya bersamaan, berbarengan, dan harmoni. Jadi, ‘rampak bedug’
dapat dikatakan sebagai kesenian yang menjadikan waditra berupa
banyak bedug yang digunakan sebagai sarananya dan ditabuh secara
‘serempak’ sehingga menghasilkan irama khas yang enak untuk
didengar. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri
khas seni budaya di wilayah itu, tepatnya di Kabupaten Pandeglang.
Seiring perkembangan waktu, kelompok-kelompok seni rampak
bedug juga bertebaran di beberapa wilayah di Provinsi Banten. Salah
satunya adalah di Kabupaten Serang. Di pandeglang sendiri ada sekitar
sepuluh kelompok atau sanggar tari rampak bedug. Namun, dari
jumlah tersebut hanya beberapa saja yang bisa sering dijumpai pentas
dalam event tertentu. Salah satunya sanggar Bale Seni Ciwasiat yang
bermarkas di Jl. Ciwasiat belakang BRI Pandeglang pimpinan Bapak
Rohaendi. Kelompok seni ini masih mampu bertahan di tengah terpaan
modernisasi kesenian di wilayah Banten.
Dalam pementasannya, kelompok seni ini tidak setiap hari atau setiap
minggu tampil. Kelompok seni rampak bedug merupakan pertunjukan
seni yang masih bergantung pada musim. Artinya, kesenian ini masih
terbatas pada pementasannya. Bahkan, pada awal-awalnya, kesenian ini
hanya muncul pada momentum bulan suci Ramadhan dan Hari Raya
Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug (menabuh bedug) atau ngadulag.
Kesenian rampak bedug merupakan perkembangan dari seni
ngabedug, yang biasa dimainkan sebagai penyambut datangnya bulan
suci Ramadhan. Kesenian rampak bedug pada awalnya merupakan
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Pandeglang yang
dikenal dengan ngadu bedug (lomba tabuh bedug) yang dilaksanakan
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _465
pada Bulan Puasa setelah selesai melaksanakan shalat Tarawih sampai
menjelang sahur dalam rangka memeriahkan bulan suci Ramadhan.
Lagu rampak bedug dulunya tercipta dari alam dan emosi masyarakat
sekitar Pandeglang.
Menurut Rohaendi, ngadu bedug berawal dari kegiatan masyarakat
dalam perkampungan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh dua atau lebih
warga kampung yang berbeda, dengan diawali oleh salah satu kampung
yang menantang dengan menabuh bedug lagu tertentu (biasanya lagu
Nangtang), yang kemudian dijawab oleh kampung lainnya. Selanjutnya
terus bersahutan, saling bergantian lagu, motif dan pola tabuh sesuai
kraetivitas warga kampungnya masing-masing. Dalam kegiatan ngadu
bedug, yang dinyatakan kalah adalah mereka yang berhenti terlebih
dahulu atau tidak dapat menjawab lagu yang dimainkan lawan. Untuk
menjaga harga diri atau kehormatan kampungnya, serta menghindari dari
kekalahan, adakalanya kegiatan ngadu bedug ini dilakukan bersahutan
hingga sehari semalam, bahkan lebih. Di Pandeglang, kampung-kampung
yang biasa melakukan Ngadu Bedug ini diantaranya: Ciaseum, Parung
Sentul, Kabayan, Salabentar, Ciguludug, Kadu Gajah, Kadu Pandak,
Juhut, Kampung Jambu, Cilaja, Cipacung, Nyoreang, Sarabaya, Ciinjuk,
Cikondang, dan lain-lain.
Bisa dikatakan bahwa kesenian ini pertama kali mulai dipertandingkan
sebagai k arya seni pada tahun 1950-an. Awalnya pementasan rampak
bedug di Kecamatan Pandeglang. Selain Bale Seni Ciwasiat, ada
pula kelompok rampak bedug yang sejak awal ikut andil dalam
mengembangkan kesenian ini, yakni kelompok Haji Ilen di Kelurahan
Juhut Kecamatan Pandeglang. Tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan
suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang
berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Pada
perkembangan berikutnya, kelompok kesenian ini berkembang dan
menyebar ke daerah Kabupatn Serang seperti Kecamatan Serang,
Pamaraian dan Walantaka.
466_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ada pula beberapa nama kelompok rampak bedug yang hingga kini
masih eksis, seperti group seni rampak bedug Kitapa yang dipimpin
oleh TB. Ruchayat Zaen yang terdapat di Kabupaten/Kecamatan
Serang, Lopang, dan Gede, group rampak bedug Putra Medal yang
dipimpin oleh Diding Sujai, group Layung Sari yang dipimpin oleh
Utom Bustomi di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang, dan paguyuban
Sentra Pulosari yang dipimpin oleh Hardi dengan yang bermarkas di
Kabupaten/Kecamatan Pandeglang dan Kadu Hejo.
Pada perkembangan berikutnya, kesenian ini bisa dimainkan secara
profesional pada acara-acara hajatan (khitanan, pernikahan) dan harihari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan
pengiring takbiran, pernikahan, marhabanan18, shalawatan, dan lagu-lagu
bernuansa religi lainnya. Oleh karenanya, kesenian ini berubah menjadi
suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial
lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh
motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang
seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.
Dulu, pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi
sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan
perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah
sebagai berikut: pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus
kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik
pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari.
Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian
muslim dan muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman
dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian
model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya
menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain
(bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan
pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatif
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _467
religius. Misalnya, menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan
batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana
panjang warna merah jenis celana panjang pesilat.
Di Luarnya mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan
dan digunakakan untuk semacam tarian selendang. Bajunya tangan
panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai ikat pinggang
besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang
terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
D.Pembahasan
Sebagai hasil karya anak manusia, kesenian rampak bedug tidak
luput dari nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada penonton.
Kesenian yang bersumber dari mayasrakat Pandeglang yang memiliki
corak tradisi keagaaman kuat ini tentu saja mengandung nilai-nilai
positif yang ingin dikembangkan dan dinikmati oleh penonton. Karena
rampak bedug sendiri merupakan instrumen musik yang berasal dari
alat yang lekat hubungannya dengan bangunan masjid, maka tentu saja
di dalamnya mengandung nilai-nilai dakwah.
Alat bedug sendiri, bagi masyarakat Banten, memiliki fungsi yang
penting. Umumnya masjid-masjid di Banten, terutama di Pandeglang,
memiliki alat pukul bedug sebagai tanda datangnya waktu shalat. Selain
bedug, alat lain yang umumnya terdapat di masjid adalah kentongan,
yang terbuat dari kayu, yang memiliki suara yang nyaring. Keduanya,
baik bedug maupun kentongan, merupakan alat yang dikombinasikan
pada setiap datangnya waktu shalat. Selain digunakan untuk petanda
datang waktu shalat, bedug juga digunakan untuk momentum harihari penting, seperti untuk takbir keliling, untuk membangunkan warga
sahur di malah Bulan Puasa, dan lain-lain.
Ketika bedug digunakan sebagai instrumen kesenian, maka ada
pergeseran fungsi, yang semula untuk kegiatan keagamaan menjadi alat
468_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
untuk kegiatan hiburan. Namun demikian, pada pertunjukan rampak
bedug, meski digunakan untuk hiburan, tapi tidak meninggalkan pesanpesan ajaran Islam di dalamnya. Karena, bagaimana pun juga, bedug
tidak lepas dari perannya sebagai alat yang awalnya digunakan untuk
kegiatan keagamaan.
Dalam kemasan penampilannya, kesenian rampak bedug memiliki
tiga fungsi. pertama, kesenian ini ditampilkan untuk kegiatan yang
bernilai religi. Biasanya dipentaskan untuk menyemarakan bulan suci
Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris
Nabi pengiring takbiran dan marhabanan. Kedua, seni rampak bedug
memiliki nilai liburan dan ajang santai. Hal ini biasanya dilakukan oleh
kalangan remaja di tengah-tengah waktu santai. Ketiga, nilai ekonomis,
yakni seni rampak bedug pada dasarnya merupakan karya seni yang
layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman
rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka.19
Dalam konteks fungsinya sebagai penyemarak kegiatan keagamaan,
kesenian rampak bedug biasanya menampilkan lagu-lagu shalawat
Nabi. Salah satu lagu yang acapkali ditampilkan adalah lagu Shalawat
Badar. Pementasan lagu shalawat Badar pada kesenian rampak bedug
mengandung tiga pesan dakwah, yakni pesan dakwah tauhid, syariat dan
akhlak. Pesan tauhid yang terkandung dalam pementasan lagu ini terlihat
pada gerakan para penari dan penabuh bedug, yang menggambarkan
manifestasi ajaran ketauhidan kepada Allah swt. Menurut John L
Esposito, budaya tari dalam masyarakat muslim merupakan manifestasi
artistik yang disajikan dalam bentuk tertentu ajaran Islam tentang
tauhid, keesaan Allah, kemanusiaan, dan segala eksistensi.20 Tarian yang
kemudian muncul di tengah masyarakat merupakan bentuk seni dalam
budaya Islami berlandaskan gagasan ketunggalan dan transendensi
Allah. Hal ini dapat kita lihat pada tarian rampak bedug yang memutar
dan bergerak lincah seperti orang yang sedang mengalami ekstase
cinta. Menurut Jalaluddin Rumi, dalam diri manusia ada potensi atau
hanif yang jika diberdayakan dengan benar dapat membahagiakan.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _469
Potensi itu disebut Cinta Ilahi, yakni jalan cinta kepada Yang
Mahabenar. Cinta adalah energi penggerak kehidupan dan perputaran
alam semesta.21 Cinta adalah sarana utama untuk transendensi diri atau
pembersihan diri (tazkiyat al-nafs). Orang yang menari akan memiliki jiwa
yang lembut dan menafikan segala kebencian yang bersemayam dalam
hati. Lantunan zikir juga biasanya mengiring setiap pertunjukan rampak
beduk seperti lafal lâ ilâha illa-allâh; sebagai ungkapan pincak ketauhidan
seorang hamba. Sambil melafalkan lâ ilâha illa-allâh, para penari rampak
bedug sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seraya
memusatkan pikirannya kepada Sang Khalik.
Dalam pandangan dan perspektif Islam, ajaran tauhid atau persaksian
dan pengakuan tiada Tuhan selain Allah, adalah sentral dan asasi. Semua
ajaran Islam berpangkal dan berlandaskan pada doktrin tauhid ini. Tauhid
mirip dengan titik pusat suatu lingkaran. Adanya lingkaran ditentukan
dan hanya akan berbentuk dengan adanya titik pusat itu. Begitu pula
dengan Islam, hanya ada karena ada tauhid. Tiadanya tauhid berarti
tiadanya Islam. Rusaknya tauhid juga rusaknya Islam.22 Keimanan dan
keislaman seseorang ditentukan oleh sejauh mana ia memegang doktrin
ketauhidan tersebut. Prinsip tauhid merupakan inti dari semua ajaran
para nabi sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad saw. Semenjak
Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw, tauhid dijadikan sebagai
asa dan esensi ajaran. Semua Nabi mengemban misi utama yang sama,
yakni tegaknya tauhid sebagai landasan hidup dan kehidupan umat
manusia di muka bumi.
Pesan ajaran tauhid juga terkandung dalam lirik syair lagu shalawat
Badar, yang berisi pujian-pujian kepada Rasulullah saw dan para sahabat
yang syahid pada Perang Badar. Rasulullah harus diyakini sebagai Nabi
terakhir yang bisa memberi syafaat di Hari Kiamat (QS. 33: 43). Untuk
mendapatkan syafaat Rasulullah hendaknya umat Islam senantiasa
melantunkan shalawat, pujian dan kecintaan kepada Rasulullah saw.
Bershalawat kepada Rasulullah adalah perintah al-Quran (QS. 33: 56).
470_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pesan syariat yang terkandung dalam pementasan lagu Shalawat
Badar pada kesenian rampak bedug dapat terlihat pada gerakan
penabuh bedug dan penarinya. Syariat adalah norma (ketentuan)
Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (ibadah) dan
hubungan manusia dengan manusia (muamalat). Banyak gerakan atau
tarian yang menirukan peragaan shalat dan berdoa. Ini menunjukkan
bahwa pentingnya dua hal ini untuk dijalankan umat Islam dalam hidup
ini. Bentuk adegan shalat diantaranya adalah gerakan takbir, meletakkan
kedua tangan di dada dan duduk iftirasy. Lebih dari itu, instrumen
utama yang digunakan dalam kesenian ini adalah bedug, yang secara
pokok sebenarnya digunakan sebagai petanda datangnya waktu shalat.
Dengan kata lain, pesan syariat yang ingin disampaikan dalam kesenian
ini adalah mengingat kewajiban shalat lima waktu. Karena, di Banten,
khususnya di Pandeglang, suara bedug diperdengarkan ketika datang
lima waktu shalat. Hal ini tentu penting dan fundamental, mengingat
shalat merupakan ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Tegaknya
spiritualitas seseorang terlihat dari ia shalat atau tidak. Jika ia mendirikan
shalat, maka ia sebenarnya menegakkan (spiritualitas) agamanya.
Tapi, jika ia meninggalkan shalat, maka itu artinya ia meruntuhkan
(spiritualitas) agama dalam dirinya (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh
karena, kesenian rampak bedug tentu sangat tepat dan relevan untuk
dilestarikan dan dikembangkan mengingat kesenian ini memiliki pesan
yang fundamental.
Disamping itu, syair Shalawat Badar yang dilantunkan oleh penyanyi
berisi pesan akhlak, yakni pentingnya menjunjung kemuliaan Rasulullah
dan senantiasa meneladani perjuangannya. Lagu shalawat Badar juga
dilantunkan dengan irama semangat tinggi karena untuk memberi pesan
bahwa dalam hidup ini umat Islam tidak boleh putus asa dan senantiasa
berjuang, tidak malas-malasan, dan berpangku tangan. Jika musibah,
cobaan dan masalah menimpa seorang muslim, maka ia tidak boleh
berputus asa (QS. 5:68, QS. 17:83 dan QS. 41:49). Kita dilarang putus asa
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _471
dari rahmat Allah (QS. 39:53), sebab pertolongan Allah begitu dekat
dan kapan pun akan datang (QS. 2:214). Yang putus asa hanyalah orangorang kafir (QS. 12:87) dan orang-orang yang sesat (QS. 15:56). Syair lirik
lain yang biasanya dinyanyikan dalam pementasan kesenian rampak
bedug adalah Shalawat Yâ Nâr al-‘Aini, Thola’al Badru ‘Alainâ, Al-Shalătu
‘Ala Nabi, Thola’a al-Badru ’Alainâ, dan lain sebagainya.
Yang tak kalah penting dalam kesenian rampak bedug adalah pesan
akhlak sosialnya. Dalam kesenian ini digambarkan perpaduan antara
seni musik, suara, dan tari, yang dilakoni oleh tiga kelompok, yakni
penabuh bedug (musik), vokalis (suara), dan penari. Ketiga unsur ini
saling membahu dan melengkapi sehingga menghasilkan harmoni suara,
musik dan tarian yang apik. Ini tentu menggambarkan pesan al-Quran
tentang perintah untuk saling tolong-menolong (QS.5:2). Masyarakat
sebenarnya sudah terbiasa dengan tradisi gotong royong.
Tarian dalam rampak bedug ada yang diberi judul Endahna
Babarengan, yang berarti indahnya bersama-sama. Endahna Babarengan
adalah menyampaikan informasi kepada orang lain, bahwa jika sesuatu
dilakukan bersama-sama, maka akan menghasilkan sesuatu yang
indah. Hal tersebut merupakan perwujudan dari keinginan untuk
menabuh bedug secara bersama (rampak) sehingga akan menghasilkan
harmonisasi yang indah. Konsep tarian ini tentu saja bersumber dari
nilai-nilai Islam bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah perintah alQuran. Umat Islam hendaknya tetap bersatu, bergotong royong, dan
menghindari perpecahan (QS. 3:103).
E. Kesimpulan
Kesenian rampak bedug, meski berakar dari tradisi lokal, namun
nilai-nilai yang ada di dalamnya mengandung pesan-pesan dakwah
Islam, yakni soal ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Hal ini disebabkan
ada pengaruh dari kesenian-kesenian tradisional lainnya, seperti rudat,
472_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
marawis, ubrud, zikir saman, yang memiliki pesan-pesan dakwah
Islam, yang ditanamkan oleh para ulama pendahulu Banten. Para ulama
tempo dulu menyebarkan Islam di Tanah Banten lewat dakwah kultural,
diantaranya adalah lewat berkesenian.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _473
Daftar Pustaka
Aam,
Masduki dkk., Kesenian Tradisional Provinsi Banten.
Serang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf, Seni da Hiburan Dalam Islam, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001.
Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer. Semarang: Wali Songo
Press IAIN Walisongo, 2006.
Cahyono, M. Dwi, M. Hum dan Tim., Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi
Sosio-Budaya Lintas Masa, Yogyakarta: Penerbit Jejak Kata Kita, 2001.
Dermawan, Andi, Metodelogi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Lesfi, 2002.
Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World jilid
II. Oxford: Oxford Unversity Press, Inc, 2000.
Gazalba, Sidi, Islam dan Kesenian Relevansi Islam dengan Seni Budaya,
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
_______, Seni dan agama, Yogyakarta: Lesbumi, 2006.
Hielmy, Irfan, Dakwah bil Hikmah. Jakarta: Mitra Pustaka, 2002.
Isror, C., Sejarah Kesenian Islam I. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Nasr, Sayyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Golgonooza
Press, 1987.
Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa, Surabaya: Erlangga, 1990.
Sadiman, Arief S, dkk. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafika Persada,
1996.
Salad, Hamdy, Agama Seni: Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik,
Yogyakarta: Yayasan semesta, 2000.
Soepandi, Atik, Ragam Cipta Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa
474_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Barat, Bandung: CV Beringin Sakti, 1995.
Syukir, Asmuni, Dasar-dasar Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama,
1997.
Wines, Leslie, Rumi A Spritual Biography: lives I Legacies, New York:
Crossroad 8th Avenue; First Edition edition, 2001.
Yusuf, Yunan, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian. Jakarta: Prenada
Media, 2003.
____, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: PT. Cipta Adi
Pustaka, 1988.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _475
Endnotes
1. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 1997,
h. 15-19
2. Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian, Jakarta: Prenada
Media, 2003, h. 16-17.
3. Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: Wali Songo Press
IAIN Walisongo, 2006, h. 14-16
4. Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian Relevansi Islam dengan Seni Budaya Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1988, h. 147
5. Hamdy Salad, Agama Seni: Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik Yogyakarta:
Yayasan semesta, 2000, h. 63
6. Dr Sidi Gazalba, Seni dan agama, Yogyakarta: Lesbumi, 2006, h. 45
7. Yusuf Al-Qardhawi, Seni da Hiburan Dalam Islam, Alih Bahasa, Hadi Mulyo,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, h. 20
8. C. Isror, Sejarah Kesenian Islam I, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, h. 9
9. Arief s. Sadiman dkk, Media Pendidikan Jakarta: Raja Grafika Persada, 1996,
h. 6
10. Andi Dermawan, MA, Metodelogi Ilmu Dakwah Yogyakarta : Lesfi, 2002, h. 24
11. Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa, Surabaya: Erlangga, 1990, h.4
12. Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Golgonooza
Press, Ipswich, 1987, h. 165 13. Asmuni Syukir, Dasar-dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas’ 1983, h. 67.
14. Kesenian Tradisional Banten, diakses pada http://bantenculturetourism.com/
pada 03/08/2013
15. Atik Soepandi, Ragam Cipta Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa Barat,
Bandung: CV Beringin Sakti, 1995, h.46
16. ____, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka,
1988, h.32
17. Drs. M. Dwi Cahyono, M. Hum dan Tim, Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi
Sosio-Budaya Lintas Masa, Yogyakarta: Penerbit Jejak Kata Kita, 2001, h.34
18. Marhabanan adalah tradisi memmbaca barjanji yang berisi lantunan shalawat.
Biasanya dilakukan pada acara-acara selametan seperti pernikahan, sunatan,
476_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
peresmian rumah, kelahiran, dan sebagainya.
19. Masduki Aam dkk, Kesenian Tradisional Provinsi Banten, Serang: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung, 2005, h. 5
20. John L Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World
jilid II, Oxford: Oxford Unversity Press, Inc, 2000, h.67 21. Leslie Wines, Rumi A Spritual Biography: lives I Legacies, New York: Crossroad
8th Avenue; First Edition edition, 2001, h.67
22. Irfan Hielmy, Dakwah bil Hikmah, Jakarta: Mitra Pustaka, 2002, h.73-74
Message of Da’wa Akhlak in Print Mass Media
(A Case Study of Hidayah Magazine)
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak
(Studi Kasus Majalah Hidayah)
Uup Gufron
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
email : [email protected]
Abstract: Reformation era started in 1998 gave many people apportunity to publish magazines
of mystery, secret mystical, pornography, and spitefulness, that was far from morality
values of Islam. On Agust 1, 2001, Hidayah magazine published at first to be alternative
reading for Muslim. In 2004 Hidayah magazine was declared as the sold-out magazine
according to Ac Neilsen, Cakram magazine anda Warta Ekonomi. This research used
content analysis descriptive method by using Hidayah magazine vol. 58 until 147 as
the analysis unit. The submited technique of data was by interview, observation and
documentation. From this research it was found the fact that the message of akhlak
da’wa in Hidayah magazine was more dominant than the message of shari’a and aqida
da’wa. Persetage of this was 60,4. There were some reason. First, Hidayah magazine
had the concept of da’wa based on akhlak that was aplied by Prophet Muhammad saw
478_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
at the begining of his prophetnous. Second, da’wa akhlak could be run by the telling of
story. Third, da’wa akhlak could inspire dna give positive values to readers.
Abstraksi : Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memberi ruang seluas-luasnya bagi
orang untuk menerbitkan majalah-majalah berbau misteri, klenik, pornografi, dan
penghasudan, yang jauh dari nilai-nilai moral (akhlak) Islam. Tanggal 1 Agustus
2001 majalah Hidayah terbit agar menjadi bacaan alternatif bagi umat Islam.
Majalah Hidayah tahun 2004 tercatat sebagai majalah terlaris menurut Ac Neilsen,
Majalah Cakram, dan Warta Ekonomi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis isi dengan menjadikan majalah Hidayah edisi 58 sampai 147 sebagai unit
analisisnya. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi
dan dokumentasi. Dari sini penelitian menemukan bahwa majalah Hidayah lebih
dominan memuat pesan-pesan dakwah akhlak daripada pesan dakwah akidah dan
syariah. Persentasenya mencapai 60.4 persen. Ada beberapa alasan. Pertama, majalah
Hidayah mengacu konsep dakwah yang dijalani Rasulullah saw pada masa-masa awal
kenabiannya. Kedua, dakwah akhlak majalah Hidayah dilakukan dengan cara bertutur
(bercerita). Ketiga, berdakwah akhlak dapat menginspirasi dan memberi nilai positif
kepada pembaca.
Keywords: Communication, Da’wa, Akhlak, Magazine
A.Pendahuluan
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memberi peluang
besar bagi anak bangsa di Indonesia untuk membuat media massa
sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Era ini bisa dibilang sebagai era
kebebasan pers. Setiap orang bebas berbicara apa saja; menulis apa saja;
dan menerbitkan tulisan apa saja. Sejumlah media cetak dan elektronik
bermunculan. Khusus untuk media cetak, sejumlah media cetak di
awal era reformasi terlihat seperti anak burung yang baru dilepaskan
dari sangkarnya; ia ingin terbang kencang, meski sayapnya belumlah
sempurna.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _479
Media Islam, yang pada era Orde Baru sangat dibungkam, merasa
bebas untuk berekspresi. Begitu juga dengan media-media umum lainnya.
Pendek kata, apapun boleh ditulis dan diterbitkan. Pelbagai tema dan
isu dihembuskan. Akibatnya bermucullah majalah-majalah yang secara
moral (akhlak), akidah, maupun syariah, isinya sangat bertentangan
dengan ajaran Islam. Kala itu bermunculan majalah-majalah yang berbau
misteri, klenik, pornografi, dan penghasudan.
Kehadiran banyaknya media cetak kala itu bisa dinilai positif sebagai
bentuk kesadaran bahwa revolusi informasi dan komunikasi akan
melahirkan suatu peradaban baru, sehingga dapat memberi nilai positif
untuk perkembangan dan kemajuan peradaban umat manusia.1 Namun,
kehadiran maraknya media cetak ini, jika tidak diimbangi dengan
idealisme Islam, maka akan menghadirkan sisi negatif, yang akan
berimplikasi pada jatuhnya moralitas anak bangsa, baik pada aspek sosial,
budaya maupun agama. Oleh karenanya, sisi positif dari kebebasan pers
hendaknya diimbangi dengan idealisme yang mengedepankan nilainilai ketuhanan (akidah), moral (akhlak), dan syariat (hukum).
Bagi umat Islam, kebebasan pers yang terjadi sebenarnya dapat
dimanfaatkan untuk membangun kesadaran masyarakat pada
pentingnya mengikuti akidah, moral dan syariat Islam. Sebab, media
massa dapat dijadikan sarana untuk dakwah Islam di tengah munculnya
arus informasi yang begitu kuat. Berdakwah lewat media massa di tengah
kran informasi yang sudah dibuka begitu luas adalah peluang yang besar
dan sangat menguntungkan umat Islam.2 Namun, sayangnya, pada saat
itu yang terjadi justru umat Islam kurang membaca peluang yang positif
tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, umat Islam mengulang kembali
sejarah masa lalunya. Media cetak Islam yang hadir di era reformasi lebih
banyak mengedepankan ego sektarian. Hal ini terlihat dari isu-isu yang
dipaparkan, yang mencerminkan gagasan kelompok Islam tertentu.
Tahun 1900-an adalah sejarah awal kemunculan majalah Islam.
Media Islam pertama di Indonesia muncul pada 1911 bernama majalah
480_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Al-Munir, yang terbit di Kota Padang, Sumatra Barat. Majalah dakwah
tersebut dikelola oleh para ulama di Minangkabau dan dipimpin oleh
Abdullah Ahmad, murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.3 Namun,
majalah ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1912 Muhammadiyah
menerbitkan Penyiar Islam, Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak
Muhammadiyah, dan Suara Aisyiyah. Di Kota Bandung juga terbit majalah
Pembangkit, Al-Hidayah, dan Aliran Muda. Kemudian, pada tahun 1920
bermunculan terbit majalahh Islam seperti majalah Al-Bayan, Al-Itqan,
Al-Basyir, yang pimpinannya adalah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah.
Ada pula majalah Dunia Akhirat pimpinan Sain al-Maliki, dan majalah
Al-Imam pimpinan Syekh Haji Abbas Padang Japang. Pada tahun 1923
Persatuan Islam (Persis) menerbitkan majalah Al-Lisan dan Al-Fatwaa.
Pelajar Islam Indonesia (PII), juga menerbitkan majalah Islam Bergerak. Di Kota Surabaya hadir majalah Al-Jihad, Al-Islam, dan Berita NU yang
diterbitkan Nahdlatul Ulama. Ormas Islam Al-Ittihadiyah pun tak
ketinggalan. Ormas ini menerbitkan majalah Al-Hidayah. Pada tahun 1947
terbit Harian Abadi yang beraviliasi dengan partai politik Islam Masyumi.
Pada tahun 1959 terbit majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh KH
Fakih Usman (tokoh Muhammadiyah), Hamka, dan Yusuf Abdullah
Puar. Majalah ini cukup besar dan bertahan lama, meski akhirnya gulung
tikar pula.4
Tahun 1986 terbit majalah Amanah dan Ummi. Era ini bisa dibilang era
lahirnya majalah Islam bercorak lifestyle, yang mengikuti trend kehidupan
masyarakat. Lalu pada tahun 1986 Majalah Hidayatullah juga berdiri.
Kemudian pada tahun 1988 berdiri majalah Sabili (1998 terbit lagi setelah
tahun 1993 tidak beredar).5 Kemudian majalah Annida terbit pada tahun
1991. Pada tahun 1993 terbit koran harian berbasiskan dakwah Islam,
yakni Republika. Pada tahun 2001 majalah Hidayah terbit. Tahun 2000an merupakan era baru media Islam, karena coraknya berbeda dengan media
Islam sebelumnya. Majalah Hidayah bahkan sempat fenomenal pada tahun
2005, karena dapat ‘mengalahkan’ media cetak mapan di pasaran yang
sudah berpengalaman dan berusia cukup lama dan permodalan besar.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _481
Salah satu kelebihannya adalah bahwa majalah ini memberi porsi pesan
dakwah akhlak lebih besar daripada pesan akidah maupun syariat.
Karena itu, dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk mengkaji pesan
dakwah majalah Hidayah karena majalah ini bisa dibilang fenomenal dan
satu-satunya majalah Islam yang memberi warna yang berbeda dan unik
bila dibanding dengan majalah Islam yang lain. Disamping itu, majalah
ini menjadi trandsetter bagi majalah-majalah Islam setelahnya. Namun,
majalah-majalah tersebut kini sudah tidak dijumpai lagi di pasaran,
karena tidak mampu mengikuti pola dakwah akhlak yang disajikan
majalah Hidayah. Uniknya lagi, majalah Hidayah beredar di beberapa
negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Hongkong.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis isi dengan
menjadikan majalah Hidayah edisi 58 sampai 147 sebagai unit analisisnya.
Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi
dan dokumentasi.
B.Dakwah Akhlak Lewat Da’wah Bi al-Qalâm
Dakwah berarti mengajak. Secara terperinci bisa dikatakan bahwa
dakwah adalah semua pernyataan yang bersumber dari al-Quran
dan as-Sunnah baik tertulis maupun lisan dari pesan-pesan tersebut.6
Dakwah akhlak berarti mengajak orang dari sisi akhlak atau moral.
Akhlak sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.7
Sementara pesan dakwah akhlak dapat diartikan nasihat atau perintah
seluruh materi ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah yang meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek spiritual
maupun material. Kaitan dengan ini, pesan dakwah akhlak mengandung
dua unsur, yakni hubungannya dengan khalik (hablun min Allâh) dan
hubungannya dengan manusia (hablun min an-nâs). Hablun min Allăh
akan melahirkan kesalehan personal, sedangkan hablun min an-nâs akan
melahirkan kesalehan sosial.8
482_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pesan dakwah akhlak dapat diklasifikasikan pada dua hal pokok, yakni
akhlak kepada Sang Khalik (Allah swt) dan akhlak kepada makhluk.
Akhlak kepada makhluk terbagi dua, yakni (1) akhlak kepada sesama
manusia seperti kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga,
dan kepada orang lain, sedangkan (2) akhlak kepada bukan manusia
seperti akhlak kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sementara pesan
dakwah akidah adalah dakwah yang mengedepankan enam poin rukun
iman; yakni iman kepada Allah, Malaikat, para nabi dan rasul, hari
Kiamat, dan qadha maupun qadhar. Adapun pesan dakwah syariat
adalah dakwah yang mengedepankan pada aspek-aspek ibadah dan
muamalat seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sementara
muamalat misalnya terkait dengan hukum perdata (al-qanûn al-khâsh)
dan hukum publik (al-qanûn al-‘âm). Hukum perdata meliputi hukum
niaga, hukum nikah, hukum warits, dan sebagainya, sedangkan hukum
publik meliputi hukum pidana, hukum bernegara, dan lain sebagainya.
Salah satu cara dakwah yang dilakukan Rasulullah adalah lewat
tulisan (da’wah bi al-qalâm). Pada zaman Nabi dan sahabat, da’wah bi alqalâm dilakukan dengan cara berkorespondensi dengan para penguasa
di belahan bumi. Rasulullah menyurun para sekretarisnya untuk
menuliskan surat ajakan (dakwah) Islam kepada para penguasa.9
Kebiasaan Rasulullah ini kemudian diikuti pula oleh para sahabat, baik
Abu Bakar, Umar, Utsman, maupun Ali, yang tidak meninggalkan da’wah
bi al-qalâm sebagai bagian dari cara efektif dalam mengajak orang untuk
masuk dalam pangkuan Islam.
Pentingnya da’wah bi al-qalâm dijelaskan oleh Allah dalam Quran
Surat al-Alaq: 1, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang mencipatakan.”
Pada Quran Surat al-Qalam: 1 Allah juga berfirman, “Nun, demi pena
dan apa yang tertulis.”10 Dakwah sebagai manifestasi keimanan seorang
muslim dapat diaplikasikan dalam pelbagai media tanpa mengurangi
makna dan tujuan dakwahnya. Salah satunya tentu saja adalah da’wah
bi al-qalâm. Objek dakwah ini cakupannya lebih luas dan banyak, karena
pesan dakwah dan informasi Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _483
ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang untuk masa secara bersamaan dan
masanya pun bisa bertahan lama. Oleh karenanya, dakwah ini akan
menjadi media yang efektif untuk membentuk opini umat, bahkan
mempengaruhi orang begitu kuat.11
Keunggulan lainnya bila dibanding dengan media dakwah lain adalah
efesiensi. Dengan menguraikan penjelasan lewat kata, maka pesan
itu akan lebih efesien untuk disampaikan, dan tidak membutuhkan
persiapan yang lebih kompleks seperti yang ada pada media dakwah
lain. Salah satu media cetak yang digunakan sebagai media dakwah yang
efektif adalah majalah. Jenis media cetak majalah hampir menyerupai
buku, yang dapat bertahan agak lama. Bahkan, majalah bisa jadi lebih
menarik, karena disertai dengan gambar maupun ilustrasi, sehingga
dapat menarik orang untuk membacanya.12
Bila ditilik dari sejarahnya, majalah mulai berkembang pada akhir
abad ke-19, ketika media cetak jenis ini hadir sebagai media hiburan
utama, karena pada saat itu, baik radio maupun televisi belum banyak
dikenal orang. Selain televisi dan radio belum dikenal banyak orang,
juga karena tidak setiap orang pada saat itu mampu untuk pergi
menonton bioskop-bioskop. Pada saat itulah, majalah hadir, tumbuh dan
berkembang sebagai hiburan selain membaca buku.13
Tulisannya pun popular, sehingga semua kalangan, tidak hanya
akademis, dapat membacanya. Bahkan, kalau ditilik lebih jauh, majalah
memiliki empat fungsi kekuatan. Pertama, majalah menyiarkan informasi
(to inform). Fungsi ini merupakan fungsi utama dari pers. Kedua, majalah
berfungsi untuk mendidik (to educate). Fungsi ini adalah sebagai sarana
pendidikan massa (mass education). Ketiga, majalah berfungsi untuk
menghibur (to entertain). Majalah selain memuat berita yang serius,
juga memuat berita yang menghibur. Keempat, majalah berfungsi untuk
mempengaruhi. Fungsi inilah yang menyebabkan pers memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakat.14 Maria Assumpta
Rumanti, juga menyebut empat kelebihan majalah dibandng dengan
484_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
media cetak lain, yakni (1) majalah dapat menjangkau segmen pasar
tertentu yang terspesialisasi; (2) majalah dapat long life span, atau memiliki
usia edar yang panjang; (3). Majalah memiliki kualitas yang lebih menarik
dari sisi cetak dan perwajahannya; dan (4). Majalah bisa menjadi media
yang efektif untuk menyiarkan pesan.15 Dari empat fungsi yang dimiliki
media cetak berupa majalah tentu saja sangat strategsi untuk dimasuki
pesan-pesan dakwah. Apalagi, majalah biasanya dibaca pada saat orang
sedang santai dan tidak dalam keadaan terburu-buru. Di sinilah pesan
dakwah bisa mengena secara efektif kepada para pembaca.
C.Sekilas Majalah Hidayah
Majalah Hidayah terbit untuk pertama kalinya di Malaysia pada
bulan Oktober 1998 di bawah bendera PT. Variapop Group Malaysia.
Kehadiran majalah Hidayah di Malaysia dilatarbelakangi maraknya
media-media yang menyajikan cerita-cerita misteri. Kala itu tercatat ada
30 majalah yang berisi tentang kisah-kisah misteri dan klenik. Hadirnya
majalah Hidayah di Malaysia bertujuan untuk memberikan bacaan
alternatif yang dapat memberikan kesadaran pengetahuan Islam kepada
umat Islam. Maka, lahirnya konsep majalah Hidayah dengan motto:
Sebuah Digest Islam.
Majalah Hidayah di Malaysia mendapat respon yang sangat positif
dari pembaca. Hal ini dapat diketahui dari oplah penjualan majalah
tersebut yang cukup tinggi di sana. Indikasi kesuksesan lain dari majalah
Hidayah di Malaysia adalah munculnya majalah-majalah Islam yang
menyerupai visi dan misi majalah Hidayah.
Melihat fenomena kesuksesan majalah Hidayah di Malaysia kemudian
dibaca oleh PT. Variapop Group Malaysia untuk mencoba menerbitkan
majalah Hidayah di Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa pemilik
modal tertarik untuk menerbitkan majalah Hidayah di Indonesia.
Pertama, kultur umat Islam di Indonesia dengan Malaysia tidak terlalu
berbeda, bahkan cenderung sama. Kesamaan kultur akan berdampat
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _485
pada kesamaan selera. Kedua, era reformasi membuka kran seluas-luasnya
bagi terbitnya media di Indonesia. Kebebasan pers seakan membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi semua kalangan untuk ikut andil
dalam menyuarakan ide, gagasan dan pandangannya tentang sesuatu,
termasuk tentang gagasannya dalam memahami Islam. Maka, pada era
itu, munculah media-media cetak Islam dengan corak yang membawa
idiologi Islam tertentu, disamping banyak pula media-media cetak yang
menyajikan kupasan misteri dan klenik. Dalam kondisi seperti ini, maka
lahirlah majalah Hidayah di bawah bendera PT. Variapop Group sebagai
upaya untuk menyajikan bacaan alternatif bagi umat Islam di Indonesia
dengan motto: Sebuah Intisari Islam.
Majalah Hidayah di Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 1
Agustus 2001. Pada cetakan (volume) pertama, PT. Variapop Grup
mencetak 10.000 eksemplar, dan langsung terjual habis. Harganya kala
itu Rp.2.500,-. Mulai edisi kedua harganya dinaikkan menjadi Rp. 5.000.
Itu pun langsung habis di pasaran. Ini bukti bahwa majalah ini pada edisiedisi awal mendapat respon yang positif dari pembaca. Respon positif
dari pembaca di Indonesia terlihat dari peningkatan oplah penjualan
majalah ini. Belum genap usianya satu tahun, majalah ini sudah tembus
oplah 100.000 eksemplar. Ini tentu suatu sangat fenomenal untuk ukuran
media Islam, yang waktu itu kurang mendapat respon positif di kalangan
pembaca di Indonesia. Majalah Warta Ekonomi membuat laporan berita
bahwa majalah Hidayah pada terbitan bulan Juli 2003 (edisi 26) oplahnya
sudah menembus angka 320.000 eksemplar. Padahal, kala itu, majalah
Tempo yang sudah termasuk berpengalaman hanya sampai pada angka
60.000, sementara majalah Sabili, yang tergolong majalah Islam yang
lebih awal terbitnya hanya sampai pada oplahnya 80.000. Majalah Warta
Ekonomi juga memberi penilaian bahwa majalah Hidayah mampu
berada di posisi 4 dari 17 majalah dalam kategori majalah Islam terbaik
dengan nilai 4,6.
Sejumlah penghargaan juga pernah disematkan kepada majalah
Hidayah, diantaranya adalah penghargaan dari Cakram Award,
486_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
majalah Hidayah dinobatkan sebagai majalah terlaris pada tahun 2005.
Kemudan Ac Nielsen, sebuah lembaga survey dari Amarika Serikat,
juga menobatkan majalah Hidayah di posisi teratas dalam kategori 10
majalah dengan pembaca terbanyak. Menurut Ac Nielsen, persis di
bawah majalah Hidayah ada majalah Aneka Yess, sedangkan majalah
Tempo berada di urutan paling buncit.16
Dari sisi konten, majalah Hidayah pada edisi kedua mengangkat
Prof. Dr. Buya Sidi Ibrahim sebagai penasihat bidang agama. Ia adalah
dosen hukum dan agama Islam di delapan perguruan tinggi di Jakarta.
Atas permintaan pembaca, mulai edisi 12 majalah Hidayah menurunkan
rubrik konsultasi keluarga sakinah yang diasuh oleh Hj. Lutfiah Sungkar.
Namun, pada edisi 90, majalah Hidayah menggantinya dengan da’iah
kondang Mamah Dedeh (Hj. Dedeh Rosyadah). Rubrik ini mendapat
tanggapan positif dari pembaca. Hal ini terlihat dari surat pembaca yang
mengajukan pertanyaan kepada narasumber tersebut. Disamping itu,
sejak edisi 22, majalah Hidayah menurunkan rubrik Konsultasi Zikir
yang diasuh oleh Ust. HM. Arifin Ilham. Rubrik ini juga mendapat tempat
yang baik di hati pembaca. Indikasinya pun sama, yakni pertanyaan
yang mampir ke meja redaksi. Rubrik ini mengupas pertanyaan pembaca
seputar keluhan, metode, dan apa saja yang terkait dengan ibadah zikir.
Yang tak kalah populer juga adalah diturunkannya rubrik konsultasi
fiqih yang diasuh oleh Prof. KH. Ali Yafie, mantan Ketua Umum MUI
Pusat. Rubrik ini mengulas pertanyaan dari pembaca seputar persoalan
fiqih keseharian.
D.Pembahasan
Majalah Hidayah memiliki visi untuk mencerdaskan kehidupan
umat Islam di Indonesia melalui media cetak. Sementara misinya adalah
menyebarkan dakwah akhlak lewat cerita-cerita yang mengandung
hikmah dan menjadi media alternatif yang mampu mengajak umat
Islam kembali kepada ajaran-ajaran Islam, yakni al-Quran dan hadits.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _487
Sementara itu, majalah Hidayah juga memegang fiosofi al-Quran dalam
mengupas suatu tulisan, yakni dengan cara bercerita. Al-Quran ditulis
lebih banyak bercerita (naratif) dari pada menjelaskan (deskriptif
maupun argumentatif).
Misi, visi dan filosofi ini kemudian diterjemahkan lewat rubrikasi
yang ada di majalah Hidayah. Kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2013,
majalah Hidayah sudah sering melakukan penyegaran rubrikasi. Ada
banyak rubrik yang diganti, ditambahkan, dan dihilangkan. Namun,
secara umum, rubrikasi yang dipasang sulam itu tidak melenceng dari
visi, misi serta filosofi yang dikembangkan oleh majalah Hidayah.
Berikut ini temuan penulis tentang gambaran rubrikasi majalah
Hidayah, deksripsi konten dan kategorisasi dalam pesan dakwahnya.
Tabel 1
Rubrikasi dan Pesan Dakwah Majalah Hidayah
No.
1.
2.
Nama Rubrik
Deskripsi Konten
Pesan Dakwah
Iktibar
Cerita-cerita yang
merujuk pada akhir
hayat seseorang
sebagai klimaks cerita.
Kriteria cerita ada dua,
yakni husnul khotimah
dan su’ul khotimah.
Akhlak selama
hidup seseorang
kepada Allah,
sesama manusia,
binatang, dan
hewan.
Kisah Haji17
Cerita-cerita
pengalaman perjalan
ibadah haji dan
problem maupun
kemudahan yang
dijumpai selama di
Tanah Suci.
Akhlak kepada
Allah sebelum,
selama dan setelah
ibadah haji.
488_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kisah Sedekah18
Cerita-cerita
kedahsyaratan orang
yang melakukan
sedekah. Barometer
cerita ini adalah
hikmah dan anugerah
yang diterima
seseorang setelah
memberi sedekah
Akhlak kepada
sesama manusia.
Kolom19
Ulasan tematik sesuai
dengan isu terkini.
Kolom ini diisi oleh
pakar agama.
Akidah berupa
keimanan dan
ketakwaan kepada
Allah swt.
Ensiklopedi
Ulasan tematik yang
diambil dari keyword
dalam istilah fiqih dan
ushul fiqih.
Syariat berupa
hukum-hukum
ibadah dan
muamalat
Tafsir20
Ulasan tafsir ayat
per ayat, dan
dikorelasikan dengan
konteks terkini.
Akidah berupa
keimanan dan
ketakwaan.
Tasawuf
Ulasan tasawuf
tematik, yang
bercirikan tasawuf
akhlaki.
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
Ulasan tentang
problem kewanitaan
mulai dari persoalan
fiqih dan akhlak.
Syariat (berupa
ibadah dan
muamalat) dan
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
Nisa
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _489
Tamu Kita
Profil orang ternama
yang masih hidup
dengan mengambil
nilai-nilai postif
dalam keseharian dan
pemikirannya.
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
Tokoh
Profil tokoh ternama
yang sudah meninggal
dengan mengambil
nilai-nilai dan ajaran
selama hidupnya.
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
Setetes Hidayah
Profil pengalaman
seorang mualaf
sebelum dan sesudah
memeluk Islam.
Akidah (keimanan
dan ketakwaan)
dan Akhlak
(kepada Allah dan
sesama manusia).
12.
Kisah Para
Nabi21
Profil hidup para nabi.
Fokusnya pada nilainilai yang diajarkan
dalam hidupnya.
Akidah (keimanan
dan ketakwaan)
dan Akhlak
(kepada Allah dan
sesama manusia)
13.
Kisah
Inspiratif22
Profil orang sukses
dalam menggapai
kehidupan yang
berkah.
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
Sirah
Nabawiyah23
Cerita perjalanan nabi
yang berseri.
Akidah (keimanan
dan ketakwaan)
dan Akhlak
(kepada Allah dan
sesama manusia)
Agenda
Laporan berita tentang
acara-acara tertentu
yang bertemakan
Islam.
Akidah, Syariat
dan Akhlak
9.
10.
11.
14.
15.
490_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Pondok
Pesantren
Profil pondok
pesantren di Indonesia
yang ternama, dan
memiliki kekhasan
sendiri dalam metode
pembelajarannya.
Akhlak kepada
Allah dan kepada
sesama manusia.
Alam Gaib
Ulasan seputar hal-hal
yang gaib berdasarkan
keterangan al-Quran
dan Sunnah.
Akidah (keimanan
kepada hal-hal
yang gaib)
Remaja Islam
Ulasan tematik
tentang probem yang
biasa dijumpai di
kalangan remaja.
Akhlak kepada
Allah dan kepada
sesama manusia.
Syiar
Profil lembagalembaga yang
bergerak di bidang
dakwah dan sosial.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Masjid
Profil masjid-masjid
tua di Indonesia, yang
menyimpan sejarah
perkembangan Islam.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Jendela Islam
Ulasan tentang
kehidupan umat Islam
di negara-negara yang
mayotitas muslimnya.
Akidah (keimanan)
dan Akhlak
(kepada Allah dan
manusia)
Keluarga
Sakinah
Ulasan tematik
tentang seputar kiat
membangun keluarga
yang sakinah,
mawaddah dan
warahmah.
Akhlak kepada
Allah dan sesama
manusia.
24
25
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _491
Himmah
Ulasan motivasi
kehidupan dari pakar
motivasi.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Ekonomi Islam26
Ulasan tematik
tentang kiat-kiat
umat Islam dalam
membangun bisnis.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Sunnah Nabi
Ulasan tematik
tentang perilaku
atau Sunnah yang
dilakukan Nabi yang
berdampak positif
pada kehidupan baik
dari segi kesehatan
maupun kejiwaan.
Syariat (seputar
ibadah dan
muamalat)
Tahukah Anta
Tulisan ringan tentang
apa-apa saja yang
menarik dan unik dari
Islam, yang jarang
dilupakan dan tidak
diketahui.
Akidah, Syariat,
dan Akhlak
27.
Aktual
Ulasan tematik
seputar ha-hal dan
isu terkini dilihat
dari kaca mata ajaran
Islam.
Akidah, Syariat,
dan Akhlak
28.
Wawancara
Profil pemikiran tokoh
pakar agama Islam.
Akhlak kepada
Allah dan manusia
Seni Islam
Ulasan tematik
tentang seni-seni yang
mengandung nilainilai Islam dan layak
untuk dilestarikan.
Akhlak kepada
Allah dan manusia
23.
24.
25.
26.
29.
492_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Kabar dari
Singapura27
Laporan berita tentang
kegiatan umat Islam di Akidah, Syariat,
Singapura, terutama
dan Akhlak
di kalangan WNI.
Rihlah
Laporan perjalanan
reporter tentang suatu
tempat atau objek
wisata religi.
Akhlak kepada
Allah dan manusia
Konsultasi Fiqih
Ulasan jawaban
dari pertanyaan
pembaca yang dijawab
langsung oleh Prof.
KH. Ali Yafi’ seputar
masalah fiqih.
Syariat (ibadah dan
muamalat)
Konsultasi Zikir
Ulasan jawaban dari
perbaca yang dijawab
langsung oleh Ust.
HM. Arifin Ilham
seputar zikir.
Akidah (keimanan
dan ketakwaan)
Konsultasi
Keluarga
Sakinah
Ulasan jawaban
dari pertanyaan
pembaca yang dijawab
langsung oleh Mamah
Dedeh (Hj. Dedeh
Rosyadah)
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Tips Kesehatan
Ulasan tematik
tentang kiat-kiat
menjaga kesehatan
menurut al-Quran dan
Sunnah.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Kajian Pustaka
Resensi buku-buku
Islam dari penerbitpenerbit Islam di
Indonesia.
Akidah, Syariat
dan Akhlak
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _493
37.
38.
Pengalaman
Sejati
Cerita-cerita
pengalaman pribadi
para pembaca tentang
kehidupan.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Tafakur
Kolom perenungan
yang ditulis oleh
pemimpin redaksi
tentang hal-hal terkini
dan menarik.
Akhlak kepada
Allah dan manusia.
Meski rubrikasi di majalah Hidayah mengalami pergantian nama,
namun secara esensial, pergantian nama rubrik tersebut tidak merubah
kategori pesan dakwah yang dimuat. Misalnya, nama rubrik Kisah
Inspiratif awalnya bernama rubrik Potret; lalu rubrik Kisah Para Nabi
semula bernama rubrik Kisah Teladan; dan Sain Islam semula namanya
Alam Gaib. Adanya penambahan rubrik juga tidak mengurangi
kategorisasi pesan dakwah. Biasanya, adanya penambahan rubrik
diawali dengan pengurangan rubrik. Misalnya, rubrik Kisah Haji dan
rubrik Kisah Sedekah semula tidak ada. Dulu namanya tetap Iktibar.
Dalam hal ini, rubrik iktibar memuat lima cerita. Namun, karena ada
penambahan rubrik bernama rubrik Kisah Haji dan Kisah Sedekah,
maka rubrik Iktibar dipangkas hanya memuat tiga cerita saja.
Disamping itu, ada beberapa rubrik yang secara kategori pesan
dakwahnya berubah. Hal ini dikarenakan rubrik tersebut menyesuaikan
isi laporan berita dan ulasan. Kaitan dengan ini, rubrik yang demikian
penulis kelompokkan dalam dua kategori atau tiga kategori sekaligus,
mengingat untuk memudahkan identifikasi. Misalnya pada Rubrik
Agenda. Rubrik ini adalah laporan berita tentang suatu kegiatan
keagamaan. Adakalanya kegiatan itu mengandung pesan dakwah
akidah, syariat dan akhlak.
Dari temuan pada tabel 1 dapat penulis gambarkan mengenai
persentase kategorisasi pesan dakwah tersebut:
494_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Tabel 2
Data Persentase Berdasarkan Kategorisasi
No.
Kategori Pesan Dakwah
1.
Akidah
8
15,1
2.
Syariat
13
24,5
3.
Akhlak
32
60,4
53
100 %
Jumlah
Frekuensi
Persentase
Dari sini dapat diketahui bahwa memang majalah Hidayah lebih
dominan memuat pesan-pesan dakwah akhlak daripada pesan
dakwah akidah dan syariah. Persentasenya mencapai 60.4 persen.28 Ini
menunjukkan bahwa majalah Hidayah memang lebih mengedepankan
pesan dakwah akhlak daripada pesan lain. Ada beberapa alasan yang
melatarbelakngi kenapa pesan akhlak menjadi bagian yang lebih
dominan daripada pesan dakwah lainnya.
Pertama, majalah Hidayah mengacu konsep dakwah yang
dijalani Rasulullah pada masa-masa awal kenabiannya. Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya aku diutus (ke muka bumi) tak lain adalah
untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan
pentingnya akhlak sebagai basis utama dalam memberikan pencerahan
kepada umat manusia. Rasulullah sadar betul bahwa untuk mencapai
dakwah akidah dan syariah, haruslah dimulai dari dakwah akhlak. Salah
satu keberhasilan dakwah Rasulullah adalah karena ia mengajarkan
da’wah bi al-hal (dakwah aplikatif). Artinya, ajaran akidah dan syariat
dijelaskan oleh Rasulullah melalui perbuatannya yang baik. Rasulullah
tidak memaksakan ajaran Islam kepada umatnya dengan cara kekerasan,
melainkan dengan kelembutan. Rasulullah bersabda: “Tidaklah aku
diutus (menjadi Rasul) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.”
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _495
(HR. Muslim). Ini mengindikasikan adanya dakwah akhlak. Bahkan,
beberapa riwayat dalam sejarah Islam menyebutkan Rasulullah tidak
merasa dendam kepada orang yang memusuhinya secara personal.
Dengan lapang dada Rasulullah memaafkan orang-orang yang dulu
pernah menyakitinya.
Apa yang dituangkan dalam majalah Hidayah merupakan cara yang
efektif, mengingat Rasulullah pun mengajarkan hal yang demikian,
yakni berdakwah dengan akhlak. Pilihan dakwah yang dilakukan
oleh majalah Hidayah hanyalah bagian dari strategi (siyâsah) dakwah.
Mengingat, segmentasi pembaca majalah Hidayah umumnya adalah
kelas menengah ke bawah. Hal ini bisa dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4
Spesifikasi Pembaca Majalah Hidayah29
Jenis
kelamin
Tingkat
Pendidikan
(%)
Usia
(%)
(%)
Pria
51 %
15 tahun
7,4 %
SD
4,7 %
Wanita
48 %
16-25 tahun
54,8 %
SMP
14,3 %
26-35 tahun
30,3 %
SMA
54,3 %
36-44 tahun
5,2 %
Diploma
10,2 %
45 tahun
2,2 %
S1
16,3 %
S2
2%
Dari tabel ini terlihat bahwa 54,3 persen pembaca majalah Hidayah
adalah orang yang lulusan bangku sekolah tingkat SMA. Sedangkan
secara usia, 54,8 persen pembaca majalah Hidayah adalah kalangan
remaja antara 16-25 tahun. Ini menunjukkan bahwa majalah ini
memang sengaja menitiberatkan kepada dakwah akhlak karena harus
disesuaikan dengan segmentasi pembacanya. Mengingat, jika pesan
dakwah adalah akidah dan syariah yang lebih dominan, maka itu tidak
496_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
mencerminkan pada tingkat pembaca. Majalah Hidayah tidak beraviliasi
pada kelompok maupun mazhab Islam tertentu, sehingga para pembaca
merasa tidak diajak untuk masuk ke dalam suatu kelompok tertentu. Hal
ini tentu berbeda dengan majalah-majalah Islam lain, yang cenderung
kemunculan karena dilatarbelakangi oleh suatu idiologi dan kelompok
Islam tertentu. Menurut Jalaluddin Rakhmat, dakwah dengan akhlak
akan meminimalisir perbedaan pendapat, sedangkan dakwah fiqih
(syariat) justru akan terjadi benturan perbedaan.30
Hal ini juga diajarkan oleh Rasulullah, bahwa sebaik-baiknya
berdakwah adalah dengan cara yang bisa menyesuaikan jamaahnya
(umatnya). Sebab, jika pesan dakwah tidak berpijak pada apa yang bisa
diterima oleh jamaahnya, maka dakwah itu tidak akan sampai pada
yang menerimanya. Agar dakwah lebih terarah dalam arti dilakukan
secara efektif, efesien dan seuai dengan situasi dan kondisi, maka perlu
secara rinci mengetahui sasaran dakwah berdasarkan tingkat usia,
tingkatan pendidikan dan pengetahuan, serta tingkat sosial ekonomi
dan sebagainya. Rasulullah sendiri bersabda: “Kami perintahkan supaya
berbicara kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing.” (HR.
Muslim). Menurut Achmad Mubarok, kadar akal dalam hadist ini
dipahami sebagai tingkatan intelektual, bisa juga diartikan sebagai cara
berpikir, cara merasa dan kecenderungan kejiwaan lainnya. Dakwah
Islam adalah dakwah yang bijak yang sangat memperhatikan objek
dakwah sehingga mereka tidak merasa terbebani dan berat untuk
melakukan apa yang diperintahkan Allah swt.31
Meski banyak kalangan (terutama intelektual-akademis) tidak
sependapat dengan metode dakwah majalah Hidayah, namun
sesungguhnya majalah Hidayah tidak menyalahi metode dakwah
yang dianjurkan oleh Rasulullah. Karena, majalah Hidayah ternyata
hanya mencoba memasuki wilayah jamaah atau sasaran dakwah yang
ingin dibidiknya. Ketidaksependapatan mereka umumnya karena
dilatarbelakangi ketidaktahuan tentang isi dakwah majalah Hidayah.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _497
Kedua, dakwah akhlak yang dilakukan majalah Hidayah dilakukan
dengan cara bertutur (bercerita). Setidaknya ada tujuh rubrik yang
dikupas dengan cara bercerita atau naratif, yakni rubrik Iktibar, Kisah
Haji, Kisah Sedekah, Setetes Hidayah, Sirrah Nabawiyah, Kisah Para
Nabi, dan Pengalaman Sejati. Sebelumnya, ada juga nama rubrik Kisah
Kitab dan Kisah Teladan. Namun, di edisi terkini, kedua rubrik itu
dihilangkan. Kisah Teladan berisi tentang cerita para sahabat Nabi,
tăbi’in, dan tăi’i al-tăbi’ĭn. Acuannya adalah yang menginspirasi, seperti
kisah keteladanan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul
Aziz, dan lain sebagainya.
Majalah Hidayah sengaja membuat caranya sendiri dalam menulis,
yakni kupasan jusnalisme sastra. Hal ini ternyata ampuh, mengingat
pembaca begitu senang dengan jenis tulisan seperti ini. Hal ini
sebenarnya secara filosofis juga mengikuti al-Quran, mengingat alQuran sebagian besarnya ditulis dengan cara bercerita. Itulah sebabnya
kenapa al-Quran mampu menggugah bangsa Arab yang keras, karena
al-Quran ditulis dengan sastra yang tinggi, dan salah satunya adalah
dengan cara bercerita. Tentu saja, antara Hidayah dan al-Quran tidak
bisa disandingkan. Tetapi, dalam konteks role model-nya, al-Quran adalah
yang dijadikan percontohan oleh majalah Hidayah.
Majalah Hidayah memberi pesan dakwah akhlaknya secara implisit
dan tidak menggurui. Misalnya, majalah Hidayah menulis cerita berjudul
Jenazah Hafiz Quran Berusia 60 tahun Utuh; Pemuda Suka Judi Tewas di Meja
Judi; Meninggal Saat Shalat Sunnah Qobliyah, dan sebagainya. Majalah
Hidayah tidak perlu menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang
hafal al-Quran di masa hidupnya. Ketika cerita berjudul Jenazah Hafiz
Quran Berusia 60 tahun Utuh, para pembaca langsung menangkap pesan
yang ingin disampaikan oleh majalah Hidayah, bahwa para penghafal
al-Quran itu sangat istimewa di mata Allah. Begitu juga ketika judul
cerita Pemuda Suka Judi Tewas di Meja Judi. Pembaca langsung menangkap
bahwa umat Islam dilarang berjudi, sebab, akhir hayat seseorang bisa jadi
tidak jauh dari kebiasaannya. Berbeda halnya dengan ketika pembaca
498_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
membaca judul cerita Meninggal Saat Shalat Sunnah Qobliyah, maka para
pembaca akan menangkap pesan bahwa orang yang rajin shalat sunnah
akan mendapat kemuliaan dan kehormatan di akhir hayatnya. Majalah
Hidayah tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar tentang apa saja
keutamaan shalat sunnah qobliyah dan apa saja keutamaan orang yang
menghafal al-Quran semasa hidupnya. Yang pasti, dalam tangkapan
pembaca, selama hidup ini hendaknya diisi dengan akhlak yang baik,
yakni rajin beribadah, beramal shaleh, dan menjauhi perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama.
Kontroversi seputar majalah Hidayah memang sempat muncul.
Diantaranya, (1) majalah Hidayah dianggap tidak memiliki konsep
kausalitas yang jelas karena menghubungkan antara perbuatan seseorang
yang sudah meninggal dengan perilaku semasa hidupnya. Dalam hal ini
majalah Hidayah memiliki jawaban tersendiri, salah satunya mengutip
ayat al-Quran al-Zalzalah: 7-8, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjaan
kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” Dalam
konteks ini Rasulullah juga bersabda: “Seseorang dinilai akhir amalnya.”
(HR. Bukhari).
Selain itu, banyak juga keterangan hadits yang menjelaskan tentang
husnul khõtimah. Salah satu cirinya adalah adanya keringat di dahinya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan at-Tirmidzi
melalui Buraidah bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin wafat
dengan keringat di dahinya.” Hadits ini dinilai shaleh oleh kalangan
ulama hadits. Yang terpenting dari itu semua adalah tersampainya
pesan dakwah kepada sasaran dakwahnya. Majalah Hidayah selama ini
melakukan dakwahnya dengan caranya sendiri dan cenderung berbeda
dengan kebanyakan majalah Islam lainnya.
Ketidaksependapatan terhadap majalah Hidayah juga muncul
mengingat majalah ini seakan mengutarakan sesuatu yang bersifat
misteri, klenik dan berbau khurafat. Padahal, majalah Hidayah tidak
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _499
pernah sedikit pun mengait-ngaitkan persoalan kematian dan pascakematian dengan sesuatu yang bersifat mistis. Yang dilakukan oleh
majalah Hidayah adalah menyajikan dua fakta yang berbeda, yakni fakta
kejadian kematian (klimaks cerita), dan perjalanan kehidupan orang
yang sudah meninggal. Ini adalah dua fakta yang berbeda yang ingin
disajikan oleh majalah Hidayah. Pada akhirnya pembaca yang menilai
atas dua fakta tersebut. Secara kaidah jurnalistik pun, majalah Hidayah
tidak menyalahi aturan dan tetap mengacu pada dasar-dasar kaedah
jurnalistik yang baik dan benar. Majalah Hidayah juga tidak membuka
aib orang yang sudah meninggal dunia, sebab hal ini sangat dilarang oleh
agama Islam. Oleh karenanya, majalah Hidayah selalu menyamarkan
tokoh dalam cerita dan lokasinya, untuk menjaga nama baik keluarga
yang meninggal.
Namun, dalam situasi ini, majalah Hidayah acapkali kemudian
dituduh membuat cerita yang mengada-ada, karena konsep 5W 1H
diabaikan. Padahal, tidaklah demikian. Majalah Hidayah ternyata
hanya menyamarkan konsep 5W 1H tersebut karena jika itu dilakukan,
maka yang terjadi adalah majalah Hidayah tidak lagi berdakwah,
melainkan melakukan ghibah, membuka aib sesama muslim, dan
memicu permusuhan antar umat Islam. Pada sisi inilah Hidayah laksana
simalakama.
Ketiga, berdakwah akhlak dapat menginspirasi dan memberi
nilai positif kepada pembaca. Kisah-kisah di majalah Hidayah telah
menginsiprasi dan menggugah banyak pembaca. Tidak sedikit banyak
pembaca melayangkan surat ucapan terima kasih kepada majalah
Hidayah karena telah membuat perbaikan dalam hidupnya. Tidak
sedikit orang non-muslim akhirnya menjadi muslim setelah membaca
rubrik Setetes Hidayah, yang berisi pergulatan spiritual dan logika
para mualaf dalam menentukan pilihannya pada agama Islam. Hal ini
mungkin disebabkan karena majalah Hidayah mengupas sesuatu yang
berat menjadi lebih ringan dan mudah diterima oleh banyak kalangan,
karena majalah ini lebih mendominasikan sisi pesan akhlak daripada
500_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang lain. Pesan dakwah akhlak dapat diterima di semua kelompok
umat Islam manapun.
E. Penutup
Dari paparan dan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
salah satu faktor kesuksesan majalah Hidayah adalah karena majalah ini
mengedepankan pesan-pesan dakwah akhlak yang ringan yang dapat
dengan mudah diterima oleh kalangan menengah ke bawah, baik secara
ekonomi, usia maupun status pendidikan. Majalah ini juga menghindar
dari isu-isu politik Islam sehingga dapat diterima banyak pembaca.
Majalah ini berisi kisah-kisah dan ulasan yang inspiratif dan tidak
membebani pikiran pembaca tentang hal-hal yang berat, karena yang
dikupas adalah sisi-sisi akhlak yang lebih humanis dibandingkan pesan
dakwah lainnya. Majalah Hidayah juga mampu mensinergikan antara
visi dan misinya dengan apa yang dikehendaki pembacanya.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _501
Daftar Pustaka
Bisri, Mustopa. Saleh Ritual Saleh Sosial, Bandung: Mizan, 1995.
Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Dosdakarya
Eka Ardhina, Sutirman. Jurnalistik Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995.
Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: Pedoman Ilmu
Kuswandi, Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media
Televisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.
Mubarok, Achmad. Fisikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammadiyah, Hilmi dan Syamsuddin M Pay (ed). Dakwah dan
Globalisasi, Jakarta: elSas, 2000.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta:
Logos
Mustofa, A, Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pustaka Setia, 1999.
Rakhmat, Jalaluddin, Menyinari Relung-Relung Rohani: Mengembangkan
EQ dan SQ Cara Sufi, Jakarta: Hikmah dan IIMan, 2002.
Romli, Asep Syamsul M. Jurnalistik Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995.
Rumanti, Maria Assumpta. Dasar-Dasar Public Relation: Teori dan Praktik.
Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Ya’qub, Ali Mustofa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997.
502_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1996, h. 1
2. Sutirman Eka Ardhina, Jurnalistik Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995, h. 16-17
3. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jaskarta:
Raja Grafindo Persada, 2005, h. 15
4. Heri Ruslan, Hikayat Media Massa Islam di Nusantara, http//:republika.co.id,
diakses pada 03/08/2013
5. Abdullah Ubaid Matraji, Mengintip Dapur Majalah Islam, majalah Syir’ah No.
57/V/September/2006
6. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, h. 43
7. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khulúqun yang menurut
bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata ‘akhlak’
mengandung segi penyesuaian dengan perkataan khalqun, yang berarti
kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khăliq yang berarti pencipta,
demikian juga dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan. lihat A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Pustaka Setia, 1999, h. 11
8. Mustopa Bisri, Saleh Ritual Saleh Sosial, Bandung: Mizan, 1995, h. 28
9. Ali Mustofa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997, h. 181-182
10. Hilmi Muhammadiyah dan Syamsuddin M Pay ed, Dakwah dan Globalisasi,
Jakarta: elSas, 2000, h. 34
11. Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995, h. iii
12. M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif, Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997, h. 45
13. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: Logos,
1999, h. 91
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _503
14. Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung,
Remaja Dosdakarya, 1994, h. 149-150
15. Maria Assumpta Rumanti, Dasar-Dasar Public Relation: Teori dan Praktik,
Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, h. 126
16. Abdullah Ubaid Matraji, Antara Idealisme dan Pasar, Syir’ah/57/September/2006
17. Rubrik Kisah haji sebenarnya tergolong baru. Mulai diturunkan pada edisi
130. Adanya rubrik ini karena ada permintaan dari pembaca tentang ceritacerita yang dijumpai selama menjalankan ibadah haji dokumen wawancara
dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013
18. Kisah Sedekah juga tergolong rubrik baru. Mulai diturnkan pada edisi 130.
Adanya rubrik ini karena ada permintaan dari pembaca tentang orangorang sukses karena memberi sedekah. Rubrik ini juga pernah diusulkan
oleh Ust. Yusuf Mansur kepada majalah Hidayah dokumen wawancara
dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013
19. Rubrik Kolom diisi oleh para pakar. Sudah beberapa kali rubrik ini diasuh
dengan orang-orang berbeda. Dulu diasuh atau ditulis oleh wartawan
senior alm Syu’bah Asa, lalu ada Uust. Asfa Davi Bya, SH Sekjen Majelis
Az-Zikra, lalu ada Ust. Ir. Achmad Nawawi Mujtaba. MA Koord. Diklitbang
Majelis Az-Zikra dan Sekjen MUI Depok, lalu wartawan senior Sudirman
Tebba, kemudian kini diasuh oleh KH. Dr. Syamsul Yakin, MA Pengasuh
Pesantren Madinatul Quran, Sawangan Depok dokumen wawancara
dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
20. Rubrik tafsir mulai diturunkan pada edisi 80. Pada edisi-edisi awal,
rubrik ini mengupas ayat per ayat mulai dari Juz 1, yakni Surat al-Fatihah,
kemudian Surat al-Baqarah. Tapi, belakangan berdasarkan permintaan
pembaca, rubrik tafsir diulas secara tematik sesuai dengan konteks dan isu
terkini dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah,
Abd. Muadz, 03/08/2013.
21. Sebelum ada nama rubrik ini, rubrik ini bernama Kisah Teladan. Isinya
hampir sama, yakni kisah-kisah teladan orang-orang di zaman dulu.
Bedanya, kalau Kisah Teladan mengupas para sahabat nabi, tabi’in, dan
tabi’ittabi’in. Sementara Kisah Nabi diangkat dari kisah-kisah teladan
para nabi yang ada berjumlah 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui itu
dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd.
Muadz, 03/08/2013.
22. Rubrik Kisah Inspiratif merupakan rubrik baru, dan mulai diturunkan pada
edisi 130. Sebelumnya bernama rubrik Potret. Antara rubrik Potret dengan
504_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
rubrik Kisah Inspiratif sebenarnya berisi dan ulasannya sama, yakni profil
orang-orang yang memberi inspirasi. Penekanannya adalah, mereka jarang
atau bahkan luput dari perhatian media pada umumnya, tapi mereka
memberi kontribusi yang sangat positif pada orang-orang di sekitarnya
dan masyarat Indonesia pada umumnya dokumen wawancara dengan
Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
23. Rubrik Sirah Nabawiyah tergolong rubrik baru. Rubrik ini berupa ulasan
kisah Nabi Muhammad saw secara berseri, mulai dari masa kecil hingga
wafatnya. Sebelumnya, rubrik ini bernama Kisah Kitab, yang bersi kisahkisah ulama terdahulu yang diambil dari kitab-kitab klasik dokumen
wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz,
03/08/2013.
24. Sejak edisi 130, rubrik ini diganti namanya menjadi Sain Islam. Isinya
hampir sama, yakni mengupas hal-hal yang gaib ditinjau dari al-Quran dan
Sunnah. Namun, pada rubrik Sain Islam ditambahi pendekatan saintifik
dan temuan-temuan terkini dalam ilmu pengatahuan tentang hal-hal yang
gaib tersebut. Disamping itu, temanya juga bisa lebih diperluas dokumen
wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz,
03/08/2013.
25. Rubrik Remaja Islam juga termasuk rubrik baru. Mulai diturunkan setelah
edisi 130. Rubrik ini berasal dari masukan dan permintaan dari pembaca
yang begitu banyak dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi
Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
26. Rubrik Ekonomi Islam tergolong baru dan mulai diturunkan sejak edisi 130.
Rubrik ini juga berasal dari permintaan pembaca yang menginginkan ada
rubrik yang membicarakan seputar kegiatan ekonomi umat Islam dokumen
wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz,
03/08/2013.
27. Rubrik Kabar dari Singapura adalah rubrik yang diturunkan berdasarkan
permintaan dari pembaca yang ada di luar negeri. Sebelumnya rubrik
ini juga bernama rubrik Kabar dari Hongkong. Bahkan, beberapa edisi
juga mengganti rubrik ini dengan nama Kabar dari Malaysia. Redaksi
menjadikan rubrik ini fleksibel sesuai dengan berita yang menarik untuk
ditulis di ketiga negara tersebut, yakni Singapura, Malaysia dan Hongkong,
yang merupakan negara edar majalah Hidayah, dan memiliki pembaca yang
lumayan banyak di sana dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi
Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
28. Beberapa penelitian mengenai konten majalah Hidayah juga menyebutkan
hasil yang tak jauh berbeda. Skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah,
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _505
Siti Yulianti, dengan judul Analisis Isi Pesan Rubrik Pengalaman Sejati Majalah
Hidayah Edisi Maret-Desember 2006 menyimpulkan bahwa pesan dakwah
akhlak yang terkandung dalam rubrik Pengalaman Sejati mencapai 80
persen, sementara pesan dakwah syariah hanya 12,5 persen dan pesan
dakwah akidah juga hanya 7,5 persen. Penelitian lain tentang majalah
Hidayah juga menyimpulkan hal yang serupa bahwa pesan dakwah akhlak
lebih dominan daripada pesan dakwah akidah dan syariah. Penelitian
yang hampir serupa juga menyimpulkan hasil yang sama seperti skripsi
mahasiswa UIN berjudul Analisis Rubik Iktibar Majalah Hidayah edisi Agustus
2001-Mei 2001; lalu judul Aplikasi Perencanaan Media Massa majalah Hidayah
Periode 2004; lalu ada skripsi Majalah Hidayah sebagai Media Dakwah Analisis
isi Rubrik Iktibar Majalah Hidayah Edisi Januari-Desember 2004.
29. Diolah dari media kit bagian pemasaran Majalah Hidayah.
30. Jaladuddin Rakhmat, Menyinari Relung-Relung Rohani: Mengembangkan EQ
dan SQ Cara Sufi, Jakarta: Hikmah dan IIMan, 2002, h. 10
31. Achmad Mubarok, Fisikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 12
Welcoming the New Era “Learning Islam Through
the Internet”
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat
Internet”
A. Khoirul Anam
NU Online, Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta
email: [email protected]
Abstract : In fact, the young generation is easier to search Islam through Google rather than
asking the ulama, Islamic scholars, or sit for hours listening to sermons by the
preacher, let alone understand their classic text (kitab kuning). We have reached e new
era. Is then the ulama, scholars, preachers threatened unemployed? No. The following
article will explore the phenomenon of Islamic learning via the internet and a new task
managing teaching and dakwah in cyberspace.
Abstraksi : Fakta menunjukkan bahwa masyarakat saat ini lebih mudah belajar Islam lewat Google
dari pada bertanya kepada kiai atau ustadz, atau duduk berjam-jam mendengarkan
ceramah para muballigh, apalagi membuka dan memahami sendiri tumpukan kitab
kuning. Apakah kemudian para kiai, ustadz dan muballigh terancam menganggur?
Tidak. Artikel berikut akan mengupas fenomena belajar Islam lewat internet dan tugas
baru mengelola ruang pengajian dan media dakwah di dunia maya.
Keywords: New Era, Young Generation, Searching Islam
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _507
A.Pendahuluan
Perkembangan sains dan teknologi selalu memunculkan efek dua arah
yang berlainan. Satu sisi, ia membantu segala aktifitas manusia dalam
menjalani kehidupan sehari-hari; melayani keinginan dan nafsu yang
serba tidak terbatas. Dalam hal ini ia telah melahirkan banyak inovasi dan
transformasi dalam sendi­-sendi perjalanan sejarah kehidupan manusia.
Namun di sisi lain, perkembangan sains dan teknologi juga telah
memunculkan banyak peristiwa penting. Berbagai kreasi dan fasilitas
manusia itu pada gilirannya telah memunculkan efek ketagihan. Manusia
menjadi serba tergantung dengan produk yang ia ciptakan sendiri. Bukan
hanya itu, yang patut direnungkan oleh para penganut agama, inovasi
sains dan teknologi juga seringkali menyebabkan perubahan paradigma
dalam memahami hidup dan fitrah manusia sebagai hamba Allah.
Artikel berikut ini akan membidik salah satu produk sains dan
teknologi, yakni internet serta dampaknya terhadap perubahan paradigma
dan cara dalam memahami agama Islam. Fakta menunjukkan bahwa
kecenderungan belajar sendiri melalui internet semakin meningkat dari
waktu ke waktu. Apalagi didukung oleh inovasi teknologi yang cepat
sekali. Saat ini akses internet tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan
kelas ekonomi atas atau pengakses teknologi tingkat tinggi seperti pada
saat internet mulai diluncurkan pada akhir tahun 1960-an. Internet
sudah menjamah banyak ruang kehidupan. Melalui kreasi teknologi dan
menjangkau semua kelas ekonomi, kini semua orang bisa mengakses
internet dan memakainya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, termasuk untuk belajar agama.
Kemudahan akses internet juga lantaran dimanjakan oleh
berkembangnya sarana komunikasi mobile dan kompetisi dari para
penyedia jasa layanan telekomunikasi. Tahun 1990-an barangkali tidak
banyak orang yang menggunakan telpon genggam (HP). Namun saat
ini semua orang sudah menggunakan produk ini, bahkan sebagiannya
sudah membawa lebih dari satu HP, dan dalam satu HP pun terdapat
beberapa nomor layanan plus berbagai fasilitas dan akses internet.
508_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Anak-anak yang belum pernah mengenal komputer juga bisa
langsung mengoperasikan internet dengan teknologi layar sentuh (touch
screen) yang dilengkapi dengan gambar dan fitur-fitur menarik dan bisa
dimengerti tanpa belajar huruf abjad dan memencet tombol. Bahkan
hampir semua orang tua mengakui, anak-anak mereka saat ini lebih
mengenal teknologi dibandingkan dengan generasi mereka.
Ketergantungan manusia terhadap produk teknologi informasi sudah
tidak terbendung. Sebagian besar orang saat ini mungkin akan langsung
mencari telpon genggamnya dan mengakses beberapa informasi saat
ia baru bangun tidur pagi hari, bahkan sebelum ia mencuci muka,
melakukan shalat shubuh, atau sekedar minum kopi dan sarapan
pagi. HP dan fasilitas internetnya dianggap lebih penting dari semua
itu. Dengan alat yang dipunyai, orang melakukan berbagai aktifitas
dan interaksi dengan masyarakat lain di berbagai tempat, tanpa harus
bertemu secara fisik, tanpa ada sekat ruang dan waktu.
Fakta baru menyusul perkembangan teknologi ini hampir-hampir
tidak bisa ditolak. Argumen atau fatwa apa pun tidak akan bisa mengubah
fakta bahwa era baru yang dulu dibayangkan para ilmuwan itu sudah
terjadi. Banyak ulama yang menempuh “jalan pintas” mengatasi
berbagai dampak buruk dari perkembangan teknologi informasi
dengan mengeluarkan fatwa haram menggunakan internet dengan
berpegang pada satu kaidah fikih bahwa “Dar’ul mafasid muqoddamun
ala jalbil mashalih”, menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada
mengambil kemanfaatan. Beberapa negara muslim bahkan secara resmi
mengeluarkan aturan yang membatasi warganya dalam mengakses
internet. Iran sampai saat ini mengharamkan warganya untuk mengakses
Facebook, Twitter dan Youtube.1
Apapun argumen penolakannya, saat ini sebagian masyarakat sudah
mengandalkan cara belajar agama Islam kepada internet dan jumlahnya
semakin meningkat dari waktu ke waktu. Secara tidak langsung, mereka
telah mentahbiskan diri bahwa mereka sudah bisa belajar sendiri secara
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _509
otodidak, tanpa guru. Padahal banyak sekali maqolah atau ungkapan di
kalangan para penuntut ilmu yang berbunyi “Barang siapa yang belajar
ilmu namun tidak berguru, maka gurunya adalah setan.” Syekh Hujjatul Islam
Al-Ghazali dalam Minhajul “'Âbidi Ilâ Jannati Rabbil ‘Alamin mengatakan:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya guru itu adalah pembuka (yang masih
tertutup) dan memudahkan (yang rumit). Mendapatkan ilmu dengan adanya
bimbingan guru akan lebih mudah dan lebih menyenangkan.”2
Al-Hadrami berkata, “Bahwasanya mengambil ilmu dari seseorang guru
yang sempurna penelaahannya itu sangat penting bagi orang yang menuntut
ilmu. Adapun semata-mata muthala’ah tanpa ada bimbingan dari guru karena
mengandalkan pemahaman sendiri saja, maka sedikit hasilnya. Karena jika dia
menemukan kerumitan-kerumitan, tidak akan jelas baginya kecuali adanya
uraian dari guru.”3
Namun berbagai pengajuan “banding” dan keberatan para ulama
terhadap internet, tidak bisa menghalau fakta bahwa saat ini sudah
banyak orang yang telah belajar agama dengan memanfaatkan fasilitas
modern itu. Alih-alih “memutar” berbagai teks dan taushiyah yang
menghalangi masyarakat untuk belajar agama melalui internet, media
baru ini harus dipahami sebagai sarana baru dalam berdakwah dan
melakukan bimbingan keislaman. Era ini tidak bisa harus dihadapi
dengan optimisme dan disambut dengan berbagai program dan
aktifitas yang terencana. Para ulama, ustadz dan muballigh perlu
mengintegrasikan program dan kegiatannya dengan sistem dunia baru
itu yang sedang dan terus berkembang.
B.Perkembangan Internet dan Respon Dunia Muslim
Awalnya saluran komunikasi jarak jauh hanya berlangsung melalui
informasi suara atau telepon yang diteruskan melalui kabel. Kemudian
teknologi komunikasi itu berkembang menjadi telepon genggam dengan
sistem nirkabel melalui jaringan satelit. Pada tahun 1969 M, yaitu dengan
lahirnya Arpanet, suatu proyek eksperimen dari Kementerian Pertahanan
510_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Amerika Serikat bernama DARPA (Department of Defense Advanced
Research Projects Agency), sistem komunikasi suara selanjutnya
meningkat menjadi pengiriman citra dan paket data, yang disebut
internet. Dari sinilah era komunikasi baru itu dimulai. Dua orang yang
dalam proyek DARPA itu yang disebut sebagai bapak internet adalah
Kahn dan Cerv.4
Sekitar dua puluh lima tahun kemudian, sistem yang dikembangkan
oleh DARPA berevolusi menjadi suatu “organisme” yang semakin luas
perkembangannya yang memukau puluhan juta orang. Internet awalnya
hanya merupakan jaringan longgar dari ribuan jaringan komputer di
berbagai belahan dunia yang menjangkau jutaan orang. Misi awalnya
adalah menyediakan sarana bagi para peneliti untuk mengakses data
dari sejumlah sumber daya perangkat-keras komputer yang mahal.
Sekarang internet telah berkembang menjadi wahana komunikasi
yang sangat cepat dan efektif sehingga telah menyimpang jauh dari
misi awalnya. Menurut jurnal Internet Society (ISOC) milik organisasi
profesional para pengembang internet, hingga musim semi 1994 M pihak
yang terpengaruh dan pengguna internet mencakup 75 negara secara
langsung dan 146 negara secara tak langsung, dan terdiri atas 35.000
jaringan dan 3 juta komputer. Dan tahun 2013 ini bisa dipastikan semua
negara telah terintegrasi dengan sistem internet. 5
Hadirnya internet disebut-sebut sebagai sebuah revolusi dalam
dunia komunikasi dan informasi. Dengan adanya akses internet, maka
sangat banyak informasi yang dapat dan dianggap layak diakses oleh
masyarakat internasional, baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan,
bisnis, pertahanan, dan bahkan untuk urusan kejahatan. Tidak syak lagi,
berbagai modus penipuan juga telah memanfaatkan media internet.
Sistem komunikasi lewat internet menyebabkan dunia tanpa ada sekat
ruang dan waktu. Internet mengajak kita memasuki dunia yang tidak
pernah tidur dan selalu beraktifitas. Dirjen Bimas Islam Kementerian
Agama Prof Abdul Jamil dalam satu sesi pelatihan pengembangan web
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _511
keislaman mengatakan, dulu perempuan dianggap tidak etis jika keluar
malam atau berinteraksi dengan orang-orang yang bukan muhrimnya,
atau bergaul secara tidak Islami. Namun siapa yang bisa melarang
perempuan muslim bergaul dengan siapa saja dan kapan saja melalui
internet?6
Kita bisa saja mengatakan bahwa dunia internet itu tidak lebih riil dari
dunia nyata. Namun faktanya, orang terkadang lebih “buka-bukaan”
ketika berada di dunia maya itu, yang tidak akan dia lakukan dalam
kehidupan sehari hari. Fakta lanjutan, bahwa berbagai interaksi yang
dilakukan di dunia maya, tinggal selangkah lagi dilanjutkan di dunia
nyata, dengan obyek yang sama ataupun yang berbeda.
Ilmu komunikasi modern sudah lama meramalkan bahwa fakta itu
bisa dibentuk dari dunia maya. Dan ini sudah terjadi. Berbagai agenda
penyebaran informasi, isu, propaganda pencitraan dimulai dari dunia
maya. Apa yang terbit di media cetak keesokan harinya, atau apa yang
disiarkan melalui saluran televisi di-setting sebelumnya –entah terencana
atau terjadi dengan sendirinya– melalui jaringan komunikasi di dunia
maya. Apa yang beredar di dunia maya itu juga telah dianggap sebagai
fakta dan kebenaran, lalu berbagai tindakan secara sadar akan dilakukan
sesuai fakta dan kebenaran yang beredar di dunia internet, atau
menyesuaikan dengan informasi yang dibentuk melalui dunia maya.
Suka atau tidak suka, apa yang beredar di dunia maya dan diteruskan
di banyak sekali situs internet akan dianggap sebagai kewajaran dan
fakta. Seperti alunan musik aneh yang diputar berkali-kali di depan
telinga kita, maka lama-kelamaan sistem syaraf kita akan menerima
suara aneh itu sebagai sebuah nada indah yang sesuai selera. Berbagai
informasi, entah benar-benar fakta atau yang diyakini sebagai gosip
murahan namun sudah terlanjur beredar banyak sekali di berbagai situs
dan diteruskan melalui jejaring sosial dunia maya tetap akan dianggap
sebagai fakta, dan hampir tanpa memerlukan crosscheck dan klarifikasi,
karena berkembangnya gosip itu sendiri ketika telah berkembang sudah
dinilai sebagai fakta.
512_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
1. Penemuan Mesin Pencari Otomatis
Revolusi di bidang sistem komunikasi ini semakin memuncak
menyusul ditemukannya mesin pencari otomatis yang bisa menjangkau
data dari berbagai situs internet di berbagai belahan dunia dalam waktu
sekejap. Mesin pencarian (search engine) yang paling populer dan mungkin
sudah digunakan di berbagai belahan dunia adalah Google. David A.
Vise, penulis Kisah Sukses Google bahkan menyejajarkan penemuan
Google oleh Larry dan Sergey dengan penemuan mesin cetak modern oleh
Gutenberg pada 500 tahun silam. Pada saat pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1996 dengan nama BackRub, Google sudah bisa menjelajah
dan men-download kira-kira 100 halaman perdetik. “Belum ada temua
sedahsyat Google yang memungkinkan permberdayaan begitu banyak
orang, serta memudahkan akses mereka kepada informasi,” tulisnya.7
Google adalah mesin pencari di Internet yang berbasis di Amerika
Serikat. Dengan tampilan dan warna yang kanak-kanan itu, saat ini
Google sudah menjadi mesin pencari paling populer di web dan
menerima setidaknya 200 juta permintaan pencarian setiap hari melalui
berbagai situs internet. Misi Google adalah, “untuk mengumpulkan
informasi dunia dan menjadikannya dapat diakses secara universal dan
berguna.” Filosofi Google meliputi slogan seperti “Don`t be evil”, dan
“Kerja harusnya menatang dan tantangan itu harusnya menyenangkan”,
menggambarkan budaya perusahaan yang santai.8
Saat ini sudah semakin banyak mesin pencarian di internet dan
gratis, namun Google sudah selangkah di depan dan menambah
berbagai fasilitas pencarian. Sebagian besar orang menjadikan Google
sebagai alamat pertama yang dituju ketika berselancar mencari berbagai
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _513
informasi di internet, termasuk ketika ingin mencari berbagai informasi
mengenai agama Islam.
2. Respon Dunia Muslim
Pada saat pertama kali internet diperkenalkan oleh para ilmuwan
barat, hampir dari kebanyakan tokoh Islam memandangnya dengan
mata curiga dan khawatir akan efek dari temuan teknologi mutakhir
tersebut, terutama negara-negara muslim yang mempunyai sikap oposisi
terhadap negara-negara barat. Iran sampai saat ini mengharamkan
warganya menggunakan facebook, twitter dan Youtube.9
Kekhawatiran itu sangat wajar karena internet bukan hanya menjadi
sarana untuk menyebarkan berbagai propaganda. Dalam perspektif
dunia intelijen, internet menjadi sarana paling efektif untuk mencuri data
dan berbagai informasi yang diperlukan untuk melemahkan satu negara.
Jika dulu orang kalangan muslim takut dengan bahaya orientalisme
yang dikembangkan oleh ilmuwan barat dan menaruh rasa curiga
terhadap para peneliti barat, saat ini melalui internet apalagi dipandu
dengan mesin pencarian otomatis yang sangat canggih, para orientalis
tidak perlu bersusah payah datang ke dunia timur karena semua data
dan informasi sudah terintegrasi melalui internet.10
Para ulama dunia muslim juga khawatir internet akan menyebabkan
mewabahnya racun dunia di tengah-tengah masyarakat muslim,
seperti krisis kebudayaan, dekadensi moral, ketidakpedulian terhadap
norma-norma agama, dan kriminalitas. Meski ada filter dan kontrol
yang ketat dari negara, internet tetap menjadi ruang terbuka untuk
mengekspresikan dan mempertontonkan berbagai aksi dan menjadi
pentas untuk mempresentasikan berbagai kebudayaan serta gaya hidup.
Namun beberapa waktu berselang, para ulama justru menaruh sikap
positif terkadap perkembangan internet. Ia tetap seperti pisau bermata
dua. Internet hanyalah alat yang bisa digunakan untuk kebaikan dan
kejahatan sekaligus. Alih-alih mengharamkan internet beberapa ulama
514_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
justru menganjurkan untuk menyediakan porsi yang cukup bagi aktifitas
dan informasi mengenai ajaran Islam.
Ulama asal Syria yang meninggal baru-ini di tengah konflik berdarah
di negaranya, Dr. Muhammad Sa’ id Ramadhan al-Buthi berkata,
“Ternyata jaringan internet yang hampir menelan seluruh penjuru dunia
adalah merupakan lahan luas yang di situ bertebaran podium-podium yang
menyuarakan kepentingan Islam, dengan memperkenalkan, mengajak (dakwah),
membela, dan memecahkan berbagai problemanya.”11
Kalangan ulama mulai memandang positif bahwa dakwah melalui
jaringan internet bisa sangat efektif dan potensial dengan beberapa
alasan, diantaranya mampu menembus batas ruang dan waktu dalam
sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau. Kedua,
pengguna jasa internet setiap tahunnya meningkat drastis, ini berarti
berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah. Ketiga, para
pakar dan ulama yang berada di balik media dakwah via internet bisa
lebih berkonsentrasi dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang
menuntut status hukum syar’i. Keempat, dakwah melalui internet telah
menjadi salah satu pilihan masyarakat. Melalui berbagai situs mereka
bebas memilih materi dakwah yang mereka sukai, dengan demikian
pemaksaan kehendak bisa dihindari.12
Para pegiat internet di Indonesia juga semakin aktif melakukan
terobosan baru. Misalnya, sebuah komunitas bernama Persaudaraan
Profesional Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah atau PPM Aswaja, sebuah
perkumpulan warga NU yang bergiat di bidang teknologi informasi (IT),
awal tahun lalu meluncurkan mesin pencarian sendiri dengan nama
Search Engine Aswaja NU dan Ensiklopedi Digital Aswaja. Komunitas
ini awalnya bernama Forum Komunikasi Dakwah Islam Aswaja (FKDIA)
yang terbentuk tahun 200-an beranggotakan kelompok diskusi di dunia
online dan penerbitan buletin.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _515
Search Engine Aswaja NU dan Ensiklopedia Digital Aswaja NU yang
dikreasikan oleh PPM Aswaja merupakan program yang terus diperkaya
dan disempurnakan seiring peran dakwah mereka. Search Engine Aswaja
yang beralamat di aswajanu.com adalah mesin otomatis pencari rujukan
atas problem, pertanyaan, dan ajaran dengan hanya memasukkan kata
kunci. Rujukan berasal dari daftar hasil pencarian berupa halamanhalaman website dengan urutan ranking paling sering digunakan. Mesin
pencarian ini secara otomatis akan memfilter dan menolak data dari
situs-situs yang dinilai tidak layak dikutip.
Sementara Wiki Aswaja NU yang beralamat di wiki.aswajanu.
com adalah ensiklopedi online seperti Wikipedia yang menyediakan
berbagai informasi yang diperkaya dengan berbagai layanan agar lebih
menarik, seperti video streaming yang terus berkembang seiring waktu.
Wiki Aswaja berisi berbagai informasi seputar ajaran Aswaja, biografi
dan sanad keilmuan ulama, kitab-kitab kuning, perkembangan Islam
Nusantara, Indonesia sebagai mercusuar dunia, dan berbagai hal tentang
Nahdlatul Ulama. Kata Usmayadi, Ketua PPM Aswaja, Search Engine
dan Ensiklopedia Aswaja NU ini dikreasikan dalam rangka menjawab
tantangan dakwah di era “masyarakat instan” sekaligus merespon ulah
dari kelompok penebar perpecahan di dunia maya.13
516_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
C.Peningkatan Jumlah Pengguna Internet di Indonesia
Indonesia sebagai negara muslim terbesar menjadi salah satu pengguna
internet. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
menunjukkan, jumlah user internet di Indonesia meningkat dari waktu
ke waktu. Jumlah user internet di Indonesia untuk tahun 2012 mencapai
63 juta atau 25,86% dari penduduk Indonesia. Diperkirakan Pada tahun
2013 jumlah ini akan menjadi 82 juta user, tahun 2014 menjadi 107 dan
pada 2015 sudah mencapai 139 juta atau 50 % dari total penduduk
Indonesia.
Ada informasi yang lebih menarik, bahwa user baru pada 2013
sekitar 3,7 juta itu ternyata didominasi masyarakat di bawah kelompok
menengah. Ini menunjukkan bahwa para pengakses internat tidak hanya
berasal dari kalangan kelas menengah ke atas seperti diperkirakan
banyak orang. Inovasi teknologi yang murah dan mobile menjadikan
semua kalangan kesempatan yang punya mengakses internet.
Fakta akses internet di Indonesia menurut laporan MarkPlus
Insight ada 40% user (24,2 juta orang) mengakses internet lebih dari
3 jam perhari. Mayoritas user dimaksud berusia 15-35 tahun. 56,4%
diantaranya termasuk dalam kategori “bargain hunter” yang rela berjamjam browsing internet untuk mencari kebutuhannya.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _517
Fakta jumlah user internet di Indonesia
 Jumlah user 2012 = 63 juta (25,86%)
 Diperkirakan 82 juta user di tahun 2013
107 juta pada 2014 dan 139 juta (50 %) pada 2015
 User baru pada 2013 sekitar 3,7 juta didominasi
masyarakat di bawah kelompok menengah
 40% user (24,2 juta orang), akses > 3 jam / hari
 Mayoritas user berusia 15-35 tahun
 56,4% termasuk “bargain hunter” (rela berjam-jam
browsing) untuk mencari kebutuhannya
(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)MarkPlus Insight)
- Generasi Y
Mungkin tidak terbayangkan sebelumnya oleh generasi tua, anakanak yang baru duduk di Sekolah Dasar (SD) bahkan Taman KanakKanak (TK) sudah mulai berselancar dengan internet. Apalagi saat ini
sudah anak-anak sudah dimudahkan dengan berbagai perangkat mobile.
Berbagai alat yang menggunakan layar sentuh (touch screen) dan dipandu
dengan fitur dan gambar-gambar juga sangat memudahkan anak-anak
untuk memanfaatkan fasilitas teknologi dibanding dengan zaman dulu
yang masih menggunakan tombol dan huruf. Tanpa panduan, kursus
atau belajar secara khusus pun anak-anak sudah bisa menggunakan
fasilitas internet dengan sendirinya.
Dalam kajian komunikasi modern, anak-anak di Indonesia yang
baru lahir pada tahun 2000-an dikategorikan ke sebagai Generasi Y
(young generation). Mereka yang disebut barusan sudah mengenal dan
memanfaatkan teknologi informasi dengan baik. Generasi baru ini juga
lebih sering berkomunikasi dengan dunia internet dari pada dengan
sekolah atau keluarga. Sebagian orang tua mereka juga telah mempunyai
kesibukan rutin yang tidak dapat diganggu gugat. Generasi baru ini
518_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang mendominasi kelompok “bargain hunter” yang rela berjam-jam
untuk bermain dan berselancar dengan internet, bermain dan mencari
informasi dan menambah ilmu pengetahuan.
Generasi Y inilah yang terutama menjadi perhatian dalam artikel
ini, terutama dari kalangan generasi muslim. Mereka inilah yang ingin
mencari atau secara tidak sengaja mendapatkan berbagai hal mengenai
keislaman dari internet. Anak-anak kecil dan para pemuda yang mulai
tumbuh seringkali mengutarakan berbagai pertanyaan tentang Islam.
Dan berbeda dengan prosedur konvensional, dengan bertanya atau
membaca buku, melalui internet yang dipandu dengan mesin pencarian
seperti Google, dalam sekejap mereka akan mendapatkan jawaban dari
pertanyaan yang mereka ajukan –entah jawaban yang mereka temukan
benar atau bahkan mungkin menyesatkan.
D.Fenomena Googling dalam Berislam Secara Privat
Dikutip dari Arab News, seorang gadis berusia baru 18 tahun yang
tinggal bersama ibunya di sebuah kota kecil di Amerika Serikat
berpamitan hendak berlibur ke luar negeri. Ia terbang ke Arab Saudi dan
menyatakan keislamannya di negeri itu. Gadis itu mau menerima Islam
sebagai agama baru setelah berbincang dengan seorang daiyah yang
berhubungan dengannya melalui sebuah situs Islam. Gadis itu telah
memperoleh beberapa pengetahuan tentang Islam dan membersihkan
semua keraguannya selama 20 menit percakapan dengan pekerja
dakwah di situs Islam tersebut. Kabarnya situs dimaksud mempunyai
misi mengislamkan sebanyak mungkin orang, dan sebagian rencana
mereka telah berhasil.14
Kisah di atas hanyalah sedikit dari beberapa aktifitas dakwah di dunia
internet dan pengalaman belajar Islam melalui internet. Banyak sekali
media Islam dari berbagai aliran yang bermunculan dan berinisiatif
mengembangkan misi keislaman. Sementara semenjak “Peristiwa 11
September” semakin banyak pihak baik dari dunia barat maupun dari
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _519
dunia muslim yang semakin tertarik untuk mengetahui isu-isu keislaman,
dan media yang paling tepat untuk hal ini adalah internet. Dalam hal ini
internet memang menjadi pisau bermata dua. Internet menjadi media
yang sangat liar untuk menyebar kebencian terhadap Islam, namun
sebaliknya juga menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai luhur dan
tuntunan agama Islam.
Pola hidup modern yang didukung dengan fasilitas komunikasi
yang serba canggih mendorong orang untuk mempunyai privasi tinggi.
Definisi “privat” dalam hal ini lebih kepada keinginan untuk memilih
segala hal sesuai dengan selera sendiri dan dengan caranya sendiri.
Cerita di atas menunjukkan bagaimana seorang gadis yang hidup
di lingkungan keluarga non muslim dan tradisi yang sangat kental,
mendapatkan banyak informasi dari internet yang kemudian mengubah
hidupnya 180 derajat, lepas dari tradisi dan ajaran keluarga.
Di dunia maya para peselancar juga mereka bebas memilih siapa
saja yang akan mereka jadikan sebagai guru, atau materi dan informasi
apa saja yang lebih cocok untuk mereka. Di dunia maya mereka bebas
memilih segalanya, termasuk dalam memilih pelajaran mengenai agama
dan tuntunan hidup.
Selain itu memang ahli agama yang ada di sekitar kita tidak bisa
menjawab semua persoalan dan problem keagamaan yang sedang
berkembang. Maka cara yang paling efektif di tempuh adalah mencari
sendiri berbagai informasi lewat dunia maya. Di dunia maya mereka
tidak akan sungkan-sungkan untuk menanyakan atau menemukan
jawaban masalah-masalah yang remeh bahkan tabu sekalipun.
Bukan rahasia lagi, trend belajar dan mencari informasi keislaman lewat
internet tidak hanya merambah kalangan awam. Para cendekiawan dan
akademisi Muslim juga menjadikan internet sebagai jalan pintas untuk
memperoleh berbagai sumber rujukan. Para dosen dan mahasiswa Islam
justru menjadi kelompok terdepan dalam memanfaatkan mesin pencari
Google untuk mendapatkan berbagai materi yang akan dikajinya, paling
520_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tidak sebagai informasi awal untuk masuk ke dalam kajian yang bahkan
belum pernah dikaji sebelumnya. “Mbah Google” disebut-sebut sebagai
narasumber yang serba tahu dan bisa memberikan informasi keislaman
apa pun yang dibutuhkan. Mesin pencarian otomatis yang terkoneksi
dengan jaringan internet di berbagai belahan dunia memang beberapa
langkah lebih canggih dari pada perpustakaan selengkap apapun.
E. Mengelola Media Dakwah Baru
Fenomena searching Islam lewat internet juga berbanding lurus
dengan keinginan umat Islam di Indonesia untuk menjalankan
praktik ajaran Islam yang semakin tinggi semenjak era reformasi dan
keterbukaan informasi. Berbagai praktik hidup yang bersifat islami di
berbagai daerah di Indonesia bisa disaksikan khalayak melalui media
informasi dan jejaring sosial dunia maya.
Namun Berbagai informasi yang terdapat dalam jutaan situs itu
bisa diibaratkan seperti hutan belantara. Para pencari informasi bisa
menemukan hal yang sangat bermanfaat, namun pada sisi lain data yang
didapatkan bisa jadi kurang memenuhi keinginan, atau kurang memadai,
bahkan pada titik tertentu bisa menyesatkan dan menjerumuskan.
1. Beberapa Konten yang Perlu Mendapat Perhatian
Di sisi lain, masyarakat muslim berada di tengah persebaran pahampaham keagamaan baru yang cukup gencar dipublikasikan oleh
sejumlah media massa seperti paham radikal, liberal, dan aliran-aliran
transnasional. Berbagai informasi tentang gerakan, ajaran dan manuver
paham-paham baru ini relatif mudah terpublikasi karena memiliki aspek
sensasional dan menjadi santapan industri media dan disebarluaskan
melalui internet. Selain itu, tidak syak lagi, kelompok-kelompok yang
ekstrim kiri maupun kanan cenderung sangat aktif dalam memanfaatkan
media internet untuk mensosialisasikan berbagai ajaran dan aktifitas
mereka.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _521
Berbagai informasi yang disebarkan oleh kelompok-kelompok baru
yang sangat aktif memanfaatkan media internet ini perlu diimbangi
dengan mengaktifkan situs-situs baru yang lebih moderat. Dengan
demikian mereka yang belajar Islam lewat internet akan mendapatkan
informasi yang memadai dan membandingkan beberapa informasi yang
mereka dapatkan.
Beberapa konten keislaman yang bersifat spesifik juga perlu
mendapatkan porsi lebih banyak. Banyak informasi penting tentang
syariah yang sulit diakses oleh masyarakat, terutama terkait bidangbidang yang spesifik seperti waris, falak, dan berbagai hasil kajian hukum
Islam terkait problematika masyarakat muslim modern, serta bidangbidang yang menyangkut kontekstualisasi syariah di era kekinian seperti
ekonomi syariah, wakaf uang, tabungan haji, iuran qurban, dan zakat
produktif.
Berbagai perkembangan baru hukum Islam di Indonesia juga kurang
tersosialisasikan dengan baik. Akibatnya sekat antara hukum fikih dan
hukum negara itu masih ada. Yang pertama merujuk pada kitab-kitab
fikih klasik yang ditulis pada puluhan tahun bahkan ratusan tahun silam.
Sementara yang kedua terkait berbagai rumusan hukum yang disusun
oleh para ulama dan negarawan.
Masalahnya hanya terletak pada tidak sampainya beberapa informasi
mengenai perkembangan hukum. Jika perkembangan hukum ini
diinformasikan secara bagus, disertai dengan konsideran atau landasan
aqli dan naqli-nya, berikut informasi bahwa para perumus hukum itu
adalah para ulama kontemporer yang berada di antara mereka, maka
sekat hukum fikih dan hukum negara itu sedikit demi sedikit akan
hilang. Berbagai perkembangan terkini di bidang syariah yang terus
berkembang juga harus mendapatkan porsi yang lebih banyak lagi.
2. Perang Konten Keislaman
Semakin banyak materi keislaman yang benar di jagad internet maka
semakin bagus. Secara teknis akan sangat membantu masyarakat yang
522_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
ingin belajar keislaman. Namun tidak untungnya, para peng-upload data
di internet tidak selalu mereka yang ingin berbagi informasi. Beberapa
situs memang sengaja membahas beberapa tema keislaman yang tidak
sesuai dengan paham yang mereka anut. Tujuan mereka menulis,
atau menyebarkan informasi justru ingin memunculkan kesan negatif
terhadap ajaran atau amalan yang sedang mereka bahas. Pada konteks ini
beberapa kelompok yang mayoritas dalam hitungan riil akan dikalahkan
oleh kelompok minoritas yang sangat aktif menyebarkan informasi di
dunia maya.
Dua kutub Islam yang ”ekstrim” baik kanan maupun kiri jelas bukan
pilihan untuk membangun kejayaan Islam. Pandangan dan sikap radikal
yang nyaris paralel dengan tindak kekerasan hanya membuat wajah Islam
menjadi seram dan lekat dengan kebrutalan. Sementara sekularisme dan
liberalisme cenderung menjauhkan muslim dari ajaran agamanya.
Karena itu model dakwah Islam perlu direformulasi demi menjaga
kesinambungan dan kelangsungan syiar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di
bumi Indonesia untuk mengembangkan nilai-nilai Islam inklusif, ramah,
moderat dan toleran, --yang mencerminkan Islam rahmatan lil’alamin.
Metode dan strategi dakwah dimaksud harus responsif terhadap
perubahan zaman. Lebih dari itu, materi dakwah yang disampaikan
pun harus diupayakan tetap kontekstual, sesuai perkembangan serta
kebutuhan masyarakat sebagai objek dakwah. Selain mempersiapkan
kader-kader dakwah yang handal, tangguh dan memiliki pengetahuan
keislaman yang mumpuni di samping skill berdakwah di tengahtengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang, perlu juga
mengembangkan media dakwah dan konten dakwah yang lebih inovatif.
Tidak ada pilihan kecuali menambah aktivitas dakwah dan penyebaran
informasi mengenai ajaran Islam yang rahmatan lila lamin di internet.
Logika formal mesin pencarian internet seperti Google adalah semakin
banyak konten yang beredar di berbagai situs, maka kemungkinan
ia akan tampil di depan dan akan dibaca lebih dulu oleh para pencari
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _523
informasi keislaman dari internet. Penyebaran satu informasi melalui
berbagai situs Islam, baik milik lembaga atau ormas Islam atau situs
pribadi, akan kemungkinan informasi itu diakses oleh semakin banyak
orang akan terbuka. Dan ini akan meminimalisir alias menyingkirkan
berbagai konten keislaman yang sesuai dengan ajaran Islam.
Penyebaran informasi keislaman juga semakin mudah dengan
fasilitas jejaring sosial seperti Facebook dan Tweeter. Arus informasi
yang beredar di dunia maya dan ditangkap oleh mesin pencarian seperti
Google saat ini berasal dari jejaring sosial apapun. Meski demikian
jejaring sosial itu tetap membutuhkan konten untuk di-link-kan dan
disebarkan kepada masyarakat luas. Jadi konten keislaman di situs-situs
Islam perlu diperbanyak, lalu diteruskan dan disebarluaskan melalui
jejaring sosial dunia maya.
3. Perlunya Pusat Data dan Informasi Keislaman
Sebenarnya kegiatan pembinaan syariah atau semacamnya di
berbagai daerah sudah banyak dilakukan, namun belum terpublikasi
524_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dengan baik dan belum terkoordinasikan satu sama lain. Padahal
informasi pembinaan syariah di satu daerah bisa menjadi percontohan
atau pelajaran di daerah lain.
Penulis menekankan pentingnya pengelolaan data dan informasi
pembinaan syariah dari pusat sampai ke daerah agar terintegrasi satu
sama dengan pusat data. Melalui pusat data ini, berbagai informasi
pembinaan syariah dari berbagai daerah akan bisa dipublikasikan sebagai
proyek percontohan untuk daerah lain yang mempunyai tipikal serupa.
Kementerian Agama, dalam hal ini Ditjen Bimas Islam, hemat penulis
adalah pihak yang paling kompeten dan paling mungkin melakukan hal
ini.
Di era digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini juga
diperlukan layanan informasi yang bisa diakses oleh masyarakat luas
dimana saja dan kapan saja tanpa tersekat oleh ruang dan waktu.
Teknologi informasi juga sangat menunjang adanya interaksi antara
para ahli syariah dengan masyarakat luas, misalnya dalam bentuk
konsultasi agama secara online. Konsultasi bisa berlangsung secara
pribadi antara para ahli dan masyarakat, namun untuk beberapa kasus
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _525
bisa dipublikasikan kembali untuk menjadi informasi bagi khalayak.
Sebenarnya tugas pembinaan syariah telah dilakukan semenjak lama
oleh ulama, ustadz, guru-agama, para akademisi dan para ahli di bidang
syariah. Fungsi Kementerian Agama pada titik ini adalah mengkoordinasi
dan memfasilitasi proses pembinaan syariah, serta melibatkan beberapa
ahli terkait dengan aspek pembinaan yang belum tergarap. Dan semua
program diintegrasikan dalam suatu pusat data dan informasi syariah.
Pusat data yang dimotori oleh Ditjen Bimas Islam juga berfungsi
sebagai pusat arsip. Berbeda dengan arsip berbentuk kertas, arsip
yang berbentuk file tidak akan menyita banyak tempat atau ruangan.
Sehingga data dan informasi yang bersumber dari berbagai daerah bisa
dikumpulkan secara terpusat. Pusat data ini berfungsi dua arah, dari
daerah ke pusat dan dari pusat kedaerah. Beberapa data dan informasi
yang berasal dari daerah bisa langsung dipublikasikan dan diakses
kembali oleh masyarakat luas di daerah setempat atau di daerah lain.
Beberapa informasi dari satu daerah terkait program pembinaan syariah
sangat penting untuk menjadi percontohan untuk daerah lain. Informasi
ini juga terkait dengan beberapa kasus dan pemecahan kasus untuk
menjadi bahan rujukan di daerah lain.
Beberapa data mungkin disimpan oleh pusat data dan tidak di-share
ke publik karena menyangkut hal-hal yang tidak pantas dipublikasikan,
misalnya terkait dengan preseden buruk yang tidak patut dicontoh oleh
daerah lain, atau terkait dengan persoalan pribadi yang bersifat rahasia.
Artinya meskipun data terintegrasi, tetap saja ada petugas khusus di
pusat data untuk merapikan data yang akan dipublikasikan agar sesuai
standar yang ditentukan, atau menyeleksi data dan informasi yang layak
dipublikasikan kepada masyarakat luas.
526_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
F. Penutup: Optimisme Menyambut Sarana Dakwah Masa Kini
Kecenderungan belajar Islam lewat internet yang semakin meningkat
harus dihadapi dengan berbesar hati dan optimisme. Banyak hal yang
bisa dilakukan di era baru dengan syarat pola pikir dan aktifitas dakwah
yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tidak perlu
menunggu generasi berikutnya untuk menggarap “majelis ilmu” yang
baru itu karena perkembangan informasi yang terjadi sangat cepat
dan perlu mendapatkan kontrol dari semua pihak. Alih-alih, kalangan
agamawan yang “merasa tua” harus terlibat dan berpartisipasi dalam
era baru ini jika masih berkepentingan untuk mengawal generasi Islam
di masa yang akan datang. Jika perkembangan baru ini dibiarkan begitu
saja tanpa partisipasi, kontrol dan intervensi maka tradisi Islam dan
pemahaman mengenai agama akan terbentuk dengan caranya sendiri
melalui dunia maya itu.
Salah satu pihak yang mestinya paling berkepentingan mengawal
media belajar baru Islam yang baru ini adalah Kementerian Agama.
Sejarah mencatat peristiwa penting dalam pembentukan negara
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _527
Republik Indonesia yakni dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama
”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” yang diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peristiwa
ini terjadi pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia dikumandangkan. Peistiwa itu menunjukkan sikap
kebesaran hati dan kepahlawanan para negarawan muslim demi menjaga
keutuhan bangsa. Namun semenjak adanya Kementerian Agama seluruh
masalah yang terdapat dalam Tujuh Kata itu dapat diurusi kementerian
khusus ini. Hal-hal yang menyangkut kehidupan pemeluk agama Islam
dan keinginan untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan
syari’at Islam dapat difasilitasi oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Tugas penerapan syariat Islam dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan demikian telah dibebankan
kepada Kementerian Agama, lebih khusus lagi Direktorat Pembinaan
Masyarakat (Bimas) Islam. Dalam konteks pengembangngan media
dakwah dan pembelajaran baru melalui internet, perlu dilakukan upaya
mengembangkan sebanyak mungkin konten keislaman di berbagai
situs yang dikelola di lngkungan bimas dari pusat dan daerah. Bimas
Islam juga perlu melakukan pelatihan dan pembinaan berbagai website
keislaman.
Agenda yang dilakukan bukan meminimalisir ulah berbagai situs
yang menyesatkan, karena itu tidak cukup, namun aktif mengikuti
“perang” konten dan data di dunia maya. Semakin banyak konten
kesilaman di jagat maya dan semakin besar partisipasi kalangan ulama
dan ahli agama yang difasilitasi oleh Kementerian Agama tentunya
semakin positif dan masa depan peradaban Islam yang cerah sudah akan
siap disongsong. Mungkinkah cita-cita ”Baldatun thorribatun warobbun
ghofur” akan diwujudkan dan di-setting dari dunia maya? Jawabannya
pasti mungkin.
528_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. Masyurat al-ljtima’iyah. Beirut.
Al-Muassasah.
Al-Hadrami, Al-Habib Ahmad bin Abi Bakar. tt. Manhalul Wurrad Min
Faidhil Imdad. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah.
Al-Qaradhawi, Yusuf. tt. Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: ma’ Nadzarat
Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma’ashir. Kairo: Dar al-Qalam.
Al-Zarnuji. tt. Ta’limul Muta’alim. Surabaya: Al-Hidayah.
Muhammad Dahlan, Syekh Ihsan. 2003. Sirâj ath-Thalibin. Juz I. BeirutLebanon: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah.
Syaerozi, Arwani. 2007. Dakwah Islam Melalui Internet. Jakarta: NU Online.
Tracy LaQuey. 1994. Internet Companion: A Beginner’s Guide to Global
Networking. Addison-Wesley Pub. Co.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Hasyim dalam dalam Abdul Mun’im DZ. 2007. Teknologi Sebagai
Tradisi. Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasry PBNU.
Vise, David A. 2006. Kisah Sukses Google. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _529
Endnotes
1. www.nu.or.id, diposting 11 Oktober 2013.
2. Ucapan Imam al-Ghazali ini dikutip Syekh Ihsan Muhammad Dahlan dalam
Sirâj ath-Thâlibîn, , Beirut: Dâr a- Kutub ‘Ilmiyah, 2003, Juz I, h. 121.
3. Al-Habib Ahmad bin Abi Bakar Al-Hadrami, Manhalul Wurrad Min Faidh
al-Imdad, Beirut: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyyah, h. 102.
4. Hasyim Wahid, dalam Teknologi Sebagai Tradisi, Jakarta: Lajnah Ta’lif wan
Nasry PBNU, 2007, h. x.
5. Tracy LaQuey, Internet Companion: A Beginner’s Guide to Global Networking.
Addison-Wesley Pub. Co, 1994, h. 17.
6. http://bimasislam.kemenag.go.id, September 2013.
7. David A. Vise, Kisah Sukses Google, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006,
h. x.
8.
9.
10.
11.
www.sejarah.com, diunduh Oktober 2013.
www.nu.or.id, diposting 11 Oktiber 2013.
Hayim Wahid, dalam Teknologi Sebagai Tradisi, h. x.
Arwani Syaerozi, Dakwah Islam Melalui Internet, dimuat di www.nu.or.id,
Oktober 2007.
12. Arwani Syaerozi, Dakwah Islam Melalui Internet, dimuat di www.nu.or.id,
Oktober 2007.
13. www.nu,or.id. Diposting Mei 2013
14. Republika, Jumat, 10 Juni 2011
Dawah by Using Movies:
Oasis in The Midst of Crisis Movies That are Not
Qualified
Dakwah dengan Media Film :
Oase di Tengah Krisis Film-film yang Tidak
Bermutu
Naif Adnan
Penyuluh Agama Islam Fungsional Jakarta Selatan
email : [email protected]
Abstract : In Islam, Dawah is an obligation which is not defined by social structure, position or
skin colors. It, however, should be done by every moslem in the world. The obligation
on Dawah itself should also be based on the knowledge or skills of each moslem, which
means that the process of Dawah is not merely as the way of speech as mubalighs do.
An artist, for example, can do the Da’wa from his production on arts. Even a doctor
can do the Dawah by talking or sharing to his patients. Discussing on creative and
innovative dawah, arts serves as an alternative way to do this, for example by making/
producing films.
Abstraksi : Dalam Islam, dakwah adalah suatu kewajiban yang tidak ditentukan berdasarkan
status sosial, jabatan ataupun warna kulit. Tetapi dakwah adalah kewajiban setiap
muslim di dunia. Kewajiban dakwah sendiri harus dilakukan berdasarkan ilmu
Dakwah dengan Media Film _531
pengetahuan atau kemampuan masing-masing muslim. Artinya proses berdakwah
tidak semata-mata harus berceramah seperti yang dilakukan oleh para muballigh.
Seorang artis misalnya, bisa berdakwah melalui karya seninya. Bahkan seorang dokter
pun mampu berdakwah melalui diskusi dan sharing dengan pasiennya. Terkait dengan
dakwah yang kreatif dan inovatif, seni mampu berperan sebagai cara alternatif dalam
berdakwah, misalnya memproduksi film.
Keywords: Dawah, Arts, Films, Role Model.
A.Pendahuluan
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan penayangan film The
Innocence of Muslims di media Youtube. Film dengan durasi dua jam ini
diproduseri oleh Sam Bacile dan disutradarai oleh Alan Roberts bercerita
tentang gambaran negatif Nabi Muhammad yang sangat keji, yaitu
dengan menuduh Rasulullah sebagai pendukung fedofilia, homoseks
dan menggambarkan beliau sedang berhubungan intim. Sontak saja
kehadiran film ini menuai kecaman dari kaum muslim di seluruh
dunia. Terjadi demonstrasi di mana-mana, bahkan ada yang berakhir
tragis dengan kematian akibat penembakan aparat hukum kepada para
demonstran.
Jika ditarik ke belakang sesungguhnya film The Innocence of Muslims
bukan satu-satunya film yang dibuat oleh Barat untuk membangkitkan
kebencian terhadap Islam. Tercatat ada beberapa film yang substansinya
sama, antara lain:
a. Film Submission. Film Submission ini dirilis pada 2004, merupakan
film pendek berdurasi 11 menit yang disutradarai Theo Van Gogh
dan skenarionya ditulis Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen
Belanda. Film ini ditayangkan di jaringan TV publik Belanda (VPRO)
pada 29 Agustus 2004.
532_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
b. Film kartun The Life of Muhammad. Film kartun The Life of
Muhammad dirilis April 2008, yang dibuat oleh politisi Belanda
kelahiran dan keturunan Iran, Ehsan Jami. Film ini menceritakan
kehidupan Nabi Muhammad dengan istrinya yang masih berusia 9
tahun, Aisyah, namun dalam sudut pandang seksual. Film itu juga
menggambarkan wajah Nabi Muhammad, yang di dalam Islam,
tidak diizinkan.
c. Film Fitna. Film ini dirilis pada 2008 yang dibuat oleh anggota
Parlemen Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 17 menit ini bercerita
tentang Islam, tentang ayat-ayat Alquran dan potongan-potongan
aksi terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Film ini menyimpan
pesan bahwa Al Quran memotivasi orang untuk membenci siapa saja
yang menyerang Islam. Alhasil, film yang diunggah di situs video
internet ini diblok.1
Dari seluruh film yang penulis kemukakan di atas, kesemuanya
merupakan film yang menggambarkan Islam secara keliru dan salah.
Itulah sebabnya penulis ingin mengemukakan pendapat dakwah dengan
film sebagai lawan dari film film yang menyesatkan tadi. Bukan dengan
bereaksi keras, apalagi dengan demonstrasi secara anarkis yang tentu
saja merugikan nama Islam itu sendiri.
B.Dakwah sebagai komunikasi
Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia
sebagai mahluk sosial. Dalam proses komunikasi tersebut mencakup
sejumlah komponen atau unsur, salah satu komponen atau unsur
tersebut adalah pesan. Pesan adalah keseluruhan dari pada apa yang
disampaikan oleh komunikator. Pesan yang disampaikan komunikator
adalah pernyataan sebagai panduan pikiran dan perasaan, dapat berupa
ide, informasi keluhan, keyakinan, himbauan, anjuran dan sebagainya.2
Dakwah dengan Media Film _533
Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya bahasa.
Dikatakan bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk
menyalurkan pernyataan itu, sebab ada juga lambang lain yang
dipergunakan, antara lain kial, yakni gerakan anggota tubuh, gambar,
warna, dan sebagainya.
Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau
menganggukkan kepala adalah tanda yang merupakan lambang untuk
menunjukkan perasaan atau pikiran seseorang. Gambar, apakah itu
foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik, atau lain-lainnya, adalah
lambang yang biasa digunakan untuk menyampaikan pernyataan
seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu lintas:
merah berarti berhenti, kuning berarti siap, dan hijau berarti berjalan;
kesemuanya itu lambang yang dipergunakan polisi lalu lintas untuk
menyampaikan intruksi kepada para pemakai jalan. Diantara sekian
banyak lambang yang biasa digunakan dalam komunikasi adalah bahasa,
sebab bahasa dapat menunjukkan pernyataan seseorang mengenai
hal-hal, selain yang kongkret juga yang abstrak, baik yang terjadi saat
sekarang maupun waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Tidak
demikian kemampuan lambang-lambang lainnya.
Pesan seharusnya mempunyai inti pesan (tema) sebagai pengarah
di dalam usaha mecoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan.
Pesan ini dapat bersifat informatif, persuasif, dan coersif :3
a. Informatif
Memberikan keterangan-keterangan dan kemudian komunikan dapat
mengambil kesimpulan sendiri. Dalam situasi tertentu pesan informatif
lebih berhasil daripada pesan persuasive misalnya pada kalangan
cendikiawan.
b. Persuasif
Bujukan yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang
bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau
534_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sikap sehingga ada perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi itu adalah
atas kehendak sendiri, misalnya pada waktu diadakan lobby, atau pada
waktu istirahat makan bersama.
c. Coersif :
Memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. Bentuk yang terkenal
dari penyampaian pesan secara ini adalah agitasi dengan penekananpenekanan yang menimbulkan tekanan batin dan ketakutan diantara
sesamanya dan pada kalangan publik. Coersif dapat berbentuk perintah,
instruksi dan sebagainya.
Untuk merumuskan pesan agar mengena, pesan yang disampaikan
harus tepat, ibarat kita membidik dan menembak, maka peluru yang
keluar haruslah tepat kena sasarannya. Pesan yang mengena harus
memenuhi syarat-syarat:4
1) Pesan harus direncanakan (dipersiapkan) secara baik, serta sesuai
dengan kebutuhan kita.
2) Pesan itu dapat menggunakan bahasa yang tepat dimengerti
kedua belah pihak.
3) Pesan itu harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima
serta menimbulkan kepuasan.
Pendapat lain mengatakan syarat-syarat pesan harus memenuhi:5
1) Umum
Berisikan hal-hal yang umum dan mudah dipahami oleh
komunikan/audience, bukan soal-soal yang cuma berarti atau
hanya dipahami oleh seseorang atau kelompok tertentu.
2) Jelas dan gamblang
Pesan yang disampaikan tidak samar-samar. Jika mengambil
perumpamaan hendaklah diusahakan contoh yang senyata
mungkin, agar tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita
kehendaki.
Dakwah dengan Media Film _535
3) Bahasa yang jelas
Sejauh mungkin hindarkanlah menggunakan istilah-istilah yang
tidak dipahami oleh si penerima atau pendengar. Gunakanlah
bahasa yang jelas dan sederhana yang cocok dengan komunikan,
daerah dan kondisi dimana kita berkomunikasi, hati-hati pula
dengan istilah atau kata-kata dari bahasa daerah yang dapat
ditafsirkan lain oleh komunikan.
4) Positif
Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat
halhal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap
pesan agar diusahakan dalam bentuk positif.
5) Seimbang
Pesan yang disampaikan oleh karena kita membutuhkan selalu
yang baik-baik saja atau jelek-jelek saja. Hal ini kadang-kadang
berakibat senjata makan tuan, cenderung ditolak atau tidak
diterima oleh komunikan.
6) Penyesuaian dengan keinginan komunikan
Orang-orang yang menjadi sasaran dari komunikasi yang kita
lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan tertentu, oleh
sebab itu pesan-pesan yang disampaikan harus dapat disesuaikan
dengan keinginan-keinginan komunikan tersebut.
Berbeda dengan komunikasi pada umumnya, komunikasi Islam
mempunyai ciri khusus, yakni pesan-pesan yang ada dalam komunikasi
tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Dengan sendirinya
komunikasi Islam (Islami) terikat pada pesan khusus, Yakni dakwah,
karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seisi alam dan juga merupakan
(memuat) peringatan, warning dan reward bagi manusia yang beriman
dan berbuat baik (Surat Al-Ashr).6 Artinya bahwa dalam komunikasi
Islam itu terdapat pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan dakwah adalah
536_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
semua pernyataan yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah baik
tertulis maupun lisan dengan pesan-pesan (risalah) tentang hablum
minallah atau mua’amallah ma’al Khaliq, hablum minan-nas atau mua’mallah
ma’alkhalqi, Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara kedua itu.7
Model komunikasi Islam yang pesannya bersumber pada Al-Qur’an
dan Hadis Nabi, tentulah pesan itu bersifat imperatif atau wajib
hukumnya untuk dilaksanakan, karena merupakan pesan kebenaran
berdasarkan firman Allah SWT. dan Hadis Nabi. Pesan tidak boleh
merupakan sensasi, kebohongan, kefasikan, pelintiran kata-kata dan
kebohongan publik (public lies).
Meskipun demikian, komunikasi Islam disamping sangat
mengutamakan etika (ahlakul karimah) juga mementingkan metode
persuasi. Hal itu dapat dilihat antara lain di dalam Surat An-Nahl ayat 125
dan surat Al-Ashr ayat 3. Di dalam surat Al-Ashr Tuhan mengingatkan
kepada manusia, bahwa orang-orang yang tidak berada dalam kerugian
setiap waktu, hanyalah yang beriman, berbuat baik dan saling menasihati
tentang kebenaran dan perlunya kesabaran. Di dalam Surat An-Nahl
manusia diperintahkan untuk saling mengajak kejalan Tuhan dengan
kebijaksanaan, saling memberi penerangan yang baik, bertukar pikiran,
berdiskusi dengan cara yang lebih baik.8
Berkaitan dengan pesan-pesan yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadis, dalam dakwah, pesan-pesan itu masuk dalam unsur materi
dakwah. Materi dakwah adalah semua ajaran yang datangnya dari Allah
SWT yang dibawa oleh Rosulullah SAW untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia yang berada di muka bumi.
Pada dasarnya materi dakwah Islam tergantung pada tujuan dakwah
yang ingin dicapai. Namun secara global dapatlah dikatakan bahwa
materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu :
Masalah aqidah, Masalah syari’ah dan Masalah budi pekerti (ahlakul
karimah):
Dakwah dengan Media Film _537
1. Tinjauan Tentang Dakwah
a. M. Thoha Yahya Omar dalam bukunya M. Aminuddin Sanwar,
mengartikan dakwah adalah “mengajak manusia dengan cara
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan
untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.9
b. Menurut A. Hasymi, dakwah Islamiyah yaitu “mengajak orang
untuk meyakini dan mengamalkan aqidah syari’ah Islamiyah yang
terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
sendiri”.10
c. Menurut M. Hafi Anshari, definisi dakwah Islamiyah adalah
“semua aktifitas manusia muslim didalam berusaha merubah
situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT,
dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik kepada
dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT.11
d. Menurut Dr. H. Hamzah Ya’kup mengartikan dakwah Islam sebagai
usaha mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan
untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.12
Dari berbagai pengertian tersebut di atas, walaupun terdapat berbagai
perbedaan pendapat dalam cara merumuskannya, namun intinya
mengandung maksud dan pengertian yang sama, maka dari pengertian
tersebut dapat diambil inti pengertian sebagai berikut:
1) Bahwa proses dakwah harus mengandung unsur, sifat mengajak
menyeru, dan seterusnya sampai pada ketaatan kepada Allah.
2) Dakwah dilaksanakan dan diterima secara sadar, bukan paksaan
dan terencana.
3) Usaha yang dilakukan adalah mengajak ummat manusia ke jalan
Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik (dakwah bersifat
pembinaan dan pengembangan)
4) Untuk mencapai tujuan dakwah dilaksanakan secara teratur dan
538_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menggunakan metode, media yang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi.
5) Mengandung perubahan yang semakin sesuai dengan ketentuan
Allah SWT.
6) Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu,
yakni hidup bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat.
Jadi dengan kata lain dakwah adalah ajakan kepada umat manusia
dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar dan ilal khairi, baik melalui lisan,
tulisan atau tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan
Allah SWT. Oleh karena itu kalau kita jumpai beberapa aktifitas yang
didalamnya mengandung unsur ajakan terhadap amar ma’ruf nahi
munkar yang bersumber dari ajaran Islam dapat dikatakan berdakwah.
2. Materi Dakwah (Maadatud Dakwah)
Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang
disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan
ajaran Islam yang ada didalam kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya,
yang pada pokoknya mengandung 3 (tiga) prinsip yaitu:13
1) Aqidah
Aqidah secara etimologis adalah ikatan, sangkutan. Disebut
demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau
gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah
iman atau keyakinan. Karena itu aqidah Islam ditautkan dengan
rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam.
2) Syari’ah
Syari’ah bermakna asal syari’at adalah jalan lain ke sumber air.
Istilah syari’ah berasal dari kata syari’ yang berarti jalan yang
harus dilalui setiap muslim. Karena itu syari’ah berperan sebagai
peraturan-peraturan lahir yang bersumber dari wahyu mengenai
tingkah laku manusia. Syariah dibagi menjadi 2 bidang yaitu
Dakwah dengan Media Film _539
ibadah dan muamalah. Ibadah adalah cara manusia berhubungan
dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah ketetapan Allah
yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia,
seperti hukum warisan, berumah tangga, jual beli, kepemimpinan
dan amal-amal lainnya.14
3) Akhlak
Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologis
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak
bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk positif
adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar dan sifat baik
lainnya. Sedang yang negatif adalah akhlak yang sifatnya buruk,
seperti sombong, dendam, dengki dan khianat.
C.Kondisi perfilman di Indonesia dan beberapa film religius
saat ini
Film bernafaskan Islam yang kini telah menjadi arus tren tersendiri di
Indonesia. Di antara gelombang film-film horor dan komedi “murahan”
yang hanya mengandalkan pengumbaran aurat para pemerannya (bahkan
sampai perlu mengimpor bintang-bintang film porno), telah nyata
terbukti bahwa masyarakat pun sangat haus akan hiburan yang Islami;
sebentuk penghiburan yang menawarkan rekreasi pikiran sekaligus
juga sarat akan nasihat dan hikmah. Ini adalah sebuah kemajuan yang
sangat menggembirakan. Sebagai bukti bahwa film Indonesia umumnya
dan film Islami pada khususnya sedang menggeliat, penulis kemukakan
10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton
pada tahun 2007-2012 berdasarkan tahun edar film15:
No.
Box Office Nasional 2007 - 2012 Jumlah Penonton
1
Laskar Pelangi (2008)
4.606.785
2
Ayat-ayat Cinta (2008)
3.581.947
540_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3
Ketika Cinta Bertasbih (2009)
3.100.906
4
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009)
2.003.121
5
The Raid (2012)
1.844.817
6
Sang Pemimpi (2009)
1.742.242
7
Get Married (2007)
1.400.000
8
Garuda Di Dadaku (2009)
1.371.131
9
Nagabonar Jadi 2 (2007)
1.300.000
10
Sang Pencerah (2010)
1.206.000
Disini penulis ingin mengemukakan dua film yang menjadi tonggak
sejarah bangkitnya film yang bermuatan dakwah pada lima tahun
belakangan ini, diantaranya:
a. Ayat ayat cinta
Film ayat-ayat cinta adalah film yang disutradarai Hanung Bramantyo.
Kehadiran film ini langsung banyak diterima banyak masyarakat,
terbukti dengan antusiasme yang cukup tinggi dengan jumlah penonton
yang sangat banyak. Film ini diangkat dari novel karya Habiburahman
el Shirazy. Ada yang beranggapan bahwa inilah film Islami, tapi
menurut penulis lebih cocok dengan menyebutnya sebagai film religius,
karena walaupun diperankan oleh berbagai macam pemeran dengan
latar belakang agama yang berbeda, tapi nilai-nilai religiusnya tetap
bisa disampaikan. Terlepas dari kontroversi novelnya lebih bagus dari
filmnya, tapi keberanian sang sutradara tetap harus kita akui untuk
mengangkat sebuah tema yang jadi polemik yaitu poligami.
Disini penulis tidak menyoroti kontroversi poligami, karena ada
banyak tafsir yang membenarkan dan menyalahkannya, tergantung
dari sudut pandang penafsirannya. Tetapi penulis tertarik untuk
mengapresiasi tentang tema besar dalam film A2C ini, yaitu cinta.
Dimana menurut sudut pandang dari sutradara-nya adalah cinta yang
Dakwah dengan Media Film _541
universal, yaitu substansi dari cinta ikhlas, sabar, dan toleran. Tiga buah
kata yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam implementasinya,
apabila kita tidak punya niat yang kuat untuk mewujudkannya. Dalam
Intrepretasinya, Hanung Bramantyo memberikan ceramahnya saat
Fahri di penjara, dimana dalam Novel digambarkan seorang profesor,
tapi di film-nya sang sutradara mencoba menampilkan dengan urakan,
dan bersuara keras, sang sutradara mencoba memberikan pemahaman
bahwa jangan dilihat siapa yang berbicara, tapi dengarlah apa yang
dibicarakannya. Ini seperti dialog ketika Nabi Yusuf as masuk penjara
yang digambarkan dalam surah Yusuf. Dalam dialog-dialog-nya ada
banyak nasehat tentang bagaimana kita harus ikhlas menerima sebuah
cobaan, dan sabar menjalaninya. Karena Tuhan pasti memberikan hal yang
terbaik buat kita. Bukan dalam artian nrimo tanpa usaha, tapi lebih kepada
willing to understanding (ikhlas untuk mengerti setelah kita mencoba
untuk berusaha, dan belum mencapai hasil yang optimal). Toleransi
coba dimasukkan oleh sutradara, karena tanpa sikap yang toleran tidak
mungkin akan nada cinta yang murni. Dengan penggambaran bagaimana
bersahabat dengan Maria, dan saling menghargai perbedaaan-perbedaan
dalam keyakinan, telah menjadikan film A2C berbicara tentang cinta
yang agung, cinta yang membebaskan, tanpa terbebani oleh perbedaan
budaya, sosial, dan agama. Maka menurut penulis, Film A2C ini dapat
dikategorikan sebagai sebuah film religius, yaitu film yang mengangkat
nilai ajaran-ajaran agama tanpa berpretensi untuk menggurui.
b. Sang Pencerah
Tidak diragukan lagi bahwa film Sang Pencerah adalah sebuah titik
penting dalam sejarah perfilman Indonesia, karena ia menceritakan
episode kehidupan seorang tokoh termasyhur dalam sejarah Indonesia,
yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah pendiri dari salah satu ormas
Islam terbesar di Indonesia, pejuang, tokoh pergerakan, pendidikan,
ulama kharismatik yang dianggap sebagai mujaddid dan berbagai
predikat mulia lainnya.
542_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Berbagai kritik telah dialamatkan kepada film ini, antara lain mengenai
keakuratannya dengan sejarah hidup K.H. Ahmad Dahlan yang
sebenarnya. Pada kenyataannya, referensi sejarah yang bisa digunakan
untuk melakukan riset tentang tokoh pendiri Muhammadiyah ini
memang sangat terbatas. Beliau bukan seorang penulis lebih dikenal
sebagai tipe praktisi, sehingga orang yang hidup pada abad ke-21 akan
merasa cukup kesulitan untuk menggali gagasan-gagasannya.
D.Dakwah dengan film
Sejak awal perkembangan Islam, kesenian memiliki peranan penting
dalam dakwah Islamiyah, terutama seni bahasa dan seni suara. AlQur’an sendiri telah memberi isyarat tentang pentingnya seni didalam
berdakwah. Allah menciptakan al-Qur’an dalam bahasa Arab yang maha
balaghah, yang maha seni yang luar biasa uslub dan maknanya sehingga
tidak dapat ditiru oleh manusia.16 Sidi Gazalba, menyatakan “Islam
menyuruh manusia beragama untuk berbuat baik, menghargai kesenian,
menyuruh hidup bermasyarakat dan bertaqwa. Karena Islam merupakan
fitrah, dan seni adalah fitrah manusia, dengan sendirinya seni masuk
dalam ajaran ad-dien. Kebudayaan adalah kehidupan, kehidupan itu
Tuhanlah yang memberikannya. Kesenian adalah cabang kebudayaan,
jadi bidang kehidupan. Karena itu fitrah kesenian juga berasal dari
Tuhan”.17
Ciptaan-ciptaan seni banyak yang lahir oleh rangsangan rasa agama.
Dan rasa agama yang menjelma, menggerakkan rasa seni untuk mencipta.
Kandungan isinya sangat padat dan isinya menarik pembacanya, jika
al-Qur’an dibaca dengan lagu tertentu dapat membuka hati seseorang,
karena itu Nabi Muhammad SAW menganjurkan membaca al-Qur’an
dengan suara yang indah.18
Melihat perkembangan dakwah Islamiyah, banyak ditemukan cara
berdakwah, salah satunya menggunakan media film. Media Dakwah
(Wasilatud Dakwah) menurut Hamzah Ya’qub bahwa media adalah
Dakwah dengan Media Film _543
alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan
ummat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam
totalitas dakwah, yang dapat digolongkan menjadi lisan atau tulisan,
lukisan, audio visual dan perbuatan atau akhlak.19 Sedangkan menurut
penulis, media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan da’i dalam
melaksanakan dakwahnya.
1) Macam-macam media dakwah
Adapun macam-macam media dari segi bentuknya, menurut Masdar
Helmy, media dakwah terdiri dari:
a) Media cetak
b) Media auditif
c) Media visual
d) Media audio visual
e) Tauladan.20
Banyak dakwah yang dilakukan dengan cara konvensional di media
audio visual cenderung untuk menampilkan ajaran-ajaran yang kaku,
dengan perumpamaan memegang sebuah cambuk yang berduri yang siap
selalu untuk menghukum umat yang tidak taat pada ajaran agamanya.
Kita membutuhkan sebuah dakwah yang damai dan menyejukkan,
sebuah dakwah yang mencoba mengajak berbuat baik dengan cara-cara
yang baik juga, dakwah dengan cara-cara yang bisa menggali sebuah
budaya dalam masyarakat tanpa harus meninggalkan kebudayaan
tersebut. Sebagaimana dulu jaman awal masuknya Islam, sudah
diterapkan oleh para Wali songo. Dalam dakwahnya Sunan Kalijogo
sering menggunakan media wayang kulit, untuk menyampaikan pesanpesan dalam agama Islam, Padahal kita tahu wayang adalah hasil dari
kebudayaan bukan dari agama Islam. Dengan cara penyampaian pesan
agama lewat wayang inilah, nilai-nilai yang ada dalam agama Islam
dimasukkan dalam berbagai macam adegannya, bisa saat dialog antar
pemainnya, ataupun dalam jalinan ceritanya. 21
544_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Film sangat berbeda dengan seni sastra, seni rupa, seni suara, seni
musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan
teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal
penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan penjelmaan
terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan
teknologi canggih dan modern serta sarana publikasi. Menurut Baksi,
pesan-pesan komunikasi film juga dikelompokkan dalam proses
pembuatan dan penyampainnya, yang biasa disebut dengan genre.
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
humor dan sajian teknis lainnya. Film sebagai salah satu media massa
merupakan media hiburan yang sangat berpengaruh dibandingkan
dengan keberadaan radio dan surat kabar. Hal ini dikarenakan kekuatan
audio visual dalam film dapat mempengaruhi emosi penonton seperti
menangis, tertawa, marah, sedih dan lain-lain.
Sementara itu menurut Quraish Shihab, seniman boleh saja melukiskan
apa adanya. Kitab suci al Quran pun melukiskan kelemahan manusia
sebagaimana dalam surah Yusuf ayat 23.22
E. Pesan dalam sebuah film
Film sendiri notabenenya adalah sebuah sekenario yang dijalankan
oleh para pelaku dan pembuat film tersebut, yang memang terkadang
para penulis naskah atau skenario mengambil ide-ide tulisannya dari
sebuah kehidupan yang benar-benar nyata yang dialaminya sendiri
ataupun melihat dari kehidupan orang lain, atau kadang juga hanya
sebuah hayalan yang mungkin akan bisa terwujud di suatu saat nanti,
sehingga menimbulkan perasaan yang begitu mendalam bagi para
penikmatnya, tentu sesuai dengan sudut pandang apa yang akan
diangkat dalam sebuah produksi film tersebut.
Karena unsur-unsur yang sama dalam kehidupan sebenarnya itulah
seakan-akan para penikmat film menganggap bahwa film yang mereka
Dakwah dengan Media Film _545
lihat adalah nyata dan dapat dirasakan sesuai dengan keadaan mereka
saat itu. Artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat
berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya tanpa pernah berlaku
sebaliknya.
Maka dari inilah, sebuah film dapat berpengaruh terhadap prilaku
sosial dalam masyarakat dari para penikmatnya, tentunya sesuai dengan
pesan apa yang di dapat dari sebuah film yang mereka nikmati. Pesan
disini adalah pesan yang disampaikan dari pembuat film (sineas) kepada
masyarakat luas.
Karena sebuah film, paling tidak memiliki sebuah pesan tertentu
dalam pembuatanya, baik pesan tersebut bersifat verbal maupun non
verbal sesuai dengan jenis film yang di ciptakan oleh para pembuatnya
(sineas). Film juga mempunyai segmen dalam pengambilan dan
penyampaian pesan terhadap khalayak yang melihatnya, yakni para
pembuat sebuah film sudah memperkirakan pesan apa yang harus di
dapat bagi para penonton setelah melihat film tersebut, sesuai dengan
keinginan dan kepentingan para sineas dalam memproduksi filmnya,
seperti: unsur tentang budaya, sosial, politik, psikologi dan lain
sebagainya, yang menarik atau dapat merangsang imajinasi penonton,
meskipun terkadang pesan yang diharapkan tidak sesuai atau hanya
mendekati sesuai keinginan para sineas film dalam penyampaianya
terhadap penonton. Karena dalam salah satu teori Melvin D. Defleur
tentang teori perbedaan individu menyatakan, “bahwa manusia sangat
bervariasi dalam organisasi psikologinya secara pribadi. Respon individu
terhadap pesan yang diterima diubah oleh tatanan psikologinya. Jadi efek
dari pesan media massa itu menjadikan tidak seragam, tetapi menjadi
beragam”. Jika film itu di teliti secara mendalam, mengenai pesan
apa yang sebenarnya di inginkan para sineas film terhadap khalayak,
maka pesan itu akan dapat dipahami baik secara teoritis maupun bukti
ilmiahnya.
Yang memungkinkan bagi para pelaku dan para penikmat film
memiliki tujuan dan harapan yang sama atas pesan apa yang sebenarnya
546_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
di lihat dan dinikmati dalam sebuah film, sehingga dapat merubah
sedikitnya pada perilaku atau pada kehidupan sosial yang sangat
beragam sesuai dengan yang dikehendaki para sineas film tersebut
Dewasa ini, banyak karya seni yang hidup. Gambar pun dihidupkan
melalui bioskop dan televisi. Hanya saja, seringkali gambar hidup itu
mematikan kesadaran religius penontonnya, bahkan kadang menuntut
penonton ke kebinasaan. Yang demikian itu, menurut surah al Syams
adalah karya yang diilhami oleh kedurhakaan, dan mereka ini sungguh
sungguh merugi dan wajar apabila mendapatkan palu godam Ilahi.23
Menciptakan film dakwah yang bermutu adalah sesuatu yang bisa
diwujudkan tentu saja filmnya adalah film yang bisa menggambarkan
Islam secara utuh, yang merupakan bagian dari syiar Islam Rahmatan lil
Alamin. Sukses tidaknya suatu dakwah bukanlah dikukur lewat gelak
tawa atau tepuk riuh penonton , bukan pula dengan ratap tangis mereka.
Sukses sebuah film dakwah tersebut dapat diukur lewat antara lain, pada
bekas (atsar) yang ditinggalkan dalam benak penontonnya ataupun kesan
yang terdapat dalam jiwa, yang kemudian tercermin dalam tingkah laku
mereka.24
F. Penutup
Sebagai penutup dan maka penulis ingin menyimpulkan beberapa hal
yang bisa dilakukan dalam berdakwah melalui media film. Hendaknya
kaum muslimin tidak bereaksi keras terhadap film film yang menghina
Islam, apalagi sampai merugikan Islam itu sendiri dengan mengorbankan
nyawa dan harta. Film film yang ada saat ini harus diseleksi jika ingin
menontonnya terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus.
Dakwah dengan memakai film memang membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, akan tetapi jika itu maslahatnya lebih banyak, maka sudah
barang tentu bisa menjadi pemikiran oleh pemerintah dan ulama. Film
yang religius dan bernilai dakwah tentu bisa menjadi propaganda yang
positif terhadap Islam. Mungkin lebih baik banyak film yang secara judul
Dakwah dengan Media Film _547
tidak Islami akan tetapi isi dan pesan yang disampaikan adalah dakwah.
Daripada film yang judulnya islami tetapi kering dari nilai-nilai dakwah.
Kontroversi pada sebuah film tentu akan selalu terjadi, oleh karena itu
mari menyikapi secara bijak dan arif. 548_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2000
Anshari. M. Hafi, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: AlIkhlas, 1993
Azhar Arsyad, Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai
dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara,
Jakarta: Mizan, 2006
Effendy, Onong Uchjana , Dinamika Komunikasi, Bandung: Rosda Karya,
2002
Gazalba, Sidi, Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, Jakarta: Tinta Mas, 1976
Masdar, Helmy, Dakwah dalam Alam Pembangunan, Semarang: CV. Toha
Putra, 1973
Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual
Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006
Muis, A., Komunikasi Islami, Bandung: Rosda Karya, 2001
Hasjmy, A, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang,
1974
Hoesin, Oemar Amin, Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Sanwar. M. Aminuddin Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Semarang: FD IAIN
Walisongo, 1985
Shihab, M. Quraish, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan, 1994
_______, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
Widjaja, A. W., Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi
Aksara
Ya’kub, Hamzah, Publisistik Islam Seni dan Tehnik Dakwah. Bandung: CV.
Dakwah dengan Media Film _549
Diponegoro, 1973
_______, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung: CV.
Diponegoro, 1986
http://www.alkhoirot.net/2012/09/film-innocence-of-muslimsmenghina-islam.html#1
http://202.158.49.14/Cerita-Hiburan/Artikel/Miris--Box-OfficeIndonesia-Terus Menukik.aspx
550_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. http://www.alkhoirot.net/2012/09/film-innocence-of-muslims-menghinaislam.html#1, diakses pada tanggal 25 Oktober 2012
2. Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Bandung: Rosda Karya, 2002,
h. 6
3. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi
Aksara, h. 14-15
4. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 15
5. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 15-16
6. A. Muis, Komunikasi Islami, Bandung: Rosda Karya, 2001, h. 66
7. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, h. 32
8. A. Muis, Komunikasi Islami, h. 89
9. M. Aminuddin, Sanwar. Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Semarang: FD IAIN
Walisongo, 1985, h. 3
10. M. Aminuddin, Sanwar. Pengantar Studi Ilmu Dakwah, h. 3
11. M. Hafi Anshari. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas,
1993, h. 11
12. Hamzah Ya’kup, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung:
CV. Diponegoro, 1986, h. 13
13. M. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, h. 146
14. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2000, h. 235
15. http://202.158.49.14/Cerita-Hiburan/Artikel/Miris--Box-Office-IndonesiaTerus-Menukik.aspx, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012
16. A. Hasjmy. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
h. 274
Dakwah dengan Media Film _551
17. Sidi Gazalba. Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan. Jakarta: Tinta Mas, 1976,
h. 173
18. Oemar Amin Hoesin. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 407
19. Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam Seni dan Tehnik Dakwah. Bandung: CV.
Diponegoro, 1973, h. 42
20. Helmy Masdar, Dakwah dalam Alam Pembangunan, Semarang: CV. Toha
Putra, 1973, h. 19-22
21. Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006, h. 62-63, baca juga Azhar Arsyad, Islam
masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai dalam Menjadi Indonesia: 13
Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006, h. 73 - 108
22. M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan, 1994, hlm 318
23. M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, h. 371
24. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, h. 194
Mystical Epistemology in
Islamic Philosophy
Epistemologi Mistik dalam
Dunia Filsafat Islam
Hasan Baharun
Institut Agama Islam Nurul Jadid
PP Paiton Probolinggo Jawa Timur
email : [email protected]
Abstract : The presence of science, technology and culture in the region west to the Islamic
world has been accompanied by epistemology. This epistemology can affect lifestyles,
thoughts and trends of the Muslims. Moreover, this doctrine can colonize Muslim
thought that they comply with the norms, values ​​and concepts of western progress
which often conflict with the teachings of Islam. In Islamic thought, the technical term
mysticism, called Sufism words and by the western orientalists called Sufism. Unique,
Mystical knowledge is knowledge that can not be understood ratio, this knowledge
sometimes have empirical evidence but most can not be proven empirically.
Abstraksi : Kehadiran ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya di wilayah barat ke dunia Islam
telah disertai dengan epistemologi. Epistemologi ini dapat mempengaruhi gaya hidup,
pikiran dan kecenderungan kaum muslimin. Selain itu, doktrin ini dapat menjajah
pikiran Muslim bahwa mereka mematuhi norma-norma, nilai-nilai dan konsep
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _553
kemajuan Barat yang sering bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pemikiran
Islam, mistisisme dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Sufisme dalam istilah
para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam.
Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam
agama-agama lain. Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang
bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme)
dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen,
tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha. Keunikan dari pengetahuan mistik adalah
pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, pengetahuan ini kadang-kadang
memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Keywords : Epistemology, Mysticism, Islamic Philosophy
A.Pendahuluan
Mistisisme yang diartikan sebagai sebuah pengetahuan yang tidak
rasional, pada kenyataanya dapat menimbulkan objek yang empiris, di
mana mistik ini di dalam kehidupan masyarakat sangat melekat sekali,
terutama pada masyarakat yang masih primitif, sehingga kehidupn
mistik membudaya baik kalangan keagamaan maupun umum, yang
akhirnya membentuk sebuah keyakinan adanya kekuatan yang ada pada diri luar manusia.
Dengan sifat keingin tahuan itulah sehingga para kalangan yang
ahli membentuk teknik-teknik tertentu sebagai alat terwujudnya dan
tercapainya sesuatu. Di kalangan masyarakat, mistiklah yang dijadikan
media untuk menyelesaikan masalah karena di dalam mistik itu sendiri
ada muatan-muatan kekuatan (magis) yang ampuh untuk dijadikan
jalan keluar. Terkadang pula, ketentraman jiwa tidak bisa hanya dicapai
dengan materi saja, karena banyaknya problem yang dihadapi manusia,
sehingga menyebabkan manusia mempunyai qolbu yang tidak sehat.
Dengan jalan mistiklah manusia dapat menemukan ketentraman di
dalam hidupnya melalui pendekatan Kepada Tuhan. Di kalangan para
554_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
intelektual barat, istilah ini disebut dengan tasawuf (mysticism). Ada
pula yang menyebutnya zuhudisme. Pada mulanya istilah mistisisme
itu diperkenalkan oleh intelektual barat untuk menyebut fenomena
atau aspek dalam tradisi Kristen yang menurut pemahaman mereka,
menekankan pada pengetahuan religius yang diperoleh melalui
pengalaman luar biasa atau wahyu suci1.
Epistemologi yang berkembang sekarang ini terlalu mengandalkan
kekuatan rasio, tanpa sedikitpun memberikan peluang kepada
kemungkinan-kemungkinan
transenden
untuk
mempengaruhi
prilaku menusia.Di samping rasio, ilmu pengetahuan Barat hanya
didasarkan pada fakta. Ilmu modern dibentuk atas dasar fakta empiris
dan inderawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yaitu Allah yang
telah memberikan esensi berbagi ilmu sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’an2. Padahal yang menjadi pusat kajian dalam epistemologi di
samping cara-cara memperoleh pengetahuan, syarat, batas, validitas dan
hakekat pengetahuan juga asal mula atau sumber pengetahuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakteristik epistemologi
Barat adalah dikotomi antara nilai dan fakta, realitas obyektif dan nilainilai subyektif antara pengamat dan dunia luar yang diamati, antara
keadaan-keadaan subyektif dan emosi dan realitas yang terdapat di luar
pengamat yaitu realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi
dan penalaran3.
Oleh karena itu, garis besar filsafat Barat ditandai oleh desakralisasi4
(penghapusan pengetahuan) atas pengetahuan yang bersifat keTuhanan.
Maka, intuisi yang menjadi sarana mambawa manusia kepada Tuhan
sebagai “Yang Suci”, sekarang ditinggalkan. Filsafat menjadi benar-benar
sekuler, dan alam pun selanjutnya dikosongkan dari keberadaan Tuhan.
Oleh karena itu, dibutuhkan penyeimbang yang mampu menjembatani
hal tersebut, yaitu memahami secara epistemologis tentang nilai-nilai
spiritual atau mistisisme dalam kajian filsafat Islam, sehingga kita tidak
kehilangan ruh keilmuan Islam yang hakiki.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _555
B.Epistemologi dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Jujun S. Suriasumantri5 mengatakan bahwa setiap jenis pengetahuan
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.
Ketiga landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu
dan seterusnya.
Berangkat dari hal tersebut, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah
usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan
prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu6. Apakah
obyek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa
dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam
kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif.
Epistemologi berasal dari kata “Episteme”
berarti mendudukan,
meletakkan, menempatkan; logos yang berarti ilmu. Epistemologi adalah
pengetahuan sebagai upaya menempatkan sesuatu di dalam kedudukan
yang setepatnya8. Menurut Paul Edward sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Tafsir9, bahwa epistemologi atau teori pengetahuan merupakan
cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat
diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
7
Sesuai pengertian epistemology di atas, maka epistemologi meliputi ;
1) sumber-sumber ilmu, 2) cara memperoleh ilmu, 3) ruang lingkup ilmu,
dan 4) validitas pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu bagian
dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan
metafisika sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat
abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan
sehari-hari. Kendati demikian, menurut P. Hardono Hadi10, kalau kita
berani memasuki permasalahan epistemologi, akan tampak betapa
556_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari
pada pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk membedakan
hal manakah yang perlu dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan
hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi dengan sikap “biasa”.
Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini : Pertama, apakah
sumber-sumber pengetahuan itu ? Di manakah pengetahuan yang benar
itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya ?. Kedua, apakah sifat
dasar pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di
luar pikiran kita, kalau ada apakah kita mengetahuinya ? Ini persoalan
tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat
(noumena atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)
? Serta bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah ?
Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verivikasi11.
Semenjak manusia diciptakan, manusia memiliki alat guna memperoleh
epistemologi, yaitu ”indera”. Manusia memiliki berbagai macam indera
; indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba. Seandainya
manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua
bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak
dahulu kala, dan kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya
dari Aristoteles “barang siapa yang kehilangan satu indera, maka ia
telah kehilangan satu ilmu”. Setiap manusia yang kehilangan salah satu
inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologi.
Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin
dapat membayangkan warna-warni, berbagai bentuk dan jarak. Kita
tidak akan mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu
warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat dan
ungkapan guna mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya.
Kita juga tidak akan mampu untuk menjelaskan kepadanya mengenai
warna dari suatu benda.
Selain alat indera yang dimiliki oleh manusia tersebut, manusia juga
masih memerlukan pada satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _557
dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada
suatu bentuk pemilahan dan penguraian serta adakalanya memerlukan
berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian12. Pemilahan dan
penguraian merupakan aktivitas rasio itu, adalah meletakkan berbagai
perkara pada kategorinya masing-masing, di mana hal itu disebut
dengan pemilahan. Begitu juga dengan penyusunan dalam bentuk
khusus, dan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas pemilahan
dan penyusunan, yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang.
Sebagai contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah,
maka mereka akan mengatakan kepada kita, ”yang itu masuk dalam
kategori kuantitas dan yang ini masuk dalam kategori kualitas, dan di
sini perubahan kuantitas telah berubah menjadi perubahan kualitas”.
Sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan
alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerak, alam yang
sekarang kita tengah hidup di dalamnya, dan kita memiliki hubungan
dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat indera kita.
C.Hakikat Pengetahuan Mistik
Kuntowijoyo telah membagi tiga tingkat evolusi pemikiran manusia
yaitu mitos13, ideologi14 dan ilmu15. Beliau menjelaskan bahwa periode
mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke2016. Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik17
ternyata masih terus mempengaruhi pemikiran manusia. Bahkan, dapat
diasumsikan bahwa sebetulnya mistik tersebut tetap mempengaruhi
pemikiran manusia, hingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada
akhirnya mempengaruhi aturan hidup manusia18.
Dalam filsafat ilmu di kenal dengan istilah mistisisme. Mistisisme,
dalam bahasa Inggris mysticism, bahasa Yunani mysterion, dari mystes19
(orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan) atau myein (menutup
mata sendiri).
558_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Akar kata mistisisme adalah mistik. Dalam kata mistik terkandung
sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa
atau dengan akal, harus melalui cara yang luar biasa20. Dalam artinya
yang paling luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap
Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya atau Cinta21.
Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional, ini pengertian yang
umum. Adapun pengertian mistik bila dikaitkan dengan agama ialah
pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh
dengan cara meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan
pada indera dan rasio22.
Secara etimologi, mistik merupakan perkara-perkara ghaib yang
hanya difahami oleh minoritas manusia. Apabila dikaitkan dengan agama
ialah, pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau
latihan spiritual23. Pengetahuan mistik merupakan pengetahuan yang
terlepas dari rasio dan indra. Pengetahuan mistik tidak dapat difahami
rasio karena sasaran dari mistik itu sendiri bukan rasionalitas melainkan
keyakinan. Mistik juga tidak bisa dibuktikan secara langsung tetapi harus
melalui tahap-tahap yang rumit sehingga bisa dibuktikan secara empiris.
Dalam pemikiran Islam mistisisme cenderung disebut dengan kata
tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme24
oleh mereka khusus dipakai untuk mistisisme Islam, dan tidak untuk
agama-agama yang lain25. Kaum mistik menekankan kedekatannya
dengan Allah, dalam arti bahwa hanya Dialah yang sebenar-benarnya
ada
Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan
kamus Bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut
beberapa pengertian mengenai mistik tersebut;
1. Mistik merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan
kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan
sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan
mencapai kesatuan dengan Tuhan26.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _559
2. Mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua
agama27
3. Mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat
dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi
tidak dapat dipahami rasio28.
Mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau
keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh dengan cara meditasi atau
latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio29.
Pengetahuan Mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami
rasio, pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tapi
kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Namun seiring
perkembangan zaman, pengetahuan mistik menjadi terkesampingkan,
akibat dari positivisme dan kemajuan ilmu pengetahuan, maka Comte
pun menganjurkan pola hidup sekuler dengan cara meninggalkan halhal yang berbau mistik ataupun agama, karena merupakan anakronisme
yang harus ditinggalkan. Menurutnya, orang yang masih berpegang
pada agama merupakan ciri orang primitif.
Mistisisme dipercaya sebagai unsur vital dalam berbagai keyakinan
beragama, terutama dalam agama-agama Timur awal, dalam literature
Weda, dalam Buddhisme di India dan Cina, dalam Yudaisme (Yahudi), di
Yunani, dalam Kristenitas, dan juga dalam Islam, yang mewujud sendiri
sejak awal dan membuatnya terasa di Negara-negara Islam, khususnya
Mesir, Persia, Turki dan India.
Mistisisme bukanlah teoretis melainkan praktis, yang mengajarkan
sebuah Jalan Hidup, untuk dipatuhi oleh semua yang akan memenangkan
tujuan ini, dan dalam pandangan ini akan ditemukan pola yang sama, di
Timur dan Barat. Harus ada terlebih dahulu perubahan dan kedisiplinan
untuk membuang hasrat-hasrat diri, yang akan membawa kehidupan
abadi ke dalam bentuk yang sesuai dengan sang pencari Tuhan. Setelah
itu muncullah kedisiplinan kehidupan batin yang membawa pikiran-
560_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pikiran dan perasaan serta kehendak ke dalam harmoni kehendak
Tuhan yang kekal dan yang membuat kaum mistikus mampu menerima
iluminasi Tuhan. Jiwa seseorang mampu menggapai kehidupan dalam
Tuhan, tempat jiwa berbagi dalam kehidupan abadi.
D.Epistemologi Mistik dalam Filsafat Islam
Objek kajian pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak (suprarasional), seperti alam gaib termasuk Tuhan, Malaikat, surga, neraka, jin
dan lain-lain30. Ini semua merupakan obyek yang hanya dapat diketahui
melalui pengetahuan mistik, karena kesemuanya tidak dapat dipahami
oleh rasio.
Di dalam Islam, aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau
sufisme. Pandangan seperti ini diteguhkan oleh Harun Nasution31 yang
menyatakan bahwa mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang
oleh para orientalis barat disebut dengan sufisme. Dengan demikian
kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk
menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai
untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.
Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang
bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik
(mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga
tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha,
karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan dengan mistik Islam dan
tidak untuk agama-agama tersebut.
Tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut sejarah orang pertama yang
memakai kata sufi adalah seorang Zahid yang bernama Abu Hasyim
al-Kufi di Irak. Adapun etimologi dari kata sufi, teori berikut selalu
dikemukakan, yaitu Ahl al-Saffah yaitu orang-orang yang ikut pindah
dengan nabi dari Makkah ke Madinah, mereka tinggal di masjid nabi dan
tidur diatas batu dengan memakai pelana atau suffah sebagai bantal32. Saf
berarti barisan pertama dari shalat berjamaah, sufi berarti suci, sophos
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _561
kata Yunani yang berarti hikmah, dan suf berarti kain wol yang dipaki
kaum sufi33. Sedang secara terminologi tasawuf merupakan media untuk
mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani34.
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sufi dapat
dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah.
Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf
dengan orang yang berada di serambi masjid dan bulu domba merupakan
tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah
meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan bendabenda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan,
kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai
orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih
memberatkan pada aspek bathiniyah.
Tasawuf atau mistisisme dalam Islam bertujuan untuk memperoleh
suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud
mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini
melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya
yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan
Tuhan) demikian menjadi inti persoalan “sufisme” baik pda agama Islam
maupun diluarnya35.
Selanjutnya, faham mistisisme dalam Islam ini muncul sebagai
pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar berpikiran
ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan
agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa
menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh
dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdirtakdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus
memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya,
dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima wahyu Tuhan, melalui
562_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indra-indra atau
kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini,
pastilah ada dalam dirinya satu bagian dari sifat Ilahiah, bahwa jiwa
diciptakan untuk mencerminkan kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu
mempunyai andil dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum mistikus
mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung
dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan
jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian
mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan
Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya
dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya.
Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih
besar dari pada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah
menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta
mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih.
Al-Taftazani telah mengidenfitifkasi beberapa karakteristik umum
yang ada dalam tasawuf atau mistisisme36. Menurutnya, tasawuf
umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologi,
yaitu sebagai berikut :
1. Tasawuf adalah peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme
memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk
membersihkan jiwa dalam rangka merealisasikan nilai-nilai moral itu.
Dengan sendirinya, dalam tasawuf memerlukan latihan-latihan fisikpsikis tertentu, serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Artinya dengan
latihan-latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang
sufi atau mistikus sampai pada kondisi kejiwaan tertentu, dimana
dia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia
merasa kekal abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _563
3. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma dalam epistemologis.
Apabila dengan filsafat, seseorang memahami realitas dengan
metode-metode intelektual. Sementara kalau dia berkeyakinan atas
terdapatnya metode lain bagi pemahaman hakikat realitas di balik
persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan
kasyf atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai
sufi atau mistikus. Intuisi menurut para ahli sufi bagaikan sinar kilat
yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba.
4. Kententraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus
pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab tasawuf diniatkan
sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu,
serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi. Dengan
sendirinya, maksud ini membuat sang sufi tersebut terbebas dari rasa
takut dan merasa intens dalam kententraman jiwa , serta kebahagiaan
dirinya pun terwujudkan .
Dalam pandangan para sufi, cara memperoleh pengetahuan mistik
disebut juga thariqat37 yang terdiri dari maqam-maqam untuk menggapai
Tuhan. Pada umumnya cara untuk memperoleh pengetahuan mistik
adalah latihan yang disebut juga riyadhah38. Dari sinilah manusia
memperoleh pencerahan yang dalam tradisi tasawuf disebut dengan
istilah ma’rifah39.
Pengetahuan mistik tidak diperoleh melalui indra ataupun melalui
akal. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Dalam agama samawi,
salah satunya agama Islam, cara untuk mendapatkan itu harus dengan
cara membersihkan jasmani dan rohani terlebih dahulu. Agar unsur
rohani bersih maka harus menghilangkan nafsu jasmani, di antara
nafsu jasmani yang paling dominan adalah nafsu kelamin dan nafsu
perut. Karena keduanya inilah yang akan menyebabkan banyak orang
memasuki siksa Tuhan di akhirat.
Kebenaran mistik dapat diukur dengan berbagai macam ukuran. Bila
pengetahuan itu berasal dari Tuhan, maka ukuran kebenarannya adalah
564_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
teks Tuhan yang memnyebutkan hal itu. Tuhan mengatakan dalam AlQur’an bahwa surge dan neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi
bukti bahwa pernyataan itu benar. Ada kalanya ukuran akan kebenaran
pengetahuan mistik itu adalah kepercayaan. Jadi sesuatu akan dianggap
benar karena kita mempercayai akan hal tersebut. Kita percaya bahwa
jin dapat disuruh oleh kita untuk melakukan suatu pekerjaan, maka
kepercayaan itulah yang akan menjadi kepercayaannya. Adapun
kebenaran suatu teori dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti
empirik dalam hal ini maka bukti empiriklah yang menjadi ukuran
kebenarannya.
Pengalaman mistik (mystical experience) hendaknya dipahami bukan
semata sebagai “fenomena kebahasaan”—misalnya dengan memfokuskan
pandangan kita terhadap “ungkapan-ungkapan” pengalaman mistik—
tetapi juga “fenomena keagamaan” khususnya pengalaman keagamaan
(religious experiences). Karena itu, memahami bangunan epistemologi
pengalaman keagamaan, khususnya pengalaman mistik, merupakan
suatu hal yang niscaya. Sebab dengan cara itu, seseorang dapat lebih arif
mendudukkan problem bahasa mistik secara proporsional.
Dalam tradisi pemikiran Islam, setidaknya dikenal tiga betuk
epistemologi keilmuan sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Abid
al-Jabiri40: bayani, irfani dan burhani. Pola pikir bayani lebih mengutamakan
qiyas (qiyas al-‘illah untuk fikih dan qiyas al-dalalah untuk kalam) dan bukannya manthiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Karena
itu tidak mengherankan jika corak pemikiran ini lebih mengutamakan
epistemologi tekstual-lughawiyah.
Sementara untuk pola epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada
intuisi (intuition) dan bukannya pada teks. Dengan kata lain, jika
sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks”
(wahyu), maka sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi ‘irfani adalah “direct experience” atau pengalaman langsung. Pengalaman yang
dimaksudkan di sini adalah pengalaman batin yang amat mendalam,
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _565
otentik, fitri, dan hampir-hampir “tak terdeteksi” oleh logika dan tak
terungkapkan oleh bahasa. Epistemologi ‘irfani merupakan sistem
filsafat yang dikembang oleh para sufis yang dipengaruhi di mana intuisi
memegang peran penting dalam menggapai kebenaran dan memperoleh
ilmu. Akal pada ketika ini, menurut Jabiri, menjadi pensiun (al-‘aql almustaqil). Sistem ini disebut Jabiri sebagai alla ma’qul ‘aqli. Menutunya
lagi sistem ini dianut oleh pemikir seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Shi’ah
Isma’iliyyah, dan al-imamiyyah. Bagi Jabiri sistem inilah yang menjadi
biang kedok kejumudan Islam.
Berbeda dengan dua corak epistemologi sebelumnya, corak
epistemologi Burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’ baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang
lahir dari tradisi Burhani disebut sebagai al-‘Ilm al-Hushûli, yakni
ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premispremis logika atau al-manthiq dan bukannya lewat otoritas teks atau
salaf maupun otoritas intuisi. Tipologi sistem ini tidak berpegang pada
nash semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn Rusyd dan
eksperimen-nya Ibn Khaldun. Sesungguhnya, katanya lagi, inilah yang
membuat barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat telah dengan
jitu mengaplikasikan semangat rasionalisme Jabiri dan emperisismenya
dalam sistem peradaban mereka. Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau
kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus dapat
mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga ekmperisisme. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah
intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya41. Dari tiga corak epistemologi sebagaimana digambarkan
di atas tampak jelas bahwa pengalaman mistik di bangun di atas
epistemologi ‘irfani yang berparadigma intuisi-batin. Jabiri tidak melihat
ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam
setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk
yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi42.
566_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
E. Kesimpulan
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat
diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan
Kajian dalam pistemology meliputi (1) sumber-sumber ilmu, (2)
cara memperoleh ilmu, (3) ruang lingkpup ilmu, dan (4) validitas
pengetahuan. Dalam hal bagaimana cara memperoleh pengetahuan
yang benar ? dalam kajian filsafat muncul beberapa aliran besar yang
menjawab pertanyaan ini. lima diantaranya sebagai berikut, pertama,
rasionalisme, kedua, empirisme. Ketiga, intiusionisme, keempat,
skeptisme, kelima, kritisme.
Mistik merupakan perkara-perkara ghaib yang hanya difahami
oleh minoritas manusia. Adapun bila dikaitkan dengan agama ialah
pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau
latihan spiritual dan cenderung terlepas dari rasio dan indra.
Obyek dari pengetahuan mistik adalah abstrak-supra-rasional,
seperti alam gaib termasuk Tuhan, malaikat, surga, jin dan lain-lain.
Ini semua merupakan obyek yang hanya dapat diketahui melalui
pengetahuan mistik, karena kesemuanya tidak dapat dipahami oleh
rasio.
Pengetahuan mistik tidak diperoleh melalui indra ataupun melalui
akal. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Dalam pandangan
para sufi, cara memperoleh pengetahuan mistik disebut juga thariqat
yang terdiri dari maqam-maqam untuk menggapai Tuhan. Pada
umumnya cara untuk memperoleh pengetahuan mistik adalah
latihan yang disebut juga riyadhah.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _567
Daftar Pustaka
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo: Ramadhani,
1994.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam,
Edisi Indonesia: Sufi dari Zaman ke Zaman. Alih bahasa Ahmad Rafi’
Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Budianto, Moch. Agus Krisno, Hand Out Filsafat Ilmu. Malang: PPS Univ.
Muhammadiyah, 2004.
Hadi, P. Hardono, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Hornby, A.S.. A Leaner’s Dictionary of Current English. dalam Ahmad
Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1957.
http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritiknalar-arab/. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013
King, Richard, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme. Yogyakarta:
Qalam, 2001.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian
Rakyat, 1980.
Kuntowijoyo. Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan,
Harian Republika, 27 Agustus 2001. Musa, Asy’ari, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir). Yogyakarta:
LEFSI, 2001.
Mustofa, Achamd, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Muthahhari, Murtadha,
Basritama, 2001.
Mengenal
Epistemologi.
Jakarta:
Lentera
MZ, Labib, Memahami Ajaran Tasawuf. Surabaya: Bintang Pelajar, 2001.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1999.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1993.
568_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Prasetya, Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Saefudin, A. M., Filsafat Ilmu dan Metodologi Keilmuan. Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.
Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung:
Mizan, 1993.
Schimmel, Annemrie, Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Syah, Muhammad Aunul Abied, dkk., Mosaik Pemikiran Islam Timur
Engah. Bandung: Mizan, 2001.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Jakarta: Garifndo Persada, 1998.
______, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung:
Rosda Karya. 2001.
______, Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Titus, Harold H., Persoalan-persoalan Filsafat. (penerjemah M. Rasyidi).
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Umar, Barmawi, Sistimatik Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1994.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _569
Endnotes
1. Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam,
2001. h. 1
2. A. M. Saefudin, Filsafat Ilmu dan Metodologi Keilmuan. Jakarta: Bumi Aksara,
1999. h. 35.
3. Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan,
1993. h. 41.
4. Pius A.Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1993. h. 104.
5. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996. h. 105.
6. Musa Asy’ari, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir). Yogyakarta: LEFSI,
2001. h. 65.
7. Prasetya, Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. h. 143
8. Moch. Agus Krisno Budianto, Hand Out Filsafat Ilmu. Malang: PPS Univ.
Muhammadiyah, 2004. h. 1.
9. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung
: Rosda Karya. 2001. h. 23 .
10. P. Hardono Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius.
1994. h. 6-7.
11. Harold H. Titus, Persoalan-persoalan Filsafat. (penerjemah M. Rasyidi).
Jakarta: Bulan Bintang, 1984. h. 187-188.
12. Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera Basritama,
2001. h.52-53.
13. Mitos merupakan cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa
lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan
makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang
empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos
dapat mengacu kepada cerita tradisional. Lihat : http://id.wikipedia.org/
wiki/Mitos
14. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi merupakan kumpulan
ide atau gagasan atau aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses
berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Lihat : http://
id.wikipedia.org/wiki/Ideologi
15. Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
570_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Lihat : http://id.wikipedia.
org/wiki/Ilmu
16. Lihat : Kuntowijoyo. Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga
Tulisan, Harian Republika, 27 Agustus 2001. 17. Mistik dapat juga dibedakan dari mitos, karena mitos merupakan cerita
suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu mengandung
penafsiran tentang asal usul semesta alam manusia dan bangsa tersebut
mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
18. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer... h. 20-22.
19. Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996. h. 653.
20. A.S. Hornby, 1957. A Leaner’s Dictionary of Current English. dalam Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. h. 112
21. Annemrie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000. h. 1-2
22. A.S. Hornby. A Leaner’s Dictionary of Current English... h. 828
23. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Jakarta: Garifndo Persada, 1998. h. 30.
24. Tasawuf atau sufisme merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai
ilmu pengetahuan, dipelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim
dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
25. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1999. h. 53.
26. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian Rakyat,
1980. h. 269.
27. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam... h. 2
28. Ahmad Tafsir. 1998. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Jakarta : Garifndo Persada. h. 112
29.
30.
31.
32.
33.
34.
A.S. Hornby. A Leaner’s Dictionary of Current English.... h. 828
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. h. 118
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam... h. 56
Labib MZ., Memahami Ajaran Tasawuf. Surabaya: Bintang Pelajar, 2001. h. 11
Barmawi Umar, Sistimatiak Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1994. h. 13
Abu Bakar Aceh,1994. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo : Ramadhani.
h. 28
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _571
35. Achamd Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007. h. 206
36. Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi Al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam, Edisi
Indonesia : Sufi dari Zaman ke Zaman. Alih bahasa Ahmad Rafi’ Utsmani.
Bandung: Pustaka, 1985. h. 4 - 5
37. Thariqat merupakan Ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan sifat-
sifatnya, mana yang tercela kumudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana
yang terpuji kemudian diamalkan
38. Riyadhah merupakan latihan Penyempurnaan diri secara terus menerus
melalui zikir dan pendekatan diri yang datangnya dari Allah SWT ditujukan
kepada Hamba-Nya
39. Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang
wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
40. Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun
1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah
Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan
oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di
sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh
Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri
telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958
di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas
ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru
didirikan.
41. Lihat : http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritiknalar-arab/. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013
42. Muhammad Aunul Abied Syah, dkk., Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah.
Bandung: Mizan, 2001. h. 319-320.
Neo Sufisme and Sufi Resistance
Movement
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan
Kaum Sufi
Ikhwanul Mu’minin
Indonesia Youth Forum (IYF)
email : [email protected]
Abstract : In the classical period, Sufism teachings was focussed on evoiding the world and
everything in it. The world, according to the teachings of Sufism, was no longer
important, because the purpose of man is God, only God. So, this teaching make
the followers hate the world. Therefore, the teachings were considered incompatible
with the al-Quran and Hadith. The Sufism approach in this period inevitably led to
a reaction from groups that want to implement the teachings of Islam according alQuran and Hadith. Thus, rise Neo-Sufism, the Sufism which renew themselves, to take
the teachings of Al-Quran and Hadith, by staying positive to the world.
Abstraksi : Dalam periode klasik, ajaran tasawuf banyak menitikberatkan pada sikap menjauhi
dunia beserta segala isinya. Dunia menurut ajaran sufisme periode ini tidak lagi
penting, karena tujuan sejati manusia adalah Tuhan. Sehingga, ajaran semacam ini
membuat para pengikut tasawuf membenci dunia. Karena itu, ajaran mereka kerap
dianggap tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis. Pendekatan tasawuf pada periode
ini tak pelak memunculkan reaksi dari kelompok yang ingin melaksanakan ajaran
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _573
islam sesuai al-Quran dan Hadis. Maka, lahirlah apa yang disebut Neo-Sufisme,
yaitu sufisme yang memperbaharui diri, dengan mengambil ajaran dari al-Quran dan
Hadis, dengan tetap berpandanga positif terhadap duniawi.
Keywords: Sufism, Neo-Sufisme, Teaching
A.Pendahuluan
Pada periode klasik, orientasi tasawuf banyak menitikberatkan pada
sikap menjauhi dunia beserta segala artibutnya (zuhd), dan menjadikan
Tuhan sebagai satu-satunya tujuan. Oleh karena itu, dalam upaya
menjauhi dunia seorang sâlik (pelaku tawasuf) rela berpenampilan
amat sederhana, dengan memakai pakaian yang sering dipakai gembel,
pengemis, atau gelandangan. Dan diantara mereka rela mengasingkan
dari kehidupan banyak orang.
Sikap ini di satu sisi merupakan respon terhadap penguasa Islam
waktu itu yang hidupnya bermewah-mewahan dan sangat jauh dari
ajaran Islam. Selain itu juga dianggap sebagai ajaran Rasulullah Saw,
yang sangat menekankan kesederhanaan. Rasulullah senantiasa bergaul
dengan para sahabat, semisal Abu Hurairah dan sahabat-sahabat yang
bermukim di emperan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan
Ahl Shuffah.1 Pola hidup sederhana yang dilakukan Rasulullah yang lain
semisal menambal sendiri pakaiannya yang robek serta mengganjal
perutnya dengan batu untuk menahan lapar.
Oleh karena itu, terminologi
tasawuf –dengan melihat para
periode awal ini—senantiasa didefinisikan sebagai sikap zuhd atau
menjauhi dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat
Nabi. Terminologi tasawuf juga dinilai seakar dengan kata suf2
yang artinya baju wol, sebuah baju ‘kebanggaan’ para sufi, yang
menandakan kesederhanaan, sekaligus simbol menjauhi duniawi.
Suf atau baju wol merupakan pakaian mereka yang berasal dari
strata paling rendah, seperti gelandangan, pengemis, tunawisma.
574_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Diantara tokoh Sufi penganjur menjauhi dunia beserta atributnya
adalah Rabiah al-‘Adawiah (w. 185 H). Sufi wanita asal Bashrah ini dalam
sejarahnya memilih mengasingkan diri dari gemerlap duniawi karena
rasa cintanya yang besar kepada Tuhan. Bagi Rabi’ah, Tuhan merupakan
tujuan utama, sehingga selain Tuhan tidak ada apa-apanya (nothing),
tidak penting. Beberapa kali para hartawan yang bersimpati padanya
mencoba menawarinya harta, sekedar untuk membantunya melawan
kesulitan hidup, namun semua tawaran itu ditolaknya.
Selain Rabi’ah al’Adawiyah, dalam khasanah tasawuf ada tokoh seperti
Abu Yazid al-Bustami. Ia memiliki konsep al-Ittihâd, yaitu persatuan
dengan Tuhan melalui fanâ’, yakni meleburnya sifat kemanusiaan
manusia (nasut) ke dalam sifat ilahiyah sehingga terjadi penyatuan
dengan Tuhan. Dalam konsep ini, manusia memiliki kemampuan
transformasi transendental (mi'râj) ke alam Tuhan. Selain konsep di
atas, lahir pula apa yang disebut wahdah al-wujûd. Yaitu bahwa alam dan
isinya dipandang sebagai penampakan dari asma dan sifat Tuhan, yang
sebenarnaya adalah zat-Nya.
Konsepsi yang ditawarkan para tokoh Sufi seperti di atas mengundang
reaksi kelompok lain yang menginginkan aktualiasasi nilai-nilai Islam
yang ‘sebenarnya’. Ajaran kaum Sufi yang banyak dipengaruhi oleh
filsafat, yang penuh mistik dan eskapik, pada gilirannya dianggap
menyimpang dari koridor ajaran agama Islam yang sesungguhnya.
Penganut tasawuf tidak lagi memandang dunia dengan pandangan
positif, karena dunia dianggap tidak penting lagi. Maka, dalam
perkembangannya, muncullah dua kubu yang bersebarangan; kubu sufi
di satu sisi dan ortodoks di sisi lain.
Neo-Sufisme muncul untuk menjembatani dua kubu. Karena di satu
sisi dunia sufisme klasik tidak mungkin dibendung, dan di sisi lain
semangat ortodoks yang menggebu menjalankan ajaran Islam yang
‘sebenarnya’ pun tak kalah kuatnya. Neo-Sufisme adalah sufisme yang
mencoba mengembalikan ajaran tasawuf kembali ke ajaran agama,
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _575
dengan mengacu pada dua asas fundamental; al-Qur’an dan Hadis,
sembari berpandangan positif terhadap dunia. Adapun gerakan-gerakan
yang cenderung menggunakan pendekatan Neo-Sufisme adalah gerakan
yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Sirhindi, Syaikh Waliyullah (India),
Syaikh Yusuf al-Maqassari, ‘Abdurra’uf as-Sinkili (Indonesia), gerakan
Idrisiyyah, Tijaniyyah, Sanusiyyah (Afrika) dan lain-lain.
Tentu saja dari sekian gerakan Neo-Sufisme terdapat perbedaanperbedaan dari masing-masing. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba
memfokuskan pada Tarekat Sanusiyah yang berada di Afrika Utara.
Penulis merasa tertantang menuliskannya, sebab diantara sekian banyak
tarekat, hanya Tarekat Sanusiyyah yang terdepan dalam mengobarkan
perlawanan terhadap penjajah. Terbukti lewat perlawanan mereka
(pengikut tarekat Sanusiyyah), Prancis, Italia, serta Inggris merasa
kewalahan, sampai tertangkapnya Omar Mochtar, pejuang tarekat ini.
Selain itu, ada sedikit catatan, bahwa perjuangan perlawanan di
Indonesia, khususnya pada Perang Paderi dan perang Diponegoro, ada
kemungkinan disenyawai oleh taerkat ini.
B.Pengertian dan Sejarah Munculnya Neo-Sufisme
Istilah Neo Sufisme sebenarnya masih tergolong baru.3 Adalah
Fazlur Rahman, pemikir Islam kontemporer yang mula-mula
memperkenalkannya. Menurut Rahman, Neo-Sufisme adalah sufisme
yang diperbaruhi pada garis-garis ortodoks dan ditafsirkan dalam
artian aktivis.4 Sementara Azyumardi Azra mendefinisikan NeoSufisme sebagai perubahan dari sufisme abad pertengahan yang berbau
panteisme dan menolak dunia, menjadi sufisme dengan organisme
dan struktur yang penuh aktivisme, yang memiliki sikap positif
terhadap dunia, baik dalam kerangka politik, moral, mapun sipirtual.5
Lahirnya Neo-Sufisme tidak bisa lepas dari dua faktor yang melatar
belakanginya. Pertama, faktor internal perkembangan sufisme itu sendiri.
576_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Maksudnya, dinamika yang terjadi di dunia sufisme sejak permulaannya,
biasanya diidentikkan dengan para zâhid, yang hidupnya di sekeliling
masjid sampai masuknya pengaruh asing,6 sehingga tasawuf dicurigai
menyimpang dari ajaran semula—ajaran Nabi dan Sahabat—yang pada
fase berikutnya timbul reaksi keras dengan hadirnya munculnya gerakan
kembali kepada syariat.
Kedua, faktor eksternal. Ini meliputi keadaan global yang terjadi
pada dunia Islam, termasuk di dalamnya lemahnya pengaruh politik
penguasa-penguasa Islam dan banyaknya wilayah-wilayah Islam yang
jatuh ke kolonial Barat.
Sebagaimana kita ketahui, pada masa kecemerlangan tasawuf,
perhatian utama kaum sufi tertuju pada aspek asketik-metafisik. Pada
masa itu, tampillah tokoh-tokoh besar yang pandangannya sangat
mempengaruhi dunia sufisme, seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, Junaid alBaghdadi, dan Abu Yazid al-Bustami.
Agama dalam pandangan mereka dimaknai sebagai urusan mistik
keruhanian, sebagaimana yang terlihat pada kasus Rabiah al’Adawiyah.
Sufi wanita asal Basrah ini akhirnya menjadi penganjur ajaran mistik
dalam Islam, yakni terbukanya tabir penyekat alam gaib, sehingga sang
sufi mampu menatap dan berhubungan dengan dunia gaib dan Zat
Tuhan.7 Seperti terlihat dalam syarinya:
‫احبك حبني حب اهلوى * وحبا النك اهل لداك‬
‫فاما الدي هو حب اهلوى * فشغلى بدكرك عمن سواكا‬
‫واما الدي انت اهل له * فكشفك ىل احلجب حىت اراكا‬
‫فال احلمد ىف دا او داك ىل * ولكن لك احلمد ىف دا وداك‬
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _577
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugerah-Mu
Adapun cinta dari kerinduanku
Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu
Adapun cinta yang darianeugerah-Mu adalah anugerah-Membukakan tabir
sehingga aku melihat wajah-Mu
Tidak ada puji untuk ini dan itu bagiku
Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan itu.
Cinta yang teramat dalam kepada Tuhan (al-Hubba ila Allâh)
mendorongnya melakukan pengasingan diri dari urusan duniawi
(uzlah).8 Banyak kerabat serta penguasa yang bersimpati padanya
menawarinya dengan memberi harta, dan membantunya dalam urusan
dunia, namun tawaran itu ia tolak. Al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf alMahjub menceritakan:
Suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata keapda
Rabi’ah, “Mintalah kepada segala kebutuhanmu” Rabi’ah menjawab, “Aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka, bagaimana aku
bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya.”
Tuhan menjadi tujuan utama dalam ajaran Rabi’ah al-Adawiyah.
Selain Tuhan tidak berguna dan tidak ada apa-apanya (nothing). Dunia
beserta segala isinya—selain Tuhan—hanyalah penghalang (hijâb) yang
mengotori hati manusia. Oleh karena ini, manusia yang berharap
bertatap muka dengan Tuhan disyaratkan melakukan laku fakir (maqâm
faqr), yaitu tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong tak butuh
apa-apa selain Allah.
Pada tahap lebih lanjut, tujuan sufi seperti yang ditafsirkan oleh Abu
Yazid al-Bustami yaitu apa yang disebut penyatuan (al-Ittihâd) melalui
fanâ’, yaitu meleburnya sifat kemanusiaan (nasut) ke dalam sifat ilahiyah
578_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sehingga terjadi penyatuan dengan Tuhan.Ajaran ini sekaligus menegaskan
bahwa manusia mampu melakukan transendensi (mi’râj) ke alamTuhan.9
Meskipun konsep al-ittihâd menuai penolakan, karena dianggap
tidak murni sebagai ajaran Islam, pada perkembangannya konsep ini
justru semakin diperbaharui, khususnya setelah abad ke 4 H., dimana
pengaruh filsafat begitu besar. Perhatiaan sufisme mengarah pada
konsep pencerahan hubungan alam dengan ke-esa-an Tuhan. Alam
dianggap sebagai penampakan dari asma dan sifatTuhan.Tuhan yang
mutlak menampakkan dalam keterbatasan yang empiris yang kemudian
disebut sebagai wahdah al-wujûd.10
Perkermbangan tasawuf yang mistik-eskapis di atas, pada gilirannya
mendorong kelompok lain yang beusaha mengaktualisasikan nilai-nilai
Islam ‘sebenarnya’, mencari formula-formula baru untuk menjembatani
ketegangan yang terjadi. Kelompok yang dikenal dengan sufisme
ortodoks ini bertujuan menghidupkan warisan kesalehan sufi terdahulu,
yakni para sahabat dan generasi sesudahnya (ihya atsar as-salaf). Tokoh
yang cukup menonjol dalam kelompok ini yaitu Harits al-Muhasibi.11
Kemudian dilanjutkan oleh al-Kharraj dan al-Junaidi dengan tawarantawaran yang kompromistis antara sufisme dan kelompok ortodoks
(kaum salafiyah).
Salah satu hasil dari kelompok ini yaitu diperkenalkannya konsep
baqâ’ untuk mengimbangi konsep fanâ’. Konsep ini diperkenalkan oleh
al-Kharraj untuk memperbaiki dan memperluas doktrin fanâ’. Sementara
dalam fanâ’ memusnahkan (kekurangan-kekurangan manusiawi) maka
dalam baqâ’ manusia akan terus hidup bersama Tuhan.12
Sambutan baik mengalir dari banyak tokoh terhadap upaya
‘mengompromikan’ antara sufisme dan ortodoks ini. Banyak penulispenulis dengan tipologi ini lahir yang karyanyanya dapat kita telaah,
seperti Sarraj dengan al-Luma’, al-Kalabazi dengan al-Ta`âruf li Madzhab
Ahli at-Tasawuf, dan al-Qusyairi dengan al-Risâlah al-Qusyairiyyah.
Gerakan ini mencapai puncaknya pada abad ke-5 Hijiryah dengan
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _579
tokohnya yang sangat monumental al-Ghazali (w.503 H). Al-Qusyayri
(w. 1071 M), salah seorang reformis sufisme menganjurkan agar
kaum muslimin meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan
menganjurkan memperguankan waktu sebaik-baiknya. Selain itu, kaum
muslimin harus mengoptimalkan fungsi kekhalifahannya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah. Menurutnya, sufi
yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan diri dari masyarakat,
tetapi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakuan
amar ma`ruf nahî munkar demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Sufisme-ortodoks mencapai puncaknya pada abad ke-5 H. melalui
tokoh monumentalnya al-Ghazali. Al-Ghazali merumuskan suatu
konsepsi yang diharapkan mampu menampung aspirasi kedua belah
pihak –kaum sufi dan ortodoks. Jika pada kesalehan asketis (zuhd)
awal, fokus utama terletak pada aspek esoterik, sebagai reaksi terhadap
pemahaman ekternal hukum, maka al-Ghazali merumuskan konsep
al-Ma’rifah. Istilah ini mengacu pada pengetahuan yang diperoleh
melalui penjelajahan batin atau eksperimen batin, yang secara tegas
dipertentangkan dengan pengetahuan intelektual seperti teologi
dialektis. Konsep ini bukan menentang teologi, tetapi ia menentang
perumusan teologi yang dilakukan secara rasional-dialektik.
Kemudian, konsep ma’rifat yang sufisme ini dikawinkan dengan
kebenaran syariah (lahiriah) kemudian lahir hakikat. Menuurt alGhazali, kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui
pemikiran filosofis. Kebenaran yang imani hanya bisa diperoleh melalui
kehidupan batiniah. Selain itu, menurutnya, sufisme tidak memiliki
muatan (objek kognitif) selain Islam dan iman tauhid. Selanjutnya ia
menegaskan, bahwa sufisme bukanlah suatu cara memperoleh faktafakta ektsra mengenai realita, melainkan cara untuk memandanganya
sebagai suatu kesatuan.13
Upaya menjembatani dua kubu yang berbeda ini mendapatkan tempat
terhormat. Salah satu komentarnya yang menjembatani perbedaan
580_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
antara dua kubu—lahiriah dan bainaiatya—yaitu dalam menanggapi
konsep fanâ’. Ia mengatakan, “Ucapan ekstatik (orang sedang fanâ’)
berasal dari orang ‘ârif yang sedang dalam kondisi sakr (terkesima).”
Menurutnya, setelah sadar mereka menegaskan bahwa kesatuan dengan
Tuhan bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan majazi atau kesatuan
simbolik.14
Pendekatan al-Gahzali ini memberi ruang terbuka terhadap kedua
kubu (sufisme dan ortodoks) untuk menjalankan kepercayaan mereka
tanpa merasa saling curiga. Bagi kaum ortodoks, konsep al-Ghazali
memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip bahwa Allah dan
alam cipataan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama
lain tidak mungkin saling bersatu. Di pihak lain memberi kelonggaran
kepada sufi untuk memasuki pengalaman kesufian puncak tanpa
kahawatir dituduh kafir atau zindiq.
Namun, sepeninggal al-Ghazali, relasi antara ortodoks dengan sufisme
kian kompleks. Dan hubungan itu kembali menegang ketika sayap
kanan kaum ortodoks senantiasa curiga terhadap masuknya sufisme
sebagai way of life ke dalam Islam. Sayap kanan ini adalah pengikut
Hanbali dan ahli Hadis. Kaum Hanbali selalu mencurigai spekulasi yang
tidak terkontrol, akibat pengaruh dari filsafat rasional. Karena itu kaum
Hanbali menjadi musuh para sufisme spekulatif, karena menurut kaum
Hanbali dan sufisme ekstatik adalah terkutuk.
Tetapi setelah gerakan Sufi menguasai dunia selama abad ke-6 H/12
M. dan abad ke-7 H/13 M., secara emosional, spiritual dan intelektual,
kaum tradisionalis menyadari bahwa tidak mungkin mengabaikan
kekuatan-kekuatan Sufi seluruhnya. Dalam bidang metodologi, mereka
mencoba menggabungkan sebanyak mungkin warisan sufi yang
dapat didamaikan dengan Islam ortodoks dan dapat diproses untuk
menghasilkan sumbangan yang positif terhadapnya.15
Pertama-tama motif moral sufisme ditekankan dan sebagian dari
teknik zikir atau muraqabahnya atau konstrenasi’ spiritualnya diterima.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _581
tetapi objek dan kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin
ortodoks dan tujuanya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman
kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa. Jenis inilah yang
dikenal dengan sebutan Neo-Sufisme, yaitu gerakan yang memandang
dunia dengan sikap positif. Tokoh gerakan ini yaitu Ibn Taimiyah dan
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah.
Gerakan ini memberi warna baru pada tubuh sufisme, yang semula
menitikberatkan segi esoterik an sich menajdi sufisme yang orientasinya
ajaran Nabi. Gerakan ini kian nyata dengan diproklamirkan Tariqa
Muhammadiyah (Muhammadan Way) yang ide dasarnya bertolak
belakang dengan sufisme falsafi-theosofi—yang mengajarkan persatuan
dengan Tuhan—yakni mengajarkan suatu persatuan dengan ruh Nabi
Muhammad sebagai tujuan satu-satunuya Sufi yang sah.
Secara garis besar perkembangan tasawuf dapat kita kelompokkan
dalam lima periode:
1. Periode pertama (abad 1-2 H./7-8 M.)
Periode ini bisa kita sebut sebagai lahirnya kelompok zuhud.
Pada periode ini banyak kelompok yang berlaku faqir yang biasa
tinggal di emperan masjid. Sikap mereka yang mengenaskan ini
sebagai perlawanan terhadap kehidupan bermewah-mewahan yang
dipraktikkan oleh penguasa dan pembesar pemerintahan. Tokohnya
adalah Sufyan ast-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan Rabi’ah al ‘Adawiyah.
2. Periode kedua (abad 3-4 H./9-10 M.)
Periode ini adalah periode pembentukan disiplin tasawuf. Pada
periode ini para ulama Sufi mulai menyusun pengetahuan psikomoral keagamaan mereka. Sebagaimana fiqih, mereka mempunyai
objek, terminologi, dan metodologinya yang berbeda dengan
disiplin fiqih atau kalam; kesalehan asketik mereka kembangkan
untuk mengimbangi formaslisme fiqih dan doktrin makrifat sebagai
pengimbang pengetahuan rasional ilmu kalam. Tokoh dalam periode
ini adalah al-Qusyayri, al-Sarraj, al-Hallaj, Bayazid al-Bustami
582_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3. Periode pelembagaan organisasi tarekat.
Periode ini adalah periode pelembagaan organisasi tarekat. Pada
periode ini para murid tarekat melakukan perkumpulan yang
mulanya longgar, kemudian lama kelamaan berkembang membentuk
“persaudaraan” yang terorganisir. Kemudian Guru (Syaikh,
Mursyid, Pir) menjadi pusat masyarakat sufi, tempat mereka hidup
bersama atau bergabung setiap ada kegiatan ilmiah atau spiritual.
Di sana mereka menjelma keluarga besar yang seluruh anggotanya
menganggap diri masing-masing saudara (ikhwân) bagi lainnya, dan
merasa berkewajiban saling berbagi atas semua karunia yang diterima.
Contoh tarekat-tarekat pada masa ini adalah tarekat Qadiriyah yang
dinisbatkan kepada ‘Abdul Qadir Jailani (470-561 H./1077-1166
M.) di Irak. Tarekat Rifa’iyah yang dinisbatkan kepada Ahmad arRifa’i (w.578 H./1182 M.) di Basrah. Tarekat Kubrawiyah didirikan
Najmuddin al-Kubra (540-618 H.) di Persia. Tarekat Suhrawardiyah
didikan oleh Abu Najib as-Suhrawardi (490-563 H.) dan Syihabudin
Abu Hafsah ‘Umar as-Suhrawiyah (539-632 H.) di Baghdad. Tarekat
Chistiyah didiriikan oleh Muinuddin Chisti (633 H./1236 M.) di
India. Tarekat Maulawiyah dibangun oleh Jalaluddin Rumi (604-672
H./1207-1273 M.) di Turki.16
4. Periode keempat (abad 8-11 H./14-17 M.)
Pada periode ini tasawuf klasik mengalami kemunduran. Diantara
faktornya adalah para sufi hanya mampu menghasilkan karya-karya
berbentuk ikhtisar (mukhtashar) atau komentar (hasyiah) atas karyakarya pendahulu mereka, sementara para pengikutnya berangsurangsur mengalami formalisasi, berlebih-lebihan dan kejumudan.
Mereka lebih mementingkan penghormatan terhadap guru ketimbang
menekuni substansi ajaran syariah, sehingga muncul gerakan
pengultusan dan pengeramatan terhadap makam para wali. Hal inilah
yang di kemudian hari mendorong lahirnya gerakan puritanistik
yang mengajak kelompok ortodoks untuk ‘mengislamkan kembali’
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _583
pengikut-pengikut baru Islam yang dihasilkan oleh tasawuf/tarekat
seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi. Selain itu dunia Islam
mengalami kemunduran akibat ekspansi Barat dengan Kristennya.
5. Periode kelima (abad 12-...H/18-...M)
Periode ini melahirkan sufisme jenis baru yang disebut Rahman
sebagai Neo-Sufisme. Pada periode ini ketegangan antara kelompok
ortodoks dengan kaum sufi menjadi cair, karena adanya musuh yang
sama, yaitu Kristen Eropa. Hasil dari perkawinan itulah lahirlah NeoSufisme, yaitu sufisme yang sudah direnovasi dan diterjemahkan
dalam artian aktivis dan puritanistik.
Ciri Neo-Sufisme adalah kesejajarannya dengan doktrin salafi dan
sikapnya yang positif terhadap dunia dan masyarakat. Tokoh-tokohny
adalah Ibn Taimiyyah, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan Ahmad bin Idris.
C.Tarekat Sanusiyyah dan Sejarah Perlawanan Kaum Sufi
Dalam mengkaji Neo-Sufisme, nama Tarekat Sanusiah tidak dapat
abaikan begitu saja. Hal itu mengingat Tarekat Sanusiah memiliki
catatan tersendiri sebagai tarekat yang mereorientasi dari tasawuf yang
konsentrasinya akhirat semata kepada tasawuf yang menyeimbangakan
antara dunia dan akhirat. Juga, dan ini penting, tarekat ini tercatat dalam
sejarah sebagai penggerak perlawanan terhadap Kolonial Barat yang
menjajah wilayah Afrika Utara waktu itu.
Didirikan oleh Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali as-Sanusi (1787-1859
M./1202-1276 H.), yang bergelar Sanusi yang Agung (as-Sanusi al-kabir),
tarekat ini memiliki kedekatan pemikiran dengan gerakan Idrisiyah yang
diprakarsai Ahmad bin Idris. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa
Ahmad bin Idris merupakan guru spiritual dari as-Sanusi, tokoh yang
menyeru pembaharuan di Afrika. Pembaharuan Ahmad bin Idris terlihat
dari penolakannya terhadap qiyâs (analog), sebagaimana yang dilakukan
kaum Wahabi, meskipun keduanya dalam banyak hal berbeda—Wahabi
584_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tidak pernah suka terhadap tasawuf, sementara Ahmad bin Idris justru
sebaliknya. Selain itu, Ahmad bin Idris menolak ide persatuan dengan
Tuhan, dan menawarkan persatuan dengan ruh Muhammad.
Sama seperti ajaran gerakan Idrisiyyah, ajaran tarekat Sanusiyyah
mengedepankan kembali ke al-Qur’an dan hadis dengan memendang
positif duniawi. Untuk mencapai tingkat kematangan spiritual, Tarekat
Sanusiah tidak menganjurkan sikap menjauhi duniawi; berkonsepsi
tentang persatuan dengan tuhan atau yang sejenisnya, sebagaimana
konsep ittihâd ataupun wihdah al-wujûd. Tarekat ini justru merespon
problematika kehidupan yang terjadi di sekelingnya, sembari tidak
kehilangan semangat tasawuf, sebagai jalan menuju Allah.
Dari kitab-kitab yang dikarang oleh as-Sanusi, terlihat bahwa tarekat
ini sangat konsisten mengajak kepada pembaharuan, yaitu dengan
mengajak kembali kepada al-Quran dan hadis serta menekankan arti
pentingnya ijtihâd. Karya-karya as-Sanusi diantaranya: al-Salsabil alMuin fi al-Tharâ’iq al-Arba’in, Bughyah al-Maqâshid fi Khulâshah al-marâsid
(al-Masâ’il al-Asyar al-Sanûsî), dan Iqads al-wasnan fi al-A’mal bi al-Hadîts
wa al-Qur’ân.
Dalam al-Salsabil al-Mu’în fi al-Tharâ’iq al-Arba’în, sebagaimana yang
dikutip oleh Ziadeh, di sana as-Sanusi mendeskripsikan pengalamannya
dalam dunia sufisme. Ia menekankan bahwa sufisme merupakan
salah satu jalan menuju keselamatan (Tuhan) selain syariah. Namun
ia tidak menyangkal adanya –ajaran Sufi yang salah akibat sempitnya
pengetahuan tentang sufisme itu sendiri. As-Sanusi juga menjelaskan
pengaruh sufisme terhadap dirinya, salah satunya dari al-Ghazali.
Seperti diketahui, al-Ghazali merupakan orang yang paling berhasil
dalam menintegrasikan kontradiksi antara sufisme dan syariah. Selain
al-Ghazali, as-Sanusi juga menyebut Ibn Taimiyyah sebagai orang yang
mempengaruhi jalan pikirannya.
Bahwa ajarannya yang tidak menutup pada dunia, membawa tarekat
ini pada perlawanan frontal terhadap kolonial Prancis dan Italia yang
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _585
mencengkram wilayah Afrika Utara. Perlawanan mereka yang sangat
dahsyat sehingga melahirkan tokoh legendaris, Omar Mochtar yang
terkenal dengan julukan “the lion of desert.” Perlawanan pengikut tarekat
ini menjadi catatan pahit kolonial, karena perlawanan tarekat ini susah
sekali dipadamkan.
Dalam
sejarah
perlawanan
bangsa
Indonesia,
nama
tarekat
Sanusiyyah memang tak banyak disebut. Hal ini karena secara resmi
tarekat ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1930, itu pun terpaksa
berganti nama menjadi tarekat Idrisiyyah untuk menghindari tekanan
Penjajah Belanda. Namun benih-benih tarekat ini diperkiran sudah ada
di Indonesia. Menurut catatan Martin Van Bruinessen, seorang ‘khalifah’
utusan Syekh Ahmad Syarif as-Sanusi telah tiba di Sulawesi Selatan dan
telah mengembangkan tarekat ini di sana.17 Maka di Sulawesi Selatan
sampai hari ini dapat dilihat jejak-jejak tarekat Sanusiyyah, dimana
terdapat sekelompok jamaah keagamaan yang memakai pakaian serba
putih sebagai ciri khas tarekat ini.
R.S O’Fahey yang mengutip Louis Rinn, seorang pengawas administrasi
(administrateur) jajahan Perancis di Afrika Utara, menyatakan bahwa
tiga orang haji yang baru pulang ke pulau Sumatera pada tahun 1803
yang kemudian diperkirakan turut dalam “Gerakan Kaum Putih” atau
“Kaum Paderi”,18 mereka adalah pengikut Muahmmad Ibn Ali Sanusi
yang lebih dikenal sebagai tokoh Tarekat Sanusiyyah yang bermarkas
di Afrika Utara. Tarekat ini ditakuti oleh kolonial Italia, Inggris, dan
Perancis di wilayah Afrika Utara yang saat itu sedang memperluas
wilayah koloninya di bagian utara benua tersebut. Ini disebabkan karena
sepak terjang seorang pejuang Sanusiyyah yang sangat ditakuti dan
disegani lawan.
Memang, para sejarawan belum sepenuhnya membenarkan tesis ini,
karena benih tarekat ini tidak begitu kentara, dibanding gerakan Wahabi
yang waktu itu mempengaruhi dunia Islam. Maka, ketika menganalisa
Perang Paderi (Imam Bonjol) yang terjadi di Sumatera Barat, beberapa
586_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
di antara mereka mengidentifikasi pasukan perang paderi sebagai
pengikut Wahabi ketimbang pengikut tarekat Sanusiyyah atau tarekat
lainnya, sebagaimana dituturkan Harry J. Benda pada sebuah seminar di
“Hebrew University” Yerussalem tahun 1963.
Kalangan lain seperti W.F.Wertheim juga mengatakan demikian,
“Wahabi-lah dibalik perang tersebut”.19 Hal senada juga diutarakan
sejarawan Taufik Abdullah. Namun pendapat para peneliti itu bisa
dimengerti, mengingat besarnya gerakan pembaharuan Wahabi yang
terjadi waktu itu (1803 - 1813) di dunia Internasional terutama dalam
pandangan politik Kolonial yang mendominasi Dunia Islam, sehingga
menafikan kelompok lain yang turut andil dalam pergerakan melawan
penjajah.
Namun catatan Rinn yang dikutip oleh R.S O’Fahey tidak bisa kita
abaikan begitu saja.20 Selain tiga haji yang pulang ke Sumatera Barat, ada
pula tiga haji yang pulang ke kerajaan Mataram dan Mangkunegaran
di Pulau Jawa. Mereka dicurigai sebagai pengikut Sanusiyah, yang
kemudian turut ambil bagian dalam perang Diponegoro. Jika yang
terakhir ini diidentifikasi secara lebih rinci dan detail, berarti mereka
itu para pejuang yang ada di wilayah Jawa Tengah pada awal abad 19,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Merujuk hal ini tak pelak lagi,
bahwa mereka adalah pengikut Kyai Maja dan Sentot Ali Basya. D.Seragam Putih-Putih Sebagai Ciri Khas
Jika diperhatikan, ada kesesuian antara tiga golongan ini; Kaum
Sanusiyyah di Afrika Utara, Kaum Paderi di Sumatera Barat dan
Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah,21 yaitu pada pakaian serba putih
yang mereka kenakan. Taufik Abdullah juga menyatakan bahwa pakaian
serba putih, selendang hijau, dan berjenggot adalah ciri-ciri kaum Paderi
di Sumatera. Perang Diponegoro tidak jauh berbeda. Pakaian yang
mereka kenakan adalah pakaian putih, sebagaimana yang dipakai oleh
pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basya dan Kyai Maja.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _587
Kekhasan berpakaian serba putih dan berjenggot makin memperkuat
bahwa ketiga kelompok ini memilki hubungan yang sama, setidaknya
sebagai pengikut tasawuf tertentu. Sebab jarang kita temui pada gerakan
perlawanan terhadap penjajah Belanda di tanah air yang berseragam
serba putih-putih sebagaimana kita temukan pada pasukan Imam Bonjol
(Kaum Paderi) dan Diponegoro.
Bisa kita bandingkan dengan perlawanan Rakyat Ambon yang
dipimpin Pattimura, juga perlawanan Aceh di tanah Rencong yang
dipimpin oleh Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro dan Cut
Nyak Dien, banyak diantara yang memakai pakaian adat. Demikian
juga perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII,
dan daerah lainnya, hampir semua mereka berpakaian adat. Walaupun
perlawanan rakyat Aceh disokong oleh semangat kaum Tarekat
Naqsyabandiyah dan Syattariyah dan tarekat lainnya yang dominan
dianut masyarakat di Aceh, tetapi mereka tak terlalu dikenal memakai
pakaian serba putih, walaupun dalam penelitian penulis, bahwa pakaian
serba putih dalam Perang Aceh sangat biasa dan sering dipakai mujahidmujahid Aceh. Tidak kita temukan pasukan mujahid yang berkostum
serba putih secara komunal di wilayah lainnya di Indonesia, atau di
wilayah Asia dan Afrika kecuali digerakkan semangat sufisme, dan
di sini tarekat Sanusiyyah-lah yang paling terdepan, karana tarekat ini
dikenal sangat solid melawan kolonial penjajah.
Dalam kasus Perang Paderi, Taufik Abdullah sendiri secara tak
langsung menyangkal ke-Wahabi-an kaum Paderi. Ia mengatakan,
”Banyak tindakan radikal Wahabi seperti yang terdapat di tanah Arab
yang tidak diikuti oleh golongan Paderi sebagaimana ia kutip dari
Ronkel. Bahkan pada tahun 1830 M. itu para haji yang pulang ke tanah
air (Sumatera dan Jawa) mengatakan bahwa paham Wahabi sudah tidak
diterima lagi oleh kebanyakan umat Islam di Mekah dan tanah Arab.
Ini mungkin disebabkan karena kemenangan Kaum Wahabi di tanah
Arab lewat Ghalib (panglima perangnya) hanya bertahan selama 30
tahun. Setelah itu pasukan suku Arab Badui dari pedalaman (Padang
588_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pasir Nejed) yakni keluarga Sa’ud menggulingkan kekuasaan Wahabi.
Mengenai kemenangan keluarga Sa’ud dan kekalahan kaum Wahabi ini,
Taufik Abdullah menulis:
“Diperlukan waktu 100 tahun bagi Wahabi untuk merebut kembali kekuasaan
mereka yang terlepas di kota Mekah dan seluruh jazirah Arabia saat itu.”22
Namun, dalam politik keluarga Sa’ud, gerakan kaum Wahabi
tidak dicampakkan begitu saja, akan tetapi diberi fasilitas dengan
menjadikannya ideologi keagamaan penguasa Bani Sa’ud. Maka,
keluarga Sa’ud mengikutsertakan kaum Wahabi sebagai menteri
penerangan dalam pemerintahannya, sehingga kekuasaan kaum Wahabi
terbatas pada urusan-urusan agama saja. E. Perbedaan Ideologi Gerakan Sanusiyyah dan Wahabi
Secara diametral, antara tarekat Sanusiyyah dan Wahabi terdapat
perbedaan fundamental, baik filsafat, keagamaan, maupun politik.
Dalam kasus Perang Paderi maupun Perang Diponegoro, corak
perlawanan mereka amat jauh dari cara kerja Wahabi. Kaum Tarekat
Sanusiyyah tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Sementara kaum Wahabi sebaliknya, mereka menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan mereka, terutama tatkala mengadakan
penyerangan ke kota Mekah dan penyebaran ajaran-ajaran Wahabi
sepanjang 1803- 1813 M. Dalam penyerangan itu semua lawan politik
mereka yang mereka anggap menentang dan menghalangi langkah dan
gerakan Wahabi, mereka dianggap kafir dan berhak dibunuh. Tindakan
ini mendapat kecaman sangat keras dari Ahmad Ibn Idris, guru pendiri
Tarekat Sanusiyyah yang pada saat itu berada di Mekah.
Di Indonesia, sikap keras kaum Wahabi dipraktikkan pula oleh
kaum Tua (Kaum Tuo) di Sumatera Barat yang menyebarkan Islam
sebelum kaum Paderi menjalankan dakwah mereka di Sumatera
Barat.23 Kaum Tua (pengikut Wahabi) ini membunuhi mereka yang tidak
menerima kebenaran Islam termasuk orang-orang tua yang masih suka
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _589
mengadu ayam, merokok, berjudi di Minangkabau waktu itu. Sikap
Kaum Tua (kaum Wahabi yang keras dan rigid) ini mendapat protes
keras dari Kaum Paderi yang dipimpin Syarif Peto (Tuanku Imam Bonjol).
Dengan demikian praktik Kaum Wahabi (Kaum Tua) di Sumatera Barat
sama-sama keras dan tak memiliki tenggang rasa terhadap lawan politik
maupun masyarakat yang mau menerima ajakan mereka. Sedangkan
pengikut tarekat Sanusiyyah, kaum Paderi, serta pasukan Diponegoro
melakukan sikap keras hanya terhadap orang kafir yang memerangi
mereka, yaitu penjajah Belanda.
Dalam bermazhab, kaum tarekat Sanusiyyah lebih mementingkan
ketaatan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, daripada fanatik
terhadap satu mazhab. Sebab mazhab apapun yang muncul dalam
Islam, selalu lahir dari dua kitab yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Karena
itu, mestinya bukan fanatik mazhab yang lahir dari umat Islam, tetapi
fanatik terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulan bahwa pada periode awal
lahirnya tasawuf, konsentrasi sufi menitikberatkan pada aktivitas yang
bersifat mistis metafisik, yang kemudian melahirkan gesekan-gesekan
dari kaum ortodoks, yang menginginkan menjalankan agama Islam
sesuai ajaran Rasulullah Saw. dan para sahabat. Pada awalnya, aktivitas
tasawuf yang demikian itu adalah bentuk respon terhadap kondisi
masyarakat Islam kala itu yang jauh dari agama dan lebih mementingkan
duniawi. Namun pada perkembangannya, ajaran tasawuf kian tak
terkontrol akibat mendapat pengaruh dari filsafat atau kebudayaan lokal.
Perbedaan pendapat—terutama ketika tasawuf memasukkan unsur
filsafat di dalamnya yang menyebabkan lahirnya konsep seperti alittihâd, wihdah al-wujûd, dan lain sebagianya—semakin mempertajam
perbedaan diantara kedua kelompok. Namun, mengalahkan salah satu,
dan memenangkan satu lainnya bukanlah solusi yang terbaik. Apalagi,
590_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tasawuf bukan lagi sesuatu yang ‘diada-adakan’, karena tasawuf
memiliki legitimasi sendiri, yang dinisbatkan kepada praktik ahl assuffah, para sahabat Nabi yang menghuni emperan masjid.
Upaya mendamaikan dua kubu ini sudah dilakukan. Puncaknya pada
masa al-Ghazali. Tokoh besar yang dinilai mampu menjembatani kedua
kubu ini. Namun sepeninggalnya, tidak ada tokoh lagi yang mampu
merajut perdamaian antara ortodoks dan kaum sufi.
Gerakan Neo-Sufisme sebenarnya sebentuk gerakan yang mengajak
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis, dengan mengajak
berpandangan positif terhadap dunia. Jika pada masa klasik, bertasawuf
identik menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan segala isinya, maka
gerakan Neo-Sufisme menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan
akhirat. Dalam kasus tarekat Sanusiyyah, penganut tarekat ini bahkan
melakukan perlawanan terhadap penjajah Prancis, Italia, maupun Inggris.
Semangat perlawanan melawan penjajah adalah bentuk keperpihakan
tarekat ini pada masa depan kaum Muslimin yang tertindas. Bahkan
kiprah tarekat ini di negara dapat kita lacak dalam perjuangan kaum
paderi di Indonesia. Benih-benih tarekat ini, terlihat nyata dalam perang
melawan penjajah tersebut.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _591
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat
Jakarta: LP3ES, 1987
- Pantulan Sejarah Indonesia,
Aceh, Abu bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Solo:
Ramadhani, 1985
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Modern di Timur Tengah, Jakarta: penerbit
Djambatan, 1995
Alief, Nasrullah, “Gerakan Neo-Sufisme Sanusiyah di Afrika Utara”
Ulumul Quran, No.2 VII 1996
Al Jisri, Nadim, Wujud dan Ma’rifah, terj oleh Afrizal M., jakarta: Penerbit
Pedoman Ilmu jaya, 1992
Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufisme and Shari’ah: A Study of Syaykh
Ahmad Sirhindi’s Effoert to Reform Sufisme, London: Islamic
Foundation, 1986
As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas; Politik Pribumiasasi Islam, Depok:
Desantara, 2002
Dahlan, Daud, Sepintas Mengenal Tharekat al-Idrisiyyah, Pesantren
Fathiyyah,
Dahlan, Muhamamd, Halaqatu ar-Riyahin, Tasikmalaya, Pesantren
Fathiyyah.
Echols, John dan Syadily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1996
Van Bruinessen, Martin, The Origin s and Development of Sufi Order
(Tarekat) in Southeast Asia, Studia Islamika, Volume I, No 1 (AprilJune) 1994)
592_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Lihat Asmaran. As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. cet. Ke-2 h. 46.
2. Asmaran. As, Pengantar Studi Tasawuf, h. 47
3. Istilah ini memang belum banyak digunakan. Hanya Fazlur Rahman yang
secara jelas menggunakannya (diikuti) J.O Voll, BG. Martin, JS. Trimigham,
Azyumardi Azra. Untuk lebih detailnya lihat R.S. ‘O’ Fahey, Enigmatic Saint;
Ahmad Ibn Idris and the Idrisi Tradition, London: C. Hurst & Co, 1990, terutama bagian I.
4. Fazlur Rahman, ter. Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: 2003 Cet ke-5 h. 302
5. Azyumardi Azra, “Akar-akar Historis Pembaharuan Islam di Indonesia: Neo-Su-
fisme Abad ke11-12 H/17-18 M.,” dalam Din Syamsuddin (ed), Muhamadiyah
Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, h.6. lihat juga, Jaringan Ulama
Timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan,
1994.
6. Pengaruh asing ini misalnya pemujaan terhadap makam para wali; doktrin
bersatunya manusia dengan Tuhan (monisme) yang terlihat sekali pengaruh filsafatnya; tidak ketinggalan pengaruh budaya setempat, misalnya
ordo yang bernama Jibawiyah yang melakukan tari-tarian. Ada yang bahkan merobek-robek pakaian dan memakan pecahan kaca yang disinyalir
berasal dari Syammanistis yang dibawa oleh invasi Mongol. Lihat Fazlur
Rahman, Islam, h. 221.
7. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997, cet. Ke-2 h. 31
8. Lihat Rivay Siregar, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, dalam edisi
revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, Cet ke-2 h. 305
9. Doktrin ini menjelaskan pengalaman seorang Sufi yang mampu ‘bersatu’
dengan Tuhan. Dalam beberapa kasus seorang Sufi berbeda pengalamannya dalam ‘kebersatuan’ tersebut. Oleh karena itu, meskipun mempunyai
kemiripan, antara al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, ‘Abdul Karim al-Jilli, Jalaludin Rumi,
Hamzah Fansuri, mereka tidak sama dalam merasakan ‘kebersatuan’ itu.
Untuk lebih detail mengenai hal ini lihat Simuh, h. 5
10. Siregar, Tasawuf, h. 301
11. Fazlur Rahman, Islam, h. 208
12. Fazlur Rahman, Islam, h. 198.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _593
13. Al-Ghazali, al-Munqidz Min ad-Dhalal, (Kairo, 1316 H.)., h. 76 Sebagaimana
yang dikutip oleh Rivay Siregar dalam Tasawuf, h. 305
14. Fazlur Rahman, Islam, h. 285
15. Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995. h. 926
16. Martin Van Bruinessen, The Origin s and Development of Sufi Order (Tarekat)
in Southeast Asia, Studia Islamika, Volume I, No 1 (April-June) 1994, h. 19
17. R.S.O’Fahey “Enigmatic Saint – Ahmad Ibn Idris and The Idrisi Tradition” New
York 1987
18. W.F.Wertheim “Indonesia Society in Transition” tahun 1969.
19. R.S.O’Fahey “Enigmatic Saint – Ahmad Ibn Idris and The Idrisi Tradition”
20. Dalam perang Aceh juga ada laporan yang menyatakan bahwa para pejuang
perang Sabil di Aceh pun sering terlihat berpakaian putih-putih, bersorban,
bertopi putih dalam penyerangan terhadap posisi kolonial Belanda di tahun
1873 – 1910.
21. Taufik Abdullah, “Islam dan Masyarakat - Pantulan Sejarah Indonesia” Jakarta:
LP3ES, 1987.
22. Perlu diingat bahwa pertentangan kaum adat dan kaum agama di Suma-
tera Barat didahului oleh dakwah kaum tua (Pengikut kaum Wahabi) yang
mempraktekkan hukum yang sangat keras seperti membunuh kaum adat,
yang tidak menjalankan agama secara kaafah, menghukum keras orang
yang berjudi, menyabung ayam, merokok dan makan sirih. Tetapi di kemudian hari, datang kaum muda yang berpakaian putih-putih yang berdakwah secara lebih lembut dan tidak keras dan kaku sebagaimana kaum tua.
Kalangan sejarawan sering mencampurkan dakwah gerakan kaum Paderi
ini dengan dakwah kaum tua (Wahabi Minangkabau) yang sangat keras,
memvonis hukum bunuh kepada kaum adat yang tak menjalankan agama
secara kaffah dengan dakwah kaum Sanusiyyah Minangkabau.Padahal
yang menjalankan praktik semacam itu bukan kaum Paderi, tetapi kaum
Tua yang mendahului kedatangan kaum Paderi.
Aqidah of Human Perfection Principle
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan
Sabiruddin
Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang
email : [email protected]
Abstract : True faith is not just a theory or a confession alone without any care or charitable deeds.
Indeed it is the creed of faith, charity and sincerity. In addition, faith is often coupled
with righteous deeds. Righteous deeds in question is any action that can bring good in
the world and the hereafter. Is it for the good of the individual or the community as well
as the spiritual and material goodness. Therefore, the basic creed of human life or human
perfection. By using the reference method, this article examines more deeply related to
aqidah principle of human perfection. Of the final results of this article discovered that
human beings have sought to obtain perfection in the world since and will be up later
with a pattern keakhirat balance the two. This issue is the author ity to the revelation
of God exemplified by His Messenger so well discussed by Islamic thinkers such as
al-Ghazali and others. Therefore there is no other option for Muslims, in addition to
practice their religion properly before being called by the creator. Therefore, it should
be understood that the form of material wealth is not overlooked by Islam, but there are
limits because it is also a key element to achieve perfection. However, perfection can
not be measured in terms of material things simply because he may not necessarily
give perfection completely. Therefore, Islam as a religion or a perfect syumul advocate
sought for his people to such perfection.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _595
Abstraksi : Iman yang benar itu bukan hanya suatu teori atau pengakuan hati saja tanpa adanya
amal atau perbuatan. Sesungguhnya iman itu ialah akidah, amal dan keikhlasan. Di
samping itu, iman seringkali digandengkan dengan amal shaleh. Amal shaleh yang
dimaksud ialah setiap perbuatan yang dapat membawa kebaikan di dunia dan akhirat.
Apakah ia untuk kebaikan individu atau masyarakat serta kebaikan kerohanian dan
kebendaan. Oleh sebab itu, akidah dasar kesempurnaan hidup manusia atau insan.
Dengan menggunakan metode reference, artikel ini menelaah lebih dalam yang
berkaitan dengan aqidah asas kesempurnaan insan. Dari hasil akhir artikel ini
ditemukan bahwa manusia harus berikhtiar memperoleh kesempurnaan insan sejak
di dunia dan akan sampai ke akhirat kelak dengan pola menyeimbangkan keduanya.
Persoalan ini penulis dasarkan kepada wahyu Allah yang dicontohkan oleh RasulNya, seterusnya juga dibahas oleh para pemikir Islam seperti al-Ghazali dan lain-lain.
Oleh sebab itu tidak ada pilihan lain bagi umat Islam, selain mengamalkan ajaran
agamanya dengan sempurna sebelum dipanggil oleh Pencipta. Oleh sebab itu, perlu
dipahami bahwa kekayaan berupa kebendaan tidak diabaikan oleh Islam, tetapi ada
batas-batasnya, karena ia juga menjadi unsur penentu untuk mencapai kesempurnaan.
Walaupun begitu, kesempurnaan tidak dapat diukur dari segi kebendaan semata-mata
karena belum tentu ia boleh memberi kesempurnaan sepenuhnya. Oleh sebab itu, Islam
sebagai agama yang syumul atau sempurna menganjurkan umatnya supaya berikhtiar
mencari kesempurnaan tersebut.
Keywords: Aqidah, Principal, of Human Perfective
A.Pendahuluan
Meminjam pendapat Sayyid Quthub, tokoh pergerakan Islam asal
Mesir dalam A.Ilyas Ismail, mengemukakan bahwa Islam adalah pangkal
dari semua pembahasan berkaitan dengan persoalan dakwah.1 Islam
adalah Agama Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. merangkumi Akidah, Syari’ah, dan Akhlak, atau dengan istilah
yang digunakan dalam hadis dialog atau pertanyaan Jibril AS. kepada
596_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
nabi Muhammad SAW., yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Hal ini seperti yang
diterangkan dalam Sahih Muslim pada Kitâb al-Îmân. Rasulullah SAW.
telah menerima wahyu dari Allah SWT. yaitu al-Qur’an, di dalamnya
mengandung dasar-dasar pengajaran Islam yang merangkum tiga aspek
tersebut, yang menjamin kesempurnaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat.
Abu Hamid Ibn Muhammad al-Ghazali, mengemukakan bahwa,
Akidah merupakan dimensi teori (nadzarî) yang dituntut supaya
mempercayai dan beriman kepada Allah SWT.. Keimanan mendahului
dimensi-dimensi yang lain, iman yang dikehendaki di sini ialah suatu
pegangan yang tidak mudah diganggu oleh keraguan dan kesamaran.2
Bukti-bukti yang terang dan jelas dari al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan
bahwa sejak mulai munculnya dakwah islamiyah, Rasulullah SAW. sangat
menekankan persoalan akidah dan keimanan. Seterusnya Ali Abd. Halim
Mahmud, memberi penekanan, bahwa persoalan ini amat jelas sekali
dalam surat-surat Makkiyah.3 Manakala syari’ah merupakan dimensi
ibadah yang membicarakan peraturan-peraturan yang disyari’atkan
oleh Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia tentang cara-cara
berinteraksi dengan Allah SWT., manusia dan alam seluruhnya. Selain
itu, kata Abu Urwah,4 dimensi Akhlak juga telah diutarakan oleh Islam
untuk menimbulkan tingkat kesadaran yang mendalam atau suasana
penghayatan yang tinggi nilainya sewaktu mengamalkan akidah dan
syariat Islam.
Oleh sebab itu, dalam artikel sederhana ini, akan diuraikan tiga
dimensi tersebut, karena ia merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam menentukan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam
dan pelaksanaannya, apakah ia dari segi zahir ataupun batin. Dengan
memahami tiga dimensi itu, insya Allah dapat diharapkan semoga manusia
akan mendapat kebahagiaan dan kesempurnaan di dunia dan di akhirat.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _597
B.Pembahasan
A. Pengertian Akidah dan Syari’ah
Yusuf al-Qardawi wajar dirujuk untuk memudahkan pemahaman
umat Islam berkaitan akidah dan syari’ah menurut pandangan Islam,
dengan menggunakan contoh-contoh yang ia kemukakan dan terdapat
dalam dua bagian berikut :
Pertama, Allah SWT. yang Mutlak, yang Esa, tanpa lawan, tanpa
saingan, Allah SWT. bersifat dengan semua sifat kesempurnaan. “AlQur’an adalah suatu kebenaran” dan: Surga, Shirâth, Mîzân adalah
kebenaran”. Kedua,”mencuri haram”, “minum arak” adalah dari
perbuatan syaitan”, “Sholat lima waktu wajib”,”Shalat hari raya sunat”
dan “makan di waktu malam bulan Ramadhan mubah”. Dalam bagian
pertama, terdapat hukuman yang telah ditentukan kepada persoalanpersoalan tersebut ada kaitannya dengan urusan hati (qalb) atau dengan
ungkapan lain yaitu berkaitan dengan urusan akidah atau kepercayaan
dan pegangan seseorang yang terbit dari hati (qalb). Kewajiban manusia
mengakui dan membenarkan (tashdîq) dan ia berkisar disekitar teori
(nizâr) saja.
Kedua, terdapat hukum-hukum yang telah ditetapkan itu tidak ada
kaitannya dengan urusan hati orang-orang mukallaf (akidah mereka).
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam bagian ini berkaitan dengan
tingkah laku mereka, karena hukum mencuri haram, shalat lima waktu
wajib, ada kaitannya dengan perbuatan atau tindak tanduk mereka. Oleh
sebab itu, jelas bahwa ada perbedaan yang ketara diantara menetapkan
suatu hukuman tertentu di bidang akidah dan syari’ah, karena akidah
ada hubungan dengan urusan hati, manakala syari’ah berurusan dengan
tingkah laku dan tunduk jasmani. Sesuatu penetapan hukum dalam
akidah atau syari’ah dianggap hukum syara’, karena akal tidak ada
ruang baginya untuk membuat penentuan hukum. Oleh sebab itu, alQur’an menjadi rujukan untuk mengetahui tentang akidah dan syari’ah.5
598_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ringkasnya akidah Islamiyah merupakan dimensi teori (nazarî) yang
menjadi kewajiban terhadap setiap muslim beriman. Keimanan dan
kepercayaan itu hendaklah dengan tashdîq yang jâzim disertai dengan
perasaan ridha dan kepuasan (senang hati),6 sebagaimana digambarkan
dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 106 sebagai berikut.
B⎦È⌡yϑôÜãΒ …çμç6ù=s%uρ oνÌò2é& ô⎯tΒ ωÎ) ÿ⎯ÏμÏΖ≈yϑƒÎ) ω÷èt/ .⎯ÏΒ «!$$Î/ txŸ2 ⎯tΒ
«!$# š∅ÏiΒ Ò=ŸÒî
x óΟÎγøŠn=yèsù #Y‘ô‰|¹ Ìøä3ø9$$Î/ yyuŸ° ⎯¨Β ⎯Å3≈s9uρ Ç⎯≈yϑƒM}$$Î/
∩⊇⊃∉∪ ÒΟŠÏàã
t ëU#x‹tã óΟßγs9uρ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar.‘
Ä ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ)
¨
B⎦È⌡yϑManakala
ôÜãΒ …çμç6ù=s%uρ syari’ah
oνÌò2é& ô⎯kata
tΒ ωÎ)Muhammad
ÿ⎯ÏμÏΖ≈yϑƒÎ) ω÷èal-Ghazali,
t/ .⎯ÏΒ «!$$Î/ tmerupakan
xŸ2 ⎯tΒ
∩⊇⊃∇∪ ZωuθÏm $pκ÷]tã tβθäóö7tƒ Ÿω $pκÏù t⎦⎪Ï$Î#≈yz ∩⊇⊃∠∪ »ωâ“çΡ
peraturan-peraturan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. untuk
«!$# š∅panduan
ÏiΒ Ò=ŸÒî
x kepada
óΟÎγøŠn=yèmanusia
sù #Y‘ô‰|¹dalam
Ìøä3ø9$$menjalani
Î/ yyuŸ° ⎯¨Βkehidupan
⎯Å3≈s9uρ Ç⎯di
≈yϑdunia
ƒM}$$Î/
memberi
ini, seperti hubungan dengan Allah SWT. dan hubungan dengan sesama
manusia serta alam sekitarnya. Dalam bahasa∩⊇
⊃sŒ∉∪ ⎯ÏÒΟiΒŠÏà$[ã
tskata
#xŸ≅
‹tã
Zο4θu‹ym …çμ¨ΖtÍ‹ósãΖn=sù Ö⎯ÏΒ÷σãΒ uθèδuρ 4©\s Ρé& ÷ρr& @Ÿ2al-Qur’an,
Î=ëU
≈|¹Muhammad
ÏϑtãóΟßγô⎯s9tΒuρ
al-Ghazali selanjutnya, akidah dikenal dengan «iman» manakala syari’ah
dikenal «amal shaleh» atau “istiqamah»,7 seperti yang didapati dalam
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ ( Zπt6ÍhŠÛ
s
empat surat yaitu: surat al-Kahfi ayat 107,108 dan surat an-Nahl ayat 97,
surat al-Ashr ayat 1-3, dan surat al-Ahqaf ayat 13 di bawah;
Ĩ
÷ρyŠtãöuρÏø9(#$#θãΖàM
öΝ©!çλ$#m; ω
ô )Î tΡ%x∩⊄∪
M
. ÏMAô£
≈ysäzÎ=≈¢Á
ΖΒt Î)#u™∩⊇∪t⎦⎪Ï%
©!$# yèø9¨β$#uρÎ)
(#θè=Ïϑ
tΒ#u≈¨™Ζy_t⎦⎪Ï%
’Å∀9$#s9 #( ⎯
z θè=≈|ÏΗ¡xåΣMuρ}$#(#θã¨β
ÎóÇ
Zω9$uθ$Ïm
κ÷]tã#uθtβs?uρθäóÈd,ö7ys
tƒ Ÿω
⊃∠∪Î=≈¢Á
»ωâ“9$çΡ#
ÏM∩⊇
≈ys
∩⊂∪∩⊇⊃∇∪
Îö9¢Á
Î/ (#öθ$p|¹
ø9$$Î/$p(#κÏöθù|¹t⎦#u⎪Ïθ$s?Î#uρ≈yz
÷ρr&$# @§ΝŸ2
sŒ $#⎯Ï$oiΒΨš/z’
$[s(#Î=θä≈|¹
öZο4θèδu‹ymŸωuρ…çμ¨ΖóΟtÎγÍ‹ós
Ν
øŠn=tæãΖn=sùì∃Ö⎯öθÏΒyz÷σãΒŸξuθsùèδuρ(#θß4©ϑ\s ≈sΡé)&tFó™
èO ª!
9$s% Ÿ≅t⎦Ïϑ
⎪Ï%tã©!$# ô⎯¨βtΒÎ)
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ∩⊇
¨Ψtƒ⊂Ì“∪ôfšχ
uΖs9uρ ( θçZπΡt6t“ÍhŠøtsÛ
s†
∩⊇⊃∉∪ ÒΟŠÏàã
t ëU#x‹tã óΟßγs9uρ
«!$# š∅ÏiΒ Ò=ŸÒî
x óΟÎγøŠn=yèsù #Y‘ô‰|¹ Ìøä3ø9$$Î/ yyuŸ° ⎯¨Β ⎯Å3≈s9uρ Ç⎯≈yϑƒM}$$Î/
Ĩ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# ∩⊇
(#⊃θè∉∪=ÏΗxå
uρŠÏàKesempurnaan
(#ã
Βt #u™ #xt⎦‹⎪Ïtã
%Insan
©!óΟ
$# ßγ_599
¨βs9uρÎ)
Aqidah
Asas
ÒΟ
t θãΖëU
∩⊇⊃∇∪ Zωuθyang
Ïm $pκberiman
÷]tã tβθäóö7dan
tƒ Ÿωberamal
$pκÏù t⎦⎪Ïsaleh,
$Î#≈yzbagi
∩⊇⊃∠∪mereka
»ωâ“çΡ
“Sesungguhnya orang-orang
adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka
Ĩ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ)
tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. al-Kahfi : 107-108)
⊃∇∪ ZωuθÏm4©$p\s κΡé÷]&tã÷ρtβ
óö7tƒ sŒŸω ⎯Ï$pκiΒÏù$[t⎦s⎪Ï$Î=≈|Î#¹
≈yz ∩⊇⊃∠∪tã»ωô⎯â“tΒçΡ
ZοĨ
4θu‹÷ρymyŠöÏ…çμø9¨Ζ$# tÍ‹àM
ós≈¨ΖãΖy_
n=sù Ö⎯öΝÏΒ∩⊇
@θäŸ2
çλ÷σm; ãΒôMuθtΡèδ%x.uρ ÏM
≈ysÎ=≈¢r&Á
9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦Ÿ≅⎪ÏÏϑ
%©!$# ¨βÎ)
θçΡ$ŸZω
2
t6ÍhŠâ“Û
s çΡ
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ∩⊇(#⊃∇∪
uθÏm$tΒ$pκ÷]Ç⎯tã|¡tβômθär'óÎ/ö7Νè
tƒ δ
Ÿωtô_
$pκÏr&ùóΟt⎦ßγ⎪Ï$¨ΨtƒÎ#Ì“≈yôf
zuΖ∩⊇s9uρ⊃∠∪( Zπ»ω
“Barangsiapa
perempuan
Ö⎯ÏΒ÷σãΒ uθèδuρamal
4©\s Ρésaleh,
& ÷ρr& @baik
Ÿ2laki-laki
sŒ ⎯ÏiΒ $[maupun
sÎ=≈|¹ Ÿ≅
Ïϑtã ô⎯tΒ
Zο4θu‹ym …çμ¨ΖtÍ‹yang
ósãΖn=sùmengerjakan
dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan
yang
akan
mereka
֏%tĩ!$#(#Sesungguhnya
θçω
Ρ$ŸÎ)2
$tΒAô£Ç⎯äz
|¡
ôm’År'∀kami
Î/s9 Νèz⎯δ≈|beri
t¡ô_ΣM}
r&balasan
óΟ
Ì“kepada
ôf∪uΖs9ÎuρóÇ
( Zπyè6t ø9ÍhŠ$#sÛuρ
(#Zοθè4θ=u‹Ïϑymtãuρ…çμ∩®∠∪
(#¨ΖθãtΖÍ‹tΒóstβ
#ubaik,
™ãΖθèn=sù=t⎦yϑ⎪Ïdan
∩⊄∪
$#sßγ¨βÎ=¨Ψ≈|Î)tƒ¹
∩⊇
⎯
Ö
Β
Ï
σ
÷
Β
ã
θ
u
δ
è
ρ
u
©
4
\
s
Ρé
&
ρ
÷
&
r

@
2
Ÿ
Œ
s
⎯Ï
Β
i
$[
≅
Ÿ
ϑ
Ï
ã
t
tΒ
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. ô⎯
anNahl : 97)
∩⊂∪ Îö9¢Á9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ Èd,ysø9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$#
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ ( Zπ6t ÍhŠsÛ
(#θè=Ïϑtãuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ωÎ) ∩⊄∪ Aô£äz ’Å∀s9 z⎯≈|¡ΣM}$# ¨βÎ) ∩⊇∪ ÎóÇyèø9$#uρ
Îö9ξ
9$$(#Î/θß(#ϑöθ≈s|¹
#uó™
θs?$#uρ§ΝÈd,èOysª!
ø9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ ÏM≈ys%Î=©!≈¢$#Á¨β9$#Î)
öΝ
ó θãΖÎγtΒøŠn=#utæ™ t⎦ì∃⎪Ï∩⊂∪
Ÿ ¢Á
)tFäz
(#θèèδ=ÏϑŸω
tãuρuρ (#Ο
%öθ©!yz
$# ω
)Î sù∩⊄∪
Aô£
’Å∀s9 z⎯≈|$#¡$oΣMΨ}š/z’$# ¨β(#θäÎ)9$s∩⊇%∪t⎦⎪ÏÎóÇ
yèø9$#uρ
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
šχ
Ρt“øt9$s†#
Kecuali orang-orang yang
dan
∩⊂∪ Îö9beriman
¢Á9$$Î/ (#öθdan
|¹#umengerjakan
θs?uρ Èd,ysø9$$Î/ (#amal
öθ|¹#usaleh
θ∩⊇s?uρ⊂∪ÏM
≈ysnasehat
Î=θç≈¢Á
menasehati
kebenaran
öΝèδ Ÿωuρ óΟsupaya
ÎγøŠn=tæ mentaati
ì∃öθyz Ÿξ
sù (#θßϑ≈s)dan
tFó™nasehat
$# §ΝèO ª!menasehati
$# $oΨš/z’ (#θäsupaya
9$s% t⎦⎪Ïmenetapi
%©!$# ¨βÎ)
kesabaran.” (QS. al-Ashr : 1-3)
∩⊇⊂∪ šχθçΡt“øts†
öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ì∃öθyz Ÿξsù (#θßϑ≈s)tFó™$# §ΝèO ª!$# $oΨš/z’ (#θä9$s% t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ)
∩⊇⊂∪ šχθçΡt“øts†
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”,
Kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita.” (QS. al-Ahqaf : 13) 8
Istiqamah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah teguh pendirian
dalam bertauhid dan tetap beramal yang saleh. Berkaitan dengan itu
umat manusia khususnya umat Islam mesti teguh pendirian. Pendirian
600_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang tidak tergoyahkan oleh fenomena kehidupan yang serba serbi
seperti hari ini, terlihat sangat runyam rayuan dan godaan kehidupan
yang dipengaruhi syaitan dalam mengarungi kehidupan.
Dari penjelasan ayat di atas jelas, sekali adanya pertalian yang kuat
antara akidah dan syari’ah, keduanya tidak dapat dipisahkan. Cuma
yang berbeda ialah akidah sebagai dasar untuk mendorong melakukan
syari’ah, manakalah syari’ah sebagai memenuhi kehendak akidah.
Kombinasi antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin
keberhasilan hidup manusia. Untuk memudahkan dan membantu
pembaca dalam memahami dan melihat keterkaitan atau persinggungan
antara aqidah dan syari’ah, pembahasan berikut perlu dipahami dengan
baik, sehingga pegangan aqidah umat Islam yang mengaku beriman
mesti mengikuti uraian selanjuntnya.
C.Pengertian Iman
Dalam artikel sederhana ini akan dibahas iman dari bahasa dan istilah.
Dari segi bahasa menurut Muhammad al-Ghazali, Iman mempunyai dua
pengertian yaitu :
a. Memberi keamanan (ta’mîn / i’thâ al-amân),9 sebagaimana Allah SWT.
berfirman:
tβθãΖÏΒ÷σムt⎦⎪Ï%©!$# ∩⊄∪ z⎯ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ Ïμ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ
tβθãΖΒÏ ÷σムt⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/
y7Íׯ≈s9'ρé& ∩⊆∪ tβθãΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã
“Kitab, (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan pada-Nya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman, kepada yang ghaib, yang
AΟŠÅ3ym ô⎯ÏiΒ ×≅ƒÍ”∴s? ( ⎯ÏμÏù=yz ô⎯ÏΒ Ÿωuρ Ïμ÷ƒy‰tƒ È⎦÷⎫t/ .⎯ÏΒ ã≅ÏÜ≈t7ø9$# Ïμ‹Ï?ù'tƒ ω
∩⊆⊄∪ 7‰ŠÏΗxq
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _601
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki, yang kami anugerahkan
kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
tβθãΖmereka
ÏΒ÷σムt⎦yakin
⎪Ï%©!$# ∩⊄∪
ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9(kehidupan)
“W‰èδ ¡ Ïμakhirat.
‹Ïù ¡ |=÷ƒmereka
u‘ Ÿω Ü=itulah
≈tGÅ6yang
ø9$# y7
Ï9≡sŒ
serta
akanz⎯adanya
tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
tβθãΖΒÏ ÷σムt⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖberuntung.”
ø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=(QS.
¢Á9$#al-Baqarah
tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=
ø9$$10Î/
: 2ø‹-tó5)
y7Said
Íׯ≈s9'ρé&Hawwa
∩⊆∪ tβθãmengemukakan
ΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/bahwa
uρ y7Î=ö7s%Tuhan
⎯ÏΒ tΑÌ“menamakan
Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î)al-Qur’an
tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3
dengan al-Kitab,11 dalam konteks ini berarti yang ditulis, sebagai isyarat
tβθãΖÏΒ÷σal-Qur’an
ムt⎦⎪Ï%©!$# ∩∈∪
∩⊄∪
z⎯ŠÉ)θß−Fßϑ
èδèδ¡ Ïμditulis.
‹ÏùÍׯ≈¡ s9|=
÷ƒu‘( öΝŸω
Å6
ø9$#èδy7
šχ
sù=Î=Ïj9ø“W
ßϑuntuk
ø9‰
$# ãΝ
y7
'ρé&uρAl-Qur’an
ÎγÎn/§‘Ü=⎯Ï≈tGiΒadalah
“W‰
4’Ï9n?≡stãŒ
bahwa
diperintahkan
kitab
Allah yang benar, lengkap dan sempurna sebagaimana dinyatakan
tβθãΖΒÏ surah
÷σムt⎦⎪Ï%Fusshilat
©!$#uρ ∩⊂∪ tβ
θà)Ï42Ζãƒ: öΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/
dalam
ayat
y7ŠÅÍ×3¯≈s9ym
'ρé& ô⎯
∩⊆∪
uρ ÏÜ
y7≈t7ø‹ø9s $#Î) tΑ
oÿÏ3
AΟ
ÏiΒ tβ
×≅θãƒÍ”Ζ∴sÏ%?θãƒ( ⎯Ïö/ãφ
μÏÍοù=tyzÅzFψ
ô⎯ÏΒ$$Î/uρŸωy7
uρ Î=Ïμö7÷ƒs%y‰⎯Ïtƒ ΒÈ⎦tΑ
÷⎫t/Ì“Ρé.⎯& ÏΒ!$tΒã≅
Ïμ‹ÏÌ“?Ρéù'&tƒ !$ω
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W
‰èδ7‰4’ŠÏn?Ηxq
tã
∩⊆⊄∪
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji”.
AÎÏiΒ7yz×≅AΟƒÍ”ŠÅ∴s3? ym
Å_Áuρèù Ïμ§Ν÷ƒèOy‰…çtƒμçGÈ⎦≈t÷⎫ƒt/#u™.⎯ôM
y ⎯ÏΒô⎯ôM
ÏΒ n=Ÿω
ÏΒ yϑã≅Å3ÏÜôm≈t7é&ø9ë=
$# Ïμ≈t‹ÏG?Ï.ù'tƒ4 !9ω#
AΟŠÅ3∩⊇ym∪ ô⎯
( ⎯Ï÷βμÏà$ù=©!z
Al-Qur’an sebuah kitab yang tersusun ayat-ayatnya dengan
∩⊆⊄∪ 7‰tetap
ŠÏΗxq
teguh, kemudian dijelaskan pada kandungannya satu persatu seperti
$¨Β 4 Νäsurah
3ä9$sVøΒHud
r& íΝtΒé&ayat
HωÎ) 1:
Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ
dalam
šχ
ρçà$³
| ©! øt⎯Ï
ä†ΒöΝôM
ÍκÍh5u‘n=Å_Á
4’n<Î)èù ¢Ο
Β É=
Å3ø9é& $#ë=
’Îû≈tG$uÏ.ΖôÛ4 !§9sù#
∩⊇∪ AÎ7yz∩⊂∇∪
AΟŠÅ3
ym ÷β
§ΝèOèO 4 …ç™& μó©çGx«
≈tƒ#u™⎯ÏôM
yϑÅ3≈tGôm
!
“Alif laam raa, Inilah suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha
$¨Β 4 Νä3ä9$sVøΒr& íΝtΒé& HωÎ) Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ
Bijaksana lagi Maha tahu”.
∩⊂∇∪ šχρç³
| øtä† öΝÍκÍh5u‘ 4’n<Î) ¢ΟèO 4 ™& ó©x« ⎯ÏΒ É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû $uΖôÛ§sù
Jika diperinci, maksud ayat di atas ada beberapa macam, ada
yang berkaitan dengan ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã
602_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
y ô⎯ÏΒ Ÿωuρ Ïμ÷ƒy‰tƒ È⎦÷⎫t/ .⎯ÏΒ ã≅ÏÜ≈t7ø9$# Ïμ‹Ï?ù'tƒ ω
AΟŠÅ3ym ô⎯ÏiΒ ×≅ƒÍ”∴s? ( ⎯ÏμÏù=z
pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. Ini adalah sebuah
kitab di mana perintah-perintahya menjadi petunjuk kepada siapa
∩⊆⊄∪ 7‰yang
ŠÏΗxq
dapat menilainya, contoh-contoh perbandingannya menjadi pengajaran
kepada siapa yang dapat menelitinya. Di dalamnya Allah SWT. telah
mensyari’atkan hukum-hukum wajib, membedakan antara yang halal
dan haram,
mengulangi
kepada
∩⊇∪ AÎ7yz
AΟŠÅ3ym ÷βà$nasehat-nasehat
©! ⎯ÏΒ ôMn=Å_Áèù §Νdan
èO …çμkisah
çG≈tƒ#u™ ôM
yϑÅ3ômyang
é& ë=≈tpaham,
GÏ. 4 !9#
menceritakan berkenaan persoalan-persoalan ghaib dan sebagainya,
seperti dalam surah al-An’am : 38;
$¨Β 4 Νä3ä9$sVøΒr& íΝtΒé& HωÎ) Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ
∩⊂∇∪ šχρç³
| øtä† öΝÍκÍh5u‘ 4’n<Î) ¢ΟèO 4 ™& ó©x« ⎯ÏΒ É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû $uΖôÛ§sù
“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat juga seperti kamu. tidak
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab”.
Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan, sebagian
Mufassirîn menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauh al-Mahfûdz dengan
arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan ditetapkan
dalam Lauhul mahfudz. Dan ada pula yang menafsirkannya dengan AlQuran dengan arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama,
norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan pimpinan untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk
pada umumnya.
Kebenaran kitab al-Qur’an seperti yang dinyatakan oleh penciptanya
Yang Maha Agung tidak meninggalkan sesuatu apapun melaikan
disebutnya, ia telah membawa kepada manusia sejagat semua persoalan
yang dapat memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada mereka, dan
apa yang disyari’atkan kepada mereka, adalah suatu yang jelas dan
berbentuk umum supaya sesuai disetiap zaman dan tempat atau situasi
kehidupan mereka.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _603
Selanjutnya Said Hawwa, menjelaskan predikat taqwa berarti
memelihara diri dari siksaan Allah SWT. dengan mengikuti segala
perintah-perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya,
tidak cukup diartikan dengan takut saja. Iman ialah kepercayaan yang
teguh disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa, tanda-tanda
adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
Selanjutnya yang ghaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera. Kemudian percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan
adanya sesuatu yang maujûd yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera,
karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya
Allah, Malaikat-malaikat, hari akhirat, dan sebagainya.
Shalat menurut bahasa Arab adalah doa. menurut istilah syara’ ialah
ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi
dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian
dan kerendahan diri kepada Allah SWT..12 Mendirikan shalat ialah
menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukunrukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti
khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Sedangkan
rizki, segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian
rizki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dirizkikan oleh
Tuhan kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama memberinya,
seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak
yatim dan lain-lain.
Selanjutnya kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Muhammad
SAW., ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur’an seperti
Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-shuhuf yang disebut dalam al-Qur’an
yang diturunkan kepada para Rasul-rasul-Nya. Allah menurunkan
kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril AS.,
lalu Jibril menyampaikannya kepada Rasul. Berkaitan dengan iman
berikutnya yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri
keraguan sedikitpun.
604_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Akhirat lawan dunia, kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah
dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar
percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir, yaitu orangorang yang mendapat apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah SWT.
sesudah mengusahakannya.
Dengan mengemukakan pengertian itu, dapat dipahami bahwa
Allah SWT. menyelamatkan manusia daripada menzalimi, hal ini sesuai
dengan salah satu nama dari nama-nama Allah SWT. yaitu “al-Mu’min
al-Muhsinîn”.
b. Membenarkan dan mengakui (tashdîq), yang bertempat di dalam
hati13, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat
136 di bawah;
Ÿ≅ŠÏè≈oÿôœÎ)ρu zΟ↵Ïδ≡tö/Î) #’n<Î) tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ $uΖøŠs9Î) tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ «!$$Î/ $¨ΨtΒ#u™ (#þθä9θè%
u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ
tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$#
∩⊇⊂∉∪
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): «Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma›il,
Ishaq, Ya›qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa
≅è%uρapa
öΝßγyang
ôàÏãuρdiberikan
öΝåκ÷]tã óÚ
Ìôãr'sùnabi-nabi
óΟÎηÎ/θè=è% ’Î
û $tΒTuhannya.
ª!$# ãΝn=÷ètƒkami
š⎥tidak
⎪É‹©9$#membeday7Íׯ≈s9'ρé&
serta
kepada
dari
bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya».
∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
Iman dari segi istilah, berbicara berkaitan iman, Ibn Hisham dalam
Ibrahim Imam pada kitab Ushûl al-I’lam Islâmî mengemukakan bahwa
iman dapat dilhat dari pendapat beberapa ulama sebagai berikut :
a)⎯tΒ
Segolongan
z>%s{ ô‰s%uρ ulama
∩®∪ $yγ8©berpendapat
.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰bahwa
s% ∩∇∪ $yiman
γ1uθø)s?adalah
uρ $yδu‘θègsuatu
é $yγyϑyang
oλù;r'sù
simple (basir), mereka telah menetapkan iman adalah hanya tidak
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _605
tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$#
lebih dari ber’iktikad yaitu ilmu yang teguh (jazim) dengan segenap
persoalan yang telah thabit dengan Dlarûrah, bahwa ia datang dari
∩⊇⊂∉∪
Allah SWT., dengan penuh ridha dan senang hati dengan akidah
tersebut, ini sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa’
ayat 63 sebagai berikut;
≅è%uρ öΝßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tã óÚÌôãr'sù óΟÎηÎ/θè=è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝn=÷ètƒ š⎥⎪É‹©9$# y7Íׯ≈s9'ρé&
∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
⎯tΒpelajaran,
z>%s{ ô‰dan
s%uρ ∩®∪
$yγ8©.y— kepada
⎯tΒ yxmereka
n=øùr& ô‰s% perkataan
∩∇∪ $yγ1uθyang
ø)s?uρ $yberbekas
δu‘θègé $ypada
γyϑoλjiwa
ù;r'sù
katakanlah
14
mereka.”
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
b) Mayoritas ulama berpendapat bahwa iman itu suatu yang kompleks
(murakkab) yang tersusun daripada beberapa bagian yaitu:
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
i. Membenarkan dengan hati (al-tashdîq bi al-jinan)
ii. Mengakui dengan lidah (al-iqrâr bi al-lisân)
iii. Mengerjakan dengan anggota (al-amal bi al-jawârih).15
Berkaitan pembahasan Iman dalam konteks istilah, Ibnu Hisham
mengelompokkan kepada tiga dalam kitabnya Sirah Ibn Hisham.
∩⊇∠∪ óΟßγdalam
1uθø)s? öΝßγmemahami
9s?#u™uρ “W‰èδ persinggungan
óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦antara
⎪Ï%©!$#uρ
Untuk memudahkan
akidah, syariah dan akhlak oleh pembaca terhadap beberapa
konsep tersebut, sebagian ulama ada yang telah membuat
perbandingan dengan sebatang pohon. Akar tunggangnya adalah
al-Tashdîq, umbinya ialah al-Iqrâr dan buahnya ialah al-’Amal.16
Al-Tashdîq merupakan bagian pertama dari bagian-bagian iman,
kepentingannya sama seperti pondasi untuk sebuah bangunan. Dengan
perkataan lain apabila seseorang itu telah melakukan bagian pertama,
606_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kemudian meninggal dunia dan tidak sempat melakukan bagian-bagian
yang lain, maka ia akan mendapat keberhasilan dengan keistimewaan
itu. Al-Iqrâr atau menyebut dengan lisan adalah bagian kedua daripada
iman, ia merupakan suatu pengakuan tentang akidah yang dianut atau
suatu terjemahan terhadap apa yang tersemat di hati daripada kebenarankebenaran (Haqâ’iq) yang ada dalam agama Islam. Iqrâr dengan lidah
adalah penting, karena Allah SWT. menyuruh kita supaya menentukan
sesuatu hukuman hendaklah berdasarkan kepada zahir atau perbuatan
jasmani manakala apa yang ada dalam diri manusia adalah terserah
kepada Allah SWT. untuk menentukannya.
Seterusnya bagian ketiga untuk mencapai kesempurnaan insan
menurut Muhammad Abu Zahrah ialah al-’Amal,17 apa yang penulis
maksud di sini dengan al-’Amal ialah mengerjakan apa yang diperintahkan
oleh Allah SWT. dalam persoalan fardlu dan sunnah, serta menjauhi atau
meninggalkan setiap hal-hal yang dilarang baik dalam ketentuan yang
haram dan kesamaran. Oleh sebab itu, kata Taqiyuddin Ibn Taimiyyah
al-’Amal mampu untuk menggerakkan manusia supaya melakukan
perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.18Akidah yang tersimpul
teguh dalam jiwa manusia tidak dapat digoncang oleh apapun rintangan
dan halangan, akan bertambah kuat dan teguh setiap kali seseorang itu
menambah amalnya, sebaliknya jika seseorang itu mengabaikan aspek
amal ini, maka akidahnya akan berkarat sebagaimana sebuah cermin yang
tidak terpelihara lama kelamaan debu-debu pencemar akan menutupi
permukaannya dan akhirnya tidak dapat menjalankan fungsinya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW. menjelaskan dalam beberapa hadis
yang maksudnya seperti berikut:
“Siapa yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali tanpa keuzuran,
niscaya dicatatkan daripada golongan orang-orang munafiq”.
Selanjutnya dalam Hadis yang lain, artinya:
“Siapa meninggalkan shalat jum’at sebanyak tiga kali karena kelalaian
niscaya Allah SWT. menutup pintu hatinya.”19
↵ÏδŠÏã
≡tö/uρÎ) 4©#’y›
n<Î) θãtΑ
Î) $ttΑ6ó™
Ì“ΡéF{
& $#!$uρtΒuρz>«!θà)$$Î/÷ètƒ$¨uρΨtΒt,
#u™≈ys(#þθó™ä9θèÎ)uρ%
uŸ≅ÎAŠÏρéè& ≈oÿôœ
’
!$tΒÎ)uρ 4©zΟ|¤
Β Ì“Ρéu’&ÎAρé!$&tΒuρ!$tΒ$uuρΖøŠs9ÅÞ
u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ
u’ÎAθãρéΚ& Î=ó¡!$tΒãΒuρ …ç4©
ÎAρé&r t⎦!$tΒ÷⎫uρt/ ä−ÅÞÌhx$t6çΡAqidah
ó™Ÿω
F{$#Asas
uρ Îγz>
t,Insan
≈ys
tβ
μ9s |¤ß⎯ŠÏãøtwΥuρuρ 4©óΟy›ßγθã÷ΨÏiΒ 7‰u’tn
óΟ
În/Kesempurnaan
§‘θà)
⎯Ï÷èΒtƒuρšχ
θ–Šó™
Î;_607
¨ΨÎ)9$uρ#
tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$#
tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–Š∩⊇Î;¨Ψ⊂∉∪
9$#
∩⊇⊂∉∪
Dari hadis-hadis tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa posisi
⊂∉∪
akidah seseorang yang bergelimang dalam maksiat akan lemah∩⊇dan
berkurang, sedikit demi sedikit sehingga akhirnya akan hilang dan
≅è%uρ öΝSebaliknya
ßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tãapabila
óÚÌôãseseorang
r'sù óΟÎηÎ/θè=è% itu
’Îû $tsenantiasa
Β ª!$# ãΝn=÷ètƒmengerjakan
š⎥⎪É‹©9$# y7amalÍׯ≈s9'ρé&
lenyap.
amal
≅è%uρkebaikan
öΝßγôàÏãuρ öΝdan
åκ÷]tãmenyubur
óÚÌôãr'sù óΟdan
ÎηÎ/θè=menambah
è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝkekurangan
n=÷ètƒ š⎥⎪É‹akidahnya
©9$# y7Íׯ≈s9'ρé&
∩∉⊂∪
ŠÎ
=
/
t
$Z
ó
ω
K
θ
ö
%
s
Ν
ö
η
Î
¡
Å

à
Ρr
&
ÎûÍׯ≈öΝs9'ρçλ°;é&
sebagaimana
dijelaskan
oleh
Allah
SWT.
dalam
dalam
tiga
surat
≅è%uρ öΝßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tã óÚÌôãr'sù óΟÎηÎ/θè=è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝn=÷ètƒ š⎥⎪É‹©9þ_
$# y7yaitu:
t/ Kωöθs%Muhammad
$ZóŠÎ=surat
öΝÎηÅ¡àΡr& þ_
Îû öΝçλ17
°;
as-Syams ayat 8-10, Surat al-A’lâ ayat∩∉⊂∪
14 dan
ayat
berikut:
∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù
⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù
⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θèg∩⊇é⊃∪$yγ$yγyϑ9¢oλ™ù;r'yŠsù
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
∩⊇⊆∪ 4’ª1(QS.
t“s? ⎯tΒAs-Syams
yxn=øùr& ô‰s% :
8-10)
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman),” (QS. Al-A’lâ : 14)
∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ
∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ
∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk
kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad :
17) 20
Selanjutnya dikemukakan pendapat al-Ghazali yang membicarakan
tentang iman, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Ihyâ Ulûm
al-Dîn dan kitab al-iqtisad fi al-iqtiqâd,. dalam kitab al-ihyâ’ al-Ghazali
membagi iman kepada tiga tingkatan:
608_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
-
Iman orang awam (Iman al-Awam) yaitu iman mereka yang diasaskan
hanya membenarkan saja (al-tashdîq al-mahd). Sementara dalam kitab
al-Iqtisâd ia mengistilahkan dengan “al-tashdîq al-taqlîdî”.
-
Iman ulama kalam (Imân al-mutakalimîn) al-Ghazali mengistilahkan
iman mereka dengan “al-tashdîq al-burhânî”, yaitu pengakuan/
pembenaran yang berdasarkan pendalilan. Mereka menggunakan
berbagai jenis pendalilan yang berdasarkan akal. Mengikut alGhazali lagi bahwa tingkat iman mereka seperti iman orang awam
atau lebih sedikit dari mereka.
-
Iman ulama Arifin (Iman al-‘Ârifîn) yaitu iman mereka berdasarkan
penyaksian (musyahadah) dengan nur al-yaqîn. Dalam kitab alIqtisâd digunakan istilah al-amal ma’a at-tashdîq (beramal bersama)
pembenaran. 21
Selanjutnya al-Ghazali membuat perbandingan iman golongan yang
pertama seperti iman orang yang mendapat berita tentang adanya
seorang laki-laki dalam sebuah rumah, lalu ia membenarkan/mengakui
berita itu. Manakala iman golongan mutakallimîn pula perbandingannya
seperti seorang yang mendengar suara dalam sebuah rumah, lalu ia
membenarkan/mengakui kewujudan orang dalam rumah tersebut.
Seterusnya iman golongan Arifin pula perbandingannya seperti orang
yang memasuki sebuah rumah, lalu ia melihat sendiri dengan matanya
ada orang dalam rumah tersebut. Menurut al-Ghazali lagi iman golongan
awam dan mutakallimîn amat terbuka kepada kesalahan dan tidak tepat,
namun begitu ia meletakkan golongan-golongan tersebut termasuk
dalam golongan ashhâb al-yamîn tetapi mereka belum lagi mencapai taraf
al-muqarrabîn. Sedangkan iman golongan Arifin menurut al-Ghazali
tidak mungkin terjadi kesalahan ma’rifah orang-orang mukmin di tingkat
ini diistilahkan dengan al-ma’rifah al-haqîqiyyah dan al-musyahadah alyaqîniyyah. Iman pada tingkat ini ada persamaannya dengan ma’rifah
al-muqarrabîn wa al-shiddiqîn, karena mereka beriman dengan melalui
penyaksian atau musyâhadah. 22
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _609
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa setelah memilih jalan
tasawwuf, lalu ia berpendapat bahwa jalan tersebut adalah jalan
yang selamat dan paling baik untuk sampai kepada ma’rifah tentang
hakikat ketuhanan. Dari pengalaman yang diperoleh oleh al-Ghazali
menunjukkan bahwa manhaj mutakallimîn tidak mampu untuk menerkai
hakikat ketuhanan, oleh sebab itu ia menganjurkan supaya menggunakan
pendekatan tasawwuf. Al-Ghazali telah membuat pendalilan untuk
menguatkan pendapatnya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnnah
diantaranya23 firman Allah SWT. dalam surat at-Talaq ayat 2-3 sebagai
berikut:
7∃ρã÷èϑ
y Î/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“uρsŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ
…ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/
uθßγsù «!$# ’n?tã ö≅©.uθtGtƒ ⎯tΒuρ 4 Ü=Å¡tFøts† Ÿω ß]ø‹ym ô⎯ÏΒ çμø%ã—ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ
∩⊂∪ #Y‘ô‰s% &™ó©x« Èe≅ä3Ï9 ª!$# Ÿ≅yèy_ ô‰s% 4 ⎯ÍνÌøΒr& àÎ=≈t/ ©!$# ¨βÎ) 4 ÿ…çμç7ó¡ym
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
$¯Ρà$©!orang
⎯ÏΒ çμsaksi
≈oΨ÷Κ¯=tæuρyang
$tΡωadil
ΖÏã ô⎯diÏiΒantara
Zπyϑômu‘kamu
çμ≈oΨ÷s?dan
#u™ !$tΡhendaklah
ÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏiΒ kamu
#Y‰ö6tã tegakkan
#y‰y`uθsù
dua
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang
∩∉∈∪ $VAllah
ϑù=Ïã
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada
niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” 24
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èϑ
y Î/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
610_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“ρu sŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ
Al-Ghazali juga menggunakan dalil dari hadis Rasulullah SWT. yang
artinya:
…ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/
“Siapa yang beramal dengan ilmunya niscaya Allah SWT. mengajarnya/
uθßγsù «!$# ’n?ilmu
tã ö≅yang
©.uθtGtƒia⎯ttidak
Βuρ 4 mengetahuinya.”
Ü=Å¡tFøts† Ÿω ß]25ø‹ym ô⎯ÏΒ çμø%ã—ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ
memberinya
yè_
y ô‰s% bahwa
4 ⎯ÍνÌøΒr& ada
àÎ=≈t/ilmu
©!$# yang
¨βÎ) 4 ÿ…çμdatang
ç7ó¡ym
Menurut
iniä3dapat
dipahami
∩⊂∪ #Yal-Ghazali,
‘ô‰s% &™ó©x« Èe≅
Ï9 ª!$# Ÿ≅
26
melalui jalan ilham rabbani, sebagaimana yang diisyaratkan seperti
firman Allah SWT. al-Qur’an.
$¯Ρà$©! ⎯ÏΒ çμ≈oΨ÷Κ¯=tæuρ $tΡωΖÏã ô⎯ÏiΒ Zπyϑômu‘ çμ≈oΨ÷s?#u™ !$tΡÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏiΒ #Y‰ö6tã #y‰y`uθsù
∩∉∈∪ $Vϑù=Ïã
“Dan kami telah mengajarnya ilmu yang datang dari sisi Ilmu Kami. (QS.
al-Kahfi : 65).27
Ilmu tersebut adalah ilmu yang diperoleh bukan dari pembelajaran
biasa, kepentingan untuk pencapaian ‘ilm al-yaqîn ini dapat dilihat dari
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóϑ
y ø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
sisi kedudukan ilmu berciri tersebut sebagai sebagian dari al-Hikmah yang
sewajarnya dimiliki oleh umat Islam. Al-hikmah yang dimaksud adalah al’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
hikmah dari aspek teori, sedangkan al-hikmah dari aspek amal al-haq atau
al-hikmah dari aspek praktek. Tidak mungkin seseorang dapat melakukan
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
aktivitas kebaikan seandainya mereka tidak memiliki ‘ilm al-yaqîn. Ini
berarti masyarakat manapun yang ingin maju dari aspek minda, ia perlu
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
mencapai al-hikmah, khususnya yang bersifat teori karena ia menjadi
landasan dan titik tolak utama agar lahirnya aktivitas mulia dalam
Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( #( ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ
suatu masyarakat selaras dengan al-hikmah, maka ia akan dikurniakan
kebaikan yang banyak. Sedangkan hadis menegaskan bahwa al-hikmah,
* ∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ
keciciran umat Islam.28 Ia seharusnya diambil dimana saja ia ditemui. Di
sini umat Islam dapat melihat betapa pentingnya suatu bangsa memiliki
al-hikmah untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _611
Antara kaidah yang disarankan oleh beberapa ilmuan Islam untuk
mencapai al-hikmah adalah melalui dalil-dalil akliah berdasarkan
penggunaan kaidah al-burhân, satu seni silogisme yang menjadi sendi
utama pembahasan ilmu mantiq. Dalil-dalil yang dikategorikan sebagai
al-burhân dapat dianggap sebagai dalil yang dapat diterima dan valid.
D.Akidah yang wajib diimani
Apa yang dituntut oleh Islam kepada penganutnya, kata Ahmad Tafsir29,
ialah membenarkan dan mengakui dengan dua kalimah syahadah, ia
merupakan
7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯asas
èδθè%terpenting
Í‘$sù ÷ρr& >∃dalam
ρã÷èϑ
y akidah
Î/ £⎯èδθäIslam.
3Å¡øΒr'Pengucapannya
sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/adalah
#sŒÎ*sù
suatu tema penting yang bernaung dibawahnya akidah Islamiyah. Dua
kalimah
àátãθムöΝsyahadah
à6Ï9≡sŒ 4 ini
¬!berarti
nοy‰≈y㤱tidak
9$# (#θßada
ϑŠÏ%Tuhan
r&uρ óΟä3yang
ΖÏiΒ 5Αdisembah
ô‰tã ô“ρu sŒmelainkan
(#ρ߉Íκô−r&uρ
Allah SWT. ia suatu zat yang mutlak yang Esa, tanpa saingan, tanpa
lawan,
yang
…ã&©! ≅yèyang
øgs† ©!Awal,
$# È,−Gtƒ yang
⎯tΒuρ Akhir,
4 ÌÅzFψ$#yang
ÏΘöθu‹ø9Zahir
$#uρ «!$$dan
Î/ Ú∅
ÏΒ÷σãƒBathin,
tβ%x. ⎯tQadim
Β ⎯ÏμÎ/
tanpa Awal, Azali tanpa permulaan, wujud tanpa kesudahan, Abdi tanpa
akhir.
Memiliki
uθßγsù «!
$# ’n?tã ö≅sifat
©.uθtGkebesaran
tƒ ⎯tΒuρ 4 Ü=dan
Å¡tFøtkelihatan
s† Ÿω ß]ø‹(Jalal)
ym ô⎯ÏΒserta
çμø%ã—kesempurnaan.
ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ
Tidak ada yang maujud yang menyamai-Nya dan ia tidak menyerupai
yang maujud,
_
y ô‰pun.
s% 4 ⎯ÍIkrar
νÌøΒr& àdengan
Î=≈t/ ©!$# ketunggalan
¨βÎ) 4 ÿ…çμç7ó¡ym
∩⊂∪ #Y‘ô‰ias% tidak
&™ó©x« menyerupai
Èe≅ä3Ï9 ª!$# Ÿ≅yèapa
Allah SWT. juga memperakui Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah Allah SWT..
Begitu juga dalam dua kalimah syahadah, kata Muhammad Abduh30
merangkumi suatu yang jelas, kepatuhan dan keyakinan tentang
$¯Ρà$©! ⎯ÏΒ çμ≈orisalah
Ψ÷Κ¯=tæuρ $tΡNabi
ωΖÏã Muhammad
ô⎯ÏiΒ Zπyϑômu‘ çμ≈oSAW.
Ψ÷s?#u™ !$dan
tΡÏŠ$t6Ïã
ô⎯ÏiΒkebenaran
#Y‰ö6tã #y‰y`apa
uθsù
kebenaran
juga
yang dibawa oleh Rasul dari segi akidah dan hukum-hukum. Dengan
∩∉∈∪ $Vakan
ϑù=Ïã
membuat pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad SAW.
membawa kepada beriman dengan kebenaran al-Qur’an dan persoalan
yang telah diterangkan oleh wahyu seperti para Rasul, Malaikat, Kitabkitab dan hari akhirat31 sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat alBaqarah ayat 177 dan 285 berikut:
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûuρ t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
612_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
™Ï !#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ
ô⎯tΒ §É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9
* ∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9#$ uρ Ïπ6
x Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka
∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177)
«!$$Î/ z⎯tΒ#u™ <≅ä. 4 tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ ⎯ÏμÎn/§‘ ⎯ÏΒ Ïμø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$yϑÎ/ ãΑθß™§9$# z⎯tΒ#u™
(#θä9$s%uρ 4 ⎯Ï&Î#ß™•‘ ⎯ÏiΒ 7‰ymr& š⎥÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω ⎯Ï&Î#ß™â‘uρ ⎯ÏμÎ7çFä.uρ ⎯ÏμÏFs3Íׯ≈n=tΒρu
∩⊄∇∈∪ çÅÁϑ
y ø9$# šø‹s9Î)uρ $oΨ−/u‘ y7tΡ#tøäî ( $oΨ÷èsÛr&uρ $uΖ÷èÏϑy™
kepadanya
dari
t⎦⎪Ï%“Rasul
©!$# ∩⊄∪telah
z⎯ŠÉ)beriman
−Fßϑù=Ïj9 “Wkepada
‰èδ ¡ ÏμAl-Qur’an
‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ yang
Ÿω Ü=diturunkan
≈tGÅ6ø9$# y7
Ï9≡sŒ ∩⊇∪ $Ο
!9#
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman
kepada
t⎦⎪Ï%©!$#uρAllah,
∩⊂∪ tβMalaikat-malaikat-Nya,
θà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nοkitab-kitab-Nya
4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒdan
uρ Í=rasul-rasul-Nya.
ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σãƒ
(mereka mengatakan): «Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan
dari
∩⊆∪ tβθãΖyang
Ï%θムö/lain)
ãφ ÍοtÅz
Fψ$$Rasul-rasul-Nya»,
Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρédan
& !$tΒmereka
uρ y7ø‹s9Î)mengatakan:
tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3 tβθã«Kami
ΖÏΒ÷σãƒ
dengar dan kami taat.» (mereka berdoa) : «Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan
kepada Engkaulah
∩∈∪ šχθßtempat
sÎ=øßϑkembali.»
ø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã y7Íׯ≈s9'ρé&
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _613
Begitu juga Ubadah ibn al-Samit32 telah meriwayatkan daripada
Rasulullah SAW.; Artinya: siapa yang mengaku bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah
hamba dan Rasulnya, Isa adalah hamba Allah dan Rasul dan kalimahNya yang diberi kepada Maryam dan Ruh dari-Nya. Surga itu kebenaran
dan neraka itu kebenaran. Allah memasukkan kedalam syurga mengikut
amal yang telah dilakukan oleh seseorang. (H.R.Bukhari dan al-Tarmizi).
Hadis tersebut menjelaskan tiga dasar penting yang terdapat dalam
akidah Islamiyah, yang diwajibkan oleh Islam kepada umatnya supaya
mereka mengetahui dan beriman. Pertama : Mengenal dan beriman
dengan Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya, ini dikenal dengan istilah (alIlahiyyat). Kedua : Mengenal dan beriman dengan perantara (al-wasilah)
antara Allah SWT. dan hamba-hamba-Nya yaitu beriman dengan
para Rasul, Malaikat dan Kitab-kitab, ini diistilahkan dengan (alnubuwwat). Ketiga : Mengenal dan beriman dengan hari kebangkitan,
hisab, pembalasan dan lain-lain, ini diistilahkan dengan al-sam‘iyyah.
Kesimpulan, kebenaran yang terdapat dalam akidah Islamiyah yang
menjadi fokus pembahasan artikel ini harus dipahami oleh umat Islam
secara keseluruhan. Pemahaman mereka itu seharusnya sejalan dan
seiring dengan pelaksanaannya terhadap amal-amal yang menjadi syarat
bagi kesempurnaan akidah tersebut. Ini bertujuan supaya akidah tidak
tinggal sebagai teori saja, tetapi diamalkan agar dapat mendatangkan
manfaat kepada individu dan masyarakat dalam mengharungi
kehidupan duniawi. Pada kenyataan yang ditemui dalam masyarakat
hari ini justru sebaliknya, teori melebihi praktiknya. Hal ini harus menjadi
pertimbangan dan kesadaran umat Islam kedepan mari memperbaiki
kelemahan yang terjadi selama ini.
E. Akidah dan kesempurnaan Insan
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa iman yang benar itu bukan
hanya suatu teori atau pengakuan hati saja tanpa adanya amal atau
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
614_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ
perbuatan. Sesungguhnya iman itu ialah akidah, amal dan keikhlasan.
Di samping
seringkali
amal
∩⊇∠∠∪ tβθà)itu,
−Gßϑø9iman
$# ãΝèδ y7
Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θèdigandengkan
%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7dengan
Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩ
ù't7ø9$#shaleh.
t⎦⎫Ïnuρ
Amal shaleh yang penulis maksud ialah setiap perbuatan yang dapat
membawa kebaikan di dunia dan di akhirat apakah ia untuk kebaikan
individu atau masyarakat serta kebaikan kerohanian dan kebendaan.
Oleh
sebab
«!$$Î/ z⎯
tΒ#u™ <≅itu,
ä. 4 akidah
tβθãΖÏΒ÷σßϑadalah
ø9$#uρ ⎯Ïμasas
În/§‘ ⎯ÏΒatau
Ïμø‹s9dasar
Î) tΑÌ“Ρé&kesempurnaan
!$yϑÎ/ ãΑθß™§9$# hidup
z⎯tΒ#u™
manusia atau insan.
(#θä9Kesempurnaan
$s%uρ 4 ⎯Ï&Î#ß™•‘ ⎯ÏiΒinsan
7‰ymada
r& š⎥
÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω dengan
⎯Ï&Î#ß™â‘uρkonsep
⎯ÏμÎ7çFä.muttaqûn
uρ ⎯ÏμÏFs3Íׯ≈dan
n=tΒρu
hubungannya
muflihûn 33sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat
y ø9$# šø‹s9Î)uρ $oΨ−/u‘ y7tΡ#tøäî ( $oΨ÷èsÛr&uρ $uΖ÷èÏϑy™
∩⊄∇∈∪ çÅÁϑ
1-5 seperti berikut:
t⎦⎪Ï%©!$# ∩⊄∪ z⎯ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ Ïμ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ ∩⊇∪ $Ο!9#
t⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σãƒ
∩⊆∪ tβθãΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3 tβθãΖÏΒ÷σãƒ
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã y7Íׯ≈s9'ρé&
“Alif lâm mîn. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib,
yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (AlQur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 1-5)
Huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari
surat-surat Al-Qur’an seperti: Alif lâm mîm, Alif lâm râ, Alif lâm miim
shâd dan sebagainya. Ahli tafsir seperti Muhammad ibn al-Husni34 ada
mengarahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk
ayat-ayat mutasyâbihât, dan ada pula yang menafsirkannya sebagai nama
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _615
surat, ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya
untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan AlQur’an itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan
dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.
kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Allah
dan Hanya buatan Muhammad saw semata-mata, maka cobalah mereka
buat semacam Al-Qur’an itu. Sedangkan Imam al-Jalil al-Hafidz alDimasyiqi35, mengatakan Tuhan menamakan Al-Qur’an dengan AlKitab, di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an yang
diperintahkan untuk ditulis. Taqwa yaitu memelihara diri dari siksaan
Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya, dan menjauhi
segala larangan-larangan-Nya, tidak cukup diartikan dengan takut saja.
Selanjutnya Imam al-Jalil mengungkapkan Iman ialah kepercayaan yang
teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tandatanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman
itu. Yang ghaib ialah yang tidak dapat dilihat oleh mata, percaya kepada
yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang wujud yang tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera, Karena ada dalil yang menunjukkan
kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-malaikat, hari akhirat
dan sebagainya.
Shalat menurut bahasa Arab36 adalah do’a. menurut istilah syara’ ialah
ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi
dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian
dan kerendahan diri kepada Allah SWT.. Mendirikan shalat ialah
menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat,
rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin,
seperti khusyu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Rizki
adalah segala yang dapat diambil manfaatnya, menafkahkan sebagian
rizki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dirizkikan oleh
Tuhan kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama memberinya,
seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anakanak yatim dan lain-lain. Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum
616_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Muhammad SAW. ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum alQur’an seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut
dalam al-Qur’an yang diturunkan kepada para Rasul. Allah SWT.
menurunkan Kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu
kepada Malaikat Jibril AS., lalu kata Aisyah Abdurrahman37, Malaikat
Jibril menyampaikannya kepada Rasul. Yakin ialah kepercayaan yang
kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun, akhirat lawan dunia.
kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin
akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya
kehidupan sesudah dunia berakhir, ialah orang-orang yang mendapat
apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah sesudah mengusahakannya.
Dalam ayat di atas, Allah SWT. menjelaskan bahwa orang-orang
yang berhasil itu adalah orang-orang yang bertaqwa, beriman kepada
yang ghaib, mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat. Ringkasnya,
orang yang beriman dan beramal sholeh akan mendapat keberhasilan.
Kesempurnaan dan kebahagiaan dapat dirasai seseorang apabila adanya
keseimbangan dalam tiga aspek penting dalam hidupnya yaitu spiritual,
pisik dan mental. Rasulullah SAW. adalah contoh yang paling baik untuk
dijadikan ikutan. Rasulullah SAW. tidak mengabaikan aspek-aspek
jasmani dan mental di samping mementingkan aspek rohani. Didalam
al-Qur’an ada disebutkan dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat.
Untuk mengeluarkan zakat merujuk kepada nisab harta, bagimana
hendak berzakat dan bersedekah jika tidak memiliki harta yang cukup
nisab. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa unsur kekayaan itu tidak
diabaikan oleh Islam, tetapi ada batas-batasnya karena ia juga menjadi
unsur kearah kesempurnaan. Walaupun begitu, kesempurnaan tidak
dapat diukur dari segi kebendaan semata-mata karena belum tentu ia
boleh memberi kesempurnaan sepenuhnya.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _617
F. Penutup
Sebagai kesimpulan dari pembahasan artikel ini, penulis berpendapat
tidak seharusnya manusia keterlaluan dalam mengejar satu aspek saja
dari berbagai aspek dalam Islam. Ada yang kadangkala keterlaluan atau
berlebihan sehingga menyepelekan keduniaan dengan alasan untuk
mencari kesempurnaan, begitu juga kadangkala keterlaluan dalam
mengejar keduniaan sehingga menyepelekan keakhiratan dengan alasan
yang sama untuk mendapat kenyamanan dan kebahagiaan. Oleh sebab
itu, contohlah Rasulullah SAW. karena Rasul adalah manusia mithali
dan insan kamil yang sangat mementingkan akidah, syariat dan akhlak.
Sebenarnya kombinasi antara tiga serangkai ini mampu menyempurnakan
kehidupan insan dan peradabannya. Perjuangan untuk merealisasikan
hakikat-hakikat ini adalah suatu jihad yang memerlukan pemahaman,
ketabahan dan kesabaran oleh semua pihak.
Iman yang benar itu bukan hanya suatu teori atau pengakuan
dimulut saja tanpa adanya amal atau perbuatan. Sesungguhnya iman
itu ialah akidah, amal dan keikhlasan. Di samping itu iman seringkali
digandengkan dengan amal shaleh. Amal shaleh yang dimaksud ialah
setiap perbuatan yang dapat membawa kebaikan di dunia dan akhirat.
Apakah ia untuk kebaikan individu atau masyarakat serta kebaikan
kerohanian dan kebendaan. Oleh sebab itu, akidah dasar untuk mencapai
kesempurnaan iman seorang muslim atau dalam istilah artikel ini insan.
Artikel ini bermaksud mengajak pembaca supaya berusaha atau mencari
kesempurnaan iman sejak dini sampai berakhirnya kehidupan seseorang.
618_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-karim
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulûm alDîn, Cairo : Muassasah al-Halabi wa Shurakah. 1967
Abdurrahman, Aisyah. Tafsîr Bintusyi Syathi. Terj. Muzahir Abdussalam.
Bandung Mizan, 1996
Abduh, Muhammad. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Cairo, Ta’lîf Muhammad
Rasyid Ridha, al-Manâr, 1333H/1993.
Abu Urwah, Konsep-Konsep Umum Islam. Pustaka Salam. 1970.
Abu Zahrah, Muhammad. Al-Dakwah al-Islam. Cairo: Dâr al-Fikri, 1972.
Al-Ghazâlî, Muhammad. ‘Aqîdah al-Muslimun. Cairo: Dar al-Kutub alHadîsah, 1967.
Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Syari’at al-Islâmiyyah Dirâsat alMuqarramah bain al-Muzahib Ahl al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah.
Mesir, Dâr al-Kutub al-Hadîsah, 1968
A. Karim Zaidan, Ilmu Dakwah. Dewan Pustaka Fajar. 1987
Al-Islam, 1997
Ali Abd. Halim Mahmud, Fiqh Dakwah Ilahiah. Mansurah: Dar al- Wafa’.
1990
Al-Qardawi. Al-Iman wa al-Hayah. Cairo: Maktabah wahdah, 1973
Brill, E. L. Encyclopedia of Islam. 1965
Al-Husni, Muhammad Ibn. ‘Alawi al-Itaqin fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Dâr
al-Syuruq,1983.
Al-Hafidz, al-Jalil Imam. ‘Imâd al-Dân Abû biha Ismâ’îl al-Qurasyî, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm. Beirut li Ibni ‘Alim al-Kutub, t.th.
Anis, Ibrahim dkk. Al-Mu’jam al-wasith. Istambul-Turki, Dâr al-Da’wah,
1989.
Defleur, M.C & Dennis, E. E. Understanding Mass Communication. A
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _619
Liberal Arst Perspective, 6th Edit, Boston Hougthon Mifflin. 1989
Halonen, J. S. & Santock, J. W. Psychology. Contexts and Applications.
Boston: Mc Graw Hill. 1999.
Muhammad al-Ghazali. Raka iz al-Iman. Cairo: Dar al-Shu’bi. 1973
Muhammad al-Ghazali. ‘Aqidah al-Muslimûn. Cairo: Dâr al-Kutub alHadithah. 1985
Muhammad al-Ghazali . Difa an al-Aqidah wa al-Shari’ah. Cairo : Dar alKutub al-Hadithah 1965
Quthub, Sayyid. Dlm A. Ilyas Ismail. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an,
Pegangan bagi Aktivis. Jakarta, Penerbit Lantera, 2001.
Sabiruddin, Berdakwah Era Multimedia. Jurnal Internasional. Kuala
Lumpur.2002
Sa’id Hawwa. al-Islam, Cairo : Maktabah Wahbah. 1977
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995.
Taimiyyah, Taqiyuddin Ibn. Tafsir Surah al-Nur. Beirut, Dar al-Kutub alIslâmiyyah. 2003 cet. I
Ubadah Ibn al-Samit. Al-Syari;at al-Islamiyyah Dirasat al-Muqaramah bain
al-Muzahib Ahl:Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah. Mesir Dar alKutub al-Hadisah, 1980.
Muhammad Bisar. al-Aqidah wa al-Akhlaq. Cairo: Maktabah al-Anglo alMisriyyah. 1973
Ahmad Ghalwash, al-Dakwah al-Islamiyah. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri.
Bairut : Dâr al-Kutub al-Lubnani 1979.
Mahmud Shaltut. al-Islam : Aqidah wa Shari’ah. Cairo: Dar al-Qalam. t.th
Ibn Hisham. Sirah Ibn Hisham: Bairut, Maktabah al-Risalah. 1989
Ibrahim Imam, Dr.Usul al-I’lam Islami. Kaherah: Darul Fikr Arabi. 1980.
620_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Sayyid Quthub dalam A. Ilyas Ismail, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an,
Pegangan bagi Aktivis, Jakarta : Penerbit Lentera, 2011, h. 52.
2. Abû Hamîd Ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, jilid III Cairo
Muassasah al-Halabi wa Shurabahu, 1967 h. 32
3. ‘Alî ‘Abd. Al-Halîm Mahmûd, Fiqh Dakwah Ilahiah, Muassasah ; Dâr al-Wafâ’,
1990 h. 79
4. Abû ‘Urwah, Terj. Konsep-konsep Umum Islam, Shah Alam, Selangor,
Malaysia, Pustaka Salam, 1970 h. 201
5. Yûsuf al-Qardawi, al-Îmân wa al-Hayah, Cairo, Maktabah wahdah, 1973 h. 55
6. Qs An-Nahl ayat 106
7. Muhammad al-Ghazali, Rakâ’iz al-Îmân wa al-Syarî’ah, Cairo : Dâr al- Syu’bi
1973, h. 78
8. Qs al-Kahfi ayat 107, 108, an-Nahl ayat 97, al-Ashr ayat 1-3, al-Ahqaf ayat 13
9. Muhammad al-Ghazali, Difa an al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah. Cairo : Dâr al-Kutub
al-Hadîtsah, 1965, h. 79
10. Qs al-Baqarah ayat 2-5.
11. Said Hawwa, Al-Islâm al-Asas fi al-Tafsîr, Cairo, Dâr al-Salâm, 1977, h. 113
12. Ibrahim Anis dkk. . Al-Mu’jam al-Wasith, Istambul-Turki : Dâr al-Da’wah,
1989, h 76
13. Qs al-Baqarah ayat 136
14. Qs an-Nisa’ ayat 63
15. Ibnu Hisham dan Ibrahim Imam, Ushûl al-I’lâm Islâmî, Kaherah : Dâr Al-Fikr
‘Arabî, 1986, h. 321
16. Ibn Hisham, Sirah Ibn Hisham, Beirut, Maktabah al-Risalah, 1989, h. 87
17. Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-IslâM,, Kaherah, Mesir : Dâr alFikri, 1972, h. 54
18. Taqiyuddin Ibn Taimiyyah. Tafsîr Surah al-Nûr. Beirut : Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah. Cet. I.1993
19. Muhammad Husain al-Zahabi al-Syari’at al-Islâmiyyah Dirasat al-Muqaramah
bain al-Muzâhib Ahl. Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah, Mesir : Dâr al-Kutub
al-Haditsah, 1968 h. 108
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _621
20. Qs al-Shams ayat 6 -10, al-‘Ala ayat 14 dan Muhammad ayat 17
21. Muhammad al-Ghazali, Aqidah al-Muslimun, Cairo : Dâr al-Kutub alHadithah, 1967 h. 18.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Muhammad al-Ghazali, op Cit
Muhammad al-Ghazali op Cit
Qs at-Th.aq ayat 2-3
al-Ghazali ibid h. 16
al-Ghazali, ‘Aqîdah al-Muslimûn, Cairo : Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1967, h. 43
Qs surah al-Kahfi 18:65
Sabda Rasulullah s.a.w
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1995, h. 202
30. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Cairo, Ta’lif Muhammad
Rasyid Ridha, al-Manar, 1333H/1893 M jilid III
31. Qs al-Baqarah ayat 177 dan 285
32. Ubadah ibn al-Samit. Al-Syari’at al-Islamiyyah Dirasat al-Muqaramah bain alMuzahib Ahl. Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah. Mesir : Dâr al-Kutub
al-Hadisah, 1968, h. 276
33. Qs al-Baqarah ayat 1-5
34. Muhammad Ibn al-Husni. ‘Alawi, al-Itaqin Fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir : Dâr
al-Syuruqt.1983, h. 74
35. Imam al-Jalil al-Hafidz al-Dimayqy. ‘Imad al-Din Abu Fiha’ Ismail alQurasyi,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut, Li ibni’alim al-Katib, t.th , h. 209.
36. Ibrahim Anis, dkk. Al-Mu’jam al-Wasith, Istambul-Turki, Dâr al-Dakwah,
1989, h 321
37. Aisyah Abdurrahman. Tafsir Bintusyi Syathi’, Terj. Muzakir Abdussalam,
Bandung, Mizan, 1996, h 108
622_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _623
A. Ketentuan Tulisan
1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf,
dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait
pengembangan masyarakat Islam lainnya.
2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font
Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17
halaman dengan spasi satu setengah.
3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika
sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords .
Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan.
Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut
dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.
4. JUDUL
a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak
melebihi 18 kata.
b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan
alamat e-mail dicetak di bawah judul.
c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa
(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata)
ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf
miring.
d. Tulisan menggunakan endnote
e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama
pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:
• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang
pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota
Penerbit: Penerbit.
• Untuk karangan dalam buku dengan banyak
kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul
Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
624_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman.
• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama
Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah,
Volume (Nomor): Halaman.
• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang.
Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ).
Tanggal mengakses karangan tersebut.
5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan
Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya
sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel
dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar
tersendiri dengan kualitas yang baik.
6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang
dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah
tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/
flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam
([email protected]).
Download