bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
PETANI tembakau di seluruh Indonesia kini tengah ‘galau’. Di
tengah serbuan produk tembakau impor, mereka justru dihadapkan
pada kenyataan pahit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun
2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aksi protes yang isinya
menolak PP nomor 109 tahun 2012 lantas muncul. Seluruh petani
tembakau menolak kebijakan yang bakal membunuh usaha tembakau
di Klaten.
Sebenarnya berapa luas lahan tembakau di Klaten? Berdasarkan
data Bidang Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian Klaten, untuk
tembakau jenis rajangan luasnya mencapai 1.401,45 hektare pada
tahun 2012 atau naik dari 1.325,25 pada tahun 2011. Kecamatan
Manisrenggo merupakan wilayah terluas penghasil tembakau jenis
rajangan dengan lahan mencapai 600,25 hektare. Sedangkan untuk
tembakau jenis asepan, luas lahan di tahun 2012 mencapai 1.049
hektare. Naik dari 986,9 hektare pada tahun 2011. Kecamatan yang
paling luas lahannya yang menanam tembakau asepan ada di Trucuk
dengan 353 hektare.
Dari keringat petani itu, Pemkab Klaten bisa memperoleh Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp 11,8 miliar pada
tahun 2012. Dana tersebut dibagi di sejumlah Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD), seperti Dinas Pertanian, Dinsosnakertrans hingga
Bappermas. “Dari dana tersebut pemerintah dapat memberikan
perbaikan jalan dan pelatihan – pelatihan kepada petani tembakau.
Jika sampai petani tidak bersedia menanam tembakau, jelas
pemerintah tidak akan mendapatkan pajak dari mereka. Sebab tidak
akan ada pabrik rokok yang beroperasi,” kata Ketua APTIK, Kadarwati
SH, beberapa waktu lalu.1
1
Sujatmiko Tomi, 2013. Lihat Detail www. KRjogja.com. Diunduh pada 10 – 05 - 2014.
1
Regulasi pengamanan zat adiktif produk tembakau tidak setara dengan
kontribusi petani tembakau dalam memberikan DBH CHT. DBH CHT yaitu
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau merupakan tuntutan petani agar cukai
tembakau dikembalikan kepada petani daerah. Pengembalian cukai mulai
terealisasi pada tahun 2008 lewat Peraturan Menteri Keuangan no
84/PMK.07.2008 yang menjadi regulasi atas sasaran kebijakan dan bentuk
kegiatan dari implementasi kebijakan DBH CHT di Pemerintah Daerah.
Cukai tembakau telah memberikan pemasukan pada APBD Kabupaten
maupun Provinsi tentu dengan jumlah tidak sedikit. DBH CHT setidaknya
meringankan beban Pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani bahkan
DBH CHT mampu membantu kebijakan lintas sektoral seperti perbaikan jalan
padahal penggunaan implementasi kebijakan DBH CHT harus sesuai dengan
regulasi. Implementasi kebijakan yang tidak sesuai peraturan akan
merugikan petani.
Petani tembakau tidak merasakan manfaat karena hambatan dalam
implementasi kebijakan DBH CHT. Kebijakan pengembalian cukai pada
petani tembakau di daerah seharusnya memenuhi ekspektasi karena
meningkatkan kesejateraan petani. Peran negara sebagai pelaksana
kebijakan sering mendapatkan evaluasi atas implementasi yang tidak tepat
sasaran. Relasi petani dan pemerintah seharusnya dapat bersinergi untuk
memberikan implementasi kebijakan secara efektif.
2
Pemerintah Daerah memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan
ekonomi terutama persoalan permintaan dan penawaran tembakau. Lahan
menjadi penghambat kemajuan hasil pertanian, sekarang justru lemahnya
koordinasi antar Dinas yang menjadi tantangan bagi petani tembakau dalam
memberikan kebijakan tata niaga tembakau. Dinas di Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten cenderung mematuhi Pemerintah Pusat daripada
mentaati koordinasi dan situasi sosial ekonomi di grassroot.
Persoalan klasik tentang tarik menarik kepentingan menimbulkan dampak
yang sangat signifikan pada petani tembakau. Tembakau memberikan
harapan pada petani Kabupaten Klaten untuk terus menjadi produk yang
dapat dihandalkan setiap tahun.2 Tembakau juga sumber keuangan yang
membuat kekuatan bisnis atau koorporasi dapat tetap hidup dalam berbagai
kemajuan zaman dan dominannya perusahaan rokok terus menguntungkan
dalam sisi bisnis, wajar ketika tembakau terus dimanfaatkan untuk
kepentingan aktor.
Dominasi tembakau juga pernah menjadi mata uang tidak resmi3
dibuktikan dengan perdagangan tembakau vorstenlanden saat masuk
komoditas ekspor ke negara eropa seperti Jerman dan Swiss memberikan
fakta bahwa negara selain tidak mampu membuat produk tembakau sendiri
maka negara juga tidak bisa untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
2
Sujatmiko Tomi, 2013. Lihat Detail www. KRjogja.com. Diunduh pada 10 – 05 - 2014.
3
Zulkifli, 2008. ““thank you For Smoking, cermin ironis bangsa : kemenangan rokok atas
negara.”
3
Pemerintah Daerah termasuk Kabupaten Klaten sebenarnya memiliki
dampak menguntungkan dari tata niaga tembakau di daerah mereka, karena
pemasukan devisa maka DBH CHT pasti ikut meningkat sesuai produktifitas.
Pemerintah Daerah juga memperoleh keuntungan yang berlipat dari
proses tembakau sampai pada tembakau menjadi produk dan bermanfaat
pada sisi medis. Negara seharusnya mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan petani tembakau lewat jaminan pasar dan efektifitas DBH CHT
yang memang sebagai hak petani tembakau. Fasilitasi Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten tidak berjalan sehingga daya tawar tembakau dari
kelompok petani juga rendah.
Strategi Pemerintah Daerah menggunakan nilai local wisdom4 dapat
menambah keakraban antar petani lewat berbagai cara seperti acara
kemasyarakatan dalam perumusan kebijakan. Budaya wong cilik dan rokok
serta tembakau telah meleburkan sekat dan jarak dalam sistem stratifikasi
sosial saat ini5 sehingga Pemerintah Daerah bisa melibatkan seluruh petani
tembakau lewat budaya musyawarah agar implementasi kebijakan dapat
tepat sasaran dan transparan.
Realisasi implementasi kebijakan DBH CHT saat ini tidak sesuai ekspektasi
karena diskusi antar petani dan Pemerintah Daerah yang berjalan tidak
memenuhi kebutuhan dari tata niaga tembakau seperti penyediaan gudang
4
Wisnu Brata, 2012. “Tembakau Atau Mati: Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan
Seorang Petani Tembakau”.
5
Budi Imam Santosa, 2012. “Ngudud, Cara Orang Jawa Menikmati Hidup.” Yogyakarta,
Manasuka.
4
tembakau yang masih minim untuk menampung hasil panen. Pola tata niaga
tembakau yang menjadi tumpuan hajat hidup dari petani menjadi perhatian
pemerintah karena ketika produk tembakau dari luar negeri tidak
mendapatkan regulasi yang ketat saat masuk ke pasar Indonesia sedangkan
petani tembakau di Indonesia malah mendapatkan regulasi ketat seperti
pengendalian areal tembakau.
Tugas Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten adalah dalam mengatur
keseimbangan pasar dengan menciptakan sarana prasarana dan melengkapi
regulasi tata niaga tembakau. Tujuan regulasi tata niaga tembakau tentu
agar petani tidak berjuang dalam harga yang dipermainkan oleh aktor grider
maupun sub grider yang memanipulasi harga pasar. Proses tata niaga
tembakau di daerah setelah menjadi produk juga harus bersaing dengan
perusahaan tembakau lain dalam proses promosi atau CSR. Produk
tembakau memang sering muncul memberikan alternatif pembiayaan acara
acara rakyat tertentu dalam anggaran pembiayaan untuk promosi.6
Pemerintah juga membiarkan petani lokal bersaing dengan produk asing
yang memiliki kualitas sama atas produk tembakau tetapi berbeda intensitas
iklan seharusnya Pemerintah Daerah dapat melindungi petani lokal sebagai
pemberi DBH CHT.
Persaingan produk tembakau asing dan import tembakau menjadi
masalah serius bagi petani karena keterbatasan peran Pemerintah Pusat dan
6
Zulkifli, 2008. “thank you For Smoking, cermin ironis bangsa : kemenangan rokok atas
negara.”
5
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Dana cukai yang di kembalikan ke
daerah seharusnya menjadi modal petani dalam mengembangkan
produktifitas dan kualitas bahan baku tembakau. Dana Bagi Hasil Cukai
Tembakau pada tahun 2013 sebesar Rp. 14.806.290.000,- tidak mampu
menjadi solusi atas kesejahteraan petani tembakau di Kabupaten Klaten.
Kesejateraan petani sebenarnya bisa diusahakan lewat DBH CHT
mengingat pengembalian cukai sebagai peningkatan kualitas bahan baku,
akan tetapi DBH CHT dalam implementasinya tahun 2013 mendapatkan
hambatan. Hambatan utama implementasi kebijakan DBH CHT terletak pada
koordinasi SKPD karena terlalu memfokuskan orientasi uang dalam
perencanaan sampai pelaksanaan implementasi kebijakan DBH CHT dan
ditambah kontestasi Kementrian Kesehatan dalam planning 2020 Indonesia
Sehat termasuk adanya intervensi asing atas kebijakan tembakau di
Indonesia.7 Implementasi kebijakan DBH CHT yang berarti tidak dapat
meningkatkan kesejahteraan petani tembakau lokal karena ada faktor
penghambat orientasi uang yang salah mulai dari perencanaan kebijakan
dan kontestasi Dinas Kesehatan. Tata kelola Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
menjadi perhatian para kelompok petani dan asosiasi dalam mengawasi
setiap implementasi kebijakan dari SKPD.
Penelitian ini mengalisis relasi asosiasi, petani tembakau dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Klaten, serta usaha Pemerintah Daerah dalam mengelola
7
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
6
tata niaga tembakau, memberikan implementasi kebijakan DBH CHT yang
tepat sasaran agar tidak merugikan petani. Hambatan implementasi
kebijakan DBH CHT dan kontestasi Dinas Kesehatan di mulai dari tahun 2013,
Kebijakan ambigu Pemerintah Daerah yang memberikan dampak lebih luas
seperti saat Surat Edaran Bupati Tahun 2013 bertentangan dengan Undang –
Undang Budidaya Tanaman No 22 Tahun 1999. Respon bermunculan atas
peran Pemerintah Daerah yang semakin menyudutkan petani lokal lewat
regulasi Surat Edaran Bupati karena seharusnya fungsi regulatori dapat di
manfaatkan pada kepentingan petani dalam menciptakan stabilitas
ekonomi.
Regulasi tata niaga tembakau sebenarnya dapat menggunakan “Smart
regulation”8 tetapi secara lebih sederhana regulasi diperlukan untuk
mengatur stabilitas harga, jaminan pasar dan tentu prinsip transparansi di
implementasi kebijakan DBH CHT dalam setiap SKPD. Studi kasus ini
diharapkan dapat menambah ikatan kerjasama antar petani dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Klaten mulai dari proses perencanaan kebijakan sampai
pada implementasi kebijakan cukai tembakau.
Pelaksanaan implementasi kebijakan DBH CHT dalam SKPD tentu
menyimpan kepentingan politis sebab menyangkut dana sebesar 14 Milyar
8
SMART Regulation berarti memperjelas dan menyederhanakan aturan regulasi, proses,
dan pengungkapan. Atau “SMART Regulation means clarifies and simplifies regulatory
rules, processes, and disclosures.” Dalam “Smart” berarti singkatan dari Standardized,
Measurable, Actionable, Reliable,And Transparent. (Presentasi Tentang “Smart
Regulation Task Force” Dari Data Transparency Coalition, September 11, 2012).
7
yang hanya di bagi menjadi 5 Dinas. Satuan Kerja Perangkat Daerah dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten yang bertanggung jawab atas proses
“policy implementation DBHCHT” adalah Dinsosnakertrans (Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Disperindakop (Dinas Perdagangan Industri dan
Koperasi),
Dispertan
(Dinas
Pertanian
dan
Peternakan),
Bidang
Perekonomian Kabupaten Klaten, dan Bapermas. Kepentingan politis
berhubungan dengan relasi kuasa9 dari para aktor mulai perumusan
kebijakan sampai implementasi kebijakan. Relasi antara aktor akan
menimbulkan tawar menawar dalam proses kebijakan tanpa melibatkan
sasaran kebijakan sehingga memberikan kerugian pada petani dan tidak
memenuhi ekspektasi saat implementasi kebijakan.
Koordinasi antar SKPD akan efektif menghasilkan regulasi atas tata niaga
tembakau dapat memberikan solusi permasalahan dari feedback yang telah
diberikan petani dan asosiasi. Peran dari Pemerintah Daerah yang kurang
optimal dilihat saat kurangnya fasilitasi dan bahkan pernah memberikan
dana DBH CHT pada Dinas Kesehatan yang tidak mendukung produk
tembakau.
9
Relasi kuasa merupakan Hubungan kekuasaan yang menurut Weber disebut
“pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam hubungan dengan
unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara apa yang oleh Leon
Daguit disebut “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes). (
Poelinggomang, 2004 : 138 ).
8
Penelitian lapangan pada 2013 membuktikan adanya proses apatis
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten saat fase pasca panen tembakau.
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten lebih memilih memungut pendapatan
dari gudang perusahaan daripada mendirikan gudang sendiri. Proses pasca
panen tentu menjadi ironi ketika stakeholder seharusnya dapat memberikan
gudang untuk melindungi hasil panen petani tembakau atau paling tidak ada
regulasi yang mengatur tentang tata niaga tembakau.
Kewenangan Pemerintah Daerah sesuai tuntutan petani tentu SKPD
dapat mengelola dan menciptakan situasi pasar yang kondusif untuk
mengendalikan pemintaan dan penawaran. Pengendalian permintaan dan
penawaran membuat Pemerintah Daerah menjalin sistem kemitraan dengan
grider atau sub grider tembakau jenis asepan, tembakau jenis rajangan dan
vorstenlanden. Perusahaan kemitraan asepan dan rajangan seperti PT.
Alliance One dan PT. Sadana.10
Perusahaan kemitraan Pemerintah Daerah dalam bidang tata niaga
tembakau vorstenlanden tentu BUMN PTPN X sub unit Klaten. PTPN X sub
unit Klaten dalam kerjasama kemitraan dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten hanya mengatur kebun pertaniannya sendiri lewat “sistem
sewa lahan” dari masyarakat. PTPN X Sub Unit Klaten hanya cabang dan
menjalankan keputusan dari PTPN X pusat di Surabaya yang telah
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten lewat klausul
10
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
9
tertutup. Perhitungan cukai PTPN X sub unit Klaten akan di berikan saat akhir
produksi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dan di proses lewat
kantor pusatnya di Surabaya. Cukai tidak dikenakan saat tembakau belum
dikemas atau masih dalam lembaran daun sebelum menjadi hasil produksi.
Penelitian juga akan memberikan keterangan relasi antara petani, PTPN X
sub unit Klaten, dan proses kemitraan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten.
Profil dari perusahaan PTPN bahwa didirikan berdasarkan Peraturan
Pemerintah R.I No.15 Tanggal 14 Februari Tahun 1996 tentang pengalihan
bentuk Badan Usaha Milik Negara dari PT Perkebunan (Eks.PTP 19, Eks.PTP
21-22 dan Eks.PTP 27) yang dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara X
(Persero) dan tertuang dalam akte Notaris Harun Kamil, SH No.43 tanggal 11
Maret 1996 yang mengalami Perubahan kembali sesuai Akte Notaris Sri
Eliana Tjahjoharto, SH. No. 1 tanggal 2 Desember 2011.11 Kerjasama
kemitraan diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tata niaga tembakau
di Klaten sehingga implementasi DBH CHT harus dapat terlaksana walaupun
terdapat kontestasi Dinas Kesehatan di dalam implementasi DBH CHT.
Kontestasi Dinas Kesehatan menjadi gangguan implementasi kebijakan
DBH CHT paling signifikan yaitu pada planning kebijakan 2020 Indonesia
Sehat karena menjadi acuan kebijakan setiap SKPD menjalankan
implementasi kebijakan DBHCHT. Conflict value yang terjadi dalam Dinas
Perindustrian dengan Dinas Kesehatan memberikan implikasi pada
11
Ptpn10.com. lihat detail www.ptpn10.com. Diunduh pada 12 – 04 – 2013
10
implementasi DBH CHT. Friksi antara permasalahan kesehatan dan ekonomi
membuat SKPD penerima DBH CHT tidak dapat konsisten pada penerapan
kualitas bahan baku untuk petani tembakau.
Keterlibatan Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (GAPRI)
memanaskan isu bahwa Rancangan Undang – Undang Pertembakauan
adalah pesanan industri rokok. Petani sekarang menjadi “korban opini”
karena tembakau dilemahkan lewat mekanisme pasar maka GAPRI juga ikut
terlibat untuk memfasilitasi petani dalam persaingan perdagangan tanpa
kehadiran peran negara. Fragmen positif atas produk tembakau telah di
geser beberapa pihak menjadi opini negatif lewat bahaya rokok pada
konsumen.
Penelitian ini lebih konsen pada permasalahan ekonomi saat proses
implementasi DBH CHT berjalan. Conflict value antara kesehatan dan
perekonomian petani menjadi tidak seimbang saat Dinas Kesehatan di
pergunakan sebagai “alat” dari intervensi asing.12 Roadmap 2020 Indonesia
Sehat menjadi bukti kebijakan dengan intervensi asing. Ratifikasi FCTC
adalah salah satu produk dari planing kebijakan Indonesia sehat yang hanya
melihat pengendalian tembakau sebagai bentuk peran Pemerintah
mengendalikan bahaya asap rokok tanpa peduli kepada petani tembakau
yang telah memberikan pemasukan cukai ratusan trilyun dan DBH CHT di
APBN sampai APBD.
12
Wawancara dengan Bapak Himawan, Kepala Sub Bidang Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Klaten
11
Intervensi asing telah tertuang dalam kebijakan Pemerintahan pusat yaitu
roadmap 2020 Indonesia Sehat apalagi diperkuat oleh kontestasi Kementrian
Kesehatan penerima dana bloomberg.13 Sehingga Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten harus menjalankan sistem dan setiap aktor di SKPD
menyesuaikan roadmap. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten maka tidak
dapat konsisten menjalankan perannya secara jelas dan masih terlihat semu
saat implementasi DBH CHT apalagi kesalahan cara berpikir yang
menggunakan orientasi uang dalam mengukur keberhasilan kinerja. Realisasi
keuangan, realisasi fisik dan respon petani seharusnya menjadi skala SKPD
mengukur keberhasilan implementasi kebijakan di petani tembakau.
Bantuan asing14 dan modal ini tentu akan memberikan pengaruh pada
kebijakan, terutama kebijakan sektor pertanian dan sektor strategis seperti,
dana asing yang mempengaruhi kebijakan peraturan tentang penolakan
kretek terkandung zat adiktif yang paling mematikan. Bloomberg initiave
bahkan telah mampu “menyuap” beberapa LSM dan pihak anti rokok untuk
mendukung ratifikasi FCTC, kampanye anti rokok serta memberikan fatwa
haram pada produk tembakau tentu tujuannya agar semua perokok
memanfaatkan obat terapi atas nikotin yang telah dipasarkan oleh
Blommberg.15 Ratifikasi FCTC tidak benar karena berpendapat petani
menghasilkan 1 juta setiap bulan padahal petani tembakau telah
13
Data penerima dana bloomberg initiave dari APTI DPC Klaten.
http://komunitaskretek.or.id/forum/showthread.php?tid=19, di unduh pada 16 – 11 - 2014
15
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten
12
14
berpenghasilan lebih dari 1 juta dan lebih penting menjaga warisan budaya.
Petani berpendapatan dari tembakau rata rata adalah 6 sampai 7 juta per
patok setiap tahun, pada umumnya petani menyewa lahan 5 sampai 6
patok.16
Misi anti kretek atau anti tembakau jika dilihat secara kepentingan maka
hanya rangkaian intervensi politik. Intervensi politik terlihat dalam
menguasai
pasar
tembakau
yang
potensial
dan
mengambil
alih
perdagangan. Stigma atas tembakau membuat mati hanya mengubah
persepsi masyarakat agar beralih mengobati kecanduan atas nikotin dan
peran koorporasi asing masuk memberikan obat padahal tembakau telah
banyak penelitian dapat mengobati penyakit lewat terapi.
Pihak anti kretek harus mengetahui temuan tentang sisi positif tembakau
adalah tembakau digunakan sebagai bahan pengobatan dari partikel nano
tenaman tembakau yang telah ditemukan oleh ketua IDI Malang, dr.
Subagyo.17 Negara saat hanya memikirkan kesehatan sehingga perusahaan
asing dapat membeli perdagangan dan mengambil alih keuntungan
tembakau yang cukup potensial. Gagasan utama adalah jangan hanya
memikirkan kesehatan akan tetapi seluruh sektor terutama sosial ekonomi
apalagi pendapatan negara atas cukai lewat tata niaga tembakau. Kesehatan
16
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
17
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
13
hanya satu aspek dan dapat solusi atas pengurangan kadar nikotin di produk
tembakau.
Koordinasi dukungan terhadap anti kretek juga dikuatkan oleh beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM di Indonesia selain oleh Dinas
Kesehatan.18 LSM yang mendukung program anti kretek telah “disuap” dana
Bloomberg initiave demi suksesnya promosi “penghancuran petani
tembakau”, bahkan fatwa agama sampai harus di keluarkan dalam
menaggulangi persebaran produk tembakau. Dinas Kesehatan juga
menerima dana luar negeri tersebut untuk kampanye anti rokok. Dana luar
negeri tersebut berasal dari “kompromi atas koorporasi” asing Bloomberg
Initiave, perusahaan farmasi di Amerika Serikat.
Peraturan Pemerintah tentang kesehatan yang sudah di terapkan menjadi
Peraturan Daerah (Perda) sangat timpang karena seharusnya hanya
mengatur rokok terkait dengan kesehatan, bukan soal perdagangan dan
perindustrian tembakau.19 Acara Pro tembakau terus di lakukan karena ada
muatan politis pada hubungan internasional kepada indonesia terletak pada
Undang – Undang Kesehatan. Persoalan tata niaga tembakau tidak dapat di
regulasi hanya dengan Peraturan Pemerintah no 109 tahun 2012 karena
malah mengatur tentang industri rokok dan pembatasan produktifitas
tembakau terlebih pada bahaya asap bukan pada permasalahan kesehatan.
18
http://komunitaskretek.or.id/forum/showthread.php?tid=19, diunduh pada 16 – 11 - 2014
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
14
19
Petani sangat kecewa karena ironi ketika Dinas Kesehatan Kabupaten
Klaten juga menerima dana DBH CHT berasal dari cukai tembakau padahal
mereka menolak produk tembakau.20 Pembuatan Peraturan Pemerintah
dalam Kesehatan tentang tembakau seharusnya bekerjasama dengan
Departemen lain serta koordinasi agar tidak terjadi ketimpangan peran
antara Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian juga elemen petani sebagai
obyek kebijakan.
Intervensi luar negeri seharusnya memberikan pada pemerintah
kesadaran bahwa hanya strategi bangsa luar masuk dalam bisnis tembakau.
Akuisisi Philip Morris juga terdapat suatu kejanggalan apabila lahan
tembakau dibatasi kenapa perusahaan asing “mengambil alih perdagangan”
produk tembakau. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten sadar dan sekarang
sudah memperketat industri tembakau skala besar masuk jadi hanya ada
satu broker yaitu PT. Duga yang masih beroperasi dan kerjasama dengan PT.
Sampoerna.21
Kontrol dan himbauan yang dilakukan oleh Departemen kesehatan
karena kandungan nikotin yang menjadi titik pro kontra dalam medis dan
tentu sangat mengganggu karena memberikan dampak dalam perdagangan
pertanian tembakau di daerah sentra tembakau. Pembatasan tembakau
menjadi beban tambahan bagi petani setelah roadmap 2020 di terapkan,
20
Wawancara dengan Kelompok Petani Desa Jatipuro, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
Wawancara dengan Bapak Sinung Nugroho, Kepala Bidang Perindustrian, Disperindakop,
Kabupaten Klaten.
15
21
terlebih permintaan yang besar pada tembakau karena inelastisitas harga
dan memiliki daya tawar tinggi pada nilai ekspor menambah pendapatan
negara maupun daerah dan pertumbuhan ekonomi lewat cukai.
Permintaan
tinggi
pertanian
tembakau
sebenarnya
terganggu
inkonsistensi SKPD dan kontestasi Dinas Kesehatan. Orientasi uang menjadi
hambatan paling besar saat perencanaan buruk pada implementasi
kebijakan DBH CHT tahun 2013 sehingga inkonsistensi SKPD membuat dana
keluar tetapi tidak tepat sasaran. Orientasi uang yang direalisasikan dalam
kebijakan memang mempunyai dampak pada formulasi anggaran DBH CHT
untuk Kabupaten / Kota tahun anggaran berikutnya tetapi permasalahan
implementasi kebijakan seperti tepat sasaran harus menjadi fokus utama
stakeholder.
Orientasi uang ditambah dengan lemahnya sanksi penyalahgunaan yang
hanya sanksi administratif juga seringkali membuat aspek tranparansi
berkurang saat perencanaan kebijakan sampai implementasi kebijakan.
Transparansi menjadi isu petani dan asosiasi agar implementasi kebijakan
DBH CHT dapat berjalan efektif dan tepat administrasi sehingga sesuai aspek
akuntabilitas.
Peran negara akan membuat dampak signifikan, lewat efisiensi dan
penataan yang perlu segera di lakukan terhadap berbagai sektor ekonomi,
khususnya industri yang berhubungan dengan sumber daya alam.22 Efisiensi
22
Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”.
16
dan penataan pada sumber daya alam (SDA), akan memberikan suatu aturan
atau regulasi pada Grider dan Sub Grider tembakau sesuai Peraturan
Menteri Keuangan. Proses implementasi kebijakan DBH CHT setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah harus mampu memberikan fungsi fasilitasi
pembinaan industri tembakau agar mampu mengukur tingkat pendapatan
petani dan buruh yang terserap dalam tata niaga tembakau.
Tata niaga tembakau tidak lepas dari peran industri seperti Grider dan
Sub Grider lewat permintaan dan penawaran dari pasar tembakau yang
berpengaruh pada harga. Peran Grider dan Sub grider potensial sebagai
perantara dari kebutuhan pasar tembakau. Perusahaan di sistem pasar
membutuhkan modal yang cukup untuk menyerap bahan baku tembakau.
Modal perusahaan juga diperlukan dalam menjalankan proses produksi dan
distribusi untuk bersaing dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang
produk tembakau.
Kontrol dan pengawasan dari negara sangat diperlukan untuk membuat
ketegasan pada pihak industri tembakau sesuai dengan aturan yang berlaku
apalagi dalam negosiasi harga dengan petani. Rantai tata niaga tembakau
menjadi sangat sentral saat Grider dan Sub Grider di daerah Kabupaten
Klaten menjalin kemitraan dengan petani tembakau lokal yang memang
tidak memiliki daya tawar lemah tanpa fasilitasi regulasi dari Pemerintah
Daerah Kabupaten Klaten.
17
Industri saat ini bukan lagi terbangun atas permintaan yang di tentukan
oleh negara, tetapi di bentuk oleh keinginan dan kebutuhan melayani pasar
yang atraktif.23 Pasar tembakau yang ditanam pada wilayah Klaten, Jawa
Tengah terdapat beberapa level mulai dari tembakau untuk level rokok
kualitas virginia atau cigarette, sampai terdapat tembakau kualitas ekspor
yaitu tembakau vorstenlanden untuk melayani pasar ekspor ke Jerman dan
Swiss di kelola dengan kemitraan bersama PTPN X Sub Unit Klaten.
Perbedaan kualitas dan mutu tembakau ini yang membuat harga dari
petani tembakau dapat dihargai berbeda – beda.24 Jenis tembakau yang
paling banyak menjadi komoditas petani lokal di Klaten adalah tembakau
asepan dan juga tembakau rajangan. Tembakau rajangan dan asepan masih
terbagi dalam beberapa jenis. Petani memiliki preferensi atas pilihan jenis
tembakau berdasarkan kemudahan pupuk dan masa panen, serta
keuntungan yang didapatkan. Kebutuhan petani seperti pupuk bersubsidi
membutuhkan peran sentral dari stakeholder seperti Dinas Pertanian
Kabupaten Klaten saat melakukan proses distribusi ke petani.
Keadaan pengawasan dan kontrol yang lemah sektor pertanian ini
menjadi ironi saat Pemerintah Daerah tidak dapat menerapkan langkah
proteksi petani atas penjualan tembakau lewat mekanisme pasar dan
memberikan jaminan pasar. Penjualan produksi tembakau ke pihak Grider
23
Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”.
Wisnu Brata, 2012. “Tembakau Atau Mati: Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan
Seorang Petani Tembakau”
24
18
atau pabrik seharusnya di regulasi oleh Stakeholder. Hakikatnya petani
tembakau telah berkontribusi pada negara, yaitu minimal dalam usaha
peningkatan produksi tembakau sehingga peningkatan kualitas bahan baku
sesuai ketentuan DBH CHT juga harus di terapkan Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten dengan implementasi kebijakan.
Petani telah mandiri lewat implemetasi kebijakan DBH CHT dan tidak lagi
menjadi beban negara. Mekanisme pasar telah melemahkan peran
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten karena mulai tergantikan oleh
“invisible hand” dan ekonomi pasar yang menghindari intervensi dari negara.
Mekanisme
perdagangan
di
pimpin
oleh
“invisible
hand”
untuk
mendapatkan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakatnya dan
equilibrium akan tercapai berdasarkan prinsip ekonomi pasar.25 Realita
grassroot bahwa peran oleh negara hanya berusaha mengejar target
pendapatan cukai yang telah di berikan angka tertentu dari Pemerintah
Pusat sehingga stakeholder tidak fokus saat implementasi kebijakan dan
dalam upaya peningkatan kualitas bahan baku tembakau tetapi hanya
memikirkan zona aman atau “Safety Zone” pendapatan cukai.
Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten konsen pada aturan yang
di arahkan untuk memilih melakukan pengawasan cukai yang di atur sebagai
salah satu kebijakan DBH CHT. Stigma petani tembakau bahwa langkah yang
di gunakan negara untuk fokus pada pengawasan cukai produksi tembakau
25
Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”.
19
memperlihatkan
ketegasan
negara
tetapi
di
sisi
lain
terdapat
ketidakmampuan Pemerintah Daerah menaikkan daya tawar petani lewat
fasilitasi dalam implementasi kebijakan DBH CHT. Pelaksanaan dari fungsi
fasilitasi meningkatkan daya tawar petani tentu dengan jaminan pasar
tembakau yang jelas.
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten sebagai representasi Pemerintahan
Pusat jarang memberikan inovasi terhadap implementasi kebijakan DBH
CHT. Kebijakan pada pertanian tembakau nyatanya memberikan dana yang
tidak sedikit pada pemerintah daerah Klaten lewat cukai. Petani menjadi
pihak yang paling di rugikan maka ketika ada Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI) dan kelompok petani memberikan harapan saat
pengawasan implementasi kebijakan di implementasikan oleh stakeholder.
APTI saat ini telah bekerjasama dengan 10 pakar pakar dari Hukum dan
Ekonomi ini di telah membuat regulasi tentang tembakau.26 Regulasi ini akan
di uji di DPR untuk di dapatkan Undang – Undang Pertembakauan dari mulai
bibit sampai regulasi produksi, perdagangan, industri dan cukai. Langkah
pembuatan regulasi atas pertembakauan masih dalam proses. Pendapat dari
ahli yaitu Fahmi Indris tentang rancangan Undang – Undang Pertembakauan,
Inti utama tentang masalah tembakau adalah ironi rokok menjadi penyebab
kematian padahal manusia juga memakan makanan instan setiap hari,
sehingga ada penyebab kematian yang lebih kuat di bandingkan rokok maka
26
Wawancara dengan Kelompok Petani Desa Jatipuro, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
20
ada kepentingan politis terkandung di angka pendapatan perdagangan.27
Perdagangan tembakau sangat potensial merusak pangsa pasar rokok putih
di negara Amerika.
Petani melihat potensi realisasi sebesar Rp 86,65 triliun tersebut,
penerimaan cukai menjadi penyumbang terbesar, yaitu Rp 61,22 triliun,
diikuti bea masuk Rp 17,36 triliun dan bea keluar Rp 8,07 triliun. Penerimaan
cukai setiap tahun lebih banyak di sumbangkan oleh cukai hasil tembakau,
sebesar Rp 58,75 triliun. Di ikuti cukai minuman mengandung etil alkohol Rp
2,36 triliun dan cukai etil alkohol Rp 890 miliar dari total penerimaan Rp
61,22 triliun.28
Percaturan perdagangan tembakau membuat semua aktor tata niaga
ingin menguasai lewat cara konstitusi maupun proses mempertahankan
petani tembakau yang tidak ada dalam lingkaran kebijakan. Petani juga
mendukung kebijakan dan keputusan politis akibat Potensial dari adanya
pasar tembakau karena pendapatan rokok adalah nomor 2 setelah migas,
sehingga sampai terjadi sidang tentang Undang – Undang Kesehatan Rokok
sampai 12 kali di Mahkamah Konstitusi.29 Regulasi memberikan keuntungan
dan peningkatan daya tawar petani tembakau saat mengelola rantai
27
Wawancara dengan Bapak Himawan, Kepala Sub Bidang Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Klaten.
28
29
komunitaskretek.or.id, di unduh pada 20 – 10 – 2014.
Wawancara dengan Bapak Suhardi, Kepala Seksi Pelayanan Konsumen, Disperindakop
Kabupaten Klaten.
21
ekonomi perdagangan. Regulasi perlu dibuat karena belum ada Peraturan
Pemerintah maupun Peraturan Pemerintah tentang perdagangan rokok.
Peraturan Pemerintah
tentang kesehatan saat diterbitkan maka
kelompok pembela kretek termasuk APTI melakukan gugatan ke MK sampai
proses 12 kali sidang. Pembiayaan dari 12 kali sidang dan akomodasi para
pembela kretek dari Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (GAPRI).30
Tahun 2008 terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang
penggunaan Hasil Cukai dalam meningkatkan Produksi tembakau. Realita
pelaksanaan Permenkeu di implementasikan dalam DBH CHT dan penerapan
kebijakan DBH CHT mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk pelatihan
sampai di kritik petani.
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten seharusnya melakukan respon
untuk mempercepat perbaikan implementasi kebijakan DBH CHT yang
terhambat yang dilihat dari kurangnya kesejateraan petani yang semakin
tidak diperhatikan lewat ketidakhadiran negara dan intervensi asing di setiap
proses kebijakan. Koordinasi petani juga berusaha memberikan umpan balik
atas implementasi kebijakan. APTI sebagai representasi kelompok petani
dapat
melakukan
kontrol pada
implementasi
kebijakan
tembakau
seharusnya mampu membuat petani sejahtera.
Kelemahan tata niaga tembakau pada implementasi kebijakan tembakau
akan memberikan dampak negatif masyarakat petani di sebabkan terus –
30
Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC
Klaten.
22
menerus tidak sesuai dari harapan mereka pada harga tembakau dan harus
mencari jalan sendiri untuk kemitraan. Harga tembakau yang menjadi
permainan oleh pihak Grider atau Sub Grider telah sedikit diperbaiki lewat
akomodasi tuntutan asosiasi petani oleh perusahaan seperti harga online di
beberapa gudang untuk mengurangi kecurangan dari gudang.
Dampak mekanisme pasar maka petani menggunakan mekanik daripada
buruh tembakau untuk mengurangi kerugian saat pasca panen tembakau.
Implementasi kebijakan DBH CHT yang tidak tepat sasaran pada petani
tembakau lokal maka Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten seharusnya
dapat melengkapi kebutuhan saat proses tata niaga tembakau lewat
infrastuktur, sarana prasarana dan regulasi dalam peningkatan produktifitas
tembakau di setiap daerah penghasil tembakau.
23
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi kebijakan DBH CHT Kabupaten Klaten Tahun
Anggaran 2013 ?
2. Mengapa implementasi kebijakan DBH CHT Kabupaten Klaten Tahun
Anggaran 2013 gagal ?
C. Tujuan penelitian
1. Menjelaskan peran dan fungsi Pemerintah Daerah Klaten dalam proses
implementasi kebijakan tembakau sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri Keuangan sebagai peraturan DBH CHT.
2. Menjelaskan indikator konsep “policy implementation” dari Pemerintah
Daerah Kabupaten Klaten.
3. Mengetahui respon dari kelompok petani, Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI) terhadap langkah dan konsep “policy implementation”
dari Pemerintah Daerah Klaten.
24
D. KERANGKA TEORI
D.1 Aktor dan Content of policy in Implementation
Implementasi kebijakan perlu dilihat menggunakan karakter model top
down atau model bottom up, model top down akan menguntungkan pada
sebuah situasi dimana para pembuat pembuat kebijakan mampu mengatur
dan mengontrol situasi, dan dana yang terbatas. Model bottom up,
menguntungkan pada situasi dimana pelaksana kebijakan mempunyai
kebebasan melakukan inovasi tanpa ada intervensi atau dependensi
kekuasaan dengan melihat situasi maupun dinamika daerah atau lingkungan
kebijakan yang berbeda dari segi sosial politik dan ekonomi.
Secara lebih rinci bahwa model top down menekankan pada tanggung
jawab sedangkan model bottom up menekankan pada kepercayaan.31
Penelitian ini menggunakan model top down, brarti tanggung jawab dari
implementator lebih ditekankan saat dana yang terbatas mampu untuk di
wujudkan dengan program kebijakan sesuai dengan kebutuhan sasaran
kebijakan. Sasaran kebijakan lalu akan memberikan feedback atas kinerja
yang dilakukan oleh implementator.
Kebijakan
model
top
down
kemudian
ditransformasikan
dalam
perencanaan, apakah sesuai dengan agenda atau tidak. Agenda akan
menyesuaikan dana dengan kebutuhan sasaran kebijakan apabila seimbang
31
Lane, Jan Erick, 1995, The Public Sector : Concepts, Models, and Approaches, London : Sage
Publications.
25
maka
akan
dilanjutkan
dalam
kebijakan.
Kebijakan
selanjutnya
ditranformasikan dalam program aksi, sehingga implementasi kebijakan
belum tentu lancar karena tergantung pada proses program aksi dan kualitas
dari pelaksana implementasi kebijakan.
Grindle membagi dua atas faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan yaitu content of policy dan context of policy.32 Content of policy
dan context of policy mempunyai program aksi yang berbeda dalam melihat
implementasi kebijakan. Faktor program aksi ini sangat berpengaruh saat
implementasi dijalankan karena menyangkut soal kepentingan atas
kebijakan dan indikator lain dalam melihat tujuan implementasi dapat
tercapai sesuai dengan pencapaian hasil akhir atau outcomes.
Context of policy mempunyai langkah atau step penentuan instrumen
program aksi secara konteks kebijakan dapat dilihat dari pertama,
Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Kedua, Lembaga
dan rezim karakteristik. Ketiga, Kepatuhan dan responsif.33 Step pertama
program aksi “context of policy” bahwa Kekuasaan, kepentingan dan strategi
aktor yang terlibat di perlukan sebagai alat legitimasi dalam menentukan
pencapaian akhir implementasi kebijakan serta pembuatan kebijakan dan
pemetaan kebijakan. Konsolidasi merupakan alat agar kebijakan lebih
terstruktur antar stakeholder untuk memperlancar jalannya pelaksanaan
suatu implementasi kebijakan demi keberhasilan implementasi.
32
33
Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world.
Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world.
26
Faktor kedua yang berpengaruh pada context of policy adalah lembaga
dan rezim karakteristik. Lingkungan menjadi sentral saat lembaga dan rezim
melakukan proses implementasi kebijakan. Situasi dan kondisi pada saat
rezim berkuasa menjadi sangat berpengaruh pada implementasi kebijakan
karena dapat mempengaruhi birokrasi dan mengubah pola kebijakan pada
lembaga atau rezim sebelumnya saat melakukan program aksi untuk
implementasi kebijakan.
Faktor terakhir yang mempengaruhi dalam context of policy adalah
kepatuhan dan responsif. Pelaksana implementasi kebijakan tentu sangat
berpengaruh dalam kualitas kebijakan yang dikeluarkan maupun sampai
pada tanggung jawab saat program yang diimplementasikan tidak tepat
sasaran di sasaran kebijakan. Umpan balik juga akan mempengaruhi
kebijakan maka dapat cepat di respon oleh implementator kebijakan
sehingga dapat diperbaiki dalam proses implementasinya.
Content of policy juga mempunyai program aksi yang berbeda dalam
melihat
faktor
yang
mempengaruhi
implementasi.
Faktor
yang
mempengaruhi implementasi antara lain : kepentingan yang mempengaruhi,
jenis tipe manfaat yang diperoleh, derajad perubahan yang diinginkan,
kedudukan dan posisi pembuat kebijakan, siapa pelaksana program,
sumberdaya yang dikerahkan.34 Penelitian ini menggunakan content of policy
dalam melihat implementasi kebijakan karena selain melihat kepetingan
34
Ibid.
27
didalam kebijakan tentu juga perlu mengetahui kualitas dan kapasitas dari
implementator melaksanakan kebijakan.
Faktor
pertama
dalam
content
of
policy,
kepentingan
yang
mempengaruhi brarti semakin banyak kepentingan bermain dalam kebijakan
maka akan lebih sulit melakukan implementasi kebijakan.35 Kebijakan pasti
melibatkan banyak pihak untuk sampai pada keberhasilan kebijakan dari
mulai proses perencanaan sampai pada proses implementasi kebijakan dan
pihak yang dilibatkan tentu memiliki kepentingan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Faktor jenis tipe manfaat yang diperoleh sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Manfaat yang diperoleh dapat dilihat saat kebijakan
dapat memberikan manfaat aktual dan dapat dirasakan oleh sasaran
kebijakan, jadi bukan hanya bersifat formal dan simbolis dengan tujuan lebih
mudah untuk diimplementasikan. Faktor manfaat yang diperoleh juga harus
sesuai dengan realita tidak hasil manipulasi data saat implementasi
kebijakan tidak tepat sasaran.
Ketiga, derajad perubahan yang diinginkan menjadi faktor berpengaruh
pada proses implementasi saat setiap kebijakan ada target yang ingin di
capai atau outcomes. Content of policy memberikan penjelasan bahwa
sejauh mana perubahan dapat bermanfaat bagi sasaran kebijakan. Skala
yang jelas juga menjadi acuan bahwa memang terdapat perubahan dan
35
Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world.
28
keberhasilan kebijakan dengan adanya implementasi kebijakan yang telah
dilakukan oleh stakeholder.
Faktor keempat adalah kedudukan atau posisi pembuat kebijakan yang
esensinya bahwa pengambilan keputusan sangat berpengaruh pada
implementasi kebijakan. Pengambilan kebijakan akan memperhatikan
keterbatasan dana dengan program yang diimplementasikan. Stakeholder
juga akan membagi tugas tentang keputusan program kebijakan apakah
sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan untuk dilakukan suatu
implementasikan kepada sasaran kebijakan.
Faktor kelima dalam content of policy adalah pelaksana program.
Pelaksana program harus mempunyai kualifikasi dan kapasitas yang
memadai. Kapasitas sumber daya manusia yang tidak memadai maka akan
terjadi implementasi kebijakan karena tidak sesuai dengan ekspetasi dan
kebutuhan dari penerima kebijakan. Pelaksana program juga harus mampu
untuk melakukan konsolidasi antar stakeholder untuk menghindari
ketimpangan implementasi kebijakan. Pelaksana kebijakan juga harus
memiliki kedekatan dengan sasaran kebijakan dan memiliki tanggung jawab
dan sisi transparansi dalam melakukan kebijakan.
Faktor dalam content of policy yang terakhir adalah sumber daya yang
dikerahkan. Sumber daya manusia tentu berpengaruh pada keberhasilan
implementasi kebijakan. Manajemen dari sumber daya manusia apakah
sudah memadai untuk melakukan perencanaan sampai implementasi
29
kebijakan. Pelaksanaan implementasi kebijakan harus didukung dengan
sumber daya manusia. Sumberdaya yang digunakan akan sangat
mempengaruhi
keberhasilan
implementasi
kebijakan.
Implementasi
kebijakan merupakan proses mulai dari “policy” menjadi program dan
program menjadi “outcomes” atau hasil.36
Peran implementasi kebijakan adalah untuk membangun link yang
memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil
dari kegiatan pemerintah sebagai bentuk responsiveness agar tidak menjadi
multi
tafsir.
Pembagian
implementasi kebijakan
kekuasaan
dalam
politik37
masyarakat.
juga
mempengaruhi
Negosiasi implementasi
Kebijakan38 diperlukan dalam setiap proses kebijakan dan program aksi
untuk menyesuaikan kebutuhan implementasi kebijakan. Fase kebijakan dari
grindle selanjutnya menjadi acuan untuk melihat stakeholder dalam
melakukan perencanaan sampai pada keberhasilan implementasi kebijakan.
36
37
38
Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world.
Ibid.
Ibid.
30
31
Fase stages model of policy making meneliti tentang penyelesaian isu dari
permasalahan kebijakan. Isu akan di mulai dari rangkaian agenda phase
yaitu di bagi menjadi On Agenda dan Not On Agenda, On Agenda berarti
sesuai dengan perencanaan kebijakan sesuai dengan yang dibutuhkan
penerima kebijakan dan dana yang dikeluarkan. Kepentingan dari aktor yang
terlibat sangat berpengaruh pada kebijakan. Fase perencanaan kebijakan
juga harus memikirkan bahwa implementasi nanti akan mempunyai manfaat
dengan indikator atau skala yang jelas.
Perencanaan ketika Not On Agenda berarti harus melakukan revisi
sebagai suatu langkah penyempurnaan atas perencanaan saat proses DBH
CHT berjalan. Perencanaan biasanya tidak sesuai agenda saat perencanaan
kurang bermanfaat dan anggaran yang terbatas serta manajemen birokrasi
belum memadai. Proses agenda menjadi sangat sentral saat stakeholder
berusaha berdiskusi dengan obyek sasaran kebijakan.
Fase Policy implementation akan berjalan setelah On agenda dan lanjut
pada decision phase yaitu terdapat kebijakan untuk melakukan perubahan
dan kebijakan untuk melawan perbaikan. Decision For Reform bersifat
menambahkan
kebijakan
dan
melakukan
inovasi
kebijakan
dari
implementasi sebelumnya yang terhambat maupun tidak berkembang
karena keterbatasan ide. Decision Aganist reform tentu artinya bergerak
melawan perbaikan di pengambilan kebijakan sehingga tidak ada kebijakan
32
yang baru untuk diimplementasikan. Kebijakan melawan perubahan karena
berarti akan mengalami evaluasi sehingga diulang pada fase perencanaan.
Proses Decision for reform akan dilanjutkan pada proses implementation
phase untuk menerapkan kebijakan di lapangan dan diterima tepat sasaran.
Implementation phase terdapat dua hasil yaitu succesful implementation dan
unsecceful implementation. Succesful implementation berarti saat dapat
melakukan realisasi keuangan 100 % dan telah berhasil mencapai realisasi
fisik 100 % dengan tepat sasaran. Indikator lain dalam menilai keberhasilan
implementasi kebijakan adalah feedback dari penerima kebijakan. Succesful
implementation secara konten implementasi akan dianggap berhasil ketika
faktor atau variabel implementasi dapat berjalan lancar sesuai harapan.
Unsuccesful implementation berarti tidak dapat terlaksana atau tidak
tepat sasaran, realisasi keuangan dan realisasi keuangan tidak 100 % jadi
bisa unsuccesful implementation karena alasan seperti alokasi anggaran yang
minim dan miss komunikasi sampai pada keterlibatan penerima kebijakan
yang minim serta kesalahan teknis sehingga implementasi kebijakan tidak
berjalan. Faktor dalam content of policy dapat melihat kelemahan dalam
implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan yang tidak dapat terealisasi
karena memang kegiatan tidak sesuai dengan ketentuan atau regulasi
kebijakan sehingga terkena evaluasi dan tidak dapat diimplementasikan.
Stakeholder pasti memiliki suatu pencapaian akhir atau outcomes dan itu
menjadi skala keberhasilan implementasi.
33
Outcomes bisa tercipta lewat program aksi yang terencana sesuai dengan
ekspektasi sasaran kebijakan. Kekurangan kebijakan juga akan di berikan
feedback agar dapat melakukan revisi pada lemahnya kebijakan. Fase stages
model of policy making yang dapat sampai pada succesful implementation
sehingga kegiatan dari program kebijakan bisa dikatakan tepat guna dan
tepat sasaran.
Evaluasi kebijakan juga perlu ditekankan saat policy of implementation,
karena umumnya kebijakan terdapat kegagalan di proses implementasi
karena keterbatasan dana, keterlibatan penerima kebijakan yang masih
minim, manajemen dan SDM yang masih rendah. Evaluasi juga bisa
dikenakan saat program kebijakan tidak sesuai dengan ketentuan regulasi,
sehingga evaluasi juga ditujukan untuk melihat sebab akibat dari kegagalan
implementasi. Manfaat dan keberhasilan dari implementasi kebijakan juga
bisa dinilai dengan adanya evaluasi kebijakan. Kebijakan seharusnya
dievaluasi ketika tidak sesuai kebutuhan penerima kebijakan saat
implementasi.
Rangkaian fase program aksi pada implementasi kebijakan tembakau di
bagi menjadi 3 bagian yaitu pra program aksi policy implementation, fase
program aksi di lakukan, dan fase post policy implementation. Fase pra
program aksi yaitu mengkategorikan permasalahan dan solusi kebijakan atas
kondisi di lapangan serta memberikan pemetaan regulasi apa yang akan di
berikan. Fase program aksi yaitu implementasi kebijakan sesuai dengan
34
ketentuan regulasi dan sesuai dengan kebutuhan. Konsolidasi stakeholder
juga diperlukan saat melakukan implementasi kebijakan.
Fase terakhir dari post program aksi adalah adanya proses advokasi dari
tuntutan penerima kebijakan. Proses advokasi ini juga nantinya harus di
sertai dialog antara pelaksana kebijakan dengan sasaran kebijakan.
Kesimpulan dari dialog akan menjadi umpan balik bagi stakeholder untuk di
jadikan kebijakan yang baru atau untuk merubah kebijakan yang kurang
tepat, sehingga tahun selanjutnya penerima kebijakan dapat mendapatkan
kebijakan sesuai dengan harapan.
Penelitian ini berpusat pada teori grindle tentang policy implementation
tetapi juga diberikan teori pelengkap seperti the role of power dari gramae
gill karena memberikan pola dari keterlambatan negara dalam memberikan
implementasi sehingga dapat melihat apakah negara sudah menjadi agen
untuk pembangunan atau masih terlambat dalam melakukan respon pada
situasi.
E. DEFINISI KONSEPTUAL
Regulasi
Kebijakan yang mengatur pada pengawasan dan pembatasan tentang
tata niaga tembakau karena seharusnya pihak negara dapat berperan
sebagai pengendali dari sumber daya dengan cara melakukan proses
pengambilan kebijakan yang tepat.
35
Kontestasi
Perdebatan yang mempunyai tujuan untuk memperebutkan dukungan
masyarakat dengan berbagai alasan seperti sektor ekonomi dan sektor
kesehatan.
Cukai
Pungutan negara yang dikenakan terhadap barang tertentu yang
mempunyai sifat dan karakteritik tertentu, yaitu konsumsinya perlu
dikendalikan,
peredarannya
perlu
diawasi,
pemakaiannya
dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup, atau
pemakaian perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan, dan
keseimbangan.
Ratifikasi FCTC
Regulasi pembatasan produktifitas tembakau karena disesuaikan dengan
permintaan dan penawaran pasar.
Relasi Aktor
Peran hubungan antara aktor satu dengan yang lain terhadap beberapa
kepentingan dan bertujuan dalam aspek tertentu. Aktor dalam relasi tersebut
antara lain : Negara, intermediari / LSM, dan Masyarakat.
36
Intervensi Ekonomi
Campur tangan yang berlebihan pada sektor ekonomi sehingga mendesak
pemerintah dan penerima kebijakan, karena ada tujuan untuk menguasai
sumber daya alam dan potensi lewat pemanfaatan sebuah regulasi.
F. Definisi Operasional
Penjelasan operasionalisasi ini bertujuan untuk dapat memberikan
definisi secara valid dari beberapa variabel yang akan diteliti. Berdasarkan
landasan teori di atas, maka indikator yang di gunakan antara lain :
1. Isu/Topik
2. Design dan substansi Kebijakan
3. Proses Implementasi kebijakan
4. Faktor menghambat kebijakan
5. Feedback Implementasi kebijakan
G. Metode Penelitian
G.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini akan di lakukan dengan penelitian bersifat kualitatif.
Metode kualitatif yang akan di pakai untuk mengeksplorasi kasus
menggunakan metode studi kasus. Studi kasus memiliki tujuan salah satunya,
peneliti bertujuan untuk memberikan pandangan yang lengkap dan
37
mendalam mengenai subjek yang diteliti.39 Dengan studi kasus maka akan
mendapatkan data yang medalam mengenai penelitian ini. Menurut Bent
Flyvbjerg, Case study cannot generalize on the basis of an individual case :
therefore, the case study cannot comtribute to scientific development.
40
Berdasarkan jenis penelitian ini, maka kasus ini juga tidak dapat di lakukan
generalisasi terhadap kasus – kasus yang terjadi di daerah atau teritorial lain
dengan tipe kasus yang hampir sama. Kelebihan studi kasus bahwa metode
tersebut sangat bermanfaat untuk mengungkap atau memecahkan masalahmasalah unik dan spesifikdalam berbagai disiplin ilmu.41 Sedangkan
kelemahan dari studi kasus itu sendiri lebih berisi tentang keabsahan suatu
informasi atau data yang didapatkan terutama tentang isu validitas,
realibilitas, dan generalisasi.42
Pemilihan studi kasus ini karena terdapat kejadian tentang beberapa isu
proses dan implementasi kebijakan dari regulasi tembakau dan alokasi
anggaran DBH CHT. Proses ini akan terus berkembang sehingga dapat
memberikan analisis tentang keputusan yang akan di lakukan oleh negara
dalam melakukan peran memberikan jaminan pasar terhadap pasar
39
Mulyana, Deddy, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
40
41
42
Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797).
Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Yogyakarta.
Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana:
Yogyakarta.
38
tembakau tentu dalam kaitan untuk mengendalikan harga pasar tembakau.
Keputusan dari kebijakan juga akan di lihat dari umpan balik dan
implementasi kebijakan di petani.
G.2 Lokasi Penelitian
Lokasi studi kasus juga berada di kawasan Klaten dan perkebunan
masyarakat sekitar di daerah Kabupaten Klaten. Lokasi penelitian ini memiliki
potensi karena alur tata niaga berada dalam peran Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten. Penggunaan lokasi penelitian di daerah Klaten, karena
tempat ini banyak di temukan petani tembakau yang memiliki relasi dengan
pemerintah dalam aspek sosial dan politik. Kajian pada lokasi penelitian ini
memiliki keunikan kultural yang berpengaruh pada aspek sosial politik di
dalamnya.
Relasi antar elit birokrasi juga menambah dimensi pengambilan
keputusan pada proses implementasi kebijakan di proses membantu
kesejateraan petani tembakau. Terkait ketimpangan implementasi kebijakan
regulasi juga akan memberikan realita tentang relasi aktor hanya sekedar
mengetahui peran masing – masing atau ada aktor yang dapat melakukan
intervensi pada aktor lain apabila posisi strata vertikal dan horizontal tidak
sama. Kebijakan tentang tembakau mulai dari alokasi anggaran juga akan
dapat berpengaruh pada peran antar sektor mulai dari negara, intermediari,
dan juga masyarakat. Pentingnya dari lokasi penelitian juga memberikan
39
perbandingan tentang penerapan regulasi yang belum di lakukan dan
pengaruh implementasi kebijakan tersebut memang berperan dengan baik.
G.3 Unit Analisa Data
Unit analisa data pada penelitian ini adalah pada pembatasan kasus
penelitian. Relevansi dengan kasus penelitian ini adalah dengan membatasi
aktor – aktor yang terlibat dalam penggunaan pembatasan tema penelitian
ini. Klasifikasi aktor akan memberikan informasi sesuai dengan pemetaan
aktor atau pihak yang terlibat di dalam penelitian ini. Unit analisa data yang
lain adalah menggunakan kajian triangulasi terhadap kunci – kunci
pengamatan lapangan, dan dasar – dasar untuk melakukan interpretasi
terhadap data.43
G.3.1 Data Primer
Tabel. 1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer
Informan
Teknik Pengumpulan
Jenis Data
Penelitian
Data
Sejarah peraturan atau regulasi
Dinas Penerima
Wawancara mendalam
pertanian tembakau Wilayah
DBHCHT
yang kemudian di rekam
Klaten.
Kabupaten Klaten
dan di traskrip.
Asosiasi Petani
Pola Regulasi yang terjadi di
Wawancara mendalam
Kabupaten Klaten
pemerintah daerah Klaten.
dan observasi partisipan
(APTI).
Pola aktor informal yang
Komunitas
Wawancara mendalam
berpengaruh di pemerintah
Tembakau / LSM
dan observasi partisipan
daerah Kabupaten Klaten.
Di wilayah Klaten.
43
Robert K. Yin. Case Study Research: Design and Methods. Fourth Edition. SAGE
Publications. California, 2009.
40
G.3.2 Data Sekunder
Tabel. 2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Jenis Data
Sumber
Teknik
Pengumpulan
Data
Sejarah peraturan atau
regulasi pertanian tembakau
dan DBHCHT di Klaten.
Buku atau arsip sejarah Dinas
Pertanian dan Perkebunan
Klaten.
Dokumenter
Proses Implementasi
kebijakan DBHCHT yang
terjadi di pemerintah daerah
Klaten.
Buku dan Arsip dari komunitas
dan asosiasi petani tembakau
Klaten
Dokumenter
Artikel – artikel lain yang
berkaitan dengan isu
implementasi kebijakan.
G.4 Jenis Data Dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data dibedakan menjadi 2 jenis yaitu data primer dan data
sekunder. Pada dasarnya data primer di dapatkan dengan cara wawacara
yang mendalam “deep interview” tentang kasus yang terjadi sesuai dengan
pemetaan kepentingan dari aktor – aktor yang terlibat di dalamnya. Data
sekunder di peroleh dengan cara memperkuat berbagai data – data atau
dokumen saat melakukan penelitian, sehingga akumulasi data dan dokumen
ini dapat di gunakan sebagai pelengkap dari data primer.
Studi kasus dalam teknik pengumpulan berbagai sumber data yang
banyak secara terperinci dan menyeluruh yang sangat bersifat kontekstual
41
dan kasuitis.44 Pengumpulan data akan menggunakan “deep interview”
sehingga terjadi proses klasifikasi dari relasi aktor – aktor yang berkaitan
dengan kasus ini. Pada studi kasus ini akan di lakukan wawancara pada pihak
negara yaitu pihak dari Pemerintah daerah Kabupaten Klaten. Pihak yang lain
adalah wawancara pada Asosiasi petani tembakau (APTI) di Kabupaten
Klaten. Dalam proses pengumpulan data peneliti akan menggunkan teknik
sampling purposive45 atau narasumber yang bersangkutan terlibat dan
mengetahui proses konten implementasi kebijakan tembakau sesuai dengan
kompetensi dan bidangnya.
G.5 Teknik Analisis Data
Analisis data lebih sederhana adalah proses menyusun data agar dapat
ditafsirkan dan diketahui maknanya.46 Analisis data ini diharapkan peneliti
dapat memberikan data – data yang di butuhkan seperti wawancara, dan
informasi terkait penelitian studi kasus. Peneliti juga harus memiliki langkah
untuk dapat melakukan strategi agar penulisan tidak berhenti di tengah jalan.
Dengan strategi peneliti juga dapat memberikan hasil yang maksimal dari
44
Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12;
797).
45
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
46
Nasution, (1996), Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung,
hlm. 126.
42
teknik pengumpulan data yang sudah terkumpul untuk di lakukan proses
seleksi dalam penelitian.
Menurut Miles And Habberman47 tentang teknik analisis data dan
aktivitas dalam analisis meliputi : reduksi data (data reduction), penyajian
data (data display) serta Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion
drawing
/ verification). Reduksi data dilakukan dengan cara membuat
ringkasan tentang data dalam penelitian, sedangkan penyajian data berisi
penyusunan kalimat terkadang juga terdapat model matriks dari data
penelitian agar dapat mudah dipahami, terakhir kesimpulan dan verifikasi
tentang kesimpulan sementara dan bisa berubah dengan adanya verifikasi
data – data di lapangan.
G.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 5 bab. Pertama adalah tentang
pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan juga
metodologi penelitian. Bab kedua tentang design kebijakan DBH CHT
Kabupaten Klaten tahun 2013 sampai tidak tepat sasarannya kebijakan dari
pemerintah daerah Kabupaten Klaten sebagai peran utamanya dalam
pembuat kebijakan bidang pertanian dan representasi pemerintahan pusat.
Bab ketiga menjelaskan implementasi atau output kebijakan DBH CHT di
47
Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London:
Sage Publication.
43
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten tahun 2013. Keempat adalah berisi
tentang faktor yang menghambat implementasi DBHCHT dan respon petani
dan asosiasi tentang implementasi kebijakan tembakau dari para Stakeholder
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Kelima adalah tentang kesimpulan
dari penelitian yang memiliki integrasi antar bab dari peneliti atas tema.
44
Download