BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PETANI tembakau di seluruh Indonesia kini tengah ‘galau’. Di tengah serbuan produk tembakau impor, mereka justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aksi protes yang isinya menolak PP nomor 109 tahun 2012 lantas muncul. Seluruh petani tembakau menolak kebijakan yang bakal membunuh usaha tembakau di Klaten. Sebenarnya berapa luas lahan tembakau di Klaten? Berdasarkan data Bidang Perkebunan dan Kehutanan Dinas Pertanian Klaten, untuk tembakau jenis rajangan luasnya mencapai 1.401,45 hektare pada tahun 2012 atau naik dari 1.325,25 pada tahun 2011. Kecamatan Manisrenggo merupakan wilayah terluas penghasil tembakau jenis rajangan dengan lahan mencapai 600,25 hektare. Sedangkan untuk tembakau jenis asepan, luas lahan di tahun 2012 mencapai 1.049 hektare. Naik dari 986,9 hektare pada tahun 2011. Kecamatan yang paling luas lahannya yang menanam tembakau asepan ada di Trucuk dengan 353 hektare. Dari keringat petani itu, Pemkab Klaten bisa memperoleh Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp 11,8 miliar pada tahun 2012. Dana tersebut dibagi di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), seperti Dinas Pertanian, Dinsosnakertrans hingga Bappermas. “Dari dana tersebut pemerintah dapat memberikan perbaikan jalan dan pelatihan – pelatihan kepada petani tembakau. Jika sampai petani tidak bersedia menanam tembakau, jelas pemerintah tidak akan mendapatkan pajak dari mereka. Sebab tidak akan ada pabrik rokok yang beroperasi,” kata Ketua APTIK, Kadarwati SH, beberapa waktu lalu.1 1 Sujatmiko Tomi, 2013. Lihat Detail www. KRjogja.com. Diunduh pada 10 – 05 - 2014. 1 Regulasi pengamanan zat adiktif produk tembakau tidak setara dengan kontribusi petani tembakau dalam memberikan DBH CHT. DBH CHT yaitu Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau merupakan tuntutan petani agar cukai tembakau dikembalikan kepada petani daerah. Pengembalian cukai mulai terealisasi pada tahun 2008 lewat Peraturan Menteri Keuangan no 84/PMK.07.2008 yang menjadi regulasi atas sasaran kebijakan dan bentuk kegiatan dari implementasi kebijakan DBH CHT di Pemerintah Daerah. Cukai tembakau telah memberikan pemasukan pada APBD Kabupaten maupun Provinsi tentu dengan jumlah tidak sedikit. DBH CHT setidaknya meringankan beban Pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani bahkan DBH CHT mampu membantu kebijakan lintas sektoral seperti perbaikan jalan padahal penggunaan implementasi kebijakan DBH CHT harus sesuai dengan regulasi. Implementasi kebijakan yang tidak sesuai peraturan akan merugikan petani. Petani tembakau tidak merasakan manfaat karena hambatan dalam implementasi kebijakan DBH CHT. Kebijakan pengembalian cukai pada petani tembakau di daerah seharusnya memenuhi ekspektasi karena meningkatkan kesejateraan petani. Peran negara sebagai pelaksana kebijakan sering mendapatkan evaluasi atas implementasi yang tidak tepat sasaran. Relasi petani dan pemerintah seharusnya dapat bersinergi untuk memberikan implementasi kebijakan secara efektif. 2 Pemerintah Daerah memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan ekonomi terutama persoalan permintaan dan penawaran tembakau. Lahan menjadi penghambat kemajuan hasil pertanian, sekarang justru lemahnya koordinasi antar Dinas yang menjadi tantangan bagi petani tembakau dalam memberikan kebijakan tata niaga tembakau. Dinas di Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten cenderung mematuhi Pemerintah Pusat daripada mentaati koordinasi dan situasi sosial ekonomi di grassroot. Persoalan klasik tentang tarik menarik kepentingan menimbulkan dampak yang sangat signifikan pada petani tembakau. Tembakau memberikan harapan pada petani Kabupaten Klaten untuk terus menjadi produk yang dapat dihandalkan setiap tahun.2 Tembakau juga sumber keuangan yang membuat kekuatan bisnis atau koorporasi dapat tetap hidup dalam berbagai kemajuan zaman dan dominannya perusahaan rokok terus menguntungkan dalam sisi bisnis, wajar ketika tembakau terus dimanfaatkan untuk kepentingan aktor. Dominasi tembakau juga pernah menjadi mata uang tidak resmi3 dibuktikan dengan perdagangan tembakau vorstenlanden saat masuk komoditas ekspor ke negara eropa seperti Jerman dan Swiss memberikan fakta bahwa negara selain tidak mampu membuat produk tembakau sendiri maka negara juga tidak bisa untuk meningkatkan kesejahteraan petani. 2 Sujatmiko Tomi, 2013. Lihat Detail www. KRjogja.com. Diunduh pada 10 – 05 - 2014. 3 Zulkifli, 2008. ““thank you For Smoking, cermin ironis bangsa : kemenangan rokok atas negara.” 3 Pemerintah Daerah termasuk Kabupaten Klaten sebenarnya memiliki dampak menguntungkan dari tata niaga tembakau di daerah mereka, karena pemasukan devisa maka DBH CHT pasti ikut meningkat sesuai produktifitas. Pemerintah Daerah juga memperoleh keuntungan yang berlipat dari proses tembakau sampai pada tembakau menjadi produk dan bermanfaat pada sisi medis. Negara seharusnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau lewat jaminan pasar dan efektifitas DBH CHT yang memang sebagai hak petani tembakau. Fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten tidak berjalan sehingga daya tawar tembakau dari kelompok petani juga rendah. Strategi Pemerintah Daerah menggunakan nilai local wisdom4 dapat menambah keakraban antar petani lewat berbagai cara seperti acara kemasyarakatan dalam perumusan kebijakan. Budaya wong cilik dan rokok serta tembakau telah meleburkan sekat dan jarak dalam sistem stratifikasi sosial saat ini5 sehingga Pemerintah Daerah bisa melibatkan seluruh petani tembakau lewat budaya musyawarah agar implementasi kebijakan dapat tepat sasaran dan transparan. Realisasi implementasi kebijakan DBH CHT saat ini tidak sesuai ekspektasi karena diskusi antar petani dan Pemerintah Daerah yang berjalan tidak memenuhi kebutuhan dari tata niaga tembakau seperti penyediaan gudang 4 Wisnu Brata, 2012. “Tembakau Atau Mati: Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan Seorang Petani Tembakau”. 5 Budi Imam Santosa, 2012. “Ngudud, Cara Orang Jawa Menikmati Hidup.” Yogyakarta, Manasuka. 4 tembakau yang masih minim untuk menampung hasil panen. Pola tata niaga tembakau yang menjadi tumpuan hajat hidup dari petani menjadi perhatian pemerintah karena ketika produk tembakau dari luar negeri tidak mendapatkan regulasi yang ketat saat masuk ke pasar Indonesia sedangkan petani tembakau di Indonesia malah mendapatkan regulasi ketat seperti pengendalian areal tembakau. Tugas Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten adalah dalam mengatur keseimbangan pasar dengan menciptakan sarana prasarana dan melengkapi regulasi tata niaga tembakau. Tujuan regulasi tata niaga tembakau tentu agar petani tidak berjuang dalam harga yang dipermainkan oleh aktor grider maupun sub grider yang memanipulasi harga pasar. Proses tata niaga tembakau di daerah setelah menjadi produk juga harus bersaing dengan perusahaan tembakau lain dalam proses promosi atau CSR. Produk tembakau memang sering muncul memberikan alternatif pembiayaan acara acara rakyat tertentu dalam anggaran pembiayaan untuk promosi.6 Pemerintah juga membiarkan petani lokal bersaing dengan produk asing yang memiliki kualitas sama atas produk tembakau tetapi berbeda intensitas iklan seharusnya Pemerintah Daerah dapat melindungi petani lokal sebagai pemberi DBH CHT. Persaingan produk tembakau asing dan import tembakau menjadi masalah serius bagi petani karena keterbatasan peran Pemerintah Pusat dan 6 Zulkifli, 2008. “thank you For Smoking, cermin ironis bangsa : kemenangan rokok atas negara.” 5 Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Dana cukai yang di kembalikan ke daerah seharusnya menjadi modal petani dalam mengembangkan produktifitas dan kualitas bahan baku tembakau. Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau pada tahun 2013 sebesar Rp. 14.806.290.000,- tidak mampu menjadi solusi atas kesejahteraan petani tembakau di Kabupaten Klaten. Kesejateraan petani sebenarnya bisa diusahakan lewat DBH CHT mengingat pengembalian cukai sebagai peningkatan kualitas bahan baku, akan tetapi DBH CHT dalam implementasinya tahun 2013 mendapatkan hambatan. Hambatan utama implementasi kebijakan DBH CHT terletak pada koordinasi SKPD karena terlalu memfokuskan orientasi uang dalam perencanaan sampai pelaksanaan implementasi kebijakan DBH CHT dan ditambah kontestasi Kementrian Kesehatan dalam planning 2020 Indonesia Sehat termasuk adanya intervensi asing atas kebijakan tembakau di Indonesia.7 Implementasi kebijakan DBH CHT yang berarti tidak dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau lokal karena ada faktor penghambat orientasi uang yang salah mulai dari perencanaan kebijakan dan kontestasi Dinas Kesehatan. Tata kelola Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau menjadi perhatian para kelompok petani dan asosiasi dalam mengawasi setiap implementasi kebijakan dari SKPD. Penelitian ini mengalisis relasi asosiasi, petani tembakau dan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten, serta usaha Pemerintah Daerah dalam mengelola 7 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 6 tata niaga tembakau, memberikan implementasi kebijakan DBH CHT yang tepat sasaran agar tidak merugikan petani. Hambatan implementasi kebijakan DBH CHT dan kontestasi Dinas Kesehatan di mulai dari tahun 2013, Kebijakan ambigu Pemerintah Daerah yang memberikan dampak lebih luas seperti saat Surat Edaran Bupati Tahun 2013 bertentangan dengan Undang – Undang Budidaya Tanaman No 22 Tahun 1999. Respon bermunculan atas peran Pemerintah Daerah yang semakin menyudutkan petani lokal lewat regulasi Surat Edaran Bupati karena seharusnya fungsi regulatori dapat di manfaatkan pada kepentingan petani dalam menciptakan stabilitas ekonomi. Regulasi tata niaga tembakau sebenarnya dapat menggunakan “Smart regulation”8 tetapi secara lebih sederhana regulasi diperlukan untuk mengatur stabilitas harga, jaminan pasar dan tentu prinsip transparansi di implementasi kebijakan DBH CHT dalam setiap SKPD. Studi kasus ini diharapkan dapat menambah ikatan kerjasama antar petani dan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten mulai dari proses perencanaan kebijakan sampai pada implementasi kebijakan cukai tembakau. Pelaksanaan implementasi kebijakan DBH CHT dalam SKPD tentu menyimpan kepentingan politis sebab menyangkut dana sebesar 14 Milyar 8 SMART Regulation berarti memperjelas dan menyederhanakan aturan regulasi, proses, dan pengungkapan. Atau “SMART Regulation means clarifies and simplifies regulatory rules, processes, and disclosures.” Dalam “Smart” berarti singkatan dari Standardized, Measurable, Actionable, Reliable,And Transparent. (Presentasi Tentang “Smart Regulation Task Force” Dari Data Transparency Coalition, September 11, 2012). 7 yang hanya di bagi menjadi 5 Dinas. Satuan Kerja Perangkat Daerah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten yang bertanggung jawab atas proses “policy implementation DBHCHT” adalah Dinsosnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Disperindakop (Dinas Perdagangan Industri dan Koperasi), Dispertan (Dinas Pertanian dan Peternakan), Bidang Perekonomian Kabupaten Klaten, dan Bapermas. Kepentingan politis berhubungan dengan relasi kuasa9 dari para aktor mulai perumusan kebijakan sampai implementasi kebijakan. Relasi antara aktor akan menimbulkan tawar menawar dalam proses kebijakan tanpa melibatkan sasaran kebijakan sehingga memberikan kerugian pada petani dan tidak memenuhi ekspektasi saat implementasi kebijakan. Koordinasi antar SKPD akan efektif menghasilkan regulasi atas tata niaga tembakau dapat memberikan solusi permasalahan dari feedback yang telah diberikan petani dan asosiasi. Peran dari Pemerintah Daerah yang kurang optimal dilihat saat kurangnya fasilitasi dan bahkan pernah memberikan dana DBH CHT pada Dinas Kesehatan yang tidak mendukung produk tembakau. 9 Relasi kuasa merupakan Hubungan kekuasaan yang menurut Weber disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara apa yang oleh Leon Daguit disebut “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes). ( Poelinggomang, 2004 : 138 ). 8 Penelitian lapangan pada 2013 membuktikan adanya proses apatis Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten saat fase pasca panen tembakau. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten lebih memilih memungut pendapatan dari gudang perusahaan daripada mendirikan gudang sendiri. Proses pasca panen tentu menjadi ironi ketika stakeholder seharusnya dapat memberikan gudang untuk melindungi hasil panen petani tembakau atau paling tidak ada regulasi yang mengatur tentang tata niaga tembakau. Kewenangan Pemerintah Daerah sesuai tuntutan petani tentu SKPD dapat mengelola dan menciptakan situasi pasar yang kondusif untuk mengendalikan pemintaan dan penawaran. Pengendalian permintaan dan penawaran membuat Pemerintah Daerah menjalin sistem kemitraan dengan grider atau sub grider tembakau jenis asepan, tembakau jenis rajangan dan vorstenlanden. Perusahaan kemitraan asepan dan rajangan seperti PT. Alliance One dan PT. Sadana.10 Perusahaan kemitraan Pemerintah Daerah dalam bidang tata niaga tembakau vorstenlanden tentu BUMN PTPN X sub unit Klaten. PTPN X sub unit Klaten dalam kerjasama kemitraan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten hanya mengatur kebun pertaniannya sendiri lewat “sistem sewa lahan” dari masyarakat. PTPN X Sub Unit Klaten hanya cabang dan menjalankan keputusan dari PTPN X pusat di Surabaya yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten lewat klausul 10 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 9 tertutup. Perhitungan cukai PTPN X sub unit Klaten akan di berikan saat akhir produksi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dan di proses lewat kantor pusatnya di Surabaya. Cukai tidak dikenakan saat tembakau belum dikemas atau masih dalam lembaran daun sebelum menjadi hasil produksi. Penelitian juga akan memberikan keterangan relasi antara petani, PTPN X sub unit Klaten, dan proses kemitraan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Profil dari perusahaan PTPN bahwa didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I No.15 Tanggal 14 Februari Tahun 1996 tentang pengalihan bentuk Badan Usaha Milik Negara dari PT Perkebunan (Eks.PTP 19, Eks.PTP 21-22 dan Eks.PTP 27) yang dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara X (Persero) dan tertuang dalam akte Notaris Harun Kamil, SH No.43 tanggal 11 Maret 1996 yang mengalami Perubahan kembali sesuai Akte Notaris Sri Eliana Tjahjoharto, SH. No. 1 tanggal 2 Desember 2011.11 Kerjasama kemitraan diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tata niaga tembakau di Klaten sehingga implementasi DBH CHT harus dapat terlaksana walaupun terdapat kontestasi Dinas Kesehatan di dalam implementasi DBH CHT. Kontestasi Dinas Kesehatan menjadi gangguan implementasi kebijakan DBH CHT paling signifikan yaitu pada planning kebijakan 2020 Indonesia Sehat karena menjadi acuan kebijakan setiap SKPD menjalankan implementasi kebijakan DBHCHT. Conflict value yang terjadi dalam Dinas Perindustrian dengan Dinas Kesehatan memberikan implikasi pada 11 Ptpn10.com. lihat detail www.ptpn10.com. Diunduh pada 12 – 04 – 2013 10 implementasi DBH CHT. Friksi antara permasalahan kesehatan dan ekonomi membuat SKPD penerima DBH CHT tidak dapat konsisten pada penerapan kualitas bahan baku untuk petani tembakau. Keterlibatan Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (GAPRI) memanaskan isu bahwa Rancangan Undang – Undang Pertembakauan adalah pesanan industri rokok. Petani sekarang menjadi “korban opini” karena tembakau dilemahkan lewat mekanisme pasar maka GAPRI juga ikut terlibat untuk memfasilitasi petani dalam persaingan perdagangan tanpa kehadiran peran negara. Fragmen positif atas produk tembakau telah di geser beberapa pihak menjadi opini negatif lewat bahaya rokok pada konsumen. Penelitian ini lebih konsen pada permasalahan ekonomi saat proses implementasi DBH CHT berjalan. Conflict value antara kesehatan dan perekonomian petani menjadi tidak seimbang saat Dinas Kesehatan di pergunakan sebagai “alat” dari intervensi asing.12 Roadmap 2020 Indonesia Sehat menjadi bukti kebijakan dengan intervensi asing. Ratifikasi FCTC adalah salah satu produk dari planing kebijakan Indonesia sehat yang hanya melihat pengendalian tembakau sebagai bentuk peran Pemerintah mengendalikan bahaya asap rokok tanpa peduli kepada petani tembakau yang telah memberikan pemasukan cukai ratusan trilyun dan DBH CHT di APBN sampai APBD. 12 Wawancara dengan Bapak Himawan, Kepala Sub Bidang Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Klaten 11 Intervensi asing telah tertuang dalam kebijakan Pemerintahan pusat yaitu roadmap 2020 Indonesia Sehat apalagi diperkuat oleh kontestasi Kementrian Kesehatan penerima dana bloomberg.13 Sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten harus menjalankan sistem dan setiap aktor di SKPD menyesuaikan roadmap. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten maka tidak dapat konsisten menjalankan perannya secara jelas dan masih terlihat semu saat implementasi DBH CHT apalagi kesalahan cara berpikir yang menggunakan orientasi uang dalam mengukur keberhasilan kinerja. Realisasi keuangan, realisasi fisik dan respon petani seharusnya menjadi skala SKPD mengukur keberhasilan implementasi kebijakan di petani tembakau. Bantuan asing14 dan modal ini tentu akan memberikan pengaruh pada kebijakan, terutama kebijakan sektor pertanian dan sektor strategis seperti, dana asing yang mempengaruhi kebijakan peraturan tentang penolakan kretek terkandung zat adiktif yang paling mematikan. Bloomberg initiave bahkan telah mampu “menyuap” beberapa LSM dan pihak anti rokok untuk mendukung ratifikasi FCTC, kampanye anti rokok serta memberikan fatwa haram pada produk tembakau tentu tujuannya agar semua perokok memanfaatkan obat terapi atas nikotin yang telah dipasarkan oleh Blommberg.15 Ratifikasi FCTC tidak benar karena berpendapat petani menghasilkan 1 juta setiap bulan padahal petani tembakau telah 13 Data penerima dana bloomberg initiave dari APTI DPC Klaten. http://komunitaskretek.or.id/forum/showthread.php?tid=19, di unduh pada 16 – 11 - 2014 15 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten 12 14 berpenghasilan lebih dari 1 juta dan lebih penting menjaga warisan budaya. Petani berpendapatan dari tembakau rata rata adalah 6 sampai 7 juta per patok setiap tahun, pada umumnya petani menyewa lahan 5 sampai 6 patok.16 Misi anti kretek atau anti tembakau jika dilihat secara kepentingan maka hanya rangkaian intervensi politik. Intervensi politik terlihat dalam menguasai pasar tembakau yang potensial dan mengambil alih perdagangan. Stigma atas tembakau membuat mati hanya mengubah persepsi masyarakat agar beralih mengobati kecanduan atas nikotin dan peran koorporasi asing masuk memberikan obat padahal tembakau telah banyak penelitian dapat mengobati penyakit lewat terapi. Pihak anti kretek harus mengetahui temuan tentang sisi positif tembakau adalah tembakau digunakan sebagai bahan pengobatan dari partikel nano tenaman tembakau yang telah ditemukan oleh ketua IDI Malang, dr. Subagyo.17 Negara saat hanya memikirkan kesehatan sehingga perusahaan asing dapat membeli perdagangan dan mengambil alih keuntungan tembakau yang cukup potensial. Gagasan utama adalah jangan hanya memikirkan kesehatan akan tetapi seluruh sektor terutama sosial ekonomi apalagi pendapatan negara atas cukai lewat tata niaga tembakau. Kesehatan 16 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 17 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 13 hanya satu aspek dan dapat solusi atas pengurangan kadar nikotin di produk tembakau. Koordinasi dukungan terhadap anti kretek juga dikuatkan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM di Indonesia selain oleh Dinas Kesehatan.18 LSM yang mendukung program anti kretek telah “disuap” dana Bloomberg initiave demi suksesnya promosi “penghancuran petani tembakau”, bahkan fatwa agama sampai harus di keluarkan dalam menaggulangi persebaran produk tembakau. Dinas Kesehatan juga menerima dana luar negeri tersebut untuk kampanye anti rokok. Dana luar negeri tersebut berasal dari “kompromi atas koorporasi” asing Bloomberg Initiave, perusahaan farmasi di Amerika Serikat. Peraturan Pemerintah tentang kesehatan yang sudah di terapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) sangat timpang karena seharusnya hanya mengatur rokok terkait dengan kesehatan, bukan soal perdagangan dan perindustrian tembakau.19 Acara Pro tembakau terus di lakukan karena ada muatan politis pada hubungan internasional kepada indonesia terletak pada Undang – Undang Kesehatan. Persoalan tata niaga tembakau tidak dapat di regulasi hanya dengan Peraturan Pemerintah no 109 tahun 2012 karena malah mengatur tentang industri rokok dan pembatasan produktifitas tembakau terlebih pada bahaya asap bukan pada permasalahan kesehatan. 18 http://komunitaskretek.or.id/forum/showthread.php?tid=19, diunduh pada 16 – 11 - 2014 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 14 19 Petani sangat kecewa karena ironi ketika Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten juga menerima dana DBH CHT berasal dari cukai tembakau padahal mereka menolak produk tembakau.20 Pembuatan Peraturan Pemerintah dalam Kesehatan tentang tembakau seharusnya bekerjasama dengan Departemen lain serta koordinasi agar tidak terjadi ketimpangan peran antara Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian juga elemen petani sebagai obyek kebijakan. Intervensi luar negeri seharusnya memberikan pada pemerintah kesadaran bahwa hanya strategi bangsa luar masuk dalam bisnis tembakau. Akuisisi Philip Morris juga terdapat suatu kejanggalan apabila lahan tembakau dibatasi kenapa perusahaan asing “mengambil alih perdagangan” produk tembakau. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten sadar dan sekarang sudah memperketat industri tembakau skala besar masuk jadi hanya ada satu broker yaitu PT. Duga yang masih beroperasi dan kerjasama dengan PT. Sampoerna.21 Kontrol dan himbauan yang dilakukan oleh Departemen kesehatan karena kandungan nikotin yang menjadi titik pro kontra dalam medis dan tentu sangat mengganggu karena memberikan dampak dalam perdagangan pertanian tembakau di daerah sentra tembakau. Pembatasan tembakau menjadi beban tambahan bagi petani setelah roadmap 2020 di terapkan, 20 Wawancara dengan Kelompok Petani Desa Jatipuro, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Wawancara dengan Bapak Sinung Nugroho, Kepala Bidang Perindustrian, Disperindakop, Kabupaten Klaten. 15 21 terlebih permintaan yang besar pada tembakau karena inelastisitas harga dan memiliki daya tawar tinggi pada nilai ekspor menambah pendapatan negara maupun daerah dan pertumbuhan ekonomi lewat cukai. Permintaan tinggi pertanian tembakau sebenarnya terganggu inkonsistensi SKPD dan kontestasi Dinas Kesehatan. Orientasi uang menjadi hambatan paling besar saat perencanaan buruk pada implementasi kebijakan DBH CHT tahun 2013 sehingga inkonsistensi SKPD membuat dana keluar tetapi tidak tepat sasaran. Orientasi uang yang direalisasikan dalam kebijakan memang mempunyai dampak pada formulasi anggaran DBH CHT untuk Kabupaten / Kota tahun anggaran berikutnya tetapi permasalahan implementasi kebijakan seperti tepat sasaran harus menjadi fokus utama stakeholder. Orientasi uang ditambah dengan lemahnya sanksi penyalahgunaan yang hanya sanksi administratif juga seringkali membuat aspek tranparansi berkurang saat perencanaan kebijakan sampai implementasi kebijakan. Transparansi menjadi isu petani dan asosiasi agar implementasi kebijakan DBH CHT dapat berjalan efektif dan tepat administrasi sehingga sesuai aspek akuntabilitas. Peran negara akan membuat dampak signifikan, lewat efisiensi dan penataan yang perlu segera di lakukan terhadap berbagai sektor ekonomi, khususnya industri yang berhubungan dengan sumber daya alam.22 Efisiensi 22 Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”. 16 dan penataan pada sumber daya alam (SDA), akan memberikan suatu aturan atau regulasi pada Grider dan Sub Grider tembakau sesuai Peraturan Menteri Keuangan. Proses implementasi kebijakan DBH CHT setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus mampu memberikan fungsi fasilitasi pembinaan industri tembakau agar mampu mengukur tingkat pendapatan petani dan buruh yang terserap dalam tata niaga tembakau. Tata niaga tembakau tidak lepas dari peran industri seperti Grider dan Sub Grider lewat permintaan dan penawaran dari pasar tembakau yang berpengaruh pada harga. Peran Grider dan Sub grider potensial sebagai perantara dari kebutuhan pasar tembakau. Perusahaan di sistem pasar membutuhkan modal yang cukup untuk menyerap bahan baku tembakau. Modal perusahaan juga diperlukan dalam menjalankan proses produksi dan distribusi untuk bersaing dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang produk tembakau. Kontrol dan pengawasan dari negara sangat diperlukan untuk membuat ketegasan pada pihak industri tembakau sesuai dengan aturan yang berlaku apalagi dalam negosiasi harga dengan petani. Rantai tata niaga tembakau menjadi sangat sentral saat Grider dan Sub Grider di daerah Kabupaten Klaten menjalin kemitraan dengan petani tembakau lokal yang memang tidak memiliki daya tawar lemah tanpa fasilitasi regulasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. 17 Industri saat ini bukan lagi terbangun atas permintaan yang di tentukan oleh negara, tetapi di bentuk oleh keinginan dan kebutuhan melayani pasar yang atraktif.23 Pasar tembakau yang ditanam pada wilayah Klaten, Jawa Tengah terdapat beberapa level mulai dari tembakau untuk level rokok kualitas virginia atau cigarette, sampai terdapat tembakau kualitas ekspor yaitu tembakau vorstenlanden untuk melayani pasar ekspor ke Jerman dan Swiss di kelola dengan kemitraan bersama PTPN X Sub Unit Klaten. Perbedaan kualitas dan mutu tembakau ini yang membuat harga dari petani tembakau dapat dihargai berbeda – beda.24 Jenis tembakau yang paling banyak menjadi komoditas petani lokal di Klaten adalah tembakau asepan dan juga tembakau rajangan. Tembakau rajangan dan asepan masih terbagi dalam beberapa jenis. Petani memiliki preferensi atas pilihan jenis tembakau berdasarkan kemudahan pupuk dan masa panen, serta keuntungan yang didapatkan. Kebutuhan petani seperti pupuk bersubsidi membutuhkan peran sentral dari stakeholder seperti Dinas Pertanian Kabupaten Klaten saat melakukan proses distribusi ke petani. Keadaan pengawasan dan kontrol yang lemah sektor pertanian ini menjadi ironi saat Pemerintah Daerah tidak dapat menerapkan langkah proteksi petani atas penjualan tembakau lewat mekanisme pasar dan memberikan jaminan pasar. Penjualan produksi tembakau ke pihak Grider 23 Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”. Wisnu Brata, 2012. “Tembakau Atau Mati: Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan Seorang Petani Tembakau” 24 18 atau pabrik seharusnya di regulasi oleh Stakeholder. Hakikatnya petani tembakau telah berkontribusi pada negara, yaitu minimal dalam usaha peningkatan produksi tembakau sehingga peningkatan kualitas bahan baku sesuai ketentuan DBH CHT juga harus di terapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dengan implementasi kebijakan. Petani telah mandiri lewat implemetasi kebijakan DBH CHT dan tidak lagi menjadi beban negara. Mekanisme pasar telah melemahkan peran Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten karena mulai tergantikan oleh “invisible hand” dan ekonomi pasar yang menghindari intervensi dari negara. Mekanisme perdagangan di pimpin oleh “invisible hand” untuk mendapatkan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakatnya dan equilibrium akan tercapai berdasarkan prinsip ekonomi pasar.25 Realita grassroot bahwa peran oleh negara hanya berusaha mengejar target pendapatan cukai yang telah di berikan angka tertentu dari Pemerintah Pusat sehingga stakeholder tidak fokus saat implementasi kebijakan dan dalam upaya peningkatan kualitas bahan baku tembakau tetapi hanya memikirkan zona aman atau “Safety Zone” pendapatan cukai. Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten konsen pada aturan yang di arahkan untuk memilih melakukan pengawasan cukai yang di atur sebagai salah satu kebijakan DBH CHT. Stigma petani tembakau bahwa langkah yang di gunakan negara untuk fokus pada pengawasan cukai produksi tembakau 25 Siregar, 1999. “Demokratisasi & Ekonomi Pasar”. 19 memperlihatkan ketegasan negara tetapi di sisi lain terdapat ketidakmampuan Pemerintah Daerah menaikkan daya tawar petani lewat fasilitasi dalam implementasi kebijakan DBH CHT. Pelaksanaan dari fungsi fasilitasi meningkatkan daya tawar petani tentu dengan jaminan pasar tembakau yang jelas. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten sebagai representasi Pemerintahan Pusat jarang memberikan inovasi terhadap implementasi kebijakan DBH CHT. Kebijakan pada pertanian tembakau nyatanya memberikan dana yang tidak sedikit pada pemerintah daerah Klaten lewat cukai. Petani menjadi pihak yang paling di rugikan maka ketika ada Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan kelompok petani memberikan harapan saat pengawasan implementasi kebijakan di implementasikan oleh stakeholder. APTI saat ini telah bekerjasama dengan 10 pakar pakar dari Hukum dan Ekonomi ini di telah membuat regulasi tentang tembakau.26 Regulasi ini akan di uji di DPR untuk di dapatkan Undang – Undang Pertembakauan dari mulai bibit sampai regulasi produksi, perdagangan, industri dan cukai. Langkah pembuatan regulasi atas pertembakauan masih dalam proses. Pendapat dari ahli yaitu Fahmi Indris tentang rancangan Undang – Undang Pertembakauan, Inti utama tentang masalah tembakau adalah ironi rokok menjadi penyebab kematian padahal manusia juga memakan makanan instan setiap hari, sehingga ada penyebab kematian yang lebih kuat di bandingkan rokok maka 26 Wawancara dengan Kelompok Petani Desa Jatipuro, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. 20 ada kepentingan politis terkandung di angka pendapatan perdagangan.27 Perdagangan tembakau sangat potensial merusak pangsa pasar rokok putih di negara Amerika. Petani melihat potensi realisasi sebesar Rp 86,65 triliun tersebut, penerimaan cukai menjadi penyumbang terbesar, yaitu Rp 61,22 triliun, diikuti bea masuk Rp 17,36 triliun dan bea keluar Rp 8,07 triliun. Penerimaan cukai setiap tahun lebih banyak di sumbangkan oleh cukai hasil tembakau, sebesar Rp 58,75 triliun. Di ikuti cukai minuman mengandung etil alkohol Rp 2,36 triliun dan cukai etil alkohol Rp 890 miliar dari total penerimaan Rp 61,22 triliun.28 Percaturan perdagangan tembakau membuat semua aktor tata niaga ingin menguasai lewat cara konstitusi maupun proses mempertahankan petani tembakau yang tidak ada dalam lingkaran kebijakan. Petani juga mendukung kebijakan dan keputusan politis akibat Potensial dari adanya pasar tembakau karena pendapatan rokok adalah nomor 2 setelah migas, sehingga sampai terjadi sidang tentang Undang – Undang Kesehatan Rokok sampai 12 kali di Mahkamah Konstitusi.29 Regulasi memberikan keuntungan dan peningkatan daya tawar petani tembakau saat mengelola rantai 27 Wawancara dengan Bapak Himawan, Kepala Sub Bidang Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Klaten. 28 29 komunitaskretek.or.id, di unduh pada 20 – 10 – 2014. Wawancara dengan Bapak Suhardi, Kepala Seksi Pelayanan Konsumen, Disperindakop Kabupaten Klaten. 21 ekonomi perdagangan. Regulasi perlu dibuat karena belum ada Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Pemerintah tentang perdagangan rokok. Peraturan Pemerintah tentang kesehatan saat diterbitkan maka kelompok pembela kretek termasuk APTI melakukan gugatan ke MK sampai proses 12 kali sidang. Pembiayaan dari 12 kali sidang dan akomodasi para pembela kretek dari Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (GAPRI).30 Tahun 2008 terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penggunaan Hasil Cukai dalam meningkatkan Produksi tembakau. Realita pelaksanaan Permenkeu di implementasikan dalam DBH CHT dan penerapan kebijakan DBH CHT mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk pelatihan sampai di kritik petani. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten seharusnya melakukan respon untuk mempercepat perbaikan implementasi kebijakan DBH CHT yang terhambat yang dilihat dari kurangnya kesejateraan petani yang semakin tidak diperhatikan lewat ketidakhadiran negara dan intervensi asing di setiap proses kebijakan. Koordinasi petani juga berusaha memberikan umpan balik atas implementasi kebijakan. APTI sebagai representasi kelompok petani dapat melakukan kontrol pada implementasi kebijakan tembakau seharusnya mampu membuat petani sejahtera. Kelemahan tata niaga tembakau pada implementasi kebijakan tembakau akan memberikan dampak negatif masyarakat petani di sebabkan terus – 30 Wawancara dengan Mbah Suwarno, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPC Klaten. 22 menerus tidak sesuai dari harapan mereka pada harga tembakau dan harus mencari jalan sendiri untuk kemitraan. Harga tembakau yang menjadi permainan oleh pihak Grider atau Sub Grider telah sedikit diperbaiki lewat akomodasi tuntutan asosiasi petani oleh perusahaan seperti harga online di beberapa gudang untuk mengurangi kecurangan dari gudang. Dampak mekanisme pasar maka petani menggunakan mekanik daripada buruh tembakau untuk mengurangi kerugian saat pasca panen tembakau. Implementasi kebijakan DBH CHT yang tidak tepat sasaran pada petani tembakau lokal maka Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten seharusnya dapat melengkapi kebutuhan saat proses tata niaga tembakau lewat infrastuktur, sarana prasarana dan regulasi dalam peningkatan produktifitas tembakau di setiap daerah penghasil tembakau. 23 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana implementasi kebijakan DBH CHT Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2013 ? 2. Mengapa implementasi kebijakan DBH CHT Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2013 gagal ? C. Tujuan penelitian 1. Menjelaskan peran dan fungsi Pemerintah Daerah Klaten dalam proses implementasi kebijakan tembakau sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan DBH CHT. 2. Menjelaskan indikator konsep “policy implementation” dari Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. 3. Mengetahui respon dari kelompok petani, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) terhadap langkah dan konsep “policy implementation” dari Pemerintah Daerah Klaten. 24 D. KERANGKA TEORI D.1 Aktor dan Content of policy in Implementation Implementasi kebijakan perlu dilihat menggunakan karakter model top down atau model bottom up, model top down akan menguntungkan pada sebuah situasi dimana para pembuat pembuat kebijakan mampu mengatur dan mengontrol situasi, dan dana yang terbatas. Model bottom up, menguntungkan pada situasi dimana pelaksana kebijakan mempunyai kebebasan melakukan inovasi tanpa ada intervensi atau dependensi kekuasaan dengan melihat situasi maupun dinamika daerah atau lingkungan kebijakan yang berbeda dari segi sosial politik dan ekonomi. Secara lebih rinci bahwa model top down menekankan pada tanggung jawab sedangkan model bottom up menekankan pada kepercayaan.31 Penelitian ini menggunakan model top down, brarti tanggung jawab dari implementator lebih ditekankan saat dana yang terbatas mampu untuk di wujudkan dengan program kebijakan sesuai dengan kebutuhan sasaran kebijakan. Sasaran kebijakan lalu akan memberikan feedback atas kinerja yang dilakukan oleh implementator. Kebijakan model top down kemudian ditransformasikan dalam perencanaan, apakah sesuai dengan agenda atau tidak. Agenda akan menyesuaikan dana dengan kebutuhan sasaran kebijakan apabila seimbang 31 Lane, Jan Erick, 1995, The Public Sector : Concepts, Models, and Approaches, London : Sage Publications. 25 maka akan dilanjutkan dalam kebijakan. Kebijakan selanjutnya ditranformasikan dalam program aksi, sehingga implementasi kebijakan belum tentu lancar karena tergantung pada proses program aksi dan kualitas dari pelaksana implementasi kebijakan. Grindle membagi dua atas faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu content of policy dan context of policy.32 Content of policy dan context of policy mempunyai program aksi yang berbeda dalam melihat implementasi kebijakan. Faktor program aksi ini sangat berpengaruh saat implementasi dijalankan karena menyangkut soal kepentingan atas kebijakan dan indikator lain dalam melihat tujuan implementasi dapat tercapai sesuai dengan pencapaian hasil akhir atau outcomes. Context of policy mempunyai langkah atau step penentuan instrumen program aksi secara konteks kebijakan dapat dilihat dari pertama, Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Kedua, Lembaga dan rezim karakteristik. Ketiga, Kepatuhan dan responsif.33 Step pertama program aksi “context of policy” bahwa Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat di perlukan sebagai alat legitimasi dalam menentukan pencapaian akhir implementasi kebijakan serta pembuatan kebijakan dan pemetaan kebijakan. Konsolidasi merupakan alat agar kebijakan lebih terstruktur antar stakeholder untuk memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan demi keberhasilan implementasi. 32 33 Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world. Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world. 26 Faktor kedua yang berpengaruh pada context of policy adalah lembaga dan rezim karakteristik. Lingkungan menjadi sentral saat lembaga dan rezim melakukan proses implementasi kebijakan. Situasi dan kondisi pada saat rezim berkuasa menjadi sangat berpengaruh pada implementasi kebijakan karena dapat mempengaruhi birokrasi dan mengubah pola kebijakan pada lembaga atau rezim sebelumnya saat melakukan program aksi untuk implementasi kebijakan. Faktor terakhir yang mempengaruhi dalam context of policy adalah kepatuhan dan responsif. Pelaksana implementasi kebijakan tentu sangat berpengaruh dalam kualitas kebijakan yang dikeluarkan maupun sampai pada tanggung jawab saat program yang diimplementasikan tidak tepat sasaran di sasaran kebijakan. Umpan balik juga akan mempengaruhi kebijakan maka dapat cepat di respon oleh implementator kebijakan sehingga dapat diperbaiki dalam proses implementasinya. Content of policy juga mempunyai program aksi yang berbeda dalam melihat faktor yang mempengaruhi implementasi. Faktor yang mempengaruhi implementasi antara lain : kepentingan yang mempengaruhi, jenis tipe manfaat yang diperoleh, derajad perubahan yang diinginkan, kedudukan dan posisi pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, sumberdaya yang dikerahkan.34 Penelitian ini menggunakan content of policy dalam melihat implementasi kebijakan karena selain melihat kepetingan 34 Ibid. 27 didalam kebijakan tentu juga perlu mengetahui kualitas dan kapasitas dari implementator melaksanakan kebijakan. Faktor pertama dalam content of policy, kepentingan yang mempengaruhi brarti semakin banyak kepentingan bermain dalam kebijakan maka akan lebih sulit melakukan implementasi kebijakan.35 Kebijakan pasti melibatkan banyak pihak untuk sampai pada keberhasilan kebijakan dari mulai proses perencanaan sampai pada proses implementasi kebijakan dan pihak yang dilibatkan tentu memiliki kepentingan yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor jenis tipe manfaat yang diperoleh sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Manfaat yang diperoleh dapat dilihat saat kebijakan dapat memberikan manfaat aktual dan dapat dirasakan oleh sasaran kebijakan, jadi bukan hanya bersifat formal dan simbolis dengan tujuan lebih mudah untuk diimplementasikan. Faktor manfaat yang diperoleh juga harus sesuai dengan realita tidak hasil manipulasi data saat implementasi kebijakan tidak tepat sasaran. Ketiga, derajad perubahan yang diinginkan menjadi faktor berpengaruh pada proses implementasi saat setiap kebijakan ada target yang ingin di capai atau outcomes. Content of policy memberikan penjelasan bahwa sejauh mana perubahan dapat bermanfaat bagi sasaran kebijakan. Skala yang jelas juga menjadi acuan bahwa memang terdapat perubahan dan 35 Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world. 28 keberhasilan kebijakan dengan adanya implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh stakeholder. Faktor keempat adalah kedudukan atau posisi pembuat kebijakan yang esensinya bahwa pengambilan keputusan sangat berpengaruh pada implementasi kebijakan. Pengambilan kebijakan akan memperhatikan keterbatasan dana dengan program yang diimplementasikan. Stakeholder juga akan membagi tugas tentang keputusan program kebijakan apakah sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan untuk dilakukan suatu implementasikan kepada sasaran kebijakan. Faktor kelima dalam content of policy adalah pelaksana program. Pelaksana program harus mempunyai kualifikasi dan kapasitas yang memadai. Kapasitas sumber daya manusia yang tidak memadai maka akan terjadi implementasi kebijakan karena tidak sesuai dengan ekspetasi dan kebutuhan dari penerima kebijakan. Pelaksana program juga harus mampu untuk melakukan konsolidasi antar stakeholder untuk menghindari ketimpangan implementasi kebijakan. Pelaksana kebijakan juga harus memiliki kedekatan dengan sasaran kebijakan dan memiliki tanggung jawab dan sisi transparansi dalam melakukan kebijakan. Faktor dalam content of policy yang terakhir adalah sumber daya yang dikerahkan. Sumber daya manusia tentu berpengaruh pada keberhasilan implementasi kebijakan. Manajemen dari sumber daya manusia apakah sudah memadai untuk melakukan perencanaan sampai implementasi 29 kebijakan. Pelaksanaan implementasi kebijakan harus didukung dengan sumber daya manusia. Sumberdaya yang digunakan akan sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan proses mulai dari “policy” menjadi program dan program menjadi “outcomes” atau hasil.36 Peran implementasi kebijakan adalah untuk membangun link yang memungkinkan tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah sebagai bentuk responsiveness agar tidak menjadi multi tafsir. Pembagian implementasi kebijakan kekuasaan dalam politik37 masyarakat. juga mempengaruhi Negosiasi implementasi Kebijakan38 diperlukan dalam setiap proses kebijakan dan program aksi untuk menyesuaikan kebutuhan implementasi kebijakan. Fase kebijakan dari grindle selanjutnya menjadi acuan untuk melihat stakeholder dalam melakukan perencanaan sampai pada keberhasilan implementasi kebijakan. 36 37 38 Grindle, Merille S, 1980. “Politics and Policy Implemetation in the third world. Ibid. Ibid. 30 31 Fase stages model of policy making meneliti tentang penyelesaian isu dari permasalahan kebijakan. Isu akan di mulai dari rangkaian agenda phase yaitu di bagi menjadi On Agenda dan Not On Agenda, On Agenda berarti sesuai dengan perencanaan kebijakan sesuai dengan yang dibutuhkan penerima kebijakan dan dana yang dikeluarkan. Kepentingan dari aktor yang terlibat sangat berpengaruh pada kebijakan. Fase perencanaan kebijakan juga harus memikirkan bahwa implementasi nanti akan mempunyai manfaat dengan indikator atau skala yang jelas. Perencanaan ketika Not On Agenda berarti harus melakukan revisi sebagai suatu langkah penyempurnaan atas perencanaan saat proses DBH CHT berjalan. Perencanaan biasanya tidak sesuai agenda saat perencanaan kurang bermanfaat dan anggaran yang terbatas serta manajemen birokrasi belum memadai. Proses agenda menjadi sangat sentral saat stakeholder berusaha berdiskusi dengan obyek sasaran kebijakan. Fase Policy implementation akan berjalan setelah On agenda dan lanjut pada decision phase yaitu terdapat kebijakan untuk melakukan perubahan dan kebijakan untuk melawan perbaikan. Decision For Reform bersifat menambahkan kebijakan dan melakukan inovasi kebijakan dari implementasi sebelumnya yang terhambat maupun tidak berkembang karena keterbatasan ide. Decision Aganist reform tentu artinya bergerak melawan perbaikan di pengambilan kebijakan sehingga tidak ada kebijakan 32 yang baru untuk diimplementasikan. Kebijakan melawan perubahan karena berarti akan mengalami evaluasi sehingga diulang pada fase perencanaan. Proses Decision for reform akan dilanjutkan pada proses implementation phase untuk menerapkan kebijakan di lapangan dan diterima tepat sasaran. Implementation phase terdapat dua hasil yaitu succesful implementation dan unsecceful implementation. Succesful implementation berarti saat dapat melakukan realisasi keuangan 100 % dan telah berhasil mencapai realisasi fisik 100 % dengan tepat sasaran. Indikator lain dalam menilai keberhasilan implementasi kebijakan adalah feedback dari penerima kebijakan. Succesful implementation secara konten implementasi akan dianggap berhasil ketika faktor atau variabel implementasi dapat berjalan lancar sesuai harapan. Unsuccesful implementation berarti tidak dapat terlaksana atau tidak tepat sasaran, realisasi keuangan dan realisasi keuangan tidak 100 % jadi bisa unsuccesful implementation karena alasan seperti alokasi anggaran yang minim dan miss komunikasi sampai pada keterlibatan penerima kebijakan yang minim serta kesalahan teknis sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan. Faktor dalam content of policy dapat melihat kelemahan dalam implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan yang tidak dapat terealisasi karena memang kegiatan tidak sesuai dengan ketentuan atau regulasi kebijakan sehingga terkena evaluasi dan tidak dapat diimplementasikan. Stakeholder pasti memiliki suatu pencapaian akhir atau outcomes dan itu menjadi skala keberhasilan implementasi. 33 Outcomes bisa tercipta lewat program aksi yang terencana sesuai dengan ekspektasi sasaran kebijakan. Kekurangan kebijakan juga akan di berikan feedback agar dapat melakukan revisi pada lemahnya kebijakan. Fase stages model of policy making yang dapat sampai pada succesful implementation sehingga kegiatan dari program kebijakan bisa dikatakan tepat guna dan tepat sasaran. Evaluasi kebijakan juga perlu ditekankan saat policy of implementation, karena umumnya kebijakan terdapat kegagalan di proses implementasi karena keterbatasan dana, keterlibatan penerima kebijakan yang masih minim, manajemen dan SDM yang masih rendah. Evaluasi juga bisa dikenakan saat program kebijakan tidak sesuai dengan ketentuan regulasi, sehingga evaluasi juga ditujukan untuk melihat sebab akibat dari kegagalan implementasi. Manfaat dan keberhasilan dari implementasi kebijakan juga bisa dinilai dengan adanya evaluasi kebijakan. Kebijakan seharusnya dievaluasi ketika tidak sesuai kebutuhan penerima kebijakan saat implementasi. Rangkaian fase program aksi pada implementasi kebijakan tembakau di bagi menjadi 3 bagian yaitu pra program aksi policy implementation, fase program aksi di lakukan, dan fase post policy implementation. Fase pra program aksi yaitu mengkategorikan permasalahan dan solusi kebijakan atas kondisi di lapangan serta memberikan pemetaan regulasi apa yang akan di berikan. Fase program aksi yaitu implementasi kebijakan sesuai dengan 34 ketentuan regulasi dan sesuai dengan kebutuhan. Konsolidasi stakeholder juga diperlukan saat melakukan implementasi kebijakan. Fase terakhir dari post program aksi adalah adanya proses advokasi dari tuntutan penerima kebijakan. Proses advokasi ini juga nantinya harus di sertai dialog antara pelaksana kebijakan dengan sasaran kebijakan. Kesimpulan dari dialog akan menjadi umpan balik bagi stakeholder untuk di jadikan kebijakan yang baru atau untuk merubah kebijakan yang kurang tepat, sehingga tahun selanjutnya penerima kebijakan dapat mendapatkan kebijakan sesuai dengan harapan. Penelitian ini berpusat pada teori grindle tentang policy implementation tetapi juga diberikan teori pelengkap seperti the role of power dari gramae gill karena memberikan pola dari keterlambatan negara dalam memberikan implementasi sehingga dapat melihat apakah negara sudah menjadi agen untuk pembangunan atau masih terlambat dalam melakukan respon pada situasi. E. DEFINISI KONSEPTUAL Regulasi Kebijakan yang mengatur pada pengawasan dan pembatasan tentang tata niaga tembakau karena seharusnya pihak negara dapat berperan sebagai pengendali dari sumber daya dengan cara melakukan proses pengambilan kebijakan yang tepat. 35 Kontestasi Perdebatan yang mempunyai tujuan untuk memperebutkan dukungan masyarakat dengan berbagai alasan seperti sektor ekonomi dan sektor kesehatan. Cukai Pungutan negara yang dikenakan terhadap barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteritik tertentu, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup, atau pemakaian perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan, dan keseimbangan. Ratifikasi FCTC Regulasi pembatasan produktifitas tembakau karena disesuaikan dengan permintaan dan penawaran pasar. Relasi Aktor Peran hubungan antara aktor satu dengan yang lain terhadap beberapa kepentingan dan bertujuan dalam aspek tertentu. Aktor dalam relasi tersebut antara lain : Negara, intermediari / LSM, dan Masyarakat. 36 Intervensi Ekonomi Campur tangan yang berlebihan pada sektor ekonomi sehingga mendesak pemerintah dan penerima kebijakan, karena ada tujuan untuk menguasai sumber daya alam dan potensi lewat pemanfaatan sebuah regulasi. F. Definisi Operasional Penjelasan operasionalisasi ini bertujuan untuk dapat memberikan definisi secara valid dari beberapa variabel yang akan diteliti. Berdasarkan landasan teori di atas, maka indikator yang di gunakan antara lain : 1. Isu/Topik 2. Design dan substansi Kebijakan 3. Proses Implementasi kebijakan 4. Faktor menghambat kebijakan 5. Feedback Implementasi kebijakan G. Metode Penelitian G.1 Jenis Penelitian Penelitian ini akan di lakukan dengan penelitian bersifat kualitatif. Metode kualitatif yang akan di pakai untuk mengeksplorasi kasus menggunakan metode studi kasus. Studi kasus memiliki tujuan salah satunya, peneliti bertujuan untuk memberikan pandangan yang lengkap dan 37 mendalam mengenai subjek yang diteliti.39 Dengan studi kasus maka akan mendapatkan data yang medalam mengenai penelitian ini. Menurut Bent Flyvbjerg, Case study cannot generalize on the basis of an individual case : therefore, the case study cannot comtribute to scientific development. 40 Berdasarkan jenis penelitian ini, maka kasus ini juga tidak dapat di lakukan generalisasi terhadap kasus – kasus yang terjadi di daerah atau teritorial lain dengan tipe kasus yang hampir sama. Kelebihan studi kasus bahwa metode tersebut sangat bermanfaat untuk mengungkap atau memecahkan masalahmasalah unik dan spesifikdalam berbagai disiplin ilmu.41 Sedangkan kelemahan dari studi kasus itu sendiri lebih berisi tentang keabsahan suatu informasi atau data yang didapatkan terutama tentang isu validitas, realibilitas, dan generalisasi.42 Pemilihan studi kasus ini karena terdapat kejadian tentang beberapa isu proses dan implementasi kebijakan dari regulasi tembakau dan alokasi anggaran DBH CHT. Proses ini akan terus berkembang sehingga dapat memberikan analisis tentang keputusan yang akan di lakukan oleh negara dalam melakukan peran memberikan jaminan pasar terhadap pasar 39 Mulyana, Deddy, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung. 40 41 42 Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797). Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Yogyakarta. Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Yogyakarta. 38 tembakau tentu dalam kaitan untuk mengendalikan harga pasar tembakau. Keputusan dari kebijakan juga akan di lihat dari umpan balik dan implementasi kebijakan di petani. G.2 Lokasi Penelitian Lokasi studi kasus juga berada di kawasan Klaten dan perkebunan masyarakat sekitar di daerah Kabupaten Klaten. Lokasi penelitian ini memiliki potensi karena alur tata niaga berada dalam peran Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Penggunaan lokasi penelitian di daerah Klaten, karena tempat ini banyak di temukan petani tembakau yang memiliki relasi dengan pemerintah dalam aspek sosial dan politik. Kajian pada lokasi penelitian ini memiliki keunikan kultural yang berpengaruh pada aspek sosial politik di dalamnya. Relasi antar elit birokrasi juga menambah dimensi pengambilan keputusan pada proses implementasi kebijakan di proses membantu kesejateraan petani tembakau. Terkait ketimpangan implementasi kebijakan regulasi juga akan memberikan realita tentang relasi aktor hanya sekedar mengetahui peran masing – masing atau ada aktor yang dapat melakukan intervensi pada aktor lain apabila posisi strata vertikal dan horizontal tidak sama. Kebijakan tentang tembakau mulai dari alokasi anggaran juga akan dapat berpengaruh pada peran antar sektor mulai dari negara, intermediari, dan juga masyarakat. Pentingnya dari lokasi penelitian juga memberikan 39 perbandingan tentang penerapan regulasi yang belum di lakukan dan pengaruh implementasi kebijakan tersebut memang berperan dengan baik. G.3 Unit Analisa Data Unit analisa data pada penelitian ini adalah pada pembatasan kasus penelitian. Relevansi dengan kasus penelitian ini adalah dengan membatasi aktor – aktor yang terlibat dalam penggunaan pembatasan tema penelitian ini. Klasifikasi aktor akan memberikan informasi sesuai dengan pemetaan aktor atau pihak yang terlibat di dalam penelitian ini. Unit analisa data yang lain adalah menggunakan kajian triangulasi terhadap kunci – kunci pengamatan lapangan, dan dasar – dasar untuk melakukan interpretasi terhadap data.43 G.3.1 Data Primer Tabel. 1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer Informan Teknik Pengumpulan Jenis Data Penelitian Data Sejarah peraturan atau regulasi Dinas Penerima Wawancara mendalam pertanian tembakau Wilayah DBHCHT yang kemudian di rekam Klaten. Kabupaten Klaten dan di traskrip. Asosiasi Petani Pola Regulasi yang terjadi di Wawancara mendalam Kabupaten Klaten pemerintah daerah Klaten. dan observasi partisipan (APTI). Pola aktor informal yang Komunitas Wawancara mendalam berpengaruh di pemerintah Tembakau / LSM dan observasi partisipan daerah Kabupaten Klaten. Di wilayah Klaten. 43 Robert K. Yin. Case Study Research: Design and Methods. Fourth Edition. SAGE Publications. California, 2009. 40 G.3.2 Data Sekunder Tabel. 2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Sekunder Jenis Data Sumber Teknik Pengumpulan Data Sejarah peraturan atau regulasi pertanian tembakau dan DBHCHT di Klaten. Buku atau arsip sejarah Dinas Pertanian dan Perkebunan Klaten. Dokumenter Proses Implementasi kebijakan DBHCHT yang terjadi di pemerintah daerah Klaten. Buku dan Arsip dari komunitas dan asosiasi petani tembakau Klaten Dokumenter Artikel – artikel lain yang berkaitan dengan isu implementasi kebijakan. G.4 Jenis Data Dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data dibedakan menjadi 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. Pada dasarnya data primer di dapatkan dengan cara wawacara yang mendalam “deep interview” tentang kasus yang terjadi sesuai dengan pemetaan kepentingan dari aktor – aktor yang terlibat di dalamnya. Data sekunder di peroleh dengan cara memperkuat berbagai data – data atau dokumen saat melakukan penelitian, sehingga akumulasi data dan dokumen ini dapat di gunakan sebagai pelengkap dari data primer. Studi kasus dalam teknik pengumpulan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan menyeluruh yang sangat bersifat kontekstual 41 dan kasuitis.44 Pengumpulan data akan menggunakan “deep interview” sehingga terjadi proses klasifikasi dari relasi aktor – aktor yang berkaitan dengan kasus ini. Pada studi kasus ini akan di lakukan wawancara pada pihak negara yaitu pihak dari Pemerintah daerah Kabupaten Klaten. Pihak yang lain adalah wawancara pada Asosiasi petani tembakau (APTI) di Kabupaten Klaten. Dalam proses pengumpulan data peneliti akan menggunkan teknik sampling purposive45 atau narasumber yang bersangkutan terlibat dan mengetahui proses konten implementasi kebijakan tembakau sesuai dengan kompetensi dan bidangnya. G.5 Teknik Analisis Data Analisis data lebih sederhana adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan dan diketahui maknanya.46 Analisis data ini diharapkan peneliti dapat memberikan data – data yang di butuhkan seperti wawancara, dan informasi terkait penelitian studi kasus. Peneliti juga harus memiliki langkah untuk dapat melakukan strategi agar penulisan tidak berhenti di tengah jalan. Dengan strategi peneliti juga dapat memberikan hasil yang maksimal dari 44 Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797). 45 Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 46 Nasution, (1996), Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hlm. 126. 42 teknik pengumpulan data yang sudah terkumpul untuk di lakukan proses seleksi dalam penelitian. Menurut Miles And Habberman47 tentang teknik analisis data dan aktivitas dalam analisis meliputi : reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification). Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan tentang data dalam penelitian, sedangkan penyajian data berisi penyusunan kalimat terkadang juga terdapat model matriks dari data penelitian agar dapat mudah dipahami, terakhir kesimpulan dan verifikasi tentang kesimpulan sementara dan bisa berubah dengan adanya verifikasi data – data di lapangan. G.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 5 bab. Pertama adalah tentang pendahuluan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan juga metodologi penelitian. Bab kedua tentang design kebijakan DBH CHT Kabupaten Klaten tahun 2013 sampai tidak tepat sasarannya kebijakan dari pemerintah daerah Kabupaten Klaten sebagai peran utamanya dalam pembuat kebijakan bidang pertanian dan representasi pemerintahan pusat. Bab ketiga menjelaskan implementasi atau output kebijakan DBH CHT di 47 Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. 43 Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten tahun 2013. Keempat adalah berisi tentang faktor yang menghambat implementasi DBHCHT dan respon petani dan asosiasi tentang implementasi kebijakan tembakau dari para Stakeholder Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten. Kelima adalah tentang kesimpulan dari penelitian yang memiliki integrasi antar bab dari peneliti atas tema. 44