BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Rumah Tradisional Masa Kini Di Provinsi Bali 2.1.1 Rumah Tradisional di Provinsi Bali Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang dipegang teguh oleh penduduknya. Baik kebudayaan adat maupun beragama. Kebudayaan sendiri, banyak diartikan oleh berbagai ahli, misalnya menurut edward b. Tylor “kebudayaan merupakan suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, kebiasaan, serta setiap kemampuan lain yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat”. Tiap provinsi memiliki ciri kebudayaan masingmasing, dimana salah satu yang masih dapat sering dilihat adalah kebudayaan masyarakat bali. Menurut j.j. Honigmann terdapat 3 wujud kebudayaan, yaitu: Ide : wujud kebudayaan dari suatu kompleks dari gagasan, norma dan nilai Aktivitas : wujud kebudayaan dari kompleks aktivitas yang berpola Artifak :wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia Sedangkan menurut samuel koening, perubahan budaya berasal dari modifikasimodifikasi yang terjadi pada pola kehidupan masyarakat. Arsitektur rumah tradisional bali, merupakan suatu karya yang lahir dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktivitas spiritual masyarakat bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat. Arsitektur tradisional bali merupakan kombinasi dari hubungan keseimbangan antara bhuwana agung (alam semesta, dunia yang lebih besar,) dan bhuwana alit (manusia, miniatur kecil). Arsitektur tradisional bali mendapat pengaruh campuran budaya hindu, cina buddha, dan kebudayaan megalitik. 3 Nawa sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat bali.seperti halnya dengan mata angin arah utara – selatan yang di sebut kaja – kelod, dan timur–barat yang disebut kangin – kaluh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang bali terhadap gunung agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya.utara melambangkan dewa wisnu, selatan dewa brahma, timur dewa iswara dan barat dewa mahadewa. Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional bali mempertimbangkan konsep agama hindu bali yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama. nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bilah dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akandibuat. Pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata.atau merupakan plesteran akhir.nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu. madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu.madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia. utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal, pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Pembagian zone utama, madya dan nista didasari bukan oleh sumbu hierarki yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi kosmologis. Ada tiga buah 4 sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di bali, sumbu-sumbu itu antara lain: sumbu kosmos bhur, bhuwah dan swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir) sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi pada lintasan terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai nilai utama (arah terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah terbenamnya matahari), sedangkan nilai madya ada di tengahnya. sumbu natural kaja-kelod (gunung dan laut). Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan menempati letak di baian kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan sampah/ kotoran,dan sebagainya. Zona yang dianggap bernilai utama adalah arah kaja (menghadap gunung) dan kangin (timur sebagai arah terbitnya matahari–sumber kehidupan), dan zone yang dianggap nista atau bernilai rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh (barat). Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, nawa sanga atau sanga mandala yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di bali. Catuspatha adalah konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan sumbu orientasi kosmologis (kajakelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola ruang masyarakat tradisional bali. Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh di tengah-tengah dibiarkan kosong karena nilai pusat dianggap kosong (pralina) sebagai simbol pusat kekuatan yang maha sempurna. Penerapan konsep catus patha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional bali adalah adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai area pertemuan sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal 5 disebut natah. Karena area pusat ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang maha sempurna, maka semua bangunan di zone arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat menghadap area tengah.di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah kosong (karang tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang desa. Konsep Sanga Mandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep triangga dan catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone yang lahir dari aplikasi konseptriangga dalam bidang vertikal dan horisontal, di mana ruang di tengah-tengah sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan kosong (konsep catuspatha). Konsep Triangga membagi bidang atau sumbu vertikal orientasi kosmologis kaja-kelod dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista, sementara bidang atau sumbu horisontal orientasi tata nilai sakral kangin-kauh juga dibagi dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi pembagian bidang vertikal dan horisontal ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara keseluruhan, menghasilkan 9 zone ruang. Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling berhubungan pada masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.artinya seluruh kegiatan keluarga dapat dilakukan dalam satu lingkungan rumah di dalam penyengker yang cukup luas. Konsep ruang Sanga Mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi sembilan bagian area (pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi sembilan dan disisakan satu, dua, atau tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar sebelah kiri. Bagian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu: nista, madya dan utama. nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri, meliputi bangunan Kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon. 6 madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti untuk melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang merupakan ruang bagian tengah, meliputi bangunan tempat suci penunggun karang, natah (halaman), jineng (lumbung) dan bangunan angkul-angkul (pintu keluar-masuk halaman). utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan). Beberapa bagian dari gaya eropa juga dapat ditemukan dalam arsitektur bali. Proporsi pengukuran rumah adat bali tidak menggunakan ukuran skala internasional, seperti cm atau meter. Dengan sistem kepemilikan rumah tradisional indonesia yang berdasarkan kepemilikan, rumah adat bali menggunakan ukuran rumah denganskala pemilik rumah lelaki, serupa pula pada peletakan ruang yang menggunakan orientasi tubuh laki-laki. Karena bangunan merupakan bangunan dari penghuni. Dengan simbolisasi atap sebagai kepala, kolom sebagai badan, dan kaki kolom atau dasar bangunan sebagai kaki. Semua elemen bangunan tersebut diukur berdasarkan ukuran tubuh sang pemilik rumah lelaki, yang diukur dengan ukuran, depa, hasta, jengkal, dsb. Dimaksudkan untuk kenyamanan sang penghuni. Arsitektur tradisional bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala – kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturanaturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang pemilik rumah. Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan. 7 Penerapan konsep tri angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial rumah tinggal dan bangunan arsitektur adalah sebagai berikut: Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran pemerajan atau tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah lokasi massamassa bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area kandang hewan, tempat pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya. Pada bangunan, utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian atap (rab), madya angga adalah “badan” bangunan (pengawak), dan nista angga adalah “kaki” bangunan (bebataran). Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan mudah dilihat bahwa utama angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah bagian tengah (badan), dan nista angga adalah bagian bawah (kaki). Perumahan tradisional bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta pantangan-pantangan.dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional bali adalah : astha, tapak, tapak ngandang, musti, depa, nyari, a guli serta masih banyak lagi yang lainnya. Unsur kesenian Sebuah rumah tradisional bali terdiri bangunan yang memiliki fungsi berbeda, yaitu: Angkul-angkul Angkul-angkul adalah gerbang/pintu masuk dengan atap sebagai penghubung kedua sisinya. Angkul-angkul memiliki atap piramida yang terbuat dari rumput kering. Angkul-angkul biasanya lebih tinggi dari dinding yang mengelilingi rumah. Aling-aling Aling – aling adalah semacam tembok sekat dari batu setinggi kurang lebih 150 cm, yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah harus menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah 8 masuk. Ini mempunyai tujuan agar pandangan dari luar tidak langsung bisa melihat apa yang ada di dalam. Meten / bale daja Bale meten terletak di bagian utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat tempat suci/ sanggah. Bale meten ini juga sering disebut dengan bale daja, karena tempatnya di zona utara (kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk bangunan bale meten adalah persegi panjang, dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Fungsi bale meten adalah untuk tempat tidur orang tua atau kepala keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat- alat upacara. Sebagaimana dengan bangunan bali lainnya, bangunan bale meten adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman (±75-100 cm). Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi pada seluruh bale dalam satu pekarangan disamping untuk menghindari terjadinya resapan air tanah. Bale sakepat Bale sakepat adalah bangunan dengan jumlah tiang empat dan dipergunakan untuk kamar tidur anak. Bale sakenem / demi enem Jumlah tiangnya enam. Fungsinya sama dengan bale sakepat. Bale dangin / bale gede Bale dangin terletak di bagian timur atau dangin natah umah, sering pula disebut dengan balegede apabila bertiang 12. Fungsi bale dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bisa difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan bale dangin ini menggunakan 1 bale- bale dan kalau bale gede menggunakan 2 buah bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan. Bentuk bangunan bale dangin 9 adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/bale gede). Bangunan bale dangin adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman namun lebih rendah dari bale meten. Pamerajan Pamerajan adalah kuil yang didedikasikan untuk berdoa kepada tuhan dan leluhur keluarga.terletak di daerah utama (sisi timur laut) dari rumah, seperti yang diceritakan pada konsep tri mandala. Bale dauh Bale dauh ini terletak dibagian barat (dauhnatahumah), dan sering pula disebut dengan bale loji, serta tiang sanga. Fungsi bale dauh ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan bale dauh ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak dibagian dalam. Bentuk bangunan bale dauh adalah persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan bale dauh adalah rumah tinggal yang memakaibebaturan dengan lantaiyanglebih rendah dari bale dangin serta bale meten. Paon Dapur (paon) terletak di sisi selatan rumah milik daerah nista, karena merupakan tempat di mana keluarga menyimpan peralatan untuk menyembelih hewan dan menebang pohon, termasuk pisau, kapak, dll.paon terdiri dari dua bagian, bagian pertama disebut jalikan, yaitu area terbuka yang digunakan untuk memasak dengan oven kayu api. Bagian kedua adalah sebuah ruangan di mana makanan dan peralatan memasak lainnya disimpan. Jineng / lumbung 10 Jineng / lumbung adalah gudang beras.gudang ini terletak di belakang demi enem, didekat paon (dapur).jineng / lumbung diposisikan lebih tinggi dari bangunan lainnya. Konsep arsitektur rumah bali yang diterapkan menggunakan prinsip agama hindu, bahwa dewa terdapat di tempat yang tinggi (gunung). Dalam hal ini gunung agung dianggap sebagai orientasi utama. Maka terdapat penzonaan berdasarkan tri angga, yang disebut nawa sanga, yakni utama, madya, dan nista. Dimana utama adalah tempat yang dianggap suci, sehingga diperuntukan sebagai tempat peribadatan (pamerajan). Madya berhubungan dengan kehidupan manusia. Sedangkan nista merupakan tempat yang dianggap kotor, misalnya kandang babi. Ditinjau dari unsur kesenian, terdapat dua warna khas yang tetap dipertahankan pada rumah bali. Yaitu warna bata dan warna batu andesit, serta adanya patung karakter dari legenda hindu dan ukiran di beberapa bagian rumah seperti atap dan pintu. Dari unsur hukum, tinggi bangunan yang didirikan di bali tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa (sekitar 10 hingga 12 meter), sebab ketinggian pohon kelapa direpresentasikan sebagai tinggi pura utama di bali, yaitu pura besakih. Pembangunan rumah bali harus dipimpin oleh undagi (arsitek tradisional bali), dan dikerjakan oleh tukang dari bali. 1. Adanya perubahan gaya hidup yang lebih modern ketika pemilik rumah memiliki kendaraan bermotor, maka terjadi perubahan pada bentuk rumah bali, seperti ditiadakannya undakan dan aling-aling di pintu masuk. Kemudian dengan keterbatasan lahan yang ada saat ini, pembangunan rumah bali tidak lagi dipisah perruang, namun digabungkan dalam satu bangunan yang monolit. Saat pembangunan rumah, pengukuran tetap menggunakan ukuran skala bagian tubuh dari pemilik rumah laki-laki, dan tetap harus dipimpin oleh undagi. Konsep arsitektur rumah bali, masih mengacu pada agama hindu, seperti pembagian tiga tahapan halaman rumah, yaitu nistamandala yang merupakan halaman rumah, madyamandala merupakan teras rumah, dan utamamandala yang merupakan bagian dalam rumah. Terdapat orientasi kaja-kelod (gunung-laut). Pura selalu menghadap ke tempat tinggi (gunung agung). Rumah tidak boleh lebih tinggi 11 dari pohon kelapa (10-12 m). Namun tinggi pura menyamai tinggi pohon kelapa. Dalam pembangunannya selalu diadakan upacara adat, seperti peletakan batu pertama. Keterdapatan pamerajan tetap dipertahankan, hanya lokasinya saja yang dipindahkan di paling atas atau depan bangunan, serta warna bangunan yang berwarna bata dan ornamen berupa patung dari legenda hindu. Terdapat ornamen khusus di pojok-pojok rumah bali masa kini. Bagian dari rumah bali yang masih bisa dipertahankan saat ini adalah gapura, yaitu tempat masuk yang melambangkan gunung dan patung yang berguna untuk menjaga pintu masuk ke gunung. Selain itu, terdapat konsep seka4 yang menunjukan 4 arah mata angin, yang dulunya digunakan sebagai tempat berkumpul, dengan tinggi sekitar 2 atau 3 meter, dan diatasnya terdapat lumbung dan terpisah di luar rumah. 2.1.2 Rumah Tradisional Masa Kini di Provinsi Bali Kondisi rumah tradisional di Bali pada masa kini sebagian besar mengalami perubahan pada penggunaan bahan dari bangunan tersebut. Jika dilihat dari segi filosofis dan tata letak bangunan, bangunan rumah tradisional di Bali masih memperhatikan kaidah yang berlaku yang digunakan secara turun temurun. Pada pembahasan di bawah ini diperlihatkan Griya Batuan sebagai objek rumah tinggal tradisional yang ada pada masa modern di Bali. a. Elemen Atas 12 Struktur banguan pada banguan tradisisonal Bali umumnya menggunakan struktur bidang yang terbuat dari kayu atau bambu. Sedangkan pada objek ini struktur atap menggunakan bahan kayu sebagai struktur initi. Bambu juga digunakan pada bangian atap namun sebagai elemen estetika untuk menutupi bagian penutup atap sedangkan bagian struktur kayu dibiarkan terekspos sehingga berfungsi sebagai elemen estetika, kayu yang dipilih merupaka kayu jati agar kuat dan tahan lama. b. Elemen Samping Bagian dinding bangunan pada bangunan tradisional bali umumnya terbuat dari bahan yang mudah dibongkar sehingga saat banguanan rumah tinggal sudah diwariskan kepada keturunannya akan diganti dengan bahan yang baru. Penggatian bahan dipengaruhi oleh aturan bangunan bali yang menggunakan ukuran pengguni bangunan tersebut sehingga harus dibongkar saat pergantian penghuni. Pada objek ini elemen samping menggunakan bahan bata gosok, bagian dinding ini bukan sebagai elemen struktur namun hanya sebagai elemen pengisi atau hanya sebagai elemen pembatas saja bahan bata dipilih agara lebih mudah memeberi ukiran pada dinding sebaia penambah ragam hias pada bangun 13 c. Elemen Bawah Bangunan Pada bagian bawah bangunana umumnya terbuat dari bahan keras atau solid yang berfungsi menahan beban bangunan, pada objek ini elemen bawah menggunakan bahan beton yang diselimuti dengan keramik. Penonjolan elemnt struktur untuk mempertahankan konsep tri angga pada bangunan tradisional bali. Walaupun pada keadaan tanah yang labil atau lembek bagian bawah bangunan tetap ditonjolkan ke permukaan tanah agar air tanah tidak naik ke permukaan bangunan sehingga bahan banguna adi atasnya yang umumnya menggunakan bahan kayu lebih tahan lama. d. Ornamen 1. Sendi 14 Merupakan pertemuan antara eleman samping dan elemen bawah bangunan , juga berfungsi untuk meratakan beban yang diterima dari struktur atap.ini merupakan salah satu dari penerapan konsep rwa binedha yang juga disebut dengan konsep lanang wadon.pada bangunan ini bahan yang digunakan adalah bahan marmer, marmer merupakan bahan yang banyak diimpor dari luar daerah bali sehingga sudah dapat dikatakan modern. 2. Canggahwang Penerapan canggahwang ditemukan pada bangunana bale daja dan bale delod namun dengan tampilan yang berbeda sesuai dengan tahun pembuataanya. pada gambar kiri canggahwang sudah menggunakan warna-warna cerah seperti merah dan biru dan pada gambar kanan masih menggunakan warna alami kayu. Walaupun teknologi telah mempengaruhi arsitektur namun penerapan konsep masih terlihat sama denagn 2 cabang sebagai penahan gaya lateral bangunan. 15 3. Sendi pada Bangunan Modern Pada fungsi bangunana dapur(paon) masih menerpkan konsep tradisional pada bagian saka yang menerapkan konsep lanang wadon namun berbeda dari penggunaan bahan ,pada bangunana ini menggunakan bahan beton sehingga tidak terdapat bagian yang dapat bergeser saat terjadi gempa. Namun jika dibandingkan dengan saka yang menggunakan bahan kayu, tampilan masih terlihat sama 4. Sesaka Pada bangunan ini bagian atap sudah menggunakan plafon dengan bahan gypsum sehingga struktur atap sudah tidak terlihat. Namun tonjolan balok yang ditopang oleh kolom yang berjejer masih memperlihatkan kesan bali. Kesan 16 tradisional bali distonjolkan pada sususan paras pada saka yang disusun berundak seperti pada bebataran bangunan bali. 2.2 Kondisi Rumah Tradisional Masa Kini di Provinsi DKI Jakarta Pada masa sekarang ini rumah-rumah adat tradisional khas betawi yang benar-benar asli di Jakarta sudah sangat langka. Kebanyakan rumah yang dibangun di lingkungan DKI Jakarta adalah rumah dengan arsitektur modern. Namun, di beberapa kesempatan tempat seperti di sekitar maruna, condet maupun daerahdaerah pinggiran lain, rumah tradisional khas betawi masih dapat ditemukan. Bentuk rumah betawi secara umum berkesan sederhana, hal ini juga menggambarkan sikap hidup sehari-hari orang betawi yang sederhana. Bahan bangunan yang banyak dipergunakan adalah kayu atau bambu. Adapun atap rumah menggunakan genting. Sebagai contoh ,bentuk rumah kebaya maupun bentuk rumah bapang (limasan) memiliki bentuk atap yang hampir sama. Akan tetapi kalau dilihat dari arah depan, bagian atap rumah kebaya bentuknya memanjang, sedangkan rumah bapang bagian atapnya melebar. Tempo dulu, rumah gaya betawi asli pada umumnya berlantai tanah, berdinding kayu atau bilik bambu, serta tiang-tiangnya berasal dari kayu nangka. Namun,saat ini rumah-rumah yang demikian sudah sangat jarang ditemukan, berganti dengan rumah yang berlantai ubin dan berkaca nako. Beberapa bagian rumah yang melengkapi rumah khas betawi adalah sebagai berikut : a) Ruang depan, yang merupakan ruangak terbuka dengan kayu jati berukir sebagai langkannya dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu. b) Ruang tamu perempuan, ruang tamu khusus tamu wanita. Ruang tidur atau pangken. c) Pendaringan, yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan tempayan berisi beras dan balai-balai kecil untuk meletakkan barang. Tapang, ruangan kecil dengan balai-balai yang berfungsi serba guna, di mana tersedia kendidan peralatan minuman lainnya. 17 d) Dapur, di mana terdapat tungku tradisional dengan tiga lubang biasanya dari tanah liat. e) Kamar mandi, biasanya dilengkapi dengan pandasan, sumur beserta senggotnya. f) Halaman rumah orang betawi pada umumnya ditanami dengan berbagai tumbuhan. Apabila luas halaman rumah mencukupi maka beberapa jenis pohon yang biasa ditanam adalah rambutan, nangka, kecapi, petai, jengkol, jamblang, duku, salak, tangkildan sebagainya. Di seputar rumah biasa ditanami pula dengan jenis tanaman perdu yang berfungsi sebagai “apotek hidup”, antara lain jahe, kunyit, lengkuas, kencur, temulawak, beluntas, dan lain sebagainya 18