Halaman 1 Newsletter IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI) INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA) Edisi No 2 Tahun 2012 TOKOH SOSIOLOGI INDONESIA DARI REDAKSI Iwan Gardono. S Ph.D (Sosiologi Transformatif) REVIEW SOSIOLOGIS INDONESIA Bertemu kembali dengan Newsletter Ikatan Sosiologi Indonesia, kali ini redaksi akan mengupas mengenai sebuah komunitas sosiologi yang berupaya mengkaji perkembangan aktual dari keadaan masyarakat Indonesia secara periodik, komunitas ini bernama Review Sosiologis tentang Indonesia (RSI). RSI akan menjadi salah satu acuan yang berguna bagi kalangan sosiolog dan komunitas-komunitas ilmiah dalam memotret keadaan masyarakat Indonesia pada periode yang sedang berjalan maupun memahaminya sebagai sebuah perkembangan sejarah. Beragam peristiwa penting dan persoalan terjadi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mencatat beberapa perkembangan yang menarik. Namun di tengah pertumbuhan-pertumbuhan positif tersebut, masyarakat juga menghadapi berbagai paradoks dari keadaan tersebut. Hal inilah yang mendasari para sosiolog Indonesia untuk mengintrepetasi ulang paradoks-paradoks sosial dalam kacamata Indonesia yang berubah. Sebagai langkah konkrit dari keberadaan RSI, telah diadakan PERTEMUAN Review yang pertama di kampus IPB dengan pembahasan masalah aktual dan faktual di Indonesia, meliputi: 1. Sosiologi Transformatif (dipresentasikan oleh Dr. Iwan Gandono Sujatmiko. 2. Sistem Sosial Indonesia (ipresentasikan oleh Profesor Paulus Wirutomo) 3. Review Sosiologi Indonesia dari Perspektif Gender (dipresentasikan oleh Profesor Keppi Sukesi) Akhir kata, saya dan seluruh pengurus Ikatan Sosiologi Indonesia mengucapkan terima kasih kepada sosiolog sekalian, atas peran serta dan partisipasinya dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Iwan Gardono Sujatmiko, Ph.D adalah seorang pakar di bidang Sosiologi Politik. Ia dilahirkan di Bandung, pada 21 Maret 1956. Latar belakang pendidikannya adalah S1 di jurusan Sosiologi dan meraih gelar Ph.D (S3) diraih tahun 1992 di Harvard University, Cambridge, Amerika. Beberapa judul penelitian dan publikasi yang telah dibuatnya adalah: “Stratifikasi Sosialdan Mobilisasi Sosial di Indonesia”, “Studi Evaluasi Program IDT di 27 Propinsi”, “Stratifikasi Sosial dan Mobilisasi di Depok” .Karya ilmiah lain yang telah dihasilkannya antara lain: “Demokrasi Pasca Pemilu” yang dimuat dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat No.11 Tahun 2002; “Refomasi Politik dan Kedaulatan Rakyat”, dimuat dalam Jurnal Visi, volume II, No.1 April-juni 2002; “HiperCorruption dan Strategi Pemberantasan Korupsi”, yang dimuat dalam jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.2 No.1, Januari 2002. Dalam refleksi dan evaluasi masyarakat, Iwan Gardono S. Ph.D melihat peran para aktor dan kebijakan untuk tahu sejauh mana ideologi terlaksana dalam masyarakat.Realitas dalam masyarakat Indonesia ini dapat dilihat dalam tiga lapisan. Lapis terbawah adalah struktur dan mekanisme hubungan kekuasaan dan mengalami proses kerja sama, kompetisi, dan konflik. Proses ini terjadi pada dimensi spasial (pusat-daerah), vertikal (antarlapisan masyarakat atau masyarakat dengan negara), dan horizontal (suku, agama, ras, gender). Pada lapisan kedua terdapat berbagai aktor yang dapat membuat ideologi dan kebijakan guna mengelola dinamika kerja sama, kompetisi untuk mencapai cita- cita bersama. Dalam lapisan ini ini peran elite (penyelenggara negara dan kelompok yang mempunyai kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya) sangat menentukan peristiwa yang terjadi pada lapisan atas, yakni kerja sama, kompetisi, dan konflik.Realitas sosial yang berlapis ini bisa dijelaskan dengan perspektif realisme kritis (Roy Bhaskar, 1978). Happy Reading ! Salam Sosiologi Dr. Drajat Tri Kartono Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia Redaksi. Rifqi Khairul Anam DAFTAR ISI: Dari Redaksi 1 Tokoh Sosiologi Indonesia Kegiatan ISI 1 Dr. Iwan Gardono. S 1 Profesor Paulus Wirutomo 2 Profesor Keppi Sukesi 3 4 Sosiologi transformatif memberikan penekanan pada sistem dan proses sosial dalam mekanisme koreksi stratifikasi sosial dalam masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu lebar. Namun, sebenarnya sosiologi mempu memberikan tawaran solusi mengenai hubungan antar kelas yang lebih adil dimana dapat membuka hubungan vertical dan horizontal dalam masyarakat. Sosiologi dapat menjadi alat transformasi sosial di mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam masyarakat. Halaman 2 Newsletter IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI) INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA) Edisi No 2 Tahun 2012 Prof. Paulus Wirutomo (Sistem Sosial Indonesia) Jika kita Flashback, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola perubahan dalam masyarakat, misalnya pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua periode berturut-turut. Secara spasial juga terjadi perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar meski masih lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal, berbagai golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah mendapat kesempatan lebih besar. Jika dilihat secara vertikal, ada perubahan dalam hubungan masyarakat dengan negara di mana kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan kebijakan negara. Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan perubahan signifikan, masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota, misalnya perbaikan warga desa melalui land reform yang baru terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar. Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh, sektor informal, atau ”Indonesia bagian bawah” yang berjumlah sekitar 60 persen, belum terwakili secara nyata dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi terobosan di mana Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946 telah memberi jatah kepada ”golongan-golongan besar”, yakni petani dan buruh masing-masing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen dalam KNIP/”parlemen” (lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, 2005). Hal ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah, dan golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda. Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian Linggarjati. Namun, yang penting, terlihat bagaimana ada upaya peningkatan representasi atau kebhinekaan masyarakat Indonesia. Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau pelapisan/kelas masyarakat. Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas perlu lebih banyak meningkatkan representasi golongan besar ini dalam organisasi dan kebijakan mereka. Transformasi warga negara Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa bahwa setelah pemilu, mereka bukan lagi menjadi warga negara dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi warga kota, warga desa, atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan bahwa organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak terlaksana. Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak berdaya menghadapi negara, perusahaan, atau organisasi masyarakat. Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana warga negara dapat mengalami transformasi sehingga lebih dapat berdaya guna. Maka perlulah kiranya transformasi soial melalui pencantuman kelompok-kelompok sosial dalam konstitusi menjadi lebih representative dan sensitive pada keragaman kelompok tersebut. Hal itu disertai dengan rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki kelompok tersebut. Namun hanya sedikit konstitusi yangs ecara tegas dan sistematika mengajukan kebijakan transformasi tersebut melalui affirmative action dan redistributive policy Prof. Paulus Wirutomo adalah pakar di bidang Sosiologi Pendidikan. Dilahirkan di Solo, 29 Mei 1949. Beliau menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi di FISIP UI pada tahun 1976. Mendapatkan gelar Master dalam bidang Social Planning di University College of Swansea Wales, Inggris tahun 1978. Gelar Doktor Sosiologi Pendidikan didapatkan pada tahun 1986 di State University of New York at Albany, USA. Hasilhasil karya ilmiah yang telah di pubilkasin adalah Paulus Wirutomo (2005), “Pengembangan Nilai Strategis”, Lokakarya Sekjen Depdagri, Paulus Wirutomo (2005), “Pendidikan Anak Remaja” Seminar Labschool, Paulus Wirutomo (2004), “Kebijakan Perlindungan Sosial Korban Kekerasan” Seminar Depsos, Paulus Wirutomo (2004), “konstruksi Jaringan Pranata Sosial untuk Penguatan Ketahanan Sosial” Seminar di Wantanas, Paulus Wirutomo (2004), Prof. Paulus Wirutomo mengajukan pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan Sistem Sosial Indonesia (SSI) yaitu”benarkah kita merupakan suatu bangsa?”. Menjawab pertanyaan tersebut disusun buku SSI untuk memberikan gambaran secara komprehensif, historis, sistemik dan analitik tentang masyarakat Indonesia. Sistem sosial Indonesia menekankan pada masalah bagaiman unsure-unsur yang ada di dalam masyarakat tersebut terintegrasi, integrasi dibagi menjadi dua yaitu Integrasi Sosial yang menunjuk pada proses dimana unsure-unsur dalam suatu masyarakat (kelompok sosial, satuan daerah, institusi sosial) saling berhubungan secara intensif dan harmonis. Integrasi Nasional lebih mengacu pada proses menyatunya unsure-unsur tadi secara formal dan legal kedalam suatu Nation-State. Secara sosiologis, sekurang-kurangnya ada tiga sifat dari integrasi (sosial maupun integrasi nasional), yaitu: integrasi normative, integrasi fungsional dan integrasi koersif (paksaan). Integrasi normative merupakan hasil dari harapan normative (normative expectation) yang mengkondisikan para anggota masyarakat sepakat pada nilai-nilai dasar dan cita-cita yang sama. Integrasi normative memiliki unsur kesamaaan dengan solidaritas mekanis yang diungkapkan oleh Durkheim yaitu adanya kesadaran kolektif bersama (collective conscience). Tetapi tidak sekuat itu. Selanjutnya ada Integrasi Fungsional, yaitu integrasi yang didasarkan pada kerangka perspektif fungsional, tetapi penekanannya pada ketergantungan fungsional pada masyarakat yang memiliki differensiasi sosial atau tingkat spesialisasi yang semakin tinggi. Konsep ini terkait dengan solidaritas organic dari Durkheim. Integrasi fungsional tidak berjalan dengan baik bila salah satu unsure lainnya tidak memiliki fungsi yang berarti. Halaman 3 Newsletter IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI) INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA) Sedangkan yang terakhir adalah Integrasi Koersif yang muncul bukan sebagi hasil dari kesepakatan normative maupun ketergantungan fungsional atas unsurnya, tetapi merupakan hasil dari kekuatan yang sanggup mengikat individu-individu atau unsur0unsur masyarakat secara paksa. Kondisi integrasi normatif di Indonesia saat ini masih controversial dikarenakan consensus terhadap norma dasar (UUD 45) masih belum mantap meskipun dalam beberapa kasus identitas kebangsaan kita sudah mulai terbentuk tetapi sayangnya tanpa kebanggaan, hal-hal tersebut harus menjadi kajian bersama agar solidaritas dan toleransi diantara masyarakat Indonesia tidak terus merosot. Di lain pihak Kondisi Integrasi Fungsional juga mengalami kemerosotan, hal ini ditandai dengan daerah tidak mampu mengembangkan potensi alamnya untuk pembangunan lokal, kesenjangan ekonomi antar kelompok dan daerah amat mencolok, Kelompok tertentu (7% dari semua jumlah penduduk) menguasai hampir semua semua fungsi perekonomian. Sebelum otonomi semua sumber kekuasaan dan sumber ekonomi dikuasai Jawa (khususnya Jakarta). 60-70% dari seluruh uang yang beredar di negeri ini ada di Jakarta, militer diberi “dwi fungsi” sehingga semua kedudukan strategis dimonopoli militer. Kondisi integatif koersif di Indonesia dapat dilihat ketika awal rezim orde baru didukung oleh consensus nasional untuk menjaga stabilitas nasional dengan menggunakan pendekatan security approach yang menjadi akar dari tindakan-tindakan koersif rezim ini selama berkuasa. Pemerintahan Orde Baru bahkan bukan hanya menggunakan military violence tetapi juga ideological violence (hegemoni) melalui berbagai penataran dan indoktrinasi di birokrasi, masyarakat luas sampai pendidikan di sekolah. Dengan berbagai kondisi integrasi yang ada membuat ikatan primordial antara kelompok-kelompok keagamaan dan etnisitas sebetulnya bisa dipersatukan oleh rasa nasionalisme terhadap bangsanegara asalkan kondisi ekonomi tidak mengecewakan. Sedangkan, istilah nasionalisme sendiri adalah ekspresi perasaan sebangsa. Dengan demikian, dapat dikatakan nasionalisme dan integrasi di Indonesia sesungguhya adalah integrasi sosial, dimana masyarakat dari suatu daerah memperjuangkan dan memiliki sense of belonging tatkala keberadaan etnis dan kelompoknya berperan dan diterima secara luas di Indonesia bahkan menjadi kebudayaan nasional –bukan intergrasi nasional, dimana kesatuan dan persatuan bangsa akibat sense of belonging yang telah terpatri dan kesadaran akan tergabung dalam suatu bangsa sehingga timbul supreme loyalty yang membuat orang siap mati untuk membelanya. Saat ini, modal yang dimiliki untuk membangun integrasi adalah nilai tradisional bangsa ini, misalnya di budaya Jawa dimana rasa kelompok lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi dan masuknya moderenisme telah mengikis nilai-nilai tersebut. Disamping itu, ada salah satu mental orang Indonesia cukup berpengaruh terhadap struktur sosial, yaitu orang Indonesia tidak menuntut egaliterisme. Padahal keadilan sosial juga merupakan salah satu faktor pembentuk integrasi bangsa. Sebut saja Singapura, negara yang memiliki kondisi lebih rawan karena semua komponen etnis dan rasial warganya (Melayu, Cina, India) berasal dari berbagai negara di sekitarnya, tetapi berkat pengelolaan intergrasi sosial-budaya-ekonomi dan politik yang baik dan mensejahterakan, negara ini dapat dikatakan nationalizing state yang berhasil. Edisi No 2 Tahun 2012 Prof. Dr. Ir. Hj. Keppi Sukesi, MS (RSI Perspektif Gender) Prof. Dr. Ir. Hj. Keppi Sukesi, MS.adlah dosen Jurusan Fakultas Pertanian dan Dosen Program Magister Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Prof Keppi melihat melihat banyak bias gender dalam masyarakat sehingga hal ini menjadi substansi kajian dalam sosiologi yang beliau geluti. Isu gender sebenarnya merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sex sendiri berarti pembedaan jenis kelamin berdasarkan faktor – faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki – laki dan perempuan dimana ini berlaku secara universal dan tidak bisa dipertukarkan. Kodrat diartikan sebagai sifat bawaan biologis sebagai anugrah tugas yang mahaesa menyang yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita. Pada masyarakat pedesaan yang masih buta gender meningkatkan diskriminasi gender yang ada. Pada masyarakat konsep gender tergantung budaya masyarakat tersebut tinggal sehingga gender bisa berubah – ubah berdasarkan pemahaman yang dalam masyarakat sehingga membentuk suatu konsep yang mutlak mengenai gender. Jadi konsep gender meliputi sifat dan perilaku yang melekat pada laki – laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender tersebut tergantung budaya dimana manusia tinggal sehingga mempengaruhi perilaku yang dilakukan oleh masyarakatnya dalam setiap sendi kehidupannya dan membuat perbedaan dalam pembagian kerja yaitu adanya pembagian kerja secara seksual. Halaman 4 Newsletter IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI) INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA) Pemahaman konsep gender yang dimiliki oleh kaum perempuan di masyarakat desa bahwa manusia laki – laki adalah manusia yang tidak punya kesalahan dimata wanita, wanita menafsirkan bahwa laki – laki ditakdirkan menjadi pemimpin di muka bumi dan wanita hanya menjadi orang yang menemani laki – laki. Dari apa yang terjadi di dusun tersebut menyebabkan paham patriarki yang terus meningkat di masyarakat. Pokok permasalahan dalam gender adalah masyarakat yang salah menginterpretasikan gender dalam konteks agama dimana memang secara kodrati ada pembedaan tetapi yang menjadi permasalahan kontruksi sosial di masyarakat. Karena masyarakat dusun badut terkontrusi bahwa laki – laki adalah makhluk yang superior dan wanita adalah makhluk yang lemah. Pemahaman gender yang keliru tersebut juga menyebabkan perempuan di daerah tersebut menerima apa saja yang terjadi pada kaum perempuan. Wanita hanya mampu bekerja di sektor domestik dikarenakan paham fatalistik, perempuan menganggap cukuplah menjadi ibu rumah tangga dan bukan persoalan rigid mengenai pendidikan karena pada akhirnya menuju dapur juga. Pandangan ini berpengaruh penting ketika kita membicarakan mengapa bias gender tradisional suka berubah. Ini merupakan ciri pokok masyarakat terorganisir sepanjang garis patriarkal di mana ada ketidaksetaraan (unequal) hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Menolak ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak seluruh struktur sosial; dan kini kita akan menelaah sebagian aspek dan dan sistem ini serta melihat bagaimana strukturnya, yang memberi hak-hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan : menjunjung tinggi perbedaan gender (gender differnces) Sebenarnya tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi sosial gender atas adanya perbedaan biologis antar jenis kelamin. Namun karena dalam setiap budaya ada fungsi-fungsi universal yang harus dilaksanakan seperti mengasuh anak, mencari nafkah, mengambil keputusan, mengisi peran sebagai pemimpin, maka ada peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa ada fungsi tertentu yang harus dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, tetapi kalau suatu peran sudah dikaitkan dengan salah satu gender maka peran tersebut diberi makna simbolis tertentu. Kemauan politik pemerintah untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang pada dasarnya merupakan sarana untuk kesetaraan hubungan gender masih perlu didukung oleh program-program dan tindakan nyata. Karena itu agar ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat dapat berkurang maka diperlukan kesadaran kepada pembuat kebijakan agar dapat membuat kebijakan yang memberi kesetaraan terhadap perempuan dalam pembangunan atau women in development. Edisi No 2Tahun 2012 KEGIATAN ISI Pada hari Jum’at 19 Oktober 2012 dengan bertempat di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang, Ikatan Sosiologi Indonesia bekerja sama dengan jurusan sosiologi UMM akan mengadakan Konferensi Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia. Bertemakan “rethinking sosiology”: mengkaji kembali konstribusi sosiologi dalam kontek indonesia yang berubah”. Kegiatan ini bertujuan : 1. Menghimpun pemikiran, pengalaman dan inovasi sosial dalam Sosiologi dan kontribusi dalam Pembangunan Nasional 2. Tahapan awal dalam perumusan Sosiologi Indonesia 3. Menyediakan forum Nasional untuk silaturahmi dan bertukar pikiran pada Sosiologi dan praktisi Sosiologi seluruh Indonesia 4. Sarana konsolidasi organisasi ISI Nasional Acara ini diikuti oleh berbagai Peserta yang berasal dari sekitar 21 Instansi Perguruan Tinggi dan Perguruan tinggi yaitu LIPI. Peserta dari jawa dan Luar jawa yaitu dari Gorontalo, Menado, Lampung, Makasar, Ambon, Flores NTT. Sebagai pembicara kunci Prof. Dr. Haryono Suyono selaku Ketua Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial Konferensi ini merupakan sebuah forum ilmiah bagi para sosiolog maupun intelektual dari berbagai disiplin lain dalam rumpun ilmu-ilmu sosial serta para praktisi yang mempunyai perhatian terhadap isu-isu sosiologis. Forum ini akan menjadi sebuah awal dari langkah-langkah para akademisi dan praktisi sosiologis di dalam mengembangkan disiplin sosiologi yang dapat mengatasi dilema-dilema serta pertanyaan-pertanyaan kritis dari perkembangan sosiologi di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas. Melalui diskusi-diskusi tentang beragam subyek permasalahan, kita berbagi dan mendiseminasikan pemikiran dan temuan-temuan empirik sosiologis yang telah begitu kaya digali melalui berbagai studi. Diskusi sosiologis meliputi beragam subyek permasalahan, bebarapa Sub tema yang akan diangkat sebagai bahan diskusi antara lain: 1. Korupsi dan Moralitas Pemerintahan; 2. Konflik dan Kekerasan antar golongan; 3. Insentif demografi, Gerontologi dan kesejahteraan keluarga; 4. Kemiskinan,dan Ketimpangan; 5. Ekonomi Informal dan Krisis Ekonomi; 6. Konstitusi dan transformasi Sosial; 7. Dinamika Komunitas Keagamaan; 8. Bencana dan Krisis Lingkungan Hidup; 9. Pendidikan dan karakter Bangsa; 10. Teori dan Metode Sosiologi; 11. Multi kulturalisme dan Kebudayaan Indonesia; 12. Globalisasi, Media dan kajian Poskolonialisme; 13. Gender dan Perubahan Sosial; 14. Gerakan Sosial;