BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Universal Precautions Universal

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Universal Precautions
Universal Precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang
digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada
semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran infeksi.
(CDC, 2009) Tujuan dari universal precautions adalah untuk mengendalikan
infeksi secara konsisten, memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak
didiagnosis atau tidak terlihat seperti berisiko, mengurangi risiko bagi petugas
kesehatan dan pasien serta asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya. (Donna
Bjerregaard, 2000)
Prinsip universal precautions di pelayanan kesehatan adalah menjaga
hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi peralatan. Hal
ini penting dilakukan mengingat sebagian orang yang terinfeksi virus seperti HIV
dan HBV tidak menunjukkan gejala fisik. Universal precautions diterapkan untuk
melindungi setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) yang terinfeksi maupun
yang tidak terinfeksi. (CDC, 2009) Universal precautions berlaku untuk darah,
sekresi dan ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit dan selaput lendir.
(UNESCO, 2004) Universal precautions meliputi pengelolaan alat kesehatan
habis pakai, cuci tangan, pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan,
celemek/apron, alas kaki yang tertutup, penutup kepala, kacamata dan masker),
pengelolaan jarum dan alat tajam, pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan,
desinfeksi dan sterilisasi untuk alat yang digunakan ulang. (Nursalam dan
Kurniawati, 2009)
Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengendalian infeksi. Tujuan mencuci tangan adalah untuk
menghilangkan kotoran dan organisme yang menempel di tangan. Cuci tangan
harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan kepada
klien walaupun sudah memakai sarung tangan atau alat pelindung karena cuci
tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Cuci tangan higienik
atau rutin berfungsi untuk mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan
dengan menggunakan sabun atau detergen. Sedangkan cuci tangan aseptik adalah
cuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggunakan antiseptik. Larutan antiseptik bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang
ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara
maksimal. (Potter & Perry, 2005)
Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir
petugas dari risiko pajanan darah dan semua jenis cairan tubuh. Jenis alat
pelindung diri adalah tutup kepala, kacamata, masker, celemek/apron, sarung
tangan dan sepatu pelindung. Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk
melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua cairan tubuh, kulit yang tidak
utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus
selalu dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau cairan tubuh
pasien dan sarung tangan digunakan hanya untuk satu klien (disposible).
(Nursalam dan Kurniawati, 2009)
Penggunaan masker dan kacamata dimaksudkan untuk melindungi selaput
lendir hidung, mulut dan mata selama melakukan tindakan kepada klien yang
memungkinkan terjadinya percikan darah dan cairan tubuh lainnya. Gaun
pelindung (celemek/apron) merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan
sedapat mungkin tidak tembus cairan. Tujuan penggunaannya adalah untuk
melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan
tubuh lain dari klien. (Nursalam dan Kurniawati, 2009; Potter & Perry, 2005)
Pengelolaan alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi
melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan
siap pakai. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 3 tahap kegiatan
yaitu dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi atau DTT (Desinfeksi Tingkat
Tinggi). Dekontaminasi bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui
alat kesehatan atau suatu permukaan benda, sehingga dapat melindungi petugas
atau pun pasien. Dekontaminasi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfeksi
yaitu suatu larutan kimia yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada
benda mati dan tidak digunakan untuk kulit atau jaringan mukosa. Larutan yang
digunakan adalah Klorin 0,5% yang direndam selama 10 menit. (Rohani, 2010)
Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah
penting yang harus dilakukan. Pembersihan dengan cara mencuci adalah untuk
menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari benda dan permukaan benda
dengan sabun atau detergen, air dan sikat. Selain menghilangkan kotoran,
pencucian alat juga akan menurunkan jumlah mikroorganisme yang potensial
menjadi penyebab infeksi melalui alat kesehatan. Pencucian harus dilakukan
dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-betul hilang dari
permukaan alat kesehatan tersebut. (Rohani, 2010)
Pengelolaan alat kesehatan yang terakhir adalah dengan melakukan
desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) dilakukan dengan cara
merebus alat kesehatan dalam air mendidih selama 20 menit, merendam dalam
desinfektan kimiawi seperti glutaraldehyde atau formaldehyde dan dengan cara
menggunakan steamer. (Nursalam dan Kurniawati, 2009) Sterilisasi adalah proses
menghilangkan seluruh mikroorganisme dari alat kesehatan termasuk endospora
bakteri. (Donna Bjerregaard, 2000) Metode sterilisasi yang lazim digunakan
adalah dengan pemanasan kering yaitu menggunakan oven, pembakaran, sinar
inframerah pada suhu 150-170oC selama >30 menit. Untuk membunuh spora,
pemanasan juga dapat dilakukan pada suhu 180oC selama 2 jam. (Nursalam dan
Kurniawati, 2009)
Pengelolaan limbah tajam juga sangat penting dilakukan karena 17%
kecelakaan kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian,
70% terjadi setelah pemakaian dan 13% terjadi setelah pembuangan. Kecelakaan
yang sering terjadi adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum
suntik bekas pakai ke dalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan
untuk menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung membuang ke
penampungan
sementara,
tanpa
menyentuh
atau
memanipulasi
seperti
membengkokkannya. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recapping) gunakanlah
cara penutupan dengan satu tangan untuk mencegah jari tertusuk jarum. Sebelum
dibuang ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan
wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak mudah bocor
serta kedap tusukan. (Nursalam dan Kurniawati, 2009; Rohani, 2010)
2.2.Proses Perubahan Perilaku
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang berkaitan dengan perilaku,
sehingga upaya pencegahannya juga dengan menggunakan pendekatan yang
berkaitan dengan perilaku. Terdapat beberapa teori perubahan perilaku kesehatan
yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah perilaku terbentuk, salah satunya
yaitu teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock. Teori ini
berpendapat bahwa persepsi terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang
akan diambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Teori HBM ini
didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang yaitu:
1. Perceived susceptibility yaitu penilaian individu mengenai kerentanan
terhadap suatu penyakit
2. Perceived severity yaitu penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi
dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut
3. Perceived benefits yaitu penilaian individu mengenai keuntungan yang
diperoleh dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan
4. Perceived barriers yaitu penilaian individu mengenai besar hambatan yang
ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan
Selanjutnya teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan
faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu:
1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan
2. Variabel sosio-psikologis seperti kepribadian, sosial ekonomi, dan sebagainya
3. Variabel
struktural
seperti
pengetahuan,
pengalaman,
peraturan
dan
sebagainya
4. Cues to action yaitu pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku
kesehatan yang disarankan seperti pemberian informasi melalui media massa,
pelatihan, penyuluhan dan sebagainya
5. Self-Efficacy yaitu keyakinan seseorang mengenai kemampuan untuk
melalukan perubahan perilaku yang disarankan
Bila digambarkan dalam bentuk bagan, maka teori Health Belief Model akan
nampak seperti gambar berikut:
Individual
Perceptions
Modifying
Factors
Age, Sex, Ethnicity
Personality
Socio-economics
Knowledge
Likelihood of
Action
Perceived benefits
versus barriers to
behavioural change
Perceived
susceptibility or
severity of
disease
Perceived threat of
disease and
Self-Efficacy
Likelihood of
behavioural change
Cues to action:
 Education
 Symptoms
 Media
Information
Gambar 2.1. Conceptual Model (Glanz et al, 2002)
Berdasarkan gambar 2.1, terjadinya perubahan perilaku dipengaruhi oleh
persepsi seseorang terhadap keseriusan dan kerentanan masalah yang dapat
terjadi, sehingga akan menimbulkan persepsi adanya upaya atau tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengantisipasi masalah yang dihadapi. Persepsi adanya
upaya antisipasi ini akan diperkuat oleh segala bentuk dukungan atau pengaruh
yang didapat baik itu berasal dari faktor personal maupun dari faktor eksternal.
Faktor personal akan membentuk persepsi seseorang untuk membandingkan
keuntungan yang didapat jika melakukan perubahan perilaku dengan pengorbanan
atau hambatan yang harus dihadapi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi mengenai kerentanan, keseriusan,
adanya upaya antisipasi, pertimbangan keuntungan dan hambatan dari perubahan
perilaku yang diperkuat dengan berbagai bentuk dukungan akan menentukan
terjadinya perubahan perilaku yang positif.
2.3. Persepsi
Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang
terhadap obyek tertentu. Persepsi seseorang akan mempengaruhi proses belajar
(minat) dan mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu (motivasi). Di
dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap
suatu obyek yang dapat bersifat positif atau negatif, senang atau tidak senang dan
sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap, yaitu suatu
kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam
situasi yang tertentu pula. (Walgito, 2010)
Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran
objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Walgito, 2010).
Selaras dengan pernyataan tersebut Sarwono (2010) juga mengemukakan bahwa
persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu
dan faktor pribadi. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang
berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita
sebut sebagai faktor-faktor personal (Sarwono, 2010). Selanjutnya Sarwono
menjelaskan bahwa yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,
tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli tersebut
diantaranya umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengalaman dan lain
sebagainya.
Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor
fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan
individu, pengetahuan, usia, pengalaman, kepribadian, pendidikan, jenis kelamin,
pekerjaan dan hal-hal lain yang bersifat subjektif. Faktor struktural adalah faktor
di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial sangat
berpengaruh terhadap seseorang dalam mempresepsikan sesuatu. (Anonim, 2009)
Dalam ilmu psikologi, perkembangan umur merupakan periode waktu yang
dapat dijelaskan melalui perkembangan fisik, kognitif dan psikososial. Masingmasing periode umur memiliki perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap individu dengan periode umur yang berbeda
memiliki perkembangan yang berbeda, sehingga mereka dapat menilai atau
merespon sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda pula.
Tahap dewasa muda (20-40 tahun) merupakan perkembangan puncak dari
kondisi fisik. Dalam tahap ini setiap individu memiliki kemampuan kognitif dan
penilaian moral yang lebih kompleks. Mereka menggunakan pengetahuan yang
dimiliki
untuk
mencapai
apa
yang
diinginkan.
Untuk
perkembangan
psikososialnya, individu pada tahap ini memiliki kepribadian yang relative stabil.
Oleh karena itu, hal-hal tersebut sangat mempengaruhi mereka dalam menilai dan
mempersepsikan sesuatu.
Untuk periode umur dewasa madya (40-65 tahun), individu pada tahap ini
memiliki perkembangan puncak dari kemampuan mental dasar. Mereka
merupakan orang-orang yang ahli dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memecahkan masalah. Disamping itu, tingkay kreatifitas mereka mungkin
menurun, tetapi terjadi peningkatan kualitas kognitif. Perkembangan ini
memungkinkan adanya pemikiran yang terbaik dan penilaian yang tepat dalam
mempersepsikan issue sensitive mengenai sesuatu hal.
Untuk keperluan penelitian ini, jenjang pendidikan dibedakan menjadi tiga
kategori yaitu diploma (D3 Kebidanan), sarjana (D4/S1 Kebidanan) dan
Pascasarjana. Setiap jenjang pendidikan ini menciptakan individu dengan
kemampuan kognitif yang berbeda. Pada tingkat pendidikan ini, individu telah
mampu menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Mereka bekerja dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di
bangku pendidikan untuk menangani pasien. Selain itu, kemampuan yang mereka
miliki ini seharusnya memungkinkan adanya kesadaran untuk menilai dengan
tepat dan mempersepsikan sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003), mengatakan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak pula
pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dengan pendidikan yang tinggi
diharapkan seseorang mempunyai pengetahuan yang baik dan dari perubahan
pengetahuan tersebut dapat merubah sikap dan perilaku.
Menurut Kamil (2010) menyatakan bahwa pelatihan adalah bagian
pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku. Dengan mengikuti suatu
pelatihan, diharapkan pengetahuan seseorang dapat bertambah dan dapat merubah
perilaku seseorang sesuai dengan yang diharapkan. Pelatihan pada dasarnya
adalah suatu proses memberikan bantuan bagi seseorang untuk menguasai
keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam
melaksanakan pekerjaan.
Masa kerja seseorang dapat mencerminkan pengalaman kerjanya. Oleh
karena itu, individu yang sudah lama bekerja seharusnya lebih mengetahui dengan
pasti bagaimana kondisi mengenai universal precautions di lingkungan kerjanya
dan mampu menilai dan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang
ada.
2.4.HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang secara progresif
merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (CD4+) yang bertugas untuk
menjaga sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat HIV. (Dorothy, 2011)
Perjalanan klinis dari tahap terinfeksi HIV sampai pada tahap AIDS, sejalan
dengan penurunan derajat imunitas pasien terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya
diikuti dengan adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi
oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV,
sebagian akan berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi
AIDS setelah sepuluh tahun dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala
AIDS setelah 13 tahun. (Depkes RI, 2003b)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat menular melalui enam cara
penularan, yaitu hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, penularan dari
ibu ke bayi, penularan melalui darah dan cairan tubuh yang tercemar HIV,
pemakaian alat kesehatan yang tidak steril, menggunakan jarum suntik secara
bergantian dan melalui transfusi darah. (Depkes RI, 2003c)
Penularan melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS baik
secara vaginal, anal dan oral yang disebabkan oleh air mani dan cairan vagina
dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur dan mulut sehingga HIV yang
terdapat dalam cairan tersebut dapat masuk dalam aliran darah (Soedarto, 2010)
Penularan dari ibu ke bayi, menurut laporan CDC (Centers of Desease
Control) prevalensi penularan dari ibu ke bayi pada ibu yang baru terinfeksi HIV
dan belum menampakkan gejala AIDS adalah sebesar 20-35% sedangkan pada
ibu yang sudah menampakkan gejala AIDS, prevalensi penularannya sebanyak
50% dan penularan melalui ASI sekitar 10%. (Lily, 2004)
Penularan melalui darah dan cairan tubuh yang tercemar HIV, cairan tubuh
yang dimaksud adalah cairan semen, cairan vagina, cairan amion dan ASI. Kadar
virus tertinggi ada dalam darah yaitu sebanyak 18.000 partikel/ml disusul oleh
cairan semen 11.000 partikel/ml, cairan vagina 7.000 partikel/ml, cairan amnion
4.000 partikel/ml dan ASI/saliva 1 partikel/ml. (Anonim, 2009)
Penularan pemakaian alat kesehatan yang tidak steril dan menggunakan
jarum suntik secara bergantian, menurut Nicolas Sheon (2008), mengatakan
bahwa angka penularan HIV melalui jarum suntik dan alat kesehatan yang tidak
steril adalah sebesar 0,3%. Menurut Robert Heimer, seorang pakar dalam hal ini,
dalam semprit yang tertutup rapat, HIV dapat hidup sampai 36 hari, tergantung
pada jenis semprit dan jumlah virus yang dikandungnya. Jenis semprit biasa
dengan jarum suntik yang dapat dilepas bisa berisi 20 mikroliter sisa darah. Pada
semprit yang dibuat menyatu dengan jarum suntiknya sisa darah yang mungkin
tertinggal hanya satu mikroliter. Oleh karena itu HIV tidak tahan begitu lama pada
semprit menyatu dengan jarum suntiknya.
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menghilangkan HIV di dalam
tubuh. Obat yang tersedia baru berfungsi untuk mengurangi kecepatan
pertumbuhan HIV dan membantu memperpanjang serta memperbaiki kualitas
hidup penderita. Obat ini berasal dari golongan antiretroviral. Antiretroviral
adalah obat yang dapat menekan perkembangbiakan HIV dalam menginfeksi sel-
sel yang masih sehat. Obat antiretroviral yang utama adalah Zidovudine atau
Azidotimidin (AZT). (CDC, 2008a)
Pencegahan penularan HIV yang direkomendasikan oleh WHO adalah
dengan cara melakukan Abstinence yaitu tidak melakukan hubungan seksual
dengan seseorang yang terinfeksi HIV, Be faithful to one partner yaitu bersikap
saling setia dengan satu pasangan, Condoms yaitu menggunakan kondom setiap
kali berhubungan seksual, Drugs yaitu tidak menggunakan narkoba suntik dengan
jarum yang digunakan secara bersama-sama. Cara lain yang dianjurkan oleh
WHO untuk mencegah penularan infeksi termasuk HIV di pelayanan kesehatan
adalah dengan melaksanakkan kewaspadaan universal (Universal Precautions).
(USAID, 2002)
2.5. Penggunaan Fasilitas Universal Precautions di Pelayanan Kesehatan
Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
menghindari risiko penularan HIV adalah dengan menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD). Namun, dari hasil penelitian Anwar dan Perwitasari (2006), sebanyak
52% petugas kesehatan tidak menggunakan APD dengan alasan bahwa di tempat
kerja mereka tidak tersedia APD. Alasan lain yang mengakibatkan petugas
kesehatan tidak menggunakan APD adalah karena malas, lupa, tidak terbiasa dan
repot. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Hariyono, Sutomo dan Sambudi
(2006) yang menyatakan bahwa 86% petugas kesehatan tidak menggunakan APD
karena fasilitas APD tidak tersedia di rumah sakit.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith et al (2005) mengatakan
bahwa risiko penularan HIV per 10.000 paparan dengan sumber yang terinfeksi
pada proses persalinan adalah sebanyak 2.500 (25%).
Dalam penelitian Kaplan & Heimer (1995) dilaporkan bahwa risiko
penularan HIV per 10.000 paparan dengan sumber yang terinfeksi pada
penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan yang terkontaminasi HIV adalah
sebanyak 67 (0,67%).
Menurut studi yang dilakukan secara retrospektif pada petugas kesehatan,
dilaporkan bahwa estimasi risiko penularan HIV setelah terjadinya paparan akibat
jarum suntik dan alat kesehatan yang terinfeksi HIV adalah sebesar 0,3%.
Sedangkan estimasi risiko penularan HIV setelah terjadinya paparan pada selaput
lendir adalah sebesar 0,09%. (CDC, 2008b)
Untuk menghindari risiko penularan HIV, CDC (Center for Desease
Control) merekomendasikan beberapa cara pencegahan individu (Individual
Prevention) yang diantaranya adalah dengan menambah pengetahuan mengenai
HIV dan berhati-hati dengan semua produk darah serta cairan tubuh.
Dedek (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor Predisposing,
Enabling dan Reinforcing Terhadap Penggunaan APD Dalam Asuhan Persalinan
Normal” mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bidan dalam penggunaan
APD adalah faktor pendidikan, masa kerja, pengetahuan, persepsi, dukungan dari
rekan kerja, penyuluhan serta peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Tresnaningsih (2001), mengatakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan
APD pada petugas kesehatan berdampak positif terhadap kedisiplinan
menggunakan APD, namun kesinambungan dari penggunaan APD tersebut
cenderung dipengaruhi oleh pengetahuan petugas tentang manfaat APD dan
persepsi petugas mengenai penyakit yang dapat mengancam.
Heri dkk (2008) melaporkan dalam penelitiannya yang menggunakan teori
Health Belief Model bahwa 85,3% responden memiliki persepsi yang tinggi
mengenai kerentanan mereka tertular HIV, namun 61,4% responden memiliki
persepsi bahwa penyakit HIV/AIDS bukanlah penyakit yang serius. Sebagian
besar responden (76%) mempunyai persepsi yang tinggi tentang manfaat
penggunaan jarum suntik steril, dan diperkuat lagi dengan hasil bahwa 92%
responden memiliki persepsi terhadap rintangan yang rendah dalam penggunaan
jarum suntik steril.
Menurut Yusran (2008) mengatakan bahwa faktor demografi yang berperan
dalam kepatuhan penerapan prinsip universal precautions adalah faktor jenis
kelamin, usia, lama bekerja dan tingkat pendidikan. Hasil analisis regresi logistik
ganda yang dilakukan dengan menggunakan teori Health Belief Model,
menyebutkan bahwa persepsi mengenai kerentanan tertular infeksi HIV enam kali
lebih mempengaruhi perawat dalam hal kepatuhan terhadap pelaksanaan universal
precautions (p<0,001).
Janjua et al (2007) dengan menggunakan regresi logistik ganda menyatakan
bahwa tingkat pengetahuan dan pengalaman kerja merupakan satu-satunya
prediktor yang signifikan dari pelaksanaan universal precautions.
McGovern et al (2008) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kepatuhan
dalam penerapan prinsip universal precautions dipengaruhi oleh persepsi risiko
tertular infeksi HIV yaitu sebanyak 87,1%.
Jayanti & Ersina (2011) menyebutkan bahwa faktor persepsi perawat
mengenai risiko tertular infeksi HIV memiliki hubungan yang positif dan
menunjukkan korelasi yang kuat dengan kedisiplinan perawat dalam pelaksanaan
universal precautions.
Download