MENELISIK KEWENANGAN PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI (?) PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) Dr. Tri Budiyono, SH.MH.ABSTRAK Tulisan ini mengangkat topik yang terkait dengan asset Badan Usaha Milik Negara. Persoalan ini diturunklan dari dua pandangan, apakah asset BUMN termasuk bagian dari kekayaan negara atau merupakan kekayaan dari BUMN itu sendiri. Sumber munculnya dua pandangan yang secara diametral bertolak belakang adalah UU Keuangan Negara dan UU BUMN. Perbedaan tersebut berimplikasi pada munculnya perbedaan pada praksis jurisdiksi. Berdasarkan pada UU Keuangan negara, penyalahgunaan pengelolaan keuangan BUMN diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi di bawah UU Anti Korupsi. Pada sisi lain, berdasarkan UU BUMN penyalahgunaan pengelolaan keuangan BUMN diklasifikasi sebagai tindak pidana (biasa) dan tunduk pada KUHPidana. Dalam tulisan ini, penulis cenderung bersetuju pada pandangan yang terakhir. Keywords : BUMN, korupsi, penyalahgunaan pengelolaan asset, kekayaan negara. ABSTRACT This paper discusses the issue of state-own enterprises assets. These issue derived from two stand points, state-own enterprise assets or as part of the state assets, which trigger two diametrically constructions of thinking. The source of the differences is two laws namely the State Financial Act and the State-own Enterprise Act. The antinomy is based on the understanding the legal reason of those laws. The differences also resulted in the practical aspect of juridical decisions. Based on State Financial Act, misused of financial management is clasified as a corruption under the Anti Corruption Act. On the other hand, based on the State-own Enterprise Act misused of financial management Act is clasified as a criminal under the Criminal Act. In this paper, the writter agree with the last point of view. Keywords : State-own enterprise, corruption, misused of assets management, State-own asset. A. PENDAHULUAN Dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN) dirumuskan bahwa Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu, Pasal 9 UU BUMN menegaskan bahwa bentuk BUMN terdiri dari Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Persamaan mendasar antara Perum dan Persero terletak capital ownership, dimana negara sebagai penyerta modal memiliki posisi yang dominan dengan proporsi penuh (baca : 100%) atau sekurang-kurangnya 51 %. Dengan komposisi capital ownership seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa posisi Pemerintah sebagai (pemegang saham) pengendali menjadi syarat mutlak dalam BUMN. Hal yang demikian sejatinya tidak dapat dilepaskan dari dasar filosofis mengapa negara mendirikan BUMN, yang sejatinya tidak semata-mata berorientasi pada pencarian keuntungan (profit oriented), tetapi juga menjalankan program layanan kepada masyarakat, misalnya melalui program public services obligation (PSO).1 Selain itu, persamaan lain dapat ditemukan pada sumber modal pada BUMN, - yang sebagian tetapi bersifat utama - berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan2. Sementara itu, perbedaan antara Perum dan Persero terletak pada peluang untuk dilakukannya persekutuan modal (joint capital). Pada Perum, tertutup kemungkinan untuk dilakukan persekutuan modal. Dalam hal ini, pemilik modal hanya satu entitas hukum (dalam hal ini adalah Negara sebagai public legal entity). Pasal 1 angka (4) UU BUMN menyatakan : “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.” Sedang pada Persero, dimungkinkan adanya joint capital lebih dari 2 (dua) entitas hukum yang salah satunya adalah Pemerintah (Pusat). Partner pemodal pada Persero dapat terdiri dari badan hukum public, badan hukum privat, atau orang perseorangan. Pasal 1 angka (2) UU BUMN menyatakan : “Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling 1 Maksud dan tujuan dari (pendirian) BUMN adalah : a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan; c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Lihat juga, Ibrahim R. ”Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, volume 26 No. 1-Tahun 2007, hlm. 8. Tren perkembangan dan perubahan poliik perekonomian menyangkut peranan dan kedudukan negara dalam kegiatan ekonomi, minimal terdapat 3 pemikiran yang hendak atau yang pernah dijalankan dalam praktek, yaitu: (1)Politik perekonomian etatisme, dimana negara sebagai pelaku hampir pada semua sektor perekonomian; (2)Politik perekonomian dengan sistem ekonomi pasar, sistem ini menghendaki masyarakat sebagai pemeran utama, peran negara terbatas sebagai pendorong; (3)Politik perekonomian yang hendak menciptakan keseimbangan antara peran negara dan masyarakat. 2 Secara teoritik, modal BUMN dapat berasal dari 3 (tiga) kemungkinan, yaitu : (a) kekayaan negara yang disisihkan, (b) kapitalisasi BUMN, yaitu keuntungan yang diperoleh BUMN tetapi tidak dibagikan kepada pemilik modal (baca : Negara sebagai penyerta modal) dan ditahan oleh perusahaan (biasanya untuk memperkuat struktur modal), (c) sumbangan pihak ketiga. sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” Berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan BUMN sebagai entitas usaha, seringkali memunculkan ambigu oleh karena tumpang tindih kepentingan yang acapkali saling bertelingkah mengintervensi BUMN. Salah satu persoalan yang krusial adalah BUMN menjadi sapi perahan berbagai pihak seperti halnya partai politik, kelompok atau individu tertentu. Persoalan ini memunculkan stigma bahwa korupsi di lingkungan BUMN marak terjadi. Berbagai fakta empiric menunjukkan bahwa mis-manajemen BUMN banyak terjadi dan banyak yang kemudian dikualifikasi sebagai tidak pidana korupsi.3 Tulisan ini bertitik tolak dari kegelisahan intelektual terhadap persoalan-persoalan yang muncul di seputar tepatkah penyalahgunaan uang di lingkungan BUMN dikonstruksikan sebagai tindak pidana korupsi ? Apakah konstruksi tindak pidana korupsi pada BUMN tidak berpotensi mereduksi prinsip pengelolaan entitas bisnis yang secara naluriah berada di ranah privat ? Pertanyaan ini sejatinya dilatar-belangkangi oleh persoalan konseptual diseputar apakah kekayaan BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara ? apa makna teoritik bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan ? Apakah desain revisi UU BUMN akan memberikan jawaban terhadap konstruksi tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sejatinya menunjukkan betapa pilihan untuk mengkonstruksi tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN menyisakan persoalan-persoalan mendasar yang patut dicarikan pemecahan jalan keluarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang telah terpapar tersebut menjadi penuntun untuk melakukan telaah untuk menjawab kegelisahan intelektual ini. B. PEMBAHASAN Mengkaji persoalan apakah kekayaan BUMN4 merupakan bagian dari kekayaan negara, melahirkan dua konstruksi pemikiran yang secara diametral saling bertolak belang. Perbedaan ini sejatinya berhulukan pada dua UU yang telah memuncul antinomi. Kedua UU tersebut adalah UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (untuk selanjutnya disebut UU Keuangan Negara) dan UU BUMN. Antinomi yang terjadi sejatinya bertitik tolak dari pemahaman dan legal reason yang ada pada kedua UU tersebut. Masing-masing memiliki dasar argumen yang memadahi. Ternyata, muara dari dualisme pemahaman terhadap asset BUMN tersebut berimplikasi juga pada praksis peradilan. 3 Sinyalemen bahwa banyak BUMN yang tidak bersih – dalam pengertian terindikasi korupsi – dikemukakan oleh Menteri Negara BUMN yang mengembangkan program BUMN Bersih. Dari 120 BUMN yang ada, hanya 31 BUMN yang mendaftarkan sebagai BUMN Bersih. Indikator lain adalah banyaknya perusahaan BUMN yang tersangkut perkara Korupsi, diantaranya : Sumber lain menyatakan bahwa : “berdasarkan survei internal kementerian yang dipimpinnya itu, 70 persen perusahaan pelat merah terlibat permainan uang untuk memenangkan tender proyek. Data ini memiliki arti bahwa hanya 30 persen perusahaan pelat merah yang mendapat proyek tanpa suap-menyuap. Ini berarti sekitar 98 dari 140 BUMN terlibat dalam korupsi yang bersifat sistematis dan terstruktur (http://www.merdeka.com/uang/deretan-komisaris-bumn-yang-tersandung-kasus-korupsi-dan-suap.html) 4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung PT Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 27; juga Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2001, hlm. 192. Muara dari dualisme pemahaman konstruksi hukum tersebut melahirkan praksis hukum yang sampai sekarang menjadi objek kajian yang cukup hangat. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) kubu pemikiran yang mengkaitkan antara pengelolaan asset BUMN dengan tindak pidana yang terjadi. Kubu pertama bertitik tolak dari UU Keuangan Negara yang mengkonstruksikan asset BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara 5. Oleh karenanya setiap tindak pidana yang terjadi, dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi. Beberapa kasus yang terkait dengan ini antara lain : 1. Korupsi Hambalang – PT Adhi Karya Tbk Mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya (persero) Teuku Bagus Mukhamad Noor telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Bersama dengan mantan Kabiro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar selaku Pejabat Pembuat Komitmen, mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng selaku Pengguna Anggaran, Teuku Bagus diduga melakukan mark up proyek yang merugikan negara lebih dari Rp 6 triliun. Kasus yang tengah ditangani oleh KPK itu masih terus bergulir. Lembaga anti rasuah itu masih terus mengembangkan bukti-bukti untuk menjerat tersangka lain yang turut menikmati dana haram proyek Hambalang. 2. Korupsi MPLIK di PT Telkom Kejaksaan Agung terus mengusut perkara kasus korupsi proyek Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) Tahun 2010–2012 senilai Rp1,4 triliun yang melibatkan PT Telkom Indonesia Tbk sebagai pemenang tender terbesar. Arief Yahya (sekarang menjabat Dirut Telkom) dan Alex J. Sinaga (sekarang menjabat Dirut Telkomsel) diduga terlibat kasus ini. Kejagung sejauh ini telah menetapkan dua orang tersangka yaitu Doddy Nasiruddin Ahmad (Direktur PT Multi Data Rencana Prima) dan Santoso (Kepala Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BPPPTI). Berbagai pihak mendorong Kejagung untuk bertindak lebih tegas termasuk dugaan keterlibatan Arief Yahya yang saat proyek digulirkan menjabat sebagai Direktur EWS (Enteprise Whole Sale) PT Telkom. 3. Korupsi Bibit Hibrida di PT Sang Hyang Seri Kejaksaan Agung menyidik kasus dugaan korupsi bibit hibrida di Kementrian Pertanian. Empat orang mantan petinggi di PT Sang Hyang Seri (SHS) Persero ditetapkan sebagai tersangka, termasuk direktur utama Kaharuddin. Tim penyidik menemukan adanya bukti permulaan peristiwa tindak pidana korupsi di PT SHS. Mulai dari rekayasa pelelangan atau tender, biaya pengelolaan cadangan benih nasional sebesar 5 persen dari nilai kontrak tidak pernah disalurkan kepada kantor regional daerah. Dalam kasus ini, Dahlan Iskan telah bertindak tegas dengan mencopot Kaharuddin dari posisi Dirut. 4. Kasus Pemerasan Mitra di PT PGN KPK terjun langsung menangani kasus dugaan korupsi di PGN yang melibatkan Direktur Umum dan ESDM PGN Djoko Pramono. Direksi BUMN itu diduga terlibat dalam aksi pemerasan terhadap sejumlah rekanan proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas tahun 2003. Modus yang digunakan para tersangka adalah mengumpulkan uang dari beberapa cabang PGN dan sebagian uangnya digunakan oleh para tersangka 5 Bandingkan dengan definisi keuangan negara dalam W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT Grasindo, Tahun 2006, hlm. 1-2 untuk kepentingan pribadi. Kasus korupsi di PT PGN merupakan pengembangan dari dugaan korupsi di PGN Jawa Timur pada tahun 2002 dan 2003 dengan tersangka mantan Komite Badan Pengatur Hilir Migas, Sriyono. 5. Korupsi CIS-RISI di PT PLN Selain mantan Dirut PLN Eddy Widiono, KPK juga telah menetapkan Mantan Direktur Utama PT Netway Utama Gani Abdul Gani sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Outsourcing Roll Out-Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) PLN tahun anggaran 2004-2008, pada kasus ini Gani diduga menerima fee dari proyek itu. Dalam kasus mega korupsi ini, pemerintah dirugikan sebanyak Rp 46,1 miliar. 6. Korupsi Proyek Pemetaan di PT Sucofindo Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan tersangka terhadap Direktur PT Sucofindo Fahmi Sadiq terkait dugaan tindak pidana korupsi Kementerian Pendidikan Nasional. Fahmi diduga berperan dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi proyek pemetaan dan pendataan sekolah senilai Rp55 miliar pada tahun anggaran 2010– 2011 yang dilakukannya saat memimpin PT Surveyor Indonesia. Pijakan juridis yang memiliki konstruksi pemikiran hukum ini adalah konsep keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara, yang menyatakan sebagai berikut : “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a. ………………………………………………………………. b. ………………………………………………………………. g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; Namun demikian, konstruksi hukum sebagaimana diuraikan di atas tak urung mendapatkan kritik dari kubu yang lain, yang memandang bahwa penafsiran bahwa asset BUMN identik dengan kekayaan negara dianggab sebagai penafsiran yang eksesif. Sebab, sejatinya makna Pasal 2 huruf (g) UU Tindak Pidana Korupsi lebih menunjuk pada “kekayaan negara dalam BUMN hanya berupa saham, sesuai dengan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (1) serta penjelasan pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Didu menilai, jika merujuk dari pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, pasal 4 ayat (1) UU BUMN, dan teori Badan Hukum, maka Keuangan Negara pada BUMN hanya sebatas saham atau modal pada BUMN yang bersifat non-cash.” Kalau konstruksi pemikiran terakhir ini yang dianut, akan menimbulkan kesulitan teknis untuk memilah asset BUMN. Sebab, penyertaan terhadap suatu perusahaan akan mengakibatkan tercampurnya antara (asset) penyertaan, keuntungan yang diperoleh dari usaha perusahaan dan sumber-sumber diperolehnya asset yang lain. Kalau perlakuan asset yang terlalu rigid ini diperlakukan, tak urung akan mengakibatkan pengelolaan asset BUMN yang harus mendasarkan pada prinsip pengelolaan perusahaan yang baik tidak akan tercapai. Dengan kata lain, praksis peradilan – dengan mengkonstruksikan tidak pidana yang terjadi di dalamnya sebagai tindak pidana korupsi - yang sekarang terjadi dalam pengelolaan asset BUMN, akan bersifat kontra produktif. Berangkat dari persoalan ini, penulis berpendapat bahwa keterhubungan antara negara dan BUMN dalam kaitannya dengan penyertaan modal dan pengelolaan asset BUMN harus dipilah secara cermat mana yang sejatinya sebagai kekayaan negara dan mana yang merupakan kekayaan BUMN. Titik tolak pemikiran penulis adalah menelusur makna dari kalimat “kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dimaksud oleh UU BUMN. Perum dan Persero sejatinya merupakan wadah yang dipergunakan oleh negara untuk ikut serta dalam menjalankan kegiatan ekonomi yang ada di ranah privat. Hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh Perum dan Persero dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan BUMN, memiliki karakteristik hubungan keperdataan. Selain itu, prinsip pengelolaan Perum dan Persero mengacu pada prinsip pengelolaan perusahaan yang telah diterima sebagai best practices yang dipumpunkan pada asas efektivitas dan efisiensi. Muaranya adalah agar Perum dan Persero memberikan manfaat yang optimal terhadap semua stakeholders.6 Sumber modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan7, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Dalam penjelasan makna kekayaan negara yang dipisahkan diartikan sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.” Agar dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap konsep kekayaan negara yang dipisahkan, maka kaidah sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU BUMN tersebut harus dihubungkan dengan konstruksi pengertian Pasal 1 angka (10) UU BUMN.8 Dengan menghubungkan dua pasal tersebut, dapat ditafsirkan secara sistematis bahwa pembentuk UU sejatinya tidak membedakan antara Perum dan Persero pada satu sisi dengan Perseroan Terbatas lainnya. Artinya treatment atau perlakukan terhadap BUMN tidaklah berbeda dengan Perseroan Terbatas lain, termasuk model “intervensi” yang dapat dilakukan oleh pemilik modal (baca : negara) terhadap perusahaan tersebut. 6 Pertanyaan klasik yang muncul dalam lingkungan perusahaan adalah untuk kepentingan siapa perusahaan ada dan bekerja. Jawaban terhadap persoalan ini melahirkan teori yang dalam perjalanan waktu beringsut dari satu teori ke teori lain. Teori yang dianggap paling konvensional adalah The Shareholders Primacy theory. John F Olson mengungkapkan makna teori dalam ungkapan : “is a theory in corporate governance holding that shareholder interests should be assigned first priority.” Implikasinya, pemegang saham memiliki hak untuk melakukan intervensi secara langsung terhadap pengelolaan perusahaan dengan tujuan untuk mengoptimalkan return yang diharapkannya. Dalam perkembangannya teori banyak ditinggalkan dan dikembangkan teori The Stakeholders Primacy Theory. Berdasarkan teori ini, perusahaan ada dan bekerja adalah untuk kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders). Penyerta modal bukan lagi orientasi utama dari perusahaan melainkan kepentingannya setara dengan kepentingan karyawan, masyarakat kreditor, negara, dll. John F. Olson (May, 2007), Professor Bebchuk's Brave New World: A Reply to "The Myth of the Shareholder Franchise" 93 (3), Virginia Law Review, pp. 773–787. 7 Pasal 1 angka (10) UU BUMN memberikan pengertian : “Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.” 8 Supra footnote angka 4 Dengan demikian, pemisahaan kekayaan negara ini bertujuan dan memiliki implikasi bahwa tatacara pembinaan dan pengelolaan kekayaan negara tersebut tidak didasarkan pada sistem APBN (yang sejatinya ada pada ranah publik), tetapi mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan (yang sejatinya ada pada ranah privat). Dengan kata lain pengalihan kekayaan negara tersebut merupakan bentuk privatisasi9, sebab selain keberadaan kekayaan negara tersebut beralih dari sektor publik ke sektor privat, “kepemilikan” kekayaan tersebut beralih dari negara ke entitas hukum Perum atau Persero yang sejatinya adalah lembaga ekonomi yang ada di ranah privat.10 Perbedaan prinsipil antara BUMN dengan badan usaha lain sejatinya hanya terletak pada kepemilikan modal (capital ownership). Kepemilikan modal oleh negara (sekalipun mayoritas atau penuh) tidak melahirkan implikasi BUMN menjadi lembaga publik. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa konsep pemisahan kekayaan dalam pembahasan ini akan mengakibatkan hilangnya hubungan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum secara langsung oleh negara terhadap kekayaan yang telah dipisahkan tersebut. Namun demikian hilangnya hubungan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagai akibat dari pemisahan kekayaan ini harus ditafsirkan dalam konteks pengelolaan perusahaan. Corporate governance Perum dan Persero sejatinya ada pada organ BUMN, yaitu Direksi, Dewan Komisaris atau (Dewan) Pengawas, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Menteri. Kewenangan dari masing-masing organ dalam melakukan peñata-kelolaan (governance) BUMN bersumberkan pada peraturan perundangundangan dan Anggaran Dasar (AD). Dalam kaitannya dengan governance ini, RUPS atau Menteri sebagai representasi dari pemilik modal (baca : negara) hanya dapat melakukan “intervensi” terhadap governance BUMN berdasarkan kerangka legal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan AD. Intervensi yang sifatnya melampoi kewenangan legal tersebut justru akan menimbulkan implikasi hukum diberlakukannya doktrin piercing 9 Pengertian privatisasi disini lebih ditekankan pada proses peralihan kekayaan dari sector public (yang diasosiasikan dengan APBN ke sektor privat, dan bukan dalam pengertian privatisasi yang dikonstruksikan dalam Pasal 1 angka 12 Jo. 74-84 UU BUMN yang menekankan pada proses peralihan (baca : penjualan) saham dari Persero pada pihak lain. 10 Said Didu Sekretaris Kementrian Negara BUMN menginventarisir bahwa BUMN bukan merupakan lembaga publik, dengan indikator sebagai berikut : a. BUMN merupakan badan usaha dan badan hukum, bukan instansi pemerintah, b. Asset BUMN dapat dijadikan jaminan utang (dengan konskwensi apabila terjadi wanprestasi asset tersebut dapat disita untuk membayar utang tersebut), c. Pegawai BUMN bukan pegawai negeri, d. Tanggung jawab BUMN pada dasarnya dibatasi berdasarkan prinsip tanggung jawab terbatas “hanya” sampai kekayaan BUMN saja. e. Utang BUMN kepada negara tetap diperlakukan sebagai utang yang pada saatnya harus di bayar. Antara News.com, BUMN tetap Bukan Lembaga Publik, http://www.antaranews.com/print/91834/presidenturges-for-synergy-between-government-and-red-cross. Argumen lain yang sejajar dengan pandangan ini dikemukakan oleh Gatot Supramono, seorang Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang menyitir pandangan Otto von Gierke bahwa keberadaan badan hukum berada dalam lingkungan hukum harta kekayaan. Selain itu, penegasan Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa : “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.,” memperkuat argumen bahwa BUMN adalah lembaga privat. Gatot Supramono, Kedudukan Bumn Dalam Hubungannya Dengan Keuangan Negara dan Pengaruhnya Terhadap Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan, http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&frm=1&source=web&cd=10&ved=0CGgQFjAJ&url= http%3A%2F%2Fwww.ptbanjarmasin.go.id%2Fmyfiles%2FPAPER%2520DISKUSI(1).doc&ei=s0nOUt32 K8eHrQekxYCwBQ&usg=AFQjCNE4FHvbSza5yhKeYNd--VYhT7IiEQ the corporate veil.11 Pemberlakuan doktrin terakhir ini mengandung makna terjadinya perubahan sistem pertanggung-jawaban dari tanggung jawab terbatas12 (Pasal 3 ayat (1) UU PT) menjadi tanggung jawab pribadi13 (Pasal 3 ayat (2) UU PT). Terhadap kekayaan negara yang telah disihsihkan, sebenarnya negara telah kehilangan kebebasannya untuk menguasai dan mengelolanya, kecuali melalui cara dan mekanisme yang telah diatur dalam UU. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara ? Terhadap persoalan ini, menurut penulis tidak dapat dijawab secara hitam putih, “ya” atau “tidak.” Sebab, pemisahaan kekayaan negara dalam kerangka penyertaan modal pada BUMN tidak sepenuhnya memutuskan hubungan subjektif negara terhadap kekayaan tersebut. Secara umum terhadap pertanyaan yang diajukan dapat dijawab bahwa kekayaan (asset) Perum atau Persero bukan kekayaan negara. Argumentasi terhadap jawaban tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Penyertaan modal negara terhadap Perum atau Persero pada dasarnya merupakan pengalihan antara 2 (dua) subjek hukum, yang berada pada 2 (dua) ranah yang berbeda. Peralihan kekayaan itu terjadi antara Negara sebagai entitas hukum kepada Perum atau Persero yang juga memiliki kualifikasi sebagai entitas hukum. Sementara itu, negara pada satu sisi dan Perum atau Persero pada sisi lain merupakan entitas hukum yang terpisah.14 Selain itu, dua entitas hukum tersebut berada pada 2 (dua) ranah yang berbeda, yaitu Negara berada pada ranah publik, sedang Perum dan Persero berada pada ranah privat. Peralihan kekayaan pada 2 (dua) ranah yang berbeda ini berimplikasi pada “pengasingan” dari entitas hukum yang memberikan (baca : Negara), dan melahirkan title hak pada entitas hukum yang menerima (baca : Perum atau Persero). b. Pembentuk UU tidak hendak memberikan perlakukan yang berbeda terhadap gradasi kepemilikan modal yang tidak sama atas penyertaan modal dari negara pada perusahaan yang berbadan hukum. Pasal 1 angka 10 UU BUMN menjadi landasan legal terhadap 11 Pemberlakuan doktrin piercing the coporate secagaimana tersirat dalam Pasal 3 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) memang masih bersifat ambigu apabila diberlakukan terhadap Perum, sebab Perum tidak tunduk pada UU PT. Namun terhadap Persero pemberlakuan doktrin tersebut tidak menimbulkan keraguan, oleh karena berdasarkan Pasal 11 U BUMN ditegaskan terhadap Persero berlaku segala ketentuan tentang Perseroan Terbatas. Bandingkan : Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, Salatiga, 2009, hal. 150160. 12 Tanggung jawab terbatas adalah tanggung jawab yang dibatasi sampai dengan jumlah tertentu, yang apabila tanggung jawab terbatas tersebut diterapkan pada PT atau Persero tanggung jawab tersebut dibatasi sampai dengan jumlah saham yang dimilikinya. 13 Tanggung jawab pribadi adalah tanggung jawab yang dijamin dari seluruh harta pribadi. Sementara itu, pengertian dari harta pribadi dapat dirujuk pada Pasal 1131 KUH Perdata : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan” 14 Pemahaman ini dapat disejajarkan dengan pemahaman PT yang dalam ranah hukum dipandang berdiri sendiri (autonom) terlepas dari orang perseorangan yang berada dalam PT tersebut. Disatu pihak, PT merupakan wadah yang menghimpun orang-orang yang mengadakan kerjasama dalam PT, namun dilain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerjasama dalam PT tersebut oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan dadan itu sendiri. Karena itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu hutang atau kerugian dianggap menjadi beban PT sendiri yang dibayar dari kekayaan PT semata-mata. Manusia dan orang perseorangan yang ada, dianggap lepas eksistensinya dari PT itu. “Persona standi in judicio menjadi ungkapan latin yang dipergunakan untuk menggambarkan status kemandirian PT. Rudhi Prasetyo, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 9-10. persoalan ini. Pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan modal dapat dilakukan terhadap Perum (yang mengharuskan kepemilikan modal negara 100%), atau terhadap Persero yang memungkinkan dilakukannya joint capital dengan komposisi kepemilikan modal minimal Negara 51%, atau pada Perseroan Terbatas lainnya. Entitas hukum yang terakhir ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai BUMN, tetapi toh Negara dimungkinkan untuk melakukan penyertaan didalamnya. Dengan demikian gradasi kepemilikan modal (penuh, mayoritas, atau minoritas) tidak berimplikasi secara signifikan terhadap kemungkinan luas-sempitnya kewenangan “intervensi” governance terhadap perusahaan diluar yang diatur dalam perturan perundang-undangan dan/atau AD Perum atau Persero.15 c. Tengara lain, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pakar mengindikasikan bahwa Perum dan Persero tidak dapat dikategorikan sebagai badan publik. Dalam sejarah perkembangannya, Indonesia pernah mengenal Perusahaan Jawatan (Perjan) sebagai salah satu jenis BUMN, namun berdasarkan Pasal 19 UU BUMN, Perjan sudah dihapuskan. Penghapusan Perjan sejatinya lebih menegaskan kerancuan hubungan antara BUMN dengan APBN. Hubungan antara Negara dengan APBN hanya dimungkinkan melalui penyertaan dalam kualifikasi kekayaan negara yang dipisahkan. Mengandaikan Perjan masih dikenal sebagai salah satu bentuk BUMN, maka kualifikasi penyertaan melalui kekayaan negara yang dipisahkan ini menjadi gugur. Sebab, Perjan merupakan departemental agency dimana hubungan keuangannya bersifat langsung terhadap APBN. Dalam arti, pembiayaan Perjan dibebankan secara langsung pada APBN, kalau terjadi kerugian maka kerugian tersebut dibebankan secara langsung pada APBN. Demikian pula kalau Perjan memperoleh keuntungan maka keuntungan tersebut menjadi sumber pendapatan dari APBN tanpa melalui terminal kepemilikan oleh Perjan. Perum dan Persero memiliki sifat relasi financial yang berbeda dengan badanbadan public yang dibentuk oleh negara untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan negara. Perbedaan dasar relasi finansial antara Perum dan Persero pada satu sisi dengan badan publik pada sisi lain adalah bersifat tidak lang atau bersifat langsung. Berdasarkan ketiga argumen tersebut, penulis berpendapat bahwa kekayaan atau asset Perum dan Persero dengan kekayaan negara tidak sama dan sebangun. Dengan kata lain, asset atau kekayaan Perum dan Persero bukan merupakan kekayaan negara. Namun demikian tidak juga dapat dikonstruksikan pemikiran bahwa pemisahaan kekayaan negara dalam rangka penyertaan modal mengakibatkan hubungan antara asset atau kekayaan negara terputus sama sekali dari negara. Gradasi keterhubungan antara Negara dengan asset atau kekayaan Perum dan Persero yang terisa adalah layaknya keterhubungan antara pemegang saham dan PT, dalam suatu Perseroan Terbatas. Bertitik tolak dari konstruksi pemikiran yang demikian, maka relasi16 tersebut akan tercermin dalam 2 (dua) peristiwa, yaitu : a. Pada saat Perum atau Persero membagikan keuntungan usaha atau deviden, 15 Konsep dummy corporation dapat dipergunakan untuk menjelaskan terhadap perusahaan yang dikelola oleh pemilik modal tanpa mengindahkan dan melampoi batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap organ berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan/atau AD yang ada. Dalam hal yang demikian, biasanya pemilik modal (baca : pemegang saham) memperlakukan perusahaan sebagai bagian kepemilikannya tanpa mengindahkan doktrin keterpisahan entitas hukum. Pemilik modal biasanya menjadikan perusahaan sebagai alter ego, dalam pengertian apa yang dilakukan perusahaan sebagai representasi keinginan dari pemegang saham. 16 Yang dimaksudkan relasi dalam kalimat ini adalah keterhubungan antara Negara dengan asset atau kekayaan Perum dan Persero. Relasi ini akan mengakibatkan perubahan status dari kekayaan Perum atau Persero menjadi kekayaan Negara. Bahwa salah satu tujuan17 dari Negara mendirikan perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan Perum atau Persero menjadi salah satu sumber pendapatan dalam APBN.18 Penetapan pembayaran bagian keuntungan atau deviden yang akan dibayarkan oleh Perum atau Persero harus diputuskan Menteri (sebagai representasi pemilik modal pada Perum) atau RUPS. Dengan diputuskan adanya bagian keuntungan Perum atau Persero yang dibayarkan kepada Negara, maka demi hukum nominal yang diputuskan sebagai bagian keuntungan atau deviden tersebut menjadi kekayaan negara. Pembagian keuntungan atau deviden Perum atau Persero merupakan konstruksi hukum pemisahan kekayaan dari Perum atau Persero, sehingga nominal tersebut tidak lagi menjadi bagian dari asset atau kekayaan Perum atau Persero. Penyerahan (bagian keuntungan atau deviden) kepada Negara akan melahirkan title hak bagi negara untuk melakukan pendakuan sebagai kekayaan negara. b. Pada saat Perum atau Persero dibubarkan, Perum dan Persero pada dasarnya adalah entitas hukum yang terpisah dari entitas hukum yang menyertakan modalnya. Sebagai entitas hukum buatan, Perum sebagai entitas hukum ada sejak Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) yang menjadi dasar pendiriannya diundangkan (Pasal 35 ayat (2) UU BUMN). Sedang Persero memperoleh status sebagai badan hukum pada saat akta pendirian Persero memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.19 Sebagai subjek hukum buatan, Perum dan Persero memiliki daur hidup sejak entitas hukum tersebut dibentuk dan berakhir sejak entitas hukum tersebut dibubarkan. Menurut Pasal 64 ayat (1) UU BUMN, pembubaran BUMN ditetapkan dengan PP. Pembubaran BUMN akan menimbulkan akibat hukum asset BUMN yang dibubarkan tersebut kembali menjadi kekayaan negara. Pasal 64 ayat 2 UU BUMN menegaskan bahwa apabila tidak ditentukan lain dalam PP pembubaran BUMN, sisa hasil likuidasi atau pembubaran BUMN disetorkan langsung ke kas negara. Dalam penjelasan Pasal 64 ayat (2) UU BUMN ditegaskan dalam PP pembubaran BUMN, dapat pula ditetapkan agar sisa hasil likuidasi dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN lain yang telah ada atau dijadikan penyertaan dalam rangka pendirian BUMN baru. Dari apa yang telah diuraikan, dapat dilihat konstruksi hukum yang terkait dengan status hukum sisa kekayaan likuidasi atau pembubaran BUMN sejatinya akan kembali menjadi kekayaan negara. Sekalipun sisa kekayaan likuidasi atau pembubaran BUMN dapat secara langsung dijadikan penyertaan pada BUMN lain yang telah ada atau pada BUMN baru, namun konstruksi hukumnya harus dimaknai bahwa sisa kekayaan likuidasi tersebut disetorkan ke kas negara terlebih dahulu, baru kemudian dipisahkan lagi menjadi penyertaan pada BUMN lain atau BUMN baru. Dengan demikian, sebelum dipisahkan lagi (dalam rangka penyertaan BUMN lain atau BUMN baru), sisa kekayaan likuidasi BUMN tersebut kembali statusnya menjadi kekayaan negara. Argumen ini, diperkuat dalam penggalan kalimat lain dalam Pasal 64 ayat (2) UU BUMN yang meletakkan norma bahwa sisa kekayaan likuidasi tersebut disetorkan ke kas negara. Penyetoran ke kas negara memiliki makna pengembalian status sisa kekayaan likuidasi 17 Supra footnote No. 1 18 Secara kategorial, pendapatan negara dari keuntungan atau deviden yang diterima negara dikelompokkan dalan Pendapatan Negara Bukan Pajak (BNPB). 19 Bandingkan Pasal 11 UU BUMN Jo. Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UU PT. tersebut menjadi bagian dari kekayaan negara, yang pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada sistem APBN. Dari 2 (dua) argumen pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) cara mengalihkan (kembali) status kekayaan negara pada BUMN dapat dilakukan melalui pembayaran deviden (keuntungan) ke kas negara dan penyetoran kekayaan setelah BUMN dibubarkan. Dengan kembalinya status menjadi kekayaan negara tersebut, akan berimplikasi pula pada prinsip pembinaan dan pengelolaan kekayaan tersebut, yaitu berdasarkan prinsip pembinaan dan pengelolaan APBN, dan tidak dapat lagi pembinaan dan pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan terbangunnya argumen bahwa kekayaan BUMN sejatinya bukan merupakan kekayaan negara, maka hilanglah hak negara untuk mengintervensi secara langsung terhadap pengelolaan kekayaan BUMN tersebut, termasuk didalamnya hak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan BUMN. Implikasi lanjutnya adalah legitimasi konstruksi hukum bahwa penyalahgunaan keuangan yang terkait dengan pengelolaan usaha pada BUMN merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi gugur. Sebaliknya tidak pidana penyalahgunaan keuangan yang terjadi pada BUMN menjadi tidak pidana umum, yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah BUMN tidak mungkin lagi melakukan tindak pidana korupsi ? untuk menjawab pertanyaan ini, harus dilakukan pemilahan tindak pidana yang dilakukan oleh BUMN. Apabila BUMN sebagai entitas hukum melakukan tindak pidana berupa memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5-6 UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi yang diatur pada pasal tersebut pada dasarnya adalah memberikan atau menjanjikan sesuatu secara melawan hukum kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. C. KESIMPULAN Dari apa yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap pokok persoalan yang diangkat sebagai tema makalah ini sebagai berikut : 1. Pemisahan kekayaan negara yang diikuti dengan penyerahan kepada entitas hukum lain sebagaimana terjadi dalam penyertaan modal negara terhadap BUMN merupakan bentuk pengasingan kekayaan yang berimplikasi pada hilangnya status sebagai kekayaan negara. Dengan demikian, kekayaan BUMN - yang dapat berasal dari penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan, kapitalisasi, dan sumbangan pihak ketiga – bukan kekayaan negara. 2. Hubungan antara negara sebagai penyerta modal dan BUMN pada prinsiupnya tidak bersifat langsung. Dalam arti, negara sebagai pemilik modal hanya dapat melakukan intervensi terhadap BUMN sesuai dengan kerangka peraturan perundang-undangan atau Anggaran Dasar yang mengikat pada UMN tersebut. Kerangka campur tangan tersebut sejatinya ada dalm ranah prinsip pengelolaan perusahaan pada wilayah privat. 3. Tindak pidana korupsi mungkin saja dilakukan oleh suatu BUMN, tetapi tidak pidana tersebut terbatas pada tindak pidana berupa memberikan atau menjajikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam hal yang demikian tindakan pidana ini sejatinya tidak berbeda dengan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh subjek hukum yang lain. 4. Tindak pidana yang dilakukan dalam kerangga pengelolaan kekayaan BUMN berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan tidak termasuk pada kategori tindak pidana korupsi, melainkan merupakan tindak pidana umum. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku : Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung PT Citra Aditya Bakti, 2000. Rudhi Prasetyo, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, Salatiga, 2009, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2001. W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT Grasindo, Tahun 2006. Ibrahim R. ”Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, volume 26 No. 1 Tahun 2008. John F. Olson (May, 2007), Professor Bebchuk's Brave New World: A Reply to "The Myth of the Shareholder Franchise" 93 (3), Virginia Law Review, pp. 773–787. 2. UU : UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3. Internet : UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. http://www.merdeka.com/uang/deretan-komisaris-bumn-yang-tersandung-kasus-korupsidan-suap.html, http://www.antaranews.com/print/91834/president-urges-for-synergy-betweengovernment-and-red-cross. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&frm=1&source=web&cd=10&ved =0CGgQFjAJ&url=http%3A%2F%2Fwww.ptbanjarmasin.go.id%2Fmyfiles%2FPAPER %2520DISKUSI(1).doc&ei=s0nOUt32K8eHrQekxYCwBQ&usg=AFQjCNE4FHvbSza 5yhKeYNd--VYhT7IiEQ