BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perjanjian menguasai begitu banyak bagian dalam kehidupan sosial manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dua orang yang sedang menjalin perjanjian perkawinan; seorang yang sedang memilih makanan di pasar, menjalin perjanjian untuk membeli makanan tersebut dalam jumlah tertentu. Sedang perjanjian komersial dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Menurut Munir Fuady1 banyak definisi tentang perjanjian telah di berikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dan perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut. Salah satu definisi perjanjian yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary mengatakan : A mutual understanding between two or more persons about their relative rights and duties regarding past or future performances; a manifestation of mutual assent by two or more persons. 2 (Terjemahan bebas: Kesepakatan bersama antara dua orang atau lebih tentang hak dan kewajiban dalam hubungan mereka mengenai prestasi mereka di masa lalu dan masa mendatang; bentuk kesepakatan dari dua orang atau lebih). 1 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4. 2 Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, St.Paul. Minnesota, West Publishing Co., USA, hal. 78. 1 2 J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa, perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian berisi perikatan. 3 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatanya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian, adalah sumber perikatan. 4 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Mengingat terjadinya perjanjian berdasarkan pada kata sepakat, maka asas yang sangat mendasar dalam perjanjian adalah asas konsensualisme. Asas konsensualisme menurut Subekti merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern bagi terciptanya kepastian hukum.5 Dengan asas ini, perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme. perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata 3 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5 (selanjutnya disebut J. Satrio I). 4 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti I) hal. 1. 5 Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II) hal 5. 3 sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. 6 Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kata sepakat, tidak ada perjanjian. Menurut Subekti, asas konsensualime memiliki arti penting untuk melahirkan perjanjian cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian sudah lahir pada saat terjadinya konsensus atau kata sepakat. 7 Asas konsensualisme tersebut menurut Eggens merupakan puncak peningkatan puncak manusia yang disimpulkan dari pepatah ”een maan een man, een woord een word.” Pepatah itu menytakan bahwa diletakkannya kepercayaan pada perkataanya, orang itu ditingkat martabatnya yang tertinggi sebagai manusia. 8 Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian. 9 Ciri khas yang paling penting dari suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan perjanjian, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin suatu perjanjian yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama. 10 6 Ridwan Khairandy, 2004, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan Khairandy I), hal. 27. 7 R. Subekti, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti III) hal.35. 8 R. Subekti II, op.cit, hal. 6. 9 Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan Khairandy II), hal. 90. 10 Arthur s’ Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, 1993, Contract Law in the Netherlands, Deventer: Kluwer, hal 33. 4 Kata sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam suasana yang bebas pula. Perjanjian itu dilahirkan ex nihilo, yakni perjanjian sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) dari para pihak yang memberikan perjanjian. Perjanjian adalah hasil pilihan bebas. Tidak seorangpun terikat pada perjanjian sepanjang tidak tidak dilakukan atas dasar pilihan bebas untuk melakukan sesuatu kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan oleh maksud dan kehendak para pihak. Perjanjian secara eksklusif merupakan kehendak bebas dari para pihak yang membuat perjanjian. 11 Dengan demikian, perjanjian harus didasarkan pada sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian. Kata sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan suasana yang bebas pula. Kesepakatan dalam pembentukan perjanjian merupakan kesepakatan yang ”bulat” dan merupakan kesepakatan yang saling meneguntungkan (mutual benefit). Di dalam praktik, seringkali kesepakatan merupakan hasil paksaan, kekeliruan, atau penipuan. Kesepakatan memang terjadi, tetapi di dalam kesepakatan misalnya mengandung unsur penipuan atau paksaan. Kesepakatan yang demikian mengandung cacat kehendak. 12 Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect af consent) adalah kecacatan pada pembentukan kata sepakat dalam suatu perjanjian. Cacat kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, memang tampak seolah-olah adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini biasanya terjadi pada periode atau fase prakontrak. 13 11 Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 84-85. Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 217. 13 Ridwan Khairandy II, Op.cit. hal. 218. 12 5 Kesepakatan di dalam pembentukan suatu perjanjian seharusnya merupakan kesepakatan yang bulat dan merupakan kesepakatan yang saling menguntungkan. Dalam praktik, seringkali kesepakatan didapat itu merupakan hasil paksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan. Kesepakatan yang terjadi karena adanya salah satu unsur tersebut disebut kesepakatan yang mengandung cacat kehendak. 14 Sehubungan dengan hal itu Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan tiada kesepakatan yang memiliki kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan. Dengan demikian cacat kehendak yang disebutkan dalam Pasal l32l KUHPerdata tersebut meliputi: 1. Kesesatan atau kekhilafan (dwaling); 2. Paksaan (dwang atau bedreiging); dan 3. Penipuan (bedrog). Cacat kehendak yang disebutkan oleh Pasal l32l KUHPerdata tersebut dinamakan cacat kehendak yang klasik. Selain cacat kehendak yang dimaksud Pasal l32l KUHPerdata tersebut, di dalam praktik peradilan yang tercermin dari yurisprudensi dikenal pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). 15 Lembaga hukum (rechtsfiguur) penyalahgunaan keadaan (mishruik van omstandigheiden) merupakan bentuk cacat kehendak yang baru dalam sistem hukum perjanjian hukum Belanda. Hukum Perjanjian Belanda mengadopsi lembaga penyalahgunaan keadaan ini dari hukum Inggris. 16 Pada mulanya 14 Ridwan Khairandy II, Op.cit. Ridwan Khairandy II, Op.cit. 16 J.M. Van Dunne, 2002, Penyalahgunaan Keadaan, Kursus Hukum Perikatan Bagian III, terjemahan Sudikno Mertokusumo, 1987, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, hal. 16-27. 15 6 penyalahgunaan keadaan ini di dalam hukum Belanda berkembang dalam yurisprudensi. Sekarang lembaga ini diatur di dalam Artikel 3.44.4 Nederland Bugerlijk Wetboek (biasa disebut sebagai Niuwe Bw, BwBaru). 17 Di Indonesia, lembaga ini belum ada pengaturannya dalam KUHPerdata, tetapi ia telah diterima dalam yurisprudensi 18 sebagai bentuk cacat kehendak yang keempat. Penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian sebagai cacat kehendak yang diintroduksikan oleh pengadilan melalui yurisprudensi Indonesia setidaknya menimbulkan dua permasalahan, yakni: pertama, penggunaan penyalahgunaan perjanjian seringkali bertumpangtindih dengan iktikad baik; dan kedua, belum jelasnya tolok ukur untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan yang dibangun pengadilan. Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. 19 Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence). 20 Van Dunne menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan. 21 17 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 89. Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor 35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor 1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa. 19 Chaterine Tay Swee Kian dan Tang See chim, 1987, Contract Law, Times Book Intemational, Singapore, hal. 80. Lihat juga Paul Latimer, 1997, Australian Business Law, CH Australia Limted, Sydney, hal. 327-329. 20 A.G. Guest, (ed), 1979, Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, hal. 2. 21 J.M. Van Dunne, Op.Cit, hal. 16-27. 18 7 Pihak yang memiliki kedudukan khusus itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak yang lainnya yang lebih lemah. Hal tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan atau penipuan. Di sini terdapat ketidakseimbangan hubungan proses terjadinya kontrak. Konsep penyalahgunaan keadaan tidak mencari dasar pembenarannya pada doktrin kausa hukum yang tidak halal, melainkan pada cacat kehendak. 22 Penyalahgunaan keadaan dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang bersifat independen. Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya penggunaan itu dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik. 23 Dalam perkembangan hukum adanya penyalahgunaan keadaan dapat dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, meskipun hal ini secara tegas tidak diatur dalam KUHPerdata (norma kosong), khususnya dalam pasalpasal yang menyebutkan tentang alasan-alasan kebatalan yaitu Pasal 1322 22 Setiawan, 1993, “Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak”, Newsletter, No. l5, Vol.lV. 23 Ibid. hal. 84-85. 8 KUHPerdata tentang kekhilafan, Pasal 1323 KUHPerdata tentang paksaan dan Pasal 1328 KUHPerdata tentang penipuan, sebagai alasan pembatalan perjanjian. Berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia telah didukung oleh beberapa putusan hakim melalui lembaga peradilan yang memberikan pertimbangan dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian antara penggugat dengan tergugat dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan perjanjian tersebut telah dinilai tidak adil (unfair), sehingga merugikan pihak yang posisinya lemah. 24 Menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak lebih sesuai dengan kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian. Gugatan atas dasar penyalahgunaan keadaan terjadi dengan suatu tujuan tertentu. Penggugat seharusnya mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya tidak ia kehendaki atau bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki dalam bentuknya yang demikian. 25 Terhadap pendapat yang menggolongkan penyalahgunaan keadaan itu ke dalam “sebab yang tidak dibolehkan,” J.M van Dunne dan Gr van den Burght mengajukan adanya keberatan baberapa penulis, diperinci sebagai berikut: 26 Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian, sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau dimaksud bertentangan 24 Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor 35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor 1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa. 25 Ibid, hal. 185. 26 Henry P. Panggabean, 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van omstandigheden) sebagai Alasan (Baru) Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, hal. 42. 9 dengan undang-undang, kebiasaan yang tidak baik atau ketertiban. Pengertian “sebab yang tidak diperbolehkan” itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian. Pada penyalahgunaan keadaan, tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat. 27 Apabila dilihat dari sisi kepentingan para pihak, maka perjanjian yang demikian itu dari kreditur akan diuntungkan secara ekonomi karena posisinya yang lebih kuat. Sebaliknya dari sisi debitor karena ia berada pada posisi yang lemah maka ia akan dirugikan karena ia telah dihadapkan pada bentuk dan isi perjanjian yang sebenarnya tidak dikehendaki, tetapi terpaksa disetujui karena sudah tidak ada pilihan lagi baginya untuk mengemukakan suatu alternatif terutama apabila format perjanjian telah dibakukan oleh kreditor. Titik pangkal yang menjadikannya suatu perjanjian tidak seimbang adalah karena pengaruh faktor ekonomi. Karena posisi kreditor yang secara ekonomis kuat maka peluang kreditor untuk menyalahgunakan kekuasaan ekonomi (misbruik van economish overwicht), maka sedemikian besar lemahnya posisi debitor. Padahal, kehendak bebas para pihak dalam menentukan isi perjanjian merupakan hal terpenting sebagai salah satu syarat untuk syahnya suatu perjanjian. Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa bagaimana menciptakan adanya titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kakuasaan ekonomi yang disalahgunakan. 28 27 28 Van Dunne dan Gr van der Burgt, Op.cit. hal 9. Setiawan, Op.cit, hal. 191. 10 Gejala penyalahgunaan keadaanya sendiri dalam suatu kontrak bukan merupakan gejala yang baru. Adanya unsur seperti itu dalam kontrak sudah dikenal sejak lama, yang baru adalah bahwa ia diakui sebagai alasan tersendiri di luar cacat dalam kehendak yang tradisional untuk menuntut pembatalan kontrak yang mengandung unsur seperti itu. 29 Di Indonesia masalah penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam KUHPerdata (norma kosong). Kendatipun demikian sudah banyak hakim-hakim atau pengadilan mendasarkan pertimbangan penyalahgunaan keadaan dalam putusannya untuk membatalkan kontrak hingga akhirnya berkembang menjadi yurisprudensi. Ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan tersebut merupakan hal yang relatif baru di Indonesia, sehingga di dalam penempatannya masih menimbulkan sejumlah permasalahan, misalnya menyangkut keberadaan ajaran tersebut, karena penyalahgunaan keadaaan ini memang belum diatur dalam KUHPerdata. Di dalam berbagai perkara, juga terlihat adanya ketidakjelasan kriteria dalam menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan baik dari yang didalilkan oleh penggugat maupun pertimbangan hukum majelis hakim, dan juga permasalahan lain yang timbul dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan tersebut adalah bagaimana atau apa tolak ukurnya seorang telah melakukan penyalahgunaan keadaan tersebut. Ukuran itulah yang sebenarnya dapat menjadi dasar bagi hakim dalam menerapkan doktrin tersebut. Ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia relatif baru. Berlaianan dengan di Negara Belanda, doktrin penyalahgunaan keadaan belum dijadikan 29 Henry P. Panggabean I, Op.cit, hal. 42. 11 sebagai hukum positif. Penerapan doktrin penyalahgunaan keadaan keadaan dalam sistem civil law seperti Indonesia masih menimbulkan perdebatan. Dalam sistem hukum telah dikenal adanya doktrin itikad baik yang mencakup itikad baik dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak serta pelaksanaan kontrak. Selain itu, seringkali dijumpai kesalahan dalam memahami makna penyalahgunaan keadaan, bahkan ada yang menyamakan menyalahgunakan keadaan dengan unconscionability. Keduanya memiliki kesamaan pada adanya ketidakseimbangan posisi tawar menawar para pihak, tetapi di antara keduanya ada perbedaan. 30 Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah kasus penyalahgunaan keadaan karena adanya unsur dwaling, dwang dan bedrog (kasus jual beli tanah Maonah VS Herman Santosa) dan kasus penyalahgunaan keadaan karena adanya ketidakseimbangan ekonomi (kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS PT.Natrindo Telepon Seluler). Pada kasus jual beli tanah milik Maonah bermula dari kedatangan Herman Santoso kurang lebih pada awal oktober 2006 yang intinya membujuk Maonah supaya melepaskan haknya atas tanah tersebut untuk dibeli oleh Herman Santoso dengan alasan untuk kepentingan sendiri, yaitu digunakan membuat kebun vanili. Namun Herman Santoso menyembunyikan keadaan yang sebenarnya bahwa tanah tersebut akan di jual kembali kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota Magelang dengan harga yang jauh lebih tinggi yang mengakibatkan Maonah sangat dirugikan, karena tidak diberitahu keadaan yang sebenarnya tanah tersebut akan dibeli oleh Pemerintah Kota Magelang c.q. Walikota Magelang untuk pengembangan GOR Samapta dan Santoso memang bermaksud menyembunyikan kenyataan tersebut untuk keuntungan Herman Santoso. 30 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 21-22. 12 Pada titel gugatannya Maonah mendalilkan "Perbuatan Melawan Hukum" yang berupa penyalahgunaan keadaan dengan menyembunyikan tujuan pembelian yang dilakukan Herman Santoso, namun pada materi lainnya Maonah menyatakan perbuatan hukum Herman Santoso membeli tanah dari Maonah dan menjual kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota Magelang adalah tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan serta tindakan melawan hukum adalah dalil yang tidak didasarkan atas bukti yang kuat dan saling tidak berkesesuaian. Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Magelang telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 24/PDT/G/2008/PN.MGL., tangga l1 Juni 2009, menyatakan Herman Santoso telah melakukan penyalahgunaan keadaan/ kesempatan untuk membeli tanah SHM No.86 atas nama Maonah sehingga memutuskan batalnya jual beli di bawah tangan antara Maonah dan Herman Santoso atas tanah SHM No.86 atas nama Maonah yang terletak di Dukuh Sanden, Kelurahan Kramat, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan No. 288/Pdt/2009/PT.Smg., tanggal 10 November 2009. Putusan ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1992 K/Pdt/2010. Dalam kasus di atas secara tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut adalah bertentangan dengan kepatutan yang merupakan inti atau isi itikad baik. Dalam hal ini terjadi penyalahgunaan keadaan yang dimungkinkan karena tidak adanya itikad baik dari pembeli. 31 31 Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 23. Lihat juga Retnowulan Sutanto, 1990, “Perjanjian Menurut Hukum Indonesia,” Varia Peradilan, Tahun V, No.56, Mei 1990, hal. 131. 13 Pada kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS PT.Natrindo Telepon Seluler (NTS)). Telkomsel sebagai incumbent operator memiliki beberapa keuntungan dan keunggulan, diantaranya adalah jaringan yang mapan dan telah dikenal baik oleh pelanggan. NTS sebagai pemain baru tentu saja belum memiliki kedua hal tersebut sehingga posisi pasaran NTS masih lemah dan pangsa pasarnya pun masih sangat sedikit. Terlebih lagi dengan lisensi regional yang dimiliki NTS, pelanggan NTS hanya bisa berkomunikasi dengan sesama pelanggan NTS yang berada di region tersebut, yaitu Jawa Timur. 32 Dalam hal perebutan pelanggan, incumbent tentu akan lebih unggul. Calon pelanggan akan lebih memilih incumbent sebagai operator yang memiliki keunggulan dalam jaringan dan pelanggan karena calon pelanggan tersebut dapat berkomunikasi dengan banyak pelanggan dalam jaringan tersebut. Hal tersebut tentu tidak berlaku bagi NTS sebagai operator dengan jaringan dan pelanggan yang sedikit. Calon pelanggan tentu saja akan mempertimbangkan masak-masak untuk memilih operator baru. Calon pelanggan tentu saja tidak ingin jika mereka hanya dapat berkomunikasi dengan sedikit pelanggan yang di-cover oleh jaringan operator baru tersebut. Hal ini menyebabkan operator baru akan sangat sulit untuk berkembang. Oleh karena itu, NTS memiliki ketergantungan dengan Telkomsel dimana jika NTS tidak berinterkoneksi, NTS tidak mampu meraih calon pelanggan yang banyak dan tidak dapat bersaing dalam pasar telekomunikasi seluler. Kebutuhan interkoneksi tersebut juga mendesak manakala diperlukan 32 Merupakan bagian dari putusan seperti yang dikutip pada Putusan Komisi Persaingan Usaha dengan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. 14 uang atau modal yang besar untuk membangun infrastruktur dan jaringan tidak sementara perlu adanya pemasukan untuk menjaga kelangsungan usaha. 33 Dengan kata lain, NTS tidak memiliki pilihan lain yang memungkinkannya untuk mempertahankan dan memajukan perusahaan selain berinterkoneksi dengan incumbent. Kondisi ini menurut Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) merupakan kondisi istimewa (bizondere omstandigheden) yaitu ketergantungan yang dalam hal ini ketergantungan NTS terhadap Telkomsel. Untuk dapat berinterkoneksi, NTS harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan incumbent terkait masalah teknis dan biaya yang selanjutnya disepakati dituangkan dalam suatu perjanjian. Sehingga pada tahun 2001, dibuatlah Perjanjian Kerja Sama Interkoneksi Telkomsel-NTS sebagai dasar bagi NTS agar dapat berinterkoneksi dengan Telkomsel. 34 Telkomsel dalam hal ini pasti mengetahui bahwa NTS karena keadaan istimewa yang dialaminya, tergerak untuk menutup Perjanjian Interkoneksi. Jika tidak demikian, Telkomsel semestinya mengetahui kondisi tersebut karena merupakan suatu suatu hal yang nyata (kenbaarheid). Kondisi ini tentu saja tidak seimbang. NTS tidak memiliki bargaining power yang setara dengan Telkomsel. Sehingga, mau tidak mau NTS harus mengikuti ketentuan tersebut. Jika tidak, interkoneksi tidak akan diberikan oleh Telkomsel (take it or leave it contract). Pada dasarnya, NTS tidak pernah berinisiatif sejak awal dalam suatu kesepakatan untuk menetapkan harga Short Message Servise tersebut. 35 33 Ibid. Ibid. 35 Ibid. 34 15 Berdasarkan uraian tersebut, terdapat ketidakseimbangan yang nyata yang justru menguntungkan Telkomsel. Meskipun pada pokoknya kesepakatan dibuat mengenai interkoneksi, namun syarat penetapan harga SMS menjadi bagian yang juga harus disetujui. Meskipun belum ada peraturan mengenai harga layanan SMS, NTS dalam keadaan tidak bebas untuk menegosiasikannya karena kondisi inequality of bargaining power. Perjanjian interkoneksi antara Telkomsel dengan NTS selanjutnya dinyatakan batal. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat dengan unsur-unsur dwaling (kekeliruan/kekhilafan/kesesatan), dwang (paksaan) dan bedrog (penipuan) sebagaimana perjanjian jual-beli tanah antara Maonah dengan Herman Santoso serta perjanjian yang dibuat berdasarkan kondisi ekonomi yang tidak seimbang sebagaimana perjanjian interkoneksi antara Telkomsel dengan NTS seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dibatalkan oleh Hakim karena memenuhi unsur-unsur penyalahgunaan keadaan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa peraturan perundangundangan di Indonesia belum mengatur secara jelas (norma kabur) tentang penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan perjanjian, sebagai akibatnya pengadilan dalam memutus perkara penyalahgunaan keadaan tersebut lebih banyak diawali oleh hakim berdasarkan pada yurisprudensi hakim baik hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi ataupun hakim pada Mahkamah Agung atau bahkan hanya berlandasakan pada pertimbangan hakim semata. Hal ini dapat dikatakan bahwa masih terjadi norma kosong untuk pengaturan penyalahgunaan keadaan dan akibat hukumnya. Penyalahgunaan keadaan seringkali ditemukan dalam pembuatan perjanjian atau kontrak seperti misalnya pemberlakuan perjanjian baku khususnya pada perjanjian kredit baik dengan lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan non-perbankan, perjanjian jual beli yang didahului 16 dengan adanya keadaan tertentu yang memaksa salah satu pihak terpaksa menyetujui untuk melakukan transaksi jual beli. Sebenarnya tidak dikehendakinya, perjanjian sewa menyewa, perjanjian dalam hubungan kerja baik pada hubungan kerja waktu tertentu, hubungan kerja waktu tidak tertentu maupun hubungan kerja berbasis outsourcing dan masih banyak lagi. Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan- perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan Penyalahgunaan Keadaan yaitu: 1. Penelitian Muhammad Arifin dengan judul ”Penyalahgunaan Keadaan sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamaddiyah Sumatera Utara, Medan, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah implementasi asas kebebasan berkontrak dalam pembuatan suatu kontrak? b. Apakah penyalahgunaan keadaan sebagai faktor pembatasan kebebasan berkontrak? Penelitian Muhammad Arifin dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Arifin menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). 17 2. Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan judul ”Keadaan Memaksa sebagai Dasar Pembelaan Debitur: Studi kasus H. Darmawan Kasim terhadap PT. Telkomsel”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana keadaan memaksa dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan debitur akibat wanprestasi? b. Bagaimana pembatasan terhadap berlakunya keadaan memaksa sebagai dasar pembelaan debitur yang wanprestasi? c. Apakah pembelaan PT. Telkomsel terhadap gugatan H. Darmawan Kasim yang didasarkan pada adanya keadaan memaksa dapat dibenarkan menurut hukum? Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya dengan wanprestasi dan pembatalan kontrak. Perbedaannya jika penelitian Rizky Fauziah Putri menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). 3. Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan judul ” Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun”. Tesis dari Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut: 18 a. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional Akta Pemisahan Rumah Susun? b. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi rumah susun? Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). Perbedaannya jika penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari meneliti tentang penyalahgunaan keadaan memaksa, maka pada penelitian yang akan dilakukan meneliti penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan kontrak. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka saya tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang pembatalan kontrak berdasarkan unsur penyalahgunaan keadaan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions sebagai berikut: 19 1. Unsur-unsur apakah yang menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak? 2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah : 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim di Indonesia untuk membatalkan perjanjian yang bersangkutan. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur-unsur yang menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan. 20 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan berguna dalam rangka pemantapan pengembangan studi hukum dan pembangunan secara interdisiplin, terutama berkaitan dengan masalah penyalahgunaan keadaan terhadap penerapan pelaksanaan kontrak, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut legalitas formal saja, tetapi dikaitkan dengan perubahan dan perkembangan zaman. 1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan masukan secara riil bagi pembuatan kebijakan hukum kontrak dan sistem peradilan perdata di Indonesia serta dalam rangka pembuatan kebijakan hukum nasional Indonesia. 1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief Sidharta, 36 teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan 36 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 104. 21 keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. menganalisis Teori-teori penyalahgunaan yang keadaan digunakan yang untuk melihat disebabkan dan adanya ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian digunakan Teori Keadilan dan Keseimbangan serta Teori Kepastian Hukum, sedangkan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep dan Asas Hukum Perjanjian, Konsep Pembatalan Perjanjian, dan Konsep Penyalahgunaan Keadaan. 1.5.1.1 Teori Keadilan dan Keseimbangan Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya ketidakseimbangan baik posisi maupun ekonomi para pihak yang membuat perjanjian, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang memiliki posisi lemah. Teori keadilan dan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, 37 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how 37 Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67. 22 it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.38 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. 39 Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum. 40 38 Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 39 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal.23. 40 Gustav Radbruch, Op.cit, hal.107. 23 Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 41 Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan : 42 “Bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.” Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya : 43 “Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian 41 Achmad Ali, Op.cit, hal. 95-96. Achmad Ali, Op.cit, hal. 96. 43 Achmad Ali, Op.cit, hal. 96. 42 24 hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno. 44 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat. 45 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbedabeda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan. Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. 44 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96. 45 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81. 25 Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsipprinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan. 46 Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law). 47 Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan. 48 According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including how the law participated and supported the efforts. (Terjemahan bebas: Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari 46 W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 47 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 48 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 11. 26 pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut). 49 Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). 50 1.5.1.2 Teori Kepastian Hukum Penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam Peraturan Perundangundangan maupun KUHPerdata Penyalahgunaan keadaan di Indonesia. Jadi, dapat dikatakan dalam perjanjian belum memiliki kepastian hukum apakah diperbolehkan atau di larang. Berdasarkan hal ini maka dalam penelitian ini digunakan Teori Kepastian Hukum untuk menganalisis permasalahan yang kedua mengenai dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan. Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan 49 Ibid. Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal. 48-51. 50 27 aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum. 51 Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. 52 Terkait dengan kepastian hukum, Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”. 53 Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan. 54 Berdasarkan teori kepastian hukum yang telah diuraikan di atas, maka saya berpendapat bahwa dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan dan tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir. Selain itu kepastian hukum juga mengandung arti tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksanakan. 51 Achmad Ali, Op.cit, hal.67. Gustav Radbruch, Op.cit, hal. 107. 53 Achmad Ali, Op.cit., hal.293. 54 Gustav Radbruch, Op.cit, hal.109. 52 28 1.5.1.3 Konsep dan Asas Hukum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Tesis ini membahas tentang pembatalan kontrak berdasarkan unsur penyalahgunaan keadaan. Dengan demikian dapat dikatakan topik atau tesis ini terkait dengan kontrak/perjanjian. Oleh sebab itu dalam tesis ini digunakan konsep perjanjian. Konsep ini diguanakan untuk menganalisis permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti 55 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT Tirtodiningrat 56 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibatakibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Menurut Neiwenhuis, 57 perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban. Pengertian kontrak atau perjanjian yang 55 Subekti I, Op.cit, hal. 45. A. Qirom Meliala, 2008, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8. 57 J.H. Niewenhuis, 2005, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III). 56 29 dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 2. Syarat Syahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu: a. b. c. d. Adanya kata sepakat; Kecakapan untuk membuat perjanjian; Adanya suatu hal tertentu; Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedang jika syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. 58 3. Asas-Asas dalam Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. 59 58 Subekti I, Op.cit, hal. 17-20. Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 34. 59 30 Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. 60 Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 61 a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. 62 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya: 63 60 Ibid. Ridwan Khairaandy I, Op.cit, hal. 21. 62 J. Satrio, 2003, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, hal.36 (selanjutnya disebut J. Satrio II). 63 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 61 31 1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; 2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; 4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan 5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 64 b. Asas konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah ”semua.” Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 65 64 Ibid, hal. 4. Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I), hal. 113. 65 32 Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. 66 Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan pengecualiannya akta Notaris, yaitu akan undang-undang tetapi hal menetapkan ini ada formalitas- formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil. 67 c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para 66 Riduan Syahrani, 2004, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.45. 67 Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.250. 33 pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya “hakim” untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal: 1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. d. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. 68 Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian obyektif). 69 Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah 68 Johannes Gunawan, 2003, “Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22, No.6, hal.48. 69 Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 42. 34 bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 70 Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. e. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 71 4. Konsep Pembatalan Perjanjian Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut: 70 Arvie Johan, 2011, “Kesetaraan dan Keseimbangan sebagai Perwujudan Itikad Baik Berlandaskan Pancasila,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.14, No.1, hal.128146. 71 Subekti I, Op.cit, hal.42. 35 a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum; b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat: 1) perjanjian batal demi hukum, atau 2) perjanjian dapat dibatalkan; c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat; d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana; e. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-undang. 72 Kondisi yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian selanjutnya diuraikan sebagai berikut: a. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig) Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. 73 Berikut ini alasan mengapa perjanjian batal demi hukum. 1) Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi. 72 Gerry R. Weydekamp, 2013, “Pembatalan Perjanjian Sepihak sebagai Suatu Perbuatan Melawan Hukum,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal.134-135. 73 Subekti III, Op.cit, hal. 19. 36 2) Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi. 3) Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum. 4) Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi. b. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar) Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini alasan tentang hal tersebut. 1) Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya. 2) Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan Tindakan Hukum. 74 c. Penuntutan Pembatalan, dan Penguatan atau Penetapan, atas Perjanjian yang Dapat Dibatalkan. 1) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana). 2) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak yang Berwenang karena Undang- Undang. 74 Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.154-157. 37 3) Putusan Hakim tentang Kebatalan Perjanjian yang Menjadi Yurisprudensi. 75 Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjianperjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek Pada keadaan seperti itu, hukum menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 KUHPerdata harus dikembalikan. Pasal 1359 KUHPerdata berbunyi “Tiap pembayaran mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali”. 76 Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan akibat-akibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan 75 Ibid. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, hal.47-48 (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I). 76 38 pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut: 77 a. Penyebutan alasan pemutusan kontrak. b. Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak. c. Mengesampingkan Pasal 1266 KUHPerdata. d. Tata cara pemutusan kontrak. Ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata tidak memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu. Prinsip Perlindungan Pihak Yang Dirugikan. Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam ilmu hukum kontrak adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan. Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak yang melakukan wanprestasi pun dilindungi. Karena itu dalam hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi. 78 77 78 Munir Fuady, Op.cit, hal. 93. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I, Op.cit. 39 Seperti telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan hak untuk melakukan terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya) kepada pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu. Pada prinsipnya KUHPerdata tidak mensyaratkan eksistensi unsur “kesalahan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara lain akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak. Dengan demikian, menurut sistem KUHPerdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat dimintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat Force Majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang Force Majeure dan tentang “resiko”. 79 1.5.1.4 Konsep Penyalahgunaan Keadaan 79 Taryana Soenandar, 2004, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hal.121. 40 Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan padanan dari istilah misbruik van omstandigheden, dalam Kamus Hukum, misbruik van omstandigheden adalah penyalahgunaan keadaan, yaitu keadaan dimana orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. 80 Penyalahgunaan keadaan sebagai faktor yang membatasi kebebasan berkontrak, berhubungan dengan terjadinya kontrak, bukan karena causa yang tidak dibolehkan. Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian karena tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak. 81 Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak, yakni menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi atau maksud kontrak menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Penyakit sesungguhnya tidak terletak pada causa yang tidak dibolehkan, tetapi terletak pada cacat kehendak. 82 Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar akan dapat mendominasi dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu kontrak, sehingga pihak lain terpaksa mengadakan kontrak tersebut. Sedikit banyaknya harus ada kedudukan terpaksa dari pihak yang membutuhkan, dimana dalam keadaan itu 80 Bryana Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, West Thomson Return Business, Amerika, hal. 346. 81 Arthur Lewis, 2009, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, penerjemah Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, hal. 132, dalam terjemahan ini istilah undue influence dipadankan menjadi pengaruh yang menjerumuskan. 82 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 11. 41 tidak ada alternatif riil untuk membuat kontrak dengan orang lain, dan dengan demikian juga tidak ada kemungkinan untuk mengadalan kontrak yang riil.83 Keunggulan yang tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu, yang dibuat karena keterpaksaan.pihak yang lebih lemah untuk memenuhi keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas kebebasan berkontrak, dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat, namun karena kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas kehendak bebas, melainkan karena keadaan terpaksa, maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan keadaan. Kiranya dapat dikatakan, bahwa kebebasan berkontrak yang tidak bertanggung jawab akan cenderung dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan. Dengan diakuinya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan kontrak, maka ia sekaligus berfungsi sebagai faktor pembatas terhadap praktik kebebasan dalam pembuatan kontrak. Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya adalah mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Keunggulan itu tidak saja bersifat ekonomis, tetapi juga keunggulan kejiwaan atau keduanya, baik keunggulan ekonomis maupun keunggulan kejiwaan. Apabila dilakukan penyalahgunaan keunggulan, terjadilah penyalahgunaan keadaan. 84 Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari oleh pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya dengan memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak seimbang. Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis dapat terjadi dengan 83 84 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 19. J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 16. 42 persyaratan dasar: 85 (1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain; (2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian atau kontrak. Sementara itu, terhadap Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan kejiwaan dapat terjadi apabila: (1) salah satu pihak menyalahgunakan keuntungan relatif, yaitu terdapat hubungan kepercayaan istimewa, seperti antara orang tuaanak, suami-isteri, dokterpasien; (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh gangguan jiwa, usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan dan kondisi badan yang tidak baik. Dengan kondisi kejiwaan yang demikian, pihak yang dirugikan ada dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi. 1.5.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut: 85 J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 18-20. 43 Perjanjian Cacat Kehendak (Pasal 1321 KUHPer ketidakseimbangan Psikologis/ Kejiwaan Ekonomi • Teori Keadilan dan Keseimbangan • Teori Kepastian Hukum • Konsep dan Asas Hukum Perjanjian • Konsep Penyalahgunaan Keadaan Dwaling Dwang Penyalahgunaan Keadaan Perjanjian dapat dibatalkan Pembatalan Kontrak Berdasarkan Unsur Penyalahgunaan Keadaan 1. Bagaimanakah menentukan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak? 2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan? Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Bedrog 44 Berangkat belum jelasnya pengaturan mengenai penyalahgunaan keadaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dalam hal ini berarti masih terdapat norma kosong mengenai pengaturan penyalahgunaan keadaan dan akibat hukumnya, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan keadaan. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.86 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata. 87 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. 86 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295. 87 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14. 45 Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu : 88 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach). 3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 4. Pendekatan Historis (historical approach). 5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). 6. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan keadaan dan pembatasan kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 1992 K/Pdt/2010 serta Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 26/KPPU-L/2007. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak 88 Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 300-301. 46 langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari : 89 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358). d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432). e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491). f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1). 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini. 90 89 Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 90 Johny Ibrahim, Op.cit, hal. 392. 47 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, 91 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.92 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran kepustakaan, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan 91 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 92 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23. 48 hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai berikut: 1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya. 2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif. 3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder. 4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat. 5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 93 93 Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.