BAB I - Universitas Udayana Repository

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perjanjian menguasai begitu banyak bagian dalam kehidupan sosial
manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak perjanjian yang telah
dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah
kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dua
orang yang sedang menjalin perjanjian perkawinan; seorang yang sedang memilih
makanan di pasar, menjalin perjanjian untuk membeli makanan tersebut dalam
jumlah tertentu. Sedang perjanjian komersial dalam pengertiannya yang paling
sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk
melakukan transaksi bisnis.
Menurut Munir Fuady1 banyak definisi tentang perjanjian telah di berikan
dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dan perjanjian
tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan
dalam definisi tersebut. Salah satu definisi perjanjian yang diberikan oleh Black’s
Law Dictionary mengatakan :
A mutual understanding between two or more persons about their relative
rights and duties regarding past or future performances; a manifestation of
mutual assent by two or more persons. 2 (Terjemahan bebas: Kesepakatan
bersama antara dua orang atau lebih tentang hak dan kewajiban dalam
hubungan mereka mengenai prestasi mereka di masa lalu dan masa
mendatang; bentuk kesepakatan dari dua orang atau lebih).
1
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,
Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4.
2
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, St.Paul. Minnesota, West
Publishing Co., USA, hal. 78.
1
2
J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa, perjanjian adalah peristiwa
yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua
pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian berisi perikatan. 3
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Dari peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatanya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah
bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian, adalah sumber
perikatan. 4
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian
adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata
sepakat atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Mengingat terjadinya perjanjian berdasarkan pada kata sepakat, maka asas
yang sangat mendasar dalam perjanjian adalah asas konsensualisme. Asas
konsensualisme menurut Subekti merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian
modern bagi terciptanya kepastian hukum.5 Dengan asas ini, perjanjian harus
didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Dengan asas konsensualisme. perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata
3
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5 (selanjutnya disebut J. Satrio I).
4
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya
disingkat Subekti I) hal. 1.
5
Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II) hal 5.
3
sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian
tersebut. 6 Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kata sepakat, tidak ada
perjanjian.
Menurut Subekti, asas konsensualime memiliki arti penting untuk
melahirkan perjanjian cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian sudah lahir pada saat
terjadinya konsensus atau kata sepakat. 7 Asas konsensualisme tersebut menurut
Eggens merupakan puncak peningkatan puncak manusia yang disimpulkan dari
pepatah ”een maan een man, een woord een word.” Pepatah itu menytakan bahwa
diletakkannya kepercayaan pada perkataanya, orang itu ditingkat martabatnya
yang tertinggi sebagai manusia. 8 Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut
paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak
(convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat perjanjian. 9
Ciri khas yang paling penting dari suatu perjanjian adalah adanya
kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini
bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan perjanjian, tetapi hal itu
penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu,
sangat mungkin suatu perjanjian yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan
bersama. 10
6
Ridwan Khairandy, 2004, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan Khairandy I), hal.
27.
7
R. Subekti, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti III) hal.35.
8
R. Subekti II, op.cit, hal. 6.
9
Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat
Ridwan Khairandy II), hal. 90.
10
Arthur s’ Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, 1993, Contract Law in
the Netherlands, Deventer: Kluwer, hal 33.
4
Kata sepakat harus dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan dalam
suasana yang bebas pula. Perjanjian itu dilahirkan ex nihilo, yakni perjanjian
sebagai perwujudan kebebasan kehendak (free will) dari para pihak yang
memberikan perjanjian. Perjanjian adalah hasil pilihan bebas. Tidak seorangpun
terikat pada perjanjian sepanjang tidak tidak dilakukan atas dasar pilihan bebas
untuk melakukan sesuatu kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan oleh
maksud dan kehendak para pihak. Perjanjian secara eksklusif merupakan kehendak
bebas dari para pihak yang membuat perjanjian. 11 Dengan demikian, perjanjian harus
didasarkan pada sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian. Kata sepakat harus
dibentuk berdasarkan kehendak bebas dan suasana yang bebas pula.
Kesepakatan dalam pembentukan perjanjian merupakan kesepakatan yang
”bulat” dan merupakan kesepakatan yang saling meneguntungkan (mutual
benefit). Di dalam praktik, seringkali kesepakatan merupakan hasil paksaan,
kekeliruan, atau penipuan. Kesepakatan memang terjadi, tetapi di dalam
kesepakatan misalnya mengandung unsur penipuan atau paksaan. Kesepakatan
yang demikian mengandung cacat kehendak. 12
Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect af consent) adalah kecacatan
pada pembentukan kata sepakat dalam suatu perjanjian. Cacat kehendak ini adalah
tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat
kehendak, memang tampak seolah-olah adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat
itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini biasanya terjadi
pada periode atau fase prakontrak. 13
11
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 84-85.
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 217.
13
Ridwan Khairandy II, Op.cit. hal. 218.
12
5
Kesepakatan
di
dalam
pembentukan
suatu
perjanjian
seharusnya
merupakan kesepakatan yang bulat dan merupakan kesepakatan yang saling
menguntungkan. Dalam praktik, seringkali kesepakatan didapat itu merupakan
hasil paksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan. Kesepakatan
yang terjadi karena adanya salah satu unsur tersebut disebut kesepakatan yang
mengandung cacat kehendak. 14
Sehubungan dengan hal itu Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan tiada
kesepakatan yang memiliki kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya karena paksaan atau penipuan. Dengan demikian cacat kehendak
yang disebutkan dalam Pasal l32l KUHPerdata tersebut meliputi:
1. Kesesatan atau kekhilafan (dwaling);
2. Paksaan (dwang atau bedreiging); dan
3. Penipuan (bedrog).
Cacat kehendak yang disebutkan oleh Pasal l32l KUHPerdata tersebut
dinamakan cacat kehendak yang klasik. Selain cacat kehendak yang dimaksud
Pasal l32l KUHPerdata tersebut, di dalam praktik peradilan yang tercermin dari
yurisprudensi dikenal pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yakni
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). 15
Lembaga hukum (rechtsfiguur) penyalahgunaan keadaan (mishruik van
omstandigheiden) merupakan bentuk cacat kehendak yang baru dalam sistem
hukum perjanjian hukum Belanda. Hukum Perjanjian Belanda mengadopsi
lembaga penyalahgunaan keadaan ini dari hukum Inggris. 16 Pada mulanya
14
Ridwan Khairandy II, Op.cit.
Ridwan Khairandy II, Op.cit.
16
J.M. Van Dunne, 2002, Penyalahgunaan Keadaan, Kursus Hukum Perikatan
Bagian III, terjemahan Sudikno Mertokusumo, 1987, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum
Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, hal. 16-27.
15
6
penyalahgunaan keadaan ini di dalam hukum Belanda berkembang dalam
yurisprudensi. Sekarang lembaga ini diatur di dalam Artikel 3.44.4 Nederland
Bugerlijk Wetboek (biasa disebut sebagai Niuwe Bw, BwBaru). 17 Di Indonesia,
lembaga ini belum ada pengaturannya dalam KUHPerdata, tetapi ia telah diterima
dalam yurisprudensi 18 sebagai bentuk cacat kehendak yang keempat.
Penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian sebagai cacat kehendak yang
diintroduksikan oleh pengadilan melalui yurisprudensi Indonesia setidaknya
menimbulkan dua permasalahan, yakni: pertama, penggunaan penyalahgunaan
perjanjian seringkali bertumpangtindih dengan iktikad baik; dan kedua, belum
jelasnya tolok ukur untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan
yang dibangun pengadilan.
Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu
perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan
penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat
mengambil putusan yang independen. 19 Penekanan tersebut dapat dilakukan
karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang
dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence). 20 Van Dunne
menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena
keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan. 21
17
Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 89.
Putusan
Pengadilan
Negeri
Magelang
Nomor
35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai
Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor
1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa.
19
Chaterine Tay Swee Kian dan Tang See chim, 1987, Contract Law,
Times Book Intemational, Singapore, hal. 80. Lihat juga Paul Latimer, 1997,
Australian Business Law, CH Australia Limted, Sydney, hal. 327-329.
20
A.G. Guest, (ed), 1979, Anson’s Law of Contract, Clarendon Press,
Oxford, hal. 2.
21
J.M. Van Dunne, Op.Cit, hal. 16-27.
18
7
Pihak yang memiliki kedudukan khusus itu mengambil keuntungan secara
tidak pantas dari pihak yang lainnya yang lebih lemah. Hal tersebut dilakukan
tanpa adanya paksaan atau penipuan. Di sini terdapat ketidakseimbangan hubungan
proses terjadinya kontrak. Konsep penyalahgunaan keadaan tidak mencari dasar
pembenarannya pada doktrin kausa hukum yang tidak halal, melainkan pada cacat
kehendak. 22
Penyalahgunaan keadaan dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak
mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari
suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan
keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang
bersifat independen.
Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali
tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang
merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah
satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti
sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya penggunaan itu
dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu
sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik. 23
Dalam perkembangan hukum adanya penyalahgunaan keadaan dapat
dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, meskipun hal ini secara
tegas tidak diatur dalam KUHPerdata (norma kosong), khususnya dalam pasalpasal yang menyebutkan tentang alasan-alasan kebatalan yaitu Pasal 1322
22
Setiawan, 1993, “Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak”,
Newsletter, No. l5, Vol.lV.
23
Ibid. hal. 84-85.
8
KUHPerdata tentang kekhilafan, Pasal 1323 KUHPerdata tentang paksaan dan
Pasal 1328 KUHPerdata tentang penipuan, sebagai alasan pembatalan perjanjian.
Berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia telah
didukung oleh beberapa putusan hakim melalui lembaga peradilan yang
memberikan pertimbangan dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian
antara penggugat dengan tergugat dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan perjanjian tersebut telah dinilai tidak adil (unfair), sehingga
merugikan pihak yang posisinya lemah. 24
Menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat
kehendak lebih sesuai dengan kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang
yang
dirugikan
menuntut
pembatalan
perjanjian.
Gugatan
atas
dasar
penyalahgunaan keadaan terjadi dengan suatu tujuan tertentu. Penggugat
seharusnya mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya tidak ia kehendaki atau
bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki dalam bentuknya yang demikian. 25
Terhadap pendapat yang menggolongkan penyalahgunaan keadaan itu ke dalam
“sebab yang tidak dibolehkan,” J.M van Dunne dan Gr van den Burght
mengajukan adanya keberatan baberapa penulis, diperinci sebagai berikut: 26
Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian,
sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau dimaksud bertentangan
24
Putusan
Pengadilan
Negeri
Magelang
Nomor
35/Pdt.G/2003/PN.Kab.Mgl, pada kasus jual beli tanah antara Tolani sebagai
Penggugat dan Endang Billy Setiawan; dan Pututsan Mahkamah Agung Nomor
1992 K/Pdt/2010, pada kasus jual beli tanah antara Maonah dan Herman Santosa.
25
Ibid, hal. 185.
26
Henry P. Panggabean, 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van
omstandigheden) sebagai Alasan (Baru) Pembatalan Perjanjian, Liberty,
Yogyakarta, hal. 42.
9
dengan undang-undang, kebiasaan yang tidak baik atau ketertiban. Pengertian
“sebab yang tidak diperbolehkan” itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian.
Pada penyalahgunaan keadaan, tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi
perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya
perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan
kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat. 27
Apabila dilihat dari sisi kepentingan para pihak, maka perjanjian yang
demikian itu dari kreditur akan diuntungkan secara ekonomi karena posisinya
yang lebih kuat. Sebaliknya dari sisi debitor karena ia berada pada posisi yang
lemah maka ia akan dirugikan karena ia telah dihadapkan pada bentuk dan isi
perjanjian yang sebenarnya tidak dikehendaki, tetapi terpaksa disetujui karena
sudah tidak ada pilihan lagi baginya untuk mengemukakan suatu alternatif
terutama apabila format perjanjian telah dibakukan oleh kreditor.
Titik pangkal yang menjadikannya suatu perjanjian tidak seimbang adalah
karena pengaruh faktor ekonomi. Karena posisi kreditor yang secara ekonomis
kuat maka peluang kreditor untuk menyalahgunakan kekuasaan ekonomi
(misbruik van economish overwicht), maka sedemikian besar lemahnya posisi
debitor. Padahal, kehendak bebas para pihak dalam menentukan isi perjanjian
merupakan hal terpenting sebagai salah satu syarat untuk syahnya suatu
perjanjian. Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa bagaimana
menciptakan adanya titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai
secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kakuasaan ekonomi
yang disalahgunakan. 28
27
28
Van Dunne dan Gr van der Burgt, Op.cit. hal 9.
Setiawan, Op.cit, hal. 191.
10
Gejala penyalahgunaan keadaanya sendiri dalam suatu kontrak bukan
merupakan gejala yang baru. Adanya unsur seperti itu dalam kontrak sudah
dikenal sejak lama, yang baru adalah bahwa ia diakui sebagai alasan tersendiri di
luar cacat dalam kehendak yang tradisional untuk menuntut pembatalan kontrak
yang mengandung unsur seperti itu. 29
Di Indonesia masalah penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam
KUHPerdata (norma kosong). Kendatipun demikian sudah banyak hakim-hakim
atau pengadilan mendasarkan pertimbangan penyalahgunaan keadaan dalam
putusannya untuk membatalkan kontrak hingga akhirnya berkembang menjadi
yurisprudensi.
Ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan tersebut merupakan hal yang
relatif baru di Indonesia, sehingga di dalam penempatannya masih menimbulkan
sejumlah permasalahan, misalnya menyangkut keberadaan ajaran tersebut, karena
penyalahgunaan keadaaan ini memang belum diatur dalam KUHPerdata.
Di dalam berbagai perkara, juga terlihat adanya ketidakjelasan kriteria
dalam menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan baik dari yang
didalilkan oleh penggugat maupun pertimbangan hukum majelis hakim, dan juga
permasalahan lain yang timbul dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan
tersebut adalah bagaimana atau apa tolak ukurnya seorang telah melakukan
penyalahgunaan keadaan tersebut. Ukuran itulah yang sebenarnya dapat menjadi
dasar bagi hakim dalam menerapkan doktrin tersebut.
Ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia relatif baru. Berlaianan
dengan di Negara Belanda, doktrin penyalahgunaan keadaan belum dijadikan
29
Henry P. Panggabean I, Op.cit, hal. 42.
11
sebagai hukum positif. Penerapan doktrin penyalahgunaan keadaan keadaan
dalam sistem civil law seperti Indonesia masih menimbulkan perdebatan. Dalam
sistem hukum telah dikenal adanya doktrin itikad baik yang mencakup itikad baik
dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak serta pelaksanaan kontrak. Selain
itu, seringkali dijumpai kesalahan dalam memahami makna penyalahgunaan
keadaan, bahkan ada yang menyamakan menyalahgunakan keadaan dengan
unconscionability. Keduanya memiliki kesamaan pada adanya ketidakseimbangan
posisi tawar menawar para pihak, tetapi di antara keduanya ada perbedaan. 30
Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah kasus penyalahgunaan keadaan
karena adanya unsur dwaling, dwang dan bedrog (kasus jual beli tanah Maonah
VS Herman Santosa) dan kasus penyalahgunaan keadaan karena adanya
ketidakseimbangan ekonomi (kasus PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS
PT.Natrindo Telepon Seluler).
Pada kasus jual beli tanah milik Maonah bermula dari kedatangan Herman
Santoso kurang lebih pada awal oktober 2006 yang intinya membujuk Maonah
supaya melepaskan haknya atas tanah tersebut untuk dibeli oleh Herman Santoso
dengan alasan untuk kepentingan sendiri, yaitu digunakan membuat kebun vanili.
Namun Herman Santoso menyembunyikan keadaan yang sebenarnya bahwa tanah
tersebut akan di jual kembali kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota
Magelang dengan harga yang jauh lebih tinggi yang mengakibatkan Maonah
sangat dirugikan, karena tidak diberitahu keadaan yang sebenarnya tanah tersebut
akan dibeli oleh Pemerintah Kota Magelang c.q. Walikota Magelang untuk
pengembangan GOR Samapta dan Santoso memang bermaksud menyembunyikan
kenyataan tersebut untuk keuntungan Herman Santoso.
30
Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 21-22.
12
Pada titel gugatannya Maonah mendalilkan "Perbuatan Melawan Hukum"
yang berupa penyalahgunaan keadaan dengan menyembunyikan tujuan pembelian
yang dilakukan Herman Santoso, namun pada materi lainnya Maonah menyatakan
perbuatan hukum Herman Santoso membeli tanah dari Maonah dan menjual
kepada Pemerintah Kota Magelang c.q . Walikota Magelang adalah tidak sesuai
dengan kepatutan dan kesusilaan serta tindakan melawan hukum adalah dalil yang
tidak didasarkan atas bukti yang kuat dan saling tidak berkesesuaian.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Magelang telah mengambil
putusan, yaitu putusan No. 24/PDT/G/2008/PN.MGL., tangga l1 Juni 2009,
menyatakan Herman Santoso telah melakukan penyalahgunaan keadaan/
kesempatan untuk membeli tanah SHM No.86 atas nama Maonah sehingga
memutuskan batalnya jual beli di bawah tangan antara Maonah dan Herman
Santoso atas tanah SHM No.86 atas nama Maonah yang terletak di Dukuh
Sanden, Kelurahan Kramat, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang.
Putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Semarang dengan putusan No. 288/Pdt/2009/PT.Smg., tanggal 10
November 2009. Putusan ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusan No. 1992 K/Pdt/2010.
Dalam kasus di atas secara tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut adalah
bertentangan dengan kepatutan yang merupakan inti atau isi itikad baik. Dalam
hal ini terjadi penyalahgunaan keadaan yang dimungkinkan karena tidak adanya
itikad baik dari pembeli. 31
31
Ridwan Khairandy I, Op.cit, hal. 23. Lihat juga Retnowulan Sutanto,
1990, “Perjanjian Menurut Hukum Indonesia,” Varia Peradilan, Tahun V, No.56,
Mei 1990, hal. 131.
13
Pada
kasus
PT.
Telekomunikasi
Indonesia,
Tbk
(kasus
PT.
Telekomunikasi Indonesia, Tbk VS PT.Natrindo Telepon Seluler (NTS)).
Telkomsel sebagai incumbent operator memiliki beberapa keuntungan dan
keunggulan, diantaranya adalah jaringan yang mapan dan telah dikenal baik oleh
pelanggan. NTS sebagai pemain baru tentu saja belum memiliki kedua hal
tersebut sehingga posisi pasaran NTS masih lemah dan pangsa pasarnya pun
masih sangat sedikit. Terlebih lagi dengan lisensi regional yang dimiliki NTS,
pelanggan NTS hanya bisa berkomunikasi dengan sesama pelanggan NTS yang
berada di region tersebut, yaitu Jawa Timur. 32
Dalam hal perebutan pelanggan, incumbent tentu akan lebih unggul. Calon
pelanggan akan lebih memilih incumbent sebagai operator yang memiliki
keunggulan dalam jaringan dan pelanggan karena calon pelanggan tersebut dapat
berkomunikasi dengan banyak pelanggan dalam jaringan tersebut. Hal tersebut
tentu tidak berlaku bagi NTS sebagai operator dengan jaringan dan pelanggan
yang sedikit. Calon pelanggan tentu saja akan mempertimbangkan masak-masak
untuk memilih operator baru. Calon pelanggan tentu saja tidak ingin jika mereka
hanya dapat berkomunikasi dengan sedikit pelanggan yang di-cover oleh jaringan
operator baru tersebut. Hal ini menyebabkan operator baru akan sangat sulit untuk
berkembang. Oleh karena itu, NTS memiliki ketergantungan dengan Telkomsel
dimana jika NTS tidak berinterkoneksi, NTS tidak mampu meraih calon
pelanggan yang banyak dan tidak dapat bersaing dalam pasar telekomunikasi
seluler. Kebutuhan interkoneksi tersebut juga mendesak manakala diperlukan
32
Merupakan bagian dari putusan seperti yang dikutip pada Putusan
Komisi Persaingan Usaha dengan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007.
14
uang atau modal yang besar untuk membangun infrastruktur dan jaringan tidak
sementara perlu adanya pemasukan untuk menjaga kelangsungan usaha. 33
Dengan
kata
lain,
NTS
tidak
memiliki
pilihan
lain
yang
memungkinkannya untuk mempertahankan dan memajukan perusahaan selain
berinterkoneksi dengan incumbent. Kondisi ini menurut Nieuw Burgerlijk
Wetboek (NBW) merupakan kondisi istimewa (bizondere omstandigheden) yaitu
ketergantungan yang dalam hal ini ketergantungan NTS terhadap Telkomsel.
Untuk dapat berinterkoneksi, NTS harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan
incumbent terkait masalah teknis dan biaya yang selanjutnya disepakati
dituangkan dalam suatu perjanjian. Sehingga pada tahun 2001, dibuatlah
Perjanjian Kerja Sama Interkoneksi Telkomsel-NTS sebagai dasar bagi NTS agar
dapat berinterkoneksi dengan Telkomsel. 34
Telkomsel dalam hal ini pasti mengetahui bahwa NTS karena keadaan
istimewa yang dialaminya, tergerak untuk menutup Perjanjian Interkoneksi. Jika
tidak demikian, Telkomsel semestinya mengetahui kondisi tersebut karena
merupakan suatu suatu hal yang nyata (kenbaarheid). Kondisi ini tentu saja tidak
seimbang. NTS tidak memiliki bargaining power yang setara dengan Telkomsel.
Sehingga, mau tidak mau NTS harus mengikuti ketentuan tersebut. Jika tidak,
interkoneksi tidak akan diberikan oleh Telkomsel (take it or leave it contract).
Pada dasarnya, NTS tidak pernah berinisiatif sejak awal dalam suatu kesepakatan
untuk menetapkan harga Short Message Servise tersebut. 35
33
Ibid.
Ibid.
35
Ibid.
34
15
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat ketidakseimbangan yang nyata yang
justru menguntungkan Telkomsel. Meskipun pada pokoknya kesepakatan dibuat
mengenai interkoneksi, namun syarat penetapan harga SMS menjadi bagian yang
juga harus disetujui. Meskipun belum ada peraturan mengenai harga layanan
SMS, NTS dalam keadaan tidak bebas untuk menegosiasikannya karena kondisi
inequality of bargaining power. Perjanjian interkoneksi antara Telkomsel dengan
NTS selanjutnya dinyatakan batal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat dengan unsur-unsur dwaling (kekeliruan/kekhilafan/kesesatan), dwang
(paksaan) dan bedrog (penipuan) sebagaimana perjanjian jual-beli tanah antara
Maonah dengan Herman Santoso serta perjanjian yang dibuat berdasarkan kondisi
ekonomi yang tidak seimbang sebagaimana perjanjian interkoneksi antara
Telkomsel dengan NTS seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dibatalkan oleh
Hakim karena memenuhi unsur-unsur penyalahgunaan keadaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa peraturan perundangundangan di Indonesia belum mengatur secara jelas (norma kabur) tentang
penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan perjanjian, sebagai akibatnya
pengadilan dalam memutus perkara penyalahgunaan keadaan tersebut lebih
banyak diawali oleh hakim berdasarkan pada yurisprudensi hakim baik hakim
pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi ataupun hakim pada Mahkamah Agung
atau bahkan hanya berlandasakan pada pertimbangan hakim semata. Hal ini dapat
dikatakan bahwa masih terjadi norma kosong untuk pengaturan penyalahgunaan
keadaan dan akibat hukumnya. Penyalahgunaan keadaan seringkali ditemukan
dalam pembuatan perjanjian atau kontrak seperti misalnya pemberlakuan
perjanjian baku khususnya pada perjanjian kredit baik dengan lembaga perbankan
ataupun lembaga keuangan non-perbankan, perjanjian jual beli yang didahului
16
dengan adanya keadaan tertentu yang memaksa salah satu pihak terpaksa
menyetujui
untuk
melakukan
transaksi
jual
beli.
Sebenarnya
tidak
dikehendakinya, perjanjian sewa menyewa, perjanjian dalam hubungan kerja baik
pada hubungan kerja waktu tertentu, hubungan kerja waktu tidak tertentu maupun
hubungan kerja berbasis outsourcing dan masih banyak lagi.
Berdasarkan
penelitian
kepustakaan
baik
melalui
perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan Penyalahgunaan Keadaan yaitu:
1. Penelitian Muhammad Arifin dengan judul ”Penyalahgunaan Keadaan
sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak”. Tesis dari Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamaddiyah Sumatera Utara, Medan,
Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
implementasi
asas
kebebasan
berkontrak
dalam
pembuatan suatu kontrak?
b. Apakah penyalahgunaan keadaan sebagai faktor pembatasan kebebasan
berkontrak?
Penelitian Muhammad Arifin dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya
dengan
asas
kebebasan
berkontrak.
Perbedaannya jika penelitian
Muhammad Arifin menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka
pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan
pendekatan konsep (conseptual approach).
17
2. Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan judul ”Keadaan Memaksa sebagai
Dasar Pembelaan Debitur: Studi kasus H. Darmawan Kasim terhadap PT.
Telkomsel”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas
Indonesia, Jakarta, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana keadaan memaksa dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan
debitur akibat wanprestasi?
b. Bagaimana pembatasan terhadap berlakunya keadaan memaksa sebagai
dasar pembelaan debitur yang wanprestasi?
c. Apakah pembelaan PT. Telkomsel terhadap gugatan H. Darmawan
Kasim yang didasarkan pada adanya keadaan memaksa dapat
dibenarkan menurut hukum?
Penelitian Rizky Fauziah Putri dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti mengenai penyalahgunaan keadaan dalam kaitannya
dengan wanprestasi dan pembatalan kontrak. Perbedaannya jika penelitian
Rizky Fauziah Putri menggunakan metode penelitian yuridis empiris, maka
pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan
pendekatan konsep (conseptual approach).
3. Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan judul ” Akibat Hukum
Klausula Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap
Kepemilikan Satuan Rumah Susun”. Tesis dari Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2013. Rumusan
masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:
18
a. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun
pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang
mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional
Akta Pemisahan Rumah Susun?
b. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan
Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan
kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi
rumah susun?
Penelitian Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari dengan penelitian yang akan
dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama menggunakan metode penelitian yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan (state approach) dan pendekatan
konsep (conseptual approach). Perbedaannya jika penelitian Ni Luh Putu
Laksmi Puspitasari meneliti tentang penyalahgunaan keadaan memaksa,
maka pada penelitian yang akan dilakukan meneliti penyalahgunaan
keadaan dalam pembuatan kontrak.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka saya
tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang pembatalan
kontrak berdasarkan unsur penyalahgunaan keadaan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research
questions sebagai berikut:
19
1. Unsur-unsur apakah yang menentukan adanya penyalahgunaan keadaan
dalam sebuah kontrak?
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian
yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk
pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai
proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian
atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi penyalahgunaan keadaan dalam
perjanjian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim di Indonesia untuk
membatalkan perjanjian yang bersangkutan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur-unsur yang menentukan adanya
penyalahgunaan keadaan dalam sebuah kontrak.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
membatalkan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
20
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang
bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan berguna dalam rangka
pemantapan pengembangan studi hukum dan pembangunan secara interdisiplin,
terutama berkaitan dengan masalah penyalahgunaan keadaan terhadap penerapan
pelaksanaan kontrak, sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut
legalitas formal saja, tetapi dikaitkan dengan perubahan dan perkembangan
zaman.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan secara riil bagi pembuatan
kebijakan hukum kontrak dan sistem peradilan perdata di Indonesia serta dalam
rangka pembuatan kebijakan hukum nasional Indonesia.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu
peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief
Sidharta, 36 teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan
36
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal. 104.
21
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan
masyarakat.
menganalisis
Teori-teori
penyalahgunaan
yang
keadaan
digunakan
yang
untuk
melihat
disebabkan
dan
adanya
ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian digunakan Teori Keadilan dan
Keseimbangan serta Teori Kepastian Hukum, sedangkan konsep yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep dan Asas Hukum Perjanjian,
Konsep Pembatalan Perjanjian, dan Konsep Penyalahgunaan Keadaan.
1.5.1.1 Teori Keadilan dan Keseimbangan
Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya ketidakseimbangan baik
posisi maupun ekonomi para pihak yang membuat perjanjian, sehingga
menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang memiliki posisi lemah. Teori
keadilan dan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah
kontrak.
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, 37 yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
37
Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of
Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press,
Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum
(Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.
22
it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga
menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.38
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi
rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen
oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. 39
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian
menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan
Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa
Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek
kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang
lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama
dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.
Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil,
yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan
seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi
bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu
memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan
hukum. 40
38
Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic
Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.
39
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal.23.
40
Gustav Radbruch, Op.cit, hal.107.
23
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik
Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan
secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal
itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu
dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila
hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 41
Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan : 42
“Bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama
selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian
hukum.”
Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch
tersebut, sebagaimana dikatakannya : 43
“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak
dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan
Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah
terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih
realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis
maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita
hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan,
sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang
kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian
41
Achmad Ali, Op.cit, hal. 95-96.
Achmad Ali, Op.cit, hal. 96.
43
Achmad Ali, Op.cit, hal. 96.
42
24
hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap
kasus.
Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran
yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam
hukum semenjak masa Yunani Kuno. 44 Memang secara hakiki, dalam diskursus
hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam
arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti
materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita
keadilan masyarakat. 45 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,
pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbedabeda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku
atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori
hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal
hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2
(dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik,
sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau
ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh
pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh
Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.
44
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan,
Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.
96.
45
Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.
25
Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsipprinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan. 46
Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum
membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan
korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok
persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa
kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan
perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the
law). 47 Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian
keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan
secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak
siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang
turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya
John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan. 48
According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the
individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself,
including how the law participated and supported the efforts. (Terjemahan
bebas: Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral
tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari
46
W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New
York, hal. 346.
47
Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah
University Press, Surakarta, hal. 54.
48
John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard
University Press, Massachusetts, hal. 11.
26
pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut
serta mendukung upaya tersebut). 49
Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan
merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan
atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri
pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur
manfaat). 50
1.5.1.2 Teori Kepastian Hukum
Penyalahgunaan keadaan belum diatur dalam Peraturan Perundangundangan
maupun
KUHPerdata
Penyalahgunaan keadaan
di
Indonesia.
Jadi,
dapat
dikatakan
dalam perjanjian belum memiliki kepastian hukum
apakah diperbolehkan atau di larang. Berdasarkan hal ini maka dalam penelitian
ini digunakan Teori Kepastian Hukum untuk menganalisis permasalahan yang
kedua mengenai dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan perjanjian yang
mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu
tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang
didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan
49
Ibid.
Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media,
Bandung, hal. 48-51.
50
27
aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum
diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang
membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum. 51
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum. 52 Terkait dengan kepastian hukum, Gustav
Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan
kepastian hukum, yaitu:
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada
fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan
dilakukan oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa
fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat,
hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”. 53
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan. 54
Berdasarkan teori kepastian hukum yang telah diuraikan di atas, maka saya
berpendapat bahwa dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti, yakni
adanya kejelasan dan tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir. Selain itu
kepastian hukum juga mengandung arti tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat
dilaksanakan.
51
Achmad Ali, Op.cit, hal.67.
Gustav Radbruch, Op.cit, hal. 107.
53
Achmad Ali, Op.cit., hal.293.
54
Gustav Radbruch, Op.cit, hal.109.
52
28
1.5.1.3 Konsep dan Asas Hukum Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Tesis ini membahas tentang pembatalan kontrak berdasarkan unsur
penyalahgunaan keadaan. Dengan demikian dapat dikatakan topik atau
tesis ini terkait dengan kontrak/perjanjian. Oleh sebab itu dalam tesis ini
digunakan konsep perjanjian. Konsep ini diguanakan untuk menganalisis
permasalahan adanya unsur-unsur penyalahgunaan keadaan dalam sebuah
kontrak.
Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang kontrak atau
perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Subekti 55 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT Tirtodiningrat 56
memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan
kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibatakibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
Menurut Neiwenhuis, 57 perjanjian obligatoir (yang menciptakan
perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri
mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak,
suatu
persetujuan
tidak
lain
suatu
perjanjian
(afspraak)
yang
mengakibatkan hak dan kewajiban. Pengertian kontrak atau perjanjian yang
55
Subekti I, Op.cit, hal. 45.
A. Qirom Meliala, 2008, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8.
57
J.H. Niewenhuis, 2005, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan
Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disingkat Niewenhuis III).
56
29
dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313
KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian kontrak atau perjanjian
adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
2. Syarat Syahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus
terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a.
b.
c.
d.
Adanya kata sepakat;
Kecakapan untuk membuat perjanjian;
Adanya suatu hal tertentu;
Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh
subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif
Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek
perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Jika syarat subyektif
tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedang jika syarat
obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. 58
3. Asas-Asas dalam Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan
konkrit tersebut. 59
58
Subekti I, Op.cit, hal. 17-20.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, hal. 34.
59
30
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang
bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan
peraturan
perundang-undangan
atau
putusan-putusan
hakim
yang
merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. 60
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas
utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu,
masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 61
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh
sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula
ada
yang
mendasarkan
pada
Pasal
1320
KUHPerdata
yang
menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. 62
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan
dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di
antaranya: 63
60
Ibid.
Ridwan Khairaandy I, Op.cit, hal. 21.
62
J. Satrio, 2003, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni,
Bandung, hal.36 (selanjutnya disebut J. Satrio II).
63
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4.
61
31
1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak
terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan
hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya
(mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang
sifatnya memaksa. 64
b. Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas
sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah
”semua.” Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi
kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik
untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya
dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 65
64
Ibid, hal. 4.
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I,
Alumni, Bandung, (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I), hal. 113.
65
32
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat
(consensus) diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan
formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai
perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk
tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan
syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan
perjanjian konsensuil. 66
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara
tertulis
atau
dengan
pengecualiannya
akta Notaris,
yaitu
akan
undang-undang
tetapi
hal
menetapkan
ini
ada
formalitas-
formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya
ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus
dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis.
Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut
dengan perjanjian formil. 67
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul
dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi,
perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para
66
Riduan Syahrani, 2004, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Alumni, Bandung, hal.45.
67
Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip
Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal.250.
33
pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul
larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya “hakim” untuk
mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan
berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. 68
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam
hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian
seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian
obyektif). 69
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih.
Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia
tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang
yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan
pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah
68
Johannes Gunawan, 2003, “Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia”,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22, No.6, hal.48.
69
Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
42.
34
bahwa
dalam
pelaksanaan
perjanjian
harus
berjalan
dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 70
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan
kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian
jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana
yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPerdata.
Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak
seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal
1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat
membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang
diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Oleh karena perjanjian itu hanya
mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak
lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 71
4. Konsep Pembatalan Perjanjian
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata,
terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut:
70
Arvie Johan, 2011, “Kesetaraan dan Keseimbangan sebagai Perwujudan
Itikad Baik Berlandaskan Pancasila,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.14, No.1, hal.128146.
71
Subekti I, Op.cit, hal.42.
35
a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang
untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi
hukum;
b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
1) perjanjian batal demi hukum, atau
2) perjanjian dapat dibatalkan;
c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;
e. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan
undang-undang. 72
Kondisi yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian selanjutnya
diuraikan sebagai berikut:
a. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)
Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian
semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi,
tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. 73
Berikut ini alasan mengapa perjanjian batal demi hukum.
1) Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak
Terpenuhi.
72
Gerry R. Weydekamp, 2013, “Pembatalan Perjanjian Sepihak sebagai
Suatu Perbuatan Melawan Hukum,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal.134-135.
73
Subekti III, Op.cit, hal. 19.
36
2) Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak
Terpenuhi.
3) Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak
Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum.
4) Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi.
b. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar)
Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal
demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut
terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur
subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak
untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini alasan tentang hal
tersebut.
1) Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang
Membuatnya.
2) Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap
Melakukan Tindakan Hukum. 74
c. Penuntutan Pembatalan, dan Penguatan atau Penetapan, atas Perjanjian
yang Dapat Dibatalkan.
1) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana).
2) Pembatalan Perjanjian oleh Pihak yang Berwenang karena Undang-
Undang.
74
Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
hal.154-157.
37
3) Putusan Hakim tentang Kebatalan Perjanjian yang Menjadi
Yurisprudensi. 75
Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal
demi hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjianperjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum.
Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak
ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun perjanjian itu telah ada
atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak
diberi akibat atau tidak berefek Pada keadaan seperti itu, hukum menilai
bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat
perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena
perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan
prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah
terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak
diwajibkan
seperti
ini,
menurut
Pasal
1359
KUHPerdata
harus
dikembalikan. Pasal 1359 KUHPerdata berbunyi “Tiap pembayaran
mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa
diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas
yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan
kembali”. 76
Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan
akibat-akibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan
75
Ibid.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Perikatan yang Lahir dari
Undang-Undang, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, hal.47-48 (selanjutnya disebut
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I).
76
38
pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai
berikut: 77
a. Penyebutan alasan pemutusan kontrak.
b. Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak.
c. Mengesampingkan Pasal 1266 KUHPerdata.
d. Tata cara pemutusan kontrak.
Ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata
Pada
prinsipnya
Pasal
1338
ayat
(2)
KUHPerdata
tidak
memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila
dipenuhi syarat-syarat tertentu.
Prinsip Perlindungan Pihak Yang Dirugikan.
Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam ilmu hukum kontrak
adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya
wanprestasi dari pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan.
Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah
melakukan wanprestasi, tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau
terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi
ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak yang
melakukan wanprestasi pun dilindungi. Karena itu dalam hukum kontrak
dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara
kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang
melakukan wanprestasi. 78
77
78
Munir Fuady, Op.cit, hal. 93.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I, Op.cit.
39
Seperti telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan hak
untuk melakukan terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya)
kepada pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk
menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi
juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu.
Pada prinsipnya KUHPerdata tidak mensyaratkan eksistensi unsur
“kesalahan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan
atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata yang melibatkan pengadilan untuk
memutuskan kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan
untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara lain akan menggunakan
faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan
apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak.
Dengan demikian, menurut sistem KUHPerdata Indonesia, maka
pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup
material (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan
ganti rugi sudah dapat dimintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban
tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat Force Majeure, yang untuk ini
tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah
merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang
Force Majeure dan tentang “resiko”. 79
1.5.1.4 Konsep Penyalahgunaan Keadaan
79
Taryana Soenandar, 2004, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber
Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.121.
40
Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan
padanan dari istilah misbruik van omstandigheden, dalam Kamus Hukum,
misbruik van omstandigheden adalah penyalahgunaan keadaan, yaitu keadaan
dimana orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena
suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat
berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak
untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya
mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. 80
Penyalahgunaan keadaan sebagai faktor yang membatasi kebebasan
berkontrak, berhubungan dengan terjadinya kontrak, bukan karena causa yang
tidak dibolehkan. Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi
perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat
lahirnya perjanjian karena tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak. 81
Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan yang berperan
pada terjadinya kontrak, yakni menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan
isi atau maksud kontrak menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak
yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Penyakit sesungguhnya tidak terletak
pada causa yang tidak dibolehkan, tetapi terletak pada cacat kehendak. 82
Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar akan dapat mendominasi
dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu kontrak, sehingga pihak
lain terpaksa mengadakan kontrak tersebut. Sedikit banyaknya harus ada
kedudukan terpaksa dari pihak yang membutuhkan, dimana dalam keadaan itu
80
Bryana Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, West Thomson Return
Business, Amerika, hal. 346.
81
Arthur Lewis, 2009, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, penerjemah Derta Sri
Widowatie, Nusa Media, Bandung, hal. 132, dalam terjemahan ini istilah undue
influence dipadankan menjadi pengaruh yang menjerumuskan.
82
J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 11.
41
tidak ada alternatif riil untuk membuat kontrak dengan orang lain, dan dengan
demikian juga tidak ada kemungkinan untuk mengadalan kontrak yang riil.83
Keunggulan yang tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang
timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu,
yang dibuat karena keterpaksaan.pihak yang lebih lemah untuk memenuhi
keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas kebebasan
berkontrak, dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat, namun karena
kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas kehendak bebas, melainkan karena
keadaan terpaksa, maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan
keadaan. Kiranya dapat dikatakan, bahwa kebebasan berkontrak yang tidak
bertanggung jawab akan cenderung dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.
Dengan diakuinya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan
kontrak, maka ia sekaligus berfungsi sebagai faktor pembatas terhadap praktik
kebebasan dalam pembuatan kontrak.
Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya adalah mengenai keunggulan
pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Keunggulan itu tidak saja bersifat
ekonomis, tetapi juga keunggulan kejiwaan atau keduanya, baik keunggulan
ekonomis maupun keunggulan kejiwaan. Apabila dilakukan penyalahgunaan
keunggulan, terjadilah penyalahgunaan keadaan. 84 Penyalahgunaan keadaan
terjadi karena adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari
oleh pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya dengan
memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak seimbang.
Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis dapat terjadi dengan
83
84
J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 19.
J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 16.
42
persyaratan dasar: 85 (1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis
terhadap yang lain; (2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian atau kontrak.
Sementara itu, terhadap Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan
kejiwaan dapat terjadi apabila: (1) salah satu pihak menyalahgunakan keuntungan
relatif, yaitu terdapat hubungan kepercayaan istimewa, seperti antara orang tuaanak, suami-isteri, dokterpasien; (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan
jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh gangguan jiwa,
usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan dan kondisi badan
yang tidak baik. Dengan kondisi kejiwaan yang demikian, pihak yang dirugikan
ada dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi.
1.5.2
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,
maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
85
J.M. Van Dunne, Op.cit, hal. 18-20.
43
Perjanjian
Cacat Kehendak
(Pasal 1321 KUHPer
ketidakseimbangan
Psikologis/
Kejiwaan
Ekonomi
• Teori Keadilan dan
Keseimbangan
• Teori Kepastian Hukum
• Konsep dan Asas
Hukum Perjanjian
• Konsep Penyalahgunaan
Keadaan
Dwaling
Dwang
Penyalahgunaan Keadaan
Perjanjian dapat dibatalkan
Pembatalan Kontrak Berdasarkan
Unsur Penyalahgunaan Keadaan
1. Bagaimanakah menentukan adanya unsur-unsur penyalahgunaan
keadaan dalam sebuah kontrak?
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam membatalkan
perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan?
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian
1.6.1
Jenis Penelitian
Bedrog
44
Berangkat belum jelasnya pengaturan mengenai penyalahgunaan keadaan
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dalam hal ini berarti
masih terdapat norma kosong mengenai pengaturan penyalahgunaan keadaan dan
akibat hukumnya, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang
dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu yang dalam hal ini adalah
permasalahan tentang pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan
keadaan.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma
dalam hukum positif.86 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik
dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang
otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata. 87
1.6.2
Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi
hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
86
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang, hal. 295.
87
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Alumni, Jakarta, hal 13-14.
45
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa
pendekatan yaitu : 88
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan
konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat
permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
pembatalan kontrak berdasarkan konsep penyalahgunaan keadaan dan pembatasan
kasus pada Putusan Mahkamah Agung No. 1992 K/Pdt/2010 serta Putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 26/KPPU-L/2007.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif
merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak
88
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 300-301.
46
langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari
penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari : 89
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358).
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta
simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian
penelitian hukum ini. 90
89
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.
90
Johny Ibrahim, Op.cit, hal. 392.
47
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, 91 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.92
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan
mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan
hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan
penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi
pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,
dilakukan dengan cara penelusuran kepustakaan, baik secara konvensional
maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,
melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat
kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan
91
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15.
92
Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of
Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
48
hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara
deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai
berikut:
1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi
pidananya.
2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis,sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya
bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif
,sistematis dan argumentatif.
3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam
baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum
atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun
tidak sederajat.
5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. 93
93
Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis,
Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.
Download