BAB II Konvensi PBB Tentang Perlindungan Hak

advertisement
BAB II
Konvensi PBB Tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya
A. Definisi Perjanjian Internasional (Konvensi)
Dalam memberikan pengertian tentang perjanjian internasional, para sarjana
memberikan definisi yang berbeda-beda tetapi memiliki persamaan :
Menurut G. Schwarzenberger, “Treaties are agreements between subject of
International law creating binding Obligations in International law. They may be
bilateral”. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa, “perjanjian internasional
sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang
kemudian menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum
internasional”. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral dan multilateral.
Kemudian, menurut Oppenheim dan H. Lauterpacht, “International treaties are
conventions, or contracts, between two or more states concerning various matters
of interest” artinya perjanjian internasional adalah konvensi atau kontrak antara
dua negara atau lebih mengenai berbagai macam kepentingan” (Hasibuan, 2002).
Menurut J.L Briely perjanjian internasional adalah “Contractual engagement
between states are called by various names treaties, convention, pacts, acts,
declarations, protocols”. Artinya perjanjian kontraktual antar negara yang dikenal
dengan
beberapa
nama
:
perjanjian
internasional
(treaties),
konvensi
(Convention), pakta (pacts), deklarasi (declaration), dan protocol (protocol).
14
Menurut D.P. O’ Connel : “a treaty is an agreement between states, governed by
International law as distinct from municipal law, the form and manner of which is
immaterial to the legal consequences of the act” artinya suatu perjanjian
internasional adalah suatu persetujuan antar negara, yang diatur oleh hukum
internasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut hukum nasional,
terhadap konsekuensi hukum pembuatan perjanjian internasional, bentuk dan
caranya adalah tidak penting. Menurut prof. Mochtar Kusumaatmadja, beliau
memberi batasan perjanjian internasional adalah sebagai berikut : “Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsabangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat dari hukum tertentu
(Kusumaatmaja, 1990).
Selain berdasarkan pendapat dari para sarjanawan, definisi dari perjanjian
internasional juga dijelaskan dalam konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina
tahun 1989. Menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 huruf a, Konvensi Wina 1969
perjanjian internasional adalah : “Treaty means an international agreement
concluded between states in written form and governed by International law,
whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments
and whatever its particular designation”. “Perjanjian internasional berarti suatu
persetujuan internasional yang ditandatangani antar negara dalam bentuk tertulis
dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam wujud satu instrumen
tunggal atau dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun
yang menjadi penandaan khususnya”. Sementara, pasal 2 ayat 1a Konvensi Wina
15
pada tahun 1989 menyatakan batasan dari perjanjian internasional adalah sebagai
berikut : Treaty means an international agreement governed by international law
and concluded in written form : Between one or more states and one more
international organization or, Between international organization. Whether that
agreement is embodied in a single instruments or in two or more related
instruments and whatever its particular designation” yang artinya Perjanjian
internasional berarti suatu persetujuan internasional, yang diatur dengan hukum
internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis antar suatu negara atau
lebih dan antara suatu organisasi atau lebih atau antar organisasi internasional.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, subjek hukum internasional yang
mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga
lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi tersebut dapat ditarik
persamaan terkait dengan ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian, saling menyetujui antara pihak-pihak yang dapat
menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.
B. Latar Belakang Konvensi Migran
Pada awal disahkannya Konvensi PBB tentang perlindungan hak pekerja
migran dan anggota keluarganya bermula ketika adanya kasus yang menyeret
buruh migran asal Afrika yang bekerja di Eropa yang mengalami situasi
eksploitasi atau dapat dikatakan sebagai perbudakan. Munculnya Keprihatinan
16
PBB terhadap isu
perlindungan pekerja migran didasari atas
adanya
kecenderungan pengiriman pekerja migran secara ilegal dari beberapa negara
Afrika ke benua Eropa. Adanya kecenderungan tersebut kemudian memunculkan
apa yang dikenal dengan pemicu lahirnya sebuah kondisi lingkungan kerja yang
mirip dengan perbudakan serta kerja paksa yang terjadi pada awal abad ke
1970an.
Berdasarkan laporan yang disusun oleh Sub-commission on prevention of
Discrimination and protection of Minorities mengenai exploitation of labour
through illicit and clandestine trafficking pada tahun 1976, terdapat 2 aspek yang
berkaitan dengan permasalahan pekerja migran : Pertama ialah berkaitan dengan
kegiatan pengiriman pekerja migran yang sifatnya “illicit” dan “clandestine”.
Kedua adalah adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap pekerja migran di
negara penempatan. Laporan tersebut sekaligus memberikan rekomendasi
terhadap perlunya penyusunan sebuah Konvensi PBB mengenai Pekerja Migran
(Leolita Masnun, 2010)
Faktor lainnya yang mendasari dibentuknya konvensi migran ialah
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Konvensi Internasional Perlindungan Hak
Pekerja Migran dapat dikatakan sebagai proses panjang perundingan di forum
internasional. International Labour Orgnization (ILO) telah mengelaborasi dua
konvensi yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran yaitu konvensi 97
tahun 1949 terkait dengan Migration for employment dan konvensi 143 tahun
1975 terkait dengan Migrations in Abusive Conditions and the Promotion of
17
Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers. Pada tahun 1990-an
persoalan migran berkaitan dengan hak asasi manusia sehingga membutuhkan
Konvensi PBB khusus.
Sebuah kelompok kerja kemudian dibentuk pada tahun 1980 yang diketuai
oleh Meksiko guna membahas serta menyusun International Convention on
Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.
Konvensi ini kemudian dibahas dalam sidang pleno Majelis Umum PBB pada 18
desember tahun1990 yang kemudian didokumentasikan dalam resolusi nomor
45/158.
Pada konferensi dunia berkaitan dengan hak asasi manusia
yang
diselenggarakan di Wina pada tahun 1993, perwakilan dari hampir seluruh
perwakilan di tiap-tiap negara mengadopsi deklarasi dan rencana aksi Wina,
dimana pada aksi tersebut menekankan bahwa hak asasi manusia bersifat
universal, tidak dapat dicabut atau dipecah-pecah. Beberapa pertemuan tingkat
tinggi dan deklarasi lainnya seperti International Conference of Kairo tahun 1994,
Copenhagen Declaration tahun 1995, dan Beijing Declaration mengenai
perempuan tahun 1995 juga memunculkan setara dari arti penting hak sipil,
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pengaplikasian hak-hak tersebut untuk
seluruh pekerja migran. Deklarasi dan rencana aksi yang diadopsi oleh konferensi
ini, menyerukan agar negara-negara mempertimbangkan untuk meratifikasi
konvensi hak-hak pekerja migran. Sebuah kampanye untuk ratifikasi konvensi
18
mulai diluncurkan pada tahun 1998, menyusul beberapa insiatif dalam
mempromosikan ratifikasi konvensi.
Sebagai salah satu instrumen untuk mempromosikan konvensi tersebut,
dibentuklah komite pengarah kampanye yang dibentuk di Jenewa oleh LSM
Migrant Rights International dengan tujuan membangun dasar yang luas untuk
kampanye Global Ratifikasi serta pemberlakuan konvensi. Komite pengarah
kampanye terdiri dari 14 organisasi, yakni Badan-Badan PBB, Serikat Pekerja,
LSM, dan organisasi internasional lainnya. Adapun Badan-Badan PBB yang
termasuk di dalamnya adalah The United Nations High Commissioner for Human
Rights (UNHCR) yang bertugas untuk membentuk pelapor khusus yang berkaitan
dengan hak asasi migran. International Labour Organization (ILO) yang bertugas
untuk melakukan promosi dan mengkaji tentang perlindungan standar perburuhan,
dan yang terakhir adalah The United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization (UNESCO) yang tugasnya untuk terus fokus terhadap hak-hak dari
pekerja migran dan promosi terhadap integrasi sosial migran yang memiliki
budaya yang berkeanekaragaman. Selain itu, International Organization for
Migration (IOM) juga terlibat di dalam komite pengarah, dimana IOM merupakan
Organisasi di bidang migrasi yang merupakan sebuah lembaga antar pemerintah
diluar Sistem PBB dengan anggota 100 negara. Organisasi ini berusaha
memajukan pemahaman tentang isu yang berkaitan dengan migrasi.
19
C. Langkah-Langkah Pembuatan Perjanjian Internasional dan Proses
Dibentuknya Konvensi Migran
Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam membuat perjanjian
internasional adalah sebagai berikut :
a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas nama
negara peserta;
b. Negosiasi dan Adopsi;
c. Otentikasi dan Penandatanganan;
d. Ratifikasi;
e. Aksesi dan Addesi;
f. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional;
g. Registrasi dan Publikasi;
h. Aplikasi dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional (Strake, 1984:424,
Green, 1982:140, 141)
a. Pemberian Kuasa Resmi Kepada Orang Yang Melakukan Negosiasi
Atas Nama Negara Peserta
Pada tahap ini, ditunjuklah suatu perwakilan untuk kemudian
melakukan negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan
prosedur yang tepat. Adapun kekuasaan yang diberikan adalah sebagai
berikut :
20
-
Status resmi sebagai perwakilan negara
-
Kekuasaan untuk menghadiri negosiasi
-
Kekuasaan berpartisipasi kedalam negosiasi
-
Kekuasaan untuk menyetujui teks akhir dari suatu perjanjian
internasional
-
Kekuasaan untuk menandatangani teks akhir dari perjanjian
internasional.
Dalam praktik perwakilan negara, pada umumnya dilengkapi dengan
instrumen yang sangat formal, yang diberikan oleh kepala negara atau menteri
luar negeri dimana instrument tersebut dikenal dengan sebutan “Full Powers”
b. Negosiasi dan Adopsi
Pada tahap ini, biasanya negosiasi dilakukan melalui dua cara :
1. Dengan lisan dalam perjanjian internasional bilateral dan
2. Dengan
konferensi
diplomatik
dalam
perjanjian
internasional
multilateral.
Pada tahap ini yakni negosiasi dan adopsi, para delegasi tetap mengadakan
hubungan dengan pemerintah masing-masing. Sebelumnya, mereka telah
dibekali dengan berbagai instruksi serta konsep yang berasal dari
pemerintahannya dan harus mereka pertahankan. Sewaktu-waktu pada
tahap ini, mereka dapat berkonsultasi dengan pemerintah yang
21
mengutusnya dan apabila perlu, mendapatkan instruksi-instruksi baru.
Pada
umumnya,
sebelum
mereka
melakukan
negosiasi,
mereka
membutuhkan tanda tangan pada teks final perjanjian internasional, para
delegasi benar-benar mendapatkan instruksi baru untuk menandatangani
instrument tersebut apakah dengan reservasi ataukah tidak. Negara yang
berpartisipasi dalam negosiasi disebut negara peserta “Contracting State”
c. Otentikasi dan Penandatanganan
Apabila rancangan dari perjanjian internasional telah disetujui, berarti
instrumen
ini
telah
siap
ditandatangani.
Sebelum
dilakukan
penandatanganan, rancangan dari teks tersebut dapat diumumkan. Tahap
penandatanganan dapat dikatakan sebagai bagian yang formal.
Apabila tidak ada persetujuan untuk melakukan penandatanganan,
tindakan penandatanganan merupakan suatu hal yang esensial bagi
perjanjian internasional, karena penandatangananlah yang memberikan
status otentik dari teks perjanjian internasional. Efek penandatanganan
suatu perjanjian internasional, tergantung kepada diperlukan atau tidak
diperlukannya ratifikasi bagi perjanjian internasional tersebut. Apabila
suatu perjanjian internasional memerlukan ratifikasi, penandatanganan
memiliki arti tidak lebih daripada para delegasi telah menyetujui suatu teks
dan mau menerimanya, yang kemudian selanjutnya adalah menyampaikan
kepada masing-masing pemerintah untuk mendapatkan tindak lanjut dari
22
pemerintah mereka yaitu akan menerima perjanjian internasional tersebut
atau menolaknya.
d. Ratifikasi
Ratifikasi menurut teori diartikan sebagai persetujuan dari kepala
negara atau pemerintah atas penandatanganan dari suatu perjanjian
internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk
sebagaimana mestinya. Dalam pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969,
ratifikasi mengacu kepada suatu tindakan internasional dimana suatu
negara
menyatakan
kesediaannya
untuk
diikat
oleh
perjanjian
internasional tersebut sehingga, ratifikasi dapat dikatakan mengikat sejak
tanggal penandatanganan ratifikasi. Dalam arti internasional, ratifikasi
merupakan suatu kegiatan pertukaran atau penyimpanan dokumen
ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut,
lahirlah apa yang dinamakan kewajiban-kewajiban internasional yang
sifatnya mengikat sebagai efek dari ratifikasi. Berdasarkan pasal 14
Konvensi Wina tahun 1969, menentukan bahwa persetujuan suatu negara
terkait pada suatu perjanjian internasional dinyatakan dengan ratifikasi
apabila :
a. Perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas-tegas atau;
b. Kecuali apabila ditentukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi
menyetujui bahwa ratifikasi tersebut perlu untuk dilakukan atau
23
c. Perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan mulai berlaku
apabila sudah diratifikasi
d. Kemauan dari negara untuk menandatangani perjanjian internasional
dengan syarat akan berlaku apabila sudah diratifikasi, yang nampak dalam
instrument “full powers” nya, atau dinyatakan selama negosiasi.
Berikut adalah praktik dalam ratio ratifikasi :
1. Negara berhak mempunyai kesempatan guna meneliti kembali serta
meninjau kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya,
sebelum
negara
tersebut
menjalankan
kewajiban-kewajiban
yang
ditentukan dalam instrumen tersebut.
2. Berdasarkan kedaulatan suatu negara, negara tersebut berhak untuk
menarik diri dari partisipasi dalam suatu perjanjian internasional, apabila
negara yang bersangkutan menghendaki demikian;
3. Sering dalam suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya
amandemen atau peninjauan dalam hukum internasional;
4. Karena adanya prinsip demokrasi dimana pemerintah harus berkonsultasi
dengan pendapat umum yang ada dalam parlemen atau yang lainnya,
berkaitan
dengan
ada
atau
tidaknya
suatu
keharusan
untuk
mengkonfirmasi perjanjian internasional.
Perlu diketahui bahwa, tidak ada kewajiban untuk melakukan ratifikasi bagi
suatu negara. Kekuasaan menolak untuk melakukan ratifikasi dianggap sebagai
24
hal yang biasa diterima didukung dengan adanya kedaulatan negara, oleh
karenanya, menurut hukum internasional tidak ada kewajiban hukum atau
kewajiban moral untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional, yang ada
hanyalah kesopanan untuk mengutarakan kepada negara lain yang bersangkutan
mengenai alasan-alasan untuk menolak melakukan ratifikasi. Adanya instrumen
ratifikasi,
apabila
tidak
ditentukan
oleh
perjanjian
internasional
yang
bersangkutan tidak mempunyai pengaruh dalam membentuk persetujuan akhir
untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Hal tersebut dapat mengikat
apabila :
1. Pertukaran atau penyimpanan instrumen ratifikasi, atau
2. Memberitahukan instrumen ratifikasi kepada negara lain atau kepada
negara-negara yang bersangkutan dan
3. Penyimpaan perjanjian internasional.
e. Aksesi dan addesi
Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyampaikan keterkaitan negara
pada suatu perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak
ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional.
f. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Berdasarkan ketentuan dari Konvensi Wina pasal 24 ayat 1 tahun 1969,
berlakunya suatu perjanjian internasional apabila terdapat :
25
1. Ketentuan perjanjian internasional
2. Atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta
Bagi perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi, penerimaan, atau
persetujuan, mulai berlaku sesudah dilakukan pertukaran atau penyimpanan
instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan negara dan penandatanganan.
Untuk perjanjian internasional yang tidak memerlukan tiga syarat tersebut,
perjanjian internasional mulai berlaku sejak penandatanganan. Mulai berlakunya
perjanjian internasional multilateral biasanya tergantung pada penyimpanan
sejumlah instrumen ratifikasi dan persetujuan untuk terikat, yang telah disetujui
oleh negara anggota.
g. Registrasi dan Publikasi
Pada pasal 102 Piagam PBB tahun 1945, menentukan bahwa semua perjanjian
internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh Anggota PBB harus
segera mungkin dicatatkan oleh Sekertariat PBB dan kemudian akan diumumkan
oleh sekertariat. Akibat dari adanya hukum ketentuan ini, bagi perjanjian
internasional yang tidak dicatatkan, tidak bisa dipakai sebagai sandaran hukum
Didepan PBB maupun Organisasi PBB. Adanya peraturan tersebut guna
mencegah terbentuknya perjanjian-perjanjian yang sifatnya rahasia.
26
h. Aplikasi dan Pelaksanaan
Dapat dikatakan bahwa langkah akhir dari pembuatan perjanjian internasional
ialah penyatuan ketentuan perjanjian internasional kedalam hukum nasional
negara pihak, kemudian diikuti dengan adanya tindakan aplikasi, tindakan
administrasi yang diperlukan oleh supervisi organ-organ internasional. Penerapan
prosedur pembuatan perjanjian internasional tersebut pada perjanjian internasional
bilateral berbeda penerapannya dalam perjanjian internasional multilateral,
maupun perjanjian internasional dibawah wibawa Dari PBB atau organisasi
internasional lainnya (Tsani, 1990). Untuk memudahkan mengenali perbedaan
prosedur khususnya multilateral murni dapat dilihat dari contoh bagan berikut :
Bagan 2.1 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Multilateral Murni
Sumber : Mohd. Burhan Tsani (1990)
27
Berkaitan dengan langkah-langkah pembuatan perjanjian internasional yang
telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah proses dibentuknya konvensi tersebut
yang berdasarkan dengan prosedur pembuatan perjanjian internasional.
Pada tahun 1999, komisi Hak Asasi Manusia PBB memberikan mandat
kepada pelapor khusus terkait dengan hak asasi migran. Pelapor khusus tersebut
diberi mandat untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kendala bagi
perlindungan hak asasi migran secara penuh. Mandat dari pelapor khusus tersebut
mencakup kedalam seluruh negara. Dalam sejumlah kesempatan, termasuk ke
dalam kunjungan kenegaraan, pelapor khusus tersebut kemudian menyarankan
kepada negara-negara tersebut agar meratifikasi konvensi perlindungan hak-hak
pekerja migran dan anggota keluarganya.
Selanjutnya, pada tahun 2001, Majelis Umm PBB menyelenggarakan
konferensi dunia anti rasisme, atau Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan
Intoleransi
terkait
Discrimination,
dengan
Xenophobia
world
and
Conference
Related
Againts
Intolerance,
Rasism,
guna
Radical
mengkaji
perkembangan kompleksitas diskriminasi rasial dan kekerasan etnis yang
merupakan tantangan bagi dunia internasional. Konferensi ini diselenggarakan di
Durban, Afrika Selatan. Deklarasi Durban serta program dari aksi tersebut
memberikan perhatian besar bagi kaum migran dan menyerukan untuk
meratifikasi konvensi hak-hak pekerja migran kepada seluruh negara.
28
Sebelumnya,
konvensi
ini
membutuhkan
waktu
panjang
untuk
mempertimbangkan dan melakukan pembahasan. Dalam proses pembahasannya,
adapun beberapa hal yang menjadi penting untuk diperhatikan. Perjanjian serta
standar-standar lain pada umumnya terwujud atas inisiatif dari suatu negara, tetapi
adapun beberapa negara yang juga ikut menyerukan disusunnya sebuah standar di
Forum PBB. Apabila suatu negara ingin mengembangkan instrumen hak asasi
yang baru kemudian mendapat persetujuan dari Majelis Umum PBB, maka
kemudian ditentukanlah sebuah kelompok kerja antar pemerintah atau kelompok
penyusun draf. Meskipun demikian, terdapat pula negara-negara yang dapat
menentang standar atau usulan yang diajukan, atau dapat pula mendukung tetapi
dengan beberapa syarat. Hal lainnya ialah untuk memperebutkan kursi di komite
penyusunan draf untuk menjamin bahwa apapun hasil dari draf tersebut tidak
membuat mereka keberatan. Beberapa perjanjian membutuhkan waktu lama untuk
terwujud, salah satunya adalah konvensi migran itu sendiri yang membutuhkan
waktu yang lama sekitar 10 tahun waktu yang diperlukan untuk mengerjakan serta
melakukan negosiasi setelah kelompok kerjanya telah terbentuk.
Dalam penyusunannya, kelompok penyusun draf bertugas untuk mengkaji
keputusan serta rekomendasi dan menggunakan mana yang dianggap paling
relevan, sebanding serta dapat diaplikasikan. Kelompok tersebut juga sering
melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi lainnya seperti organisasi
Hukum dan Hak Asasi Manusia Independen, terasuk juga di dalamnya badan non
pemerintah yang berkompeten atau memiliki pengetahuan lebih di bidang
29
tersebut. Dalam proses pembahasannya, terkait dengan konvensi tentang hak-hak
pekerja migran ini, sejumlah organisasi antar pemerintah, organisasi non
pemerintah, Organisasi PBB memberikan saran selama proses penyusunan draf
tersebut. Adapun yang dapat dikatakan paling membantu adalah International
Labour Office yang dapat dilihat keahliannya dalam persoalan migrasi kerja.
Begitu kelompok penyusun draf menyepakati suatu naskah, kemudian naskah
tersebut diajukan kepada Majelis Umum PBB untuk kemudian diadopsi baik
melaui voting atau konsensus. Perlu diketahui bahwa suatu perjanjian dapat
dikatakan berlaku apabila disetujui oleh sejumlah negara. Jumlah biasanya
disepakati atau ditentukan oleh perjanjian itu sendiri. Konvensi tentang pekerja
migran menetapkan minimal disetujui oleh 20 negara agar dapat dinyatakan
berlaku. Apabila suatu perjanjian dinyatakan berlaku, perjanjian tersebut mengikat
negara-negara yang telah meratifikasinya. Negara-negara yang telah meratifikasi
suatu perjanjian juga wajib menyampaikan laporan yang berkaitan dengan
langkah-langkah yang mereka lakukan untuk mengimplementasikan norma-norma
yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Ada pula beberapa negara yang
menyetujui perjanjian tersebut dengan syarat. Syarat tersebut biasanya berupa
pasal-pasal yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Ada beberapa pasal
yang terkandung di dalam perjanjian tersebut yang tidak disetujui dengan alasan
tidak dapat diaplikasikan atau tidak sesuai dengan kasus mereka. Konvensi
perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya tahun 1990 disahkan dalam
sidang Majelis umum PBB yang ke 45. Pada tanggal 1 juli tahun 2003 konvensi
30
tentang perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya mulai
diberlakukan sebagai hukum internasional.
Sumber hukum internasional merupakan bahan dan proses dimana aturan dan
kaidah-kaidah yang mengatur komunitas internasional dikembangkan. Hukum
internasional konvensional diturunkan melalui perjanjian internasional dan dapat
berbentuk apapun sesuai dengan kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara
yang terlibat di dalam perjanjian tersebut. Perjanjian internasional menciptakan
hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan tersebut. Sumber hukum
internasional yang berkaitan dengan pekerja migran yang berdasarkan perjanjian
internasional ketika telah ditandatangani dan diratifikasi maka secara hukum
negara tersebut mempunyai kewajiban untuk melaksanakan serta memberikan
pemenuhan hak-hak pekerja migran di negaranya.
Sebelum membahas lebih jauh Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak
pekerja migran dan anggota keluarganya, adapun hal-hal yang mengacu atau
mendorong adanya konvensi tentang migran tersebut salah satunya adalah
konvensi internasional tentang hak ekonomi dan budaya. Konvensi ini dibentuk
guna mendukung terpenuhinya hak atas pekerjaan. Pasal 6 (1) Konvenan
menyatakan bawa negara pihak konvenan ini mengakui hak atas pekerjaan
termasuk hak atas semua orang untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang
dipilih atau yang diterimanya secara bebas. Kemudian ayat ke 2 menyatakan
bahwa langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara pihak konvenan ini
untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus menempuh juga
31
bimbingan teknis serta program-program seperti pelatihan, kebijakan serta teknikteknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya yang mantap
serta lapangan kerja yang produktif (Naek Siregar, 2012).
Konvensi tentang perlindungan pekerja migran menjadi hukum internasional
dan disepakati atau ditandatangani oleh lebih dari 20 negara sehingga konvensi ini
melebihi kuota persetujuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konvensi
migran ini dapat disetujui apabila telah mencapai kesepakatan dimana perjanjian
ini dapat berlanjut dan berlangsung apabila disetujui atau disepakati oleh minimal
20 negara. Diratifikasinya konvensi ini oleh Guatemala dan El Savador pada
tanggal 14 maret tahun 2003, menandai bawa konvensi tersebut telah siap
diberlakukan. Tercatat 22 negara telah melakukan ratifikasi konvensi dan masuk
kedalam Entry Into Force pada tangga 1 juli tahun 2003. Adapun berikut adalah
daftar dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional PBB
tahun 1990 tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya :
Gambar 2.1 Daftar 22 Negara Peratifikasi Konvensi hingga mulai
diberlakukan
32
Negara-negara terebut adalah negara-negara yang telah menandatangani
konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya. Berdasarkan tabel di atas, bergabungnya El Savador,
Guatemala, dan Mali menambah jumlah negara peratifikasi dan totalnya menjadi
22 negara.
Gambar 2.2 States Parties March 2006. Ratification : 34 countries have
ratified the Convention.
Sumber : International Catholic Migration Commission
Signatures : Argentina, Bangladesh, Benin, Cambodia, Comoros, Gabon,
Guinea-Bissau, Guyana, Indonesia, Liberia, Paraguay, Sao Tome and Principe,
Serbia & Montenegro, Sierra Leone and Togo (International Catholic Commission
, 2006).
Gambar selanjutnya menunjukkan partisipasi 34 negara yang telah
meratifikasi konvensi tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota
keluarganya, dapat pula dilihat posisi Indonesia adalah sebagai negara dengan
33
status signatures atau belum termasuk kedalam negara-negara yang telah
melakukan ratifikasi.
Sebelum membahas tentang konvensi internasional tentang perlindungan hakhak pekerja migran, berikut adalah tabel yang menunjukkan negara serta
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan hak-hak migran.
Tabel 2.1 Ratifikasi Instrumen-Instrumen Internasional Mengenai Migrasi
Serta Hak-Hak Dari Pekerja Migran
Negara (Cetak
tebal, telah
meratifikasi
satu
instrumen
atau
lebih)
Albania
Ratifikasi
ILO
C-97
Ratifikasi
ILO
C-143
02 Maret
2005
12 Sept. 2006
Algeria
Argentina
19 Oct. 1962
Armenia
Azerbaijan
27 Jan. 2006
Ratifikasi atau
persetujuan (a)
Konvensi 1990
Penandatanganan
Konvensi 1990
05 June 2007
(a)
21 Apr. 2005
23 Feb. 2007
10 Aug. 2004
11Jan.1999
(a)
Bahamas
Bangladesh
Barbados
Belgium
Belize
25 May 1976
07 Oct. 1998
08 May 1967
27 July 1953
15 Dec. 1983
14 Nov. 2001
11June 1980
Benin
Bolivia
Bosnia &
Herzegovina
Brazil
(a)
11June 1980
12 Oct. 2000
02 June 1993
02 June 1993
18 June 1965
34
(a)
(a)
13 Dec. 1996
Burkina Faso
Cambodia
Cameroon
Cape Verde
Chile
Colombia
Comoros
Congo
(Brazzaville)
Cuba
Cyprus
Dominica
Ecuador
09 June 1961
09 Dec. 1977
26 Nov. 2003
27 Sept. 2004
03 Sept. 1962
04 July 1978
(a)
21 Mar. 2005
24 May 1995
29 Apr. 1952
23 Sept. 1960
28 Feb. 1983
05 Apr. 1978
28 June 1977
(a)
06 Feb. 2002
14 Mar. 2003
19 Feb. 1993
France
Gabon
Germany
Ghana
29 Mar. 1954
Granada
Guatemala
Guinea
9 July 1979
13 Feb. 1952
Honduras
Hong Kong
(China
SAR)*
Indonesia
Israel
Italy
Jamaica
Kenya
Kyrgyz
Republic
Lesotho
Liberia
24 Sept. 1993
22 Sept. 2000
29 Sept. 2008
El Salvador
Egypt
Guinea-Bissau
Guyana
16 Nov. 2001
15 Dec. 2004
22 June 1959
05 June 1978
(a)
08 Sept. 2000
(a)
14 Mar. 2003
08 Sept. 2000
12 Sept. 2000
15 Sept. 2005
8 June 1966
11 Aug. 2005
22 Jan. 1951
22 Sept. 2004
30 Mar. 1953
22 Oct. 1952
22 Dec. 1962
30 Nov. 1965
10 Sept. 2008
23 June 1981
09 Apr. 1979
(a)
29 Sept. 2003
16 Sept. 2005
35
24 Sept. 2004
22 Sept. 2004
(a)
18 June 2004
Mali
(a)
06 June 2003
Mauritania
(a)
22 Jan. 2007
Libyan Arab
Jamahiriya
The former
Yugoslav
Republic
of Macedonia
Madagascar
Malawi
Malaysia
(Sabah)
Mauritius
Mexico
Moldova
Montenegro
Morocco
Netherlands
New Zealand
17 Nov. 1991
17 Nov. 1991
14 June 2001
22Mar. 1965
03 Mar. 1964
02 Dec. 1969
8 Mar. 1999
12 Dec. 2005
03 June 2006
03 June 2006
23 Oct. 2006
21 June 1993
15 Aug. 1991
03 June 2006
10 Nov. 1950
Nicaragua
26 Oct. 2005
Niger
18March2009
Nigeria
Norway
Paraguay
Peru
Philippines
17 Oct. 1960
17 Feb. 1955
Portugal
Rwanda
12 Dec. 1978
14 May 1980
24 Jan. 1979
23 Sept. 2008
14 Sept. 2005
05 July 1995
21 April 2009
Saint Lucia
San Marino
Sao Tome &
Principe
Senegal
Serbia
22 May. 1991
(a)
13 Sept. 2000
22 Sept. 2004
15 Nov. 1993
15 Dec. 2008
23 May 1985
06 Sept. 2000
09 June 1999
24 Nov. 2000
11 Nov. 2004
36
seychelles
29 May 1992
Sierra Leone
Slovenia
Spain
Srilanka
Sweden
Syiria
Tajikistan
21 Mar. 1967
29 May 1992
21 Mar.1967
(a)
15 Sept. 2000
29 May 1992
(a)
11 Mar. 1996
28 Dec. 1982
02 June 2005
08 Jan. 2002
10 Apr. 2007
Tanzania
(Zanzibar)
22June 1964
Trinidad &
Tobago
24 May 1963
Timor Leste
(a)
Togo
08 Nov. 1983
Turkey
Uganda
31 Mar. 1978
United Kingdom
Venezuela
Zambia
15 Dec. 1994
22 Jan. 1951
09 June 1983
02 Dec. 1964
07 Sept. 2000
30 Jan. 2004
15 Nov. 2001
(a)
27 Sept. 2004
14 Nov. 1995
13 Jan. 1999
09 June 1963
Sumber : Komite Pengarah Internasional Untuk Kampanye Ratifikasi
Konvensi Hak-Hak Pekerja Migran.
D. Konvensi Migran Tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya
Konvensi migran tahun 1990 ( International Convention on the Protection of
The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) terdiri dari 9
bagian dan 93 pasal. Namun dikarenakan pasal yang terlalu banyak untuk
37
dipaparkan satu per satu, maka berikut adalah isi dari konvensi migran yang dapat
dikelompokkan kedalam 7 bagian besar yang dipaparkan melalui tabel berikut :
Tabel 2.2 Isi Dari Konvensi Migran Tahun 1990 Secara Singkat
Bagian
I
II
III
Pembahasan
Struktur
Ruang lingkup dan definisi
6 pasal / pasal 1-6
Non-diskriminasi dalam kaitan dengan hak
1 pasal / pasal 7
Hak asasi manusia bagi seluruh pekerja
28 pasal / pasal 8-35
migran
IV
Hak lain dari para pekerja migran dan anggota 21 pasal / pasal 36-56
keluarganya yang memiliki dokumen atau
berada dalam situasi regular
V
Ketentuan yang berlaku dari para pekerja
7 pasal / pasal 57-63
migran dan anggota keluarganya
VI
Pemajuan kondisi yang baik, setara,
8 pasal / pasal 64-71
manusiawi, dan sah sehubungan dengan
migrasi internasional para pekerja dan anggota
keluarganya
VII
Penerapan konvensi
7 pasal / pasal 72-78
VIII
Ketentuan umum
6 pasal / pasal 79-84
IX
Ketentuan penutup
9 pasal / 85-93
Total
93 pasal
Sumber : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Dalam konvensi tersebut, mengindikasikan tanggung jawab negara-negara
anggota untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran. Apabila
dipersentasekan, 65% dari isi konvensi tersebut menekankan kewajiban negara
yang dalam hal ini adalah pemerintah negara anggota untuk memberikan
perlindungan yang menyeluruh atas hak-hak pekerja migran dan anggota
keluarganya (Convention, 1990).
38
E. Proses Panjang Ratifikasi Konvensi Migran Oleh Pemerintah
Indonesia
Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan sebagai negara pengirim
buruh migran terbesar, hal tersebut dapat dilihat dimana pekerja migran dapat
dikatakan sebagai pahlawan devisa negara.
Tabel 2.3 Daftar Sumbangan Devisa Dari Pekerja Migran Dari tahun 20082013.
Remittances
Year
Receipts
(US$mil)
2008
6,618
No. of workers
Payments
(US$mil)
Surplus
Indonesian foreign
(thousand) (thousand)
-1,412
4,445
5,206
2009 6,618
-1,748
4,385
4,869
2010 6,735
-1,877
4,201
4,857
2011 6,736
-2,091
4,088
4,645
2012 7,018
-2,402
4,022
4,616
2013 3,716
-1,224
3,998
2,942
Sumber : Kompasiana, TKI Pahlawan devisa
R/P
P/P
43
1,489 32,837
46
1,509 38.000
51
1,603 36.804
60
1,648 34.850
n.a
1,745 n.a
n.a
929
n.a
Tabel tersebut menunjukkan bahwa sumbangan devisa dari pekerja migran
dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat. Pada tahun 2008, jumlah sumbangan
devisa yang dihasilkan oleh pekerja migran ialah sekitar 1,489 dollar AS, dan
meningkat sampai pada puncaknya di tahun 2012 yaitu sekitar 1.745 dollar AS.
39
Dengan jumlah tersebut tentunya persoalan yang menimpa buruh migran
Indonesia harus mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah.
Adanya kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia, kemudian
menuntut pemerintah untuk meratifikasi konvensi migran tentang perlindungan
pekerja migran dan anggota keluarganya sebagai bentuk awal perubahan untuk
nasib buruh migran yang lebih baik.
Berbicara lebih lanjut terkait dengan konvensi migran, meskipun Indonesia
dapat dikatakan merupakan negara pengirim buruh migran terbesar, berkaitan
dengan konvensi migran, Indonesia melakukan penundaan ratifikasi selama 8
tahun. Rentang waktu tersebut terbilang lama dibandingkan dengan negara-negara
lainnya seperti Filipina (2 tahun), Bangladesh (3 tahun), dan Argentina (3 tahun).
Indonesia memang telah menandatangani konvensi tersebut pada tahun 2004,
namun, seperti yang tercantum dalam langkah-langkah pembuatan perjanjian
Internasional dan mulai berlakunya perjanjian tersebut yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa, suatu negara dapat dikatakan akan terikat kedalam suatu
perjanjian apabila telah meratifikasi perjanjian tersebut sehingga dapat diproses
selanjutnya ke pemerintahannya. Sementara,
Indonesia baru melakukan
penandatanganan dan belum mengambil tindakan lebih dengan melakukan
ratifikasi.
40
Perlu diketahui bahwa sebelum lebih lanjut membahas tentang proses
penundaan ratifikasi, ada beberapa poin penting yang terlebih dahulu akan saya
jelaskan. Perjanjian internasional memiliki tujuan bagi setiap negara anggota yang
tergabung dalam perjanjian internasional tersebut. Bergabungnya suatu negara
kedalam suatu perjanjian luar negeri merupakan salah satu bentuk manifestasi
arah kebijakan luar negeri negara tersebut. Dalam persoalan yang terjadi,
Indonesia mengatur hal tersebut di dalam UUD tahun 1945 pasal 11 yang
menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”.
Pasal tersebut memperlihatkan bahwa perjanjian internasional harus melalui
persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Sementara kebijakan luar negeri adalah
seperangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan,
mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia
internasional. Pada bab II pasal 4 ayat 2 UU. NO.24 tahun 2000 dijelaskan pula
bahwa “dalam pembuatan perjanjian internasional, pemerintah Republik
Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip
persamaan kedudukan, saling menguntungkan dan memperhatikan baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
41
Berikut adalah penjelasan yang perlu diketahui sebelumnya terkait dengan
kebijakan luar negeri. Menurut Rossenau, kebijakan luar negeri adalah strategi
yang diambil oleh suatu negara sebagai upaya untuk pencapaian kepentingan
nasional. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa substansi suatu politik luar negeri
adalah bagaimana mengedepankan atau mewujudkan kepentingan nasional suatu
negara terhadap negara lain. Terdapat beberapa hambatan yang dapat dikatakan
sebagai faktor yang membuat Indonesia belum meratifikasi konvensi migran.
Faktor utamanya adalah ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR terkait
dengan perlunya ratifikasi. Pada tahun 2005, dalam surat KEMENKERTRANS
dengan nomor surat B.359/SJ/HK/2005 yang ditujukan kepada pusat Litbang hakhak Ecosoc Badan Penelitian dan Pengembangan HAM pada tanggal 12
september 2005, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan
keberatan untuk meratifikasi konvensi migran. Terdapat beberapa argumentasi
yang disampaikan di dalam surat tersebut. Pertama, dengan meratifikasi konvensi
tersebut dapat menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan
peluang dan kesempatan yang sama bagi TKA dan anggota keluarganya yang
bekerja di Indonesia, hal ini juga termasuk memberikan kompensasi berupa
tunjangan pengangguran jika TKA tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja
42
(PHK). Kedua, substansi konvensi migran tahun 1990 mengatur kewajiban bagi
negara peratifikasi untuk memberikan perlindungan bagi TKA yang bekerja di
negara tersebut sehingga apabila Indonesia meratifikasi, konvensi tersebut tidak
memberikan perlindungan bagi BMI yang bekerja diluar negeri, selain itu dengan
adanya jaminan yang sama dengan pekerja lokal, hal yang ditakutkan ialah akan
semakin banyak TKA yang bekerja di Indonesia sehingga dalam jangka panjang
akan mempersempit lahan pekerja lokal. Ketiga, pasal-pasal yang terkandung di
dalam konvensi tersebut di antaranya hak berserikat bagi buruh migran, peraturan
tidak boleh memutus hubungan kerja dengan buruh migran, serta akses untuk
mencari dan mendapatkan pekerjaan dinilai tidak sejalan dengan substansi dari
UU NO.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Prokum, 2003).
Pada tahun 2006, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi I Made Arka,
menyatakan bahwa Indonesia belum siap meratifikasi konvensi dikarenakan
Indonesia belum mampu memfasilitasi Tenaga Kerja Asing sebagaimana fasilitas
yang didapatkan oleh pekerja lokal. Kemudian, pada tahun 2006 hingga 2008,
pemerintah masih mengandalkan MoU yang dilakukan antara PJTKI dengan
negara-negara penempatan namun adanya keputusan tersebut dinilai kurang
bahkan tidak signifikan dalam mengatur perlindungan buruh migran.
Sebelum lebih lanjut membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan alasan
penundaan ratifikasi oleh pemerintah Indonesia, perlu dibahas terlebih dahulu
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi buruh migran Indonesia,
43
serta memperbaiki nasib mereka. Adapun beberapa kebijakan pemerintah di
antaranya adalah :
1. MoU (Memoradum of Understanding)
MoU merupakan nota kesepahaman yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
dengan negara-negara penerima buruh migran. Berdasarkan Black’s Law
Dictionary MoU merupakan bentuk dari Letter of Intent yang didefinisikan
sebagai suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang
berencana untuk masuk kedalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan
tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal kesepakatan. Suatu
letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat tidak menghalangi pihak dari
tawar menawar dengan pihak ketiga (Hukum Online, 2013). MoU dilaksanakan
Indonesia khususnya kepada dua negara dengan jumlah penerima buruh migran
terbesar yaitu Arab Saudi dan Malaysia.
Sebagai contoh, nota kesepahaman Indonesia dengan Malaysia mengenai
perekrutan dan penempatan pekerja domestik Indonesia yang ditandatangani pada
tanggal 13 mei 2006 dimana pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia
berkeinginan untuk menjunjung tinggi hak-hak dan perlindungan para pengguna
jasa dan penata laksana rumah tangga (PLRT) di Malaysia, serta pemenuhan hak
asasi mereka. Namun, pada akhirnya melihat banyaknya kekurangan di dalam
nota tersebut, akhirnya dilakukan pembahasan terkait dengan perevisian MoU
tersebut pada tahun 2007 (Indonesia, 2006).
44
Selanjutnya, pada tahun 2008 pihak Indonesia dengan Brunei Darussalam
membahas amandemen nota kesepahaman bersama atau Memorandum of
Understanding (MoU) mengenai penempatan tenaga kerja Indonesia pada sektor
formal dan informal. Kerangka acuan MoU yang ditetapkan oleh kedua negara
tersebut mengacu kepada prosedur penempatan, kewajiban perusahaan Pelaksana
Penempatan Tempat Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan kewajiban
agensi di negara tersebut. selain dengan Malaysia, Indonesia juga menandatangani
nota kesepahaman dengan negara Arab Saudi.
2. UU NO.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia diluar Negeri.
Untuk melindungi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri (work in
overseas), pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004.
Dibentuknya UUD tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri, dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para buruh
migran yang kerap kali menghadapi berbagai persoalan seperti kekerasan,
eksploitasi, dan perlakuan yang bertentangan dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Hal tersebut dinyatakan dalam UUD No.39 tahun 2004 bahwa
bekerja merupakan Hak Asasi Manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati,
dan dijamin penegakkannya (Husni, 2010) .
45
Undang-Undang tersebut dibuat dengan tujuan perlindungan buruh migran,
namun adanya peraturan perundang-undangan tersebut dinilai tidak efektif dalam
memperbaiki serta melindungi nasib buruh migran Indonesia.
3. Ratifikasi Konvensi ILO
Selain berkaitan dengan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja, adapun langkah lain yang dilakukan oleh
pemerintah
Indonesia
ialah
meratifikasi
Konvensi
International
Labour
Organzation nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa melalui UndangUndang Nomor 19 tahun 1999 (Habibie, 1999), ratifikasi Konvensi ILO nomor
111 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui UndangUndang Nomor 21 tahun 1999 (Menteri Tenaga Kerja Indonesia , 2005), serta
ratifikasi Konvensi
ILO nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999. Beberapa
poin tersebut merupakan tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk
memperjuangkan nasib buruh migran.
Pada tahun 2009, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, beserta pakar dari
Universitas Indonesia beberapa kali melakukan pertemuan yang membahas
tentang perlunya meratifikasi
konvensi
tersebut.
Namun
dengan
tidak
terakomodirnya persepsi atau pandangan dari para pemangku kepentingan utama
tersebut, sehingga hasil kajian dari pentingnya meratifikasi konvensi migran
46
tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ratifikasi belum perlu dilakukan, dalam
artian proses dari hasil kajian KEMENKERTRANS tersebut sama sekali tidak
berprespektif perlindungan buruh migran dan keluarganya.
Pada tahun 2011, Kementerian Luar Negeri menyuarakan persiapan
ratifikasi konvensi migran, dengan menyusun ulang draf naskah akademik
ratifikasi konvensi migran tahun 1990, yang sebelumnya draf tersebut dibahas
selama dua kali dalam workshop yang diadakan oleh KEMENLU antar
departemen dan masyarakat sipil pada tanggal 15-16 juli 2011 dan oktober 2011.
Dalam pertemuan tersebut, mayoritas perwakilan dari berbagai kantor
kementerian telah menyetujui dan menyusul untuk segera dilakukan pembahasan
tentang ratifikasi konvensi tersebut di DPR paling lambat tahun 2011. Namun,
meskipun telah mendapat dukungan yang besar, masih ada beberapa pihak dari
kementerian kembali menolak langkah tersebut (Syahputra, 2012).
Adanya hambatan-hambatan tersebut kemudian membuat Indonesia
memerlukan waktu selama 8 tahun untuk mengambil langkah ratifikasi konvensi
migran tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya.
47
Download