PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENILAIAN PERILAKU ETIKA BISNIS PERUSAHAAN PADA BEBERAPA KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP Jenis Kegiatan : PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENULISAN ILMIAH (PKMI) Nicko Dwi Nurali Fanny Widadie Oki Wijaya (0610450023 / 2006) (0310440019 / 2003) (0510440038 / 2005) UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2007 1 PENILAIAN PERILAKU ETIKA BISNIS PERUSAHAAN PADA BEBERAPA KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP Nicko Dwi Nurali, Fanny Widadie, Oki Wijaya Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Fenomena maraknya terjadi pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan merupakan akibat dari pelaksanaan etika bisnis yang menyimpang. Untuk itu dalam penelitian ini akan mengkaji dan menilai perilaku etika bisnis yang dilakukan para stakeholder perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan. Dengan menggunakan objek penelitian berupa keputusan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan yang mengakibatkan terjadinya kasus pencemaran lingkungan hidup. Diharapkan akan diketahuinya faktor penyebab rusaknya pelaksanaan etika bisnis. Dan kemudian dapat dilakukan perubahan sehingga peristiwa serupa tidak akan terjadi lagi. Pengumpulan data ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus historis keputusan bisnis yang dilakukan oleh PT Indorayon Utama, PT Newmont dan PT Lapindo Brantas melalui pengambilan data primer dan sekunde . Sedangkan analisis datanya menggunakan pendekatan kualitatif secara teoritis antara filsafat etika bisnis dan lingkungan serta dalam penilainnya peneliti menerapkan paradigma konstruksionisme dengan asumsi ontologi, epistomologi dan aksiologi. Sehingga dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya kasus pencemaran lingkungan hidup ini adalah penyimpangan pelaksanaan etika bisnis. Dimana pengambilan keputusan bisnisnya memiliki nilai-nilai yang sangat jauh dari nilai filsafat etika. Etika bisnis yang dijalankan tidak selaras dengan teori nilai etika lingkungan. Penyebab penyimpangan etika bisnis ini adalah berkembangnya paham antroposentrisme dan ekonomisme dalam memandang hubungannya dengan alam pada benak individu pelaku bisnis. Dengan demikian pelaksanaan etika bisnis masih berpaham pada falsafah kepedulian lingkungan yang dangkal (shallow edology). Etika bisnis yang masih jauh dalam pelaksanaan nilai-nilai etis-humanistis. Maka dari itu perlu dilakukan rekonstruksi paradigma etika bisnis untuk lebih selaras dengan lingkungan melalui pembelajaran nilai-nilai moral pada pelaku bisnis dan adanya penegakan hukum serta penerapan kode etik perusahaan secara praktis. Kata kunci : etika, bisnis, lingkungan, falsafah PENDAHULUAN Kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh industri di Indonesia sudah sangat sering terjadi. Hal ini dilakukan baik oleh industri kecil rumha tangga maupun industri besar. Sehingga tidak heran jika degradasi lingkungan hidup saat ini tengah terjadimulai dari kerusakan pencemaran laut, hutan, atmosfer, air, tanah dan bagian ekosistem lainnya. Contoh kasus konkret nyata yang sering diungkap, misalnya PT Inti Indorayon Utama di Sumatera, PT 2 Freport Indonesia di Papua, PT Newmont Minahasa Raya di Manado, PT PT Nusa Halmahera Minerals (PT NHM) di Maluku Dan peristiwa besar yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah kasus pencemaran banjir lumpur panas di Porong Sidoarjo yang diakibatkan aktivitas eksplorasi PT Lapindo Brantas. Tidak hanya itu saja masih banyak lagi beberapa kasus lainnya yang belum terpublikasikan. Seperti apa yang diungkapkan lembaga kajian ekologi dan ekologi lahan basah Jawa Timur (2005) bahwa banyak industri di sepanjang sungai Surabaya yang membuang 330 ton/hari limbah cairnya ke sungai. Dan industri-industri tersebut telah masuk dalam daftar hitam, akan tetapi sampai saat ini belum ada tindakan yang jelas. Masalah pencemaran lingkungan hidup tidak hanya menyangkut hal yang bersifat teknis saja, akan tetapi juga moral dan perilaku manusia. Sebagaimana menurut Keraf (2002), sebenarnya akar permasalahan pencemaran lingkungan hidup itu bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Para pelaku bisnis disini dalam menjalankan aktivitasnya masih banyak terlepas dari unsur filsafat etika yang seharusnya diterapkan dalam dunia bisnis. Memang bisnis bukanlah kegiatan sosial, karena hakekat bisnis adalah profit making activity. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila segala aktivitas bisnis (faktor organisatoris-manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosial-kultural) lebih berorientasi pada kepentingan pemilik (stakeholder) untuk mendapatkan keuntungan secara singkat. Akan tetapi seharusnya hal ini perlu diimbangi dengan tanggung jawab perusahaan terhadap interaksi sosial lingkungan sekitar. Karena bagaimanapun fenomena sosial merupakan gejala hakiki dan dunia bisnis tidak dapat terlepas dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan moral. Sehingga seharusnya aktivitas bisnis ini tidak dijalankan dengan hanya mengambil cara pandang ekonomi, hukum maupun politik saja akan tetapi juga perlu adanya sisi-sisi humanis-etis (Endro, 1999). Kegiatan bisnis seharusnya tidak boleh ditinggalkan dari norma-norma etika. Sehingga dalam melakukan aktivitas bisnis haruslah disertai dengan prinsipprinsip etika bisnis. Etika bisnis ini akan berperan dalam menyoroti perilaku manusia dalam bidang bisnis dan manajemen serta mengatur hubungan ekonomi antar manusia sehingga mencegah terjadinya penyimpangan terhadap lingkungan sekitar (Tjager 2003). Ukuran yang selalu digunakan dalam etika bisnis ini adalah ukuran moral, apakah suatu keputusan dan kebijaksanaan yang diterapkan dalam suatu pengelolaan perusahaan telah sesuai dengan nilai dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat (Bertens, 2000). Sehingga dengan peranannya seperti inilah etika bisnis menjadi kebutuhan dasar dalam pengelolaan perusahaan untuk lebih berperilaku humanistis. Dengan melihat kembali, banyaknya pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan besar di Indonesia menujukkan bahwa prinsip etika bisnis belum sepenuhnya dipahami secara riil. Seakan adanya indikasi bahwa etika bisnis di Indonesia hanya dijadikan sebatas lips service yaitu sesuatu yang perlu dimiliki, perlu dikatakan, perlu disebarkan tetapi sebetulnya tidak punya arti apa-apa. Untuk itu dalam penelitian ini akan melakukan kajian dan penilaian terhadap perilaku etika bisnis perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya kasus pencemaran lingkungan hidup. Penilaian perilaku etika bisnis ini didasarkan pada keputusan bisnis yang diambil perusahaan. Dan hal ini dihubungkan dengan penghormatan terhadap nilai 3 etika lingkungan. Sehingga diharapkan dengan diketahuinya penilaian pelaksanaan etika bisnis perusahaan, yang kemudian dapat dilakukan perubahan paradigma etika bisnis yang bersifat menyimpang kearah keselarasan dengan nilai etika lingkungan sehingga peristiwa pencemaran serupa tidak terjadi lagi di Indonesia. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Paradigma kualitatif merupakan paradigma yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial, kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitian ini menghasilkan data-data deskriptif, yang dengan menjabarkan dan merangkai variabel-variabel yang diteliti menjadi sebuah untaian kata-kata dalam setiap pembahasannya. Deskripsi ini menjelaskan terhadap fenomena dari objek penelitian. Dan objek penelitiannya ini studi kasus berupa tindakan dan keputusan para pelaku bisnis perusahaan yang selama ini telah terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Kasus yang diambil adalah pencemaran yang dilakukan PT Indorayon Utama, PT Newmont Minahasa Raya dan PT Lapindo Brantas. Ketiga perusahaan tersebut dijadikan studi kasus penelaahan secara purposive, karena semua perusahaan tersebut telah terbukti melakukan pencemaran lingkungan hidup paling besar di Indonesia. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur baik berupa buku, artikel majalah atau surat kabar. Menurut Sudaryanto (1993) penyediaan data adalah penyediaan data yang benar-benar data, penyediaan data yang terjamin sepenuhnya akan kesahihannya. Oleh karena itu, peneliti dalam mengumpulkan objek penelitian berupa keputusan-keputusan bisnis yang mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan didapatkan melalui pendekatan historis dari berbagai surat kabar harian yang membahas penyebab terjadinya peristiwa ini. Sedangkan data primer dilakukan hanya dengan melakukan pengamatan terhadap pencemaran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Serta melakukan wawancara tidak terstruktur kepada masyarakat dan pakar pada kasus pencemaran lingkungan untuk mengungkap fenomena dibalik peristiwa tersebut. Analisis Data dan Metode Pendekatan Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data dari objek penelitian. Setelah itu kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif. Hal ini dilakukan secara penarikan melalui teoritis. Teori yang digunakan adalah teori filsafat etika berupa etika khusus bidang sosial yaitu tepatnya etika profesi (bisnis) dan etika lingkungan hidup. Teori etika ini akan mampu memberi petunjuk, orientasi, arah bagaimana harus hidup secara lebih humanistis sebagai pribadi manusia (Ruslan, 2004). Dengan kata lain, didalamnya 4 akan dilakukan penilaian benar tidaknya keputusan yang telah diambil manusia. Dan dalam dunia bisnis etika ini berperan menjadi rambu-rambu yang membimbing pelaku bisnis untuk melakukan tindakan yang terpuji (good conduct). Sedangkan untuk etika lingkungan disini mengatur hubungan antara manusia dengan alam dan bagaimana perilaku manusia dengan alam (Keraf, 2002). Analisis data yang dilakukan adalah dengan menyilangkan antara objek penelitian (keputusan pelaksanaan etika bisnis) dengan teori etika lingkungan. Dimana menilai pelaksanaan etika bisnis terhadap keselarasan dengan teori etika lingkungan berupa teori aposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Suatu penilaian etika bisnis tersebut dapat dikatakan telah berjalan secara etis jika falsafah etika bisnis yang dijalankannya berdasar pada paham biosentrisme dan ekosentrisme. Sementara penilaian etika bisnis dapat dikatakan tidak etis jika falsafah etika bisnisnya dijalankan berdasar paham antroposentrisme. Dan dalam melakukan penilaian ini peneliti menggunakan instrumen berupa key instrument artinya peneliti sebagai alat peneliti utama. Disini peneliti sebagai alat peka untuk dapat berinteraksi terhadap adanya rangsangan stimulus dari lingkungan. Peneliti berperan menangkap fenomena dan realitas lapang yang selanjutnya dipahami, dihayati dan dilakukan rekonstruksi sebuah pemikirian untuk dapat mengetahui sebuah pengetahuan (Basuki, 2006). Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan paradigma konstruksionisme melalui asumsi elemen ontologi, epistomologi dan aksiologis. Asumsi ontologi pada paradigma konstruksionisme yang bersifat relatif. Artinya realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan realitas sosial buatan yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Sedangkan asumsi epistemologis adalah pendekatan yang bersifat subjektif-dialektikal. Artinya pemahaman atau temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam membentu realitas. Dan asumsi aksiologis dalam paradigma ini adalah peneliti bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma konstruksionisme ini yang akan berperan dalam melakukan penilaian etika bisnis perusahaan, apakah suda termasuk etis atau tidak etis serta faktor penyebabnya. HASIL Tindakan kejahatan terhadap lingkungan yang sering dilakukan oleh perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa praktek etika dan bisnis adalah dua hal yang berlainan. Perilaku etika bisnis yang dilaksanakan tidak sejalan dan banyak melakukan pelanggaran terhadap etika lingkungan. Keputusan bisnis yang dijalankan tidak sesuai dengan teori filsafat etika yang seharusnya diterapkan oleh perusahaan. Etika yang dilakukan masih berpaham pada paradigma falsafah etika lingkungan dangkal (shallow ecology). Karena masih ditemui paham-paham falsafah yang bersifat vandalisme (kecenderungan merusak) seperti berkembangnya paham antroposentrisme dan ekonomisme. Untuk lebih jelasnya praktek keputusan bisnis dan paham-paham etika yang dilaksanakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 5 Tabel 1. Penilaian Pelaksanaan Etika Bisnis dan Paham Etika Lingkungan Kasus Perusahaan 1. PT. Indorayon Utama (Sumatera Utara) 2. PT. Newmont Minahasa Raya (Teluk Buyat) 3. PT. Lapindo Brantas (Jawa Timur) Keputusan Bisnis Kerusakan Utama Lingkungan - Pembungan Limbah ke sungai tidak sesuai Standar Operasional - Penebangan hutan alami atau Ilegal loging untuk memenuhi bahan baku - Lokasi pabrik di tengah pemukiman dan hulu sungai - Pembuangan limbah tailing ke teluk buyat dengan konsentrasi tinggi - Model STD (Submarine Tailing Disposal) tidak aman bagi lingkungan - Bau busuk menyengat, hujan asam, penyakit kulit dan gangguan pernapasan. - Pencemaran sungai - Kerusakan ekosistem danau toba akibat surutnya debit air danau toba - Pencemaran air dan biotanya akibat terkontaminasi logam berat (Hg, As dan CN) konsentrasi tinggi - Warga sekitar teluk buyat mengalami benjolan bahkan meninggal akibat terkontaminasi bahan pangan merkuri. - Proses drilling minyak bumi yang -Rusaknya ribuan tidak mematuhi hektar persawahan di standar operasional Sidoarjo. (Tidak adanya -- - Ancaman degradasi chasing dan Drilling kualitas kesuburan melebihi tanah kedalaman) - - Ancaman penyakit - Pimpinan berbahaya (hemolisis, management gangguan ginjal, membiarkan saluran pernapasan) kebocoran terjadi - - Pencemaran Sungai padahal indikasi Porong dan Biota sebelumnya sudah didalamnya. terjadi. f - Tidak Ada Ijin AMDAL pada eksplorasi sumurnya. Filsafat Etika Bisnis Adanya indikasi berkembangnya paham Antroposentrisme dan Ekonomisme yang bersifat merusak paham etika bisnis secara benar. Filsafat Etika Lingkungan Etika lingkungan bersifat dangkal (shallow ecology) belum mengarah pada sifat etika lingkungan dalam (deep ecology) 6 Pelaksanaan perilaku-perilaku etika bisnis diatas apabila dianalogikan dalam bentuk gambar akan didapatkan hasil sebagai berikut : Gambar 1. Gambar Analogi Pelaksanaan Hubungan Relasi Interaksi Ekosistem Manusia (Pelaku Bisnis) Alam (SDA) Masyarakat Umum Keterangan : : Hubungan Relasi Interaksi : Hubungan Relasi Interaksi (Aposentrisme dan Ekonomisme) : Ekosistem Hubungan manusia (pelaku bisnis) dengan alam yang seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai etika bisnis selama ini telah memudar. Hal ini diakibatkan adanya penyimpangan paradigma yang keliru terhadap alam. Para pelaku bisnis memahami alam secara aposentrisme dan ekonomisme. Dimana ini kemudian dapat ditarik bahwa para pelaku bisnis masih memiliki hubungan relasi berpaham falsafah lingkungan dangkal (shallow ecology) sehingga mengakibatkan sering terjadinya kasus pencemaran lingkungan hidup di Indonesia. Dan untuk mengatasinya diperlukan suatu rekonstruksi cara pandang atau paradigma pada diri pelaku bisnis dalam melihat hubungannya dengan alam melalui penerapan etika bisnis secara benar yang selaras dengan etika lingkungan. Hal ini dilakukan melalui pembelajaran nilai-nilai etika moral baik oleh pemuka gama, tokoh adat dan pemerintah. Selain itu perlu dilakukan penegakan hukum secara tegas dan penerapan kode etik perusahaan secara praktis dalam setiap aktivitas bisnisnya. PEMBAHASAN Perilaku Bisnis Pada Kasus Pencemaran Lingkungan PT Indorayon utama merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pulp dan kertas di Indonesia. Selama beroperasi telah banyak melakukan pencemaran lingkungan sehingga puncaknya pada tahun 1999 perusahaan ini resmi ditutup. Di dalam Kompas (30/10/00) menyebutkan bahwa selama aktivitasnya telah melakukan pencemaran sungai-sungai (Asahan, Deli, Semayang, Serbabu). Tidak hanya itu asap tebal, pencemaran bau busuk, meledaknya limbah cair sampai penggundulan hutan yang menyebabkan surutnya air danau toba menjadi deretan panjang perilaku bisnis yang tidak etis dilakukan. Keputusan bisnis yang dilakukan dengan melakukan penebangan hutan Illegal looging pada hutan alami untuk digunakan pada proses produksi kertas, 7 merupakan penyimpangan etika bisnis yang seharusnya tidak dilaksanakan. Semua aktivitas bisnis yang dilakukan PT. Indorayon Utama ini membuat terjadinya kerusakan ekosistem yang terjadi tidak dapat dihindarkan dan warga sekitar merasa trauma untuk mengijinkan berdirinya pabrik ini disekitar mereka. Sedangkan PT Newmont Minahasa Raya yang bergerak dalam bidang pertambangan emas telah melakukan pembuangan limbah tailing berbahaya di Teluk Buyat, Minahasa. Dan kasus ini masih dalam tahap pengadilan dan ditemukan bukti bahwa di Teluk Buyat kadar kualitas airnya menurun akibat banyaknya merkuri. Selain itu banyak ditemukannya biota laut seperti gurita yang terdapat kandungan merkuri sebesar 0,016 ppm, ikan kerapu merah 0,0208 ppm dan kerapu macan 0,0157 ppm. Bahkan beberapa warga Dusun Buyat juga telah terkontaminasi logam Merkuri (Hg) dan Arsen (As), akibat mengkonsumsi ikan di Teluk Buyat (Walhi, 2006a). Dan yang menjadi permasalahan mendasar dalam perilaku bisnis ini adalah proses pengolahan limbah yang menggunakan STD (Submarine Tailing Dispossal) sangatlah tidak aman bagi lingkungan. Tapi perusahan masih menggunakannnya padahal tidak sesuai dengan Standar Operasional Environmental. Sementara pada kasus PT Lapindo Brantas yang sampai saat ini masih tengah terjadi. Menunjukkan bahwa penyebab kebocoran gas ini adalah karena kesalahan dari perilaku manusia itu sendiri. Kesalahan baik dari segi praktek fisik maupun keputusan bisnis yang menyimpang. Diantara kesalahan tersebut antara lain proses drilling minyak bumi yang tidak mematuhi standar operasional dengan memasang selubung bor (casing) di kedalaman 3.580-9200 kaki sehingga mengakibatkan kebocoran (Tempo, 2006). Selain itu perilaku tidak etis dari para pelaku bisnis yang seharusnya memberikan perintah menghentikan operasi pengeboran ternyata masih terus dibiarkan. Malahan menyeru untuk melanjutkan drilling atau pengeboran sumur gas, padahal kebocoran gas saat itu sudah terjadi. Dan juga diduga adanya perbedaan antara kontrak kerja yang diberikan Lapindo Brantas Inc pada perusahaannya sampai keluar drilling program (Republika, 2006). Selain itu hal ini diperparah lagi dari pelanggaran AMDAL yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, dimana 49 sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas yang memiliki ijin AMDAL hanya 21 sumur (AMDAL tahun 1997) sedangkan 17 sumur lainnya baru dalam tahap pengajuan AMDAL (Draft), sisanya 11 sumur tidak memiliki AMDAL, termasuk sumur Banjar Panji-1 (BJP1) yang telah terjadi kebocoran ternyata tidak memiliki AMDAL (Walhi, 2006b). Aktivitas pengeboran drilling yang dilakukan oleh perusahaan seperti PT. Lapindo merupakan aktivitas ekonomi yang wajar dilakukan dan sangat penting bagi keberlanjutan perusahaan. Akan tetapi kesalahan praktek drilling dengan kelalaian memasang cassing merupakan kesalahan fatal yang seharusnya tidak boleh terjadi bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang penggalian. Kelalaian tidak mematahui standar pelaksanaan operasional ini memang bisa terlepas dari faktor kesengajaan maupun ketidaksengajaan manusia. Sengaja dengan tidak memasang chasing demi mencapai efisiensi produksi maupun faktor ketidaksengajaan sebagai sikap fitrah manusia yang lemah. Akan tetapi secara tinjauan kritis seharusnya perusahaan besar seperti PT. Lapindo harus sudah memahami standar operasional dalam masalah drilling. Etika-etika dalam melakukan aktivitas drilling seharusnya sudah menjadi bagian kode etik perusahaan. Sementara itu aktivitas bisnis lain seperti terus melakukan 8 pengeboran meskipun sudah ada indikasi kebocoran gas serta pelanggaraan AMDAL menjadi tindakan yang tidak etis yang seharusnya tidak dilakukan perusahaan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan etika bisnis perusahaan menjadi etika yang berpaham merusak lingkungan. Ketiga contoh aktivitas bisnis diatas telah berdampak besar pada kerusakan ekosistem alam baik didarat, udara, laut maupun atmosfer lainnya. Sehingga disini perlu dilakukan antisipasi dan pencegahannya melalui sebuah penilaian etika bisnis yang nantinya akan dilakukan rekonstruksi perubahan cara pandang manusia-manusia pelaku bisnis. Penilaian Etika Bisnis Terhadap Lingkungan Dari berbagai bentuk perilaku keputusan bisnis yang telah diuraikan diatas apabila ditinjau dari teori filsafah etika (etika deontologi, teologi, utiliarisme maupun keutamaan) menunjukkan sikap keputusan bisnis tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat etika. Pelaksanaan etika bisnis masih jauh dari perilaku etis yang diharapkan manusia. Etika dan bisnis menjadi dua hal yang sangat berlainan dalam proses penerapannya. Praktek-praktek bisnis tersebut masih didasarkan pada sikap-sikap egoistis untuk kepuasan ekonomi manusia saja. Filosofi bisnis yang dijalankan hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan maksimal (profit oriented) dan mengabaikan pertanggungjawabannya kepada lingkungan sekitar. Apabila dirangkai pada teori etika lingkungan, maka etika bisnis yang dijalankan masih jauh dari keselarasan dengan etika lingkungan. Etika bisnis yang dijalankan tidaklah etis karena telah termasuk pada antroposentrisme. Pengambilan keputusan para perilaku bisnis diatas memang sangat menyimpang dari nilai etis. Dimana praktek tersebut seharusnya tidak dilaksanakan oleh perusahaan besar dan strategis PMA diatas. Misalnya pelanggaran AMDAL, pembuangan limbah ke sungai, eksplorasi besar-besaran sampai tidak mematuhinya standar operasional dalam proses drilling, pengolahan limbah bahkan melakukan illegal looging dalam proses produksi. Hal ini mengindikasikan adanya unsur-unusr paradigma para pelaku bisnis yang telah menyimpang dari ketentuan dan koridor yang seharusnya terjadi. Dan pardigma itulah yang merusak tataran etika bisnis yang benar. Paradigma yang berkembang ini adalah adanya nilai antroposentrisme dan ekonomisme. Antropsentrisme disini memandang bahwa manusia merupakan pusat alam semesta serta kebutuhan dan kepentingannya mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan makhluk hidup lainnya. Sehingga dalam setiap tindakannnya bersifat egoistis demi pemenuhan kepentingan manusia semata. Dan cara pandang antroposentrisme inilah yang merupakan penyebab utama terjadinya krisis lingkungan yang sering terjadi (Keraf, 2002). Hal ini disebabkan antroposentrisme membuat manusia terus melakukan eksploitasi besar-besaran (resource depletion) dan menguras alam semesta. Alam semesta ini hanya dijadikan alat instrumental pemuas kebutuhan manusia. Apa yang terjadi di Porong dengan melakukan eksplorasi gas sampai kedalaman ambang batas tanpa menerapkan standar operasional yang berlaku dan penebangan hutan secara besar-besaran di Sumatera Utara serta pembuangan limbah berbahaya tanpa mengukur batas kadarnya di Buyat menunjukkan indikasi bahwa berkembangnya paham antroposentrisme secara sempit. Pelaku bisnis yang berpandangan ini akan melakukan pemanfaatan 9 alam secara sepihak tanpa memikirkan dampak keberlanjutan ekosistem. Kalaupun peduli terhadap alam hal itu hanya ditujukan untuk memenuhi kepentingan manusia, bukan didasarkan pada alam yang mempunyai nilai intrinsik untuk dilindungi. Hubungan alam dan pelaku bisnis hanya sebatas pemanfaatan tanpa penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak alam. Manusia (pelaku bisnis) hanya berperan sebagai sentra ekosistem alam yang harus dipenuhi dan dihormati hak-haknya. Tidak hanya itu saja bentuk paradigma yang menyimpang lainnya adalah berkembangnya paham ekonomisme yang sangat kuat. Sebagaimana menurut Nugroho (2001) bahwa ekonomisme ini memiliki arti bentuk kepedulian yang membatasi diri hanya kepada perhitungan untung rugi, cost benefit ratio bagi para pelaku ekonomi. Paradigma ekonomisme ini memusatkan diri pada pencarian keuntungan-keuntungan jangka pendek dan tidak mau peduli terhadap keberlangsungan masa depan. Didalam pola perilaku bisnis ini berkembang munculnya tindakan dan motif ekonomi perusahaan yang menyimpang. Orientasi profit oriented dimana mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memiliki pertanggung jawaban sosial terhadap lingkungan. Bentuk keputusan bisnis dengan melakukan penebangan hutan ilegal, pembuangan limbah kesungai, pelaksanaan eksplorasi yang tidak sesuai standar operasional serta penambangan tanpa memperhatikan akibat kerusakan lingkungan merupakan praktek ekonomisme sempit. Dimana aktivitas ekonomi yang dijalankannya sebagai fitrah kehidupan perusahaan, diterapkan dengan mengejar keuntungan ekonomi semata dan terlepas dari unsur pemerhatian keterkaitan ekosistem sekitar. Pelaku bisnis lebih mengejar pada paham ekonomisme sempit yang mengejar keuntungan sebesarbesarnya dalam jangka waktu yang pendek dengan pengorbanan yang sekecilkecilnya tanpa memperhatikan proses keberlanjutan ekosistem lingkungan sekitar. Paham antroposentrisme dan ekonomisme yang berkembang dalam perilaku para pelaku bisnis inilah yang sebenarnya merusak tatanan etika bisnis yang seharusnya dilaksanakan oleh para pelaku bisnis. Pemahaman mereka terhadap lingkungan masih bersifat etika lingkungan yang masih dangkal (shallow ecology). Kedangkalan terhadap pemahaman lingkungan inilah tidak lain disebabkan oleh adanya paham-paham antroposentrisme dan ekonomisme yang berkembang dalam benak para stakeholder perusahaan. Untuk itu perlu dilakukan rekonstruksi atau perubahan paradigma para pelaku bisnis terhadap lingkungan untuk lebih terjadi keselerasan terhadap etika lingkungan. Maka dari itu perlu dilakukan pelurusan paradigma baik secara internal maupun eksternal. Internal melalui pembelajaran nilai-nilai moral etika kearifan terhadap alam baik oleh pemuka agama, adat, tokoh masyarakat dan pemerintah. Serta perlu diterapkannya kode etik perusahaan dalam setiap aktivitas bisnisnya. Sedangkan secara eksternal perlu dilakukan penegakan hukum lingkungan secara tegas oleh aparat terhadap tindakan pidana yang dilakukan oleh perusahaan yang telah terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Dengan adanya semua tindakan tersebut diharapkan akan mampu menumbuhkan sikap kosmis dalam benak pelaku bisnis untuk dapat mengelola alam secara lebih bijak dan etis. 10 KESIMPULAN Pelaksanaan etika bisnis perusahaan di Indonesia belum dijalankan secara benar. Hal inilah menjadi penyebab utama seringnya terjadi kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan perusahaan. Penyimpangan etika bisnis ini disebabkan berkembangnya paham-paham antroposentrisme dan ekonomisme dalam benak individu pelaku bisnis. Sehingga pelaksanaan etika bisnis berupa keputusan bisnis yang diambil tidak selaras dengan nilai-nilai etika lingkungan. Etika bisnis yang dijalankan masih berpaham pada bentuk kepedulian lingkungan hidup yang dangkal (shallow ecology). Untuk itu perlu dilakukan perubahan etika bisnis kearah hubungan yang selaras dengan nilai etika lingkungan, hal ini bisa dilakukan melalui pembelajaran etika bisnis baik oleh pemerintah, pemuka agama, adat maupun penegakan hukum secara tegas serta penerapan kode etik perusahaan guna menegakkan pelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Jakarta : Kanisius. Endro, Gunardi.1999. Redefinisi Bisnis. Suatu Penggalian Etika Keutamaan. Aristoteles. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo. Keraf, Sonny A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kompas. 2000. PT Inalum Vs PT Inti Indorayon Utama ? (Online, Senin 30 Oktober 2000, http://www.kompas.com/kompascetak/0010/30/daerah/ptin26.htm, diakses 10 Agustus 2006) Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. (2005). Saatnya Boikot Produk Industri Perusak Lingkungan. (Online, 22 November 2005). (http://www.ecoton.or.id/tulisanlengkap.php?id=1691, diakses 10 Agustus 2006) Moleong. L. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan Keempat Belas). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nugroho, Alois A. 2001. Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Pemerintah Propinsi Jawa Timur. 2006. Perkembangan Terakhir Pananganan Korban Luapan Lumpur Sidoarjo. (Online, Jatim Egovernment, http://www.jatim.go.id/news.php?id=8582&t=143635, diakses tanggal 5 Agustus 2006). Republika. 2006. Pimpinan Lapindo Jadi Tersangka Ketiga tersangka baru dijerat dengan pasal 187 dan 188 KUHP.(Online, Harian Republika Selasa 25 Juli 2006, http http://www.republika.co.id/koran_ detail.asp?id=257973&kat_id=59&kat_id1=&kat_id2=,diakses tanggal 5 Agustus 2006). Ruslan, Rosady. 2004. Etika Kehumasan Konsep dan Aplikasi. Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada. 11 Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana Univeristy Press. Tempo. 2006. Sanksi Berat untuk Lapindo. (Online, Tempo Interaktif Jum’at 28 Juli 2006, http://www.tempointeraktif.com/jajak/indikator/ arsip.php?file=20060627,id, diakses tanggal 28 Juli 2006). Tjager, I Nyoman, Antonius Alijoyo, Humphrey R. Djemat dan Bambang Soembodo. 2003. Corporate Governance. Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta : PT Prenhallindo. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (2006a). Kepolisian Tetapkan Newmont sebagai Tersangka Pencemaran di Teluk Buyat. (Online). (http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/buanglimbah/040827_pol nmrsangka/, diakses 10 Agustus 2006) ______________________________. (2006b). Laporan Jurnal Ilmiah: Penyebab Semburan Lumpur Adalah Pengeboran Gas. (Online) (http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/070124_lapindo_jur nal/WAlhi, diakses 10 Agustus 2006)