II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tulang 1. Komposisi tulang Menurut terminologi biologi, tulang didefinisikan sebagai jaringan penghubung yang menyokong struktur tubuh. Secara makroskopis terdapat dua bentuk utama dari jaringan tulang, yaitu tulang kompak atau kortikal dan tulang cancellous atau trabecular. Tulang kompak adalah tulang yang tebal, sedangkan tulang cancellous tersusun atas materi tulang yang bernama trabeculae. Jalinan trabeculae memberikan penampakan tulang cancellous terlihat kenyal. Secara fisik, komponen penyusun tulang terdiri atas kombinasi antara kolagen yang visko-elastis dan kaku dan fase anorganik hidroksiapatit (Kubisz, 2007). Sifat psikokimia dan biologi tulang berbeda dengan masingmasing komponen penyusunnya dalam keadaan tunggal. Kolagen memiliki struktur yang fibrous dan didukung oleh beberapa kristal mineral yang memperkuat struktur. Meskipun keberadaan komponen yang fibrous dan kristal mineral ini saling mempengaruhi, akan tetapi tidak dipahami dengan jelas peranan masing-masing komponen (Landis, 1995). Sekitar 70% tulang dewasa tersusun atas fase anorganik, yang berada dalam keseimbangan dengan fase organik dan air. Fraksi mineral tulang mirip dengan hidroksiapatit [Ca10(PO4) CO3]3. Hidroksiapatit adalah materi yang heterogen dan tidak dapat dideskripsikan sebagai materi tunggal (Landis, 1995). Hidroksiapatit (HAP) merupakan mineral yang paling stabil di dalam tulang (Kubisz, 2007). Mineral-mineral lain seperti fluorin, klorida, dan magnesium dapat juga menyatu dengan kisi-kisi kristal. Subtitusi gugus OHdan gugus PO43- oleh ion karbonat – CO3 menghasilkan karbonat apatit yang juga dikenal dengan dahllite (Ca5(PO4CO3). Komponen lain penyusun tulang sebanyak 10% adalah glikosoaminogikan, glikoprotein, lipid, peptida, dan enzim. Menurut kajian struktural, triple heliks dari kolagen adalah protein yang unik yang digambarkan oleh superheliks dari tiga rantai polipeptida. Struktur helik kolagen umumnya tersusun atas urutan asam amino (X-YGlisin)n, dengan prolin dan hidroksiprolin sering ada pada posisi X dan Y. Asam amino lain yang sering ada pada tulang adalah alanin, lisin, arginin, leusin, valin, serin, phenylalanin, dan threonin. Urutan asam amino pada rantai polipeptida pada kolagen dinamakan struktur primer. Satu rantai yang memiliki struktur helik dikenal dengan α-heliks yang tidak stabil dalam keadaan tunggal. Adanya asam amino glisin di setiap residu ketiga sangat dibutuhkan untuk membentuk triple heliks karena glisin adalah asam amino yang paling kecil, selain itu, glisin juga merupakan satu-satunya asam amino yang tidak memiliki gugus samping. Triple heliks membentuk struktur tersier kolagen. Superheliks distabilkan oleh ikatan hidrogen di antara rantai (Kubisz, 2007). Kandungan hidroksiprolin yang tinggi juga melibatkan interaksi dengan air yang memberikan karakteristik pada kolagen. Hidroksiprolin berperan pada stabilisasi konformasi triple heliks pada kolagen karena hidroksiprolin terlibat dalam ikatan hidrogen antar rantai polipeptida. Molekul triple heliks berbentuk silinder dengan diameter 1.5 nm dan panjang 300 nm. Posisi dari molekul tripel heliks adalah paralel, tetapi dipisahkan oleh lubang sekitar 35 nm di ujungnya dan molekul berdekatan dengan jarak sekitar 68 nm. Struktur kuartener berupa mikrofibril yang terbentuk oleh sekitar lima unit tropokolagen. Mikrofibril dikemas dalam bentuk tetragonal. Diameter fibril hanya beberapa angstroms, setiap fibril tersusun atas tiga rantai polipeptida dengan jumlah asam amino sebanyak 1000 asam amino (Kubisz, 2007). Komponen tulang selain komponen organik dan anorganik adalah air. Air yang berasosiasi dengan protein dibagi menjadi tiga tipe, yaitu struktural, terikat, dan air bebas. Air struktural terdapat pada struktur kolagen dengan jumlah sekitar 0-0.07 g/g. Air terikat sebanyak 0.07-0.25 g/g, adalah molekul air yang terikat secara spesifik pada rantai kolagen dan terdapat pada ruang antar molekul. Interaksi antara air dan protein pada air terikat tidak sekuat interaksi air dan protein pada air struktural. Air bebas adalah komponen air dengan jumlah lebih tinggi dari 0.45 g/g. Adanya kandungan air ini 5 dikarenakan oleh struktur fibrous dan komposisi kimia yang mengandung gugus hidrofilik seperti gugus C=O, N-H, COOH, dan OH (Kubisz, 2007). 2. Dampak iradiasi pada tulang Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis yang berarti kehilangan kapasitas untuk menyerap energi dan menghasilkan tulang yang rapuh. Kehilangan resistensi ini dipengaruhi oleh kondisi penyinaran dan sebelum penyinaran. Sebagai contoh, tulang yang diiradiasi tanpa perlakuan pembekuan akan menghasilkan tulang yang lebih rapuh dibandingkan dengan tulang yang diiradiasi dalam keadaan beku. Kajian mengenai sifat mekanis tulang telah dipelajari pada dosis 30+5 kGy, yang cukup untuk mengurangi jumlah mikroba sampai 109. Radiasi dapat membuat tulang menjadi rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen. Menurut Currey et al. (1997), iradiasi dengan dosis sekitar 90 kGy menghasilkan integritas mekanis tulang yang tidak dapat diterima. Dari sudut pandang mikroskopis, perubahan makroskopis disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk selama iradiasi. Sebagai contoh, perubahan kimia pada protein yang melibatkan radikal bebas. Radiasi ionisasi dapat menghasilkan radikal bebas yang bersifat stabil dalam sistem biologi makhluk hidup. Kerusakan yang terjadi selama iradiasi tulang disebabkan oleh radikal bebas hasil radiasi seperti radikal hidroksi, ion superoksida, radikal turunan asam amino, dan radikal anorganik CO33- dan CO21-. Radikal bebas turunan dari mineral tulang mempunyai umur simpan yang panjang sekitar 107 tahun pada suhu 250C, sebagai akibatnya tulang biasa digunakan sebagai dosimeter alami (Kubisz, 2007). Radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama dan keberadaanya dapat dideteksi dengan cara spektroskopi ESR. Radikal bebas yang terdeteksi oleh ESR merupakan radikal bebas yang dihasilkan baik dalam matriks organ maupun komponen mineral dalam tulang. Turunan radikal organik dari kolagen cukup stabil dalam sampel di suhu ruang, akan tetapi mengalami kerusakan dengan cepat saat dipanaskan. Kemungkinan karena rekombinasi antar radikal. Pemberian udara ke spesimen 6 yang tidak dipanaskan memicu kerusakan. Radikal anorganik yang paling stabil CO2 1- memiliki waktu paruh 107 tahun pada 250C. Berlawanan dengan radikal anorganik, radikal organik dapat dengan mudah direkombinasi. Alasan dari sifat ini kemungkinan karena terjadi ikatan hidrogen yang lemah dan fleksibel di kolagen dan struktur kristalin yang padat dari hidroksiapatit (Kubisz, 2007). B. Ikan Mas Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) mempunyai ciri-ciri badan memanjang, sedikit pipih ke samping (compressed), mulut dapat disembulkan, dan terletak di ujung tengah (terminal), mempunyai dua pasang sungut, sisik yang relatif besar yang tergolong tipe cycloid, mempunyai garis rusuk yang lengkap dan berada pada pertengahan sirip ekor (Susanto, 1993). Hampir seluruh tubuh ikan mas ditutup sisik, sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari keras, dan sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan letak permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur atau sirip anal yang terakhir bergerigi. Linea literalis terletak di pertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai dengan ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan (pharinreal teeth) terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno, 1994). Menurut Okada (1990), berdasarkan komposisi kimia protein dan lemak, ikan dibagi dalam empat golongan, yaitu 1. Lemak rendah (< 5%) dan protein tinggi (> 15%) 2. Lemak sedang (5%-15%) dan protein tinggi (> 15%) 3. Lemak tinggi (> 15%) dan protein rendah (< 15%) 4. Lemak rendah (< 15%) dan protein rendah (< 15%) Berdasarkan penggolongan di atas, ikan mas termasuk ke dalam ikan berlemak rendah dan berprotein tinggi. Komponen kimia ikan mas menurut Shimone dan Shikata (1993), yaitu kadar air antara 70.4-73.9%, protein antara 16.70-18.43%, lemak antara 6.208.30%, dan kadar abu antara 2.66-3.41% atau berdasarkan perhitungan berat 7 kering untuk kadar protein antara 56.45-62.28%, kadar lemak antara 20.9628.05%, dan kadar abu antara 9.0-11.52%. C. Pepes Ikan Pepes ikan merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Pepes ini biasanya dibuat dengan menggunakan bahan dasar ikan mas di Jawa Barat. Sedangkan di wilayah lain, pepes juga dapat dibuat dengan bahan dasar ikan laut seperti ikan makarel. Pepes adalah produk olahan daging (unggas atau ikan) dengan menambahkan rempah bumbu pada daging dan dikemas dengan menggunakan daun pisang. Rempah atau bumbu yang digunakan dalam pembuatan pepes ikan mas adalah bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Cara membuat pepes ikan secara tradisional di daerah adalah bumbu dan rempah dihaluskan dan ditambah daun kemangi, tomat, dan cabai kemudian dibalutkan ke ikan mas yang sudah dibersihkan. Setelah itu, dibungkus dengan daun pisang dan disemat dengan 2 buah bambu kecil di setiap ujungnya. Bungkusan ini lalu diolah dengan perlakuan termal(Irawati et al., 2000). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pepes dengan menggunakan teknologi yang ada adalah dengan membuat produk pepes iradiasi. Menurut Irawati et al. (2000), pepes ikan mas iradiasi dibuat melalui tahap-tahap sebagai berikut: pertama, ikan mas dibersihkan dengan cara dikeluarkan isi perutnya, kemudian dicuci dengan menggunakan air yang telah dicampur lemon dan garam selama 15 menit. Ikan kemudian dicuci kembali menggunakan air dan segera diasinkan dengan menggunakan bumbu seperti bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Setelah itu, ikan dibungkus menggunakan daun pisang dan diproses panas menggunakan Inoxpran pressure cooker selama 45-60 menit pada suhu 120C. Pepes yang dihasilkan dibekukan pada suhu -13C. Pepes tersebut dikemas secara vakum menggunakan kemasan yang terdiri dari LDPE dan alumunium foil. Pepes yang telah dikemas kemudian disusun dalam styrofoam boxes yang telah dilapisi oleh dry ice dan dan disimpan selama semalam sebelum diiradiasi. Proses iradiasi dilakukan dengan menggunakan sinar gamma melalui iradiator IRKA di National Nuclear Energy Agency, Pasar Jumat, Jakarta. 8 Cobalt 60 digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi dengan dosis rata-rata 5.2 kGy/jam. Radiochromic FW-60 digunakan sebagai kalibrasi dosimeter, sedangkan perspex dosimeter digunakan untuk menentukan dosis minimum yang terserap. Pepes ikan mas diiradiasi dengan dosis minimum 45 kGy di dalam dry ice. Dosis sterilitas ditentukan dengan mengacu pada metode AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrumentation) ISO/DIS 11137.2 berdasarkan bioburden. Setelah dosis sterilitas tercapai, pepes ikan mas iradiasi disimpan pada suhu ruang. Gambar 1. Pepes ikan mas iradiasi dalam kemasan D. Prinsip Iradiasi Pangan Pada pengawetan bahan pangan dengan iradiasi digunakan radiasi berenergi tinggi yang dikenal dengan nama radiasi pengion, karena dapat menimbulkan ionisasi pada materi yang dilaluinya (Maha, 1981). Prinsip pengawetan bahan pangan dengan iradiasi ditunjukkan pada Gambar 2. Sumber iradiasi Bahan pangan Eksitasi, ionisasi, dan perubahan komponen sumber iradiasi Efek fisik, kimia, dan biologis bahan pangan Pertumbuhan sel bahan terhambat, mikroorganisme patogen dan pembusuk mati Gambar 2. Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi 9 Gambar di atas menunjukkan bahwa eksitasi dan ionisasi elektron menyebabkan perubahan komponen pada bahan pangan tersebut. Apabila perubahan terjadi pada sel hidup, maka akan menghambat sintesis DNA yang menyebabkan proses terganggu dan terjadi efek biologis. Efek inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan (Maha, 1981). Pemanfaatan praktis iradiasi bahan pangan banyak berkaitan dengan pengawetan. Radiasi menonaktifkan organisme perusak pangan, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Iradiasi juga efektif untuk memperpanjang masa simpan sayur dan buah segar karena membatasi perubahan hayati yang berkaitan dengan pematangan, pertumbuhan, dan penuaan. Jenis sinar yang memiliki kemampuan untuk mengionisasi diantaranya adalah sinar , , dan . Dari ketiga jenis sinar tersebut sinar memiliki daya penetrasi yang paling tinggi dan dapat digunakan untuk radiasi ionisasi. Sinar memiliki daya tembus yang amat kuat dan tidak terbelokkan oleh medan magnet atau medan listrik. Iradiasi dengan sinar paling banyak digunakan untuk aplikasi iradiasi pangan (Winarno et al., 1980). Partikel lain yang memiliki efek yang mirip dengan sinar adalah neutron, akan tetapi penggunaan neutron tidak boleh digunakan untuk iradiasi pangan karena dapat menghasilkan radioaktivitas pada pangan (Diehl, 1990). Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah. Sedangkan menurut Winarno et al., (1980), iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber radiasi buatan. Apabila suatu zat dilalui oleh radiasi pengion, energi yang melewatinya akan diserap dan menghasilkan pasangan ion. Energi yang diserap oleh tumbukan radiasi pengion dengan partikel bahan pangan akan menyebabkan eksitasi dan ionisasi beribu-ribu atom dalam lintasannya yang terjadi dalam waktu kurang dari 0.001 detik. 10 Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan adalah : a. Sinar gamma Dipancarkan oleh radio nuklida 60 Co dan 137 Cs. Keduanya merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek. b Berkas elektron Dihasilkan oleh mesin pemercepat elektron yang terdiri dari partikelpartikel bermuatan listrik. Dosis iradiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Untuk setiap jenis pangan dibutuhkan dosis khusus sehingga diperoleh hasil yang diinginkan. Besarnya dosis iradiasi yang digunakan dalam pengawetan pangan tergantung pada jenis bahan dan tujuan pengawetan yang ingin dicapai. Dosis iradiasi yang digunakan untuk bahan makanan berdasarkan tujuan pengawetan dikelompokkan sebagai berikut: a. Dosis rendah, Radurisation (0-1 kGy) Pemakaian dosis ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tunas pada berbagai jenis umbi-umbian serta untuk membunuh serangga perusak makanan b. Dosis sedang, Radicidation (1-10kGy) Dosis ini ditujukan untuk menurunkan jumlah mikroba guna memperpanjang umur simpan. c. Dosis tinggi, Radappertisation (10-50kGy) Pemakaian dosis tinggi ini bertujuan untuk sterilisasi guna membunuh semua mikroba termasuk virus, sehingga produk dapat disimpan dalam suhu ruang tanpa pendinginan (Urbain, 1986). Umumnya diaplikasikan pada produk daging agar tetap awet selama jangka penyimpanan pada kondisi normal. 11 Selain ditujukan untuk pengawetan makanan, dapat memperpanjang daya awet, dan juga tidak mengubah mutu fisik produk. Pemilihan dosis optimum dilakukan dengan memperhatikan tiga kriteria dasar, yaitu: a. Dosis iradiasi tidak menyebabkan perubahan karateristik organoleptik. b. Daya awet makanan pada suhu penyimpanan tertentu. c. Tingkat keamanan. Pengembangan dan penggunaan iradiasi untuk stabilitasasi bahan pangan memberikan kemungkinan bahan pangan dapat diawetkan tanpa mengalami perubahan nyata sifat alaminya. Bidang ini dirintis oleh Dr. B.E. Proctor dan Dr. S.A. Goldblith pada akhir tahun 1940 dan sejak itu menjadi tantangan bagi banyak ilmuwan dan ahli teknologi bahan pangan (Desrosier, 1988). Tanggal 29 Desember 1987 Departemen Kesehatan RI telah memberikan izin PERMENKES No. : 826/MENKES/PER/XII/1987 untuk beberapa jenis produk bahan pangan iradiasi dan telah diperbaharuhi pada tahun 1995 yaitu PERMENKES No. : 152/MENKES/SK/II/1995 untuk dosis maksimum 10 kGy). Adapun JECFI (Joint Expert Committee on Food Irradiation) pada tahun 1980 telah merekomendasi bahwa dosis sampai 10 kGy aman untuk dikonsumsi. Tabel 1. Jenis komoditas yang telah diijinkan oleh Depkes untuk proses iradiasi No. Komoditas Tujuan Iradiasi Batas Dosis Maksimal (kGy) 10 1 Rempah-rempah, daun-daunan, dan bumbu kering Mencegah/menghambat pertumbuhan serangga dan mikroba 2 Umbi-umbian Menghambat pertunasan 0.15 3 Udang beku dan paha kodok beku Menghilangkan bakteri salmonella 7 4 Ikan kering Memperpanjang masa simpan 5 5 Biji-bijian Menghilangkan serangga dan bakteri patogen 5 Sumber: http://infonuklir.com 12 E. Uji In Vitro dan Kultur Sel Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel. Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Saat ini kultur sel telah banyak digunakan dalam laboratorium sitogenetik, biokimia, dan molekuler untuk melakukan diagnostik dan penelitian. Dalam bidang ilmu pangan, kultur sel seringkali digunakan untuk evaluasi fungsi dan keamanan bahan pangan secara in vitro(Davis, 1994). Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990). Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Limfosit tidak dapat bertahan hidup 13 dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum et al., 1990). Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney, 1994). F. Eritrosit dan Hemolisis Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen yang menyusun darah sekitar 99%. Komponen lain penyusun darah adalah leukosit dan platelet. Fungsi utama eritrosit adalah untuk membawa oksigen dari paru-paru dan karbondioksida hasil metabolism sel. Eritrosit tersusun oleh hemoglobin 14 dalam jumlah besar. Hemoglobin dapat berikatan dengan oksigen sehingga oksigen dapat didistribusikan ke seluruh sel. Konsentrasi rata-rata dari hemoglobin di dalam darah adalah 14g/100ml darah pada wanita dan 16g/100ml darah pada pria dewasa (Vander et al., 2004). Eritrosit atau sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbondioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas berberapa protein. Diameter eritrosit ini kira-kira 7.8 µm, dengan ketebalan 2.5 µm pada bagian paling tebal dan kurang kebih 1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 µm3 (Guyton dan Hall, 1997). Persentase jumlah eritrosit di dalam volume darah dikenal dengan istilah hematocrit. Dalam keadaan normal kadarnya sekitar 45% yang dapat diukur dengan teknik sentrifugasi dengan mengendapkan eritrosit dan diukur volumenya (Vander et al., 2004). Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantungkantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar 33% berat sel eritrosit manusia merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan kemamupan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk mensintesis membran yang baru (Weiss et al., 1977). Eritrosit yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat difusi oksigen lebih mudah pada eritrosit. Dengan menggunakan mikroskop elektron, eritrosit dapat memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu normal (disciocyte), crenated, echinochyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed, berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari. Fungsi utama eritosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jika hemoglobin ini terbebas dalam plasma 15 manusia, kurang lebih 3 % bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau membran glomerolus pada ginjal terus masuk ke dalam saringan glomerolus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, hemoglobin tersebut harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Eritrosit banyak sekali mengandung karbonik anhidrase, yang mengkatalis reasksi antara karbondioksida dan air sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini berberapa ribu kali lipat. Kecepatan reaksi ini yang tinggi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga merupakan dapar asam basa (seperti kebanyakan protein), sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah (Guyton dan Hall, 1997). Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit, merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450 dan terdiri dari empat subunit, di mana masing-masing sub unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derifat porifirin yang mengandung Fe2+ yang dapat mengikat oksigen. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin di mana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian, didapatkan sekitar 3x1013 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam darah seorang laki-laki dewasa (Ganong, 1990). Eritrosit memiliki berberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air (berada di plasma) dan tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit (Zhu et al., 2002). Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan membran eritrosit 16 dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah serta adanya radikal bebas yang berinteraksi dengan membran. Membran eritrosit tersusun atas polisakarida dan protein spesifik yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. G. Limfosit dan Proliferasi Limfosit Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm, dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa dan timus. Leukosit dibagi ke dalam dua kelas, yaitu yang mengandung granula dalam sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula (Ganong, 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuh (Kuby, 1992). Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu : 1. Limfosit B Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi. 17 Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen. Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu. 2. Limfosit T Sel ini terbentuk jika sel stem dari sumsum tulang pindah ke kelenjar timus dan mengalami pembelahan dan dewasa di dalam kelenjar timus. Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar timus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan. Sel T diproduksi oleh kelenjar timus, jumlahnya mencapai 70% dari seluruh sel limfosit di dalam tubuh. Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor ( Ts ), dan T cytotoksik (Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelper atau sel T penolong merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc) memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991). 3. Limfosit NK ( Natural Killer ) Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992). Sel ini dinamai sel pemusnah karena sel ini membunuh mikroba dan selsel kanker tertentu. Istilah alami digunakan karena mereka siap membunuh sejumlah sel target segera setelah mereka terbentuk, tidak perlu melewati pematangan dan proses belajar seperti pada limfosit T dan limfosit B (Anonim, 2006) 18 Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan menggunakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing. Proliferasi merupakan proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari system imun (Roit dan Delves, 2001). Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara bersamaan. Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari kemampuan memberikan respon terhadap mitogen, kemampuan membentuk immunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (Tejasari et al., 2000). Sejumlah mitogen yang umumnya digunakan adalah lektin. Lektin memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit. Beberapa contoh mitogen yang berasal dari lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin ) dan PWM (Pokeweed). Akan tetapi tidak semua mitogen merupakan lektin, ada beberapa jenis senyawa yang biasa digunakan sebagai mitogen yaitu Concanavalin A (Con A). Senyawa ini berasal dari ekstrak tanaman kacang jack (Conavalin ensiformis). Mitogen ini menginduksi proliferasi sel limfosit T. Senyawa lain yang berperan sebagai mitogen adalah pokeweed (PWM), senyawa ini diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara 19 bersama-sama. PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi sel B dan sel T (Kuby, 1992). Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati menggunakan pewarna MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup (Kubota et al., 2003). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit hidupnya. Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis, 1994). H. Antioksidan Kochhar dan Rossel (1990) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa berberat molekul rendah yang bereaksi dengan oksidan sehingga tidak menimbulkan reaksi yang membahayakan. Antioksidan bersifat dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi sehingga antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal bebas. Tubuh memiliki beberapa mekanisme untuk meminimalisasi kerusakan akibat radikal bebas sekaligus memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Enzim antioksidan yang dihasilkan tubuh contohnya glutation peroksidase, glutation reduktase, katalase, dan superoksida dismutase. Antioksidan kimiawi menetralkan radikal bebas dengan menerima atau menyumbangkan elektron untuk mengeliminasi elektron tak berpasangan (Muchtadi, 2000). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat yang dapat menghentikan reaksi radikal bebas melalui mekanisme penangkapan radikal bebas sehingga dapat menghambat tahap 20 inisiasi serta memutus tahap propagasi. Antioksidan sekunder atau antioksidan preventif berfungsi untuk menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara mengkelat metal dalam cairan ekstraselular dan mendegradasi radikal dalam cairan intraselular oleh berbagai jenis enzim (Muchtadi, 2000). Antioksidan yang terdapat pada pepes berasal dari komponen bioaktif bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam pepes. Bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam pepes diantaranya adalah bawang putih, kunyit, lemon, dan jahe. Komponen bioaktif bawang putih diantaranya adalah alisin atau asam diallil tiosulfinat (Whitmore dan Naidu, 2000). Komponen bioaktif yang terdapat pada kunyit diantaranya adalah kurkumin. Kurkumin merupakan senyawa fenolik sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Lemon mengandung vitamin C yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Jahe merupakan rempah-rempah yang mengandung antioksidan tinggi. Kikuzaki dan Nakatani (2000) juga meyakini dalam jahe terkandung sejumlah senyawa fenolik yang bersifat antioksidan. 21