Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari sebuah dinamika kehidupan manusia. Konflik sosial [konflik Maluku] yang terjadi awal tahun 1999, merupakan konflik “dadakan” tanpa sebab yang jelas. Ketika eskalasi konflik meningkat dari waktu ke waktu dan berlangsung secara destruktif di kota Ambon, konflik tersebut begitu cepat menyebar dan terjadi hampir pada seluruh wilayah kepulauan di Maluku. Psikologi konflik yang mendalam telah menggiring masyarakat desa yang semula hidup berdampingan dan saling tolong-menolong berubah menjadi saling curiga, saling bertikai dan saling membunuh. Realitas ini dapat terjadi karena pola penanganan yang parsial dari pemerintah [aparat keamanan], sehingga mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, hancurnya sarana-sarana peribadatan [Gereja dan Mesjid] dan infrastruktur publik, selama periode konflik berlangsung. Sepatutnya, intensitas konflik secara umum dapat diprediksi kemungkinannya, dan sebenarnya pemerintah cukup memahami kemungkinan ini. Hanya sering kali manajemen internal secara strategis tidak tanggap merespons kemungkinan peningkatan intensitas konflik, atau memang ada berbagai kepentingan lain yang terkait dengan konflik Maluku sehingga konflik merupakan sebuah ‘rekayasa’ yang direncanakan oleh sebuah skenario. 261 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Mencermati intensitas konflik yang terus meningkat, masyarakat selalu apriori terhadap kebijakan penanganan oleh pemerintah. Meluasnya fenomena rasa ketidakpercayaan [mutual distrust] dari masyarakat terhadap pemerintah maupun antar sesama orang Ambon, menimbulkan kegelisahan senantiasa silih berganti mewarnai kehidupan mereka. Masyarakat di wilayah konflik mulai berfikir, kapan konflik tersebut dapat berakhir?, cara apa yang dapat dilakukan untuk mengakhirinya?, dan ketika sudah berakhir, apa yang akan terjadi pada saat itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu hadir dan menghantui masyarakat. Bagi yang berpikir sangat skeptis, mereka akan menganggap bahwa mungkin ini sudah kiamat. Anggapan seperti ini dapat muncul karena konflik sosial yang terjadi di Maluku terlanjur dipersepsikan sebagai konflik antar agama. Kita bisa mengambil analogi kasus konflik antar agama yang pernah terjadi di India misalnya, dimana paham komunal yang kuat telah diterjemahkan masuk ke dalam konflik dan kekerasan lintas agama [seperti Muslim, Hindu, dan Sikh] sehingga menyebabkan generalized social trust mengalami proses pelemahan. Akibatnya, dibutuhkan waktu yang relatif lama [berpuluh-puluh tahun] untuk dapat menyelesaikannya. Ini dapat terjadi karena ketika agama telah dijadikan sebagai identitas kelompok maka setiap orang dipaksa mengidentifikasi dirinya secara jelas. Ketidak-jelasan seseorang sebagai pemangku identitas kelompok tertentu, selain akan mengembangkan prasangka sosial dan atau kecurigaan yang lazim dijumpai dalam tatanan masyarakat yang sementara berkonflik, juga tidak jarang berakhir dengan tindak kekerasan terhadap yang bersangkutan. Berbeda dengan realitas yang terjadi di Maluku [Ambon, khususnya]. Dalam situasi konflik yang sementara berlangsung, dijumpai adanya banyak warga masyarakat yang memiliki ikatan-ikatan tradisional [pela dan gandong] saling membantu untuk menyelamatkan satu dengan lainnya dari massa penyerang. Di samping itu, adanya komunikasi secara intensif melalui media telepon antar warga yang berbeda agama, serta terjadinya transaksi antar warga yang berbeda agama di wilayah-wilayah perbatasan [sekalipun nyawa menjadi taruhan]. 262 Kesimpulan Kenyataan ini menunjukkan bahwa, warga kedua komunitas diwilayah riset masih menjunjung ikatan kekerabatan yang ada sehingga budaya lokal masih fungsional dalam perilaku kolektif dan karenanya konflik dapat terkendali, baik secara struktural maupun kultural. Indikasi yang kuat selama periode konflik berlangsung adalah, masyarakat lokal tampak sangat menginginkan adanya revitalisasi institusi adat. Itulah sebabnya, di tengah suasana konflik yang belum mereda, dilakukan upacara panas pela antara negeri Batu Merah (Muslim) dan negeri Passo (Kristen) di Kota Ambon. Dengan kerja keras yang dilakukan oleh berbagai pihak [pemerintah dan masyarakat], maka pada bulan pebruari tahun 2002 dicapai kesepakatan yang dikenal dengan nama kesepakatan malino. Kesepakatan yang difasilitasi pemerintah ini sangat fungsional sebagai dasar [starting point] untuk mengakhiri konflik Maluku. Ketika stabilitas sosial dan keamanan berangsur-angsur mulai kondusif [pasca konflik] orang Ambon kedua komunitas sudah mulai membiasakan diri untuk melihat sesuatu dalam perspektif yang lebih luas. Karena itu ketika diberikan makna kultural dan struktural di dalamnya, maka dengan kekuatan itu dapat terhindar dari berbagai hal yang dapat menjerumuskan mereka kembali dalam malapetaka [konflik] baru. Pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan dengan kenyataan tersebut adalah “apa yang menjadi kekuatan sehingga konflik Maluku yang berlangsung masif dengan efek destruktif yang besar begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam kehidupan orang Ambon? Hasil studi sebagaimana telah dikemukakan secara rinci pada bab-bab sebelumnya menggambarkan bahwa pemulihan sosial dapat terjadi dengan cepat karena local genius yang dimiliki orang Ambon berperan secara signifikan dalam mendorong mempercepat terciptanya proses pemulihan sosial dalam masyarakat. Bagi dua komunitas pada wilayah riset di pulau Saparua, proses pemulihan sosial dapat berlangsung dengan cepat karena munculnya kesadaran di antara mereka bahwa pada dasarnya mereka terikat dalam hubungan darah karena dilahirkan dari “rahim” yang sama [gandong]. 263 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Oleh sebab itu pada saat stabilitas sosial dan keamanan sudah mulai pulih, munculnya prakarsa serta keinginan yang kuat dari komunitas Islam dari negeri Siri Sori Salam untuk segera membangun kembali gedung gereja saudara gandong mereka di negeri Siri Sori Serane [Kristen] yang hancur pada saat konflik berlangsung. Ketika prakarsa mereka direspons secara positif oleh pemerintah negeri Siri Sori Salam [Islam], setelah dibicarakan dengan pemerintah negeri Siri Sori Serani [Kristen], kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan bersama untuk membangun kembali gedung gereja tersebut. Keterlibatan komunitas Islam untuk melaksanakan pekerjaan tersebut [baik sebagai panitia maupun sebagai pekerja fisik bangunan] merupakan tanggungjawab sosial, karena warisan sejarah dimaknai secara jelas oleh mereka. Oleh sebab itu, mereka mengetahui dengan benar apa yang mesti dilakukan. Dari pagi hingga sore hari, mereka bekerja tanpa pamrih. Selain itu, dukungan kuat juga datang dari negeri-negeri yang terikat dalam hubungan pela dengan komunitas kedua negeri. Di samping itu, ketika dilaksanakan acara upacara pelantikan raja kedua negeri yang berlangs8ung pasca konflik, masingmasing komunitas mengetahui dengan jelas, apa yang menjadi kewajiban mereka. Mereka terlibat secara bersama-sama dalam rangka mensukseskan acara tersebut. Di sinilah, gandong berfungsi sebagai perekat untuk mengintegrasikan kembali kedua komunitas. Bagi dua komunitas yang berbeda hubungan gandong di pulau Ambon, sejarah masa lalu masih segar dalam ingatan [memori kolektif] mereka. Di samping memiliki hubungan kerabat yang terjadi atas dasar perkawinan, kedua komunitas juga memiliki pengalaman bersama ketika masih hidup dalam satu teritorial yang sama pada masa lalu. Oleh sebab itu, setelah stabilitas sosial dan keamanan mulai berangsurangsur pulih di pulau Ambon, komunitas Islam dari negeri Tulehu mengetahui dengan benar apa yang harus mereka lakukan. Mereka mulai mengambil prakarsa kemudian berproses dengan Pemerintah Provinsi Maluku untuk segera mengembalikan saudara kerabat mereka [masyarakat negeri Waai] dari lokasi pengungsian [di negeri Passo] ke negeri Waai. Hal ini dapat terjadi karena kuatnya dukungan yang 264 Kesimpulan diberikan dari negeri-negeri yang terikat dalam hubungan pela dan gandong dengan komunitas kedua negeri. Ketika mendapat respons positif dari Pemerintah Provinsi Maluku, mereka bersama-sama terlibat untuk membersihkan negeri Waai sebagai persiapan proses pemulangan komunitas Kristen ke negeri Waai. Serentak dengan itu, komunitas Islam dari negeri Tulehu pergi menjemput komunitas Kristen di negeri Passo, kemudian secara bersama-sama kedua komunitas berjalan kaki menuju Negeri Waai. Untuk merawat hubungan yang telah pulih tersebut, mereka terlibat bersama komunitas Kristen untuk membangun gedung gereja di negeri Waai yang hancur akibat konflik. Di sinilah, kerabat berfungsi sebagai perekat untuk mengintegrasikan kembali kedua komunitas. Setelah mempelajari realitas sosial yang ditemui dalam kehidupan dua komunitas di empat wilayah riset, maka dapat disimpulkan bahwa reintegrasi sosial yang telah dicapai saat ini merupakan reintegrasi sosial yang muncul dari bawah, atau dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan. Karena itu, dengan langsung menerima “katong samua” sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas ditafsirkan sebagai “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa sejak lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya Ambon. Katong Samua, merupakan satu proses dialektis, antara individu [the self] dan dunia sosiokultural. Karena itu, ketika reintegrasi sosial antar komunitas [orang Ambon] diwujudkan melalui katong samua, maka eksistensi reintegrasi sosial dapat dipertahankan secara berkelanjutan 1. Berbeda dengan dua komunitas yang tidak memiliki hubungan gandong di kota Ambon, hubungan-hubungan sosial yang sudah terjalin dalam realitas kehidupan sehari-hari baik di tempat kerja, di pasar, maupun di ruang-ruang publik lain sebelum dan pasca konflik, merupakan dasar yang kuat bagi mereka untuk membangun kembali kehidupan berdampingan secara serasi. Karena itu, munculnya kesadaran serta keinginan yang kuat dari orang Ambon khususnya, dan orang Maluku pada umumnya akan hal-hal sepeleh yang dapat menyebabkan 1 Penjelasan yang menyeluruh tentang hal ini, lihat Bab XII. 265 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku konflik itu meluas dan menjadi malapetaka baru bagi kehidupan mereka selanjutnya. Oleh sebab itu, beberapa kasus konflik baru yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini, tidak menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan di kota Ambon. Dengan demikian setelah mempelajari realitas sosial yang ditemui dalam kehidupan dua komunitas di kota Ambon, maka dapat disimpulkan bahwa reintegrasi yang telah dicapai saat ini adalah reintegrasi politik lebih kuat daripada reintegrasi sosial, ini dapat terjadi karena negara berperan sangat signifikan. Reintegrasi sosial antar dua komunitas sementara berlangsung saat ini. Manjawab Tantangan Pembangunan Bangsa Beberapa tahun belakangan ini kita diperhadapkan dengan ujian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik antar etnis dan antar penganut keyakinan sering terjadi di berbagai wilayah sehingga menciderai rasa kebangsaan yang sudah tertanam sejak bangsa ini diproklamirkan tahun 1945. Akibat hal-hal sepeleh saja, konflik antar kelompok sering terjadi dan berlangsung berlarut-larut. Sebagai bangsa dengan masyarakat yang plural, negara [pemerintah] harus dapat membangun management pluralis dan implementasinya dalam programprogram pembangunan yang menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat. Ini merupakan solusi agar tetap menjaga keharmonisan di tengah perbedaan. Jika tidak, disintegrasi sosial dan politik lambat atau cepat dapat saja terjadi. Kecemasan ini tidak perlu terbukti. Dengan membingkai nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki masing-masing etnis, dapat menginspirasi untuk mempertahankan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil studi dengan menggunakan konsep-konsep lokal seperti ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pemerintah [Provinsi Maluku, khususnya] dalam merumuskan program-program kebijakan pembangunan. Oleh sebab itu, konsep “katong samua”, dan “katong pung orang” menjadi penting dipakai sebagai rujukan dalam rangka menjaga keharmonisan ditengah perbedaan, terutama berkaitan dengan proses pemberdayaan kelompok maupun orang Ambon pada umumnya. 266 Kesimpulan Hasil penelitian ini telah menunjukkan realitas tersebut secara jelas, di mana orang Ambon dalam realitas kehidupan sehari-hari mereka terikat dalam hubungan-hubungan kekerabatan baik secara teritorial geneologis maupun terikat secara geneologis teritorial. Hubungan tersebut bukan baru terjadi sekarang, tetapi merupakan warisan leluhur sejak dahulu kala, di dirawat dan secara berkala biasanya diwujudkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan secara bersama sebagai mekanisme untuk mempertegaskan kembali hubungan yang ada di antara mereka satu dengan yang lainnya. Penelitian Lanjutan Penelitian tentang reintegrasi sosial pasca konflik yang terjadi pada beberapa wilayah akhir-akhir ini hampir tidak pernah dilakukan oleh para ilmuan di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif yang saya gunakan, kajian-kajian tentang masalah reintegrasi sosial pasca konflik masih sangat mungkin dilakukan di masa mendatang. Penelitian tentang reintegrasi sosial pasca konflik Maluku yang dilakukan ini dapat dijadikan sebagai titik awal untuk penelitian berikutnya. Oleh sebab itu, temuan dalam studi saat ini terbuka kemungkinan untuk dilakukan penelitian lanjutan. Dengan menggunakan konsepkonsep lokal yang telah diakrabi oleh masyarakat yang diteliti, kita akan menghasilkan karya-karya besar yang sangat orisinil. Ini bukan berarti kita tidak boleh menggunakan konsep-konsep besar [dari barat]. Di sini, sikap kehati-hatian sangat diperlukan, sebab belum tentu konsep-konsep besar yang kita gunakan dapat menjawab realitas sosial yang sementara kita pelajari. Sehubungan dengan itu, beberapa topik yang dapat dikemukakan untuk dilakukan penelitian lanjutan, antara lain: apakah reintegrasi sosial yang telah dicapai saat ini dapat bertahan secara berkelanjutan?, bagaimana eksistensi pela dan gandong [local genius] jika diperhadapkan dengan dinamika modernisasi yang berkembang saat ini?, dan penelitian sejarah yang difokukan pada dinamika kehidupan orang Ambon pada masa lalu, serta topik-topik lainnya yang dipandang relevan. 267