Peran Media Komunikasi Dalam Pembentukan Karakter Intelektual di Dunia Pendidikan Drs. Arcadius Benawa, M.Pd. Dr. Dion Dewa Barata Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal DAFTAR PUSTAKA Benawa, Arcadius. 2009. “Evaluasi terhadap Proses Pembelajaran dalam Sistem Pembelajaran Full Day di SD Marsudirini Bogor”. Dalam EDUCARE, No. 9/VI/Desember 2009. Jakarta. Dedy Pradipto. 2007. Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Kanisius. Frederick S. Schaeffer, SFO. 2008. “Duc in altum - Put out into the deep”, dalam http://www.franciscan-sfo.org yang diunduh pada Selasa, 15 Desember 2009, pk. 09.21 Nobel Lectures, Physics 1942-1962. Isidor Isaac Rabi. 1964. Amsterdam: Elsevier Publishing Company, dalam http://www.nobelpeize.org yang diunduh pada 15 Desember 2009, pk. 09.06. Ritchhart, Ron. 2002. Intellectual Character. San Francisco: Jossey-Bass. Sadiman S. Arief (dkk). 2007. Media Pendidikan-DNDUWD5DMD*UD¿QGR Persada. Yusufhadi Miarso. 2005. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal Dr. Dion Dewa Barata Universitas Multimedia Nusantara Bo Jl. Boulevard, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang Telp. Tel (021) 54220808 / 37039777, Fax. (021) 54220800 [email protected] Abstract Fashion it is not just ju ust how h to dress, branding, or designing clothes, especially in the contemporary society. Fasyen Fas asye has become a medium of communication in which identity is repreas sented. This study tr ttried ried to see fasyen through cultural studies perspective to look at its role in the search for ident identity. tity. Using a semiotic approach can be seen that fasyen are constraceted by series of signs that systemically designed to serve a particular ideology. As part of our daily sys life, fashion also uused sed as a means to enter in a particular social group which then will affect their daily behavior behavi vviior Keywords: Fashion, Cultural Studies, Semiotic, Identity, Representation Fas ashion, C ash 1. Pendahuluan Pendahul uluan ul Indonesia. In onesia. Suatu Ind Sua kawasan yang terletak di persimpangan ddua benua dan dua samudra, kedekatan dan kesamaan ud yang karena ke sejarahnya berhimpun dan membentuk suatu komunitas imajiner bbernama bangsa Indonesia. Kehidupan yan yang sangat multikultur di negar ini kemudian mewardalam kawasan negara nai da dan memb benttuk u ssuatu norma budaya Innai membentuk donesiia yang yang sesungguhnya sessung donesia terstrukturisasi uda dayay bu uday ya lo dari bbudaya-budaya lokal didalamnya. Namun gan an n pesatnya pesa s nya perkembangan sat sa perke dengan teknologi dan infoormas asi as s , tida ida d k ddapat apat dipungkiri lagi bahwa informasi, tidak banggsa In ndon d esia yan bangsa Indonesia yang multikultur ini juga mendapat pengaruh men ndapat pe pen engaruuh ddari budaya-budaya lain GLOOXDUZLOD\DK K JH JH JUD¿ JHR GLOXDUZLOD\DKJHRJUD¿VQ\DGDQGLHUDGLJLWDO ini, pengaruh dari luar pun semakin lama-semakin besar. makin bes es es esar. Besarnya dari luar ini juga Besarn Bes nya pen ppengaruh g tidak terlepas a ter erlep er pas a dar darii ppotensi da ote yang dimiliki Indonesia sebagai salah satu sat negara dengan jumlah penduduk terbesar pen eenndu dudukk terbes besar di dunia. Dengan potensi bes ini, ini ni, Indo ni ni, IIndonesia n nes n iaa men ne menjadi pasar yang sangat meme narik bagi pihak-pihak dari luar dengan menawarkan macam produk yang sesungw kan war an berbagai be ai maca guhnya representasi dari budaya gu nya guh yaa merupakan m ruppaka me akan re dimana produk-produk dim im na imana n pr produ uk-p k pr produ tersebut dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya di produk-produk asing membanjiri hampir dise44 45 tiap sudut kawasan di Indonesia terutama di daerah perkotaan, mulai dari butik-butik asing yang menawarkan cita rasa Perancis, rumah makan dengan tampilan yang memanjakan konsumen dengan “seakan-akan” berada di Italia, atau pusat kebugaran yang menawarkan konsep ala selebritis Hollywood. Semua tawaran tersebut semakin memikat karena munculnya teknologi komunikasi yang sangat pesat dan memungkinkan untuk masuk ke dalam setiap relung kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan hingga relung yang paling pribadi sekalipun, melalui televisi, radio, selular, internet dan sebagainya. Kuatnya pengaruh dari luar ini mau tidak mau memaksa manusia Indonesia masuk dalam pusaran budaya yang saling tercampur satu dengan yang lain antara budaya Indonesia yang sejatinya multikultur, dengan budaya-budaya lain dari berbagai belahan peradaban dunia. Suatu kondisi yang dapat merengut identitas manusia dari eksistensi akar budayanya sekaligus membawa manusia tersebut terjebak dalam ruang-ruang imajiner, atau simulacra menurut Baudrillard, dimana antara kenyataan dengan fantasi tidak dapat lagi dibedakan dengan jelas. Pada akhirnya, manusia akan terbawa dan hidup dalam serangkaian fantasi yang menyimulasikan Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal “yang ditentukan” demi keuntungan suatu budaya dominan dan selanjutnya akan menjadi faktor penentu utama dalam setiap langkah kehidupan manusia tersebut. Keterasingan dari eksistensi nyata dalam akar budaya tersebut menyebabkan hilangnya identitas yang dapat digunakan untuk merepresentasikan dirinya dalam dunia. Seorang manusia mungkin saja lahir dari keturunan jawa namun tidak dapat dikatakan sebagai orang jawa karena tidak memiliki identitas-identitas yang merepresentasikan ke-jawa-annya, bahkan mungkin lebih tepat dianggap sebagai orang Eropa karena setiap bagian dari dirinya, mulai dari gaya bicara, pola pikir, konsumsi, hingga selera merepresentasikan dengan jelas sisi ke-eropa-annya. 2. Cultural Studies Proses pencarian identitas dalam ranah kebudayaan telah dilakukan di berbagai disiplin ilmu mulai dari sosiologi, antropologi, sastra, dan masih banyak lagi, dan telah melintasi ruDQJ JHRJUD¿V PDXSXQ LQVWLWXVLRQDO &XOWXUDO studies merupakan irisan interdisipliner di mana berbagai perspektif dari disiplin yang berbeda dijembatani untuk mengkaji hubungan antara manusia dengan lingkungannya dimana didalamnya terdapat berbagai relasi, peran, dan upaya-upaya untuk merepresentasikan diri (Brooker, 1998). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cultural studies adalah satu teori yang dibangun untuk mengkaji produksi pengetahuan dan upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Karena sifatnya yang lintas disiplin ilmu tersebut, cultural studies tidak hanya menggunakan satu aliran teori saja, karena subjek kajiannya meliputi fenomena-fenomena budaya yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu (Tudor, 1999). Cultural studies sendiri mendapat banyak manfaat dari pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh para pemikir yang beraliran Marxisme, seperti Horkheimer dan Adorno (1979: 154-158), yang melahirkan pemikiran tentang ‘budaya indsutri, dimana didalamnya terangkai pemikiran berkaitan dengan Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Dr. Dion Dewa Barata pengendalian dan eksploitasi masyarakat. Pendapat lain juga menyatakan enyatakan bahwa cultural studies bergerak diatas dasar pemikiran dari Foucault dan Gramsci msci khususnya yangg berkaitan dengan hegemoni. Hall emoni. Menurut H all (1980) pemikiran Gramsci men-msci ini banyak ak k men m donminasi analisis cultural telah ural studies dan te elah memberikan seperangkat landasan kat landasa an tteori eori uunntuk menganalisis fenomena dalam mena dala lam a suatu sistim budaya. Dalam pemikirannya, emikirannyaa, Gramsci (1971) memaparkan bagaimana ideologi gaimana ide eologi selalu berada dalam konfrontasi ideologi ontasi de ddengan engan ideo deolog deo logii log lain, hingga ada satu diantar diantaranya cenderung ranya cend derungg mampu bertahan dan mengo mengokohkan okohkan di ddirinya irinya yaa dalam suatu masyarakat. t. Pemikiran Gramsci tentang msci ten ntang hegemoni ini jelas terlihat dalam industri dimana ndustrii fasyen dima ana fesyen, sebagai representasi ntasi dari ri ideologi dibdiibelakangnya, selalu mengalami ngalami kkontestasi ontestasi un untuk menjadi pilihan gaya masyarakat. ya hidup m a asyarakat. Walaupun tidak berartii mematikan iide ideologi d ologi lain namun dalam kontestasi terlihat estasi ini dapat terl er ihat erl bahwa masyarakat padaa kelas sosial tertent tertentu nttu ntu cenderung untuk memilih lih satu gaya berpakaian tertentu. Oleh karena na itu cultural studies menjadi suatu arena dimana imana tindakan aktor dalam unjuk kekuatan n kontestasi ideologi tersebut diamati. Kontestasi bertujuan estassi yyang ang bertujua jua juan uan untuk menyeragamkan tida tidak kehidupan ak hhanya anya kehidu an upan n ekonomi dan politik namun hingga pemikiran munn hin ngga pemik kiran n dan moral, demi menciptakan ptaakan hhegemoni egemonii darii satu kelompok diatas be beberapa kelompok eberaapa kelom mpok k lainnya yang lebih lemah (Gramsci 1971). mah h (G Gramsci 19 971).. Untuk menganalisis hal ters tersebut sebutt cultura ccultural al sstudtud dies menggunakan lingkup material up mat aterial yangg lluas uas sebagai bahan kajian, mulai darii masyarakat kontemporer, teks, media edia massa, hiburan, hingga ‘budaya adi luhung’ (Storey ung’ g’ (St tore o y 11997: 99 : 8). 997 99 8). 3. Cultural Studies dan Semiotik n Sem em mio iotik k Memahami budaya dapat aya memangg dap pat dilihat dengan beragam cara. Pemilihan gaya ra. P emillihan emi an n gay aya ffeesyen tertentu juga dapat menunjukan budaya at me menun nunjjukan nun an bud bu aya ya penggunanya. Manusiaa yang hidup di Asia dengan yang hidup di Ame Amerika Utara merik me ik ika k U tarra aakan kan an cenderung memiliki gaya fasyen yang ya fas fasye yen ya ye ang g bberbeerbe beda karena kebutuhan dan n peran yang bberbeda. erbeda d . Barnard (1996) bahkan menyatakan bahwa 46 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal fasyen dapat dianggap sebagai fenomena budalamnya terjadi praktik-prakdaya karena di dalamn tik penandaaan yang salah satunya adalah suatu bertujuan untuk mengkomunikasikan ber men tatanan tatana an ssosial. osial. Oleh kkarena itu salah satu alat analisis ya ya dapat ddigunakan oleh cultural yang untuk menganalisis fasyen adalah sestudies untu uk m engan miotik. 6HFDUD XP 6HFDUD XXPXP XP GH¿QLVL \DQJ SDOLQJ tentang sederhana tenta ang n ssemiotika adalah ilmu atau sistem-sistem tanda tentang tanda dan n at Pertama-tama, manusia (Chandler, 2002).. P sesuatu hal dan berbicara dapat mengetahui ses tersebut tentang hal terseb but hanya dengan bantuan tanda-tanda yaitu ddengan eng mengganti apa yang disampaikan, dengan tanda-tanda yang ingin disampaikan n, de konteks sesuai. Dalam kon ontek ini, fasyen dapat menon jadi seperangkatt ttanda anda yang dapat dibaca untuk mengetahui ui apa yyang ingin disampaikan penggunanya, baik itu berupa identitas oleh penggun unanya, ba un ideologi. Untuk membaca serangkamaupun id deologi. Unt semiotik mengaplikasikan ian tanda nda da tersebut, sem metode umum banyak digunakan met e ode yang secara um linguistik sebagai model dalam penelitian lin untuk diterapkan pada fenomena lain di luar ini semiotik memandang bahasa. Dengan cara in segala sesuatu sebagai sebaga rangakaian tanda yang dibangun berfungsi dibang dib a un dan be berfu r ng mirip dengan bahasa. semiotika pada kajian komuPusat at perhatian perhatiaan se emio menggali nikasi ad aadalah dalah m en nggal apa yang tersembunyi balik dimana dalam konteks ini di bal ba a ik bah bbahasa, asa, dim terepresentasi dalam fasyadalah lah h ba bbahasa has ha asaa yyang an ng ter semiotik, en. Dalam am se emiotik, ttanda merupakan istilah yang penting, yan ng sangat sangaat pentin ng, yyang terdiri atas penanda VLJQL¿HUGDQSHWDQGDVLJQL¿HG.HGXDQ\D VLJ JQL¿HUG GDQ DQ SHW HWWDQG kesatuan merupakan ke sattuan yyang tak dapat dipisahmewakili elemen bentuk kan dimana penanda m mewakili elemen konsep ata atau tau iisi si da da petanda dan peetan tanda d m atau makna, suatu konvensi ata au m akna, dan di akn ddibutuhkan bu sosial masyarakat sosi ial oleh h mas asyyaraka untuk mencapai kesas epakatan epa p katan makna atas suatu tanda tertentu. Dilihat konsep ini, dapat dipahami bila D Dil iha hat ddari ha ari ko kons nsep in ns fasyen merupakan dari konsep, idenfas asyen as ye me yen eruppaka akann ppenanda en yang ingin disampaikan, titas, atau ideologi ya penggunannya. aatau ata u ppetanda, etaanda n , ooleh le pen leh sebagai alat komunikasi 4. Fashion seba b gai al ideologi 47 Dr. Dion Dewa Barata Fasyen juga melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Disain fasyen yang dikenakan, jenis bahan, merek, adalah tanda-tanda yang tersusun dalam kode-kode sesuai dengan konteks penggunaanya. Pemilihan disain pakaian yang dihubungkan dengan bahan dan merek dari pakaian tersebut secara sistemik disusun untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan posisi sosial dari penggunannya. Sehingga komunikasi yang terjadi bukan semata-mata melalui bahasa verbal namun dilakukan melalui pesan-pesan dalam tanda. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske (1990) bahwa komunikasi atau interaksi sosial dapat dilakukan melalui pesan. Sebagai bentuk komunikasi yang berinteraksi sosial di dalam lingkungannya, dalam proses ini selalu terjadi produksi dan pertukaran makna dimana pesan yang tersembunyi dibalik tanda-tanda tersebut diproduksi dan dimaknai oleh penerimanya. Sebaliknya penerima pesan mempunyai kebebasan penuh untuk menginterpertasikan pesan yang diterimanya dari pengirim pesan, dalam hal ini adalah orang yang mengenakan faysen tertentu. Masalah yang kemudian muncul adalah pada ranah pemaknaan yang akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dan pengetahuan si penerima pesan, dimana sangat mungkin sekali berbeda dengan pengalaman budaya dan pengetahuan dari si pengirim pesan. Ketidaksaman pengalaman budaya dan pengetahuan ini yang sering kali menyebabkan perbedaaan antara makna yang dikirimkan dengan makna yang diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada lingkup budaya dimana pesan tersebut disampaikan. Lingkup budaya, atau dapat juga disebut sebagai konteks, harus selalu dihubungkan dengan semua tanda yang digunakan atau yang dapat dibaca sebagai teks. Teks dan konteks menjadi dua sisi yang tak boleh Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal terpisahkan karena keduanya menghasilkan makna. Dalam pengertian semiotik yang secara sejarah banyak dipengaruhi oleh ilmu linguistik, teks dapat dibaca seperti membaca bahasa. Selain membawa pesan, bahasa juga membawa ideologi, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Hal ini sesuai dengan pandangan teori kritis, dimana ideologi melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Kini, dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, proses produksi dan pertukaran teks, hingga interpertasi makna terjadi sangat cepat sehingga dipercaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Beragamnya makna yang tersembunyi dalam tanda-tanda tersebut membuat manusia kontemporer kehilangan kemampuan untuk membedakan tanda-tanda yang didukung oleh kenyataan dari tanda-tanda yang hanya menampilkan rekaan dari kenyataan ideal menurut pengirim tanda atau mitos. Mitos dalam hal ini bukanlah mitos dalam pengertian umum melainkan sebuah cara untuk memaknai tanda-tanda. Fasyen sering kali diPXQFXONDQ GDODP LNODQ PHGLD ¿OP PRGHO dan lain sebagainya yang sesunggunya adalah tanda-tanda yang merepresentasikan kenyataan rekaan sesuai keinginan pengirim tanda tersebut, yakni pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari fasyen tersebut. Kuatnya gempuran informasi saat ini membuat mitos yang terbentuk dari pemaknaan terhadap tanda tersebut semakin lama semakin kokoh, sehingga apa yang sesungguhnya adalah rekaan sudah dianggap sebagai kenyataan yang natural. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, namun mungkin tidak untuk masa yang lain. Gaya berpakaian, disain baju, model rambut, aksesoris, yang berulang-ulang ditampilkan di media massa merupakan serangkaian tanda-tanda yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan pemaknaan bahwa gaya Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Dr. Dion Dewa Barata berpakaian, disain baju, model rambut dan akampilkan dalam media sesoris seperti yang ditampilkan kan sesuatu yang ideal massa tersebut merupakan ai sesuatu yang semyang dimaknai sebagai enyataannya apa yyang ang purna. Padahal dalam kenyataannya ia massa terseb but ut ada aada-ditampilkan dalam media tersebut an yang ingin in diben ntuk lah rekaan dari kenyataan dibentuk alam hal in ni aadalah dalah h inoleh pengirim tanda, dalam ini m tentu m enggambardustri fasyen, dan belum menggambarsungguhnyya sehingga kan kenyataan yang sesungguhnya dapat disebut sebagai mitos. ang ca antik, an ik putih, h, den denPenggambaran model yang cantik, tu, me engenakann disain n gan bentuk badan tertentu, mengenakan ntu da apat disebut ut seba-baju dan aksesoris tertentu dapat ggambarkan idegai mitos, karena hanyaa meng menggambarkan ustri fa aysen dan belum ay al sesuai keinginan industri faysen nyataan n yang sesun ngtentu sama dengan kenyataan sesungkian dap apat dipaha ap ami guhnya. Dengan demikian dapat dipahami gguhnya aadalah dalah ran ngbahwa ideologi, sesungguhnya rangng dibuat-bua bu t, yang kaian kepercayaan yang dibuat-buat, bagai suatu ““bahasa” b asa” bah digunakan manusia sebagai erila er il ku sehingga membentuk orientasi dan per perilaku sosialnya. Barthes dalam karyanya menyatakan an sistem komunikasi bahwa mitos merupakan hnya mitos juga merujuga, karena sesungguhnya bih jauh Barthes menpakan sebuah pesan. Lebih us pe ppertandaan, rtandaan, n,, se seyatakan mitos sebagai modus pe w icarra yyang ang dib bawa buah bentuk, sebuah tipe wicara dibawa ak da apat digam mbar-melalui wacana, yang tida tidak dapat digambarsan nnya, namun ddapat apatt kan melalui obyek pesannya, ra ppesan esan ters sebutt digambarkan melalui car cara tersebut lik mito oslah ideo ologii disampaikan dan dibalik mitoslah ideologi unyiinya n iideologi id eologi ogii ka atersembunyi. Tersembunyinya katau ba bahka h n tida d k ddisaisaisa dang kala tidak terasa atau bahkan tidak ngga secara ti tid idak d k sadar dari keberadaanya sehingga tidak ideologi tersebut dapat diterima dan membenda, yan yyangs g ses gs essuai a di ai isai s n tuk perilaku yang berbeda, sesuai disain n. yang telah direncanakan. an membu b att mit i os Ketidaksaran inii akan membuat mitos yataan yan yyang g namp paknyang menampilkan kenyataan nampaknelum m ttentu en u m ent eng ng ggam mya alamiah walaupun belum menggamngguhn uhn uhnya hnya ya. Ni ilai iideoldeol ol-ol barkan kenyataan sesungguhnya. Nilai ogis dari mitos muncul ketika mitos tersebut ntuk me enguungkkap ap menyediakan fungsinyaa un untuk mengungkap ai-niilaii ddominan omin mi an mi n yan ang an ng dan membenarkan nilai-nilai yang i ila l h peran medi diia ada dalam masyarakat. Disin Disinilah media esentasikan, atau bah yang seringkali merepresentasikan, 48 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal kan menghadirkan mitos-mitos baru di tengah Banyaknya pilihan ideologi yang masyarakat. Banyakny mitos-mitos ini membuat terbungkus dalam mi manusia kontemporer bebas memilih ideologi man diadopsinya sehingga memmanaa yyang ang ingin diado buat pros ses ini menjad proses menjadi suatu proses konsumsi bermakna ideologis. yang bermak ak akn k a ideolo Identitas 5. Tentang Iden ntitas masyarakat kontemporer, seDalam ma mas yar tiap manusia memainkan mem maink dan mengendalikan masing-masing. Selera, termasuk di perannya masing-m masi selera dalamnya adalah se eler l a gaya pakaian, merupaseseorang kan upaya seseoran ng uuntuk merepresentasikan ideologinya. identitas dan ideolo ogin Dengan banyaknya kuatnya pengaruh teknologi inforpilihan dan kuatny ya pe tidak masi, manusia tid dak ddapat lagi membedakan mana yang nyataa dan mana yang tidak nyata. manusia kontemporer bebas Oleh karena itu tu manu menentukann pperannya erannya sendiri dengan menginformasi-informasi disekitarnya segunakan inf nformasi-inf nf bagai acu acuan cu kehidupan yang ideal. Bukan hanya peran, saat ini bahkan memilih ciri identitas yang dimanusia dapat memili contoh-contoh yang ada, inginkannya lewat co maupun yang rekaan, yang baik yang nyata maup sekitar kita, mulai dari binbanyak beredar di seki WDQJ¿OPPRGHOLNODQSHQ\DQ\LWRNRKWRNRK WDQ D J¿ DQ J OPPRGHO J HO LN L ODQ rekaan, rekaan an, yang di an ddipadukan paaduk dengan kepribadian sendiri sehigga dapat diciptakan ciri idendiri send ndiri seh nd higgaa da titass yan yyang g uunik, nik, yyang ang berbeda, yang dapat membedakan dirinya mem mbeedaka kan dirin kan ka nya dari orang lain sekaligus dapat menunjukan ligu us dap ap pat m men e un njuk kelas sosial dimana dia bberada. erada. a. Salah ssatu atu bentuk representasi dari identitas fasyen yang digunakannya iden ntitas ini aadalah d ah dal h fas dalam sehari-hari. Dalam beberapa ddal l kehidupan seha lam sekedar berarti simbol penhal, fasyen tidak seke mode semata. Fasyen juga simbol geraand anda nda m od semat ode mata. mat a Fa politik kebudayaan kan n polit litik lit ik k keb ebuda eb buda udayaa tertentu dimana fasymenandakan model ideologi en yang berbeda da mena da Sehingga dapat dipahami yyang yan g bberbeda erbeda pu ppula. la. Se bahwa semua yang telah dipertontonkan bah a wa w sem emua ha em hal yan lewat lebih dari sekedar lew ew wat fasyen y se ssesungguhnya esun unggu un semata, namun lebih pada gaya berpakaian sem ideologi. rrepresentasi re eepressenttasi a ideol eologi. eo eol Pembentukan Pemben Pem Pe entuk en tukan identitas ini dalam tuk prosesnya bukanlah bukan k lah l ssesuatu yang sederhana. Proses ini tidak akan bergerak tanpa dipen- 49 Dr. Dion Dewa Barata garuhi oleh berbagai macam faktor yang bergerak secara bersama-sama. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi, dengan bantuan informasi teknologi, berperanan dalam proses pembentukan identitas tersebut. Globalisasi menyebabkan munculnya fesyen yang sama, tetapi dengan latar belakang ideologi yang dapat berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini memungkinkan diadopsinya fesyen yang sama antara remaja di Indonesia dengan remaja di Amerika serikat, dengan motivasi pengadopsian yang berbeda diantara keduanya. Dalam hal ini fesyen digunakan sebagai usaha untuk mengadopsi identitas dimana penggunanya memiliki motivasi tertentu, seperti ingin dianggap sebagai bagian dari kelas sosial tertentu, sehingga motivasi ini mendorong pemilihan pola fesyen tertentu. Diharapkan dengan fesyen tersebut, usahanya untuk mengkomunikasikan identitas sesuai pilihan dapat diterima oleh lingkungannya. Fasyen sebagai identitas juga dapat menentukan posisi dan peran seseorang dalam kelompok sosial tertentu karena pemilihan fesyen dijadikan kriteria untuk menerima atau menolak seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu. Karena begitu kuatnya pengaruh fasyen dalam menentukan posisi sosial seseorang dalam masyarakat, maka sangat memungkinkan muncul upaya untuk memalsukan identitas malalui fasyen semata-mata agar diterima dalam kelompok sosial yang diinginkan. Dalam pendekatan semiotik, hal ini senada dengan pendapat Umberto Eco dimana semiotika, dalam ini tanda-tanda dalam fasyen, dapat digunakan untuk berdusta. Dapat dikatakan bahwa fasyen mencoba menghadirkan suatu bentuk representasi sesuai keinginan, namun belum tentu menunjukkan identitas yang sesungguhnya. Gaya menjadi kolasekolase. Hanya penampilan semata. Hanya fashion. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi gaya menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya otentisitas bukan berarti kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, ikut membentuk lahirnya makna-makna baru. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal 6. Kesimpulan Fesyen memang dapat dan telah diadopsi menjadi sebuah identitas. Suatu identitas berdasarkan konstruksi tanda-tanda yang dimaknai dan merupakan representasi ideologi yang ingin ditampilkan penggunanya. Tapi konstruksi tanda-tanda tersebut tidak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi oleh kuatnya arus globalisasi di hampir setiap bidang kehidupan sehingga identitas yang dikonstruksi itu sesungguhnya bukan lagi identitas murni dari dalam diri sendiri namun konstruksi yang telah “diarahkan” sesuai ideologi dominan tertentu. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita sendiri, dan secara tidak langsung akan mePLOLNLNHNXDWDQXQWXNPHPRGL¿NDVLSHULODNX penerimaan diri, dan hingga selera seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai bagian dari masyarakat, selalu muncul keinginan dari manusia untuk menunjukan identitasnya. Fasyen dapat menjadi sarana untuk mengkomunikasikan identitas seseorang melalui tanda-tanda yang terselubung di dalamya. Rangkaian tandatanda tersebut disusun secara sistemis sehingga menjalin suatu makna sesuai keinginan penggunannya. Hal ini menunjukan bahwa komunikasi dapat terjadi bukan semata-mata melalui bahasa verbal semata namun dilakukan melalui pesan-pesan dalam tanda. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske (1990) bahwa komunikasi atau interaksi sosial dapat dilakukan melalui pesan. Permasalahannya adalah selalu ada distorsi dalam proses pemaknaan tersebut dimana pesan tidak mampu dimaknai secara tepat sesuai keinginan oleh orang lain. Untuk itu, pesan yang disampaikan melalui tanda-tanda fasyen ini haruslah dibaca dengan tetap memperhatikan konteks dimana pesan tersebut disampaikan. Dilihat dari kaca mata semiotik, suatu tanda seharusnya merepresentasikan suatu konsep atau kenyataan, apabila tidak ingin dikatakan sebagai mitos. Dengan derasnya arus globalisasi ini, beragam informasi beredar di masyarakat dan mempengaruhi konstruksi identitas yang terjadi dengan berbagai macam Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010 Dr. Dion Dewa Barata tanda yang mungkin saja tidak berakar pada kenyataan atau hanya mitos. Oleh karena itu sangat besar kemungkinannya inannya bahwa identitas yang terbentuk saat at ini melalui fasyen, n, sesungguhnya adalah identitas semu yyang ang tidak akan tahan lamaa karena hany hanya ya bera bberae kar pada mitos dan akan mudah untuk an selalu mu udah un ntuk dipengaruhi oleh mitos-mitos sesuai -mitos lain n se esuai bbenentukan ideologi lain yang dominan. ng domin miinan. Dengan demikian manusia kontemporer, tanpa emporer, ta anpa keberakaran yang kuat, akan selalu menj menjadi jadi korban dalam arus globalisasi diman dimana menna id na identitass me men njadi komoditas yang dapat dipertukarkan. pat dip pertukarkaan. Karena sifatnya yangg ssangat dinamis angat din inamiss ini maka akan selalu muncul uncull dorongan untuk mencari landasan yang g kuat bagi seseorang untuk berpijak. Fasyen digunakan sebagai n digu unak n an sebag gaii usaha seseorang untuk masuk da dianggap ddan n diangg gap sebagai bagian dari kelas as sosial ter ttertentu. tentu. Di Diharapkan dengan fesyen en tersebut, seseorang dapat mengkonstruksi dan mengkomunikasimengkomu munikasimu kan identitasnya sehingga ga dapat diterimaa ooleh leh lingkungan kelompok sosial keinginan. osial sesuai keingina an. Untuk mempertahankan n posisi dan peran seseorang dalam kelompok ok sosial tersebut, perilaku dan selera juga akan kan disesuaikan karena hal ini akan menjadi kriteria riteria yang menentukan penerimaan merekaa dalam lam am kelompok so sosial tersebut. Karena begitu besa besarnya fasyen arnyaa peran fa asyen n dalam kehidupan sosial manusia kontemial man nusia kon ntem-porer, maka sangat bes besar sar kkemungkinanemungkiinan-nya seseorang untuk beru berupaya memalsukan upayaa memalsu suukan n identitas malalui fasyen en ssemata-mata emat a a-mataa agar at a ar diterima dalam kelompok sosial diinginok sos sial ia yang diingi nginnngi kan. Disinilah kemudian n praktikk ppembajakan embajakan b merek muncul. Semuaa muncul bukan lagi atas dasar kenyataan tapi simulasi. pi aatas t da tas ddasar sar arr si imul mulasi a . asi Simulasi kenyataan yang kemudian ng kem ke u an udi n dia ddianggap di ngg ggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya, g sesu suungguhn h ya, sehingga cukup layak untuk dipercaya k dip percaya dan ditiru. 50 Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal Daftar Pustaka Mythologies [translation Barthes, R (1993) Myt Lavers, A (1972)] (197 London: Vintage (1998) Cultural Studies Brooker, W (19 Hodder Headline London: Hodd Semiotics: The Basics Chandler, r D (2002) Se London: Routledge Londdon: Routl Cobley, P & Jansz, Introducing Jan JJa ansz, L (2004) ( Semiotics Royston: Icon Books css Roys Hawkes, T (1977) and 7) Structuralism Stru Semiotics London: Routledge Lond Masterman, L (ed)) (19 (1986) Television Mythologies: Mythologiess: SStars, Shows and Signs 2nd ed edition diti London: Comedia Rylance, R (1994) R Roland Barthes Hemel ol Hempstead: Harvester Wheatsheaf Hempstead d: Ha Tudor, Culture: Theory T A (1999) Decoding Decod Method and Meth hod in Cultural Studies ho London: London n: Sage Sage Horkheimer,, M M.. and A Adorno, T.W. (1979) Dialectic The hee D ialectic oof the Enlightenment. Trans. Cumming. T Tr Tra r ns. by J. C Verso. London. Verso Couldry, Couldry, y N. (2000) Inside Ins Culture: Re-imagining tthe Method of Cultural Studies. London. Londo Sage Publication. Gramsci, A. (1971) Selections from the Se Notebooks of Antonio Prison No Notebo Gramsci. Edited Grams sci. E dite and translated Hoare and G. Nowell b Q. H by oarre an Smith. London. Sm mith. Lon ndon Lawrence Wishart. Grosz, sz, E. E (1995) (199 (1 95) Space, Spac Time and Perversion: essays on the politics of P Per Pe ver errsionn: ess ers thee bo bbody. dy. New New York and London. Routledge. Routle tle ledge.. Hall, Halll, S. (1980)) Cultural H Cultur Studies and the Centre: Some pproblematics and problems. S. Hall, D. Hobson, A. probl pr ro ems ms. IIn ms nS Willis (eds.). Culture, Lowe aand Low nd P. PW Media, M dia, Language. Med Langua London. La Routledge. Routledge g . pp.15-47. pp. Hall, and New Identities, Ha l, S. Ha Hal S (1991) (19 1 91)) Old Old an Old New Ethnicities. In A. Oll and nd Ne King Globalization g (ed.). Culture, Cul and n thee W nd World- System: Contemporary Conditions Condittion Co ionss ffor or the representation of ide identity. d ntity. H Houndmills. ound Macmillan. pp.41-68. 51 Dr. Dion Dewa Barata Hall, S. (1999) Narrating the Nation: Am Imagined Community. In C. Lemert (ed.). Social Theory: The Multicultural and Classic Readings. Boulder. Westview Press. Pp.626-633. Storey, J. (1997) An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture. Second Edition. London. Harlow. Williams, R. (1963) Culture and society, 1780-1950. Harmondsworth. New York. Williams, R. (1965) The Long Revolution. Harmondworth. Penguin. Williams, R. (1981) Marxism, Structuralism and Literary Analysis. New Left Review 129, 51-66. Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990 Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997. Fiske, John, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990. Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003. Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997. Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern SHQHUM0XKDPPDG7DX¿T, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003. Storey, John (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010