Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal

advertisement
Peran Media Komunikasi Dalam Pembentukan Karakter Intelektual di Dunia Pendidikan
Drs. Arcadius Benawa, M.Pd.
Dr. Dion Dewa Barata
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
DAFTAR PUSTAKA
Benawa, Arcadius. 2009. “Evaluasi terhadap
Proses Pembelajaran dalam Sistem
Pembelajaran Full Day di SD
Marsudirini Bogor”. Dalam
EDUCARE, No. 9/VI/Desember 2009.
Jakarta.
Dedy Pradipto. 2007. Belajar Sejati Vs
Kurikulum Nasional. Yogyakarta:
Kanisius.
Frederick S. Schaeffer, SFO. 2008. “Duc in
altum - Put out into the deep”, dalam
http://www.franciscan-sfo.org yang
diunduh pada Selasa, 15 Desember
2009, pk. 09.21
Nobel Lectures, Physics 1942-1962. Isidor
Isaac Rabi. 1964. Amsterdam:
Elsevier Publishing Company, dalam
http://www.nobelpeize.org yang
diunduh pada 15 Desember 2009,
pk. 09.06.
Ritchhart, Ron. 2002. Intellectual Character.
San Francisco: Jossey-Bass.
Sadiman S. Arief (dkk). 2007. Media
Pendidikan-DNDUWD5DMD*UD¿QGR
Persada.
Yusufhadi Miarso. 2005. Menyemai Benih
Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
Dr. Dion Dewa Barata
Universitas Multimedia Nusantara
Bo
Jl. Boulevard,
Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang
Telp.
Tel (021) 54220808 / 37039777, Fax. (021) 54220800
[email protected]
Abstract
Fashion it is not just
ju
ust how
h to dress, branding, or designing clothes, especially in the contemporary society. Fasyen
Fas
asye has become a medium of communication in which identity is repreas
sented. This study tr
ttried
ried to see fasyen through cultural studies perspective to look at its role in
the search for ident
identity.
tity. Using a semiotic approach can be seen that fasyen are constraceted by
series of signs that systemically
designed to serve a particular ideology. As part of our daily
sys
life, fashion also uused
sed as a means to enter in a particular social group which then will affect
their daily behavior
behavi
vviior
Keywords: Fashion,
Cultural Studies, Semiotic, Identity, Representation
Fas
ashion, C
ash
1. Pendahuluan
Pendahul
uluan
ul
Indonesia.
In onesia. Suatu
Ind
Sua kawasan yang terletak di persimpangan ddua benua dan dua samudra,
kedekatan dan kesamaan
ud yang karena ke
sejarahnya berhimpun dan membentuk suatu
komunitas imajiner bbernama bangsa Indonesia. Kehidupan yan
yang sangat multikultur di
negar ini kemudian mewardalam kawasan negara
nai da
dan memb
benttuk
u ssuatu norma budaya Innai
membentuk
donesiia yang
yang sesungguhnya
sessung
donesia
terstrukturisasi
uda
dayay bu
uday
ya lo
dari bbudaya-budaya
lokal didalamnya. Namun
gan
an
n pesatnya
pesa
s nya perkembangan
sat
sa
perke
dengan
teknologi dan
infoormas
asi
as
s , tida
ida
d k ddapat
apat dipungkiri lagi bahwa
informasi,
tidak
banggsa In
ndon
d esia yan
bangsa
Indonesia
yang multikultur ini juga
mendapat
pengaruh
men
ndapat pe
pen
engaruuh ddari budaya-budaya lain
GLOOXDUZLOD\DK
K JH
JH JUD¿
JHR
GLOXDUZLOD\DKJHRJUD¿VQ\DGDQGLHUDGLJLWDO
ini, pengaruh dari luar pun semakin lama-semakin
besar.
makin bes
es
es
esar.
Besarnya
dari luar ini juga
Besarn
Bes
nya pen
ppengaruh
g
tidak
terlepas
a ter
erlep
er
pas
a dar
darii ppotensi
da
ote yang dimiliki Indonesia sebagai salah satu
sat negara dengan jumlah
penduduk
terbesar
pen
eenndu
dudukk terbes
besar di dunia. Dengan potensi
bes
ini,
ini
ni, Indo
ni
ni,
IIndonesia
n nes
n iaa men
ne
menjadi pasar yang sangat meme
narik bagi pihak-pihak dari luar dengan menawarkan
macam produk yang sesungw kan
war
an berbagai
be
ai maca
guhnya
representasi dari budaya
gu nya
guh
yaa merupakan
m ruppaka
me
akan re
dimana
produk-produk
dim
im na
imana
n pr
produ
uk-p
k pr
produ tersebut dikembangkan. Hal ini dapat dilihat
dengan maraknya
di
produk-produk asing membanjiri hampir dise44
45
tiap sudut kawasan di Indonesia terutama di
daerah perkotaan, mulai dari butik-butik asing
yang menawarkan cita rasa Perancis, rumah
makan dengan tampilan yang memanjakan
konsumen dengan “seakan-akan” berada di
Italia, atau pusat kebugaran yang menawarkan konsep ala selebritis Hollywood. Semua
tawaran tersebut semakin memikat karena
munculnya teknologi komunikasi yang sangat pesat dan memungkinkan untuk masuk
ke dalam setiap relung kehidupan masyarakat
Indonesia, bahkan hingga relung yang paling
pribadi sekalipun, melalui televisi, radio, selular, internet dan sebagainya.
Kuatnya pengaruh dari luar ini mau
tidak mau memaksa manusia Indonesia masuk dalam pusaran budaya yang saling tercampur satu dengan yang lain antara budaya
Indonesia yang sejatinya multikultur, dengan
budaya-budaya lain dari berbagai belahan
peradaban dunia. Suatu kondisi yang dapat
merengut identitas manusia dari eksistensi
akar budayanya sekaligus membawa manusia tersebut terjebak dalam ruang-ruang imajiner, atau simulacra menurut Baudrillard,
dimana antara kenyataan dengan fantasi tidak
dapat lagi dibedakan dengan jelas. Pada akhirnya, manusia akan terbawa dan hidup dalam
serangkaian fantasi yang menyimulasikan
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
“yang ditentukan” demi keuntungan suatu budaya dominan dan selanjutnya akan menjadi
faktor penentu utama dalam setiap langkah
kehidupan manusia tersebut.
Keterasingan dari eksistensi nyata
dalam akar budaya tersebut menyebabkan
hilangnya identitas yang dapat digunakan
untuk merepresentasikan dirinya dalam dunia. Seorang manusia mungkin saja lahir dari
keturunan jawa namun tidak dapat dikatakan
sebagai orang jawa karena tidak memiliki
identitas-identitas yang merepresentasikan
ke-jawa-annya, bahkan mungkin lebih tepat
dianggap sebagai orang Eropa karena setiap
bagian dari dirinya, mulai dari gaya bicara,
pola pikir, konsumsi, hingga selera merepresentasikan dengan jelas sisi ke-eropa-annya.
2. Cultural Studies
Proses pencarian identitas dalam ranah kebudayaan telah dilakukan di berbagai disiplin
ilmu mulai dari sosiologi, antropologi, sastra,
dan masih banyak lagi, dan telah melintasi ruDQJ JHRJUD¿V PDXSXQ LQVWLWXVLRQDO &XOWXUDO
studies merupakan irisan interdisipliner di
mana berbagai perspektif dari disiplin yang
berbeda dijembatani untuk mengkaji hubungan antara manusia dengan lingkungannya
dimana didalamnya terdapat berbagai relasi,
peran, dan upaya-upaya untuk merepresentasikan diri (Brooker, 1998). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa cultural studies adalah satu teori yang dibangun untuk mengkaji
produksi pengetahuan dan upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Karena sifatnya yang lintas disiplin ilmu tersebut,
cultural studies tidak hanya menggunakan
satu aliran teori saja, karena subjek kajiannya
meliputi fenomena-fenomena budaya yang
dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu (Tudor, 1999).
Cultural studies sendiri mendapat banyak manfaat dari pemikiran-pemikiran yang
dicetuskan oleh para pemikir yang beraliran
Marxisme, seperti Horkheimer dan Adorno
(1979: 154-158), yang melahirkan pemikiran
tentang ‘budaya indsutri, dimana didalamnya terangkai pemikiran berkaitan dengan
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Dr. Dion Dewa Barata
pengendalian dan eksploitasi masyarakat.
Pendapat lain juga menyatakan
enyatakan bahwa cultural studies bergerak diatas dasar pemikiran
dari Foucault dan Gramsci
msci khususnya yangg
berkaitan dengan hegemoni.
Hall
emoni. Menurut H
all
(1980) pemikiran Gramsci
men-msci ini banyak
ak
k men
m
donminasi analisis cultural
telah
ural studies dan te
elah
memberikan seperangkat
landasan
kat landasa
an tteori
eori uunntuk menganalisis fenomena
dalam
mena dala
lam
a suatu sistim budaya. Dalam pemikirannya,
emikirannyaa, Gramsci
(1971) memaparkan bagaimana
ideologi
gaimana ide
eologi selalu berada dalam konfrontasi
ideologi
ontasi de
ddengan
engan ideo
deolog
deo
logii
log
lain, hingga ada satu diantar
diantaranya
cenderung
ranya cend
derungg
mampu bertahan dan mengo
mengokohkan
okohkan di
ddirinya
irinya
yaa
dalam suatu masyarakat.
t.
Pemikiran Gramsci
tentang
msci ten
ntang hegemoni
ini jelas terlihat dalam industri
dimana
ndustrii fasyen dima
ana
fesyen, sebagai representasi
ntasi dari
ri ideologi dibdiibelakangnya, selalu mengalami
ngalami kkontestasi
ontestasi un
untuk menjadi pilihan gaya
masyarakat.
ya hidup m
a
asyarakat.
Walaupun tidak berartii mematikan iide
ideologi
d ologi
lain namun dalam kontestasi
terlihat
estasi ini dapat terl
er ihat
erl
bahwa masyarakat padaa kelas sosial tertent
tertentu
nttu
ntu
cenderung untuk memilih
lih satu gaya berpakaian tertentu. Oleh karena
na itu cultural studies
menjadi suatu arena dimana
imana tindakan aktor
dalam unjuk kekuatan
n kontestasi ideologi
tersebut diamati. Kontestasi
bertujuan
estassi yyang
ang bertujua
jua
juan
uan
untuk menyeragamkan tida
tidak
kehidupan
ak hhanya
anya kehidu
an
upan
n
ekonomi dan politik namun
hingga
pemikiran
munn hin
ngga pemik
kiran
n
dan moral, demi menciptakan
ptaakan hhegemoni
egemonii darii
satu kelompok diatas be
beberapa
kelompok
eberaapa kelom
mpok
k
lainnya yang lebih lemah
(Gramsci
1971).
mah
h (G
Gramsci 19
971)..
Untuk menganalisis hal ters
tersebut
sebutt cultura
ccultural
al sstudtud
dies menggunakan lingkup
material
up mat
aterial yangg lluas
uas
sebagai bahan kajian, mulai darii masyarakat
kontemporer, teks, media
edia massa, hiburan,
hingga ‘budaya adi luhung’
(Storey
ung’
g’ (St
tore
o y 11997:
99 : 8).
997
99
8).
3. Cultural Studies dan
Semiotik
n Sem
em
mio
iotik
k
Memahami budaya
dapat
aya memangg dap
pat dilihat dengan beragam cara.
Pemilihan
gaya
ra. P
emillihan
emi
an
n gay
aya ffeesyen tertentu juga dapat
menunjukan
budaya
at me
menun
nunjjukan
nun
an bud
bu
aya
ya
penggunanya. Manusiaa yang hidup di Asia
dengan yang hidup di Ame
Amerika
Utara
merik
me
ik
ika
k U
tarra aakan
kan
an
cenderung memiliki gaya
fasyen
yang
ya fas
fasye
yen ya
ye
ang
g bberbeerbe
beda karena kebutuhan dan
n peran yang bberbeda.
erbeda
d .
Barnard (1996) bahkan menyatakan bahwa
46
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
fasyen dapat dianggap sebagai fenomena budalamnya terjadi praktik-prakdaya karena di dalamn
tik penandaaan yang salah satunya adalah
suatu
bertujuan untuk mengkomunikasikan
ber
men
tatanan
tatana
an ssosial.
osial. Oleh kkarena itu salah satu alat
analisis ya
ya dapat ddigunakan oleh cultural
yang
untuk
menganalisis
fasyen adalah sestudies untu
uk m
engan
miotik.
6HFDUD XP
6HFDUD
XXPXP
XP GH¿QLVL \DQJ SDOLQJ
tentang
sederhana tenta
ang
n ssemiotika adalah ilmu
atau sistem-sistem tanda
tentang tanda dan
n at
Pertama-tama, manusia
(Chandler, 2002).. P
sesuatu hal dan berbicara
dapat mengetahui ses
tersebut
tentang hal terseb
but hanya dengan bantuan
tanda-tanda yaitu ddengan
eng mengganti apa yang
disampaikan,
dengan tanda-tanda yang
ingin disampaikan
n, de
konteks
sesuai. Dalam kon
ontek ini, fasyen dapat menon
jadi seperangkatt ttanda
anda yang dapat dibaca untuk mengetahui
ui apa yyang ingin disampaikan
penggunanya,
baik itu berupa identitas
oleh penggun
unanya, ba
un
ideologi.
Untuk membaca serangkamaupun id
deologi. Unt
semiotik mengaplikasikan
ian tanda
nda
da tersebut, sem
metode
umum banyak digunakan
met
e ode yang secara um
linguistik sebagai model
dalam penelitian lin
untuk diterapkan pada fenomena lain di luar
ini semiotik memandang
bahasa. Dengan cara in
segala sesuatu sebagai
sebaga rangakaian tanda yang
dibangun
berfungsi
dibang
dib
a un dan be
berfu
r ng mirip dengan bahasa.
semiotika
pada kajian komuPusat
at perhatian
perhatiaan se
emio
menggali
nikasi ad
aadalah
dalah m
en
nggal apa yang tersembunyi
balik
dimana dalam konteks ini
di bal
ba
a ik bah
bbahasa,
asa, dim
terepresentasi dalam fasyadalah
lah
h ba
bbahasa
has
ha
asaa yyang
an
ng ter
semiotik,
en. Dalam
am se
emiotik, ttanda merupakan istilah
yang
penting,
yan
ng sangat
sangaat pentin
ng, yyang terdiri atas penanda
VLJQL¿HUGDQSHWDQGDVLJQL¿HG.HGXDQ\D
VLJ
JQL¿HUG
GDQ
DQ SHW
HWWDQG
kesatuan
merupakan ke
sattuan yyang tak dapat dipisahmewakili elemen bentuk
kan dimana penanda m
mewakili elemen konsep
ata
atau
tau iisi
si da
da petanda
dan
peetan
tanda
d m
atau
makna,
suatu konvensi
ata
au m
akna, dan di
akn
ddibutuhkan
bu
sosial
masyarakat
sosi
ial oleh
h mas
asyyaraka untuk mencapai kesas
epakatan
epa
p katan makna atas suatu tanda tertentu.
Dilihat
konsep
ini, dapat dipahami bila
D
Dil
iha
hat ddari
ha
ari ko
kons
nsep in
ns
fasyen
merupakan
dari konsep, idenfas
asyen
as
ye me
yen
eruppaka
akann ppenanda
en
yang ingin disampaikan,
titas, atau ideologi ya
penggunannya.
aatau
ata
u ppetanda,
etaanda
n , ooleh
le pen
leh
sebagai
alat komunikasi
4. Fashion seba
b gai al
ideologi
47
Dr. Dion Dewa Barata
Fasyen juga melibatkan tanda dan
kode. Tanda adalah material atau tindakan
yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara
kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda
dihubungkan dengan yang lain. Disain fasyen
yang dikenakan, jenis bahan, merek, adalah
tanda-tanda yang tersusun dalam kode-kode
sesuai dengan konteks penggunaanya. Pemilihan disain pakaian yang dihubungkan dengan
bahan dan merek dari pakaian tersebut secara
sistemik disusun untuk menyampaikan atau
mengkomunikasikan posisi sosial dari penggunannya. Sehingga komunikasi yang terjadi
bukan semata-mata melalui bahasa verbal
namun dilakukan melalui pesan-pesan dalam
tanda. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske
(1990) bahwa komunikasi atau interaksi sosial dapat dilakukan melalui pesan.
Sebagai bentuk komunikasi yang
berinteraksi sosial di dalam lingkungannya,
dalam proses ini selalu terjadi produksi dan
pertukaran makna dimana pesan yang tersembunyi dibalik tanda-tanda tersebut diproduksi
dan dimaknai oleh penerimanya. Sebaliknya
penerima pesan mempunyai kebebasan penuh untuk menginterpertasikan pesan yang
diterimanya dari pengirim pesan, dalam hal
ini adalah orang yang mengenakan faysen
tertentu. Masalah yang kemudian muncul
adalah pada ranah pemaknaan yang akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dan
pengetahuan si penerima pesan, dimana sangat mungkin sekali berbeda dengan pengalaman budaya dan pengetahuan dari si pengirim
pesan. Ketidaksaman pengalaman budaya dan
pengetahuan ini yang sering kali menyebabkan perbedaaan antara makna yang dikirimkan dengan makna yang diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna menjadi
sebuah pengertian yang cair, tergantung pada
lingkup budaya dimana pesan tersebut disampaikan.
Lingkup budaya, atau dapat juga disebut sebagai konteks, harus selalu dihubungkan dengan semua tanda yang digunakan atau
yang dapat dibaca sebagai teks. Teks dan konteks menjadi dua sisi yang tak boleh
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
terpisahkan karena keduanya menghasilkan
makna. Dalam pengertian semiotik yang secara sejarah banyak dipengaruhi oleh ilmu
linguistik, teks dapat dibaca seperti membaca
bahasa. Selain membawa pesan, bahasa juga
membawa ideologi, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai
struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Hal ini sesuai dengan
pandangan teori kritis, dimana ideologi melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural,
dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Kini, dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, proses
produksi dan pertukaran teks, hingga interpertasi makna terjadi sangat cepat sehingga
dipercaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam
masyarakat.
Beragamnya makna yang tersembunyi
dalam tanda-tanda tersebut membuat manusia kontemporer kehilangan kemampuan untuk membedakan tanda-tanda yang didukung
oleh kenyataan dari tanda-tanda yang hanya
menampilkan rekaan dari kenyataan ideal
menurut pengirim tanda atau mitos. Mitos
dalam hal ini bukanlah mitos dalam pengertian umum melainkan sebuah cara untuk memaknai tanda-tanda. Fasyen sering kali diPXQFXONDQ GDODP LNODQ PHGLD ¿OP PRGHO
dan lain sebagainya yang sesunggunya adalah
tanda-tanda yang merepresentasikan kenyataan rekaan sesuai keinginan pengirim tanda
tersebut, yakni pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari fasyen tersebut. Kuatnya
gempuran informasi saat ini membuat mitos
yang terbentuk dari pemaknaan terhadap tanda tersebut semakin lama semakin kokoh, sehingga apa yang sesungguhnya adalah rekaan
sudah dianggap sebagai kenyataan yang natural. Melaluinya sistem makna menjadi masuk
akal dan diterima apa adanya pada suatu masa,
namun mungkin tidak untuk masa yang lain.
Gaya berpakaian, disain baju, model rambut,
aksesoris, yang berulang-ulang ditampilkan
di media massa merupakan serangkaian tanda-tanda yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan pemaknaan bahwa gaya
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Dr. Dion Dewa Barata
berpakaian, disain baju, model rambut dan akampilkan dalam media
sesoris seperti yang ditampilkan
kan sesuatu yang ideal
massa tersebut merupakan
ai sesuatu yang semyang dimaknai sebagai
enyataannya apa yyang
ang
purna. Padahal dalam kenyataannya
ia massa terseb
but
ut ada
aada-ditampilkan dalam media
tersebut
an yang ingin
in diben
ntuk
lah rekaan dari kenyataan
dibentuk
alam hal in
ni aadalah
dalah
h inoleh pengirim tanda, dalam
ini
m tentu m
enggambardustri fasyen, dan belum
menggambarsungguhnyya sehingga
kan kenyataan yang sesungguhnya
dapat disebut sebagai mitos.
ang ca
antik,
an
ik putih,
h, den
denPenggambaran model yang
cantik,
tu, me
engenakann disain
n
gan bentuk badan tertentu,
mengenakan
ntu da
apat disebut
ut seba-baju dan aksesoris tertentu
dapat
ggambarkan idegai mitos, karena hanyaa meng
menggambarkan
ustri fa
aysen dan belum
ay
al sesuai keinginan industri
faysen
nyataan
n yang sesun
ngtentu sama dengan kenyataan
sesungkian dap
apat dipaha
ap
ami
guhnya. Dengan demikian
dapat
dipahami
gguhnya aadalah
dalah ran
ngbahwa ideologi, sesungguhnya
rangng dibuat-bua
bu t, yang
kaian kepercayaan yang
dibuat-buat,
bagai suatu ““bahasa”
b asa”
bah
digunakan manusia sebagai
erila
er
il ku
sehingga membentuk orientasi dan per
perilaku
sosialnya.
Barthes dalam karyanya menyatakan
an sistem komunikasi
bahwa mitos merupakan
hnya mitos juga merujuga, karena sesungguhnya
bih jauh Barthes menpakan sebuah pesan. Lebih
us pe
ppertandaan,
rtandaan,
n,, se
seyatakan mitos sebagai modus
pe w
icarra yyang
ang dib
bawa
buah bentuk, sebuah tipe
wicara
dibawa
ak da
apat digam
mbar-melalui wacana, yang tida
tidak
dapat
digambarsan
nnya, namun ddapat
apatt
kan melalui obyek pesannya,
ra ppesan
esan ters
sebutt
digambarkan melalui car
cara
tersebut
lik mito
oslah ideo
ologii
disampaikan dan dibalik
mitoslah
ideologi
unyiinya
n
iideologi
id
eologi
ogii ka
atersembunyi. Tersembunyinya
katau ba
bahka
h n tida
d k ddisaisaisa
dang kala tidak terasa atau
bahkan
tidak
ngga secara ti
tid
idak
d k sadar
dari keberadaanya sehingga
tidak
ideologi tersebut dapat diterima dan membenda, yan
yyangs
g ses
gs
essuai
a di
ai
isai
s n
tuk perilaku yang berbeda,
sesuai
disain
n.
yang telah direncanakan.
an membu
b att mit
i os
Ketidaksaran inii akan
membuat
mitos
yataan yan
yyang
g namp
paknyang menampilkan kenyataan
nampaknelum
m ttentu
en u m
ent
eng
ng
ggam
mya alamiah walaupun belum
menggamngguhn
uhn
uhnya
hnya
ya. Ni
ilai iideoldeol
ol-ol
barkan kenyataan sesungguhnya.
Nilai
ogis dari mitos muncul ketika mitos tersebut
ntuk me
enguungkkap
ap
menyediakan fungsinyaa un
untuk
mengungkap
ai-niilaii ddominan
omin
mi an
mi
n yan
ang
an
ng
dan membenarkan nilai-nilai
yang
i ila
l h peran medi
diia
ada dalam masyarakat. Disin
Disinilah
media
esentasikan, atau bah
yang seringkali merepresentasikan,
48
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
kan menghadirkan mitos-mitos baru di tengah
Banyaknya pilihan ideologi yang
masyarakat. Banyakny
mitos-mitos ini membuat
terbungkus dalam mi
manusia kontemporer bebas memilih ideologi
man
diadopsinya sehingga memmanaa yyang
ang ingin diado
buat pros
ses ini menjad
proses
menjadi suatu proses konsumsi
bermakna
ideologis.
yang bermak
ak
akn
k a ideolo
Identitas
5. Tentang Iden
ntitas
masyarakat
kontemporer, seDalam ma
mas
yar
tiap manusia memainkan
mem
maink dan mengendalikan
masing-masing.
Selera, termasuk di
perannya masing-m
masi
selera
dalamnya adalah se
eler
l a gaya pakaian, merupaseseorang
kan upaya seseoran
ng uuntuk merepresentasikan
ideologinya.
identitas dan ideolo
ogin Dengan banyaknya
kuatnya
pengaruh teknologi inforpilihan dan kuatny
ya pe
tidak
masi, manusia tid
dak ddapat lagi membedakan
mana yang nyataa dan mana yang tidak nyata.
manusia kontemporer bebas
Oleh karena itu
tu manu
menentukann pperannya
erannya sendiri dengan menginformasi-informasi
disekitarnya segunakan inf
nformasi-inf
nf
bagai acu
acuan
cu kehidupan yang ideal.
Bukan hanya peran, saat ini bahkan
memilih ciri identitas yang dimanusia dapat memili
contoh-contoh yang ada,
inginkannya lewat co
maupun yang rekaan, yang
baik yang nyata maup
sekitar kita, mulai dari binbanyak beredar di seki
WDQJ¿OPPRGHOLNODQSHQ\DQ\LWRNRKWRNRK
WDQ
D J¿
DQ
J OPPRGHO
J
HO LN
L ODQ
rekaan,
rekaan
an, yang di
an
ddipadukan
paaduk dengan kepribadian
sendiri
sehigga
dapat diciptakan ciri idendiri send
ndiri seh
nd
higgaa da
titass yan
yyang
g uunik,
nik, yyang
ang berbeda, yang dapat
membedakan
dirinya
mem
mbeedaka
kan dirin
kan
ka
nya dari orang lain sekaligus
dapat
menunjukan
ligu
us dap
ap
pat m
men
e un
njuk kelas sosial dimana
dia bberada.
erada.
a. Salah ssatu
atu bentuk representasi dari
identitas
fasyen yang digunakannya
iden
ntitas ini aadalah
d ah
dal
h fas
dalam
sehari-hari. Dalam beberapa
ddal
l kehidupan seha
lam
sekedar berarti simbol penhal, fasyen tidak seke
mode
semata.
Fasyen juga simbol geraand
anda
nda m
od semat
ode
mata.
mat
a Fa
politik
kebudayaan
kan
n polit
litik
lit
ik
k keb
ebuda
eb
buda
udayaa tertentu dimana fasymenandakan model ideologi
en yang berbeda
da mena
da
Sehingga dapat dipahami
yyang
yan
g bberbeda
erbeda pu
ppula.
la. Se
bahwa
semua
yang telah dipertontonkan
bah
a wa
w sem
emua ha
em
hal yan
lewat
lebih dari sekedar
lew
ew
wat fasyen
y se
ssesungguhnya
esun
unggu
un
semata, namun lebih pada
gaya berpakaian sem
ideologi.
rrepresentasi
re
eepressenttasi
a ideol
eologi.
eo
eol
Pembentukan
Pemben
Pem
Pe
entuk
en
tukan identitas ini dalam
tuk
prosesnya bukanlah
bukan
k lah
l ssesuatu yang sederhana.
Proses ini tidak akan bergerak tanpa dipen-
49
Dr. Dion Dewa Barata
garuhi oleh berbagai macam faktor yang
bergerak secara bersama-sama. Tidak dapat
dipungkiri bahwa globalisasi, dengan bantuan
informasi teknologi, berperanan dalam proses
pembentukan identitas tersebut. Globalisasi
menyebabkan munculnya fesyen yang sama,
tetapi dengan latar belakang ideologi yang dapat berbeda antara satu dengan yang lain. Hal
ini memungkinkan diadopsinya fesyen yang
sama antara remaja di Indonesia dengan remaja di Amerika serikat, dengan motivasi pengadopsian yang berbeda diantara keduanya.
Dalam hal ini fesyen digunakan sebagai usaha
untuk mengadopsi identitas dimana penggunanya memiliki motivasi tertentu, seperti ingin dianggap sebagai bagian dari kelas sosial
tertentu, sehingga motivasi ini mendorong pemilihan pola fesyen tertentu. Diharapkan dengan fesyen tersebut, usahanya untuk mengkomunikasikan identitas sesuai pilihan dapat
diterima oleh lingkungannya.
Fasyen sebagai identitas juga dapat
menentukan posisi dan peran seseorang dalam
kelompok sosial tertentu karena pemilihan fesyen dijadikan kriteria untuk menerima atau
menolak seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu. Karena begitu kuatnya pengaruh
fasyen dalam menentukan posisi sosial seseorang dalam masyarakat, maka sangat memungkinkan muncul upaya untuk memalsukan identitas malalui fasyen semata-mata agar
diterima dalam kelompok sosial yang diinginkan. Dalam pendekatan semiotik, hal ini senada dengan pendapat Umberto Eco dimana semiotika, dalam ini tanda-tanda dalam fasyen,
dapat digunakan untuk berdusta. Dapat dikatakan bahwa fasyen mencoba menghadirkan
suatu bentuk representasi sesuai keinginan,
namun belum tentu menunjukkan identitas
yang sesungguhnya. Gaya menjadi kolasekolase. Hanya penampilan semata. Hanya
fashion. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi
gaya menjadi sesuatu yang tidak bermakna.
Berakhirnya otentisitas bukan berarti kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, ikut membentuk
lahirnya makna-makna baru.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
6. Kesimpulan
Fesyen memang dapat dan telah diadopsi menjadi sebuah identitas. Suatu identitas berdasarkan konstruksi tanda-tanda yang
dimaknai dan merupakan representasi ideologi yang ingin ditampilkan penggunanya. Tapi
konstruksi tanda-tanda tersebut tidak dapat
dipungkiri sangat dipengaruhi oleh kuatnya
arus globalisasi di hampir setiap bidang kehidupan sehingga identitas yang dikonstruksi
itu sesungguhnya bukan lagi identitas murni
dari dalam diri sendiri namun konstruksi yang
telah “diarahkan” sesuai ideologi dominan
tertentu. Ketika fesyen sebagai identitas telah ditentukan secara sadar ke dalam diri kita
sendiri, dan secara tidak langsung akan mePLOLNLNHNXDWDQXQWXNPHPRGL¿NDVLSHULODNX
penerimaan diri, dan hingga selera seseorang
dalam kehidupan sehari-harinya.
Sebagai bagian dari masyarakat,
selalu muncul keinginan dari manusia untuk menunjukan identitasnya. Fasyen dapat
menjadi sarana untuk mengkomunikasikan
identitas seseorang melalui tanda-tanda yang
terselubung di dalamya. Rangkaian tandatanda tersebut disusun secara sistemis sehingga menjalin suatu makna sesuai keinginan
penggunannya. Hal ini menunjukan bahwa
komunikasi dapat terjadi bukan semata-mata
melalui bahasa verbal semata namun dilakukan melalui pesan-pesan dalam tanda. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fiske (1990) bahwa
komunikasi atau interaksi sosial dapat dilakukan melalui pesan. Permasalahannya adalah
selalu ada distorsi dalam proses pemaknaan
tersebut dimana pesan tidak mampu dimaknai
secara tepat sesuai keinginan oleh orang lain.
Untuk itu, pesan yang disampaikan melalui
tanda-tanda fasyen ini haruslah dibaca dengan
tetap memperhatikan konteks dimana pesan
tersebut disampaikan.
Dilihat dari kaca mata semiotik, suatu
tanda seharusnya merepresentasikan suatu
konsep atau kenyataan, apabila tidak ingin dikatakan sebagai mitos. Dengan derasnya arus
globalisasi ini, beragam informasi beredar di
masyarakat dan mempengaruhi konstruksi
identitas yang terjadi dengan berbagai macam
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Dr. Dion Dewa Barata
tanda yang mungkin saja tidak berakar pada
kenyataan atau hanya mitos. Oleh karena itu
sangat besar kemungkinannya
inannya bahwa identitas yang terbentuk saat
at ini melalui fasyen,
n,
sesungguhnya adalah identitas semu yyang
ang
tidak akan tahan lamaa karena hany
hanya
ya bera
bberae kar pada mitos dan akan
mudah
untuk
an selalu mu
udah un
ntuk
dipengaruhi oleh mitos-mitos
sesuai
-mitos lain
n se
esuai bbenentukan ideologi lain yang
dominan.
ng domin
miinan. Dengan
demikian manusia kontemporer,
tanpa
emporer, ta
anpa keberakaran yang kuat, akan selalu menj
menjadi
jadi korban
dalam arus globalisasi diman
dimana
menna id
na
identitass me
men
njadi komoditas yang dapat
dipertukarkan.
pat dip
pertukarkaan.
Karena sifatnya yangg ssangat
dinamis
angat din
inamiss
ini maka akan selalu muncul
uncull dorongan untuk
mencari landasan yang
g kuat bagi seseorang
untuk berpijak. Fasyen
digunakan
sebagai
n digu
unak
n an sebag
gaii
usaha seseorang untuk masuk da
dianggap
ddan
n diangg
gap
sebagai bagian dari kelas
as sosial ter
ttertentu.
tentu. Di
Diharapkan dengan fesyen
en tersebut, seseorang
dapat mengkonstruksi dan mengkomunikasimengkomu
munikasimu
kan identitasnya sehingga
ga dapat diterimaa ooleh
leh
lingkungan kelompok sosial
keinginan.
osial sesuai keingina
an.
Untuk mempertahankan
n posisi dan peran seseorang dalam kelompok
ok sosial tersebut, perilaku dan selera juga akan
kan disesuaikan karena
hal ini akan menjadi kriteria
riteria yang menentukan penerimaan merekaa dalam
lam
am kelompok so
sosial tersebut.
Karena begitu besa
besarnya
fasyen
arnyaa peran fa
asyen
n
dalam kehidupan sosial
manusia
kontemial man
nusia kon
ntem-porer, maka sangat bes
besar
sar kkemungkinanemungkiinan-nya seseorang untuk beru
berupaya
memalsukan
upayaa memalsu
suukan
n
identitas malalui fasyen
en ssemata-mata
emat
a a-mataa agar
at
a
ar
diterima dalam kelompok
sosial
diinginok sos
sial
ia yang diingi
nginnngi
kan. Disinilah kemudian
n praktikk ppembajakan
embajakan
b
merek muncul. Semuaa muncul bukan lagi
atas dasar kenyataan tapi
simulasi.
pi aatas
t da
tas
ddasar
sar
arr si
imul
mulasi
a .
asi
Simulasi kenyataan yang
kemudian
ng kem
ke
u an
udi
n dia
ddianggap
di
ngg
ggap
sebagai kenyataan yang
sesungguhnya,
g sesu
suungguhn
h ya, sehingga cukup layak untuk
dipercaya
k dip
percaya dan ditiru.
50
Fashion Sebagai Strategi Simbolik Komunikasi Non-Verbal
Daftar Pustaka
Mythologies [translation
Barthes, R (1993) Myt
Lavers, A (1972)]
(197 London: Vintage
(1998) Cultural Studies
Brooker, W (19
Hodder Headline
London: Hodd
Semiotics: The Basics
Chandler,
r D (2002) Se
London:
Routledge
Londdon: Routl
Cobley, P & Jansz,
Introducing
Jan
JJa
ansz, L (2004)
(
Semiotics
Royston: Icon Books
css Roys
Hawkes, T (1977)
and
7) Structuralism
Stru
Semiotics London:
Routledge
Lond
Masterman, L (ed)) (19
(1986) Television
Mythologies:
Mythologiess: SStars, Shows and
Signs 2nd ed
edition
diti London: Comedia
Rylance, R (1994) R
Roland
Barthes Hemel
ol
Hempstead:
Harvester Wheatsheaf
Hempstead
d: Ha
Tudor,
Culture: Theory
T
A (1999) Decoding
Decod
Method
and Meth
hod in Cultural Studies
ho
London:
London
n: Sage
Sage
Horkheimer,, M
M.. and A
Adorno, T.W. (1979)
Dialectic
The
hee D
ialectic oof the Enlightenment.
Trans.
Cumming.
T
Tr
Tra
r ns. by J. C
Verso.
London. Verso
Couldry,
Couldry,
y N. (2000) Inside
Ins Culture:
Re-imagining tthe Method of Cultural
Studies. London.
Londo Sage Publication.
Gramsci, A. (1971) Selections
from the
Se
Notebooks of Antonio
Prison No
Notebo
Gramsci.
Edited
Grams
sci. E
dite and translated
Hoare
and G. Nowell
b Q. H
by
oarre an
Smith.
London.
Sm
mith. Lon
ndon Lawrence Wishart.
Grosz,
sz, E.
E (1995)
(199
(1
95) Space,
Spac Time and
Perversion:
essays on the politics of
P
Per
Pe
ver
errsionn: ess
ers
thee bo
bbody.
dy. New
New York and London.
Routledge.
Routle
tle
ledge..
Hall,
Halll, S. (1980)) Cultural
H
Cultur Studies and the
Centre: Some pproblematics and
problems.
S. Hall, D. Hobson, A.
probl
pr
ro ems
ms. IIn
ms
nS
Willis (eds.). Culture,
Lowe aand
Low
nd P.
PW
Media,
M dia, Language.
Med
Langua London.
La
Routledge.
Routledge
g . pp.15-47.
pp.
Hall,
and New Identities,
Ha l, S.
Ha
Hal
S (1991)
(19
1 91)) Old
Old an
Old
New Ethnicities. In A.
Oll
and
nd Ne
King
Globalization
g (ed.). Culture,
Cul
and
n thee W
nd
World- System: Contemporary
Conditions
Condittion
Co
ionss ffor
or the representation of
ide
identity.
d ntity. H
Houndmills.
ound
Macmillan.
pp.41-68.
51
Dr. Dion Dewa Barata
Hall, S. (1999) Narrating the Nation:
Am Imagined Community. In C.
Lemert (ed.). Social Theory: The
Multicultural and Classic Readings.
Boulder. Westview Press. Pp.626-633.
Storey, J. (1997) An Introduction to Cultural
Theory and Popular Culture. Second
Edition. London. Harlow.
Williams, R. (1963) Culture and society,
1780-1950. Harmondsworth.
New York.
Williams, R. (1965) The Long Revolution.
Harmondworth. Penguin.
Williams, R. (1981) Marxism, Structuralism
and Literary Analysis. New Left
Review 129, 51-66.
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele
Srebery-Mohammadi (Eds.),
Questioning The Media:
A Critical Introdustion, Sage
Publication, Newbury Park,
California, 1990
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural
Representations dan Signifying
Practices, Sage Publications, London,
1997.
Fiske, John, Introductions to Communication
Studies, Routledge, London, 1990.
Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika:
Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An
Introduction, Manchester University
Press, Manchester and New
York, 1997.
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern
SHQHUM0XKDPPDG7DX¿T, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2003.
Storey, John (Ed.) Cultural Theory and
Cultural Culture: A Reader,
Harvester Heatsheaf, New York,
1994.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010
Download