mineralisasi polimetalik di daerah kedung

advertisement
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
MINERALISASI POLIMETALIK DI DAERAH KEDUNG
GROMBYANG, PACITAN, JAWA TIMUR: DALAM
PERBANDINGAN DENGAN CEBAKAN EMAS GUNUNG
PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT
Iwan Setiawan dan Sudarsono
ABSTRACT Kedung Grombyang area, located
at the Southern Mountain of Java, has shown
polymetallic occurrences indication. Based on
relief shaded gravity image, this area is situated
within Yogya-Bayat-Pacitan trending and formed
west to southeast curve direction. The existences
of magmatic rocks and fault alignment may be
used as first assumption to localize a potential
area of mineral deposit. Mineral exploration has
been conducted on the Southern Mountain by
multinational companies and also local mining
companies, but so far, there are no area can be
identified as having big deposit, such as Gunung
Pongkor. The lack of gold deposition at Kedung
Grombyang area compare to Gunung Pongkor is
due to the differences of their magmatic sources,
which are reflected by presentation of different
various mineralogy of volcanic rocks of two
areas and character of hydrothermal fluids.
Beside the andesitic rock, at Kedung Grombyang
area we also found basaltic and dasitic rocks.
While their structures are relatively similar
because both areas are influenced by major fault
zone which controlled the occurrences of
mineralization on Java island. Phyllic and
prophylitic altered rocks, characterized by
formation of muscovite at Kedung Grombyang
area are common, while at Gunung Pongkor it is
not present. This is also confirmed by
microthermometry measurement data,
Naskah masuk : 3 September 2009
Naskah diterima : 1 April 2009
Iwan Setiawan
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
Kompleks LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135
Email : [email protected]
Sudarsono
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
Kompleks LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135
Email : [email protected]
that Kedung Grombyang area has higher
temperature formation rather than Gunung
Pongkor. Intensively supergen enrichment at
Gunung Pongkor area is suggested to have a
good relation with gold rich deposition. That
case did not occur at Kedung Grombyang. This
paper will discuss the characteristics of
alteration and polymetallic mineralization at
Kedung Grombyang with Gunung Pongkor
areas, in relation with mineralization of Southern
Mountain of Java, especially on the east
segment, based on petrography, mineragraphy
and fluid inclusions
Keywords : Polymetallic Mineralization, Kedung
Grombyang, Gunung Pongkor
ABSTRAK Wilayah Kedung Grombyang yang
terletak di Jalur Pegunungan Selatan Jawa
menunjukkan indikasi keterdapatan endapan
logam polimetalik. Berdasarkan pencitraan relief
shaded gravity, menunjukkan daerah ini terletak
pada
kelurusan Yogya-Bayat-Pacitan yang
membentuk garis melengkung berarah barattenggara. Keterdapatan batuan-batuan magmatik
dan kelurusan sesar, dapat dijadikan sebagai
asumsi awal untuk melokalisasi daerah yang
berpotensi cebakan mineral. Eksplorasi cebakan
mineral masih terus dilakukan di Pegunungan
Selatan oleh perusahaan multinasional dan
perusahaan pertambangan lokal, namun sampai
sejauh ini belum ada daerah yang teridentifikasi
memiliki cebakan yang besar seperti Gunung
Pongkor. Sedikitnya pengendapan emas di
Kedung Grombyang daripada di Gunung
Pongkor dikarenakan oleh perbedaan magma
asal, yang dicerminkan oleh perbedaan variasi
mineralogi batuan volkanik di kedua wilayah dan
karakter fluida hidrotermal. Di samping batuan
andesitik, di Kedung Grombyang juga terdapat
batuan basaltik dan dasitik. Sedangkan
strukturnya relatif sama, karena kedua wilayah
dipengaruhi oleh zona sesar utama yang
29
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
mengontrol keterdapatan cebakan mineralisasi di
Pulau Jawa. Batuan terubah filik dan propilitik
yang dicirikan oleh pembentukan muskovit
merupakan fenomena umum di wilayah Kedung
Grombyang, sementara itu tidak dijumpai di
Gunung Pongkor. Fenomena ini selaras dengan
data pengukuran mikrotermometri dimana
Kedung
Grombyang
dipengaruhi
oleh
lingkungan dengan suhu pembentukkan urat
yang lebih tinggi daripada Gunung Pongkor.
Pengayaan supergen yang intensif di wilayah
Gunung Pongkor memiliki korelasi yang baik
dengan mineralisasi emas yang kaya. Kasus ini
tidak terjadi di wilayah Kedung Grombyang.
Tulisan ini akan mendiskusikan karakter alterasi
dan mineralisasi polimetalik di wilayah Kedung
Grombyang dengan endapan emas Gunung,
dalam hubungannya dengan mineralisasi di
Pegunungan Selatan Jawa, khususnya di segmen
timur,
berdasarkan
metode
petrografi,
mineragrafi dan inklusi fluida.
Kata kunci : Mineralisasi Polimetalik, Kedung
Grombyang, Gunung Pongkor
PENDAHULUAN
Kedung Grombyang berlokasi di Desa Ceni,
pada koordinat S 08o 11’ 05,9” dan E 111o 11’
27,3”, dan secara administratif daerah ini
termasuk ke dalam Kecamatan Ngadirojo,
Pacitan, Jawa Timur (Gambar 1). Wilayah
Kedung Grombyang ini terletak pada jalur
Pegunungan Selatan Jawa yang disusun oleh
batuan-batuan volkanik berumur Oligo-Miosen,
yang dikenal sebagai Formasi Andesit Tua
(Bemmelen, 1949). Menurut Bemmelen (1949),
Formasi ini merupakan produk volkanisme dari
beberapa gunung api tua yang disusun oleh
breksi andesit, tuf, tuf lapili, aglomerat dan
sisipan aliran lava andesit. Batuan-batuan
volkanik ini mempunyai hubungan genetis yang
memperlihatkan evolusi magmatik dari tholeitik
ke
kalk-alkali
(Setiawan
dkk.,
2007).
Kemunculan produk volkanik yang mempunyai
afinitas magmatik sangat berbeda dengan
sebelumnya ini diperkirakan terjadi akibat
adanya variasi perubahan sudut penunjaman di
bawah jalur volkanik Jawa (Priadi,1999).
Gambar 1. Lokasi Dusun Kedung Grombyang, Desa Ceni, yang berada di sebelah
timur kota Pacitan (dengan lingkaran merah).
30
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Gambar 2. Peta relief-shaded gaya berat regional Pulau Jawa yang menunjukkan distribusi
keterdapatan endapan mineral pada kelurusan sesar utama (Ismayanto dkk., 2007).
Perubahan afinitas magmatik dari tholeitik ke
kalk alkali ini ditunjukkan oleh terbentuknya
batuan-batuan volkanik berkomposisi andesitik
sampai basaltik, yang membentuk batuan mulai
dari jenis basalt, andesit, dasit, diorit, breksi tuf
dan aglomerat.
Secara regional struktur yang mengontrol
penyebaran keterdapatan mineralisasi di Pulau
Jawa dapat teramati dengan baik dengan
mengaplikasikan metode relief shaded gravity.
Struktur tersebut membuat garis melengkung
berarah barat-timur (Gambar 2). Termasuk di
dalamnya wilayah Kedung Grombyang yang
terletak pada jalur kelurusan Yogya - Bayat –
Wonogiri – Pacitan. Pembahasan yang lebih detil
mengenai metode ini telah diuraikan oleh
Ismayanto dkk. (2007).
Terdapatnya indikasi mineralisasi di daerah
Kedung Grombyang telah menambah jumlah
lokasi keterdapat mineralisasi yang telah
dikumpulkan oleh Sukirno (1997), dimana
terdapat paling tidak 52 lokasi potensi endapan
mineral yang tersebar mulai dari segmen Jawa
bagian barat-timur. Kegiatan eksplorasi terus
dilakukan sampai sekarang di Pegunungan
Selatan, baik oleh perusahaan pertambangan
multinasional maupun perusahaan lokal, seperti
di wilayah Gunung Gembes (Hartono, 2008),
Gunung Tukung (Idrus dkk, 2009), Tirtomoyo
(Idrus dkk 2009), Warak, Kreto, dan Djarum
(Setiawan dan Ismayanto, 2009), namun
sementara ini belum dapat ditemukan endapan
emas yang memiliki cadangan besar seperti
Gunung Pongkor. Hal ini menjadi menarik
karena menurut penerapan metode relief shaded
gravity (Ismayanto dkk, 2007), wilayah Gunung
Pongkor dan Kedung Grombyang - Pacitan
secara regional dipengaruhi oleh kontrol sesar
utama (major) yang berkembang di Pulau Jawa.
Meskipun keduanya terdapat di dalam kontrol
sesar utama, namun berbeda segmen.
Gunung Pongkor terletak pada segmen BayahPelabuhan Ratu, Kedung Grombyang terletak
pada segmen Bayat-Pacitan. Meskipun samasama terletak pada dua struktur sesar utama,
pembentukkan mineralisasi di wilayah Kedung
Grombyang, ternyata tidak memiliki indikasi
mineralisasi dengan cadangan besar seperti
Gunung Pongkor. Berdasarkan fakta tersebut,
maka
tulisan
ini
dimaksudkan
untuk
mendiskusikan dan membahas bagaimana
karakter dan genesa mineralisasi di wilayah ini,
sehingga dapat menghasilkan produk atau
mineralisasi yang berbeda.
METODOLOGI
Mineralisasi hidrotermal merupakan hasil dari
serangkaian proses yang terbentuk akibat
pemanasan air meteorik oleh volatile matter yang
membawa mineral-mineral logam di dalamnya,
pada kegiatan volkano-plutonik. Proses tersebut
akan menghasilkan zona alterasi dan cebakan
mineralisasi bijih yang akan terkonsentrasi di
dalam suatu media struktur dan dipengaruhi pula
31
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
oleh karakter batuan sampingnya. Daerah
Kedung Grombyang disusun oleh batuan-batuan
volkanik yang berpotensi untuk pembentukkan
mineralisasi hidrotermal. Di lapangan data yang
terdiri dari kumpulan batuan volkanik, urat-urat
kuarsa dan struktur kekar yang terdapat di sekitar
wilayah Kedung Grombyang, dikumpulkan
secara acak atau spot sampling, dengan
memperhatikan karakter mineralogi, seperti
kehadiran mineral ubahan dan mineralisasi yang
menyertainya. Untuk mengetahui karakteristik
dan genesa di daerah Kedung Grombyang, maka
dilakukan beberapa pendekatan seperti studi
literatur, observasi dan pengumpulan data
lapangan, mineralogy dan mikrotermometri.
Analisis mineralogi dilakukan pada sampelsampel terpilih, menggunakan beberapa metode
seperti : 1) Petrografi, untuk mengidentifikasi
jenis / tipe batuan, intensitas dan derajat batuan
terubah, 2) Mineragrafi, dilakukan pada batuan
termineralisasi
untuk
mengidentifikasi
kandungan mineral-mineral logam baik jenis
(kualitatif) maupun perkiraan persentase (semi
kuantitatif), 3) Inklusi fluida (Fluid inclusion).
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakter
inklusi fluida yang hadir dalam suatu sistem
mineralisasi, yaitu dengan menentukan suhu
homogenisasi dan salinitas ekuivalen NaCl.
Analisis petrografi, mineragrafi dan inklusi fluida
dilakukan menggunakan mikroskop polariasi
Nikon Eclipse 50 i Pol, di Laboratorium Fisika
Mineral, Puslit Geoteknologi LIPI. Khusus untuk
analisis inklusi fluida mikroskop tipe Optiphot 2,
dilengkapi dengan heating stage Linkam THMS
600.
Batuan dasit bertekstur porfiritik memiliki umur
yang lebih muda dibandingkan dengan batuan
andesit basaltik, andesit, dan tuf breksi. Di
lapangan batuan dasit menerobos batuan andesit
basaltik, andesit, dan tuf breksi dengan
kedudukan
relatif
utara-selatan
berarah
U332ºT/74º dan U3ºT/90º. Kedudukan batuan
terobosan tersebut relatif sejajar dengan
kedudukan urat kuarsa utama di daerah ini, yaitu
U(305-310)°T/90°.
Batuan-batuan
yang
diterobos
tersebut,
seluruhnya telah mengalami ubahan. Batuan
andesit basaltik telah terubah ke dalam tipe
propilitik dan silisifikasi memiliki retakanretakan yang cukup intensif, berhubungan
dengan keterdapatan urat-urat halus kuarsa
(stockwork) dan urat-urat halus pirit, kalkopirit
dan sfalerit. Batuan tersebut berwarna abu-abu
kehijauan, memiliki tekstur porfiritik, dan secara
mineralogi dicirikan oleh pembentukkan
kumpulan mineral ubahan klorit, epidot, dan
silika. Mineralisasi yang terbentuk di daerah ini
tidak berhubungan dengan sistem urat, melainkan
tersebar (disseminated) di dalam andesit-basaltik
dan breksi volkanik, yang dicirikan oleh
pembentukkan mineral logam sulfida pirit dan
kalkopirit. Zona urat kuarsa yang ditemukan
bertekstur masif, cukup tebal namun barren
(Gambar 3).
Variasi Batuan Volkanik
Wilayah Kedung Grombyang terletak di dalam
zona Pegunungan Selatan Jawa bagian timur
yang disusun oleh batuan volkanik terubah,
terdiri dari aliran lava andesit-basaltik, breksi,
tuf, dan batuan terobosan berkomposisi dasit.
Batuan-batuan tersebut dapat disebandingkan
dengan batuan volkanik Formasi Mandalika
berumur Oligo-Miosen (Samodra, dkk., 1997),
atau berumur 29-34 juta tahun (Subandrio, 2007).
32
Gambar 3. Singkapan batuan andesit basaltik
terubah, berwarna abu-abu terang,
memiliki bintik-bintik kuning yang
merupakan mineral bijih sulfida
dari jenis pirit dan kalkopirit yang
tersebar disseminated di dalam
batuan ubahan.
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Gambar 4. Fotomikrografi (A) Batuan dasit yang bertekstur porfiritik, disusun oleh kuarsa,
piroksen, mineral bijih yang tertanam di dalam mikrogranular kuarsa. (B) urat kuarsa,
bertekstur mosaik, berhubungan dengan pembentukkan serisit dan mineral bijih. (C-D)
Diabas alkali terubah, diabasik dan ophitik, disusun oleh k-felspar, piroksen, klorit,
epidot, mineral bijih.
Tuf breksi terubah terdapat di atas batuan
andesit-basaltik, memiliki warna abu-abu sampai
putih kemerah-merahan, dicirikan oleh hadirnya
kumpulan mineral ubahan limonit, jarosit, dan
oksida mangan. Pada susunan batuan paling atas,
terdapat breksi volkanik, bertekstur klastik,
terpilah buruk, kemas terbuka, disusun oleh
komponen batuan tuf dan batuan beku andesit
yang telah terubah. Pada sampel-sampel batuan
yang telah dikumpulkan tersebut di atas, terpilih
sebanyak 5 sampel untuk petrografi, 3 sampel
untuk mineragrafi dan 3 sampel untuk analisi
inklusi fluida.
Petrografi
Telah dipilih sebanyak 5 (lima) sampel batuan
yang mewakili wilayah Kedung Grombyang.
Sampel – sampel tersebut terdiri dari batuan
volkanik terubah dan urat kuarsa, dengan kode
sampel 05/IM (5A, 5, 6, 18, 23). Secara
petrografi seluruh sampel telah terubah akibat
proses hidrotermal, dengan intensitas kehadiran
mineral ubahan sedang sampai total terubah
(menurut klasifikasi Morison, 1997). Setelah
mengalami ubahan, jenis batuan primernya
menjadi agak sulit untuk diidentifikasi, namun
beberapa masih dapat diamati memiliki kristal
yang masih baik atau sedikit terubah atau jejak
kristal primernya. Beberapa jenis batuan yang
teridentifikasi menurut petrografi adalah 1)
batuan diabas alkali yang dicirikan oleh hadirnya
mineral k-felspar (jenis ortoklas), berbentuk
kristal bagus (euhedral) telah digantikan oleh
mineral ubahan serisit, 2) urat kuarsa, dan 3)
piroksen dasit, yang terubah ke dalam tipe
propilitik dan filik, yang dicirikan oleh kehadiran
mineral ubahan klorit, kuarsa, karbonat, epidot,
serisit dan mineral bijih (Gambar 4). Tiga sampel
batuan menunjukan kehadiran kumpulan mineral
ubahan yang sama dan dapat diklasifikasikan ke
dalam tipe ubahan filik (menurut klasifikasi
Morrison,1997, dan Leach, 1998). Kumpulan
mineral ubahan tersebut terdiri dari serisit, pirit
(+muskovit, +silika +mineral lempung, dan
+kovelit). Ketiga sampel batuan tersebut adalah:
1) Batuan terubah (kode 05/IM/5A), berwarna
coklat muda berbintik-bintik hitam, disusun oleh
kuarsa bertekstur mosaik, berbentuk anhedral –
33
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
subhedral, berukuran (0,02 – 0,30) mm,
berasosiasi dengan pembentukkan serisit yang
berserabut halus berukuran (< 0,01 – 0,25) mm
dan mineral bijih, berwarna hitam, berbentuk
anhedral – subhedral, berukuran (0,01– 0,50) mm
(Gambar 4a).
2) Batuan terubah (kode 05/IM/23), memiliki
komposisi mineral ubahan yang sedikit berbeda
dengan 05/IM/5A (Gambar 4b). Batuan ini
dicirikan pula oleh kehadiran mineral ubahan
muskovit, dan silika. Silika hadir membentuk
urat-urat halus saling berpotongan satu sama lain,
pinchout, interlocking, dan memiliki ronggarongga halus. Beberapa urat-urat halus nampak
berhubungan dengan kehadiran mineral bijih
berbentuk anhedral-subhedral, berwarna hitam,
isotrop, berukuran (0,015-0,05)mm. 2). Porfiri
dasit, (kode 05/IM/18), tidak berwarna sampai
abu kecoklatan, bertekstur porfiritik, disusun
oleh fenokris plagioklas, kuarsa, hornblende,
mineral bijih, dan kumpulan mineral ubahan
seperti silika, serisit, pirit, dan mineral lempung,
yang tertanam dalam masadasar mikrolit
plagioklas mikrogranular kuarsa dan gelas
(Gambar 4e). Dua buah sampel jenis diabas
alkali (kode 05/IM/5-6), telah terubah ke dalam
tipe ubahan propilitik, menurut klasifikasi
Morrison (1997), dan Leach (1998). Tipe ini
dicirikan oleh hadirnya kumpulan mineral
ubahan epidot, klorit, kuarsa, albit / ortoklas dan
pirit. Batuan diabas alkali tersebut berwarna abuabu kehijau-hijauan, bertekstur intergranular,
intersertal, dan subofitik, disusun oleh k-felspar,
berbentuk batang-batang dan plat-plat berukuran
antara (0,05– 1,25) mm, tersebar tidak beraturan,
berasosiasi dengan pembentukkan klorit pada
ruang diantara kristal (intersertal), sebagian Kfelspar nampak tertanam separuhnya di dalam
klorit (subofitik/diabasik). k- felspar terdiri atas
ortoklas, dan albit yang sebagiannya terubah
membentuk kumpulan mineral ubahan epidot,
klorit, kuarsa, albit / ortoklas dan mineral bijih
sulfida / pirit berwarna hitam, dengan ukuran <
0,05 mm (Gambar 4c). Diabas alkali pada conto
lainnya memperlihatkan warna hijau sampai
kuning berbintik hitam, bertekstur porfiritik dan
glomeroporfiritik, intergranular, subofitik dan
amigdaloidal. Batuan disusun oleh k- felspar
berbentuk batang dan pelat berukuran antara
34
(0,05 – 1,50) mm, tersebar tidak beraturan
dengan ruang diantaranya terisi klorit dan epidot
(intersertal) yang diduga menggantikan piroksen
(intergranular), sebagian k-felspar tampak
menembus (tertanam) di dalam klorit (jejak
tekstur subofitik – diabasik). Felspar terdiri dari
oligoklas, albit, ortoklas, sebagian dari padanya
(terutama oligoklas) terubah / teralterasi menjadi
epidot, klorit, kuarsa, k- felspar (albit, ortoklas)
sekunder, dan pirit. Kumpulan mineral ubahan
tersebut sering tampak berkelompok (menandai
jejak tekstur glomeroporfiritik), dan mengisi
rongga pada batuan (amigdaloid / miarolitik).
Mineral bijih sulfida sekunder (pirit) berwarna
hitam,
berukuran
<
0,05
mm,
berkelompok/berasosiasi
dengan
kehadiran
epidot dan klorit (Gambar 4d).
Mineragrafi
Pengamatan mineragrafi dilakukan pada dua
sampel terpilih, yaitu batuan yang telah terubah
(05/IM/05), dan urat kursa (05/IM/23).
Identifikasi
mineral
bijih
menggunakan
klasifikasi Uytenbogaardt dan Burke (1971).
Pembentukkan mineralisasi di wilayah Kedung
Grombyang terjadi paling tidak oleh dua kali
periode mineralisasi yang terbentuk secara
primer, dan satu kali periode yang membentuk
mineralisasi sekunder. Proses pertama diawali
oleh pembentukkan pirit dan kalkopirit, dan
pengkayaan tembaga yang dicirikan oleh
pembentukkan kovelit. Proses kedua adalah
mineralisasi pirit 2 yang menggantikan
(replacement) pirit 1. Fenomena penggantian ini
ditunjukkan oleh dua sampel yang dianalisis
(Gambar 5). Pada batuan terubah (05/IM/05),
mineral bijih tersebar tidak merata, dan hadir
sangat sedikit (<1%). Mineral bijih hanya
disusun oleh pirit, berwarna kuning kusam,
berbentuk anhedral dengan permukaan yang
kasar/kotor, cavity filling dan berukuran 0,01 –
0,05 mm. Selain itu terdapat tekstur penggantian
(replacement) dari mineral pirit menjadi kovelit.
Kovelit pada sampel ini teramati berupa jejakjejak kovelit. Mineral kovelit tersebut dapat
diamati dengan jelas secara mikroskopis, namun
menjadi tidak jelas pada tampilan gambar
fotomikrografi (Gambar 5).
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Gambar 5. Fotomikrografi IM-05A (a-b) Pirit memperlihatkan tekstur colloform dan mengisi
rongga, terdapat pula jejak kovelit, dan (c). 05/IM/23 memperlihatkan hubungan pirit
1 yang terubah menjadi pirit 2.
Berbeda dengan pembentukkan mineral bijih
pada batuan sampingnya. Pada bagian sampel
urat kuarsa (05/IM/23), mineralisasi dicirikan
oleh kehadiran dua jenis pirit, terdiri dari pirit 1
dan pirit 2. Pirit 1, terbentuk relatif lebih awal
daripada pirit 2, karena secara mikroskopis pirit 2
telah menggantikan pirit 1. Pirit 1 berwarna
kuning kusam, berbentuk anhedral - subhedral,
colloform, berukuran 0,02 – 0,4 mm,
memperlihatkan tekstur replacement akibat
proses oksidasi, cavity filling, permukaan kotor,
tersebar tidak merata baik sebagai individu
kristal/ butir maupun sebagai urat terputus.
Kemudian pirit 2 memiliki permukaan bersih dan
tersebar tidak merata, berwarna kuning terang,
berbentuk anhedral, colloform, dan berukuran
0,01 – 0,03 mm (Gambar 5). Kedua sampel
menunjukkan pembentukkan pirit yang relatif
sama, yaitu Pirit 1 terbentuk lebih awal yang
mengisi rongga batuan. Berikutnya pengendapan
pirit 2 yang sebagian menggantikan pirit 1. Pada
dua sampel terpilih kalkopirit tidak ditemukan
diduga karena pemolesan tidak tepat berada pada
bagian batuan yang terdapat kalkopirit. Namun
ditemukannya jejak kovelit, kemungkinan telah
menggantikan kalkopirit (Gambar 5).
Pengukuran Mikrotermometri Inklusi Fluida
Pada bagian batuan samping dan urat kuarsa
terpilih yang berhubungan dengan pembentukkan
mineral bijih sulfida seperti pirit dan kalkopirit,
dipilih bagian-bagian kuarsanya untuk dilakukan
pengukuran dan analisis mikrotermometri inklusi
fluida. Sampel kuarsa terdiri dari sampel
05/IM/5A, 05/IM/05, dan 05/IM/23, terdapat
memotong batuan andesit terubah dan
berhubungan dengan kehadiran mineral-mineral
bijih sulfida. Kuarsa tersebut memiliki tekstur
urat yang relatif sama, transparan, masif, dan
cockade.
Pengamatan
dan
pengukuran
mikrotermometri pada sampel 05/IM/5A, dan
05/IM/05, memiliki karakter inklusi yang relatif
sama, meskipun data pengukurannya relatif
berbeda. Kedua sampel memiliki inklusi yang
terdapat di dalam mineral induk kuarsa,
didominasi oleh inklusi fluida tipe monofase
yang kaya air, dan diikuti oleh inklusi fluida
bifase yang terdiri dari air dan uap. Inklusi fluida
pada kedua sampel terbentuk secara primer di
dalam zona pertumbuhan kristal dan terisolasi,
dan inklusi fluida yang terbentuk secara
sekunder, yang terdapat pada zona retakan mikro.
Data pengukuran mikrotermometri IM 5A
memiliki modus suhu homogenisasi (270 dan
350)ºC dengan modus salinitas (2,9) % berat
NaCl ekuivalen. Sedangkan pada sampel
05/IM/05 yang memperlihatkan struktur cockade,
data hasil pengukuran mikrotermometri sampel
ini memiliki modus suhu homogenisasi berkisar
(254-255)ºC dengan salinitas (0,1)% berat NaCl
(Gambar 6). Kedua sampel 05/IM/5A, dan
05/IM/05, diambil pada lokasi yang relatif
berdekatan, namun menunjukkan data modus
pengukuran yang relatif berbeda dan pada elevasi
yang berbeda 30 meter. Sampel kode IM/5
berasal dari ketinggian 490m dpl, sedangkan
IM/5A berasal dari ketinggian 460 m dpl.
Terdapatnya
perbedaan
modus
suhu
homogenisasi, dan salinitas kedua sampel yang
berdekatan tersebut menunjukkan terdapatnya
atau telah terjadi paling tidak dua kali periode
proses hidrotermal yang berbeda.
35
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Gambar 6. Fotomikrografi inklusi fluida conto Kedung Grombyang, memperlihatkan pembentukkan
inklusi fluida primer, yang tumbuh pada zona pertumbuhan, sebagian berkelompok dan
terisolasi (inklusi fluida terdapat pada lingkaran putih).
Berdasarkan
pengukuran
mikrotermometri
inklusi fluida, seluruh sampel berasal dari
lingkungan hidrotermal yang kaya air dan
memiliki salinitas yang rendah, namun pada
wilayah Kedung Grombyang tidak dijumpai
indikasi boiling. Inklusi fluida didominasi oleh
inklusi fluida monofase kaya air. Inklusi fluida
bifase (air dan uap) umumnya berukuran sangat
halus dan jarang dijumpai. Beberapa inklusi
fluida primer, dijumpai terbentuk secara primer,
pada zona pertumbuhan kristal induk, dan
terisolasi, berbentuk kristal negatif sampai
membulat.
36
Histogram Suhu Homogenisasi
4
05/IM/5A
Frekuensi
3
05/IM/5
05/IM/23
2
1
0
210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360
Suhu homogenisasi (Th)
Histogram Suhu Homogenisasi
4
05/IM/5A
3
Frekuensi
Hampir sama dengan karakter keterdapatan
inklusi fluida pada kedua sampel sebelumnya,
pada sampel 05/IM/23fi, inklusi fluida terdapat
di dalam mineral induk kuarsa transparan yang
mengandung noktah-noktah mineral bijih,
terbentuk secara primer dan sekunder, berbentuk
kristal negatif. Inklusi fluida sekunder terbentuk
lebih dominan dan memiliki ukuran sangat halus,
lebih halus daripada inklusi fluida primer. Inklusi
fluida primer terdapat pada zona pertumbuhan
kuarsa, tersendiri, disusun oleh dua komponen,
larutan (liquid) dan uap (vapour). Data
pengukuran mikrotermetri menunjukkan modus
suhu homogenisasi berkisar (322-323)°C dengan
salinitas (0,1)% berat NaCl (Gambar 6).
Berdasarkan data pengukuran mikrotermometri
inklusi fluida ketiga sampel memiliki suhu
pencairan es yang rendah berkisar antara (-0,11,6)°C, dengan modus pada -0,1°C. (Gambar 7).
05/IM/5
05/IM/23
2
1
0
210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360
Suhu homogenisasi (Th)
Gambar 7. Histogram distribusi penyebaran
suhu pencairan es (Tm) dan suhu
homogenisasi (Th)
daerah
Kedung
Grombyang,
yang
memperlihatkan
lingkungan
transisi
dari
epitermalmesotermal.
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Gambar 8. Pengeplotan pada diagram Haas, sampel IM 5 dan 5A, untuk kedalaman pembentukkan
urat, menunjukkan kedalaman pembentukkan IM 5 yang relatif lebih dalam daripada IM
5A.
namun memilki salinitas yang lebih tinggi.
Sedangkan sampel IM 5 relatif normal. Hasil
pengeplotan pada diagram Haas tersebut,
menunjukkan IM 23 terbentuk pada kedalaman
377 m, sedangkan IM 5, terbentuk pada
kedalaman 479. Dapat dikatakan bahwa
meskipun data diambil dari elevasi yang lebih
tinggi, namun kedalam pembentukkan belum
tentu selaras. Fenomena ini dapat terjadi karena
pengaruh struktur atau tingkat erosi yang
berbeda.
DISKUSI
Gambar 9. Pengeplotan pada diagram Haas,
sampel IM 23, untuk kedalaman pembentukkan
urat, menunjukkan kedalaman pembentukkan
pada kedalaman 377m dari permukaan air
purba.
Pengeplotan kedalam pembentukkan inklusi
fluida menurut kurva hidrostatis (Haas, 1971),
yang menganggap lingkungan pengendapannya
pada kondisi hidrostatis, maka seluruh sampel
IM 23 yang berasal dari level 363 m dpl, telah
mengalami pengenceran dibandingkan dengan
IM 5A yang terdapat pada level 460 m dpl,
Wilayah Kedung Grombyang dan Gunung
Pongkor secara geografi terletak pada lajur
selatan pulau Jawa, namun secara fisiografi,
kedua wilayah ini terletak pada lingkungan
tektonik yang berbeda. Gunung Pongkor terletak
pada bagian timurlaut sayap Zona Pegunungan
Bayah (Bemmelen,1949, Basuki dkk., 1992,
Milesi, dkk., 1999), sedangkan Kedung
Grombyang terletak di Pegunungan Selatan Jawa
(Bemmelen, 1949). Pada posisi fisiografi yang
berbeda, maka kedua wilayah tercermin oleh
asosiasi batuan penyusun yang berbeda. Gunung
Pongkor disusun oleh batuan samping (host rock)
volkanik Tersier (Miosen-Pliosen) yang terdiri
dari tuf breksi, tuf lapili dan lava andesit, yang
tertutupi oleh breksi volkanik berumur kuarter
37
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
(Basuki, dkk., 1994). Pernah dilaporkan sebuah
fenomena yang menarik, yaitu dengan
didapatkannya fosil foraminifera pada batuan tuf
breksi ini, yang telah mengindikasikan
lingkungan pengendapan laut. Berdasarkan
umurnya, batuan ini dapat disebandingkan
dengan Formasi Bojongmanik yang berumur
Miosen
Akhir.
Sementara
di
Kedung
Grombyang, mineralisasi terdapat pada batuan
samping (host rock) tuf breksi, lava andesitbasaltis dan dasit. Batuan sedimen dapat
dijumpai di sekitar Arjosari, berupa konglomerat
dan batupasir yang disusun oleh fragmen batuan
volkanik dan batugamping (Setiawan, 2007).
Batuan-batuan dengan komposisi seperti ini, di
daerah Pacitan, memiliki umur (berdasarkan KAr dating dan fission track) berumur 29-34 juta
tahun, untuk batuan dasit, lelehan basalt, dan
breksi volkanik (Samodra, 1992) yang setara
dengan Formasi Mandalika; kelompok umur
batuan berkisar antara 12-17 juta tahun,
didominasi oleh jenis andesit dan basalt. Batuan
volkanik yang tidak dijumpai di Gunung Pongkor
adalah dasit yang memperlihatkan tekstur
porfiritik, dijumpai menerobos batuan andesit
basaltik dan breksi, dengan kedudukan hampir
utara – selatan. Batuan dasit ini memiliki umur
yang dapat disetarakan dengan batuan berumur
Oligo-Miosen. Kemudian di bagian lainnya,
andesit basaltik berwarna abu-abu kehijauan,
telah terubah, yang juga bertekstur porfiritik,
nampak telah diterobos oleh urat kuarsa pada
beberapa tempat. Urat kuarsa tersebut
memperlihatkan tekstur masif, barren dan cukup
tebal. Ubahan dicirikan oleh hadirnya mineral
ubahan yang didominasi oleh klorit dan silika.
Urat-urat kuarsa bertekstur stockwork dijumpai
saling berpotongan di dalam batuan andesitbasaltik
terubah,
berasosiasi
dengan
pembentukkan mineral ubahan klorit, epidot dan
silika serta mineral bijih sulfida berupa pirit,
sfalerit dan kalkopirit. Breksi volkanik,
bertekstur klastik, pemilahan buruk, kemas
terbuka, disusun oleh komponen batuan tuf dan
batuan beku andesit terubah. Kemudian pada
lokasi lainnya batuan andesit telah terubah
berwarna abu-abu sampai kehijau-hijauan,
memiliki retakan-retakan yang cukup intensif,
mengalami silifikasi yang kuat, dan berasosiasi
dengan urat-urat halus kuarsa, dan urat-urat halus
38
pirit dan kalkopirit . Singkapan tuf breksi
terubah, berwarna abu-abu sampai putih
kemerah-merahan, dicirikan oleh hadirnya
kumpulan mineral ubahan limonit, jarosit, dan
pelapukan berupa oksida mangan.
Di wilayah Gunung Pongkor batuan lebih
didominasi oleh tuf breksi. Sedangkan di wilayah
Kedung Grombyang didominasi oleh batuan
aliran lava andesit-basalt dan dasit, dan sedikit
tuf breksi. Yang paling berbeda dari kedua
wilayah ini adalah keterdapatan batuan diabas
alkali, dengan tekstur ophitic dan intersertal
yang khas di wilayah Kedung Grombyang dan
tidak pernah dijumpai di wilayah Gunung
Pongkor. Perbedaan asosiasi batuan di kedua
wilayah penelitian ini dapat mengindikasikan
kemungkinan terdapatnya sumber batuan
magmatik yang berbeda antara Gunung Pongkor
dan Kedung Grombyang. Sumber magma di
wilayah Gunung Pongkor kaya akan emas
sedangkan Kedung Grombyang tidak. Perbedaan
sumber magma ini kemungkinan besar telah
mengakibatkan tidak terbentuknya cebakan emas
yang besar di Kedung Grombyang. Berbeda
dengan aspek kondisi tektonik, formasi,
komposisi dan umur batuan samping (host rock)
yang berbeda, terdapat kemiripan fenomena
struktur geologi dan zona alterasi yang dijumpai
di lapangan (Tabel 1). Urat-urat kuarsa
termineralisasi yang berkembang di kedua
wilayah ini memiliki arah yang relatif sama,
yaitu Gunung Pongkor berarah baratlaut-tenggara
(U330ºT), sedangkan Kedung Grombyang
U332ºT dan U3ºT/90º. Meskipun memiliki arah
urat yang relatif sama, genetik kedua urat
tersebut belum tentu memiliki hubungan genetik
yang sama, yaitu sebagai struktur yang
berpasangan atau struktur ikutannya, karena
kelurusan struktur segmen Jawa bagian Barat dan
timur nampak pecah di bagian Jawa bagian
tengah. Perbedaan yang muncul terdapat pada
tekstur uratnya, yaitu Gunung Pongkor adalah
sistem urat (vein systems) bertekstur vuggy,
bedding, crustiform, botroidal dan cockade
dijumpai telah mengalami pelapukan, peretakan
lanjut dan berongga-rongga akibat pelarutan oleh
air tanah. Sementara di wilayah Kedung
Grombyang, urat yang dijumpai lebih bertekstur
stockwork dan penyebaran mineral bijih
disseminated.
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Tabel 1. Perbandingan karakterisitik mineralisasi Gunung Pongkor dan Kedung Grombyang
Aspek Geologi dan
Mineralisasi
Gunung Pongkor (Setiawan 2001,
Syafrijal 2005)
Kubah Bayah
Formasi
Umur host
Fm.Bojongmanik
Miosen-Pliosen
Batuan induk
Breksi volkanik, tuf lapili,lava
andesit-basalt, Rhyolit, batulanau (?)
Struktur
Zona alterasi
Pull apart basin, sesar U-S
Propilitik, argilik (paling luas pada
daerah termineralisasi)
Pengamatan laboratorium
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa wilayah
Kedung Grombyang dan Gunung Pongkor
disusun oleh kumpulan batuan-batuan volkanik
yang berbeda, namun memiliki kenampakan zona
alterasi dan asosiasi mineral logam yang sama.
Melalui pengamatan di laboratorium secara
petrografi, mineragrafi dan mikrotermetri inklusi
fluida, karakter ubahan dan mineralisasi di kedua
wilayah ini terdapat beberapa perbedaan (Tabel
2). Zona argilik yang tidak ditemukan di Kedung
Grombyang, di Gunung Pongkor justru
membentuk zona yang cukup luas. Sebaliknya
dengan pembentukkan zona filik, yang dicirikan
oleh kuarsa, serisit dan pirit, tidak terbentuk di
Gunung Pongkor, meskipun penyebarannya
hanya terbatas. Zona propilitik di Gunung
Pongkor pun berbeda dengan Kedung
Grombyang; Karbonat yang dijumpai di Gunung
Pongkor tidak terbentuk di wilayah Kedung
Grombyang. Mineral muskovit yang dapat
dijumpai di daerah Kedung Grombyang pada
zona ubahan propilitik, untuk daerah Gunung
Pongkor, tidak pernah dilaporkan terdapat
muskovit. Dari perbedaan komposisi kumpulan
mineral ubahan ini bisa ditafsirkan bahwa kedua
wilayah ini dipengaruhi oleh karakter fluida yang
Kedung Grombyang
Peg. Selatan Jawa, OAF(Old
Andesite Formation),
Fm. Mandalika
Oligo-Miosen 29-34 juta
tahun (Bemmelen 1949,
Samudra1992, Subandrio
2007), 12-17 juta tahun
(Subandrio,2007)
Porfiri dasit, diabas (alkali),
andesit-basalt, andesit, tuf
dan breksi
Sesar B-Tg, urat U-S (?)
Propilitik, silisifikasi dan
Filik
berbeda. Untuk Kedung Grombyang fluida
dipengaruhi oleh larutan yang memiliki pH
netral, sedangkan daerah Gunung Pongkor lebih
asam, pH rendah. Mineralisasi yang terbentuk
pada sistem Gunung Pongkor disusun oleh logam
polimetalik, yang terdiri dari pirit, kalkopirit,
sfalerit, galena, gutit, lepidokrosit, mangan dan
elektrum. Sedangkan di wilayah Kedung
Grombyang hanya disusun oleh pirit dan
kalkopirit (+kovelit). Kehadiran asosiasi mineral
logam ini mencirikan bahwa di Gunung Pongkor,
proses pengayaan (supergen) mengambil peran
yang penting terhadap pengendapan emas, karena
di wilayah Kedung Grombyang, pengayaan tidak
terjadi cukup kuat seperti Gunung Pongkor. Zona
alterasi yang terbentuk, wilayah Gunung
Pongkor, terdiri dari propilitik, argilik dan
tersilisifikasi. Alterasi yang terbentuk tersebar
luas di sekitar Gunung Pongkor dipengaruhi oleh
larutan hidrotermal asam sampai dekat netral,
disusun oleh ubahan propilitik (klorit, epidot,
kuarsa dan karbonat), argilik (illit, smektit), dan
silisifikasi yang berkembang baik di sekitar uraturat dan di Puncak Gunung Pongkor. Di Kedung
Grombyang alterasi yang berkembang adalah
tipe propilitik (klorit, epidot, kuarsa) dan filik
(serisit, kuarsa dan pirit).
39
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Tabel 2. Perbandingan karakterisitik mineralisasi Gunung Pongkor dan Kedung Grombyang
Parameter Geologi
dan Mineralisasi
Mineralogi ubahan
Gunung Pongkor (Setiawan 2001,
Syafrijal 2005)
Klorit, karbonat, silica, illite/smektit, kaolinit
Mineral bijih
Pirit,kalkopirit, sfalerit, galena, gutit,
(bornit), lepidokrosit, mangan,elektrum
acantihite, emas
Tingkat alterasi
Inklusi fluida
Tipe/karakteristik
Sedang-total terubah
170-230C
Epitermal Au-Ag-Mn vein types, Supergen
enrichment
Umur Mineralisasi
pH fluids
2.05+0.05 (40Ar/39Ar)
Asam sampai mendekati netral
Tekstur urat
Banded and massive, terdapat isian potasium
felspar I/Sm
Pada wilayah Kedung Grombyang, pengayaan
hanya dicirikan oleh pembentukkan Cu sekunder
(kovelit). Mineralisasi di Kedung Grombyang
didominasi oleh pirit dan kalkopirit yang
bertekstur disseminated pada breksi dan aliran
lava andesit-basaltik. Sedangkan di Gunung
Pongkor, selain mineralisasi yang terbentuk
secara primer, terjadi pula pengayaan sekunder
Au dan Mn. Indikasi pengayaan Cu juga dapat
diamati
di
Gunung
Pongkor,
melalui
pembentukkan bornit (Syafrijal, 2005). Ini paling
tidak telah mengkonfirmasi atau telah
menunjukkan bahwa lingkungan Kedung
Grombyang berdasarkan kehadiran muskovit
mengindikasikan telah berada pada lingkungan
yang memiliki suhu pembentukkan yang lebih
tinggi atau paling tidak diatas 270ºC,
dibandingkan dengan Gunung Pongkor pada
suhu sekitar 200ºC (Morrison, 1997).
Berdasarkan
pengukuran
mikrotermometri,
daerah Gunung Pongkor memiliki suhu
homogenisasi (170-230)ºC (Syafrijal, 2005).
Berbeda dengan wilayah Kedung Grombyang
yang memiliki suhu homogenisasi 200-290º,
40
Kedung Grombyang
klorit, epidot dan silika;
pirit, sfalerit dan
kalkopirit; ku,ser, pi
(kov)
pirit, kalkopirit, sfalerit
dan emas, Pengayaan
atau penggantian pirit 2
oleh pirit 2
sedang - total terubah
200-290>350
epitermal mesotermal,
vein and stockwork,
disseminated pyrite and
chalcopyrite
?
netral, menengah
sampai asam
Massiv
>350º (Gambar 7). Data pengukuran tersebut di
atas menunjukkan bahwa Gunung Pongkor
berada relatif lebih atas secara elevasi
dibandingkan dengan Kedung Grombyang.
Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa
mineralisasi yang kaya di elevasi yang sama
seperti Gunung Pongkor, di wilayah Kedung
Grombyang telah mengalami erosi.
REKOMENDASI UNTUK KEGIATAN
EKSPLORASI
Pembentukkan mineralisasi diduga berhubungan
dengan hadirnya intrusi dasit sebagai batuan
yang dianggap pembawa mineralisasi di daerah
ini. Penyebaran endapan logam terutama pada
batuan terubah tipe propilitik, dan pada urat-urat
berara relatif U-S dan TL-BD. Namun demikian
Potensi cebakan mineralisasi di wilayah Kedung
Grombyang tidak berhubungan dengan sistem
urat, melainkan disseminated pada batuan
samping (host rock), khususnya breksi volkanik
dan aliran andesit yang terubah ke dalam tipe
propilitik.
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Mineralisasi emas di wilayah Kedung
Grombyang kemungkinan telah mengalami erosi,
dan dapat diendapkan pada batuan-batuan
sedimen atau epiklastik yang berasal dari batuanbatuan wilayah Kedung Grombyang. Untuk
mendapatkan endapan emas sekunder tersebut
perlu dipetakan atau dilakukan pencontohan
emas pada endapan-endapan sungai aktif di
wilayah Kedung Grombyang dan sekitarnya.
Selain itu untuk mendapatkan data permukaan
yang lebih detail perlu dilakukan pemetaaan
lanjut yang dilengkapi dengan pencontohan dan
analisis yang lebih lengkap. Setelah dilakukan
pemetaan dan analisis geologi geokimia yang
lebih lengkap dan detail, maka eksplorasi perlu
diikuti oleh survey geofisika seperti IP untuk
mendapatkan data bawah permukaannya.
KESIMPULAN
Mineralisasi hidrotermal di daerah Kedung
Grombyang disusun oleh asosiasi batuan yang
berbeda. Meski kedua-duanya terdapat di dalam
struktur utama di Pulau Jawa, dan memiliki arah
urat yang relatif sama yaitu berarah utara-selatan,
namun keduanya tidak memiliki potensi
mineralisasi yang sama. Ini menunjukkan bahwa
hadirnya asosiasi batuan yang berbeda di Kedung
Grombyang dan Gunung Pongkor telah
mencerminkan karakter sumber magma yang
berbeda yang dicerminkan variasi komposisi
mineralogi batuan penyusun wilayah tersebut. Di
wilayah Gunung Pongkor magma asalnya
memiliki kandungan logam yang kaya sedangkan
Kedung Grombyang tidak. Kehadiran alterasi
filik membedakan Kedung Grombyang dengan
Gunung Pongkor yang hanya disusun oleh
alterasi propilitik dan argilik yang dominan.
Selain sumber magma yang berbeda, proses
pengayaan sekunder akibat pelapukan di wilayah
Gunung Pongkor telah memperkaya cebakan
emas di permukaan sampai di kedalaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Kelompok
Penelitian Mineralisasi Hidrotermal: Dr. Iskandar
Zulkarnain yang telah memberikan banyak
koreksi dan masukan untuk memperbaiki
makalah ini, Ahmad Fauzi Ismayanto MT., dan
Ir. Sri Indarto, yang telah memberikan masukan
dan diskusi yang berharga. Teman-teman
GeoLabs Pusat Survey Geologi yang ikut
membantu mengumpulkan dan menyiapkan
sampel untuk dianalisis. Terima kasih Kepada
Dewan Redaksi yang telah memberikan
kesempatan penulis, menerbitkan makalah ini,
dan semua pihak yang telah membantu hingga
tulisan ini dapat selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki A. Sumanagara, D.A., Sinambela D.,
1994, The Gunung Pongkor gold-silver
deposits, West java, Indonesia.
Bemmelen, R. W. van, 1949. The Geology of
Indonesia, Vol. IA, General Geology,
Martinus
Nijnhoff,
The
Hague,
Netherlands.
Haas, J. L. (1971) The effect of salinity on the
maximum thermal gradient of a
hydrothermal system at hydrostatic
pressure. Econ. Geol., 66, 940-946.
Hartono, 2008, Resume
Hasil Kegiatan
Eksplorasi Emas, dan Mineral Penyerta
Daerah Gn. Gembes Dsk., Kabupaten
Pacitan Provinsi Jawa Timur, Overview
Mineralisasi Bijih Tipe Hidrotermal Di
Pegunungan Selatan: Fokus daerah
Pacitan,
Wonogiri
dan
Ponorogo,
Kumpulan makalah, Pertemuan Teknis
Potensi Endapan Mineral Logam, Daerah
Kabupaten Pacitan, Pacitan 12-13 Maret
2008
Idrus A., Hartono, Setiawan I., Warmada I W.,
Yudha, R. K. 2009, Keberadaan dan
Karakteristik Endapan Urat Kuarsa
Epitermal di Gunung Tukung, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur: Implikasi pada
Eksplorasi Emas di Pegunungan Selatan,
International Conference Earth Science
And Technology Yogyakarta 6-7 August.
Ismayanto, A.H., Sumantri, T.A.F., Setiawan I.,
Sudarsono,
Mariana
M.,
2007.
Interpretasi Struktur dari Peta ReliefShaded Anomali Bougeur Regional
kaitannya dengan lokasi keterdapatan
mineralisasi di Pulau Jawa, Seminar
Geoteknologi, LIPI.
41
Setiawan Iwan dan Sudarsono/ Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 20 No. 1 (2010), 29-42.
Milesi, J.P. marcoux, E. Sitorus, T.
Simandjuntak, M., Leroy, J. And Baily, L.
(1999), Pongkor (West Java) : A Ploocene
supergene enriched epithermal Au-Ag(Mn) deposit. Mineral Deposit, 34, 131149.
Morrison, K., 1997, Important Hydrothermal
Minerals
and
their
Significance,
Geothermal and Mineral Service Division
Kingston Morrison Limited, Seventh
Edition,.
Priadi, B., 1999, Piroklastika dan batuan
magmatik Neogen di Sekitar Pacitan, Jawa
Timur,
Research
Report
from
JBPTITBPP/
2000-12-05;;00,
[email protected].
Samodra, H., Gafoer, S. dan Tjokrosapoetro, S.,
1992. Geologi Lembar Pacitan, Jawa,
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
42
Setiawan, I., Sumantri T.A.F., Priadi B., Sukarna
D, 2007, Mineralisasi Cu, Mo, Au dan
Logam Dasar di Kali Grindulu, Daerah
Tegalombo, Pacitan, Jawa Timur,
Proceedings Joint Convention Bali, The
32nd HAGI, The 36th IAGI And IATMI,
Annual Convention And Exhibition.
Subandrio, J., 2007, Petrogenesa Batuan
Volkanik Berdasarkan Geokimia dan
Mineralogi, di Daerah Pacitan dan
sekitarnya, Tesis Magister, Program
Pascasarjana
Geologi Universitas
Padjadjaran, Tidak dipublikasi.
Sukirno D., 1997. Prospective of Base Metal
Minerals in Indonesia, Directorate of
Mineral Resources.
Syafrizal, Akira Imai, Yoshinobu Motomura, dan
Watanabe K., 2005, Characteristics of
Gold Mineralization at the Ciurug vein,
Pongkor Gold Silver Deposit, West Java
Indonesia, Resource Geology, vol. 55, no.
3, 225-238.
Uytenbogaardt, and Burke, E.A.J., 1971, Tables
for Microscopic Identification of Ore
Minerals, Second Revised Edition,
Elsevier Scientific Publishing Company.
Download