1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan hukum. Pembangunan dibidang ekonomi sebagaimana dimasud dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) periode 1999-2004 adalah untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kokoh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan1. Hal tersebut sejalan dengan arah kebijakan pembangunan dibidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Bahwa dalam usaha meningkatkan kebutuhan konsumtif, yang berorientasi produktif setiap masyarakat baik sebagai perorangan atau badan usaha, sangat membutuhan pendanaan, dimana sumber pendanaan tersebut dapat diperoleh melalui lembaga bank maupun lembaga non bank lainnya. Bank merupakan salah satu sumber pendanaan bagi masyarakat yang sudah 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan, nomor : 4 Tahun 1996. 2 memasyarakat, salahsatu usahanya adalah menyalurkan kredit dalam bentuk pinjaman. Karena demikian pentingnya peranan bank dalam penyaluran kredit untuk proses akselerasi usaha ekonomi masyarakat guna mendukung terlaksananya proses pembangunan, maka seharusnya dalam penyaluran .kredit, pemberi dan penerima kredit serta pihak lainnya yang terkait, khususnya pemberi kredit semestinya mendapat perlindungan yang optimal dari negara. Dalam aturan hukum yang ada, perlindungan kepada para pihak diberikan melalui suatu lembaga hak jaminan, sehingga melalui lembaga ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait. Hal ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk mengantisipasi timbulnya resiko bagi pemberi kredit atau kreditur dimasa yang akan datang. Penyaluran pinjaman atau kredit yang dilakukan oleh pihak bank sebagai lembaga perantara (intermediary) keuangan kepada masyarakat yang membutuhkan dana atau modal dalam berusaha, selalu dituangkan dalam suatu perjanjian sebagai landasan hubungan hukum diantara para pihak, yaitu antara kreditur dan debitur. Adanya perjanjian pinjam meminjam uang tersebut, mutlak dibutuhkan lembaga jaminan agar memberikan kepastian bagi pengembalian pinjaman yang diberikan. Keberadaan lembaga jaminan sangat dibutuhkan karena dapat memberi jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemberi kredit atau kreditur dan penerima pinjaman atau debitur. Dengan demikian ada jaminan kepastian bagi kreditur jika debitur suatu waktu wanprestasi dalam pelaksanaan 3 pemenuhan prestasinya2. Sebelum Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda benda yang berkaitan dengan tanah atau lasim disebut UUHT diberlakukan, mengenai lembaga jaminan atas tanah dikenal hipotheek (selanjutnya akan dituliskan hipotik) dan credietverband. Untuk lembaga jaminan hipotik diatur dalam Buku II Burgelijk Wetboek (B.W) atau Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPdt) dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232, sedang lembaga jaminan credietverband diatur dalam staatblad tahun 1908 nomor 542 yang diubah dengan staatblad 1937-190. Namun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau biasa disingkat dengan UUPA melalui Pasal 51 sudah diamanatkan bahwa akan ada aturan tentang hak tanggungan dikemudian hari yang diatur melalui undang-undang. Dan setelah menunggu beberapa lama, maka lahirlah Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) 3 nomor : 4 Tahun 1996, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam tesis ini. Karena Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), maka tujuan untuk memberi kepastian hukum juga harus tampak dalam UUHT dan selanjutnya akan menjadi pegangan untuk menafsirkan UUHT, artinya agar ketentuan-ketentuan hak tanggungan dan peraturan pelaksananya harus ditafsirkan sebesar mungkin 2 Bank Indonesia, 1998, Urusan Kredit, Kumpulan Ketentuan Kredit Program dan Bantuan Teknis, hlm.7 3 Maria S.W. Sumardjono, 1997, Kredit Perbankan Permasalahannya Dalam Kaitannya Dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurmal Hukum , No.7, Vol.4, hlm.85. 4 kepastian hukum pada umumnya dan kepastian hukum mengenai hak atas tanah pada khususnya4. Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan seperti itu kiranya selalu akan menjadi bahan pertimbangan dalam mengeluarkan peraturan-peraturan dan peraturan pelaksana lebih lanjut dari UUPA dan UUHT, serta diperhatikan pula tingkatan-tingkatan peraturan perundang-undangan dan juga agar peraturan pelaksana itu selanjutnya disusun secara sistimatis agar tujuan mencapai kepastian hukum terhadap obyek hak tanggungan khususnya hak atas tanah harus selalu menjadi prioritas5. Menurut Maria W. Sumardjono6, bahwa sejak UUHT dinyatakan berlaku, maka lembaga jaminan hipotik dan credietverband sepanjang menyangkut tanah berakhir, maka berakhir pula masa tugas serta peranannya. Namun menurut Herowaty Poesoko bahwa, pendapat Maria tersebut diatas tidak semuanya benar, sebab menurut Pasal 26 UUHT, eksekusi hipotik yang ada sejak mulai berlakunya UUHT, masih berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 14 UUHT7. Selanjutnya Yudha Agus Hernoko mengatakan bahwa8, dalam praktek perbankan untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditur pada debitur 4 J.Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.4-5 (selanjutnya disebut sebagai J. Satrio I). 5 Ibid, hlm.5 6 Ibid, hlm.85 7 Op cit, hlm.86 8 Agus Yudha Hernoko, 1998, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, hlm.7. 5 maka dibutuhkan tambahan pengamanan berupa jaminan khusus, yang banyak digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit didasarkan pada pertimbangan bahwa tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi. Lembaga jaminan oleh Perbankan dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan jaminan hak tanggungan. Hal ini didasari atas adanya kemudahan dalam mengidentifikasi obyek hak tanggungan yang jelas dan pasti eksekusinya. Disamping itu hutang yang dijamin dengan hak tanggungan harus didahulukan pembayarannya dibanding tagihan-tagihan lainnya dari uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek hak tanggungan. Dengan adanya kemudahan atas hutang yang dijamin dengan hak tanggungan maka akan mempercepat setiap pelunasan piutang kreditur, sehingga dana yang telah diberikan dapat segera dikembalikan oleh debitur, dan dengan demikian dana tersebut dapat digunakan kembali untuk keperluan refinance oleh kreditur dalam bentuk penyaluran kredit baru guna kepentingan perputaran dana dalam rangka menunjang dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung juga akan berdampak pada perekonomian nasional. Dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT, memberi kemudahan pada pemegang hak tanggungan apabila debitur cidera janji. Berdasarkan pasal tersebut, pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan hak tanggungan dapat 6 dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu9 : 1. Penjualan Dibawah Tangan Menurut penjelasan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUHT, bahwa pada prinsipnya eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk setiap obyek hak tanggungan. Namun jika penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga yang tinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberi kemungkinan untuk melakukan eksekusi melalui penjualan dibawah tangan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini10, dalam rangka penjualan dibawah tangan, masalah yang perlu dipecahkan adalah mengenai keabsahan penjualan obyek hak tanggungan oleh bank, berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi hak tanggungan. Untuk eksekusi dibawah tangan pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan yang antara lain adanya kesepakatan antara pihak pemberi hak tanggungan (debitur) dengan pihak penerima hak tanggungan (kreditur). Menurut Sutarno11, dalam praktek penjualan jaminan berdasarkan surat kuasa tidak mudah dilaksanakan karena Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menghendaki debitur hadir sendiri untuk menandatangani akta jual beli, sebab dikuatirkan suatu saat debitur menuntut pembatalan jual beli jika penjualan 9 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 4 (selanjutnya disebut Herowati Poesoko I). 10 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, suatu kajian mengenai undang-undang, Alumni, Bandung, hlm.67 11 Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, CV.Alfabet, Bandung, hlm.293. 7 jaminan debitur ternyata harganya dibawah harga pasar, sehingga sangat merugikan pihak debitur atau pemilik jaminan. Kadang-kadang terjadi kreditur yang menerima kuasa dari debitur untuk menjual jaminan berbuat berbuat nakal dengan menjatuhkan harga barang jaminan tersebut jauh dibawah harga seharusnya. Untuk itu guna menghindari penjualan jaminan dibawah harga pasar, maka jaminan itu sebelum dijual perlu dilakukan penilaian oleh konsultan penilai independen atau apraiser, kemudian PPAT membuat akta jual beli dengan berpedoman pada nilai atau harganya yang diberikan oleh penilai independen tersebut. 2. Tittle Executorial Bahwa pembentuk undang-undang hak tanggungan juga menciptakan pengecualian penyelesaian hutang tidak semata-mata melalui gugatan tetapi dapat memanfaatkan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar hukum untuk melakukan eksekusi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 14 UUHT, bahwa : “Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata, Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pegadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah" Berdasarkan jaminan ini, maka kreditur yang telah memegang sertifikat hak tanggungan, jika ternyata debitur cidera janji, dapat untuk melakukan penagihan piutang, kreditur dapat mengajukan eksekusi langsung atas jaminan tanpa harus 8 mengajukan gugatan12. Herowaty Poesoko mengatakan bahwa13, untuk eksekusi yang menggunakan tittle eksekutorial didasarkan atas grosse acte sertifikat hak tanggungan (dulu mengunakan grosse acte hipotik) dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte ini memang mempunyai hak eksekutorial, maka dalam hal ini pelaksanaan penjualan barang jaminan debitur tunduk pada hukum acara perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 H.I.R (Het Herziene Inlands Reglement atau Reglement Indonesia yang Diperbaharui)/ Pasal 258 RBg (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura/ Reglement Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura), yang prosedur pelaksanaannya atau eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana suatu putusan pengadilan, yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. 3. Parate Executie Menurut Subekti, parate executie, adalah14: menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk'selanjutnya menjual sendiri barang tersebut. Majalah Varia Peradilan menyebutkan bahwa parate executie adalah15, eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan (gadai 12 Ibid, hlm.321 Op cit, hlm.5 14 Subekti, 1990, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, dalam: Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yusticia Peradilan, MARI, Jakarta, hlm.69 15 Majalah Hukum Varia Peradilan, 1996, Th.XI, nomor 124, Januari, hlm.149-150. 13 9 dan hipotik) tanpa melalui bantuan atau campur tangan pengadilan, melainkan hanya melalui bantuan Kantor Lelang Negara saja. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dalam Sutarno bahwa16, Parate Eksekusi merupakan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan yang tidak memerlukan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan, tetapi dapat dilakukan langsung oleh Kantor Lelang Negara, karena Parate Executie artinya menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya tanpa perantara Hakim. Menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diartikan bahwa penjualan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1211 KUHPdt, yaitu dilakukan dengan bantuan langsung oleh Kantor Lelang Negara tanpa memerlukan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri. Dari pendapat tersebut diatas, dapat dipahami dengan jelas bahwa pelaksanaan parate executie merupakan cara termudah, murah dan sederhana bagi kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya terhadap debitur jika debitur wanprestasi, dibanding dengan eksekusi yang dilakukan melalui bantuan atau campur tangan pengadilan. Ketentuan eksekusi jaminan melalui parate executie (beding vaneigen matige verkoop) diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) pasal 6, sedang ketentuan hipotik tentang parate executie diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPdt. Tentang parate executie, undang-undang telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi jaminan, tetapi dalam pelaksanaannya Kantor Lelang selama ini tidak bersedia melakukan 16 Mariam Darus Badrulzaman, dalam buku Sutarno 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, CV. Alfabet, Bandung, hlm.325. 10 pelelangan berdasarkan parate exectuie. Jika kembali memperhatikan apa yang terjadi dalam kurun waktu sejak diberlakukannya UUPA Nomor 5 Tahun 1960, sampai dengan diberlakukannya UUHT Nomor 4 Tahun 1996, maka parate executie tidak dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat khususnya oleh pihak perbankan yang umumnya dalam kedudukan sebagai kreditur, hal ini disebabkan karena adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor : 3210 K/Pdt/1984, tertanggal 30 Januari 1986, dimana salahsatu ratio decidendi putusan MA dalam perkara itu bahwa jika dalam melakukan pelelangan atas perintah tergugat I dalam hal ini Bank-Kreditur, dimana perintah pelelangan tersebut tidak atas perintah (fiat) Ketua Pengadilan Negeri, maka menurut ketentuan dalam MARI tersebut, bahwa lelang umum itu bertentangan dengan Pasal 224 H.I.R, sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah. Menurut Herowaty Poesoko bahwa17, dan celakanya lagi ternyata Putusan MARI ini didukung oleh Buku II Pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Menurut M.Yahya Harahap18, bahwa putusan MARI-No. 3210 K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986 tersebut sering diperdebatkan berbagai pengkajian hukum, karena menurut kalangan putusan ini telah mematikan asas eigenmachtige verkoop yang diberikan oleh Pasal 1178 ayat 2 KUHPdt. Oleh karenanya putusan MARI itu 17 Herowati Poesoko, 2006, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 6 (selanjutnya disebut Herowati Poesoko II). 18 M.Yahya Harahap, 1993, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grosse Acte Serta Putusan Pengadilan dan Arbiterasi dan Standar Hukum Eksekusi, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm.305. 11 harus segera diluruskan. Pendapat berbeda di sampaikan oleh Budi Harsono, dalam ceramahnya, hukum jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, menyatakan bahwa putusan MARI No. 3210 K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986 tersebut merupakan salahsatu kemudahan yang tidak dapat dimanfaatkan, maksudnya dengan adanya putusan MA tersebut agar parate executie terlebih dahulu harus mendapatkan fiat Ketua Pengadilan Negeri. Sejak berlakunya UUHT Nomor 4 Tahun 1996, Herowaty Poesoko, mengatakan bahwa19, bank sebagai kreditur jarang mengajukan permohonan pelelangan kepada Kantor Lelang Negara berdasarkan jaminan yang diberikan dalam pasal 6 UUHT, sebab permohonan tersebut akan ditolak oleh Kantor Lelang Negara dengan alasan bertentangan dengan putusan MARI Nomor : 3210 K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986 dan Buku II Pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Karena masalah ini pulalah sehingga banyak jaminan yang dikuasai oleh bank sebagai kreditur tidak dapat dilelang eksekusi, akibatnya barang jaminan kredit macet tidak diminati untuk dibeli oleh masyarakat dengan alasan akan menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Masalah hukum yang dapat timbul, misalnya jika lahan yang telah dibeli tersebut harus dikosongkan, sebab pengadilan akan menolak untuk menerbitkan perintah pengosongan, dengan alasan eksekusinya tidak melalui pengadilan. Dan jika tidak perlu ada pengosongan karena tidak ada bangunan diatas tanah tersebut, 19 Ibid, hlm.19 12 juga tetap akan menimbulkan gugatan baru dikemudian hari, sehingga eksekusi jaminan tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Selanjutnya menurut M. Khoidin bahwa20, keberadaan parate executie sesudah berlakunya undang-undang nomor 4 Tahun 1996 juga tidak dapat diberlakukan secara efektif dengan alasan seperti yang dikemukan tersebut diatas. Bahwa didalam perkembangannya parate executie diwilayah Jakarta, Bandung dan Semarang, yang diajukan oleh kreditur untuk melakukan penjualan dimuka umum (lelang) atau permohonan eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan melalui perantara Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sekarang telah berubah menjadi KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang), dalam kenyataannya KPKNL tetap meminta agar pelaksanaan eksekusi tersebut harus mendapatkan fiat Ketua Pengadilan dimana obyek hak tanggungan tersebut berada. Alasannya karena, KPKNL pernah mengalami pengalaman pahit dari pihak debitur atau pihak ketiga yang mencaricari alasan sehingga menimbulkan perkara baru yang mengkaitkan atau menggugat KPKNL21. Sehubungan dengan adanya kenyataan dimana parate executie dalam prakteknya tidak dapat terlaksana dengan baik dan serta merta terhadap obyek hak tanggungan, dan hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam 20 M.Khoidin, 2003, Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan, Surabaya, hlm. 277. Op cit, hlm.8 21 13 pelaksanaannya, maka penulis perlu untuk mencari tahu penyebab apa yang menjadi kendala atau hambatan dalam pelaksanaan parate executie sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang-undang, baik oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) maupun oleh jaminan yang diberikan melalui UndangUndang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan peraturan-peraturan lainnya sehubungan dengan Parate Executie. Karena dengan adanya kendala atau hambatan tersebut, dapat menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para pihak khususnya bagi kreditur. Dilain sisi, dengan adanya kendala dalam pelaksanaan parate executie, dapat menjadi hambatan yang sangat serius bagi investor baik domestik maupun asing atau internasional yang akan melakuan investasi di Indonesia. Dan lebih khususnya lagi, bagi kreditur atau bank atau lembaga keuangan lainnya yang telah menyalurkan dananya dalam bentuk kredit dengan harapan, jika suatu saat debitur cidera janji akan dengan mudah, sederhana dan murah untuk melakukan esekusi melalui jaminan parate executie, namun ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah diamanatkan dengan jelas dan gamblang dalam UndangUndang Hak Tanngungan. Jika ditelusuri dengan seksama dalam peraturan yang ada, maka pengaturan parate executie dalam UUHT, terdapat saling pertentangan dan kerancuan. Pertentangan dan kerancuan pengaturan parate exetutie dapat diperhatikan jika menghubungkan antara Pasal 6 UUHT dengan penjetasan umum angka 9 UUHT, dimana dalam pasal 6 disebutkan bahwa pelaksanaan parate executie melalui 14 pelelangan umum, sedangan menurut penjelasan umum angka 9, menyatakan bahwa parate executie pelaksanaannya mendasarkan pada pasal 224 HIR22. Pasal 224 HIR, pengaturan eksekusinya ditujukan kepada grosse acte hipotik dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut dimaksudkan memang mempunyai hak eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte tersebut mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan demikian eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan pada suatu putusan pengadilan, yang harus dilaksanakan atas perintah atau fiat Ketua Pengadilan. J.Satrio mengatakan bahwa23, didalam doktrin kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti bahwa kalau debitur wanprestasi, kreditur bisa melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa harus minta fiat Ketua Pengadilan Negeri, tanpa harus mengikuti aturan main dalam hukum acara, untuk itu ada aturan main sendiri, tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah, sederhana dan biayanya lebih murah. Adalah janggal sekali jika ada yang mengkaitkan parate eksekusi dengan Pasal 224 HIR sebab yang diatur dalam Pasal 224 HIR adalah eksekusi berdasarkan grosse acte. Karena grosse acte yang disebutkan dalam pasal tersebut dinyatakan mempunyai kekuatan eksekutorial atau mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan yang telah mempunyai 22 Gede Sudharta, 1989, Pandangan Segi Hukum dan Praktek Mengenai Surat Pangakuan Hutang dan Wewenang untuk Menjual Barang Jaminan, Media Notariat, No.12-13, Thn.IV, hlm.99 23 Op cit, hlm.61-62 15 kekuatan yang tetap, maka pelaksanaannya seperti juga pelaksanaan suatu keputusan pengadilan selalu harus dengan persetujuan Ketua Pengadilan. Kalau melaksanakan parate executie disamakan dengan melaksanakan eksekusi berdasarkan grosse, maka apa gunanya orang memperjanjikan parate executie, bukankah ia sudah mempunyai grosse acte sertifikat Hak Tanggungan24. Dengan adanya perbedaan penjelasan sebagaimana dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 6 dan penjelasan umum angka 9 tersebut diatas, maka pengaturan parate executie dalam UUHT Nomor 4 Tahun 1996, dapat memberi akses atau sumbangan pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi jaminan yang diberikan berdasarkan hak tanggungan, dengan demikian secara sistimatis dan menyeluruh kondisi ini akan menimbulkan implikasi buruk bukan hanya pada bidang hukum, tetapi juga pada bidang pelaku ekonomi yang akan menanamkan modalnya atau berinvestasi di Indonesia. Menurut A S Van Nierop, dalam bukunya Hypotheekrecht, Serie Publik en Privaatrecht bahwa25, parate eksekusi yang diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPdt, mempunyai peranan yang sedemikian pentingnya sehingga ada yang menganggap sebagai salah satu tiang pokok atau utama bagi bangunan hipotik. Selanjutnya M. lsnaeni mengatakan bahwa26, benteng penangkal yang disediakan oleh perangkat hukum, yang beberapa hal tidak efektif dalam menangkis resiko kerugian. Keadaan ini tentunya dapat mendatangkan keresahan dalam rangka upaya untuk mempercepat pertumbuhan 24 J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, PT. Citra Aditya, Bandung, hlm.62 25 A.S Van Nierop, dlm buku Herowaty, Op cit, hlm.10 26 M. Isnaeni, 1996, Hipotek Pesawat Udara Di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya, hlm.43 16 ekonomi yang sedang dilaksanakan saat ini. Perangkat hukum seperti peraturan tentang Parate Executie yang semestinya dapat diandalkan dan dibanggakan agar dapat ikut membantu menopang era pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Selanjutnya dikatakan M. Isnaeni bahwa, dengan lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) jangan diartikan bahwa perangkat yang dibuat lalu menjadi sempurna, bagaimanapun undang-undang bukan merupakan produk final, namun undang-undang merupakan langkah awal untuk terbentuknya hukum yang lebih bercitra sebagai suatu proses yang terus tumbuh berkepanjangan sesuai dengan tuntutan kebutuhan sosial27. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo menegaskan bahwa28, undang-undang tidak mungkin lengkap. Undang-Undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum oleh Hakim. Demikian halnya dengan lahirnya UUHT yang merupakan pembaharuan atas lembaga jaminan atas tanah, sebagai pengganti hipotik dan credietverband. Seharusnya essensi pembaharuan hukum menurut Peter Mahmud29, adalah pembaharuan nilai-nilai hukum bukan sekedar pembaharuan aturan hukum atau pembaharuan substansi hukumnya. 27 Ibid, hlm.28 Sudikno Mertokusumo, A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm.8. 29 Peter Mahmud Marzuki, 2002, Filosofi Pembaharuan Hukum Indonesia, Jurnal Yustika Hukum dan Keadilan, Vol.5, Nomor 1, hlm.18-19. 28 17 Selanjutnya Peter Mahmud mengatakan bahwa30, berdasarkan nilai-nilai baru tersebut dibangun substansi hukum yang baru. Setelah pembangunan substansinya dibuat prosedur penegakannya dalam bentuk hukum formal aturanaturan yang bersifat prosedural tersebut tidak boleh menyisihkan atau menyimpangi ketentuan yang bersifat substantial. Sedang ketentuan-ketentuan yang bersifat substantif harus merefleksikan nilai-nilai hukum, artinya ketentuan itu tidak begitu saja dituangkan tanpa adanya ratio legis yang berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya berdasarkan apa yang dikemukakan diatas, maka dengan lahirnya suatu peraturan hukum dalam UUHT yang mengatur eksekusi khusus tentang parate executie masih dibutuhkan suatu pembahasan yang lebih mendalam agar peraturan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, berstandar ganda dan penganuliran atau penyepelehan lembaga parate executie dalam praktek hukum. Hal ini harus segera dihindari atau diminimalisir agar lembaga parate executie dapat menjadi tiang pokok yang utama bagi lembaga jaminan hak tanggungan dalam upaya pembangunan hukum yang komprehensif, terpadu dan menyeluruh, khususnya dalam bidang hukum jaminan. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok masalah yang dapat penulis rumuskan adalah : 1. Bagaimana Hubungan Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan dalam Ketentuan 30 Ibid, hlm.19. 18 Undang-Undang Hak Tanggungan?. 2. Bagaimana Pelaksanaan Parate Executie terhadap Obyek Hak Tanggungan dalam Penyelesaian Kredit Macet pada perbankan di Makassar?. 3. Bagaimana Peranan Parate Executie memberi kepastian hukum dalam penyelesaian kredit macet?. C. Keaslian Penelitian Keaslian Penelitian menurut Maria S.W. Sumardjono31, adalah suatu masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan. Berdasarkan informasi dan hasil penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Gadjah Mada, sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul “Kepastian Hukum Parate Executie Terhadap Obyek Hak Tanggungan dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Namun ada beberapa penelitian yang mempunyai tema hampir sama tetapi pokok permasalahannya berbeda, yaitu : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Erma Yuni Mastuti dengan judul “Penyelesaian Kredit Macet Melalui Parate Eksekusi Hak Tanggungan pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV di Jakarta sebagai perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dan pembeli lelang” Pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah 31 hlm. 18. Maria S.W. Sumardjono, 2001, “Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian” Jakarta, Gramedia, 19 Mada Yogyakarta tahun 2009. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah bagaimanakah penyelesaian kredit macet melalui parate eksekusi hak tanggungan pada kantor pelayanan kekayaan Negara dan lelang (KPKNL) Jakarta IV. Hasil dari penelitian tersebut adalah pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan melalui KPKNL ini disamping dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak bank dalam pengembalian piutangnya, juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi pembeli lelang, hal ini terkait dengan belum adanya peraturan mengenai pengosongan obyek lelang. Selain hal itu, terdapat beberapa kasus dalam pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan yang belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut karena adanya faktor dari pihak eksternal yaitu dari pihak Badan Pertanahan Nasional dan pihak penilaian independen, namun hal tersebut tidak mempengaruhi KPKNL dalam melaksanakan lelang32. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ronald T. Mangalik dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi”. pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012. Pokok permasalahan penelitian tersebut adalah mengenai eksistensi dan perlindungan hukum pemegang hak tanggungan pertama dalam melakukan parate eksekusi terhadap obyek hak tanggungan. Hasil dari penelitian tersebut adalah eksistensi pemegang hak tanggugan pertama belum sepenuhnya diakui dalam melakukan 32 Erna Yuni Mastuti, 2009, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Parate Eksekusi Hak Tanggungan Pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV di Jakarta Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dan Pembeli Lelang, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm 13. 20 parate eksekusi, karena adanya inkonsistensi peraturan tentang prosedur pelaksanaan parate eksekusi, disatu sisi harus melalui pelelangan umum tanpa fiat ketua pengadilan negeri, disisi lain pelaksanaanya harus melalui fiat ketua pengadilan negeri. Parate eksekusi yang merupakan hak kreditur menjadi kabur dan bahkan dapat dikatakan terjadi konflik norma. Bentuk perlindungan hukumnya bagi kreditur pemegang hak tanggungan, telah dilakukan sepenuhnya dalam hal parate eksekusi terhadap obyek hak tanggungan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, dan berdasarkan Pasal 6 UUHT, yaitu hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) adalah hak berdasarkan Undang-Undang, jadi tanpa perjanjianpun, hak itu sudah lahir33. Perbedaan pokok dan yang paling mendasar antara penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah pada penelitian ini, penulis mempersoalkan hubungan antara prinsip-prinsip hukum jaminan dan asas-asas UUHT, pelaksanaan dan penerapan parate executie yang tidak sesuai dengan Pasal 6 UUHT, adanya perbedaan penafsiran pasal-pasal UUHT, perbedaan interpretasi diantara pemangku kepentingan atas pengertian parate executie sehingga menimbulkan perbedaan pelaksanaan dilapangan, dimana hal ini menimbulkan ketidak pastian hukum. Penelitian dilaksanakan di Makassar, khususnya di bank BNI 46, KPKNL dan Pengadilan Negeri, dimana penulis menemukan pelaksanaan 33 Ronald T. Mangalik, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Parate Eksekusi, Tesis, Program Studi Magister Kenotaritan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 8 21 Parate Executie sudah dijalankan sesuai Pasal 6 UUHT, walaupun belum sepenuhnya, karena ada beberapa bank masih belum melaksanakan dengan alasan belum ada peraturan pelaksanan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUHT. D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui eksistensi dan efektivitas undang-undang khususnya dalam hal ini Undang-Undang Hak Tanggungan, sebagai berikut: a. Untuk membuktikan bahwa asas-asas undang-undang hak tanggungan sejalan, sesuai dan terkandung dalam prinsip-prinsip umum hukum jaminan. b. Untuk membuktikan bahwa parate executie berperan besar dalam usaha penyelesaian kredit macet yang terjadi pada perbankan atas obyek hak tanggungan dengan ketentuan bahwa aturan-aturan yang yang ada dalam undang-undang hak tanggungan dan peraturan pelaksana lainnya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai aturannya, optimal dan konsisten. c. Untuk membuktikan bahwa parate executie yang diatur dalam undang-undang hak tanggungan nomor : 4 Tahun 1996, dapat memberi kepastian hukum kepada para pihak khususnya kreditur dalam upaya mempercepat penyelesaian kredit macet, dengan catatan dilakukan penerapan dan pelaksanaan yang konsisten, sistimatis dan menghormati asas hierarkhi peraturan perundangundangan yang berlaku. 22 E. Manfaat Penelitian Manfaat Penelitian ini penulis membedakan dalam dua manfaat yaitu, a. Manfaat teoritis. Pembahasan ini menggunakan pendekatan empiris, dan juga pendekatan doktrinal, hasilnya diharapkan berguna bagi kepentingan pengembangan teori dan ilmu pengetahuan hukum tentang Kepastian Hukum Parate Executie Terhadap Obyek Hak Tanggungan dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum jaminan dalam memberi kepastian hukum bagi Kreditur, Debitur dan Pihak-Pihak terkait lainnya. b. Manfaat praktis. Yang utama adalah mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan masyarakat khususnya bagi kreditur, sehingga dapat dijadikan masukan dalam usaha memperbaiki dan menyempurnakan aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan parate executie dikemudian hari. Dan diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah, DPR, dan Institusi terkait lainnya agar dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dapat memberi kepastian hukum.