BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pasang surut laut adalah fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasang surut, hal ini dikarenakan jaraknya yang dekat dengan bumi. Selain gravitasi bulan, faktor lokal juga mempengaruhi kondisi pasang surut laut di suatu perairan. Faktor lokal yang mempengaruhi kondisi pasang surut laut di suatu perairan contohnya yakni topografi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, bentuk pantai dan sebagainya. Adanya faktor lokal yang berbeda-beda pada setiap lokasi perairan menyebabkan berbagai lokasi perairan dapat memiliki karakter pasang surut yang berbeda (Wyrtki, 1961). Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perubahan karakter pasang surut di perairan Indonesia. Menurut Ingham (1975) kondisi pasang surut akan berubah setiap 15 km. Dalam bukunya, yakni sea surveying disebutkan juga bahwa dalam pengukuran pasang surut laut pada area yang luas, stasiun pasang surut hendaknya dipasang sekurang-kurangnya pada jarak 15 km antar stasiun pasutnya. Jika antar stasiun pasang surut memiliki bentuk kurva pasang surut yang berbeda, maka jarak antar stasiun pasang surut perlu diperapat lagi. Dari teori Ingham tersebut, belum pernah dilakukan penelitian apakah kondisi pasang surut benar-benar berubah signifikan seiap 15 km. Pada penelitian ini ditentukan bagaimana perubahan kondisi pasang surut laut setiap 15 km. Konidisi pasang surut yang dimaksud dalam penelitian ini yakni nilai amplitudo komponen harmonik utama O1, K1, M2 dan S2. Fluktuasi amplitudo dari keempat komponen harmonik utama pasang surut, sangat menentukan kondisi pasang surut di suatu perairan (Pinet, 1992). Untuk dapat memperoleh nilai amplitudo komponen harmonik utama pada setiap interval 15 km, digunakan model pasang surut global dan regional. Terdapat tiga model pasut yang digunakan dalam penelitian ini yakni model pasang surut TPXO7-Atlas, FES 2012, dan model regional Badan Informasi Geospasial (BIG). Tiga model tersebut digunakan karena sudah pernah 1 2 dilakukan penelitian yang mengevaluasi ketelitian ketiga model tersebut di perairan Pulau Jawa. Penelitian ini berkonsentrasi di perairan selatan Jawa. Hal ini dikarenakan perairaan selatan Jawa merupakan salah satu perairan dengan garis pantai yang panjang, namun masih sedikit terdapat stasiun pasang surut laut di wilayah pesisirnya. Perubahan kondisi pasang surut menjadi penting untuk diketahui ketika terdapat jumlah stasiun pasang surut yang sedikit, dengan mengetahui pola perubahan kondisi pasang surut dapat diketahui sampai sejauh mana satu stasiun pasang surut mampu menggambarkan karakteristik pasang surut laut. Hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam proses densifikasi stasiun pasang surut. Selain itu sudah pernah dilakukan penelitian yang membandingkan kondisi pasang surut dalam hal ini nilai LAT (Lowest Astronomical Tide) pada dua stasiun pasang surut yang berada di selatan Jawa, yakni stasiun Prigi dan Sadeng. Nilai LAT erat kaitannya dengan komponen harmonik utama, karena untuk memperoleh nilai LAT diperlukan nilai amplitudo komponen harmonik utama. Nilai LAT pada stasiun pasang surut Prigi dan Sadeng berbeda jauh dikarenakan jaraknya yang lebih dari 15 km (Syahrullah, 2015). Nilai komponen harmonik utama pada stasiun pasang surut yang ada di selatan Jawa, yakni Prigi dan Sadeng, mungkin saja juga berbeda seperti nilai LAT nya karena jaraknya yang jauh. Belum ada kajian mendalam mengenai bagaimana perubahan kondisi pasang surut secara mendalam tiap 15 kmnya di perairan selatan Jawa. Jika dilihat dari segi fisiografi, perairan selatan Jawa merupakan bagian dari lempeng Samudera Hindia yang merupakan kerak tipis yang ditutupi laut dengan kedalaman 1000-5000 meter (Lubis, 2009). Perairan selatan Jawa juga berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, hal ini tentunya juga dapat membengaruhi perubahan kondisi pasang surut di selatan Jawa. Berdasarkan penjelasan diatas maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai perubahan kondisi pasang surut di perairan selatan Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah kondisi pasang surut berubah signifikan tiap interval 15 km sesuai dengan teori Ingham, serta menentukan bagaimana pola perubahannya tiap interval 15 km. 3 I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan teori Ingham (1975), kondisi pasang surut laut akan berubah setiap 15 km. Selain itu dijelaskan bahwa dalam pengukuran pasang surut laut pada area yang luas, stasiun pasang surut hendaknya dipasang sekurang-kurangnya pada jarak 15 km antar stasiun pasutnya. Belum pernah dilakukan penelitian untuk menentukan apakah kondisi pasang surut benar-benar berubah signifikan tiap 15 km dari stasiun pasang surut. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan masalah yang diidentifikasi pada sub bab I.2 maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah kondisi pasang surut, dalam hal ini nilai amplitudo komponen harmonik utama berubah signifikan tiap 15 km dari stasiun pasang surut? 2. Bagaimana pola perubahan nilai amplitudo komponen harmonik utama pasang surut laut setiap interval 15 km? I.4. Cakupan Penelitian Cakupan dari penelitian ini yakni: 1. Terkait dengan pertanyaan penelitian yang pertama, perubahan nilai amplitudo tiap 15 km diteliti hingga jarak 150 km ke arah timur dan barat stasiun pasang surut. Amplitudo dinyatakan berbeda signifikan atau tidak, diperoleh dari hasil uji signifikansi beda dua parameter antara data stasiun pasut dengan data model dengan tingkat kepercayaan 95%. 2. Uji signifikansi beda dua parameter dilakukan pada komponen harmonik semidiurnal yakni M2 dan S2. 3. Terkait dengan pertanyaan penelitian ke dua, pola perubahan nilai amplitudo diamati tiap interval 15 km dihitung mulai dari stasiun pasang surut sampai sejauh 150 km ke arah barat dan timur dari stasiun pasang surut dari data model. 4. Jarak tiap interval 15 km dari stasiun pasang surut merupakan jarak Euclidean, yakni jarak lurus antara pusat stasiun pasang surut dengan titik 15 km dan kelipatannya di sepanjang perairan selatan Jawa. 4 5. Jarak 150 km dari stasiun pasut diperoleh dari pertimbangan jarak antar stasiun yang saling berjauhan. Jarak 150 km dari stasiun pasut di selatan Jawa memungkinkan untuk melintasi stasiun pasut yang ada disebelahnya, sehingga analaisis perubahan pasut juga dapat ditunjang dengan data stasiun pasut. 6. Karakteristik pasang surut yang dimaksud dalam penelitian ini yakni nilai amplitudo konstanta harmonik utama O1, K1, M2, dan S2. 7. Wilayah kajian penelitian yakni di perairan selatan Jawa yang memiliki empat stasiun pasang surut laut yakni Sadeng, Prigi, Cilacap dan Pangandaran. 8. Analisis pola perubahan kondisi amplitudo dilakukan secara numeris dan grafis. 9. Analisis secara grafis dilakukan dengan peta co-range di wilayah perairan selatan Jawa pada koordinat -6.620 LS - -9.5930 LS dan 105.1030 BT – 114.69760 BT. 10. Data ukuran terestris empat stasiun pasang surut laut yang digunakan adalah data dalam kurun waktu satu bulan, yakni bulan Mei tahun 2015 yang diperoleh melalui http://www.ioc-sealevelmonitoring.org. 11. Model pasang surut laut yang digunakan yakni model pasang surut laut global FES 2012 dan TPXO7-Atlas serta model regional buatan BIG. 12. Kontrol kualitas data stasiun pasang surut menggunakan derajat kepercayaan 95% atau 2σ. 13. Jarak 15 km = 00 8’ 6.486”. Nilai tersebut diperoleh dengan mengasumsikan 10 = 111 km. 14. Interval data model FES2012 memiliki kerapatan 1/160 = 00 3’ 45’’, model BIG memiliki kerapatan data = 00 2’ 31.2’’ dan model TPXO7-Atlas memiliki kerapatan data 1/120 = 00 5’ 0’’. Kerapatan model masih lebih kecil dari 15 km, sehingga dapat diakomodasi konstanta harmonik utama tiap 15 km. I.5. Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Untuk menentukan apakah kondisi pasang surut, dalam hal ini nilai amplitudo komponen harmonik utama berubah signifikan tiap 15 km dari stasiun pasang surut. 2. Untuk menentukan pola perubahan nilai amplitudo komponen harmonik utama pasang surut laut setiap interval 15 km di wilayah perairan pesisir. 5 I.6. Manfaat Manfaat dari penelitian ini yakni sebagai pertimbangan dalam proses densifikasi stasiun pasang surut laut. Proses densifikasi maksudnya yakni penentuan lokasi stasiun pasang surut baru berdasarkan pertimbangan jarak pada dari stasiun pasang surut yang sudah ada. I.7. Tinjauan Pustaka Umam (2013) melakukan pemodelan pasang surut di perairan Pulau Jawa menggunakan perangkat lunak Tidal Model Driver (TMD) dan model pasut global TPOX 7.1. Pemodelan yang dilakukan meliputi prediksi elevasi pasut serta ektraksi konstanta pasut. Data pengamatan pasut yang digunakan untuk pengecekan akurasi hasil prediksi pasut oleh model diperoleh dari stasiun pengamatan yang diunduh melalui http://www.ioc-sealevelmonitoring.org/, sedangkan untuk pengecekan akurasi konstanta pasut digunakan data pengamatan Dinas Hidrografi Nasional (DISHIDROS). Data yang dapat diprediksi melalui pemodelan pasut menggunakan TMD yakni data elevasi, kecepatan arus, dan transport pasut sedangkan data yang diektraksi meliputi konstanta pasut, kecepatan arus, transport dan elips pasut. Hasil perbandingan data prediksi elevasi pasut menggunakan model dengan data pengamatan yang diunduh di http://www.ioc-sealevelmonitoring.org/ pada tiga waktu berbeda di enam titik perairan pulau jawa menunjukkan nilai RMSE cukup kecil yakni 0,105 meter. Syahrullah (2015) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh panjang data pengamatan pasut dan kualitasnya (dilihat dari data kosong) serta karakteristik nilai Lowest Astronomical Tide (LAT) pada dua tempat yang memiliki morfologi yang sama namun terpisah jarak yang jauh, yakni lebih dari 15 km. Penelitian tersebut menggunakan aplikasi t_tide untuk melakukan analisis harmonik dan prediksi pasang surut. Analisis harmonik dan prediksi pasut dilakukan terhadap dua kelompok data penuh (tidak memiliki data kosong) dan kelompok data pengamatan (memiliki data kosong). Masing-masing kelompok data tersebut terdiri atas 12 kelompok data yang terbagi berdasarkan panjang pengamatan pasutnya. Tujuan dari pengelompokan ini untuk mengetahui pengaruh kualitas data pasut (dilihat dari data kosong) terhadap nilai LAT dengan membandingkan nilai LAT antara kelompok data penuh dengan 6 pengamatan. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa nilai LAT paling rendah terdapat pada kelompok data dengan jumlah konstanta harmonik paling banyak. Kesimpulan lainnya yakni berdasarkan hasil perbandingan nilai LAT di stasiun pasut Prigi dan Sadeng, karakteristik nilai LAT stasiun pasut Prigi dan Sadeng berbeda jauh jika dilihat dari nilainya. Namun, karakteristik nilai LAT stasiun pasut Prigi dan Sadeng serupa jika dilihat dari polanya. Faridatunnisa (2015) melakukan evaluasi terhadap ketelitian model pasang surut laut global dan regional untuk memperoleh model pasang surut yang sesuai dengan perairan pulau Jawa menggunakan data ukuran pasang surut terestris dan satelit altimetri. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut yakni data pengamatan pasut teretris 4 stasiun pasut di Pulau Jawa dan data GDR satelit altimeltri Jason 2 selama satu tahun. Model yang diuji yakni model pasang surut BIG, TPXO7-Atlas dan FES 2012. Data pengamatan pasang surut terestris diolah untuk memperoleh nilai konstanta harmonik pasang surut utama O1, K1, M2 dan S2. Data SLA diekstrak dari 7 lintasan data satelit altimetri yang melewati pulau Jawa. Kemudian dilakukan pengolahan dengan menentukan titik normal dan kelompok data, sedangkan dari model pasut global (FES2012 dan TPXO7-Atlas) dan regional (BIG) diekstrak nilai konstanta harmonik pasut di titik pengamatan pasut dan satelit altimetri. Evaluasi model pasut global dan regional dilakukan dengan cara (1) Membandingkan nilai amplitudo konstanta harmonik pasang surut model pasut global dan regional dengan nilai amplitudo konstanta harmonik dari data pengukuran pasang surut terestris untuk mendapatkan perbandingan ketelitian yang terbaik, (2) Digunakan dalam koreksi data satelit altimetri sehingga meningkatkan ketelitian atau standar deviasi data satelit altimetry. Dari hasil penelitian diperoleh model yang paling sesuai dengan perairan Pulau Jawa yakni model pasang surut laut FES 2012. Penelitian yang diusulkan menggunakan model global FES2012, TPXO7Atlas dan model regional BIG. Pada penelitian Faridatunnisa (2015) tidak dibahas bagaimana perubahan kondisi pasang surut laut yang terjadi pada interval jarak tertentu dari model global dan regional, maka dari itu perlu diteliti bagaimana perubahan kondisi pasang surut laut yang terjadi menggunakan model pasut global dan regional. Perubahan nilai pasang surut laut dilihat dari nilai amplitudo konstanta harmonik utama. Hasil penelitian yang dilakukan Syahrullah (2015) karakteristik nilai 7 LAT stasiun pasut Prigi dan Sadeng berbeda jauh (lebih dari 1 meter) diakibatkan karena jaraknya yang jauh (lebih dari 15 km), namun belum ada penelitian yang menekankan perubahan kondisi pasang surut tiap 15 km. Berdasarkan teori Ingham, kondisi pasang surut laut akan berubah setiap 15 km. Melalui penelitian ini, ditentukan apakah kondisi pasang surut, dalam hal ini nilai amplitudo komponen harmonik utama berubah signifikan tiap 15 km dan ditentukan juga bagaimana pola perubahan yang terjadi tiap interval 15 km. I.8. Landasan Teori I.8.1. Teori Pasang Surut I.8.1.1 Pasang surut laut Pasang surut laut adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasang surut laut. Walaupun massa matahari jauh lebih besar dibanding massa bulan, namun karena jarak bulan jauh lebih dekat ke bumi dibanding matahari, matahari hanya memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap pembangkitan pasang surut di bumi. Teori pasang surut laut juga dijelaskan oleh seorang ahli Fisika, yakni Sir Isaac Newton. Teorinya dikenal dengan teori pasang surut setimbang. Teori pasang surut setimbang menjelaskan bahwa bumi berbentuk bola sempurna dan dilingkupi air dengan distribusi massa yang seragam. Pembangkitan pasang surut dijelaskan dengan teori gravitasi universal, yang menyatakan bahwa pada sistem dua benda dengan massa m1 dan m2 akan terjadi gaya tarik menarik sebesar F di antara keduanya yang besarnya sebanding dengan perkalian massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknnya. Dalam fungsi matematis dijelaskan dengan persamaan I.1. F=G π1 . π2 r2 ........................................................................................................(I.1) Keterangan : F : gaya tarik menarik antara dua benda. G : konstanta gaya tarik = 6,67 x 10-11 N kg-2 m-2 8 m1 : massa benda 1. m2 : massa benda 2. r2 : kuadrat jarak antara pusat benda (1) dan pusat benda (2) . I.8.1.2. Gaya pembangkit pasang surut Pada sistem bumi-bulan, gaya-gaya pembangkit pasang surut adalah resultan gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya pasang surut yakni, gaya sentrifugal sistem bumi-bulan (Fs) dan gaya gravitasi bulan (Fb). (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Fs bekerja dengan kekuatan yang seragam di seluruh titik di permukaan bumi dengan arah yang selalu menjauhi bulan pada garis yang sejajar dengan garis yang menghubungkan pusat bumi-bulan. Besar Fb tergantung pada jarak pusat massa suatu titik partikel air di permukaan bumi terhadap pusat massa bulan. Resultas Fs dan Fb menghasilkan gaya pembangkit pasut di seluruh permukaan bumi. Gambar I.1 Gaya pembangkit pasang surut akibat dari gaya gravitasi oleh bulan dan gaya sentrifugal (Sumber: The Open University Team, 1999) Fenomena pembangkitan pasang surut laut menyebabkan perbedaan tinggi permukaan air laut pada kondisi kedudukan-kedudukan tertentu dari bumi, bulan dan matahari. Terdapat dua kondisi kedudukan dari bumi, bulan dan matahari dalam fenomena pembangkitan pasut. Pertama yakni kedudukan matahari segaris dengan sumbu bumi-bulan yang disebut spring (pasang surut perbani). Pada saat spring terjadi pasang maksimum pada titik di permukaan bumi yang berada di sumbu kedudukan 9 relatif bumi, bulan dan matahari. Kedua yakni kedudukan matahari tegak lurus dengan sumbu bumi-bulan yang disebut neap (pasang surut mati). Pada saat neap terjadi pasang surut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumibulan. Gambar I. 2 Posisi bumi-bulan-matahari pada saat pasut perbani (Diadaptasi dari Poerbandono dan Djunarsjah, 2005) Gambar I. 3 Posisi bulan-bumi-matahari pada saat pasut mati (Diadaptasi dari Poerbandono dan Djunarsjah, 2005) I.8.1.3 Tipe pasang surut Karakteristik pasang surut laut di beberapa wilayah dapat berbeda-beda. Hal ini, selain dipengaruhi oleh gaya tarik bulan, juga dipengaruhi oleh morfologi dasar laut, bentuk garis pantai, serta karakteristik dari perairan itu sendiri. Di suatu wilayah perairan dapat terjadi pasang surut dua kali atau satu kali. Menurut De Jong dkk (2010), tipe pasang surut di suatu wilayah perairan dapat dikategorikan menjadi 4 tipe, antara lain: 1. Semi diurnal tide (pasang surut harian ganda) 10 Pasang surut harian ganda terjadi dari dua kali kedudukan permukaan air tinggi dan dua kali kedudukan permukaan air rendah dalam satu hari pengamatan. Periode pasang surut terjadi selama 24 jam 50 menit. Di periaran Indonesia, tipe pasang surut ini terjadi di wilayah perairan selat Malaka sampai ke Laut Andaman. 2. Diurnal tide (pasang surut harian tunggal) Tipe pasang surut harian tunggal terjadi dari satu kali kedudukan permukaan air tertinggi dan satu kali permukaan air terendah. Periode pasang surut yang terjadi selama 12 jam 24 menit. Pasang surut laut di perairan utara Jawa termasuk kedalam tipe pasut ini. 3. Mixed mainly semi diurnal tide (pasang surut campuran condong ke harian ganda) Pasang surut campuran condong ke harian ganda terjadi dua kali kedudukan permukaan air tertinggi dan dua kali permukaan air terendah. Pada tipe pasut ini, periode saat kedudukan permukaan air tertinggi berbeda-beda. Di perairan Indonesia tipe pasang ini terjadi di perairan Indonesia Timur. 4. Mixed mainly diurnal tide (pasang surut condong ke harian tunggal) Pasang surut campuran condong ke harian tunggal terjadi satu kali kedudukan permukaan air tertinggi dan satu kali permukaan air terendah dengan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang surut ini terjadi di wilayah pantai selatan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Defant (1958) mengelompokkan pasut menurut perbandingan jumlah amplitudo komponen diurnal terhadap jumlah amplitudo komponen semi diurnal, yang dinyatakan dengan persamaan I.2. πΎ +π ππ = π1 + π1 ............................................................................................................ (I.2) 2 2 dalam hal ini, ππ : bilangan Formzahl K1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. O1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan 11 M2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan S2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari. Dari nilai ππ yang dihitung melalui persamaan I.2 diatas dapat ditentukan tipe pasang surut di suatu lokasi. Tabel I.1 di bawah ini menjelaskan pengelompokan tipe pasut berdasarkan perhitungan nilai ππ . Tabel I.1 Pengelompokkan tipe pasut (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005) Nilai bentuk Jenis pasut Fenomena 0 < Nf < 0,25 Harian murni 0,25 < Nf < 1,5 Campuran 2 kali pasang sehari dengan perbedaan condong ke tinggi dan interval yang berbeda harian ganda 1,5 < Nf < 3 Campuran 1 kali atau 2 kali pasang sehari dengan condong ke interval yang berbeda harian tunggal Nf > 3 Harian murni ganda 2 kali pasang sehari dengan tinggi relatif sama tunggal 1 kali pasang sehari, saat spring dapat terjadi 2 kali pasang sehari I.8.2. Komponen Harmonik Pasang Surut Laut Pasang surut laut yang terjadi pada suatu titik di permukaan bumi terjadi akibat resultan dari jarak dan kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi yang berubah secara periodik. Gelombang pasang surut laut dapat dimodelkan dalam suatu persamaan matematis yang dapat dilihat pada persamaan I.3 (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). k h(t ) ο« v(tn ) ο½ hm ο« ο₯ Ai cos(ο·i t ο g i ) i ο½1 ....................................................................(I.3) Keterangan : h(t) : tinggi muka air fungsi dari waktu Ai : amplitudo komponen ke-i 12 ο·i : kecepatan sudut komponen ke-i gi : fase komponen ke-i hm : tinggi muka air rerata t : waktu k : jumlah komponen v(tn) : residu Dari rumus I.3 dapat diuraikan menjadi : k k i ο½1 i ο½1 h(t ) ο« v(tn ) ο½ hm ο« ο₯ Ai cos gi cos ο·i t ο« ο₯ Ai sin gi sin ο·i t ..................................... (I.4) Jika dimisalkan : π΄π cos g i = π΄π dan π΄π sin g i = π΅π ........................................................................... (I.5) Maka hasilnya menjadi : k k i ο½1 i ο½1 h(t ) ο« v(tn ) ο½ hm ο« ο₯ Ar cos ο·it ο« ο₯ Br sin ο·it .............................................…......(I.6) Keterangan : Ar dan Br : konstanta harmonik ke-i, k : jumlah komponen pasut, tn : waktu pengamatan tiap jam. Besarnya (hm) hasil hitungan dengan persamaan di atas mendekati elevasi pasut pengamatan h(t) jika : 2 v(tn ) ο½ ο₯ ο»h(t ) ο hmο½ο½ mi nimum n n t n ο½ο n .................................................................... (I.7) Persamaan di atas kemudian diturunkan terhadap Ari dan Bri N οΆv 2 ο½ 0 ο½ 2ο₯ ο¨h(t ) ο (hm ο« ο₯ M ) ο©ο¨ο cos(ο·it ) ο© οΆAr n ο½1 .....................................................(I.8) ο ο N οΆv 2 ο½ 0 ο½ 2ο₯ ο¨h(t ) ο (hm ο« ο₯ M ) ο©ο¨ο sin(ο·it ) ο© οΆBr n ο½1 .....................................................(I.9) ο Keterangan: M : bilangan komplementer. ο 13 Dari hubungan persamaan tersebut diperoleh 2n + 1 persamaan dimana n adalah banyaknya komponen harmonik pasut laut. Sehingga dapat ditentukan besaran S0, Ar, dan Br. Selanjutnya berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka persamaan dapat diuraikan dalam tahap – tahap sebagai berikut : 1. Persamaan pengamatan tinggi muka laut L = AX 2. Persamaan koreksi v = (AX) – L, maka : k k i ο½1 i ο½1 v(t n ) ο½ hm ο« ο₯ Ar cos ο·i t ο« ο₯ Br sin ο·i t ο h(t ) ....................................................(I.10) Berikut ini pendesainan matrik pengamatan pasut : ο©1 cosο·1t1 sinο· 2 t1 ο cosο· k t1 sin ο·1t1 ο sin ο· k t1 οͺ1 cosο· t sinο· t ο cosο· t sin ο· t ο sin ο· t 1 1 2 1 k 1 1 1 k 1 οͺ n Ak ο½ οͺο ο οͺ οͺο«1 cosο·1t n sinο· 2 t n ο cosο· k t n sin ο·1t n ο sin ο· k t οΉ οΊ οΊ οΊ οΊ οΊο» ο©h1 οΉ L ο½ οͺοͺο οΊοΊ οͺο«hn οΊο» X ο½ ( AT PA) ο1 ( AT PL) ο©h0 οΉ οͺA οΊ οͺ 1οΊ οͺο οΊ οͺ οΊ k X 1ο½ οͺ Ak οΊ οͺ B1 οΊ οͺ οΊ οͺο οΊ οͺB οΊ ο« kο» Menentukan nilai amplitudo komponen pasut laut : π΄π = √π΄ππ + π΅ππ ..................................................................................................(I.11) Menentukan nilai fase komponen pasut laut : tan gi ο½ Bri Ari ............................................................................................................(I.12) Dalam hal ini : L : data tinggi muka laut 14 A : matrik koefisien X : parameter komponen harmonik pasut laut V : nilai koreksi Ar : parameter A komponen pembentuk pasut Br : parameter B komponen pembentuk pasut π : kecepatan sudut gelombang harmonik t : waktu pengamatan Ai : amplitudo g : fase Penentuan nilai perubahan amplitudo dan keterlambatan fase akibat gaya tarik benda angkasa terhadap kondisi bumi setimbang yang nantinya dinyatakan dalam sebuah konstanta. Konstanta tersebut disebut sebagai komponen harmonik. Komponen-komponen harmonik pasut utama dapat dilihat pada tabel I.2. Tabel I.2. Kontanta pasang surut laut (Ali, dkk., 2004 dalam Rufaida, 2008) Konstanta pasang surut Kecepatan sudut Periode (jam) laut (derajat/jam) Semidiurnal Principal Lunar (M2) 289,841 12,42 Principal Solar (S2) 300,000 12,00 Larger Lunar Elliptic (N2) 284,397 12,66 Luni Solar (K2) 300,821 11,97 Diurnal Luni Solar (K1) 150,411 23,33 Principal Lunar (O1) 139,430 25,82 Principal Solar (P1) 149,589 24,07 10,980 0,5444 0,0821 327,82 661,30 2191,43 310,161 11,61 Periode panjang Diurnal Fortnightly (Mf) Lunar Monthly (Mm) Solar Semi Annual (Ssa) Perairan dangkal Shallow water semidiurnal (2SM2) 15 Lanjutan tabel I.2 Kontanta pasang surut laut (Ali, dkk., 2004 dalam Rufaida, 2008) Konstanta pasang surut laut Kecepatan sudut Periode (derajat/jam) (jam) MNS2 274,240 13,13 Shallow water diurnal (MK3) 440,250 8,18 579,680 6,21 Shallow water quarter diurnal 580,840 (MS4) 6,20 Shallow water overtides principal lunar (M4) of I.8.3. Model Pasang Surut Laut 1.8.3.1. Model pasang surut global Model pasut global dan regional mampu mengakomodasi komponen harmonik pada interval jarak berapapun. Model pasang surut global dapat memberikan pemodelan pasang surut laut di seluruh perairan di permukan bumi, baik perairan dalam maupun wilayah pesisir. Terdapat beberapa model pasang surut laut antara lain model pasang surut versi FES (Finite Element Solution), EOT (Empirical Ocean Tide Model), CSR (Center for Space Research), GOT (Goddard Ocean Tide) , dan lainlain. Masing-masing model pasang surut laut memiliki keakuratan yang berbeda-beda Model pasang surut laut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Zahran dkk., 2006) , yaitu: 1. Model berdasarkan analisis data altimetri untuk mengekstrak berbagai sinyal pasut. Model ini pertama kali diikuti oleh satelit altimetri Geosat yang kemudian dilanjutkan oleh TOPEX/Poseidon. Produk dari model ini adalah model CSR dan GOT. 2. Model hidrodinamik murni yang dihitung tanpa asimilasi data. Model yang termasuk kategori ini adalah FES 95.2 dan ICOM (Imperial College Ocean Model). 3. Model dinamis dengan asimilasi dari data pasut observasi (altimeter, stasiun pasut pesisir dan pelagic). Model FES02 dan FES2004 termasuk kategori model ini. 16 I.8.3.2. Model pasang surut Finite Element Solution 2012 (FES 2012) FES 2012 merupakan versi terakhir dari model pasang surut FES, sebelumnya terdapat model FES yang lainnya yakni FES 2004. Model pasut FES 2012 ini merupakan model hidrodinamik global yang dikembangkan oleh Aviso. Model FES 2012 ini mengalami pengembangan dari versi sebelumnya dengan memanfaatkan data pengamatan satelit altimeter selama 20 tahun. Selain itu, FES 2012 juga mengalami peningkatan dalam pemodelannya karena menggunakan asimilasi data serta penambahan data batimetri laut yang lebih akurat (Carrere dkk., 2012). FES 2012 dibangun berdasarkan resolusi dari persamaan barotropik pasang surut (model T-UGO) pada konfigurasi spectral. Sebanyak 32 konstanta pasang surut (amplitudo dan fase) didistribusikan pada ukuran grid 1/16Λ x 1/16Λ. Sebanyak kurang lebih 1,5 juta titik node digunakan untuk meningkatkan keakurasian pada batimetri dua kali lebih baik dibanding pendahulunya, FES 2004. Keakurasian ini ditingkatkan kembali dengan asimilasi data satelit altimeter jangka panjang (Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2, ERS-1, ERS-2 dan ENVISAT) menggunakan metode asimilasi. FES2012 lebih baik dibandingkan model FES2004 dan GOT4.8 khususnya pada area pesisir dan laut dangkal (Aviso, 2012). I..8.3.3. Model pasang surut TPXO7-Atlas Model TPXO7-Atlas merupakan model global pasang surut laut yang dikembangkan oleh Oregon State Univeristy (OSU). Model TPXO7-Atlas ini berhubungan dengan model dasar pada perairan dalam dan pada model lokal yang diinterpolasikan dengan grid yang lebih sempit pada wilayah pesisir. Ukuran grid model TPXO7-Atlas yakni 1/120 (Egbert, 2014). TPXO7-Atlas memiliki resolusi yang cukup baik di wilayah pesisir hal ini dikarenakan TPXO7-Atlas menggabungkan semua model lokal yang ada kecuali laut Mediterenia dan model Laut Baltik serat asimilasi dari data satelit TOPEX/Posaidon (Atlas Global and Regional Solutions, 2011). Model pasut global TPXO7-Atlas ini dapat dijalankan menggunakan program Tidal Model Driver (TMD). Model TPXO7-Atlas yang telah dapat dibuka menggunakan TMD pada Matlab akan menampilkan Graphical User Interface (GUI). Dari GUI tersebut dapat diekstrak nilai konstanta harmonik maupun melakukan 17 prediksi pada waktu tertentu. Gambar I.4 di bawah menunjukkan contoh tampilan data TPXO7-Atlas. Gambar I.4 Tampilan Graphical User Interface (GUI) model TPXO7-Atlas (Sumber: http://volkov.oce.orst.edu/tides/atlas.html) Model pasang surut global TPXO7-Atlas memiliki 4 file yaitu model_tpxo7_atlas, h_tpxo7_atlas, u_tpxo7_atlas dan grid_tpxo7_atlas. File model_tpxo7_atlas merupakan file dalam bentuk ASCII sedangkan h_tpxo7_atlas, u_tpxo_atlas dan grid_tpxo_atlas merupakan file dalam bentuk biner. Pada file h_tpxo7_atlas berisikan tentang koefisien grid untuk data tinggi gelombang, file u_tpxo_atlas berisikan data kecepatan pada gelombang dan file grid_tpxo7_atlas berisikan tentang data grid batimetry (Padman, 2005). Dalam melakukan ekstraksi nilai konstanta harmonik dari model TPXO7Atlas, dapat digunakan perangkat lunak TMD. Dengan TMD, konstanta harmonik yang dapat diekstrak antara lain M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, Q1, M1, Mm, dan M4. I.8.3.4. Model pasang surut regional Badan Informasi Geospasial Model pasang surut laut regional di wilayah Indonesia yakni model pasang surut buatan BIG. Konstanta harmonik yang disediakan BIG antara lain K1, K2, M2, N2, O1, P1, Q1, dan S2 (BIG, 2014). Konstanta harmonik model BIG memilki format *.nc dan dapat diunduh pada halaman http://tides.big.go.id/pasut/konstanta/. Model BIG memiliki interval data dengan kerapatan 00 2’ 31.2’’, nilai tersebut dapat diketahui ketika membuka file *.nc pada sistem operasi LINUX. 18 I.8.3.5. Uji ketelitian model pasut Salah satu metode evaluasi model pasang surut laut yaitu analisis perbandingan nilai hasil extraksi model dengan data stasiun pasang surut yang ada di lapangan. Metode ini menggunakan perhitungan deviasi RMS dari konstanta harmonik untuk setiap konstituen j yang diturunkan dari model pasut dibandingkan dengan data stasiun pasut referensi di lapangan yang didefinisikan sebagai (Fok, dkk, 2010) : 1 sol ref sol ref 2 2 RMSj=√2π ∑N i=1{[h1 (i, j) – h1 (i, j)] + [h2 (i, j) – h2 (i, j)] }.....……(I.13) dengan h1sol dan hsol merupakan nilai amplitudo hasil ekstraksi model pada tiap 2 konstituen j. Konstituen j yang dimaksud yakni nilai masing-masing konstanta harmonik yang di uji. Tiap konstanta memiliki nilai RMS yang berbeda-beda. Sedangkan href h1ref merupakan amplitudo yang diperoleh dari data stasiun pasang 2 surut yang ada di lapangan yang dijadikan refrensi untuk setiap stasiun i dan konstituen j serta N adalah jumlah stasiun pasang surut refrensi yang dijadikan perbandingan. Dalam penelitian ini diperlukan nilai RMS tiap model untuk dapat melakukan uji signifikansi beda dua parameter. I.8.4. Uji Signifikansi Beda Dua Parameter Uji signifikansi beda dua parameter dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan dua parameter. Uji ini dilakukan dengan distribusi student pada tingkat kepercayaan dan derajat kebebasan tertentu. Pada penelitian ini, uji signifikansi beda dua parameter digunakan untuk mengetahui signifikansi perubahan nilai amplitudo komponen harmonik utama dari hasil pengolahan data stasiun dengan nilai amplitudo pada jarak 15 km dari stasiun yang diperoleh dari model global dan regional. Kriteria pengujian yang digunakan sesuai dengan persamaan I.14. dan persamaan I.15. (Widjajanti 2010). t= |π₯1 −π₯2 | 2 +π 2 √ππ₯1 π₯2 ………………………………………………………….(I.14) t ≤ t (α/2,df) ………………………………………………………………………..(I.15) Dalam hal ini, t : nilai t hitungan x1 : parameter nilai amplitudo komponen harmonik utama data stasiun pasang surut 19 x2 : parameter nilai amplitudo komponen harmonik utama data model pada jarak 15 km dan kelipatannya dari stasiun pasut. 2 ππ₯1 : varian amplitudo komponen harmonik utama data stasiun pasang surut 2 ππ₯2 : varian amplitudo komponen harmonik utama data model pada jarak 15 km dan kelipatannya dari stasiun pasut. Penerimaa hipotesis nol (Ho) apabila memenuhi kriteria sesuai dengan persamaan I.15. Penerimaan Ho ini mengindikasikan bahwa dua parameter tidak berbeda secara signifikan. Sedangkan penolakan Ho mengindikasikan bahwa dua parameter berbeda secara signifikan. Dalam penelitian ini digunakan tingkat kepercayaan 95% I.8.6. Interpolasi Spasial Interpolasi merupakan sebuah proses untuk menentukan nilai observasi di suatu tempat (titik) berdasarkan nilai observasi di sekitarnya. Logika dari interpolasi spasial yakni nilai titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan nilai titik yang lebih jauh (Anonim, 2011). Dalam bidang spasial, interpolasi diperlukan karena semua titik pada ruang yang diamati harus terukur atau memiliki nilai. Secara umum terdapat dua tipe interpolasi yakni interpolasi diskret dan interpolasi kontinyu. Interpolasi diskret adalah interpolasi dengan mengamsumsikan bahwa nilai diantara titik kontrol (diketahui nilainya) bukan merupakan nilai yang kontinyu. Sedangkan interpolasi kontinyu adalah interpolasi dengan menggunakan asumsi bahwa nilai diantara titik kontrol yang diketahui nilainya, adalah kontinyu (Anonim, 2011). Dalam interpolasi spasial, terdapat berbagai metode interpolasi antara lain seperti interpolasi natural neighbor, triangular irregular network (TIN), interpolasi kriging dan lain-lain. I.8.6.1 Interpolasi natural neighbor Algoritma yang digunakan pada interpolasi Natural Neightbor ini bekerja dengan mencari titik-titik yang berdekatan dengan titik-titik sampel dan mengaplikasikan bobot pada titik-titik tersebut (Sibson, 1981). Metode interpolasi Natural Neighboard ini juga sering disebut dengan intepolasi Sibson atau Area- 20 Stealing. Interpolasi Natural Neighboard memiliki sifat lokal. Lokal yang dimaksud yaitu hanya menggunakan sampel yang berada disekitar titik yang ingin diinterpolasi, dan hasil yang diperoleh akan mirip dengan ketinggian titik sampel yang digunakan sebagai nilai masukan proses interpolasi. Dalam metode Natural Neighboard, setiap titik-titik yang ada dihubungkan dengan diagram Voronoi (Thiessen Poligon). Pertama, proses yang terjadi yakni membangun polygon untuk titik-titik masukan yang digunakan untuk melakukan interpolasi. Proses selanjutnya yakni Thiessen Poligon yang baru akan dibuat dari sekitar titik-titik interpolasi. I.9. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yakni: 1. Berdasarkan teori Ingham (1975) yang menyatakan kondisi pasang surut akan berubah setiap 15 km, maka setiap interval 15 km hingga 150 km dari stasiun pasang surut, nilai amplitudo konstanta harmonik utama akan berbeda signifikan dengan amplitudo komponen harmonik utama di stasiun pasang surut. 2. Pola perubahan nilai amplitudo kosntanta harmonik utama setiap interval 15 km mengalami perubahan yang linier, hal ini dikarenakan laut merupakan medium fluida dimana memiliki sifat yang kontinyu.