i STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT

advertisement
STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM
PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129
DAN MENURUT HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Oleh:
MIKO VERIYADI PRAJOKO
E1A005351
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
i
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP DAN AKIBAT HUKUM
PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129
DAN MENURUT HUKUM ISLAM
Disusun oleh :
MIKO VERIYADI PRAJOKO
E1A005351
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada,
Maret 2011
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Trusto Subekti, S.H., M.Hum.
NIP. 19500410 198003 1 003
Udjiati, S.H., M.H.
NIP. 19490915 198003 2 001
Penguji
Haedah Faradz, S.H., M.H
NIP. 19590725 198601 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
ii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
:
Nama
:
MIKO VERIYADI PRAJOKO
NIM
:
E1A005351
Judul Skripsi
: STUDI PERBANDINGAN TENTANG KONSEP
DAN AKIBAT HUKUM
PENGANGKATAN
ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR
129 DAN MENURUT HUKUM ISLAM
Dengan
ini
saya
PERBANDINGAN
menyatakan
TENTANG
bahwa
skripsi
KONSEP
dengan
DAN
judul
AKIBAT
”STUDI
HUKUM
PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917 NOMOR 129
DAN MENURUT HUKUM ISLAM” yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil
karya orang lain maupun meniru karya orang lain tanpa hak.
Dan apabila ternyata terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menanggung segala
resiko dan sanksi yang ada.
Purwokerto,
Maret 2011
Yang Menyatakan
MIKO VERIYADI PRAJOKO
NIM. E1A005351
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Sang pencipta alam
semesta yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurah kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Tidak ada kata yang pantas diucapkan
melainkan syukur alhamdulillah karena penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Studi Perbandingan Tentang Konsep Dan Akibat Hukum
Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 Dan Menurut
Hukum Islam ”.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Djoko Suyanto dan Ibu Umiyati atas doa,
perhatian, dukungan dan kasih sayang yang begitu besar.
2. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
3. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu
Udjiati S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan,
arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan
skripsi ini.
4. Ibu Haedah Faradz, S.H., M.H selaku Dosen Penguji skripsi atas segala
arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan
skripsi ini.
iv
5. Ibu Aryuni Yuliantiningsih, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing
Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama
menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
6. Seluruh Dosen, Staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
7. Adik penulis Lulun Rosana Pratiwi. S.Psi., yang telah memberi semangat
dan doanya
8. Seluruh kawan-kawan Fakultas Hukum terima kasih untuk diskusi dan
bantuannya, terima kasih untuk persahabatan serta canda tawanya.
9. Semua pihak yang membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini,
namun tidak dapat disebut satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bermanfaat
untuk kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto,
Maret 2011
Penulis
Miko Veriyadi Prajoko
v
MOTTO
" Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan
menjadikanmu lebih kuat" ( Nietszche)
" kemenangan paling sempurna adalah mengubah
hati orang yang membenci kita dengan kelembutan dan
dan
kebaikan hati kita" ( Saladin)
" Knowledge is Power" ( F.Bacon)
vi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Studi Perbandingan Tentang Konsep Dan
Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Dan Menurut Hukum Islam ’. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep
dan akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 nomor 129 dan
menurut Hukum Islam.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder yang
diperoleh melalui studi kepustakaan. Sementara metode analisis yang digunakan
adalah analisis kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Perpustakan Fakultas Hukum
dan Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, diperoleh hasil sebagai
berikut:
1. Konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu
mengalihkan hak anak dari kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang
alain yang bertanggung jawab atas pemeliharan dan pendidikan, serta
menjadikan anak tersebut seperti anak kandung. Sedangkan menurut
Hukum Islam konsepnya yaitu pengalihan tanggung jawab pemeliharaan
anak, pemberian nafkah dan pendidikan dari orang tua kandung kepada
orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan.
2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129
yaitu,status anak angkat berstatus sama dengan anak kandung, hubungan
dengan orang tua kandung terputus, kekuasaan orang tua beralih dan orang
tua angkat menjadi wali anak angkat, berhak mewaris layaknya anak
kandung. Sedangkan Menurut Hukum Islam anak angkat tidak berstatus
sama dengan anak kandung, hubungan dengan orang tua kandung tidak
terputus, kekuasaan orang tua beralih tetapi tidak menjadi wali nikah anak
angkat, mewaris dengan jalan wasiat wajibah.
Dari perbedaan konsep dan akibat hukum tersebut tersebut disarankan:
Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan anak masih
tersebar dan konsep pengangkatan anak masih bervariasi. Maka diperlukan
adanya undang-undang nasional tentang pengangkatan anak sehingga adanya
kesamaan dalam konsep dan akibat hukum pengangkatan anak.
Kata kunci: Konsep, Akibat Hukum, dan Pengangkatan Anak
vii
ABSTRACT
This study entitled "Comparative Studies On the Concept and Legal
Due 1917 Adoption According to the Staatblad Number 129 And
According to Islamic Law '. This study aims to determine the concept and
consequences of child adoption laws in 1917 Staatblad number 129 and
according to Islamic law.
The method used in this research is normative juridical approach, with
the data source as a secondary data obtained through a literature study.
While the analytical method used is qualitative analysis. This research was
conducted at the Library of the Faculty of Law and General Sudirman
University library.
From the results of research conducted authors obtained the following
results:
1. The concept of child adoption in 1917 Staatblad Number 129 is
assigned its rights to the child from its parents, legal guardian, or person
alain responsible for maintenance and education, and make the child like a
biological child. While according to Islamic law the concept of
transferring the responsibility of maintenance of children, provision of
livelihood and education of the biological parent to the adoptive parents
based on court decisions.
2. As a result of legal adoption by Staatblad Number 129 of 1917, the
status of an adopted child the same status as biological children,
relationship with the biological parent is lost, its parents and the adoptive
parents move into guardian foster child, is entitled mewaris like biological
children. Meanwhile, Islamic Legal status of adopted children are not the
same as biological children, relationships with biological parents is not
lost, the power switch but the parents do not become the guardian of
marriage adopted child, mewaris by road was borrowed.
From the difference in concept and effect of law are suggested:
Staatsblad 1917 129 number of adoptions are not in accordance with
the developments happening in the community. On the other hand,
legislation and government regulation regarding the adoption are still
scattered and the concept of adoption is still variable. So it is necessary
national legislation regarding adoptions so that the similarities in concept
and effect of adoption law.
Keywords: Concept,Due to the Law, and Adoption
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................
ii
PERNYATAAN ............................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iv
MOTTO..........................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN...........................................................................................
vii
ABSTRAKSI.................................................................................................
vii
ABSTRACT ...................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
i
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ................................................................................
1
B.
Perumusan Masalah .......................................................................
7
C.
Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
D.
Kegunaan Penelitian........................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengaturan Pengangkatan Anak Di Indonesia
.......................
a. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia..................
b. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia .......................
9
9
11
2. Pengertian Pengangkatan Anak ........................................................
17
a. Pengertian Menurut Keilmuan .............................................
17
b. Pengertian Menurut Pakar Hukum.......................................
18
ix
c. Pengertian Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 .................
20
d. Pengertian Menurut Hukum Islam .......................................
21
e. Pengertian Menurut Hukum Adat ........................................
22
3. Motivasi Pengangkatan Anak ............................................................
23
4. Maksud dan Tujuan Pengangkatan Anak............................................
25
a. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129................................................... 26
b. Menurut Hukum Adat..........................................................................26
c. Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan........
29
5. Syarat Pengangkatan Anak...................................................................
30
a. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129..................................................
30
b. Menurut Hukum Islam........................................................................... 30
c. Menurut Peraturan Perundang-Undangan................................................31
1) SEMA Nomor 6 Tahun 1983...................................................... 32
2) Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984....32
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002................................
33
4) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.........................
34
6. Prosedur Pengangkatan Anak ..............................................................
36
a. Melalui Pengadilan............................................................................
36
b. Melalui Adat......................................................................................
38
7. Hubungan Hukum Orang Tua Angkat Dengan Anak Angkat.............
39
III. METDE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan ........................................................................
41
B.
Spesifikasi Penelitian .....................................................................
41
x
C.
Lokasi Penelitian .............................................................................
41
D.
Jenis dan Sumber Data ....................................................................
42
E.
Metode Pengumpulan Data .............................................................
43
F.
Metode Penyajian Data ...................................................................
43
G.
Metode Analisis Data ......................................................................
43
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penellitian ..............................................................................
44
B.
Pembahasan .....................................................................................
48
1.
Konsep Pengangkatan Anak .....................................................
48
a. Menurut Statblad 1917 Nomor 129.......................................
49
b. Menurut Hukum Islam..........................................................
52
Akibat Hukum Pengangkatan Anak .........................................
56
a. Aspek Hubungan Keluarga...................................................
57
1) Menurut Staatblad 1917 Nomor 129........................
57
a) Status Anak Angkat...................................
57
b) Hubungan Dengan Orang Tua Kandung.......
58
c) Kekuasaan Orang Tua Dan Perwalian..........
58
2) Menurut Hukum Islam.................................................
59
a) Status Anak Angkat.......................................
59
2.
b) Hubungan Dengan Orang Tua Kandung........ 61
c) Kekuasaan Orang Tua Dan Perwalian............ 61
b. Aspek Pewarisan........................................................................ 62
1) Menurut Staatblad 1917 Nomor 129.............................. 62
xi
2) Menurut Hukum Islam.....................................................64
V. PENUTUP
A.
Kesimpulan ....................................................................................
68
B.
Saran ..............................................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam perjalanan hidup mengalami tiga peristiwa penting yaitu:
kelahiran, perkawinan dan kematian, dan sudah menjadi kodratnya antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki mempunyai keinginan untuk hidup bersama
dan membina rumah tangga dalam suatu perkawinan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah disebutkan mengenai
pengertian perkawinan. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi perkawinan tersebut
perkawinan mempunyai tujuan utama yaitu membentuk sebuah keluarga dalam
suasana penuh kasih sayang,rukun, bahagia dan kekal sampai akhir hayat.
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang
terdiri dari seorang ayah, Ibu dan anak. Dalam kenyataan tidak selalu ketiga unsur
ini terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak
mempunyai anak. Dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai
kelompok
kehidupan
masyarakat,
menyebabkan
banyak
keluarga
yang
menginginkan anak, karena berbagai alasan, sehingga terjadilah perpindahan anak
dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain
1
Selanjutnya, salah satu tujuan dari perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya
adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Begitu pentingnya hal keturunan
(anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum misalnya karena
ketiadaan keturunan
(anak) maka timbul
pengangkatan
Pengangkatan anak atau adopsi merupakan peristiwa
anak
(adopsi).
hukum yang biasanya
terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan
(walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi pengangkatan anak
yang dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan
yang tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila suatu perkawinan
tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. Dengan
demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan (anak), maka
tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat
berjalan
Adopsi merupakan perbuatan perdata yang merupakan bagian dari hukum
keluarga,karena akibat dari peristiwa hukum pengangkatan ini adalah terjadi
hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat dalam ruang
lingkup hukum keluarga, yaitu hubungan secara timbal balik dalam arti diantara
mereka terdapat hak dan kewajiban orang tua angkat kepada anak angktanya dan
demikian pula sebaliknya terdapat hak dan kewajiban hukum antara anak angkat
dengan orang tuanya.
Istilah adopsi dengan anak angkat merupakan istilah yang secara umum
memiliki pengertian yang sama, tetapi dalam istilah teknis memiliki pengertian
yang berbeda.perbedaan ini terjadi karena ada yang menyebut adopsi merupakan
2
sebuah konsep yamg pengertiannya melekat dengan pengertian adopsi
sebagaimana yang diatur menurut Staatblad 1917 Nomor 129, sedangkan anak
angkat merupakan sebuah konsep yang pengertiannya melekat pada anak angkat
yang proses pengangkatannya dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri,
atau penyebutan yang diperkenalakan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Tanpa mempedulikan perbedaan dalam pemaknaan dari pengertian
anak angkat dengan adopsi seperti yang tersebut di atas, penulisan ini dipakai
pengertian yang dikemukakan oleh Ahmad Asyar Basyir sebagai berikut: Adopsi
atau pengangkatan anak banyak dilakukan orang yang tidak dianugerahi
keturunan guna memenuhi hasrat nuraninya untuk menyalurkan kasih sayang
kepada anak yang dirasa akan meneruskan garis keturunan hidupnya1 Secara
operasional konsep mengenai adopsi atau pengangkatan anak lebih lanjut telah
dijelaskan oleh Soedaryo Soimin yang mengatakan bahwa pengangkatan anak
atau adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam
keluarganya sendiri, dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan
yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.2 Dengan demikian dapat disepakati
dalam tulisan ini bahwa pengertian mengenai adopsi dan anak angkat tidak perlu
lagi dibedakan atau dipertentangkan.
Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di Indonesia.
Sejak zaman penjajahan Belanda telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara
dan motivasi yang berbeda-beda,sesuai dengan sistem hukum dan perasaan
1
Ahmad Asyar Basyir,. 1979.Kawin Campur Wasiat Adopsi Menurut Islam.Bandung: PT
Alma’arif., hal.19
2
Soedaryo Soimin.2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika., hal.35.
3
hukum yamg hidup serta berkembang di daerah yamg bersangkutan3 dan
peraturan-peraturan atau kaidah hukum yang mengaturnya juga tetap berlaku atas
dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dengan pemahaman harus disesuaikan
dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang baru yang
baru berlaku sekarang ini. Terlebih lagi dengan telah diaturnya pengangkatan anak
ini dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
Tentang Perlindungan anak, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Diantara peraturan perundang-undangan dari zaman Pemerintah Hindia
Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah Staatblad 1917 Nomor 129
yang mengatur mengenai adopsi bagi anak laki-laki Tionghoa, latar belakangnya
adalah sistem kekeluargaan masyarakat Tionghoa adalah mengikuti pola
patrilineal, dan anak laki-laki memiliki posisi sebagi penerus silsilah dan
berkewajiban memelihara abu leluhur, apabila dalam satu keluarga tidak ada anak
laki-laki maka keluarga itu akan putus dan tidak ada lagi yang memelihara abu
leluhur, oleh karena itu lembaga pengangkatan anak menjadi penting karena
merupakan solusi dari permasalahan tersebut, karena kedudukan anak angkat
sama dengan anak kandung. Kemudian dalam fakta sejarah hukum Islam di
Indonesia sekarang ini dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur mengenai
pengangkatan anak, dengan demikian lembaga pengangkatan anak telah diterima
dan diatur dalam Hukum Islam. Masyarakat Islam di Indonesia sekarang ini telah
mengalami perkembangan, tujuan pengangkatan anak tidak lagi semata-mata
untuk meneruskan keturunan, tetapi lebih beragam lagi. Di Indonesia orang lebih
3
Muderis Zaini.2002. Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.,
hal.7.
4
suka mengambil anak dari kalangan keluarga sendiri, sering tanpa surat adopsi
yang semestinya.4 Kemudian berkembang, dimana orang tidak lagi membatasi diri
terhadap kalangan keluarga sendiri tetapi juga terhadap anak-anak orang lain,
walaupun masih tetap bersifat selektif.
Dalam pandangan Islam sendiri, apabila dirunut dari aspek sejarah Islam di
Arab, secara historis sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Mahmut Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan
anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat berbagai bangsa lain sebelum
kedatangan Islam,seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India dan
bangsa lain di Zaman kuno5. Bahkan dari sisi pandang Agama Islam adalah
menjadi tanggung jawab seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang
tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan
hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus
didasari penyantunan semata,sesuai dengan anjuran Allah SWT, tanpa adanya
maksud-maksud lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi yang
bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan
memberikan status yang sama dengan anak kandung sendiri. Sebaliknya
pengangkatan anak dalam arti terbatas, diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan.
Disini tekanan pengangkatan anak adalah dalam segi kecintaan, pemberian
kebutuhan dan bukan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Ini berarti
4
Ibid., hal 8
Ahmad Kamil dan M. Fauzan.2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hal 98
5
5
bahwa agama Islam memperbolehkan dilakukannya pengangkatan anak sepanjang
tidak diangkat sebagai anak kandung.6
Fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas, apabila ditarik kedalam ranah
normatif dalam hukum positif di Indonesia, sekarang ini fakta hukum
menunjukkan anak angkat mamiliki konsep yang pengertiannya multitafsir dan
akibat hukum yang berbeda bagi anak angkat yang pengangkatannya
menggunakan Staatblad 1917 Nomor 129 bagi orang Tionghoa yang sekarang
melalui penetapan Pengadilan Negeri (semula cukup menggunakan akta Notasis
saja).
Pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 memiliki akibat
hukum bahwa antara orang tua kandung dengan anaknya yang diangkat orang lain
menjadi putus, sebab anak angkat tersebut justru menjadi penerus silsilah orang
tua angkatnya, dan memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung,
sedangkan disisi lain bagi orang-orang beragama Islam anak angkat yang
pengangkatan anaknya melalui Pengadilan Agama, hubungan nasab antara anak
yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak putus, anak angkat tidak sama
kedudukannya dengan anak kandung, karena anak angkat dalam Hukum Islam
tidak berkedudukan sebagai ahli waris. Sehingga apabila dilihat dari segi
kepastian hukum dan unifikasi hukum keadaan tersebut diatas menjadikan hukum
pengangkatan anak bisa dikategorikan sebagai hukum yang tidak baik, karena
masih multi tafsir dan tidak pasti akibat hukumnya.
6
R. Seoroso, .2007. Perbandingan Hukum Perdata.Jakarta: Sinar Grafika., hal 196
6
Dilihat dari perspektif hukum dan sstem hukum positif di Indonesia telah
menimbulkan permasalahan mengenai konsep apa yang sebetulnya menjadi dasar
dari lembaga-lembaga hukum anak angkat atau adopsi dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dengan sendirinya perlu
kejelasan mengenai akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak tersebut.
Selanjutnya studi melalui penelitian mengenai konsep dan akibat hukum
pengangkatan anak menjadi penting, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif baik bagi para pembentuk undang-undang, praktisi hukum dan juga bagi
masyarakat. Demikian juga untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum,
untuk itu perlu di lakukan penelitian tentang:
STUDI
PERBANDINGAN
TENTANG
KONSEP
DAN
AKIBAT
HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT STAATBLAD 1917
NOMOR 129 DAN MENURUT HUKUM ISLAM
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor
129 dan menurut Hukum Islam ?
2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917
Nomor 129 dan menurut Hukum Islam?
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :.
1. Untuk mengetahui konsep pengangkatan anak menurut Staatblad 1917
Nomor 129 dan menurut Hukum Islam
2. Untuk mengetahui akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad
1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis adalah untuk menambah wacana dan wawasan
mengenai konsep dan akibat hukum adopsi atau pengagkatan anak dalam
dua sistem hukum yang berbeda yang ada di Indonesia yaitu Staatblad
1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.
2. Kegunaan praktis adalah untuk memotivasi peneliti pada khususnya serta
mahasiswa pada umumnya untuk lebih kritis dalam mengkaji materimateri di bidang ilmu hukum khususnya tentang hukum perdata terkait
dengan adopsi di pandang dari dua sisi hukum yang berbeda yaitu
Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum Islam.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengaturan Pengangkatan Anak di Indonesia
a. Periode Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Sebelum masa Kemerdekaan Republik Indonesia , lembaga pengangkatan
anak hanya dikenal pada sistem kekeluargaan golongan masyarakat adat yang
berpedoman pada hukum adatnya masing-masing.dan masyarakat Timur Asing
Tionghoa yang berpedoman pada Staatblad 1917 Nomor 129. Di beberapa daerah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menganut pada teori Receptio in
Complexu yang dikemukakan Van Der Berg, hukum adat yang berlaku adalah
hukum adat yang telah dipengaruhi Hukum Islam.7Berdasarkan Hukum Islam,
pada prinsipnya agama Islam memperbolehkan dilakukannya pengangkatan anak
sepanjang tidak dijadikan anak kandung8, juga tidak diperbolehkan memutuskan
hubungan dan hak-hak orang tua kandungnya. Pengangkatan anak hanya dari segi
kecintaan, pemeliharaan, dan pendidikan. Juga tidak ada hubungan waris-mewaris
anak angkat dengan orang tua angkatnya.
Berbeda dengan masyarakat adat, sehubungan dengan makin eratnya
hubungan perdagangan antara pemerintah Belanda dengan golongan Timur Asing
pada abad 19, awalnya Pemerintah Belanda mencoba memberlakukan hukum
kekayaan Eropa saja9 untuk keseluruhan golongan Timur Asing. Tahun 1919,
7
Bushar Muhammad, 2004. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita
Op.Cit. R. Soeroso, hal 196
9
Moh. Saleh Djindang, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru. hal 189
8
9
Belanda memberlakukan keseluruhan hukum perdatanya untuk golongan
Tionghoa dan membagi golongan Timur Asing menjadi Timur Asing Tionghoa
dan Timur Asing lain ( Arab,India dan lain-lain ).
Agar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
berasaskan monogami mutlak dapat diberlakukan sebagai satu kesatuan sistem
pada masyarakat Tionghoa, Pemerintah Belanda menghapus lembaga Concubine
yaitu isteri-isteri lain disamping isteri sah yang dikenal pada hukum adat
masyarakat Tionghoa sebelumnya. Salah satu fungsi lembaga ini adalah
memenuhi kebutuhan keturunan anak laki-laki untuk bersembahyang terhadap
para leluhur mereka. Semua anak laki-laki yang lahir dari isteri-isterinya tersebut
merupakan anak-anak sah.10 Dengan dihapusnya lembaga Concubine, untuk
menampung kebutuhan anak laki-laki maka dibuatlah peraturan mengenai
adopsi.11
Peraturan ini dituangkan dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan
untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Latar belakang lembaga pengangkatan
anak ini tidak diuraikan pada Staatblad tersebut, tetapi menurut Utrecht, adopsi
bagi golongan Tionghoa adalah untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki
sehubungan dengan fungsi anak laki-laki yaitu untuk memelihara abu leluhur dan
penghormatan bagi leluhur mereka.12 Oleh karena itu pada Staatblad tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 6 secara tegas dinyatakan bahwa yang dapat
diangkat sebagi anak angkat adalah orang-orang laki-laki Tionghoa yang belum
menikah serta belum pernah diangkat anak oleh orang lain. Syarat ini merupakan
10
G.H.S. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, hal 247
Ibid. Hal 248
12
Op.Cit Ahmad Kamil dan M. Fauzan., hal 22
11
10
syarat mutlak, apabila syarat ini tidak terpenuhi maka pengangkatan anak ini
berakibat batal demi hukum
Peranan notaris pada pengangkatan anak yang mengacu pada Staatbalad ini
sangatlah penting karena sahnya pengangkatan anak ini cukup dengan akta notaris
saja, dan syarat ini merupakan syarat mutlak yang apabila tidak dipenuhi maka
berakibat batal demi hukum. Jadi sebelum masa proklamasi pengaturan
pengangkatan anak hanya
diatur dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yang
diperuntukkan bagi golongan Tionghoa dan masih berlaku hingga sekarang
sementara itu untuk golongan pribumi masih menggunakan Hukum Adat dan
Hukum Islam
b. Pengaturan Pengangkatan Anak Setelah Proklamasi
Pasca proklamasi, Indonesia memasuki era tata hukum nasional,dimana hanya
terdapat dua kategori penduduk yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga
Negara Asing (WNA), namun sebagian hukum era kolonial masih berlaku, antara
lain perihal pengangkatan anak. Hukum warisan kolonial tersebut berlaku di
samping Hukum Adat dan Hukum Islam. Keberagaman sistem hukum tersebut
berakibat pada perbedaan konsepsi pengangkatan anak, yang kemudian menjadi
hambatan sekaligus tantangan untuk mewujudkan pengaturan pengangkatan anak
dalam peraturan perundang-undangan. Proses pengaturan pengangkatan anak
dalam peraturan perundang-undangan pada masyarakat Indonesia yang bhineka
(plural) tidak mudah dan mengalami banyak pertentangan. Pada masa setelah
proklamasi pengaturan pengangkatan anak masih belum terjadi unifikasi hukum
karena proses pengangkatan anak diatur dalam dua peraturan yaitu Undang-
11
Undang Republik Indonesia dan Statblaad 1917 Nomor 129 yang dibuat oleh
Pemerintah Belanda dan diperuntukkan bagi masyarakat golongan Tionghoa.
Reformasi hukum merupakan salah satu mata rantai sejarah perkembangan
hukum di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan reformasi hukum yang berlangsung
ini merupakan perkembangan hukum ketiga setelah kolonialisasi hukum terhadap
hukum adat pada masa penjajahan Belanda yang dilanjutkan oleh proses transisi
hukum dan transformasi hukum yang terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia
sampai dengan berakhirnya Orde Baru. Reformasi hukum menitikberatkan antara
lain pada reorganisasi hukum yang bersifat proaktif, profesional, dan aspiratif
terhadap perkembangan kebutuhan hukum masyarakat nasional maupun
internasional. Reorganisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali materi
hukum dan proses penegakan hukum. Penataan kembali materi hukum ditujukan
terhadap seluruh produk kolonial dan peraturan perundang-undangan nasional
yang sudah tidak relevan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nasional
dan perlindungan hak asasi manusia untuk saat ini dan masa yang akan datang,
antara lain peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak.
Komitmen pemerintah era reformasi untuk memberikan perlindungan terhadap
anak telah ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai
upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan
peningkatan kesejahteraan anak, yang di dalamnya juga mengatur pengangkatan
anak.
12
Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak tersebut telah
ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum
dan praktisi hukum, apakah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan
menangani perkara pengangkatan anak secara Islam bagi warganegara beragama
Islam. Tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut,
perbedaan pendapat tersebut tidak perlu lagi, karena telah diatur dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya, yang menegaskan
bahwa kewenangan tentang perkara pengangkatan anak bagi orang yang beragama
Islam adalah Pengadilan Agama.
Ada beberapa ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang bisa
dijadikan landasan atau dasar hukum dalam pengangkatan anak di Pengadilan
Agama13 :
1. Al-Qur'an Surat Al- Ahzab ayat 4 dan 5, dan sunnah Nabi Muhammad
SAW.
2. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
(penafsiran Pasal 49 )
3. Kompilasi Hukum Islam, pasal 171 huruf (h) dan Pasal 209 ayat (2)
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003, tentang Perlindungan Anak
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 49 dan penjelasannya.
13
. Soedaryo Soimin. 2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Sinar Grafika
13
6. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987, pasal 7 ayat (1).
7. Fatwa MUI No. U.335/MUI/VI/82, tanggal 18 Sya'ban 1402 H/ 10 Juni
1982 M
Sedangkan dasar hukum pengangkatan anak (adopsi) yang di jadikan dasar
pengangkatan anak di Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut:
1. Staatblaad 1917 Nomor 129.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial.
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989.
6. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 1993 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
7. Keputusan Menteri Sosial RI No. 2/HUK/1993, tentang Penyempurnaan
Lampiran Keputusan Menteri Sosial tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
8. Yurisprudensi Mahkamah Agung
Ketentuan-ketentuan hukum tentang pengangkatan anak pertama kali
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Staatsblad 1917 Nomor 129
yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yaitu mengenai adopsi bagi
golongan Timur Asing. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi
orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh orang
yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau
14
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka
janda tersebut tidak dapat melakukannya.Pengangkatan anak menurut Staatblaad
ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan
Akta Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa
Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan14.
Ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan anak versi Hukum Barat ini
diatur dalam Staatsblad Pasal 5 sampai dengan 15 antara lain:
a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang
sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau
keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan
mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya;
b. Seorang janda (cerai mati ) yang tidak mempunyai anak laki-laki
dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. (Pasal
5 );
c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak
beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status siangkat
oleh orang lain. (Pasal 6)
d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15
tahun lebih muda dari istri. (Pasal 7 ayat (1));
e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;
14
Ibid. hal 82
15
f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. (Pasal 10)
g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan
cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. ( Pasal 15 ayat
2 ). Di samping itu adopsi, atas tuntutan oleh pihak yang
berkepentingan juga dapat dinyatakan batal;
h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para
pihak. ( Pasal 15 ayat (1) ). Pasal tersebut merupakan
penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata (
BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara
sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat
perjanjian yang bersangkutan.
i. Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya,. Akan tetapi,
secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat
Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima
abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh
keturunan laki-laki.
j. Akibat Hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain :
1) Pasal
12
memberikan
ketentuan,
bahwa
adopsi
menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama
dengan anak sah dari perkawinan yang orang tua yang
mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak
tersebut seorang janda, anak angkat ( adoptandus)
16
tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan
almarhum suaminya.
2) Adopsi
menghapus
semua
hubungan
kekeluargaan
dengan keluarga asal, kecuali dalam hal :
a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda
dalam bidang perkawinan;
b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
c) Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;
d) Mengenai pembuktian dengan saksi;
e) Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.
3) Oleh
karena
akibat
hukum
adopsi
menyebabkan
hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi
hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris,
yaitu : anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga
sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari
keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya.15
2. Pengertian Pengangkatan Anak
a. Pengertian menurut keilmuan
Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin adoptio
yang artinya pengangkatan anak sebagai anak sendiri, sedangkan dalam kamus
15
Staatblad 1917 Nomor 129
17
bahasa Indonesia arti dari anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan
disamakan dengan anaknya sendiri.
Pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi. Dari segi
etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda)
yang artinya pengangkatan seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri.
Sedangkan menurut bahasa Inggris yaitu adoption yang berarti pengangkatan anak
atau mengangkat anak.16
Secara terminologi seperti disebutkan dalam ensiklopedia umum yang
dikutip oleh Muderis Zaini Adopsi yaitu , suatu cara untuk mengadakan hubungan
antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.17
Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak memiliki, akibat dari pengangkatan
anak yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status
sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban.18
b. Pengertian Menurut Pakar Hukum
Pengertian pengangkatan anak dikemukakan oleh para ahli, antara lain
sebagai berikut :
1) Arif Gosita, SH. dalam bukunya “Masalah Perlindungan Anak”,
mengatakan bahwa :
”Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain
untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri,
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah
menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.”19
16
Op.cit. R.Soeroso. Hal.174
Loc. Cit, Muderis Zaini hal. 5
18
Ibid. hal 5
19
Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. Hal 32
17
18
2) Amir Martosedono, SH. dalam bukunya “Tanya Jawab Pengangkatan
Anak dan Masalahnya”, mengatakan bahwa :
”Anak Angkat adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai
anaknya, dipelihara, diberi makan, diberi pakaian, kalau sakit diberi obat,
supaya tumbuh menjadi dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri.
Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas
warisan orang yang mengangkatnya.” 20
3) Djaja S. Meliala, SH. dalam buku Pengangkatan Anak (Adopsi) di
Indonesia, mengatakan bahwa :Adopsi atau pengangkatan anak adalah
suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak
orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah 21
4) Bastian Tafal, SH. di dalam bukunya “Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari” bahwa
pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan
dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukannya sebagai anak
sendiri22
5) Menurut Hilman Hadi Kusuma, S.H mengemukakan pendapatnya dengan
menyebutkan : Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak
sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas
harta kekayaan rumah tangga.
6) Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H yang
menyebutkan :
20
Amir Martosedono. 1990. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya. Jakarta: Jakarta
Press., hal 15
21
Djaja S Meliala. 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung :Tarsito., hal 27
22
Bastian Tafal.1983. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di
Kemudian Hari., hal.45
19
”Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara
orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu
hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan
anak.”23
Dari pendapat para sarjana seperti yang disebutkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa adopsi atau pengangkatan anak adalah mengangkat anak
orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan diberi kasih sayang layaknya
anak kandung.
c. Pengertian Menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Staatblad 1917 Nomor 129 didasarkan pada hukum adat Cina Selatan. Di
daerah Cina Selatan adopsi adalah bukan semata-mata untuk melanjutkan
keturunan. tetapi untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki sehubungan dengan
fungsi anak laki-laki yaitu untuk memelihara abu leleuhur dan penghormatan bagi
leluhur mereka. Biasanya yang diambil menjadi anak adalah dari keluarga sendiri
atau dari kalangan suku sendiri.24
Pengertian anak angkat menurut Undang-Undang tersebut adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
untuk dijadikan anak sendiri
23
24
Op.Cit. R.Soeroso., hal 175
Op.Cit. Ahmad Kamil dan M. Fauzan.2008.hal 20
20
d. Pengertian Menurut Hukum Islam
Dalam Islam pengangkatan anak telah menjadi tradisi dikalangan mayoritas
bangsa Arab yang dikenal dengan istilah tabbani yang menurut Prof. Mahmud
Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat, sedang dalam Kamus Munjid
diartikan ittikhadzahu ibnan, yaitu menjadikannya sebagai anak angkat.25Dalam
pengertian lain, tabbani adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan
dengan sengaja menasabkan seorang anak padahal anak tersebut sudah
mempunyai nasab yang jelas terhadap orang tua kandungnya.26
Mahmud Syaltut mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian
”pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan
dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang,tanpa diberikan status anak
kandung kepadanya,cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak
sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi
status anak kandung,sehingga ia berhak memakai nama keturunan orang tua
angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai
akibat hukum antar anak angkat dan oramg tua angkatnya itu.27Anak angkat
dalam pengertian pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi
orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau
bagi suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak itu bisa
dididik,sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat
meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang, dan lebih dari itu terbersit
di hati orang tua angkat bahwa anak angkatnya nantinya dapat menjadi anak saleh
25
Op.Cit hal 4
Op. Cit Ahmad Kamil dan M.Fauzan ,2008 hal 29
27
Ibid. hal 30
26
21
yang mau merawat orang tua angkatnya disaat sakit, dan mendoakan di saat orang
tua angkat telah meninggal dunia.28 Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti
itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan
Islam.29 Anak angkat dalam pengertian yang kedua telah lama dikenal dan
berkembang diberbagai negara di dunia,termasuk di Indonesia. Pengangkatan
anak dalam pengertian yang kedua jelas dilarang oleh Islam dan bertentangan
dengan Hukum Islam.30
e. Pengertian Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat di Indonesia terdapat bermacam-macam istilah untuk
pengangkatan anak seperti Mupu anak (Cirebon ), Ngukut anak ( Jawa Barat Suku Sunda ), Nyentanayang (Bali ), Meki anak ( Minahasa ), Ngukup anak (
Suku Dayak Manyan ), Mulang jurai ( Rejang Bengkulu ) dan di Batak Karo
istilahnya sama yaitu anak angkat.31
Adapun menurut Supomo di seluruh wilayah hukum (Jawa Barat) yang
menganut sistem kekeluargaan parental, anak angkat dikenal dengan istilah
“mupu, mulung atau mungut anak” yang dimaksudkan ialah mengangkat anak
orang lain sebagai anak sendiri.32 Di Batak Toba dikenal anak naniain, yaitu
semacam anak angkat Anak naniain” berasal dari kata dasar “ain” artinya
“angkat”, yang menurut kamus Batak Toba Indonesia karangan J. Warneck, anak
niain berarti anak angkat
sedangkan mangain artinya mengangkat seseorang
28
Ibid. hal 104
Ibid. hal 104
30
Ibid. hal 105
31
Op.Cit., Djaja. S. Meliala., hal 8
32
R. soepomo.1987. Hukum Perdata Adat Jawa Barat.Jakarta: Djambatan., hal 24
29
22
menjadi anak sendiri misal keluarga yang tidak mempunyai anak. Di Jawa
Tengah, pengangkatan anak menurut Djojodiguno dan Raden Tritawinata adalah
pengangkatan anak orang dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari
orang tuanya.33 Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri
oleh orang tua angkat yang resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pamili atas kekayaan rumah tangga
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak
menurut hukum adat mempunyai pengertian yang berbeda-beda tujuan yang
hampir sama yaitu untuk meneruskan keturunan.
3. Motivasi Pengangkatan Anak
Takdir Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menentukan lain dari keinginan
manusia untuk memperoleh anak setelah bertahun-tahun menikah tetapi tidak
mempunyai anak maka dalam keadaan yang demikian seseorang melakukan
pengangkatan anak itulah salah satu faktor yang melatar belakanginya.
Menurut Muderis Zaini inti dari motif pengangkatan anak yaitu 34:
1) Karena tidak mempunyai anak.
2) Karena belas kasihan kepada anak tersebut karena orang tua si
anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.
3) Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak
mempunyai orang tua (yatim piatu).
33
34
Soepomo.1987. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha., hal 104
Op.Cit. Muderis Zaini., hal 15
23
4) Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah
seseorang anak perempuan atau sebaliknya.
5) Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat
mempunyai anak kandung.
6) Untuk menambah tenaga dalam keluarga.
7) Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang
layak.
8) Karena unsur kepercayaan,bahwa mempunyai anak mendatangkan
rezeki.
9) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi
yang tidak mempunyai anak kandung.
10) Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan
menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.
M. Budiarto, dalam bukunya yang berjudul “Pengangkatan Anak Ditinjau
Dari Segi Hukum” menyebutkan bahwa faktor atau latar belakang dilakukan
pengangkatan anak, yaitu:
a) Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak
mempunyai anak.
b) Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah
mengangkat anak atau sebagai “pancingan”.
c) Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah
dipunyai.
24
d) Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu
dan sebagainya35.
Menurut Hilman Hadikusuma pengangkatan anak dilakukan karena
alasan-alasan sebagai berikut :
1) Tidak mempunyai keturunan.
2) Tidak ada penerus keturunan.
3) Rasa kekeluargaan
Dari pendapat-pendapat para ahli yang telah diuraikan diatas diketahui
bahwa pada dasarnya motivasi atau sebab-sebab seseorang melakukan
pengangkatan anak adalah sama, yaitu yang paling utama adalah karena tidak
mempunyai keturunan. Dengan adanya pengangkatan anak ini kedua belah pihak
mempunyai hubungan yang saling menguntungkan, yaitu bagi anak angkat dapat
memperoleh kasih sayang dan memperoleh penghidupan yang layak dari orang
tua angkatnya, sedangkan bagi orang tua angkatnya adanya anak angkat dapat
menjadi penerus keturunan mereka dan diharapkan menjadi penolong dihari tua
mereka.
4. Maksud dan Tujuan Pengangkatan anak
Pengangkatan anak pada dasarnya tidak terlepas dari upaya mengatasi
permasalahan anak, oleh karena itu salah satu tujuan utamanya adalah
kepentingan perlindungan atau kesehjateraan anak itu sendiri, diharapkan setelah
anak tersebut menjadi anak angkat keadaannya akan lebih baik dibandingkan
35
. M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: Akademi Pressindo
hal 16
25
ketika sebelum menjadi anak angkat. Tujuan lainnya yaitu semata-mata untuk
melanjutkan dan mempertahankan keturunan dalam suatu keluarga yang tidak
mempunyai keturunan. Dalam perkembangannya tujuan pengangkatan anak
bermacam-macam antara lain:
a. Tujuan pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Tujuan pengangkatan anak bagi orang Tionghoa sebagaiman diatur dalam
Staatblad 1917 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Hukum keluarga
adat golongan Tionghoa menurut garis keturunan laki-laki (patrilineal) karena itu
nama keluarga diturunkan melalui keturunan laki-laki. Jadi apabila tidak ada
keturunan anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan
mengangkat anak dari keluarga lain.36
b. Tujuan pengangkatan anak menurut Hukum Adat
Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah ketunggalan
leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah dengan
tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur
bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan pokok yang sama bahwa
keturunan merupakan unsur hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau
kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan pada umumnya melakukan
pengangkatan anak.37
36
Musthofa, Sy.2008. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Prenada
Media Group., hal 23
37
R. Subekti. 2006. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramitha. Hal 19
26
Pengangkatan anak dalam hukum adat merupakan suatu hal yamg lazim
dilakukan dan dikenal diseluruh wilayah indonesia dengan cara dan motif yang
bervariasi. Tujuannya antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam
suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.38 Ini merupakan motivasi yang
dapat dibenarkan dan salah satu alternatif positif
yang sesuai dengan rasa
kemanusiaan terhadap kehadiran anak dalam lingkungan keluarga setelah sekian
lamanya belum dikaruniai keturunan.
Masyarakat Jawa umumnya mengambil anak angkat dari kalangan
keluarganya sendiri baik laki-laki ataupun perempuan, dengan tujuan:
1. Untuk mempererat tali persaudaran dengan orang tua anak yang diangkat;
2. Untuk mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak perempuan dan
sebaliknya;
3. Sebagai pancingan agar mendapat anak keturunannya sendiri;
4. Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan orang
tuanya.39
Dengan demikian tujuan pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia pada dasarnya adalah:
a) Untuk mempertahankan keturunan dan sebagai kelangsungan
hidup dari yang mengangkat anak. Juga diharapkan agar supaya
kelak dikemudian hari apabila orang tua angkatnya sudah tidak
mampu lagi bekerja maka si anak tersebut diharapkan akan dapat
38
39
Muderis, Zaini.Op.Cit., hal 7
Musthofa, Sy. Op.Cit. hal 28-29
27
memelihara dan memberi nafkah sampai orang tua angkatnya
meninggal dunia.
b) Untuk mempertahankan lingkungan kekeluargaan.
c) Untuk menambah ketenteraman dan kebahagiaan dalam hidup
rumah tangga, karena sudah barang tentu orang yang dalam
keluarga tidak mempunyai anak maka merasa gelisah dan kurang
tentram serta sepi dalam rumah tangganya.
d) Untuk memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang
diangkat.
e) Adanya kepercayaan bahwa karena pengangkatan anak itu
kemudian akan mendapat anak sendiri dalam hal ini yang disebut
anak pancingan.
f) Karena adanya rasa belas kasihan, mereka ingin menolong anaknya
yang hidupnya kekurangan dan terlantar.
g) Untuk mendapatkan bujang, yang dapat membantu pekerjaan orang
tuanya dirumah.40
Seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini,
menunjukan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak lagi semata-mata untuk
meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam. Ada beberapa motivasi yang
mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak jarang pula karena
faktor ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
40
Ibid., hal 15
28
c. Tujuan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan
Tujuan pengangkatan anak menurut Hukum Islam yaitu untuk kepentingan
terbaik bagi anak agar tidak sampai terlantar atau menderita dalam masa
perkembangan dan pertumbuhannya41. Agama Islam mengajarkan agar umat
manusia saling tolong menolong, karena itu pengangkatan anak merupakan salah
satu bentuk sebagai wujud tolong menolong terhadap sesama umat manusia.Hal
ini berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan
ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran
Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan,pengangkatan anak pada
dasarnya adalah untuk mengatasi permasalahan anak, oleh karena itu tujuan utama
dilakukannya pengangkatan anak adalah untuk kepentingan kesejahteraan dan
perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1979 jo Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
yang menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan terbaik bagi anak dan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
41
Loc.cit Zaini, Muderis. Hal 55
29
5. Syarat-syarat Pengangkatan Anak
a. Syarat Pengangkatan Anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Mengenai syarat-syarat tentang pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad
Tahun 1917 Nomor 129 Pasal 8 disebutkan ada 4 syarat, yaitu :
1) Persetujuan orang yang mengangkat anak.
2) Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka
diperlukan ijin dari orang tua itu, apabila Bapak sudah wafat dan ibunya
telah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan Balai Harta
Peninggalan (Wees Kamer) selaku pengawas wali.
3) Apabila anak yang diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka diperlukan
pula persetujuan dari anak itu sendiri.
4) Apabila yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda, maka
harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum
suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah, yang masih
hidup atau jika mereka tidak menetap di Indonesia maka harus ada
persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam
garis laki-laki sampai derajad keempat.42
b. Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga.
42
Staatblad 1917 Nomor 129
30
2) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak
angkatnya.
3) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat.
4) Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya 43
Dari ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan
anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar
seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.44
c.Syarat Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan
Syarat pengangkatan anak diatur dalam undang-undang yaitu dalam SEMA
Nomor
6
Tahun
1983,
Keputusan
Menteri
Sosial
RI
Nomor
41/HUK/KEP/VII/1984, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.
1. SEMA Nomor 6 Tahun 1983
SEMA Nomor 6 Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA)
yang akan mengadopsi anak WNI harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di
43
44
Op.Cit Muderis Zaini. hal 54
Ibid. Hal 55
31
Indonesia selama minimal tiga tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus
mendapat izin tertulis dari Menteri Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan
melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial untuk bergerak
di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan
orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA tidak diperbolehkan.
Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengangkat anak WNI
dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima tahun
2. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984
Syarat bagi calon orang tua angkat adalah:
a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun.
b. Khusus untuk pengangkatan anak antar WNI, selisih umur antara calon
orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20 tahun.
c. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurangkurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan calon orang tua
angkat dengan keadaan sebagai berikut:
1.
tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter
kebidanan/dokter ahli); atau
2.
belum mempunyai anak; atau
3.
mempunyai anak kandung seorang; atau
4.
mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak
kandung.
32
d. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat
yang berwenang serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat.
e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI
f. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan
dokter Pemerintah.
g. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata
untuk kepentingan kesejahteraan anak.
3.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
a. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam poin (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
d. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
e. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
f. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal usulnya dan orang tua kandungnya.
33
g. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam poin 6 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak
yang bersangkutan.
h. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
i. Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam poin 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007.
Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;
d. memerlukan perlindungan khusus.
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun, sepanjang ada alasan mendesak;
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
34
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima
puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak
izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, harus
memenuhi syarat:
a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui
kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
c. melalui lembaga pengasuhan anak.
35
Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia, harus
memenuhi syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan
oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Pemberian izin dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial
di provinsi.
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan diatas, calon orang tua
angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat:
a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
c.membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
6. Prosedur Pengangkatan Anak
a.Melalui Pengadilan
Sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Negeri dan
Pengadilan
Agama
mempunyai
wewenang
untuk
menangani
perkara
pengangkatan anak. Sebelumnya Pengadilan Agama di beberapa daerah telah
menangani perkara pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam,
walaupun waktu itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum dan
36
peraktisi hukum, hal ini di dasarkan kepada penafsiran pasal 49 ayat (1) huruf (b)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 171 huruf (h) dan Pasal 209
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2
Tahun 1987, serta pendapat ahli fiqh dan fatwa MUI. Setelah lahirnya Undangundang Nomor 3 tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi orang
yang beragama Islam adalah kewenangan Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa
berlaku di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orang tua
angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan anak sebagaimana
lazimnya perkara volunter. Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum
acara yang berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan
dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetepan dari permohonan pengangkatan
anak bisa dipedomani SEMA Nomor 2 Tahun 1979 jo SEMA Nomor 6 Tahun
1983.
Sementara itu Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang bukan
beragama
Islam
harus
terlebih
dahulu
mengajukan
permohonan
pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan
diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan
diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon
sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .Adapun isi Permohonan yang dapat
diajukan adalah motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau
37
demi masa depan anak tersebut dan penggambaran kemungkinan kehidupan anak
tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang
saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi
itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi calon orang tua angkat
(baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa calon orang tua angkat
tersebut akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
Setelah permohonan disetujui Pengadilan, maka calon orang tua angkat akan
menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan
yang diterima ini harus dibawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akta kelahirannya. Dalam akta tersebut dinyatakan bahwa anak
tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama orang tua
angkatnya.
b. Melalui Adat
Proses pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat antar daerah satu
dengan daerah lain terdapat perbedaan sesuai dengan hukum adatnya masingmasing. Pengangkatan anak di Jawa, biasanya anak angkat diambil dari
keponakannya sendiri atau dari lingkungan keluarganya sendiri. Meskipun
demikian tidak menutup kemungkinan lain untuk mengangkat anak yang bukan
kerabatnya sendiri, bahkan mengangkat anak yang tidak diketahui siapa orang tua
kandung seperti misalnya anak yang diambil dari panti asuhan.
Dalam hukum adat Jawa, perbuatan pengangkatan anak tidak dilakukan
melalui suatu upacara tertentu yang tidak diharuskan. Tetapi hanya diadakan suatu
38
selamatan dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dengan orang tua
angkat, yang bertujuan untuk keselamatan untuk semua pihak. Biasanya diadakan
selamatan setelah adanya persetujuan antara orang tua kandung dengan calon
orang tua angkat, atau setelah orang tua angkat menerima anaknya dari panti
asuhan atau rumah sakit yang dimintai bantuannya. Pada selamatannya biasa
diundang keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat dengan atau tanpa
dihadiri oleh kepala desa.45 Dengan adanya proses pengangkatan anak tersebut,
dapat dilaporkan kepada kepala desa atau dapat juga tidak dan biasanya kepala
desa tidak mengadakan pencatatan mengenai pengangkatan anak tersebut.
7. Hubungan Hukum Orang Tua Angkat dengan Anak angkat
Hubungan hukum adalah hubungan antara subjek hukum yang diatur oleh
hukum.46 Isinya adalah hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam
pengangkatan anak juga terdapat hak dan kewajiban antara anak angkat dan orang
tua angkatnya, yang menjadikan adanya hubungan hukum antara keduanya.
Hubungan hukum itu berupa:
Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 12 Staatblad 1917 Nomor 129 bahwa
anak angkat dianggap dilahirkan dari perkawinan kedua orang tua angkatnya,
47
ketentuan ini menjadikan anak angkat berstatus sama dengan anak angkat
sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan
hukum antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai
orang tua sendiri. Karenanya timbul hubungan mewaris dan hubungan perwalian.
45
Op.cit Bushar Muhammad, 1981 hal.. 34
J.B. Daliyo. 2001.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Prenhallindo hal.104
47
Staatblad 1917 Nomor 129
46
39
Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam tidak mengubah status anak angkat sama
dengan anak kandung, hal ini ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Ahz’b ayat 4,
ayat 5 yang artinya
“ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). 5. Panggilah mereka) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. alAhzab ( 33 : 4-5 )
Ketentuan seperti ini menjadikan hubungan hukum antara anak yang diangkat
dengan orang tua angkatnya hanya terbatas sebagai hubungan antara orang tua
asuh dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai
anaknya sendiri dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsep legal positif. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan
konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup, dan
terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma lain selain norma hukum.48
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian perbandingan hukum yaitu
suatu penelitian untuk memecahkan suatu permasalahan yang diselidiki dengan
membandingkan data atau gambaran dan juga keadaan subyek atau obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya berdasarkan analisa perkembangan masalah yang menjadi
obyek penelitian
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum,dan Unit
Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman serta
48
Ronny Hanitijo Soemitro,1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta. Hal 13.
41
melalui media internet, majalah, surat kabar, buletin, artikel ilmiah atau yang
lainnya dirasa perlu dan dapat menunjang kelengkapan data.
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti lebih banyak
menggunakan data sekunder
untuk memperoleh hasil penelitian yang obyektif dari penelitian yang dilakukan.
Data sekunder ini meliputi :
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat yaitu
berupa :
1. Kompilasi Hukum Islam.
2. Staatblad 1917 Nomor 129
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari :
1. Pustaka tentang adopsi dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum
Islam
2. Artikel-artikel ilmiah, baik dari surat kabar, internet, majalah atau
buletin tentang adopsi dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum
Islam
Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum.
42
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti lebih terfokus menggunakan data sekunder dan
metode yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah menginventarisasi
dengan cara studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah
karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah
dan juga surat kabar atau media lainnya yang substansinya mengandung materi
penjelasan tentang Adopsi khususnya Adopsi dalam sistem Hukum Barat dan
Hukum Islam.
6. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis,
logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif,
yaitu analisis data dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah
dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik simpulannya.
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh data sebagai berikut:
Data sekunder
No. Aspek
1
Pengertian
Staatblad 1917 Nomor 129
anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang
bertanggung
jawab
atas
perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya untuk
dijadikan anak sendiri.
Hukum Islam
Pasal
171
huruf
(g)
Kompilasi Hukum Islam
Anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan
dan
sebagainya
beralih
tangung jawabnya dari orang
tua asal kepada orang tua
angkatnya
berdasarkan
putusan pengadilan
(M. Budiarto.1991. Pengangkatan
Anak Ditinjau Dari Segi Hukum.
Jakarta: CV.
Akademik & Pressindo)
2
Motivasi
Ingin mempunyai anak laki- Ibadah dan saling tolong –
menolong
laki
( Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan
dari tiga sistem hukum.Jakarta:
Sinar Gafika)
3
4
Tujuan
Jenis
kelamin
anak yang
diangkat
Penerus
silsilah
memelihara abu leluhur
( Muderis Zaini,1995. suatu
tinjauan
dari
tiga
sistem
hukum.Jakarta: Sinar Gafika)
dan Kepentingan
kesejahteraan anak
dan
(Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan
Anak Kewenangan Pengadilan
Agama. Jakarta: Prenada Media
Group.)
( Muderis Zaini,1995. suatu
tinjauan
dari
tiga
sistem
hukum.Jakarta: Sinar Gafika)
Pasal 6.
Yang boleh diangkat sebagai
anak
hanyalah
orang
Tionghoa laki-laki yang tidak
kawin, dan tidak punya anak,
yang belum diangkat oleh
orang lain
Semua orang, baik laki-laki
maupun perempuan
44
(Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan
Anak Kewenangan Pengadilan
Agama. Jakarta: Prenada Media
Group)
5
Syarat
Pasal 8
1. Persetujuan dari orang
atau orang- orang yang
mengadopsi
2. a. dalam hal anak yang
diadopsi
adalah
seorang anak sah,
maka persetujuan dari
orang
tuanya, atau
jika salah satu telah
meninggal dunia, dari
suami atau istri yang
masih hidup dengan
pengecualian
dari
ibunya yang kawin
lagi; dalam hal ini,
demikian juga jika
kedua orang tuanya
telah meninggal dunia,
untuk
melakukan
adopsi seorang anak
yang belum cukup
umur
diharuskan
persetujuan
dari
walinya dan balai harta
peniggalan.
3. dalam hal ini orang
yang diadopsi adalah
anak
di
luar
perkawinan:
persetujuan dari orang
tuanya, jika diakui
oleh keduanya, atau
jika ia hanya diakui
oleh salah satu dari
mereka,
persetujuan
daripadanya; jika tidak
terjadi pengakuan atau
orang tuanya yang
mengakuinya
telah
meninggal
dunia,
maka
untuk
melakukan
adopsi
terhadap orang yang
belum
cukup
umurdiharuskan
45
1 Tidak
memutuskan
hubungan darah antara
anak
yang
diangkat
dengan orang tua biologis
dan keluarga.
2 Anak
angkat
tidak
berkedudukan
sebagai
pewaris dari orang tua
angkat, melainkan tetap
sebagai pewaris dari orang
tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat
tidak
berkedudukan
sebagai pewaris dari anak
angkatnya.
3 Anak angkat tidak boleh
mempergunakan
nama
orang
tua
angkatnya
secara langsung kecuali
sekedar sebagai tanda
pengenal alamat.
4 Orang tua angkat tidak
dapat bertindak sebagai
wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya
( Muderis Zaini,1995. suatu
tinjauan dari tiga sistem
hukum.Jakarta: Sinar Gafika)
persetujuan
dari
walinya dan dari balai
harta peninggalan.
4. persetujuan dari orang
yang diadopsi, jika ia
telah mencapai usia
lima belas tahun.
5. dalam hal adopsi oleh
seorang janda seperti
yang dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3),
persetujuan
dari
kakak-kakak
yang
telah dewasa dan dari
ayah (dari suami) yang
telah meninggal dunia,
dan jika mereka tidak
ada atau jika orangorang tersebut tidak
bertempat tinggal di
Indonesia, dari dua
orang
diantara
keluarga
laki-laki
terdekat yang sudah
dewasa dari garis
bapak dari suami yang
telah meninggal dunia
sampai
derajat
keempat
yang
bertempat tinggal di
Indonesia.
6
7
Hubungan
Hukum
Akibat
Hukum
antara anak yang diangkat
dengan orang tua angkat
timbul hubungan hukum
antara anak angkat sebagai
anak kandung dan orang tua
angkat sebagai orang tua
kandung
hanya
terbatas
sebagai
hubungan antara orang tua
asuh dengan anak asuh saja
tidak sampai menjadikan
anak angkat tersebut sebagai
anak kandung
(Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan.
( Staatblad 1917 Nomor 129)
2008. Hukum Perlindungan dan
Pengangkatan Anak di Indonesia.
Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.)
1. Pasal 11
1 tidak membawa akibat
hukum
dalam
hal
hubungan darah atau
Adopsi membawa akibat demi
46
nasab, hubungan walihukum, bahwa orang yang
mewali dan hubungan
diadopsi, jika ia mempunyai
waris-mewaris
dengan
nama keturunan lain daripada
orang tua angkatnya
laki-laki yang mengadopsinya
sebagai
anak
laki- 2 anak tetap memakai nama
dari Bapak kandung
lakinya,memperoleh
nama
keturunan dari orang yang 3 hubungan dengan orang
tua aslinya tidak terputus
mengadopsi sebagai ganti dari
nama keturunan orang yang 4 tetap menjadi ahli waris
orang tua kandungnya
diadopsi itu.
5 tidak mewaris terhadap
orang tua angkatnya tetapi
2. Pasal 12.
dapat memperoleh harta
(1) Bila orang-orang yang
warisan melalui wasiat
kawin mengadopsi seorang
wajibah.
laki-laki, maka ia dianggap
dilahirkan dari perkawinan (Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan.
2008. Hukum Perlindungan dan
mereka.
Pengangkatan Anak di Indonesia.
3. Pasal 14.
Jakarta:
PT
Raja
Grafindo
Karenasuatu adopsi, maka Persada.)
gugurlah hubungan-hubungan
keperdataan
yang terjadi
karena keturunan alamiah
antara orang tua atau keluarga
sedarah dan semenda dengan
orang yang diadopsi, kecuali
terhadap:
a) larangan-larangan
perkawinan
berdasarkan saudara
sedarah dari garis
samping
b) ketentuan-ketentuan
dalamhukum pidana
yang didasarkan pada
keturunan alamiah;
c) ganti rugi biaya-biaya
perkara dan sandera
d) pembuktian
dengansaksi-saksi;
e) bertindaknya sebagai
saksi pada akta-akta
otentik.
Sumber data: Kompilasi Hukum Islam; Staatblad 1917 Nomor 129., Kamil ,Ahmad dan M.
Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: PT Raja
47
Grafindo Persada., M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta:
CV.Akademik & Pressindo., Musthofa,Sy.2008.Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan
Agama. Jakarta: Prenada Media Group., Muderis Zaini,1995. suatu tinjauan dari tiga sistem
hukum.Jakarta: Sinar Gafika.
B. Pembahasan
1. Konsep Pengangkatan Anak
Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk
menggambarkan suatu fenomena yang akan diteliti. Itulah yang disebut konsep
yaitu istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak :
kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu
sosial. Dengan kata lain konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang
dirumuskan atas dasar dari generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.
Untuk mengetahui konsep pengangkatan anak kita harus terlebih dahulu
mengetahui konsep dari anak angkat, dari penelitian yang telah dilakukan
didapatkan dua konsep anak angkat yaitu :
1. Anak yang haknya dialihkan dari kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, serta memasukkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya untuk dijadikan anak kandung;
2. Anak yang tanggung jawabnya dialihkan dari orang tua asal kepada orang
tua angkat yang berkewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak tersebut
tanpa diberikan status anak kandung terhadap anak tersebut.
Konsep anak angkat tersebut merupakan dua konsep yang berasal dari dua
sistem hukum yang berbeda, konsep yang pertama merupakan konsep yang
48
berasal dari Hukum Barat yang dituangkan dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dan
konsep yang kedua merupakan konsep yang ada dalam Hukum Islam. Di lihat dari
perbedaan konsep anak angkat maka konsep pengangkatan anak dalam Staatblad
1917 Nomor 129 dengan Hukum Islam juga berbeda.
1.a. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Pengertian
pengangkatan anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang
dikenal dengan istilah adopsi, yang berarti pengangkatan seorang anak dijadikan
seperti anak kandung atau anak sendiri. Pengangkatan anak menurut menurut
Staatblad 1917 Nomor 129 ini adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh
seorang laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai mati, tidak
mempunyai keturunan laki-laki dari garis laki-laki, baik keturunan karena
kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak
yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai
anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris
dari keluarga sedarah asalnya, dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang
mengangkatnya.
Motivasi pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu ingin
mempunyai anak laki-laki, hal ini dikarenakan dalam masyarakat Tionghoa,
sistem kekeluargaan masyarakat Tionghoa adalah mengikuti pola patrilineal dan
anak laki-laki memiliki posisi sebagi penerus silsilah dan berkewajiban
memelihara abu leluhur, apabila dalam satu keluarga tidak ada anak laki-laki
maka keluarga itu akan putus dan tidak ada lagi yang memelihara abu leluhur .
49
Sebelum melakukan pengangkatan anak terdapat persyaratan yang harus
dipenuhi, syarat pengangkatan anak menurut Pasal 8 Staatblad 1917 Nomor 129
yaitu:
(1) Persetujuan dari orang atau orang- orang yang mengadopsi
(2) a. dalam hal anak yang diadopsi adalah seoran anak sah, maka persetujuan
dari orang tuanya, atau jika salah satu telah meninggal dunia, dari suami atau
istri yang masih hidup dengan pengecualian dari ibunya yang kawin lagi;
dalam hal ini, demikian juga jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia,
untuk melakukan adopsi seorang anak yang belum cukup umur diharuskan
persetujuan dari walinya dan balai harta peniggalan.
b. dalam hal ini orang yang diadopsi adalah anak di luar perkawinan:
persetujuan dari orang tuanya, jika diakui oleh keduanya, atau jika ia hanya
diakui oleh salah satu dari mereka, persetujuan daripadanya; jika tidak terjadi
pengakuan atau orang tuanya yang mengakuinya telah meninggal dunia, maka
untuk melakukan adopsi terhadap orang yang belum cukup umurdiharuskan
persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan.
(3) persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia lima belas
tahun.
(4) dalam hal adopsi oleh seorang janda seperti yang dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3), persetujuan dari kakak-kakak yang telah dewasa dan dari ayah (dari
suami) yang telah meninggal dunia, dan jika mereka tidak ada atau jika
orang-orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, dari dua orang
diantara keluarga laki-laki terdekat yang sudah dewasa dari garis bapak dari
suami yang telah meninggal dunia sampai derajat keempat yang bertempat
tinggal di Indonesia.
Dari bunyi Pasal tersebut persyaratan pengangkatan anak harus ada
persetujuan orang yang tua kandung dan orang yang mengangkat anak. Apabila
anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan ijin
dari orang tua itu, apabila salah satu orang tua telah meninggal dunia maka harus
ada persetujuan dari salah satu , kecuali Bapak sudah wafat dan ibunya telah
kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya. Demikian juga untuk
mengangkat anak yang tidak sah harus ada persetujuan dari orang tuanya jika
anak tersebut diakui oleh keduanya orang tuanya tetapi jika yang mengakui hanya
salah satu dari orang tuanya, ataupun tidak terdapat pengakuan atau orang tuanya
50
telah meninggal dunia maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta
peniggalan.
Jika anak yang diangkat itu sudah berusia lima belas tahun, maka diperlukan
pula persetujuan dari anak itu sendiri. Apabila yang akan mengangkat anak itu
seorang janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari
almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah, yang masih
hidup atau jika mereka tidak menetap di Indonesia maka harus ada persetujuan
dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki
sampai derajat keempat.
Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Dengan adanya
pengangkatan anak dalam Staatblaad 1917 Nomor 129 ini maka akan timbul suatu
hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat. Hubungan hukum
yang timbul antara orang tua angkat dengan anak angkat yaitu anak angkat
sebagai anak kandung dan orang tua angkat sebagai orang tua kandung. Sehingga
timbul hak dan kewajiban antara orang tua angkat dengan anak angkat. Dalam
Staatblaad 1917 Nomor 129 anak angkat berstatus sama dengan anak kandung,
maka hak dan kewajiban yang muncul antara anak angkat dan orang tua angkat
sama dengan hak dan kewajiban antara anak kandung dengan orang tua kandung.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, konsep pengangkatan anak dalam Staatblad
1917 Nomor 129 yaitu, suatu suatu peristiwa hukum proses penyerahan anak lakilaki Tionghoa oleh orang tua kandung kepada orang tua angkat dan menempatkan
kedudukan anak angkat tersebut sama dengan anak kandung dan putus hubungan
51
silsilah antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat serta anak yang
diangkat tersebut menggunakan nama marga orang tua angkat.
1.b. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam pengangkatan anak adalah memperlakukan sebagai anak
dalam kecintaan pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Pengertian pengangkatan anak seperti tersebut di atas telah pula disampaikan
Mahmud Syaltut yang mengemukakan bahwa pengertian pengangkatan anak yaitu
, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan
kasih
sayang,tanpa diberikan
status
anak
kandung kepadanya,cuma ia
diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Definisi ini
menggambarkan, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan
nafkah, kasih sayang dan pendidikan, sehingga tidak dapat disamakan dengan
status anak kandung baik dari segi pewarisan maupun dari perwalian.
Konsep pengangkatan anak tersebut dapat dipahami jika melihat motivasi
pengangkatan anak dalam Hukum Islam, motivasi dan tujuan pengangkatan anak
dalam Hukum Islam yaitu ingin mempunyai anak sebagai penerus keturunan dan
merupakan suatu
ibadah yaitu memberi pertolongan terhadap anak tersebut,
sehingga dalam Hukum Islam anak yang diangkatpun tidak dibedakan antara lakilaki maupun perempuan.
Jika dilihat dari sebelum dan sesudah diundangkannya Kompilasi Hukum
Islam maka dapat dilihat bahwa sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
52
konsep pengangkatan anak di Indonesia seperti konsep anak asuh menurut istilah
sekarang yaitu menjadikan anak yang bukan anak kandungnya untuk dipelihara,
dididik dan diperlakukan dengan baik, tetapi setelah adanya KHI konsep
pengangkatan anak ini mengalami perubahan dimana menurut KHI pengangkatan
anak yaitu mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang,tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, cuma
ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri dan mengalihkan
tangung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan
pengadilan.
Setelah adanya putusan dari pengadilan mengandung maksud bahwa
pengangkatan anak menurut KHI harus melalui pengadilan, dengan lahirnya
Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama memiliki
kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara
permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.
Selanjutnya untuk melakukan pengangkatan anak terdapat syarat yang harus
dipenuhi, syarat-syarat tersebut antara lain :
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologis dan keluarga.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang
tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
53
3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal alamat.
4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut
hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak
tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Setelah pengangkatan anak terjadi maka akan timbul suatu hubungan hukum,
pengangkatan anak dalam Hukum Islam menimbulkan hubungan hukum antara
anak angkat dengan orang tua angkat yaitu hubungan antara orang tua asuh
dengan anak asuh saja tidak sampai menjadikan anak angkat tersebut sebagai
anaknya sendiri sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Ahz’b ayat 4
dan ayat 5 yang artinya
“ (ayat 4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). (Ayat 5). Panggilah (mereka) dengan (memakai) nama bapakbapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS.
al-Ahzab ( 33 : 4-5 )
Ayat ke 4 dan 5 dalam surat al-Ahzab mengandung pengertian bahwa Allah
melarang pengangkatan anak yang menghubungkan segala-galanya kepada nama
bapak angkatnya, seperti persamaan hak waris, hubungan mahram dan perwalian
perkawinan sebagaimana layaknya anak kandung. Anak angkat itu hanya bisa
54
sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan
status anak kandung sehingga hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua
kandungnya masih tetap ada, perubahan yang terjadi dalam pengangkatan anak
menurut Hukum Islam adalah pengalihan hak dan kewajiban antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya.. Di dalam undangundang hak dan kewajiban antara anak dan orang tua diatur dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hak dan
kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini :
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakala orang tuanya
sudah tua
Dalam pengangkatan anak hak dan kewajiban orang tua angkat dengan anak
yang diangkat harus seimbang sehingga keharmonisan dan keadilan hukum dapat
tercipta. Hak dari orang tua angkat adalah sebagaimana maksud ketika ia
melakukan pengangkatan anak sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari
pengangkatan anak itu yaitu memberikan kasih sayang terhadap anak tersebut.
Dalam hal kewajiban orang tua angkat sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah
memelihara, mendidik, mengasuh dan membesarkannya dengan baik serta
memenuhi segala kebutuhannya layaknya anak kandung sendiri setelah adanya
putusan dari pengadilan. Jadi menurut Hukum Islam konsep pengangkatan anak
adalah peristiwa hukum proses penyerahan anak oleh orang tua kandung kepada
55
orang tua angkat tetapi tidak menempatkan kedudukan anak angkat tersebut sama
dengan anak kandung dan tidak memutuskan hubungan silsilah antara anak angkat
dengan orang tua kandung sehingga anak tersebut asih mengguanakan nama
marga orang tua kandung.
2. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat hukum dari
perbuatan itu. Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak, mempunyai
akibat yang secara umum dapat dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek
hubungan keluarga dan aspek pewarisan. Perbuatan pengangkatan anak
merupakan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap orang tua
angkatnya maupun terhadap anak angkatnya. Akibat hukum ini merupakan
konsekuensi dari suatu perbuatan hukum, akibat hukum itu timbul terhadap para
pihak yang bersangkutan dan harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan,
baik itu dirasakan menguntungkan ataupun merugikan. Konsep pengangkatan
anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 berbeda dengan konsep pengangkatan
anak dalam Hukum Islam, hal ini menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula,
baik dalam aspek hubungan keluarga dan aspek pewarisan.
56
a. Akibat Hukum Dalam Aspek Hubungan Keluarga
1. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129
1. a Status Anak Angkat
Sebagai akibat dari pengangkatan anak, di dalam staatblad 1917 nomor 129
anak angkat dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengangkat
anak Sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 disebutkan
bahwa, bila orang-orang yang kawin mengadopsi seseorang laki-laki, maka ia
dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka. Karena anak angakat dianggap
dilahirkan dari perkawinan orang yang mengangkat anak maka dalam keluarga
tersebut anak angkat berkedudukan sebagai anak sah. Anak sah adalah anak yang
lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, jadi anak tersebut
dianggap sebagai anak sah atau anak kandung orang tua angkat tersebut.
Anak angkat menurut hukum dianggap sebagai anak kandung dari orang tua
angkatnya. Dengan demikian anak angkat tersebut secara otomatis mendapatkan
hak-haknya dan kewajiban-kewajiban yang tidak beda layaknya dengan seorang
anak kandung dari orang tua angkatnya. Hak anak antara lain anak berhak
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan dari orang tuanya, sedangkan
kewajibannya antara lain anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. Mengenai masalah nama, karena anak angkat
berstatus sama dengan anak kandung maka anak angkat tersebut menggunakan
nama dari bapak angkatnya.
57
1. b. Hubungan Dengan Orang Tua Kandung
Sementara itu dilihat dari aspek hubungan keluarga antara anak angkat dengan
orang tua kandungnya, dengan dijadikannya anak angkat sebagai anak kandung
oleh orang tua angkat hubungan keperdataan anak angkat dengan orang tua
aslinya menjadi putus sama sekali artinya anak yang diangkat tersebut tidak lagi
mempunyai hak dan kewajiban
yang sama layaknya anak kandung terhadap
orang tua aslinya, hak dan kewajiban itu beralih kepada orang tua angkatnya.
1. c. Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian
Karena anak angkat berstatus sama dengan anak kandung maka ketentuan
mengenai kekuasaan orang tua juga tunduk terhadap BW. Kekuasaan orang tua
dalam BW yaitu kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak yang belum dewasa
dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak yang belum dewasa. Anak yang
belum dewasa artinya anak tersebut belum berusia 21 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan, Kekuasaan orang tua itu berupa :
1. Kekuasaan atas diri pribadi anak yaitu untuk mewakili anak dalam
melakukan suatu perbuatan hukum bagi anak yang belum berumur 18
tahun atau belum melangsungkan perkawinan
2. Kekuasaan terhadap harta benda anak , terhadap anak yang belum berumur
18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan memiliki kekuasaan
untuk mengurus harta anak tersebut dan menikmati keuntungan yang
diperoleh dari kepengurusan harta tersebut. Selama harta si anak tersebut
58
berada dalam kekuasaan orang tua, orang tua dilarang melakukan tindakan
yang
merugikan
anak
tersebut,
seperti
memindahkan
hak
atau
menggadaikan barang anaknya, kecuali bila kepentingan si anak
menghendaki hal itu
Dalam pengangkatan anak akibat anak angkat berstatus sama dengan anak
kandung maka kekuasaan orang tua beralih dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat, kekuasaan orang tua itu beralih sejak pengangkatan anak itu terjadi
yang prosesnya dulu hanya dengan menggunakan akta notaris tetapi sekarang
dengan putusan pengadilan.
Masalah perwalian berhubungan dengan kekuasaan orang tua dimana
perwalian tidak akan terjadi apabila anak masih ada dalam kekuasaan orang
tuanya, dan kekuasaan orang tua meliputi diri pribadi anak dan harta bendanya.
Dengan beralihnya kekuasaan orang tua terhadap orang tua angkat maka orang tua
angkat itu menjadi wali dari anak angkat tersebut.
2. Menurut Hukum Islam
2. a. Status Anak Angkat
Hukum Islam tidak menjadikan anak angkat berstatus sama dengan anak
kandung dalam segala hal, status anak ini hanya sebagai anak asuh dari orang tua
angkatnya dalam arti memelihara dan mendidik anak tersebut. Pengangkatan anak
ini pada dasarnya adalah demi kepentingan dan kesejahteraan si anak sendiri,
seperti yang disebutkan didalam surat al- azhab ayat 4 yang artinya:
59
“….. dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain
yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan
memutuskan hubungan dan hak-hak itu dengan orang tua kandungnya.
Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata Disini tekanan
pengangkatan anak adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat adalah anak yang tanggung
jawab pemeliharaan dan pendidikan beralih dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat tanpa diberikan status sebagai anak kandung. Jadi dalam Kompilasi
Hukum Islam anak angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung yang
beralih hanyalah dari aspek hak dan kewajiban orang tua yang dari orang tua
kandung beralih kepada orang tua angkat. Hak dan kewajiban itu berupa tanggung
jawab pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak tersebut. Mengeni masalah
nama, anak angkat tetap memakai nama dari orang tua kandungnya dan tidak
diperbolehkan menggunakan nama dari orang tua angkat. Penggunaan nama orang
tua angkat hanya sebagai tanda pengenal atau penunjuk alamat saja.
2.b Hubungan Dengan Orang Tua kandung
Ketentuan seperti ini menjadikan hubungan anak angkat dengan orang tua
asalnya masih tetap ada, pengangkatan anak tidak memutuskan nasab antara
60
orang tua kandung dengan anak angkat, nasab adalah keturunan atau ikatan
keluarga atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan
darah ke atas (bapak, kakek,ibu, nenek dan seterusnya) ke bawah (anak, cucu dan
seterusnya ) maupun ke samping ( saudara, paman, bibi dan seterusnya).
Kejelasan nasab sangat penting dalam Islam, akibat dari ketidak jelasan nasab
dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahrom. Untuk itulah Islam
mengharamkan untuk menghubungkan nasab seseorang kepada orang lain yang
bukan ayah kandungnya. Menurut Hukum Islam nasab adalah hubungan darah,
jadi tidak mungkin seorang anak angkat memiliki nasab terhadap orang tua
angkatnya, karena memang anak tersebut tidak dilahirkan dari perkawinan orang
tua angkat sehingga anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan orang
tua angkat, hubungan anak angkat dengan orang tua angkat hanya berbentuk
hubungan hukum berupa peralihan tanggung jawab dari orang tua asalnya
peralihan tanggung jawab itu berupa pemeliharaan dan mendidik anak.
2.c Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian
Pengangkatan anak dalam Hukum Islam tidak mengalihkan status
anak
angkat berubah menjadi berstatus sama dengan anak kandung, pengangkatan anak
hanya dari segi kecintaan dan kasih sayang terhadap anak tersebut, sehingga dari
aspek kekuasaan orang tua dan perwalian, kekuasaan orang tua dan tetap berada
ditangan orang tua kandung, orang tua kandung tetap menjadi wali dari anak
angkat.
61
Sejak adanya Kompilasi Hukum Islam pengangkatan anak tidak hanya
mengalihkan hak dan kewajiban orang tua kandung kepada orang tua angkatnya,
tetapi dari aspek kekuasaan orang tua juga ikut beralih dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat. Hal ini bisa dilihat dari pengertian anak angkat dalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaannya untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal (kandung) kepada orang tua angkat
berdasarkan putusan pengadilan. Setelah adanya putusan dari pengadilan
mengandung maksud bahwa pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam
harus melalui pengadilan. Jadi Orang tua angkat berhak mewakili anak dalam
melakukan suatu tindakan hukum dan memelihara harta anak tersebut sejak
adanya putusan dari pengadilan .
Dari aspek perwalian orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat, tetapi
hanya dapat menjadi wali terbatas yaitu menjadi wali terhadap diri anak angkat,
harta anak angkat,dan melakukan suatu perbuatan hukum tetapi tidak dapat
menjadi wali nikah anak angkat apabila anak yang diangkat itu perempuan.
b. Akibat Hukum Dalam Aspek Pewarisan
1. Menurut Staatblad 1917 Nomor 129
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan
anak angkat berstatus sama dengan anak kandung, dilihat dari aspek pewarisan
anak angkat juga mempunyai hak waris sama dengan anak kandung namun
Staatblad 1917 Nomor 129 tidak diatur masalah kewarisan. Karena anak angkat
62
dalam Staatblad 1917 Nomor 129 dianggap sebagai anak kandung maka
kedudukan seorang anak angkat dalam lapangan hukum kewarisan dapat
menggunakan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal
tersebut disebutkan anak kandung termasuk ke dalam anggota keluarga golongan
pertama. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa terdapat
empat penggolongan ahli waris, yaitu :
1.
Golongan 1
2. Golongan 2
: Anak-anak dan keturunannya, termasuk suami/isteri;
: Orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara sekandung
dan/atau anak-anak keturunannya;
3. Golongan 3
: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu,
dan seterusnya dalam garis lurus keatas dari pewaris;
4. Golongan 4
: Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai dengan
derajat ke enam
Mengenai penggolongan tersebut, apabila ada ahli waris golongan satu,maka
golongan ahli waris yang lain tidak berhak mewaris, apabila ahli waris golongan
satu tidak ada, maka ahli waris golongan dua yang berhak mewaris, demikian
seterusnya sampai dengan golongan empat. Keturunan dari orang yang
meninggalkan warisan merupakan ahli waris yang terpenting, karena pada
kenyataannya mereka merupakan satu-satunya ahli waris, jika orang yang
meninggalkan warisan itu mempunyai keturunan Apabila orang tua angkatnya
tersebut tidak mempunyai anak kandung dan kedua orang tua angkatnya tersebut
meninggal dunia, maka anak angkat tersebut dapat mewarisi harta peninggalan
dari orang tua angkatnya. Mengenai penggantian kedudukan, seorang anak angkat
63
tidaklah berbeda dengan kedudukan seorang anak kandung, sedangkan jika dilihat
dari hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya , maka akibat
adanya pengangkatan anak adalah terputusnya hubungan kewarisan antara si anak
angkat dengan orang tua kandungnya atau saudaranya, dikarenakan masuknya si
anak angkat ke dalam keluarga dari orang tua angkatnya.
2. Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam, dalam hal hubungan waris mewaris, prinsip yang
menjadi hal pokok dalam pewarisan menurut Hukum Islam adalah adanya
hubungan darah atau mahram, tetapi mengingat hubungan antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya sudah dekat serta memperhatikan jasa baiknya
terhadap keluarga orang tua angkatnya, Islam tidak menutup kemungkinan sama
sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya
Karena anak angkat tidak dapat saling mewaris dengan orang tua angkatnya,
maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak
angkat adalah dengan wasiat , yang dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia
masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga harta warisan
sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Secara terminologi wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari
seseorang terhadap pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik
harta berbentuk materi maupun yang berbentuk manfaat. Jadi wasiat ini
dilaksanakan setelah si pewasiat meninggal dunia baik itu berupa harta berwujud
maupun harta yang tidak berwujud.. Masalah wasiat tersebut telah diatur dalam
64
Kompilasi Hukum Islam, wasiat tersebut dinamakan wasiat wajibah seperti dalam
ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) bahwa seorang anak angkat
berhak 1/3 ( sepertiga ) bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya begitu
juga sebaliknya sebagai suatu wasiat wajibah. Sedangkan pengertian
wasiat
wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat
negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu,
sementara dalam Pasal 209 ayat (1 dan 2) disebutkan wasiat wajibah adalah
wasiat yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak
diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkatnya atau anak angkatnya, dengan
jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Dari ketentuan diatas dapat
disimpulkan bahwa aank angkat berhak memperoleh harta warisan orang tuanya
melalui wasiat wajibah yang besarnya 1/3 harta orang tua begitu juga sebaliknya,
orang tua angkat dapat mewaris harta yang ditinggalkan anak angkatnya dengan
bagian yang sama pula.
Dari apa yang dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa akibat hukum
pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 dan Hukum Islam
dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek hubungan keluarga dan aspek
hubungan pewarisan, perbedaannya jika dilihat dari hubungan keluarga, Staatblad
1917 Nomor 129 menjadikan anak angkat tesebut sebagai anak kandung dari
orang tua angkat dan memutuskan hubungan keperdataan antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya sehingga akibatnya anak angkat tersebut memiliki
65
hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung terhadap orang tua
angkatnya. Dari aspek kekuasaan orang tua dan perwalian kekuasaan orang tua
beralih ke tangan orang tua angkat dan orang tua angkat menjadi wali anak angkat
, sedangkan menurut Hukum Islam anak angkat tidak dijadikan sebagai anak
kandung tetapi hanya bersifat pengasuhan saja, tidak memutuskan hubungan
dengan orang tua kandungnya, orang tua angkat tidak menjadi wali anak angkat
tetapi setelah adanya Kompilasi Hukum Islam hak dan kewajiban serta kekuasaan
orang tua ikut beralih dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Dalam hal
perwalian orang tua angkat dapat menjadi wali atas diri anak dan harta anak
angkat tetapi tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak angkat tersebut
perempuan.
Sementara itu dalam aspek pewarisan, menurut Staatblad 1917 Nomor 129
anak angkat berhak mewaris layaknya anak kandung yang berkedudukan sebagai
ahli waris golongan pertama dan tidak mewaris dari orang tua kandungnya
sedangkan dalam Hukum Islam , pada prinsipnya anak angkat hanya berhak
mewaris dari orang tua kandungnya, tetapi setelah adanya Kompilasi Hukum
Islam dengan pertimbangan kemanusiaan anak angkat berhak pula mewaris dari
orang tua angkatnya yaitu dengan jalan wasiat wajibah yang dalam Kompilasi
Hukum Islam ditentukan besarnya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa Pengangkatan anak
di Indonesia memiliki konsep pengertian dan akibat hukum yang multitafsir,
konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 nomor 129 menjadikan anak
angkat berstatus sama dengan anak kandung di sisi lain konsep pengangkatan
66
anak dalam Hukum Islam anak angkat hanya sebagai anak asuh. Dalam UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak konsep pengangkatan
anak yaitu pengangkatan anak mengalihkan hak anak dari kekuasaan orang tua
tanpa dijadikan anak kandung.
Adanya dualisme konsep tersebut menimbulkan akibat hukum yang
bebeda pula konsep yang pertama akan berakibat hukum anak tersebut menjadi
anak kandung dari orang tua angkat sehingga memiliki hak dan kewajiban sebagai
anak kandung. Dari konsep kedua, anak angkat bersifat pengasuhan saja yang
berakibat hukum tidak menjadi anak kandung dari orang tua angkat.
Pascaproklamasi, Indonesia memasuki era tata hukum nasional, namun
sebagian hukum era kolonial masih berlaku, antara lain perihal pengangkatan
anak. Hukum warisan kolonial tersebut berlaku di samping hukum adat dan
hukum Islam. Keberagaman sistem hukum tersebut berakibat pada perbedaan
konsepsi pengangkatan anak, yang kemudian menjadi hambatan sekaligus
tantangan untuk mewujudkan pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan
perundang-undangan. Adanya dualisme konsep dan akibat hukum pengangkatan
anak tersebut tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena hukum
pengangkaan anak masih multitafsir dan tidak pasti akibat hukumnya. Untuk
itulah perlu diadakan unifikasi hukum pengangkatan anak sehingga hukum
pengangkatan anak tidak lagi multitafsir dan dapat menjamin kepastian hukum
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai
berikut
1. Konsep pengangkatan anak dalam Staatblad 1917 Nomor 129 yaitu, suatu
suatu peristiwa hukum proses penyerahan anak laki-laki Tionghoa oleh
orang tua kandung kepada orang tua angkat dan menempatkan kedudukan
anak angkat tersebut sama dengan anak kandung dan putus hubungan
silsilah antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat serta anak
yang diangkat tersebut menggunakan nama marga orang tua angkat,
sedangkan menurut Hukum Islam konsep pengangkatan anak adalah
peristiwa hukum proses penyerahan anak oleh orang tua kandung kepada
orang tua angkat tetapi tidak menempatkan kedudukan anak angkat
tersebut sama dengan anak kandung dan tidak memutuskan hubungan
silsilah antara anak angkat dengan orang tua kandung sehingga anak
tersebut asih mengguanakan nama marga orang tua kandung.
2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut Staatblad 1917 Nomor 129 dan
Hukum Islam dikualifikasikan dalam dua aspek yaitu aspek hubungan
keluarga dan aspek hubungan pewarisan :
a.Aspek Hubungan Keluarga
1).Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 :
68
a.Status anak angkat menjadi anak kandung orang tua angkat
b.Hubungan anak angkat dengan orang tua kandung putus sama
sekali
c.Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian beralih dari orang tua
kandung kepada orang tua angkat
2).Menurut Hukum Islam:
a.Status anak angkat tidak menjadi anak kandung dari orang tua
angkat
b.Hubungan anak angkat dengan orang tua kandung tidak terputus
c.Kekuasaan orang tua beralih dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat, tetapi orang tua angkat tidak dapat menjadi wali nikah
dari anak angkat apabila anak angkat tersebut perempuan.
b.Aspek Pewarisan
1).Menurut Staatblad 1917 Nomor 129 anak angkat berhak mewaris dari
orang tua angkat layaknya anak kandung.
2).Menurut Hukum Islam anak angkat mewaris dari orang tua angkat
dengan jalan wasiat wajibah yang besarnya 1/3 harta warisan.
B. Saran
Staatsblad 1917 nomor 129 tentang pengangkatan anak sudah tidak sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan anak masih
tersebar dan konsep pengangkatan anak masih bervariasi. Maka diperlukan
69
adanya undang-undang nasional tentang pengangkatan anak sehingga adanya
kesamaan dalam konsep dan akibat hukum pengangkatan anak.
70
DAFTAR PUSTAKA
Basyir,
Ahmad Asyar. 1979.Kawin
Islam.Bandung: PT Alma’arif
Campur
Wasiat
Adopsi
Menurut
Bushar Muhammad, 2004. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita
Daliyo,J.B.2001.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Prenhallindo
G.H.S. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga
Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo
Kamil ,Ahmad dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan
Anak di Indonesia., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Martosedono, Amir. 1990. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya.
Jakarta: Jakarta Press
M. Budiarto.1991. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: CV.
Akademik & Pressindo
Meliala, Djaja S. 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung
:Tarsito.
Moh. Saleh Djindang, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar
Baru
Musthofa, Sy.2008. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama.
Jakarta: Prenada Media Group
R. Soepomo.1987. Hukum Perdata Adat Jawa Barat.Jakarta: Djambatan.
Ronny Hanitijo Soemitro,1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Alumni.
Soedaryo, Soimin,.2002. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
------------2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak.Jakarta:Sinar
Grafika
Soepomo.1987. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha
Soeroso, R.2007. Perbandingan Hukum Perdata.Jakarta: Sinar Grafika
71
Tafal, Bastian.1983. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibatakibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: CV. Rajawali
Zaini, Muderis.2002. Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika
Peraturan Perundang-Undangan
Staatblad 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam
72
Download