3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) Ikan tongkol memiliki bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip tambahan kecil-kecil (Djuhanda 1981). Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridei Famili : Scombridae Genus : Euthynnus Spesies : Euthynnus sp. Gambar 1 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus sp.) Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang cukup tinggi. Kandungan proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2%, dan kandungan mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% (Suzuki 1981). 4 2.2 Deskripsi Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Tenggiri (Scomberomorus commersonii) adalah jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Tenggiri memiliki tubuh yang panjang, merupakan ikan perenang cepat serta tangkas dalam menerkam mangsanya (Nontji 1987). Selain itu, tenggiri termasuk ke dalam golongan ikan pelagis besar dan suka memakan ikan kecil yaitu sardin (Sardiniella sp.), tembang (Sardiniella fimbriata), teri (Stolephorus sp.) dan cumi-cumi (Loligo sp.) (Ditjen Perikanan 1979). Klasifikasi tenggiri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomophi Subordo : Scombridea Famili : Scombridae Genus : Scomberomorus Spesies : Scomberomorus commersonii Gambar 2 Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) Secara morfologi, tenggiri memiliki tubuh panjang dan berbentuk torpedo. Mulut lebar dan berujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Sirip 5 punggung tenggiri ada yang berjari-jari keras dengan jumlah 14-17 buah dan ada pula sirip punggung yang berjari-jari lemah dengan jumlah 14-19 buah yang diikuti dengan 8-10 sirip tambahan. Tenggiri memiliki garis rusuk lurus kemudian membengkok tajam di bawah awal jari-jari sirip tambahan dan melurus kembali sampai batang ekor. Garis rusuk tenggiri tidak terputus dan hanya berjumlah satu, gelembung renang tidak ada, warna punggung biru gelap keabuabuan atau biru kehijauan. Sisi tubuh tenggiri berwarna putih perak dan pada bagian perut dijumpai garis-garis (Guci 1999). 2.3 Histamine Fish Poisonning (HFP) Keamanan pangan harus diperhatikan mulai dari produksi (from farm) sampai dikonsumsi oleh konsumen (to table). Pangan yang tidak aman dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Keracunan pangan (foodborne disease) merupakan penyakit yang bersifat toksik maupun infeksius yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bahaya kimia (pestisida, racun alami dan bahan tambahan pangan), bahaya biologis (bakteri, kapang dan cacing), dan fisik (pecahan kaca, cincin dan duri) (WHO 2005). Beberapa jenis keracunan pangan diantaranya salmonellosis, botulisme dan tipus, disebabkan oleh bakteri. Sebagian besar kejadian keracunan pangan (90%) disebabkan oleh mikroorganisme yang mengontaminasi pangan (BPOM 2006). Kejadian keracunan pangan tergolong kejadian luar biasa (KLB) terjadi jika terdapat dua atau lebih penderita keracunan pangan dengan gejala tertentu setelah mengonsumsi pangan tercemar yang sama dan diduga sebagai penyebabnya (BPOM RI 2007). Keracunan yang disebabkan oleh histamin atau lebih dikenal dengan Histamine Fish Poisonning (HFP) sering terjadi setelah mengonsumsi ikan laut. Ikan laut banyak mengandung histidin bebas (free histidine) yang merupakan prekursor histamin. Beberapa jenis ikan terutama kelompok famili Scombroidae memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491 mg/100 g, mahi-mahi 344 mg/100 g, cakalang 1192 mg/100 g, tuna ekor kuning 740 mg/100 g, kembung 600 mg/100 g, dan albakor yang tertinggi sampai 2 g/100 g. Hanya ikan yang mengandung histidin bebas diatas 100 mg/100 g yang mampu menghasilkan histamin (Mangunwardoyo et al. 2007). 6 Keracunan histamin disebabkan oleh akumulasi histamin yang dikonsumsi secara berlebih. Gejala keracunan histamin akan terasa setelah 10 menit sampai 2 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung histamin tinggi. Gejala keracunan histamin ditandai dengan sakit kepala, pembengkakan lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah-muntah, gatal-gatal, dan diare (Mangunwardoyo et al. 2007). Keracunan dapat terjadi jika konsentrasi histamin yang terkandung dalam bahan pangan mencapai lebih dari 50 mg/100 g (BPOM RI 2007). 2.4 Histamin Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin bebas (α-amina-β-inidosal asam propionat). Proses pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas enzim L-Histidine Decarboxylase (Hdc) (Mangunwardoyo et al. 2007). Histamin merupakan komponen kecil yang memiliki berat molekul rendah yang terdiri atas cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air dan salah satu biogenik amin yang memiliki pengaruh terhadap efek fisiologis manusia (Shahidi dan Botta 1994). Biogenik amin merupakan komponen organik yang dihasilkan dari reaksi gugus asam karboksilat pada asam amino yang diubah secara enzimatik. Pada umumnya biogenik amin terbentuk akibat aktivitas bakteri, biogenik amin terdapat pada bahan pangan yang beragam seperti ikan, produk olahan ikan, keju, daging, dan makanan fermentasi. Jika bahan pangan tidak ditangani dengan baik selama penyimpanan dan pengolahan, protein pada bahan pangan akan berubah menjadi asam amino bebas yang secara alami juga terdapat pada bahan pangan segar (Eerola 1993 dalam Brinker et al. 2002). Bahan pangan yang telah terkontaminasi oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase akan mengubah asam amino tersebut melalui reaksi dekarboksilasi sehingga terbentuk biogenik amin. Biogenik amin yang terdapat dalam jumlah yang besar dapat bersifat toksik. Asam amino histidin yang mengalami dekarboksilasi akan menghasilkan histamin, lisin yang mengalami dekarboksilasi akan menghasilkan cadaverin, dan putresin diproduksi dari tiga 7 asam amino bebas glutamin, arginin, dan agmatin (Halasz et al. 1994 dalam Brinker et al. 2002). Histidin bebas yang terdapat dalam daging ikan erat sekali kaitannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya, sedangkan ikan berdaging putih kandungan histidin bebasnya lebih rendah. Daging merah lebih aman untuk dikonsumsi daripada daging putih bila dipandang dari segi histamin. Daging merah memiliki kandungan histamin yang rendah karena daging merah memiliki kandungan trimetil amin oksida (TMAO) yang tinggi, berfungsi menghambat terbentuknya histamin (Winarno 1993). Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 3. Histidine Histamine Gambar 3 Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002) 2.4.1 Pembentukan histamin selama autolisis Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dapat terjadi akibat adanya enzim yang terdapat secara alami dalam jaringan ikan. Pembentukan histamin berlangsung selama proses autolisis. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama proses autolisis sangat rendah bila dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukan berlangsung. Pada kondisi optimum, jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10-15 mg/100 g daging ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin bebas, spesies, banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH lingkungan (Klimata 1961). 8 2.4.2 Aktivitas bakteri pembentuk histamin Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuh tidak aktif sehingga tidak dapat melindungi diri dari serangan bakteri. Bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya pada daging ikan. Histamin umumnya terbentuk pada temperatur di atas 20 oC. Pendinginan dan pembekuan yang cepat setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam strategi pencegahan pembentukan scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk selama ikan tetap disimpan dalam suhu di bawah 5 oC. Pembekuan yang tertalu lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri pembentuk histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan produksi histamin dapat terus berjalan dalam keadaan penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002). Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang, dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme (Omura et al. 1978). Banyak penelitian menyebutkan bahwa bakteri pembentuk histamin adalah bakteri mesofilik, tetapi bakteri pembentuk histamin pada ikan sardin dapat tumbuh pada temperatur kurang dari 5 oC (Ababouch et al. 1991 dalam Shahidi dan Botta 1994). Berbagai jenis bakteri yang mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) umumnya merupakan kelompok Gram negatif berbentuk batang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan Bacillaceae (Staruszkiewicz 2002 dalam Allen 2004). Umumnya spesies Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella, dan Streptococcus menunjukkan aktivitas dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002 dalam Allen 2004). Jenis-jenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 1. 9 Tabel 1 Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin Bakteri Spesifikasi Hafnia sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Hafnia alvei) Klebsiella sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Klebsiella pneumonia) Escherichia coli Gram negatif, fakultatif anaerob Clostridium sp. Gram positif, anaerob (C. perfringens) Lactobacillus sp. Gram positif, fakultatif anaerob (Lactobacillus 30a) Enterobacter spp Gram negatif, fakultatif anaerob (E. aerogenes) Proteus sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Proteus morganii) Sumber: Eitenmiller et al. (1982) Hasil penelitian Taylor (1982) menunjukkan bahwa Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, dan Enterobacter aerogenes merupakan bakteri yang mampu menghasilkan histamin dalam jumlah yang besar yaitu lebih dari 100 mg/100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB (Tuna Fish Infusion Broth) pada suhu lebih dari 15 oC selama kurang dari 24 jam. Hafnia alvei, Escherichia coli dan Citrobacter freundii menghasilkan histamin dalam jumlah kecil yaitu kurang dari 25 mg/100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB pada suhu lebih dari 30 oC selama ≥ 48 jam. Bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 oC) daripada temperatur rendah (7,2 oC) (FDA 2001). Laporan-laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Menurut Kim et al. (1999) dalam Keer et al. (2002), suhu optimum pembentukan histamin adalah 25 oC. Menurut Yoguchi et al. (1990) dalam Dwiyitno et al. (2004), penyimpanan pada suhu 25 oC selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin hingga 120 mg/100 g, sedangkan menurut Fletcher et al. (1996), pembentukan histamin pada suhu 0-5 oC sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Food and Drugs Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 oC (FDA 2001). Bakteri pembentuk histamin sulit dideteksi secara langsung karena jumlahnya lebih sedikit dibandingkan bakteri lain pada ikan segar yang ditangkap. 10 Untuk mendeteksi bakteri-bakteri tersebut digunakan media khusus yang disebut agar diferensial Niven. Bakteri pembentuk histamin akan membentuk koloni berwarna ungu dengan latar belakang media berwarna kuning. Histamin yang terbentuk akan meningkatkan pH medium, sehingga terjadi perubahan warna kuning menjadi ungu (Mangunwardoyo et al. 2007). Penggunaan medium Niven memiliki kelemahan karena mempunyai pH yang rendah, sehingga sulit mendeteksi bakteri pembentuk histamin yang tumbuh pada pH netral atau basa. Perubahan warna hanya terjadi apabila cukup banyak histamin yang dihasilkan, oleh karena itu medium Niven hanya akan mampu mendeteksi bakteri yang membentuk histamin dalam jumlah yang banyak (Mangunwardoyo et al. 2007). 2.5 Deoxyribonucleic Acid (DNA) Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan senyawa kimia yang paling penting pada makhluk hidup. DNA membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. DNA sangat erat hubungannya dengan hampir semua aktivitas biologi, oleh karena itu banyak sekali penyelidikan yang telah dilakukan berkaitan dengan DNA. DNA menempati tempat utama dalam sitologi, genetika, biologi molekuler, mikrobiologi, biologi perkembangan, biokimia, dan evolusi (Suryo 2008). Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus memiliki DNA. Bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Molekul DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Pada Paramaecium, Tetrahymena, Amoeba proteus, amphibian, dan paku-pakuan, molekul DNA terdapat dalam dasar sitoplasma. Banyaknya DNA biasanya diukur dengan pikogram, yaitu suatu mikrounit dari berat. Satu pikogram (1 pg) sama dengan 10-12 gram. Banyaknya DNA dari sebuah sel juga berhubungan erat dengan sifat ploidi atau jumlah kromosom dari sel itu. Sebagai contoh, pada sel-sel hati yang bersifat tetraploid (4n) mengandung DNA dua kali lipat daripada banyaknya DNA dalam sel diploid. Diantara makhluk hidup lainnya, Avertebrata, Spons, dan Coelenterata mengandung DNA paling sedikit. Pada umumnya jumlah DNA bervariasi dari satu spesies dengan spesies lainnya (Suryo 2008). 11 DNA merupakan susunan kimia molekuler yang kompleks, terdiri dari 3 jenis molekul, yaitu: a. Gula pentosa, yang dikenal sebagai deoksiribosa. b. Asam pospat. c. Basa nitrogen, yang dapat dibedakan atas dua tipe dasar yaitu pirimidin (sitosin dan timin) dan purin (adenin dan guanin). Pada tahun 1953, James Watson dan Francis Crick berhasil mengungkapkan model tiga dimensi struktur DNA. Struktur ini terdiri dari dua rantai DNA heliks yang berputar mengelilingi sumbu yang sama untuk membentuk heliks ganda yang berararah ke kanan. Pada heliks ini kedua rantai atau untaian ini bersifat antiparalel, yaitu jembatan fosfodiester antar nukleotidanya terletak pada arah yang berlawanan (Lehninger 1982). Struktur kimia basa nitrogen purin dan pirimidin penyusun DNA dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Struktur kimia basa nitrogen purin dan pirimidin penyusun DNA (Keer et al. 2002) 2.6 Ekstraksi dan Purifikasi DNA Ekstraksi DNA dari organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan) dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation of DNA) dan pemanenan. Berbagai teknik ekstraksi DNA telah dikembangkan dari prinsip dasar tersebut, sehingga saat ini muncul berbagai teknik ekstraksi dan 12 purifikasi DNA dalam bentuk kit yang prosesnya cukup mudah, cepat dan sederhana. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi (Sulandari dan Zein 2003). Penghancuran sel secara kimiawi dilakukan dengan memanfaatkan senyawa kimia seperti EDTA (ethyliene diamine tetraacetic) dan SDS (sodium dodeciyl sulfate). EDTA berfungsi sebagai perusak sel dengan cara mengikat ion magnesium (ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel maupun mempertahankan aktivitas enzim nuklease yang merusak asam nukleat). SDS merupakan sejenis deterjen yang berfungsi merusak membran sel. Enzim proteinase K dapat digunakan untuk menghilangkan protein. Kotoran akibat lisis sel dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Molekul nukleotida (DNA dan RNA) yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari protein yang masih ada dengan menggunakan fenol. Dalam proses ini, sebagian kecil RNA juga dapat dibersihkan. Kloroform digunakan untuk membersihkan sisa-sisa protein dan polisakarida dari larutan. Enzim RNAase digunakan untuk menghilangkan RNA sehingga DNA dapat diisolasi secara utuh (Sulandari dan Zein 2003). Pemurnian atau purifikasi DNA dapat dilakukan dengan mencampur larutan DNA tersebut dengan NaCl yang berfungsi untuk memekatkan, memisahkan DNA dari larutan, dan mengendapkan DNA sewaktu dicampur dengan etanol. Proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi akan mengendapkan tepung berwarna putih (DNA) dan menempel di dasar tabung ependorf (Sulandari dan Zein 2003). Prinsip dasar di atas diaplikasikasikan dengan berbagai macam tahapan ekstraksi dan purifikasi DNA dengan berbagai modifikasi disesuaikan dengan keperluan atau jenis sampel yang diekstraksi. Prosedur tersebut dapat digunakan untuk ekstraksi dari berbagai jaringan tubuh, darah, rambut, feses, tulang, sperma, urine (hewan), daun, kayu (tumbuhan), dan biak murni mikroorganisme (yeast) dan sebagainya (Sulandari dan Zein 2003). 13 2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) dikembangkan oleh Karry B. Mullis pada tahun 1987. PCR merupakan suatu teknik amplifikasi enzimatik fragmen DNA berkali-kali dengan cepat secara in vitro (Campbell et al. 2002). Metode PCR telah banyak digunakan untuk berbagai jenis manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul RNA. Teknik PCR mampu menggandakan sekuen DNA secara eksponensial. Bahan yang dibutuhkan dalam PCR antara lain DNA template (cetakan awal), DNA polimerase, primer oligonukleotida, dan deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) sebagai penyusun DNA yang baru (Campbell et al. 2002). DNA template merupakan DNA tempat pertama kali primer akan menempel. Pada awalnya DNA template ini merupakan DNA utas ganda yang kemudian melalui proses pemanasan pada suhu tertentu akan berlepasan menjadi DNA utas tunggal. Bahan yang dibutuhkan lainnya yaitu deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang digunakan untuk membentuk DNA yang baru. Selain itu DNA polimerase diperlukan sebagai katalis reaksi untuk pembentukan untai ganda hasil perpanjangan dari primer. Primer adalah pita yang tersusun dari asam nukleat atau molekul-molekul sejenis yang menjadi titik awal untuk replikasi DNA dalam PCR (Birt dan Baker 2000). Primer ini merupakan komplemen dari ujung-ujung DNA template sehingga sangat menentukan segmen yang akan dibentuk. Pemanasan dalam PCR pada umumnya terdiri dari 20-35 siklus. Secara umum, satu siklus PCR terdiri dari tiga tahapan. Tahapan pertama adalah denaturasi, yaitu pemanasan pada suhu 94-96 oC. Pemanasan tersebut berfungsi untuk menjamin DNA template dan primer mampu terdenaturasi dengan baik (Campbell et al. 2002). DNA template akan menjadi untai tunggal dan larut setelah ikatan hidrogen diantara pita DNA terlepas akibat pemanasan tersebut. Tahap kedua yaitu annealing, ketika suhu diturunkan memungkinkan primer mampu berikatan dengan DNA template. Primer ini akan bergerak dan membentuk ikatan hidrogen dengan segmen DNA template. Ikatan yang stabil dan 14 kuat hanya akan terbentuk bila potongan DNA primer memiliki kecocokan dengan segmen DNA template. Pada bagian pendek ini akan terbentuk DNA untai tunggal dan mulai terjadi sintesis DNA. Pada tahapan ini suhu berkisar 50-64 oC yang merupakan suhu dimana primer mampu bekerja secara optimum (Birt dan Baker 2000). Tahap elongation atau perpanjangan merupakan tahap akhir. Pada tahap ini DNA polimerase mengkatalis sintesis sejumlah nukleotida dengan DNA template sebagai cetakan dimulai ujung 3-OH’ primer sehingga terbentuk DNA utas ganda hasil perpanjangan primer. Pada umumnya suhu optimum enzim polimerase pada tahap ini berkisar 70-74 oC (Birt dan Baker 2000). Pada tahap ini, primer yang tidak memiliki kecocokan dengan DNA template tidak akan diperpanjang. Tahap perpanjangan ini diikuti penurunan suhu sampai 4 oC sebagai suhu penyimpanan. Metode PCR sangat memungkinkan penggunaan sumber DNA dalam jumlah yang sedikit atau tidak murni namun mampu mendapatkan hasil yang lebih banyak juga lebih spesifik (Campbell et al. 2002). Proses amplifikasi DNA selama PCR dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Proses amplifikasi DNA selama PCR (Vierstraete 1999)