STOCK UNDERVALUATION, DEBT TO ASSETS RATIO, DAN CASH FLOW UNTUK MEMPREDIKSI STOCK REPURCHASE PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2002 – 2009 Oleh: I Cenik Ardana Rosmita Rasyid ABSTRACT This is a replicative research to examine if Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow can be used to predict Stock Repurchase. The population is all public companies registered in Indonesia Stock Exchange for the periode of 2002-2009. The sample is the companies repurchasing their own stocks during the periode of 2002-2009. The hypothesis test is using F test and t test of regression model. The F test indicated that Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow all together could not be used to predict Stock Repurchase. Individual test using t test indicated that none of the predictor variables: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, and Cashflow individually could predict Stock Repurchase. These research’s findings supported the research’s findings by Islahuddin & Dhuhri (2011), which both used Indonesia Stock Exchange as a research data source, but these findings were different from those reported by some other researchers using other stock exchanges as research data sources. These different findings need furthur investigation, but the reason, for the time being, could be because of the different characteristics of the stock market and stockownership of the public companies registered in each stock exchange. Keywords: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, Stock Repurchase ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian replikasi yang bertujuan untuk menguji apakah Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Populasi penelitian ini adalah semua perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2002-2009. Sampel dipilih dari perusahaan-perusahaan yang melakukan Stock Repurchase selama periode 2002-2009. Uji hipotesis menggunakan uji F dan uji t dari model regresi. Hasil uji F menunjukkan bahwa Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio dan Cash Flow secara bersama sama tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 1 Pengujian individual dengan uji t menunujukkan bahwa tidak ada satupun dari variabel prediktor yakni Stock Undervaluation, Debt To Asset Ratio, dan Cash Flow secara individual dapat memprediksi Stock Repurchase. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Islahuddin & Dhuhri (2011), yang juga menggunakan Bursa Efek Indonesia sebagai sumber data, namun hasilnya berbeda jika dibandingkan dengan temuan para peneliti sebelumnya yang menggunakan bursa efek lainnya sebagai sumber data. Perbedaan ini membutuhkan penelitian lanjutan, namun untuk saat ini, kemungkinan perbedaan hasil disebabkan oleh perbedaan karakteristik pasar saham dan kepemilikan dari perusahaan publik pada masing-masing bursa saham tersebut. Kata kunci: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, Stock Repurchase BAB I PENDAHULUAN Sejak akhir tahun 1990an, penggunaan opsi saham dan pembelian kembali saham perusahaan (stock repurchase) sebagai alat manajemen untuk mempengaruhi harga saham dan pendapatan per lembar saham di bursa saham Amerika Serikat meningkat secara tajam (Bens,Wong, dan Skinner, 2003). Sebagaimana dikatakan oleh Barclay (2012), pembelian kembali saham (stock repurchase) di pasar terbuka adalah suatu cara manajemen perusahaan untuk memiliki kembali saham perusahaan yang telah beredar, dengan alasan antara lain: (a) sebagai sinyal untuk mencegah penurunan harga pasar saham, (b) bila saham dinilai terlalu rendah (stock undervalued), (c) untuk menghapus pemegang saham tertentu, (d) untuk meningkatkan nilai pemegang saham, atau (e) untuk menurunkan pajak penghasilan pemegang saham. Sebelum manajemen perusahaan memutuskan untuk membeli kembali sahamnya, maka manajemen harus menganalisis beberapa faktor yang diperkirakan berhubungan dengan pembelian kembali saham, diantaranya adalah faktor Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio dan Cash Flow. Dengan alasan itu, penelitian Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 2 ini akan mengkaji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian kembali saham perusahaan (stock repurchase). 1. Identifikasi Masalah Penurunan nilai saham (stock undervaluation) secara signifikan dapat menyebabkan kepercayaan prinsipal (pemegang saham) kepada manajemen (agen) mengalami penurunan yang dapat saja berbuntut pada pemecatan manajemen sebagai agen. Berdasarkan teori sinyal, pembelian kembali saham perusahaan merupakan sinyal dari manajemen bahwa saham perusahaan dinilai terlalu rendah dan oleh karena itu manajemen mengambil tindakan dengan membeli kembali saham perusahaan sebagai upaya untuk menaikkan harga saham perusahaan. Debt to Assets Ratio(DAR) merupakan salah satu proxy pengukuran struktur modal, yaitu untuk mengukur prosentase nilai aset perusahaan yang dibiayai dari pinjaman sedangkan prosentase nilai aset perusahaan yang dibiayai dari modal sendiri (modal saham) adalah sebesar 1-DAR. Walaupun masih menimbulkan perdebatan terhadap teori struktur modal, ada dugaan bahwa struktur modal berpengaruh terhadap nilai perusahaan; oleh karena itu DAR dapat saja mempengaruhi kebijakan manajemen untuk melakukan pembelian kembali saham (stock repurchase). Faktor Cash Flow juga harus dianalisis oleh manajemen, karena Cash Flow mencerminkan kecukupan dana perusahaan yang berupa uang tunai. Membeli kembali saham tentunya dengan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi atas perolehan kembali saham tersebut. Net Cash Flow yang surplus dan jumlahnya relatif besar, memungkinkan perusahaan dapat membeli kembali sahamnya, dan sebaliknya Net Cash Flow yang defisit akan menyulitkan perusahaan untuk membeli kembali sahamnya. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 3 Namun harus disadari bahwa pengelolaan cashflow sebenarnya berpegang pada prinsip atau teori risk and return (Fiegenbaum dan Thomas,1988). Kebijakan kepemilikan saldo kas yang lebih besar memperkecil resiko kegagalan membayar kewajiban-kewajiban tetap perusahaan, namun diikuti oleh hilangnya peluang memperoleh return yang lebih besar karena tidak melakukan investasi pada kegiatan produktif atau tidak melakukan perbaikan struktur modal melalui pembelian kembali saham. Sebaliknya penggunaan kas untuk melakukan investasi atau melakukan pembelian kembali saham perusahaan memperbesar peluang memperoleh return atau nilai perusahaan yang lebih besar namun sekaligus juga diikuti oleh kenaikan resiko kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tetapnya. 2. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan mencoba menguji keterkaitan berbagai faktor dengan keputusan manajemen untuk melakukan pembelian kembali saham perusahaan (stock repurchase). .Namun mengingat banyaknya faktor yang mungkin mempengaruhi keputusan manajemen tersebut, dalam penelitian ini dibatasi hanya pada beberapa faktor saja, antara lain: Stock Undervaluation, Debt To Assets Ratio, dan Cashflow. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari perusahaanperusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, yang melakukan stock repurchase pada periode tahun 2002 sampai dengan 2009. 3. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: - Apakah Stock Undervaluation dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase? Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 4 - Apakah Debt To Assets Ratio dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase? - Apakah Cashflow dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase? - Apakah Stock Undervaluation, Debt To Assets Ratio, dan Cashflow secara bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase? 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah stock undervaluation, debt to assets ratio dan cash flow dapat digunakan untuk memprediksi pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase) baik secara parsial maupun bersama-sama. Sedangkan dengan penelitian ini diharapkan sedikitnya dapat diperoleh dua manfaat: pertama, secara teoritis, penelitian ini akan mencoba mencari bukti untuk mengkonfirmasi validitas teori kandungan informasi (information content), teori keagenan, dan teori struktur modal, dan kedua, secara praktis, membantu manajemen mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian saham kembali (stock repurchase) melalui dukungan fondasi teori dan informasi akuntansi sebagai bahan untuk proses pengambilan keputusan dalam hal pembelian kembali saham yang beredar. BAB II STUDI PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Stock Undervaluation Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 5 Sebelum membahas stock undervaluation, maka akan dibahas dahulu mengenai pengertian saham, harga saham dan penentuan harga saham. Suad Husnan (2005) mengatakan bahwa saham menunjukkan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Sunariyah (1997) mendefinisikan saham sebagai penyertaan modal dalam pemilikan suatu Perseroan Terbatas (PT) atau yang biasa disebut emiten. Jones (2002) mengartikan saham sebagai: ”.....an equity security representation the ownership interest in corporation.” Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa saham merupakan satuan atau unit atau pecahan yang sama dari keseluruhan modal yang dibagikan kepada seseorang atau kelompok sebagai tanda bukti kepemilikan suatu perusahaan yang berbentuk korporasi (Perseroan Terbatas). Setelah dibahas pengertian saham, maka berikut ini akan dibahas mengenai harga saham. Harga saham adalah harga selembar saham selama satu periode (Spireframe, 2011). Jogiyanto (2003) mengatakan bahwa harga saham adalah harga yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan dari anggota bursa. Sawidji (2000) menjelaskan harga saham sebagai harga jual dari investor yang satu kepada yang lain. Harga ini terjadi setelah saham dicatatkan di bursa, baik bursa utama maupun over the counter. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa harga saham adalah harga transaksi selembar saham yang terjadi antar investor (penjual dan pembeli) sesuai penawaran dan permintaan yang terjadi di bursa. Saham yang beredar harus ditaksir dulu nilai intrinsiknya yang kemudian nilai intrinsik tersebut dibandingkan dengan harga pasar saat itu. Yang dimaksud dengan pengertian nilai intrinsik (NI) menurut Suad Husnan (2005) adalah nilai Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 6 tunai (present value) arus kas yang diharapkan dari saham tersebut. Nilai tunai atau nilai intrinsik (NI) saham dibandingkan dengan harga pasar saat itu. Dengan membandingkan NI dengan harga pasar saham, akan diperoleh tiga kemungkinan. Pertama, jika NI lebih besar dari harga pasar saat itu, maka saham tersebut dinilai terlalu rendah (undervalued). Kedua, jika NI lebih kecil dari harga pasar maka saham tersebut dinilai terlau mahal (overvalued), dan ketiga, jika NI sama dengan harga pasar maka saham telah dinilai sesuai dengan harga wajar dan harga saham berada dalam kondisi keseimbangan.” Salah satu cara lain untuk mengetahui saham yang dinilai rendah (stock undervalued) adalah dengan cara mengamati perusahaan-perusahaan yang melakukan pengurangan saham yang beredar secara signifikan selama beberapa tahun terakhir yang disebut sebagai stock repurchase plan dimana perusahaan menggunakan uang kas perusahaan untuk membeli sahamnya sendiri, kemudian saham yang telah dibeli ini dimusnahkan sehingga total aset dan keuntungan perusahaan akan dibagi oleh jumlah lembar saham yang lebih sedikit (Kennon, 2012). 2. Stock Repurchase Weygandt et al (2011) mengatakan bahwa stock repurchase atau treasury shares adalah saham suatu korporasi yang telah diterbitkan dan kemudian dibeli kembali oleh perusahaan dari para pemegang saham, namun saham tersebut tidak dihentikan (not retired). Warren et al (2005) mengatakan bahwa treasury shares adalah kembali. saham yang telah diterbitkan oleh suatu korporasi dan kemudian dibeli Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa stock repurchase/ treasury stock adalah pembelian kembali saham perusahaan yang sudah beredar, untuk disimpan sebagai treasuri, untuk nantinya dijual kembali. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 7 Beberapa alasan perusahaan membeli kembali sahamnya yang beredar antara lain dikatakan oleh Investopedia (2012) yang mengatakan bahwa pembelian kembali saham yang beredar oleh perusahaan akan meningkatkan pendapatan per lembar saham (earning per share) sehingga akan meningkatkan nilai pasar saham beredar yang tersisa. Alasan lain dikatakan oleh Kieso et al (2011), yaitu: (a) to provide taxefficient distributions of excess cash to shareholders, (b) to increase earnings per share and return on equity, (c) to provide shares for employee compensation contracts or to meet potential merger needs, (d) to thwart takeover attempts or to reduce the number of shareholder, (e) to make a market in the shares. Dari kelima alasan yang dikatakan oleh Kieso et al, maka alasan butir (e) yang sesuai dengan alasan pembelian kembali saham (stock repurchase / treasury stock) yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengurangi lembar saham yang beredar dengan harapan bisa menaikkan nilai pemegang saham melalui kenaikan harga saham. Namun sebagaimana dikatakan oleh Kennon (2012), pembelian kembali saham oleh perusahaan harus dilaksanakan dengan hati-hati karena tindakan tersebut malah bisa saja merugikan perusahaan yaitu perusahaan akan mengalami kesulitan likuiditas (kas) atau bila saham yang dibeli ternyata sudah over valued. 3. Debt to Assets Ratio Beberapa pengertian Debt to Assets Ratio dari beberapa pakar diberikan berikut ini. Kieso et al (2011) mengatakan bahwa debt to total assets ratio mengukur total aset yang didanai dari pinjaman kreditor. Weygandt et al (2011) mengatakan bahwa debt to total assets ratio mengukur prosentase total aset yang dananya diberikan oleh kreditor. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 8 debt to assets ratio adalah pengukuran seberapa besar (dalam prosentase) aset perusahaan yang dibiayai dari pinjaman pihak kreditur. Debt to total asset ratio atau 1 dikurangi debt to total assets ratio sebenarnya juga mencerminkan struktur permodalan perusahaan. Struktur permodalan adalah pilihan perusahaan tentang seberapa banyak perusahaan secara relatif menggunakan pinjaman dibandingkan dengan ekuitas dalam mendanai kegiatan perusahaan (Jordan,Westerfield, dan Ross, 2011). Atau dengan kata lain seperti diungkapkan oleh Brealey dan Myers (1991), struktur permodalan mencerminkan bauran sekuritas (pinjaman dan ekuitas). Isu tentang struktur modal telah mendapat perhatian banyak pihak (akademisi, analis keuangan, praktisi keuangan) terutama dikaitkan dengan isu sentral – ada tidaknya pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Lindanaty (2011) mengutip beberapa teori struktur modal yang penting, antara lain: teori Modigliani dan Miller (teori MM), teori Static Trade-Off Miller dan teori Pecking Order Hypothesis Myers dan Majluf. Modigliani-Miller mengemukakan dua model teori, yaitu model MM-I: tanpa pajak dan model MM-II: dengan pajak. Implikasi dari model MM-I adalah bahwa struktur modal tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Pada model MM-II, nilai dari perusahaan yang menggunakan dana pinjaman sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak menggunakan dana pinjaman, namun perusahaan yang menggunakan dana pinjaman memperoleh manfaat dari penghematan pajak karena beban bunga pinjaman dapat dikurangkan (deductible) dari laba perusahaan dalam perhitungan beban pajak perseroan. Implikasi dari model struktur modal MM-II ini adalah bahwa pengunakan dana pinjaman 100% merupakan struktur modal optimal yang dapat memberikan Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 9 nilai perusahaan yang paling maksimal sebab besarnya penghematan dari pajak akan selalu lebih besar dari kenaikan biaya modal akibat penggunaan dana pinjaman tersebut. Kedua model struktur modal MM ini mendapat kritikan sebagai tidak realistis. Dalam praktik asumsi tanpa pajak dan asumsi bahwa perusahaan menggunakan dana pinjaman 100% tentu sangat tidak realistis. Teori struktur modal static trade-off Miller menjelaskan bahwa perusahaan akan berusaha mencari dana pinjaman sampai pada tingkat pinjaman tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan pinjaman sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan terdiri dari biaya kebangkrutan, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Model teori static trade-off berasumsi bahwa pasar adalah efisien dan informasi bersifat simetris. Teori Pecking Order Theory dari Myers dan Majluf menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat pinjamannya rendah, disebabkan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah. Dalam Pecking Order Theory terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu : (a) penggunaan dana internal (laba ditahan), (b) jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih mulai dari sekuritas yang memiliki resiko yang paling rendah, selanjutnya ke pendanaan yang lebih berisiko (misalnya: obligasi konversi, saham preferen) dan yang terakhir adalah saham biasa. Dalam teori ini, manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat pinjaman yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Oleh karena itu, Pecking Order Theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat pinjaman yang kecil. Teori Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 10 Equity Market Timing (Baker dan Wurgler, 2002) menjelaskan bahwa perusahaanperusahaan akan menerbitkan saham pada saat market value saham tinggi dan akan membeli kembali saham perusahaan pada saat market value saham rendah. Tujuan dari melakukan equity market timing adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of capital. Dari beberapa teori struktur modal yang telah diungkapkan, nampak terdapat penjelasan yang beragam dan cenderung saling bertentangan dalam menjelaskan hubungan antara struktur modal dengan nilai perusahaan, harga saham, dan alasan pembelian kembali saham perusahaan. Maka tidak heran bila Myers (1984) sampai mengatakan bahwa permasalahan struktur modal masih merupakan suatu teka-teki ( a puzzle) karena hanya sedikit sekali diketahui, khususnya melalui hasil penelitian tentang bagaimana perusahaan memilih pendanaan dengan pinjaman, saham atau sekuritas hybrid. Barangkali teori Equity Market Timing dari Baker dan Wurgler dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk menjelaskan hubungan antara struktur modal dengan perilaku pembelian kembali saham perusahaan oleh manajemen. 4. Cash Flow Pengertian cash flow dari beberapa pakar dapat diberikan berikut ini. Warren et al (2005) mengatakan bahwa laporan arus kas (cash flow) melaporkan arus kas masuk dan arus kas keluar utama suatu perusahaan. Laporan arus kas memberikan informasi bermanfaat tentang kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dari operasi, memelihara dan memperluas kapasitas usaha, memenuhi kewajiban finansial dan untuk membayar dividen. Skousen et al (2000) menjelaskan bahwa laporan arus kas (cash flow statement) menggambarkan perubahan kas dan setara kas selama suatu periode tertentu. Begitu pula Spiceland et al (2004) mengatakan bahwa laporan Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 11 arus kas (cash flow statement) merupakan salah satu komponen penting dari seperangkat laporan keuangan utama suatu perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa cash flow statement menjelaskan perubahan kas dan setara kas yang terjadi dalam suatu periode, baik arus kas masuk maupun arus kas keluar yang merupakan salah satu jenis laporan keuangan penting dari seperangkat laporan keuangan utama. Adapun tujuan Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement) menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009) adalah : “Untuk menilai kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas serta menilai kebutuhan entitas untuk menggunakan arus kas tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan ekonomi, pengguna perlu melakukan evaluasi terhadap kemampuan entitas dalam menghasilkan kas dan setara kas serta kepastian perolehannya” Prinsip dasar dalam pengelolaan arus kas berpegang pada “risk and return principle” (Investopedia, 2012). Risk and return principle adalah suatu prinsip dalam investasi dimana bila tujuan perusahaan adalah untuk meningkatkan potensi laba (return, profit) maka konsekuensinya akan berhadapan dengan peningkatan resiko (resiko bisnis, resiko finansial), sebaliknya bila tujuan perusahaan ingin mengurangi resiko maka konsekuensinya, potensi laba yang ingin direalisasikan akan berkurang. Dalam kaitan dengan strategi tentang struktur permodalan, seorang manajer keuangan akan selalu dihadapkan pada trade off risk and return antara pendanaan dari pinjaman dan modal sendiri (saham). Pendanaan dari pinjaman berpotensi meningkatkan earning per share (EPS) dan nilai perusahaan, namun sekaligus juga dihadapkan pada potensi peningkatan financial distress yang bisa menyulitkan likuiditas (cashflow) perusahaan, sebaliknya bila memilih pendanaan dengan saham akan menurunkan resiko financial distress namun sekaligus juga akan menurunkan EPS. Prinsip trade off risk and return dalam pengelolaan arus kas ini akan ikut Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 12 mempengaruhi keputusan manajemen untuk membeli atau tidak membeli kembali saham perusahaan yang beredar. B. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Stock Undervalued, Debt to Assets Ratio, Cash Flow, dan Stock Repurchase telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Islahuddin & Dhuhri (2011) meneliti pengaruh Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio dan Cash Flow terhadap Stock Repurchase dan menyatakan bahwa Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio dan Cash Flow ternyata tidak dapat memprediksi Undervaluation Stock Purchase. terhadap Stock Mitchel Purchase (2006) dan meneliti pengaruh menyatakan bahwa Stock Stock Undervaluation dapat memprediksi Stock Purchase. Dittmar (2000) meneliti pengaruh Stock Undervaluation, dan Cash Flow terhadap Stock Repurchase. dan menyatakan bahwa Stock Undervaluation dan Cash Flow dapat memprediksi Stock Repurchase. Stephens dan Weisbact (1998) meneliti pengaruh Cash Flow terhadap Stock Repurchase dan menyatakan bahwa Cash Flow dapat memprediksi Stock Repurchase. C. Pengembangan Hipotesis Penilaian saham yang terlalu rendah (stock undervalued) mencerminkan nilai perusahaan dipersepsikan terlalu rendah oleh para investor. Manajemen perusahaan sangat berkepentingan untuk menjaga agar nilai perusahaan tidak merosot; oleh karena itu pada saat saham dinilai terlalu rendah (stock undervalued), maka berdasarkan teori Equity Market Timing dari Baker dan Wurgler, (2002) salah satu kemungkinan tindakan manajemen adalah melakukan pembelian saham yang beredar Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 13 (stock repurchase) dengan harapan dapat menaikkan harga saham di bursa, yang pada gilirannya meningkatkan nilai perusahaan. Atas dasar pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa stock undervaluation dapat memprediksi pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase / treasury stock). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1 : Stock Undervaluation dapat memprediksi Stock Repurchase . Semakin tinggi Debt to Total Asset Ratio maka semakin besar pula risiko financial distress (ketidak cukupan dana perusahaan untuk melunasi bunga dan pokok pinjaman yang sudah jatuh tempo). Dengan mengacu pada teori struktur modal static trade-off Miller (dalam Lindanaty, 2011), pada Debt to Assets Ratio yang tinggi, perusahaan cenderung untuk berusaha menurunkan financial distress dengan menjual saham atau saham treasuri(stock repurchase) dan hasilnya digunakan untuk mengurangi pokok pendanaan dari pinjaman. Atau pada saat Debt to Total Asset Ratio rendah, perusahaan akan berusaha meningkatkan Debt to Total Asset Ratio, antara lain dengan cara melakukan pembelian kembali saham perusahaan yang beredar (stock repurchase) sehingga saldo modal saham menjadi berkurang secara relatif bila dibandingkan dengan total modal pinjaman. Atas dasar pemahaman ini, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2 : Debt to Assets Ratio dapat memprediksi Stock Repurchase. Arus kas (cashflow) perusahaan mampu menggambarkan likuiditas perusahaan dimasa sekarang dan di masa yang akan datang. Manajemen perusahaan dan para investor sangat berkepentingan terhadap kesehatan manajemen kas. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 14 Investor berkepentingan antara lain untuk memperoleh dividen, dan pembayaran angsuran pokok pinjaman beserta bunganya. Berdasarkan prinsip risk and return (Investopedia, 2012) dalam pengelolaan kas, manajemen berkepentingan untuk menjamin beban operasional perusahaan dapat dibayar dan nilai perusahaan dapat dijaga jangan sampai mengalami penurunan. Pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase) diharapkan dapat menaikkan nilai perusahaan/harga saham, namun penggunaan kas dalam jumlah besar untuk membeli saham kembali juga akan meningkatkan resiko kegagalan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tetap operasional perusahaan. Sebaliknya penjualan kembali saham (treasury stock) dapat meningkatkan saldo kas perusahaan sehingga menurunkan resiko kegagalan membayar kewajiban-kewajiban tetap perusahaan, namun sekaligus juga dapat menurunkan nilai perusahaan atau harga saham. Atas dasar pemahaman ini dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3 : Cash Flow dapat memprediksi Stock Repurchase. Selanjutnya berdasarkan perumusan ke-tiga hipotesis di atas (H1, H2, H3), dapat dirumuskan hipotesis ke-empat sebagai berikut: H4 : Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow secara bersama sama dapat memprediksi Stock Repurchase. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 15 Penelitian ini dilakukan atas data sekunder dari Bursa Efek Indonesia berupa data perusahaan yang melakukan stock repurchase / treasury stock pada periode tahun 2002 sampai dengan 2009. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai dengan Desember 2012. B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah semua perusahaan yang go public di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2002 – 2009. Teknik pengambilan sampel adalah dengan metode purposive sampling,yaitu dengan memilih perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang telah melakukan pembelian kembali saham yang beredar (stock repurchase) pada periode tahun 2002 – 2009. C. Model Penelitian Model penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 3-1. e SU (Stock Undervaluation) DAR(Debt to Asset Ratio) =error H1 H2 SR ( Stock Repurchase ) H3 CF (Cash Flow) H4 Gambar 3-1: Model Penelitian Model penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan: Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow merupakan independen, sedangkan Stock Repurchase merupakan variabel dependen. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 16 variabel Persamaan regresi berganda adalah: SRit = ait + bSUit + cDARit + dCFit + eit Keterangan : SR = Stock Repurchase ; SU Ratio; CF = Stock Undervaluation;DAR = Debt to Assets = Cash Flow; eit =error Sebelum hasil model regresi berganda digunakan sebagai alat uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang berupa uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. D. Definisi Operasional Variabel Terdapat empat variabel dalam penelitian ini yaitu Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, Cash Flow dan Stock Repurchase / Treasury Stock.. Stock Undervaluation diukur dengan formula: Nilai Pasar Saham / Nilai Buku Saham, Debt to Assets Ratio diukur dengan formula: Total Pinjaman / Total Aset, Cash Flow diukur dengan formula: Arus Kas Operasi / Total Aset, Stock Repurchase dihitung dengan formula: jumlah nilai rupiah pembelian saham kembali/ nilai pasar saham pada akhir tahun sebelumnya. E. Data, Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Data penelitian ini adalah data sekunder, yakni data dari perusahaan yang melakukan stock repurchase / treasury stock pada tahun 2002 sampai dengan 2009, yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Data dianalisis dengan terlebih dahulu menguji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Apabila Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 17 keempat uji asumsi klasik tersebut memenuhi syarat uji, maka data dinyatakan layak uji, yang selanjutnya analisis dilakukan dengan membuat analisis regresi, serta pengujian hipotesis baik secara parsial maupun secara simultan, dengan menggunakan program komputer SPSS for windows 17. F. Perumusan Hipotesis Dari tinjauan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat diajukan perumusan hipotesis sebagai berikut : H1 : Stock Undervaluation secara parsial dapat memprediksi Stock Repurchase . H2 : Debt to Assets Ratio secara parsial dapat memprediksi Stock Repurchase . H3 : Cash Flow secara parsial dapat memprediksi Stock Repurchase . H4 : Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cash Flow secara bersama sama dapat memprediksi Stock Repurchase. G. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model regresi yaitu dengan uji t (uji Parsial) dan uji F (uji Anova). Uji t merupakan pengujian koefisien regresi masing masing variabel independen terhadap variabel dependen, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara parsial dapat memprediksi variabel dependen. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen secara bersama-sama dapat memprediksi variabel dependen. H. Pengujian Coeficient Correlation dan Coeficient Determination Uji koefisien correlation (R) digunakan untuk mengetahui derajat kekuatan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 18 Pengujian koefisien determinasi (R Square) digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan subyek maupun variabel-variabel dalam penelitian ini dan memberikan gambaran umum tentang semua variabel. Statistik deskriptif menggambarkan antara lain jumlah sampel (n), nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation) setiap variabel sebagaimana terlihat pada Tabel 4-1: Descriptive Statistics. SR SU DAR CF Tabel 4-1 Descriptive Statistics Mean Std. Deviation 1,3083 ,89844 2,2265 2,07175 ,5060 ,21063 ,1025 ,12409 N 40 40 40 40 Keterangan: SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow SR = Stock Repurchase Jumlah sampel (n) untuk seluruh variabel yang diteliti adalah 40 perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan yang melakukan pembelian saham kembali (stock repurchase) selama periode 2002 sampai dengan 2009. Semua sampel adalah valid. Nilai rata-rata, dan simpangan baku untuk Stock Undervaluation (SU) adalah 2,23; 2,07. Nilai rata-rata, dan simpangan baku untuk Debt to Assets Ratio (DAR) adalah 0,50; 0,21. Nilai rata-rata, dan simpangan baku Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 19 untuk Cash Flow (CF) adalah 0,10; dan 0,12. Nilai rata-rata, dan simpangan baku untuk Stock Repurchase (SR) adalah 1,30 dan 0,89. 2. Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji otokorelasi. Uji normalitas data menggunakan uji statistik non-parametrik KolmogorovSmirnov (K-S) dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4-2. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa unstandardized residual menunjukkan signifikansi sebesar 0,246. Tabel 4-2 Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 40 a Normal Parameters Mean ,0000000 Std. Deviation ,34811957 Most Extreme Differences Absolute ,162 Positive ,162 Negative -,110 Kolmogorov-Smirnov Z 1,024 Asymp. Sig. (2-tailed) ,246 a. Test distribution is Normal. b. Sig. di atas kriteria = 0.05; berarti data berdistribusi normal. Nilai signifikansi residual sebesar 0,246 masih lebih besar dari kriteria signifikansi sebesar 0,05. Ini berarti nilai residual terdistribusi secara normal. Uji multikolinieritas dapat dilihat pada Tabel 4-3. Pengujian dilakukan berdasarkan nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan nilai Tolerance. Suatu model regresi dapat dikatakan bebas dari multikolinieritas jika memiliki angka VIF di Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 20 sekitar 1 (kurang dari 10) dan angka tolerance mendekati 1 (lebih besar dari 0,10) (Imam Ghozali, 2009: 96) Tabel 4-3 Uji Multikolinieritas Coefficientsa Unstandardized Standardized t Model Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1,189 ,484 2,457 (Constant) ,001 ,079 ,002 ,011 SU 1 ,333 ,804 ,078 ,414 DAR -,498 1,425 -,069 -,350 CF a. Dependent Variable: SR Sig. ,019 ,991 ,681 ,729 Collinearity Statistics Tolerance VIF ,832 ,770 ,706 1,202 1,299 1,416 Keterangan: SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow SR = Stock Repurchase. SU, DAR, CF, Dari Tabel45-3, dapat diketahui bahwa nilai tolerance untuk variabel independen SU, DAR, CF, masing-masing sebesar 0,832; 0,770; dan 0,706, lebih besar daripada 0,10 sedangkan nilai VIF untuk SU, DAR, CF, masing-masing sebesar 1,202; 1,299; dan 1,416, lebih kecil daripada 10. Ini berarti tidak terdapat masalah multikolinieritas antar variabel-variabel independen. Pengujian Heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji Glejser. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dlihat pada tabel 4-4. Tabel 4-4 Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser Coefficientsa Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 21 Model Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) ,511 ,355 SU -,026 ,058 -,082 1 DAR ,216 ,591 ,069 CF ,320 1,046 ,060 a. Dependent Variable: ABSRES T 1,437 -,449 ,366 ,306 Sig. ,159 ,656 ,716 ,761 Keterangan: SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow ABRES = Absolut Residual Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan nilai absolut residual (ABSRES) terhadap variabel independen SU, DAR, dan CF. Nilai signifikansi SU, DAR, dan CF masing-masing adalah 0,656; 0,716; 0,761, dan ternyata semua nilai berada di atas kriteria 0,05; ini berarti bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Pengujian autokorelasi dengan menggunakan uji Durbin-Watson (D-W) dapat dilihat pada Tabel 4-5. Nilai hitung D-W menunjukkan angka sebesar 1,855. Nilai tabel DW untuk n=40, jumlah variabel independen (k)= 3, dan alpha= 0.05 diperoleh du=1,659, dan dl=1,338. Nilai hitung DW berada dalam kriteria: du < d < 4-du, atau 1,659 < d < 2,341. Ini berarti tidak terdapat masalah autokorelasi (Imam Ghozali, 2009:100). Tabel 4-5 Uji Autokorelasi D-W Model Summaryb Mode R R Square Adjusted R Std. Error of l Square the Estimate a 1 ,123 ,015 -,067 ,92802 a. Predictors: (Constant), CF, SU, DAR b. Dependent Variable: SR Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 22 DurbinWatson 1,855 3. Analisis Regresi Ganda Tabel 4-5: Model Summary di samping menjelaskan uji Autokorelasi DW, juga menjelaskan koefisien korelasi (R) dan koefisien determinasi (R Square). Koefisien R sebesar 0,123 menunjukkan bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya sangat lemah. R Square sebesar 0,015 menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas (Stock Undervaluation (SU), Debt to Assets Ratio (DAR), dan Cash Flow (CF) secara bersama-sama hanya dapat menjelaskan sebesar 1,5% terhadap variasi variabel terikat (Stock Repurchase/ SR), sedangkan sisanya sebesar 98,5% tidak dapat dijelaskan melalui model penelitian ini. 4. Pengujian Hipotesis Pengujian regresi secara simultan (H4), yaitu untuk menguji apakah variabel bebas secara bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi variabel terikat, dilakukan dengan menggunakan uji F sebagaimana tersaji pada Tabel 4-6 (tabel ANOVA). Tabel 4-6 Model Sum of Squares Regression 1 ANOVAa Df ,476 Residual 31,004 Total 31,481 a. Dependent Variable: SR b. Predictors: (Constant), SU, DAR, CF Mean Square 3 ,159 36 39 ,861 F ,184 Keterangan: SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow SR = Stock Repurchase Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 23 Sig. ,906b Hasil uji F pada tabel4-6 menunjukkan nilai signifikansi F-hitung sebesar 0,906, jauh lebih besar daripada kriteria sig.= 0,05. Dengan demikian Ho tidak dapat ditolak; dengan kata lain hal ini berarti bahwa variabel-variabel bebas secara simultan tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel terikat. Hasil uji t parameter secara individual untuk variabel Stock Undervaluation (SU), Debt to Asset Ratio (DAR), dan Cash Flow (CF) terhadap variabel Stock Repurchase (SR) pada tabel 4-7: Coefficient. Model 1 (Constant) SU DAR Tabel 4-7 Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 1,189 ,484 ,001 ,079 ,002 ,333 ,804 ,078 CF -,498 a. Dependent Variable: SR 1,425 -,069 T Sig. 2,457 ,011 ,414 ,019 ,991 ,681 -,350 ,729 Keterangan: SU = Stock Undervaluation; DAR = Debt to Assets Ratio; CF = Cash Flow SR = Stock Repurchase Kriteria Pengujian untuk uji t yang digunakan adalah: (1) Jika nilai signifikansi yang dihasilkan < 0,05 maka Ho ditolak; (2) Jika nilai signifikansi yang dihasilkan > 0,05 maka Ho tidak dapat ditolak. Berdasarkan tabel 4-7 dapat diketahui bahwa nilai signifikansi variabel SU, DAR, dan CF masing-masing adalah 0,991; 0,681; dan 0,729, semuanya lebih besar daripada kriteria 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak satupun dari masing-masing variabel independen (SU, DAR, CF) dalam model dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen (SR). B. PEMBAHASAN Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 24 Temuan utama penelitian ini adalah bahwa variabel independen yang terdiri dari: variabel Stock Undervaluation (SU), Debt to Assets Ratio (DAR), dan Cashflow (CF) baik secara bersama-sama maupun secara individual tidak dapat memprediksi variabel terikat Stock Repurchase (SR), dan hubungan, atau korelasi antara ketiga variabel independen (SU, DAR, CF) dengan variabel terikatnya (SR) sangat lemah. Hasil pengujian ini mendukung hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011), namun berbeda dengan hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer dan Casey (2004); Mitchell (2006), dalam Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011:149-150). Hasil pengujian Dittmar (2000), dan Mitchell (2006) menemukan ada hubungan antara stock undervaluation dengan stock repurchase. Penjelasannya adalah bahwa perusahaan akan melakukan stock repurchase pada saat harga saham dinilai terlalu rendah (stock undervalued) dengan harapan agar harga pasar saham mengalami peningkatan. Penjelasan ini sesuai dengan teori keagenan dimana manajemen bertindak untuk meningkatkan nilai perusahaan (harga saham) demi kepentingan pemegang saham. Namun penelitian ini menunjukkan fakta bahwa perusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang harga sahamnya dinilai terlalu rendah (undervalued) tetapi juga perusahaan-perusahaan yang harga sahamnya sudah dinilai terlalu tinggi (stock overvalued). Penelitian Dittmar (2000) dan Washer & Casey (2004) mengungkapkan bahwa rasio leverage (Debt to Assets Ratio) yang rendah cenderung melakukan stock repurchase sedangkan perusahaan yang rasio leveragenya sudah tinggi tidak akan melakukan stock repurchase; oleh karena itu rasio leverage dapat digunakan untuk Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 25 memprediksi stock repurchase. Penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaanperusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang rasio leveragenya rendah, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang rasio leveragenya sudah tinggi. Penelitian Dittmar (2000) dan Stephens & Weisbact (1998) mengungkapkan bahwa posisi kas perusahaan (Cashflow) akan mempengaruhi keputusan untuk melakukan stock repurchase; semakin bagus posisi kas perusahaan, semakin besar kecenderungan perusahaan untuk melakukan stock repurchase, sebaliknya semakin jelek posisi kas perusahaan semakin kecil kemungkinan perusahaan melakukan stock repurchase. Dengan kata lain, ada korelasi positif signifikan antara posisi kas perusahaan dengan tindakan melakukan stock repurchase. Penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan stock repurchase, bukan saja yang posisi kasnya bagus, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang posisi kasnya tidak bagus. Dengan penjelasan di atas, penelitian ini gagal untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel peramal (independen): stock undervaluation, debt to assets ratio, dan cashflow baik secara bersama-sama maupun secara individual dapat digunakan untuk memprediksi stock repurchase. Yang menarik dalam penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini sepenuhnya mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Islahuddin & Muhammad Dhuhri (2011), yang sama-sama menggunakan sampel perusahaanperusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perbedaannya hanya pada cakupan waktu sampel yang dipilih, dimana Islahuddin & Muhammad Dhuhri (2011) menggunakan periode 2005-2008, sedangkan penelitian ini menggunakan cakupan periode 2002-2009. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 26 Hasil penelitian ini, dan juga yang dilakukan oleh Islahuddin & Muhammad Dhuhri (2011), berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Stephens & Weisbact (1998), Dittmar (2000), Washer & Casey (2004), dan Mitchell (2006) dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di beberapa bursa efek di luar negeri. Diperlukan penelitian lebih lanjut, mengapa penelitian di kedua bursa ini (bursa efek Indonesia dengan bursa efek di luar negeri) hasilnya sangat berbeda. Dugaan sementara adalah bahwa ada perbedaan karakter bursa dan karakter pemegang saham antara bursa efek Indonesia dengan beberapa bursa efek di luar negeri. BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase. Hasil pengujian ini mendukung hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011), namun berbeda dengan hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer dan Casey (2004); Mitchell (2006), dalam Islahuddin dan Muhammad Dhuhri (2011:149-150). Dugaan sementara mengapa hasil penelitian ini berbeda dengan Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 27 hasil penelitian Stephens dan Weisbact (1998); Dittmar (2000); Washer dan Casey (2004); dan Mitchell (2006) adalah bahwa ada perbedaan karakter bursa dan karakter pemegang saham antara bursa efek Indonesia (tempat penelitian ini dilakukan) dengan beberapa bursa efek di luar negeri (tempat beberapa peneliti sebelumnya melakukan penelitian). B. KETERBATASAN Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah sampel, yaitu dari periode 2002-2009 hanya terdapat 40 perusahaan yang melakukan stock repurchase dan juga belum melakukan kajian lebih lanjut mengapa Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow tidak dapat digunakan untuk memprediksi Stock Repurchase di Bursa Efek Indonesia. C. SARAN Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar melakukan kajian lebih lanjut tentang karakter bursa efek Indonesia serta mencari variabel-variabel (faktor-faktor) lain di luar Stock Undervaluation, Debt to Assets Ratio, dan Cashflow untuk menjelaskan Stock Repurchase. DAFTAR PUSTAKA Baker, Malcom dan Jeffrey Wurgler,(2002), Market Timing and Capital Structure, The Journal of Finance,Vol LVII, No. 1, 2002. Bens, Daniel A., M.H. Franco Wong, and Douglas J. Skinner, (2003), The Relationship between Employee Stock Options and Stock Repurchases, Capital Ideas, Vol. 5 No. 2 | Fall 2003. http://www.chicagobooth.edu/capideas/fall03/stockrepurchases.html, diakses 19/06/2012. Barclay , Britt, (2012), Why Does a Company Buy Back Issued Shares?, Ehow Business-Finance, http://www.ehow.com/about_7232747_company-buyback-issued-shares_.html, diakses 19/06/2012. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 28 Brealey, Richard A., dan Stewart C. Myers, (1991), Principles of Corporate Finance, 4th edition, New York: Mc-Graw-Hill,Inc. Dittmar, A (2000), Why Do Firms Repurchase Stock ?, Journal of Business, Vol 73, No. 3, page 331 – 335. Emery, Douglas R., dan John D. Finnerly, (1997), Corporate Finance Management, London: Prentice-Hall International Inc. Fiegenbaum, Avi dan Howard Thomas, (1988), Attitude toward Risk and RiskReturn Paradox: Prospect Theory Explanations, Academy of Management Journal, Vol.31, No.1, pp.85-106. Husnan, Suad (2005), Dasar Dasar Teori Portofolio danAnalisis Sekuritas, Edisi keempat, Yogyakarta, UPP AMP YKPN. Imam Ghozali, (2009), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ikatan Akuntan Indonesia, (2009), Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta, Salemba Empat. Islahuddin & Muhammad Dhuhri (2011), Pengaruh Stock Undervaluation, Financial Leverage, dan Cash Flow Terhadap Stock Repurchase Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI, Jurnal Akuntansi, Volume XV / 02 / Mei / 2011, hal.149 – 157. Investopedia, (2012), http://www.investopedia.com Jenson, Michal C., dan William H.Meckling (1976), Theory of Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure, Journal of Financial Economics, October 1976, Vol.3, No.4, pp.305-360. http://www.sfu.ca/wainrig. Jones, Charles P (2002), Investments Analysis and Management, 8th Edition, New York, John Willey and Sons Inc. Jogiyanto, (2003), Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi 3, Yogyakarta, BPFE Yogyakarta. Jordan, Bredford D., Randolph W.Westerfield, dan Stephen A.Ross, (2011), Corporate Finance Essentials,7th edition, China: Mc-Graw-Hill Irwin. Jurnal Manajemen, 2009, http://jurnal-sdm.blogspoom/2009/06/teori-strukturmodal.htmlhttp://jurnal-sdm Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 29 Kennon, Joshua, (2012 ), Understanding Stock Repurchase Plans, A Real-World Example of a Stock Repurchase Program, http://beginnersinvest.about.com, diakses 14/07/2012. Kieso, Donald E,Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield (2011), Intermediate Accounting, Volume 1&II, IFRS Edition, The United States of America, John Wiley & Sons, Inc. Mitchell, Jason, H.Y. Izan, R. Lim (2006), Australian On-Market Buy-Back, An Examination of Valuation Issues, Multinational Finance Journal, Vol. 10, No. ½, page 43 – 79. Myers, Stewart C., (1984), The Capital Structure Puzzle, The Journal of Finance, Vol. XXXIX, No.3,1984. Lindananty, (2011), Sumber Modal pada Setiap Siklus Hidup Perusahaan, http://blog.stie-mce.ac.id diakses 17/07/2012. Oxford Dictionaries, http://oxfordictionaries.com Spireframe, (2011), Your Financial Source, http://www.spireframe.com Schoen, John W., (2012), When is a stock 'undervalued'?. www.msnbc.msn.com/id/7148450/, diakses 14/07/2012. Sunariyah (1997), Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, Cetakan Pertama, Yagyakarta, UPP AMP YKPN. Skousen, K. Fred, Earl K. Stice, Janes D. Stice (2000), Intermediate Accounting, 14th ed, Ciccinnati, South Western College Publishing. Spiceland, J. David, James F. Sepe, Tommassini, Lawrence A. Tomassini, (2004), Intermediate Accounting, 3rd edition, New York, McGraw-Hill/Irwin. Stephens, Clifford P, Micheal S. Weisbach (1998), Actual Share Reacquisition in Open Market Repurchase Program, The Journal of Finance, Vol. 3, No. 1, page 313 – 333. Widoatmodjo, Sawidji (2000), Cara Sehat Investasi di Pasar Modal, Jakarta, Yayasan Mpu Ajar Artha. Warren, Carl S, James M Reeve and Philip E. Fess (2005), Accounting, Edition 21, Singapore, South – Western Thomson. Weygandt, Jerry J, Paul D. Kimmel and Donald E. Kieso (2011), Accounting Principles, Ninth Edition, Asia, John Wiley & Sons. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 9, No. 2, Juni 2013, ISSN: 2089-4309 30