Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak John Ryan Bartholomew Penerjemah: Imron Rosyidi Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya 2001, xii + 332 halaman Ditinjau oleh: Rusli Cahyadi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, demikian judul yang digunakan dalam versi bahasa Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis John Ryan Bartholomew yang diajukan sebagai bagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Doctor of Philosophy pada Department of Anthropology, Harvard University. Judul asli buku ini adalah Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung. Entah apa yang mendasari penerjemah ataupun penerbit untuk mengganti anak judul buku ini, tidak ada penjelasan dari keduanya. Menurut hemat saya, anak judul yang asli jauh lebih menggambarkan isi dari buku ini secara keseluruhan dibandingkan dengan judul versi Indonesianya. Sesuai dengan tema utama yang dibahas oleh penulisnya, buku ini lebih banyak mengupas permasalahan dan hubungan yang kompleks antara tiga konsep utama, yaitu Islam, modernitas, dan tradisi. Akan tetapi, dengan judul yang digunakan dalam terjemahan Indonesianya kita lebih sulit menebak apa kira-kira yang menjadi pokok bahasan buku secara selintas. Anak judul ‘Kearifan masyarakat Sasak’ seakan-akan membawa kita pada kondisi masyarakat Sasak yang arif dan ‘harmonis’. Padahal yang digambarkan dalam buku ini adalah hubungan yang saling bertentangan antara tema Islam, modernitas, dan tradisi yang dibingkai dengan kebijakan politik pemerintah Orde Baru. Dalam judul aslinya digunakan istilah kampung untuk mewakili masyarakat Kampung Demen (Barat dan Timur) secara spesifik, dan masyarakat Sasak secara keseluruhan. Titik tolak analisis penulis buku ini adalah kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat kampung Demen. Penulis kemudian menarik generalisasi dari kejadian-kejadian itu ke masyarakat Lombok secara keseluruhan. Demen adalah sebuah kampung urban yang berada di Ampenan, sebuah kota pelabuhan yang terletak di bagian Barat pulau Lombok. Pada bab 2 yang berjudul Setting Etnografi Demen, Bartholomew menggambarkan etnografi wilayah Demen secara menarik dan komprehensif. Penggambaran dimulai dari bentuk fisik perkampungan yang sudah mulai dihiasi oleh papanpapan iklan (lambang modernitas?) hingga toko-toko penjual barang-barang kerajinan dan antik ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 105 yang mulai menjamur di Lombok seiring dengan berkembangnya pariwisata. Penggambaran yang dilakukan tidak hanya pada kondisi kekinian, tetapi juga dari perspektif sejarah perkembangan Demen, Ampenan, Mataram, dan Lombok secara keseluruhan. Penggambaran tentang kehidupan kampung Demen menjadi kian lengkap dengan penggambaran kehidupan kampung dari pagi hingga pagi lagi. Tak ketinggalan juga dalam bagian ini digambarkan kondisi secara administratif kampung Demen, Lombok, dan Indonesia secara keseluruhan. Kampung Demen dipecah menjadi Demen Barat dan Demen Timur pada awal tahun 1970-an. Dua kampung inilah yang menjadi latar belakang pembahasan mengenai hubungan yang sangat kompleks di antara tiga tema penting, yaitu Islam, modernitas, dan tradisi yang dibahas dalam buku ini. Pada pembahasan mengenai tiga tema tersebut Demen Timur diwakili oleh Mesjid Al Aziz, dan Demen Barat diwakili oleh mesjid Al Jibril. Mesjid-mesjid tersebut secara berurutan mewakili dua organisasi Islam yang ada di Lombok, yaitu Muhammadiyah (Mh), dan Nahdlatul Wathan (NW). Organisasi pertama dianggap sebagai organisasi Islam pembaharu dan mewakili kaum modernis dalam Islam, sedang NW dianggap sebagai organisasi Islam ‘tradisional’ yang lebih dahulu berkembang di Indonesia dan Lombok. NW juga dianggap lebih toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi-tradisi lokal. Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan perkembangan Islam di Lombok hingga bentuknya pada masa kini, penulis juga memasukkan bab tentang sejarah Islam di Lombok (bab 4). Pada bagian ini tidak hanya dijelaskan perkembangan Islam di Lombok, tetapi juga di Nusantara. Islam yang masuk terlebih dahulu adalah Islam yang dibawa oleh para sufi sesuai dengan karakteristik masyarakat Hindu-Budha Majapahit saat itu, dan melahirkan Islam yang lebih toleran terhadap praktik-praktik adat/tradisional. Pada kasus Sasak Islam model ini diwakili oleh NW. Pada perkembangan selanjutnya masuk Islam yang lebih ortodoks, yang menghendaki pemurnian ajaran Islam dari percampurannya dengan hal-hal yang berbau adat/tradisonal. Islam model ini diwakili oleh Mh. Orang Sasak memahami modernitas sebagai globalisasi dan westernisasi dalam pengertian yang positif maupun negatif. Modernisasi juga dianggap sebagai kebudayaan material yang baik. Perkembangan ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai modernisasi yang positif, sedangkan segi negatif modernisasi diasosiasikan dengan moralitas seperti etika seksual, pestapesta, dan individualitas (hlm. 18–19). Apa yang dianggap sebagai tradisi Sasak ternyata bermasalah karena ada variasi budaya yang cukup besar di antara Orang Sasak sendiri. Di lingkungan masyarakat Demen sendiri, apa yang dianggap sebagai tradisi menjadi bermasalah karena orang-orang yang saat ini tinggal di sana berasal dari kampung-kampung yang berbeda di Lombok, sehingga membawa anggapananggapan yang berbeda tentang apa yang dianggap sebagai tradisi. Tidak adanya majelis adat juga menambah runyam permasalahan, sehingga tidak ada lembaga yang bisa menetapkan mana yang termasuk kategori adat atau bukan (hlm. 19–20, penjelasan lebih lanjut tentang hal ini diuraikan kembali di hlm. 72–82). Dalam masyarakat Lombok, Islam merupakan rujukan utama dan lensa ideologis dalam memahami dan mengevaluasi perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghadapi perubahan serta kekuatan-kekuatan eksternal yang dirasakan sebagai ancaman terhadap kehidupan sosial mereka. Akhirnya, menurut Bartholomew, berbeda dengan modernitas 106 ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 maupun tradisi, Islam menawarkan teodesi yang menjadi daya tarik sangat kuat (hlm. 25). Buku ini diawali dengan deskripsi tentang merariqnya Windi dengan sang pacar yang telah menimbulkan kekalutan luar biasa dalam keluarganya. Persoalan yang hendak dibahas dalam buku ini secara langsung tergambarkan oleh kejadian tersebut. Windi yang berasal dari keluarga yang sangat terdidik (menurut ukuran orang Sasak) dan dianggap telah menghargai pandanganpandangan modern telah memilih melakukan perkawinan dengan cara yang dianggap tradisional. Pertentangan antaride modernitas dan tradisional mulai digambarkan di sini, pada tingkatan perilaku individu. Penulis kemudian mengevaluasi merarig berdasarkan kacamata Islam, yakni kacamata dua organisasi besar Islam di Lombok. Merariq—yang di beberapa bagian dalam buku ini sering sekali dianggap sebagai inti dari kebudayaan Sasak—dapat diperdebatkan sebagai sebuah tindakan yang modern, atau tidak modern (tradisional). Permasalahan selanjutnya ialah apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan Islam? Bartholomew menyatakan bahwa tindakan merariq dapat dianggap sebagai tindakan yang modern atau tidak tergantung dari sudut pandang. Dikatakan modern apabila kita melihatnya sebagai ekspresi individu yang menentang orang tua dan para pemimpin agama, atau dengan kata lain, meningkatnya otonomi individu. Akan tetapi sangat tidak modern apabila merariq itu di pandang sebagai kegiatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang Sasak tradisional. Merariq juga di pandang sebagai penghalang untuk kemajuan. Ini berkaitan dengan usia perkawinan yang masih sangat muda, yang mengakibatkan mereka harus berhenti sekolah. Dalam perdebatan apakah tindakan tersebut Islami atau bukan, penulis memperlihatkan perbedaan tersebut dari sudut pandang NW dan Mh. Kedua organisasi ini pada dasarnya memandang bahwa merariq bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut penulis, sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat signifikan di antara kedua organisasi tersebut. Keduanya beranggapan bahwa merariq bertentangan dengan ajaran Islam, terutama yang berkaitan dengan penghargaan terhadap orang tua (bapak). Islam menekankan pada pentingnya meminta izin pada orang tua untuk menikahi anaknya. Perbedaan kedua organisasi ini hanya pada usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk menekan terjadinya hal tersebut. Mh secara kontinyu dan terus menerus melakukan ‘kampanye’ kepada masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan tersebut melalui kegiatan ceramah dan khotbah di mesjid. Dilain pihak, NW tidak melakukan upaya tersebut secara nyata (bahkan cenderung merestui secara diam-diam). Analisis penulis yang hendak disampaikan dalam buku ini secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut. Tradisi seringkali dianggap bertentangan dengan Islam pada banyak segi. Demikian juga halnya dengan modernitas yang seringkali dianggap bertentangan dengan Islam, terutama pada persoalan moralitas. Dalam buku ini Islam diwakili oleh dua organisasi Islam di Lombok (NW dan Mh). Tradisi diwakili oleh beberapa kegiatan yang berkaitan dengan perkawinan (adat istiadat yang mendahului dan yang dilakukan selama perkawinan). Modernitas diwakili oleh upaya-upaya pembaruan yang dilakukan oleh Mh dalam rangka meluruskan ajaran Islam, agar sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah rasul. Seperti telah disebutkan di atas, pada saat yang sama modernitas diartikan oleh masyarakat Sasak sebagai globalisasi dan westernisasi yang membawa serta aspek-aspek positif dan negatif. Selain melihat peran dan posisi kedua organisasi tersebut dalam melihat praktik-praktik adat atau tradisi, penulis juga memperlihatkan posisi keduanya dalam melihat dan menilai kecenderungan-kecenderungan baru dalam masyarakat (meningkatnya ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 107 otonomi individu, munculnya versi baru dari tradisi tertentu dan sebagainya). Di antara tematema tersebut, masuklah politik pemerintah Orde Baru. Dalam politik pemerintahan Orde Baru, keragaman agama dan kebudayaan (penerjemah menggunakan istilah kultural) dianggap sangat mungkin meledakkan kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah Orba berupaya untuk membentuk kebudayaan yang lebih bersifat nasional. Skema berikut ini dapat digunakan untuk membantu menjelaskan hal tersebut. Dalam upayanya menjelaskan bagaimana hubungan yang kompleks di antara tiga tema tersebut, penulis juga menggunakan tahapan-tahapan upacara perkawinan Sasak sebagai alat analisisnya, selain merariq yang telah dijelaskan di bagian awal. Perkawinan adatSasak tradisional yang paling lengkap terdiri dari tiga tahapan yaitu, pambayunan, nyongkolan, dan sorong serah hlm. 278). Pertentangan antara NW dan Mh dalam hal ini berkaitan dengan beberapa poin tertentu yang sebenarnya kurang bermakna dari aspek-aspek perkawinan adat. Misalnya apakah perkawinan sebaiknya dilakukan di rumah atau di mesjid? Pertentangan lain yang muncul berkaitan dengan perkawinan adat sebenarnya berlangsung di antara kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan acara sorong serah. Sorong serah oleh sebagian besar masyarakat Sasak dianggap hanya boleh dilakukan oleh kaum ningrat (hlm. 245–247 dan 252– 255). Buku ini ditulis dengan gaya penulisan yang cukup sulit untuk dipahami. Analisis dan kasus tidaklah secara ketat dipisahkan dalam bab-bab tersendiri. Pada hampir setiap bab kita akan 108 ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 menemukan analisa dan kasus sekaligus. Satu kasus bisa dibicarakan dalam dua atau tiga bab. Sebagai contoh, kita akan menemukan kasus merariq-nya Windi pada beberapa bab (bab 1, 6 dan 7). Demikian juga halnya dengan pembahasan tentang perkawinan Adil misalnya, yang tersebar di beberapa bab secara bersambung. Kesulitan lain dalam memahami buku ini terletak pada kualitas terjemahan yang tidak bagus. Banyak sekali pilihan kata yang tidak tepat yang digunakan sebagai padanan bahasa Indonesia dari kata-kata bahasa Inggris tertentu. Di samping itu juga ditemui penerjemahan yang keliru yang bukan hanya membuat pembaca bingung, melainkan juga menyesatkan. Berikut ini akan disajikan beberapa kekeliruan tersebut yang mudah-mudahan dapat diperbaiki pada terbitan berikutnya. Pada bagian kata pengantar halaman x tertulis: ‘Meskipun mesjid-mesjid ini kebanyakan menghargai institusi-institusi yang ada di Demen...’ aslinya berbunyi ‘Although the mosques are the most respected institution in Demen...’. Pada halaman 48 alinea kedua kalimat ketiga ‘...orang-orang yang masih tetap kesulitan untuk memanjat secara melingkar...’, padahal kalimat aslinya berbunyi ‘...people still make the arduous climb up to the rim and down...’. Pada bagian akhir halaman 297 secara berturut-turut terdapat kalimat-kalimat ‘Menjelang saya tinggal di Lombok...’ dan ‘...karena dia menerimanya.’ Kalimat aslinya secara berturut-turut adalah ‘Shortly before I left Lombok, ...’, ‘...because he was available.’ Di bagian lain buku ini akan banyak sekali kita jumpai terjemahan yang keliru yang akan membuat pembaca keliru. Kesalahan lain berkaitan dengan pilihan kata: ‘Menjelang saya meninggalkan pada tahun 1997...’, sebaiknya kata meninggalkan diganti dengan tinggalkan. Dengan mengenyampingkan berbagai kelemahan di atas, buku ini tetap menarik bagi pembaca yang mendalami permasalahan seputar Islam, tradisi dan modernisasi. Begitu pula halnya bagi mereka yang berminat mempelajari masyarakat Sasak dalam berbagai aspeknya, karena dari buku ini kita bisa menemukan sejarah Islam dan Lombok, adat perkawinan, perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan juga oraganisasi Islam terbesar di Lombok. Buku ini juga dapat menjadi kunci untuk mereka yang berniat melakukan studi tentang masyarakat Sasak. Selain menyajikan beragam informasi di atas, buku ini juga memberikan petunjuk-petunjuk tentang karangan atau tulisan yang dapat diacu untuk mendalami topik-topik tertentu, baik yang berkaitan dengan masyarakat Sasak, Islam maupun peran pemerintah Orde Baru. Akhir kata, terjemahan buku ini tentu saja harus disambut dengan gembira mengingat terbatasnya penelitian dan publikasi yang berkaitan dengan masyarakat Sasak. ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001 109