STUDI DESKRIPTIF PENGUCAPAN MANTRA DALAM KONTEKS UPACARA MANDALABHISEKAM PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI BALAJI VENKATESHWARA KOIL MEDAN SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H SANDRO BATUBARA NIM: 080707019 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Penyebaran agama Hindu di sumatera utara berasal daerah pantai barat sumatera utara yang dulunya menjadi pintu gerbang perdagangan. Dari daerah inilah penyebaran agama Hindu dimulai hingga menyebar ke kota Medan yang menjadi pusat ibukota sumatera utara, hingga membentuk suatu kumpulan penganut agama hindu. Kumpulan dari orang-orang pemeluk agama Hindu dalam satu lingkungan menyebut kumpulan mereka ini sebagai masyarakat Hindu1. Dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang dianut, masyarakat Hindu melaksanakan kegiatan ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari di kuil. Oleh karena ajaran agama menganjurkan untuk beribadah di kuil, maka masyarakat Hindu membangun Kuil sebagai tempat beribadah atau sembahyang untuk memuja Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Satu Kuil tempat persembahyangan yang baru dibangun dan terdapat di Medan adalah Shri Balaji Venkateshwara Koil. Dan pada saat peresmian kuil ini, dilakukanlah upacara Mandalabhisekam sebagai syarat agar kuil tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan aturan agama Hindu. Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta2) yang antara lain perwujudan dari dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara 1 2 Wawancara dengan Bapak Suba Thina Thayalan,SE pada tanggal 12 April 2012 Bhakta adalah umat dalam agama Hindu 1 simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam. Upacara ini dilakukan selama 13 hari, dimana selama 12 hari para Bhakta akan rutin mengadakan doa yang dimulai pada pukul 18.00 hingga 20.00. Upacara berdoa tersebut dilakukan untuk mendoakan segala persiapan menyambut pelaksanaan upacara Mandalabhisekam serta mendoakan kesucian arca-arca dewa umat Hindu. Selama dalam rentang waktu mengadakan upacara ini, semua Bhakta yang terlibat diharuskan agar menjaga kesuciannya dengan cara tidak mengkonsumsi bahan yang berasal dari hewani melainkan menjadi vegetarian. Pada rentang waktu selama 13 hari ini juga para Bhakta dapat mengadakan acara ucapan syukur kepada dewa dengan cara mengadakan jamuan makan kepada seluruh Bhakta. Dan pada hari ke-13, upacara Mandalabhisekam merupakan puncak upacara, setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap ke-dua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana Mohotsava. Tahap pertama, upacara yang dilakukan adalah upacara 108 Kalasa Thirumanjana, yaitu upacara memandikan Vigraha Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) yang terdapat di kuil dengan menggunakan sarana / perlengkapan susu, susu masam, minyak sapi, madu, air kelapa muda, serbuk kunyit, serbuk cendana berikut air yang disucikan dan didoakan dari 108 kalasa yang disediakan Bhakta. Dalam upacara ini pendeta yang berkedudukan sebagai pemimpin upacara akan mengucapkan mantra yang ditujukan kepada dewa-dewa yang diagungkan. Upacara ini dilakukan oleh 108 pasangan yang berasal dari Bhakta. Manfaat upacara 108 Kalasa Thirumanjana bagi para Bhakta yaitu akan mengalami penyembuhan dari cacat mental, penyakit kronis, dan dikaruniai keturunan. Dengan berpartisipasi dalam upacara 108 Kalasa Thirumanjana, Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) sebagai pelipur lara Bhakta akan memberikan obat dan kepuasan dari 2 kekhawatiran serta kendala lain Bhakta sehari-hari seperti kedamaian hati, panjang umur, tambah harta, kemakmuran lingkungan, keselamatan bagi para petani (Dhana Dhanya Samruthi), harmonisasi keluarga, dan pekerjaan / usahanya sendiri. Tahap kedua yaitu upacara Kalyana Mohotsava yang merupakan upacara perkawinan simbolis arca perwujudan Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) dengan arca perwujudan Shri Padmawati dan arca perwujudan Shri Aandaal yang dilakukan oleh pendeta dan seluruh Bhakta. Dalam upacara ini Bhakta yang terdiri dari wanita bersuami atau anak gadis dapat membawa hantaran untuk perkawinan (Varisai Taddu) berupa dua macam buah, bunga atau kalung bunga, gelang tangan, serbuk kunkuman, daun sirih, dan pinang yang ditempatkan pada sebuah talam. Hantaran ini nantinya akan dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah. Pada akhir upacara ini, arca dewa-dewi yang telah dikawinkan secara simbolis akan diarak kejalanan sesuai lokasi yang telah disepakati, untuk mengabarkan kepada semua Bhakta bahwa perkawinan yang dilakukan telah terlaksana dan memberi berkat kepada para Bhakta yang tidak dapat hadir dalam upacara itu. Dalam pelaksanaan upacara ini, pendeta juga akan mengucapkan mantra3 yang diucapkan dengan tekhnik Chanting4, yang berasal dari kitab suci Veda, dan diiringi oleh instrument Nagasvharam yaitu sejenis alat musik yang tergolong kedalam aerofon (alat musik tiup) sebagai instrument utama pembawa melodi, ditambah iringan Thavil yaitu alat musik berbentuk barrel yang tergolong kedalam membranofon dan Sruthi box. Sruthi box yang dipakai pada upacara ini merupakan sejenis alat musik yang tergolong kedalam elektrofon yang berfungsi sebagai drone (nada yang dimainkan secara terus menerus). Musik berfungsi sebagai pengiring pengucapan mantra dan pelengkap dalam pelaksanaan upacara. 3 Mantra adalah kata-kata atau doa yang diucapkan atau dinyanyikan oleh pemimpin upacara yaitu Pendeta dalam upacara keagamaan, memiliki arti dan terkadang rahasia sifatnya. 4 Chanting adalah mengucapkan doa dengan tekhnik bernyanyi. 3 Pada saat arak-arakan, musik dipercaya berfungsi sebagai penjaga dan pembawa roh dewa yang diarak ke arah yang ingin dituju. Fungsi dari mantra ini dipercayai oleh Bhakta dapat menjadi sarana komunikasi penyampai keinginan dan ucapan syukur kepada dewa yang diagungkan serta sarana untuk meminta berkat kepada dewa. Dalam mengucapkan mantra para Bhakta akan dipimpin oleh seorang Aiyere Swamy (pendeta) kemudian diikuti oleh Bhakta, dimana mantra yang diucapkan ini berasal dari Veda (kitab suci agama Hindu). Selama proses ini berlangsung selalu diiringi oleh instrument Nagasvharam, Thavil, dan Shruti box. Mantra pada upacara Mandalabhisekam ini merupakan suatu penyajian yang menarik perhatian penulis, karena penulis percaya bahwa mantra memiliki peran yang sangat penting dan dapat dikatakan upacara ini tidak akan tercapai jika mantra tidak diucapkan. Disini yang menjadi objek penelitian penulis adalah mantra yang dibacakan dengan tekhnik bernyanyi. Berangkat dari sinilah penulis ingin mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkait dengan teks mantra yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, nilai religius mantra yang tercermin dari pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, dan bagaimana nilai sastra yang berkaitan dengan aspek teks mantra yang digunakan dalam upacara tersebut. Dalam penyusunan skripsi ini penulis memakai beberapa skripsi terdahulu sebagai bahan referensi, yaitu S, Jhonny Edwin.1995. Pirartenei pada Aktifitas Religius Masyarakat Tamil di Shri Mariaman Kuil-Medan: Kajian Struktur Musik Dan Teks. Medan: USU , Purba,Destri Damayanti. 2011. Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Triwula Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan. Medan: USU dan Simanjuntak, Rina Gustriani.2011. Studi Analisis Musikal dan Tekstual Pembacaan Kitab Shri Guru Granth Sahib Ji Pada Upacara Pahila Parkas Dihara Masyarakat Sikh di Gurdwara Shree Guru Granth Sahib Darbar Kota Tebing Tinggi. Medan: USU. 4 Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Dengan demikian penulis memberi judul: “STUDI DESKRIPTIF PENGUCAPAN MANTRA DALAM KONTEKS UPACARA MANDALABHISEKAM PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI BALAJI VENKATESHWARA KOIL MEDAN”. 1.2 Pokok Permasalahan Pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana deskripsi upacara Mandalabhisekam yang berlangsung di kuil Shri Balaji Venkatheswara Koil? 2. Bagaimana struktur melodi mantra pada upacara Mandalabhisekam? 3. Bagaimana fungsi mantra dalam upacara Mandalabhisekam? 4. Bagaimana makna teks mantra pada upacara Mandalabhisekam? 1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan penelitian Tujuan penulis mengadakan penelitian dan penulisan ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara Mandalabhisekam pada masyarakat Hindu Tamil di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan. 2. Untuk mengetahui struktur melodi mantra yang dipakai dalam upacara Mandalabhisekam. 3. Untuk mengetahui fungsi mantra yang dipakai dalam upacara Mandalabhisekam. 4. Untuk mengetahui makna teks mantra dalam upacara Mandalabhisekam. 5 1.3.2 Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat penelitian adalah: 1. Memberikan informasi tentang jalannya upacara Mandalabhisekam pada masyarakat Hindu Tamil di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan. 2. Memberikan kajian musikologis mantra pada suatu upacara religi yang melibatkan unsur-unsur musikal dalam disiplin ilmu Etnomusikologi secara khusus dan ilmu pengetahuan secara umum. 3. Salah satu bahan referensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. R.Merton mendefinisikan: “Konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan hubungan empiris” (Merton, 1963: hal.89). Adapun konsep musik dalam konteks upacara Mandalabhisekam yang dimaksud penulis adalah musik vokal yang dalam hal ini adalah pengucapan mantra. Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya (KBBI 2005:258). Upacara dalam konteks agama menurut Koentjaraningrat (1992:252) disebut sebagai kelakuan agama (perasaan cinta, hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, dan lain sebagainya) yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib. Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1983:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi- 6 organisasi tertentu. Selain itu Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian. Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian kuil yang memiliki tahapan, antara lain peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta) yang antara lain perwujudan dari dewa wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan dari Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dari dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan dari Shri Garuda dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam, yang bertujuan untuk meminta berkat, rejeki, umur yang panjang serta kesembuhan dari penyakit. Mantra adalah doa yang diucapkan dengan tekhnik bernyanyi, yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan agar diberikan berkat yang berkelimpahan dan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Konsep tentang pengucapan mantra secara Etnomusikologi dikategorikan sebagai musik vokal, yang berpedoman pada pengertian musik adalah kejadian bunyi atau suara dapat dipandang dan dipelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritem dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 85) 5 Music Culture of the Pasific, the Near East and Asia karya William P. Malm tahun 1977 yang dialihbahasakan menjadi Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah dan Asia oleh Muhammad Takari, Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara pada tahun 1993. 7 1.4.2 Teori Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Kecuali (1) menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, teori itu juga; (2) memberi kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian; (3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; (4) mengisi lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan. Dalam menyelesaikan tulisan ini, berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan judul di atas. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini. Berikut ini teori-teori yang digunakan yaitu: 1. Untuk mengkaji upacara Mandalabhisekam, penulis menggunakan konsep unsurunsur pendukung upacara yang dikemukakan Koentjaraningrat (1985:168) bahwa upacara keagamaan terbagi atas 4 komponen, yaitu : (a) tempat upacara, (b) saat upacara, (c) benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. 2. Untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan fungsi mantra sebagai musik vokal pada upacara Mandalabhisekam, penulis mengacu kepada teori penggunaan dan fungsi musik. Teori ini seperti yang dikemukakan oleh Merriam (1964:219-222) mengatakan secara implisit bahwa penggunaan (uses) 8 dilakukan dalam konteks upacara, yang dapat dilihat saat itu juga, sedangkan fungsi (function) mempunyai dampak yang lebih jauh dan dalam. Merriam menawarkan ada sepuluh fungsi musik antara lain : (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3 )fungsi hiburan, (4) fungsi perlambangan, (5) fungsi reaksi jasmani, (6) fungsi komunikasi, (7) fungsi kesinambungan budaya, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (9) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (10) fungsi pengintegrasian masyarakat, tetapi Merriam tidak mengadakan pembatasan, mungkin fungsinya lebih dari sepuluh. Merriam membagi penggunaan musik kedalam 5 (lima) kategori, yaitu: 1) Hubungan musik dengan kebudayaan material, 2) Hubungan musik dengan kelembagaan sosial, 3) Hubungan musik dengan manusia dan alam, 4) Hubungan musik dengan nilai-nilai estetika, 5) hubungan musik dengan bahasa. Penggunaan (uses) musik berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan (folkways) memainkan musik tersebut, baik sebagai aktifitas yang berdiri sendiri atau dalam aktifitas yang lain. 3. Berkaitan dengan musikologis, teori Weighted Scale dari William P.Malm (1977;8) mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) Scale (tangga nada), (2) Nada Dasar, (3) Range (wilayah Nada), (4) Frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) Prevalent Intervals (interval yang dipakai), (6) Cadence Patterns (pola-pola kadensa), (7) Melodic Formulas (Formula-formula melodi), (8) Contour (kontur). 4. Untuk melihat hubungan antara teks mantra dengan melodi, penulis menggunakan teori Malm (1977:8) mengatakan apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel (suku kata), gaya ini disebut silabis, sebaliknya bila suatu silabel dinyanyikan 9 dengan nada-nada yang berjumlah banyak disebut melismatis. Kedua teori ini penulis gunakan untuk menganalisis melodi mantra. 5. Dalam hal transkripsi terhadap mantra, penulis berpedoman kepada teori Nettl (1964:98) yang memberikan dua pendekatan yaitu : a) Kita dapat menguraikan dan menganalisis apa yang kita dengar. b) Kita dapat menulis apa yang kita dengar tersebut di atas kertas, dan kita mendeskripsikan apa yang kita lihat tersebut. 1.5 Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti upacara Mandalabhisekam ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”. Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki/menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Canon, dan catatan lapangan. (menyaksikan) upacara Mandalabhisekam pada bulan Maret. 10 Pengamatan langsung Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama. Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi. 1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian upacara Mandalabhisekam dalam hubungannya dengan mantra masih sulit didapat. Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Tamil yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian. 1.5.2 Penelitian Lapangan Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan: 11 (1). Observasi (Pengamatan) Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya. Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara. (2). Wawancara Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu. 12 Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan. (3). Perekaman Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara : 1. Perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal. 2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Canon. Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia dan panitia pelaksana. 1.5.3 Kerja Laboratorium Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan, sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner dan keseluruhannya 13 dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang. 1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil, yang terletak di Jalan Bunga Wijaya Kesuma no. 25-A, kelurahan Padang Bulan selayang II, kec. Medan Selayang, Medan. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan yaitu : 1. Kuil Shri Balaji Venkateshwara merupakan kuil yang baru dibangun dan upacara ini hanya dilakukan pada saat pembangunan suatu kuil baru maupun pemugaran kuil jika dibutuhkan. Di sini penulis mendapat ijin dari pihak panitia upacara Mandalabhisekam dan pendeta untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya upacara ini, sebagai sarana tempat penelitian penulisan. 2. Penulis mengikuti jalannya upacara di Kuil dari awal hingga akhir upacara, karena pelaksanaan upacara ini sangat jarang dilakukan. 3. Tokoh-tokoh agama yang mengetahui tata cara upacara ini masih ada yang berdomisili di Medan. 1.7 Pemilihan Narasumber (Informan) Untuk pengumpulan data yang diperlukan, penulis memilih beberapa informasi yang dapat memberikan informasi-informasi yang berhubungan dengan objek penelitian ini. Hal ini didukung oleh pendapat Koentjaraningrat (1977:163-164) mengenai informan pangkal dan informan pokok. 14 1. Informan pangkal adalah informan yang memberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya individu lain dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan yang diperlukan. Untuk penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah : 1. Bapak Drs.Gopala Krishna Naidu, SH, yaitu yang telah memberikan informasi tentang upacara Mandalabhisekam dan lokasi penelitian. 2. Anan Kumar, yaitu pengurus upacara yang memberikan informasi dan akses. 2. Informan pokok (kunci) adalah informan yang ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui. Dalam penelitian ini yang menjadi informan pokok adalah : 1. Bapak Suba Thina Thayalan,SE, yaitu penerjemah sekaligu narasumber. 2. Pendeta V.Hanumacharyulu, pada saat melakukan wawancara peneliti dan narasumber mengalami hambatan dalam hal komunikasi sehingga dibantu oleh Bapak Suba Thina Thayalan, namun komunikasi diantara keduanyapun tidak berjalan dengan lancar sehingga peneliti dalam tulisan ini memasukkan data yang berhasil diterjemahkan oleh Bapak Suba Thina Thayalan, dimana ketepatan dan kekurang tepatan data yang didapat di lapangan, peneliti serahkan kepada Bapak Suba Thina Thayalan. 15 BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KOTA MEDAN 2.1 Asal Usul Orang Tamil Menurut S. Ramakrishan dalam Edwin (1995:15-16) bahwa orang Tamil merupakan rumpun bangsa Dravida. Disebutkan bahwa bangsa Dravida mendiami negeri India kira-kira 1000 tahun Sebelum Masehi. Kulit mereka berwarna gelap (Hitam). Kemudian kurang lebih 3.500 tahun yang lalu negeri itu kedatangan bangsa dari Persia yaitu Aria (N. Daldjoeni, 1991). Kedatangan mereka diperkirakan melalui barat laut India, yaitu selat Kaiber. Bangsa Aria berkulit putih dan berbahasa Sanskrit. Lalu bangsa Aria menyerang dan berhasil menaklukkan bangsa Dravida sehingga terdesak kebahagian selatan India. Dari adanya ras bekulit putih (Aria) dan berkulit hitam (Dravida) maka penduduk India adalah hasil percampuran keduanya. Warna kulit ini dijadikan dasar penggolongan masyarakat yang disebut Kasta. Semakin terang warna kulitnya maka semakin tingggi kastanya, demikian juga sebaliknya. Dalam penggolongan masyarakat (kasta) tersebut, ada tiga pendapat mengenai bangsa-bangsa berkulit hitam tersebut yang sulit dimasukkan ke dalam klasifikasi ras umat manusia (N. Daljoeni, 1991:131-132), yaitu; 1. Pada mereka tidak terdapat ciri-ciri bangsa negro, mereka juga tidak dapat digolongkan ke dalam ras campuran seperti yang di Amerika, disebutkan kaum Mulat (campuran ras putih dan hitam) 2. Mereka juga tidak dapat digolongkan ke dalam bangsa Negro yakni bangsa kerdil berkulit seperti yang tersebar di Filipina dan Indonesia utara. Namun ada kemiripan dengan Negrito, yakni selain pendek posturnya, hidung, pipi dan rambut sangat keriting. 16 3. Adapun bagian ketiga dan terpenting yaitu banyak diantara mereka mirip dengan bangsa Aborigin di benua Australia. Pada masa sekarang ada empat Negara bagian di India selatan yang termasuk ke dalam rumpun bangsa Dravida. Keempat Negara bahagian itu tersebut memiliki sistem budaya termasuk bahasa dan aksara yang berbeda-beda kecuali agama. Keempat Negara bahagian itu adalah: 1. Tamil Nadu, bahasa yang dipakai adalah bahasa Tamil. 2. Andhra Pradesh, yang dipakai adalah bahasa Telugu. 3. Karnataka, yang dipakai adalah bahasa kannada atau Kanarese. 4. Kerala, bahasa yang dipakai adalah Malayalam. 2.2 Kedatangan Orang Tamil ke Kota Medan dan Sekitarnya Ada beberapa catatan yang menguraikan tentang kedatangan orang Tamil ke kota Medan dan sekitarnya. Salah satu diantaranya berpendapat bahwa suku bangsa ini adalah sebenarnya telah datang ke Indonesia ribuan tahun yang lalu. Menurut sejarah, ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia ke India tahun 334-362 SM mengakibatkan bangsa India cerai berai berai dan banyak melarikan diri karena ketakutan. Penduduk di lembah sungai Indus lari ke bahagian selatan India dan banyak yang terus lari ke Nikobar, Andaman dan pulau Sumatera (Brahma Putro, 1981:38). Pada dasarnya keterangan tersebut tidak menjelaskan mengenai bangsa India beretnis Tamil, tapi yang pasti kedatangan mereka ke pulau Sumatera banyak mempengaruhi budaya setempat seperti adat-istiadat, religi, bahasa dan kesenian. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa bangsa India dan masuknya agama yang mereka anut di Sumatera Timur khususnya Deli serdang sudah terjadi pada abad IV SM (Sinar, 1988:5). 17 Sejarah tentang kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang dapat dipastikan pada abad I Masehi. Keterangan tersebut didapat dari buku tua yang berjudul “Manimagelai’ karangan pujangga sitesar yang aslinya terbit pada abad I Masehi dan sangat populer di India menurut Brahma Putro dalam Edwin (1995:17). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa orang-orang India beretnis Tamil bersama rombongannya tiba di sebuah kampung yang bernama Haru (sekarang menjadi Karo). Gelombang terakhir kedatangan orang Tamil ke Kota Medan dan sekitarnya yaitu pada tahun 1872 sebagai kuli kontrak perkebunan bersama dengan orang-orang Jawa yang dipekerjakan pada waktu itu sekitar ratusan orang, menurut Brahma Putro dalam purba (2011:31). Mereka di datangkan dari India selatan, Malaysia dan singapura untuk menutupi kekurangan tenaga kerja perkebunan-perkebunan milik Belanda. Sebahagian orang Tamil yang bekerja di perkebunan banyak melarikan diri ke Medan untuk mencari perlindungan sewaktu Jepang berkuasa serta pada tahun 1946 sebahagian orang Tamil kembali ke negara asalnya (Burju Matua N, 1990:20-22). Pada tahun 2011-2012, jumlah orang Tamil yang tinggal di kota Medan diperkirakan berjumlah 80.000 jiwa. Perkembangan jumlah orang Tamil ini dapat dikatakan cukup pesat, dimana pada tahun 2003 jumlah orang Tamil yang ada di kota Medan masih berjumlah 30.000 jiwa, hal tersebut dijelaskan oleh Bapak Suba Thina selaku narasumber. Hal ini dikarenakan pertambahan keturunan dari generasi muda orang Tamil yang sudah menikah dan berkeluarga. Disamping itu juga orang Tamil dapat bertahan dan meneruskan kehidupan mereka dengan berbagai profesi atau pekerjaan yang mereka geluti seperti berdagang dan wirausaha. Bagi orang Tamil yang sudah tinggal di kota Medan, mereka tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budayanya. Untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya, orang-orang Tamil kemudian mendirikan kuil sebagai tempat beribadah dan 18 melaksanakan upacara yang berkaitan dengan keagamaan. Salah satunya adalah kuil Shri balaji Venkateshwara yang terletak di kec. Selayang II Medan. Hal ini dilakukan agar tradisi serta ajaran agama yang mereka anut dapat dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan kepercayaan mereka. 2.3 Masyarakat Hindu Tamil Masyarakat Hindu Tamil merupakan penggabungan antara kata Hindu dan Tamil. Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia dan di dunia. Tamil merupakan suku atau etnis pendatang yang datang ke Indonesia pada abad ke IV dan memilihi menetap di Indonesia. Penggabungan kata ini menjadi suatu identitas yang dipakai oleh kelompok orang Tamil yang memeluk agama hindu di suatu kelompok masyarakat. Mereka menyebutkan bahwa mereka merupakan masyarakat Hindu Tamil disamping berada dalam suatu kelompok masyarakat, juga karena mereka merasa memiliki asau-usul serta identitas yang sama. Hal ini terbukti dalam kelompok masyarakat Hindu Tamil yang berada di kawasan pasar IV padang bulan Medan yang menjadi tempat penelitian dan menjadi objek penelitian. Jadi dari penjabaran diatas dapat dikatakan bahwa sekumpulan orang Tamil yang memeluk agama Hindu dan tinggal dalam suatu kawasan tertentu, menyebut identitas mereka sebagai masyarakat Hindu Tamil. 2.4 Agama Hindu Kata Hindu berasal dari sebutan orang Persia yang datang ke India. Mereka menyebut sungai Shindu/Indus yang mengalir di daerah barat India sebagai sungai Hindu. Ketika agama Islam masuk ke India, kata Hindu muncul kembali dalam bentuk Hindustan. Orang-orang India yang memeluk agamanya disebut orang Hindu. Hindu biasa disebut 19 Sanatana Dharma (Sanskrit) yang berarti Kebenaran Abadi. Agama Hindu tidak mempunyai pendiri dan penyebarannya dilakukan oleh Kaum Brahmana. Selain tidak mempunyai pendiri, agama Hindu memiliki perbedaan dengan agama lain yaitu tidak memakai istilah Nabi, yang ada adalah Guru, Rsi dan Maharsi. Dalam ajaran agama hindu, Tuhan adalah sebagai pencipta alam semesta dan isinya. Umat Hindu di Indonesia menyebut Tuhan dengan gelar Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain bergelar Sang Hyang Widhi Wasa, Ia disebut juga dengan nama Bhatara sebagai pelindung dewa tertinggi, Sang Hyang Parameswara sebagai raja termulia. Di dalam manifestasinya sebagai dewa, Sang Hyang Widhi Wasa dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yang disebut dengan Tri Murti yang terdiri dari: 1. Dewa Brahma, bertugas sebagai pencipta alam semesta dan disimbolkan dengan A. 2. Dewa Wisnu, bertugas sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta dan disimbolkan dengan U. 3. Dewa Siwa, bertugas sebagai Pemeralina (pengembali segala isi alam semesta ke asalnya) dan disimbolkan dengan M. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan disimbolkan dengan dengan aksara AUM atau OM, yaitu suara yang terdengar dari meditasi yang paling terdalam dan dijadikan nama yang paling tepat untuk Tuhan. Hal ini memberikan arti bahwa Sang Hyang Widhi mempunyai sifat yang Esa yang disebut dalam nama ketiga Dewa sekaligus. Selain manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa sebagai dewa yang disebut Tri Murti, terdapat juga tiga pendamping / Sakti, yaitu: 1. Saraswati, yaitu dewi pengetahuan dan kesenian. Saktinya Dewa Brahma, disebut Dewi Kebijaksanaan. 2. Lakshmi, yaitu dewi cahaya, kecantikan dan keberuntungan. Wisnu, disebut Dewi Kekayaan. 20 Saktinya Dewa 3. Parvati, yaitu dewi rumah tangga dan keibuan. Saktinya Dewa Siwa, disebut dewi Kekuatan Sakral. Disamping ketiga bentuk pasangan diatas, ada juga Ganapati / Ganesha, yaitu dewa pendidikan yang merupakan anak pertama dari Siwa dan Parvati, serta Muruga, yaitu dewa Keindahan dan dipercaya membawa bahasa Tamil, yang merupakan adik dari Ganesha. Agama Hindu percaya dengan adanya Panca Cradha (kepercayaan) yaitu: 1. Percaya akan adanya Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) Sang Hyang Widhi Wasa adalah penguasa segala yang ada, tidak ada yang luput dari Kuasa-Nya. Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan pikirannya. Sang Hyang Widhi Wasa dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pengembali alam semesta. 2. Percaya akan adanya Atma Atma yaitu satu bagian dari Brahma yang dipercaya oleh umat Hindu terdapat dalam setiap diri manusia. 3. Percaya akan adanya Karma Phala Karma adalah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kata Phala berarti buah atau hasil, sehingga Karma Phala berarti segala Karma (perbuatan) yang menghasilkan Phala (hasil). 4. Percaya terhadap adanya Purnarbhawa (Samsara) Purnarbhawa atau Samsara yaitu kelahiran kembali ke bumi yang bertujuan untuk memperbaiki diri dari segala kesalahan di masa lalu. 5. Percaya akan adanya Moksa 21 Moksa artinya kelepasan. Bila seseorang telah terlepas dari ikatan dunia ini maka ia akan mencapai Moksa. Inilah tujuan akhir dari pemeluk agama Hindu. Orang yang telah mencapai Moksa tidak lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya lagi, maka ia telah bersatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Menurut ajaran agama Hindu ada empat jalan untuk mencapai Moksa, disebut Catur Yoga yaitu: 1. Jnana Yoga yaitu melalui jalan pengetahuan 2. Bhakti Yoga yaitu melalui jalan kebaktian atau pengabdian 3. Karma Yoga yaitu melalui jalan perbuatan baik 4. Dhyana Yoga yaitu melalui jalan meditasi 2.5 Veda, Kitab Suci Umat Hindu 2.5.1 Pengertian Veda Kata Veda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan Estimologi (kata dasar) dan berdasarkan Semantik (pengertiannya). Kata Veda berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata dasar Vid yaitu pengetahuan. Dari kata dasar ini berubah menjadi kata benda yang artinya kebenaran, pengetahuan suci, kebijaksanaan dan secara sematik berarti kitab suci yang mengandung abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Sebagai kitab suci umat Hindu maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satusatunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk waktu tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan (mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaranNya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih dahulu bahwa isinya memberikan 22 petunjuk atau ajaran untuk hidup suci. Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda atau Bruti mengalirlah ajaran Veda pada kitabkitab Sarti, Itihasa, Purane, kitab-kitab agama Tantra, Darsana, dan Tattwa yang diwarisi di Indonesia. Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan pada saat pralaya (kiamat) nanti. Veda menuntun tindakan umat tidak terbatas pada tuntutan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Segala tuntutan hidup ditunjukkan kepada umat dalam kitab suci. 2.5.2 Pembagian dan Isi Veda Menurut Maurice Winternitz, kitab-kitab Veda terdiri dari empat pengelompokan dan masing-masing kelompok tersebut dari sejumlah besar atau kebil yang diterima oleh para Rsi (nabi) berupa mantra-mantra, baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam kelompok. Pengelompokan itu adalah: 1. Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain. 2. Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang Ketuhanan / Theologi observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan individu, kelompok, maupun upacara-upacara besar lainnya. 3. Aranyaka, mengandung ajaran tentang meditasi atau kehidupan menjadi bertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, tentang dunia dan kehidupan umat manusia. 4. Upanisad, mengandung ajaran yang berisikan mistik dan filosofi. 23 Ada empat jenis Samhita yang masing-masing memiliki perbedaan satu dengan lainnya, yaitu: 1. Rig Veda Samhita, yakni himpunan rc atau rk. Rig Veda artinya pengetahuan suci yang berhubungan dengan nyanyian pemujaan dan bila dihubungkan dengan Veda akan menjadi Rig Veda. 2. Yajurveda Samhita, yakni kumpulan Makna Jayus, pengetahuan suci tentang upacara korban. 3. Samaveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Saman, pengetahuan suci tentang irama (melodi) mengembangkan mantra-mantra Veda. 4. Atharveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Atharvan, pengetahuan suci yang memberikan manfaat berhubungan dengan kehidupan di dunia. Keempat jenis mantra ini disebut Catur Veda. Kitab Catur Veda dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dikembangkan lagi sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri, yaitu: 1. Kelompok yang membahas aspek Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas berbagai macam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaan-Nya, termasuk theologi, kosmologi, dan lain-lain yang bersifat metafisik. Kata Vijnana berarti kebijaksanaan tertinggi. 2. Kelompok yang membahas aspek karma, yaitu kelompok mantra mengenai berbagai aspek atau jenis karma sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia. 3. Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan Sanghyang Widhi. 24 4. Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni. Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam di bidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut. 2.6 Pendidikan Dalam mengikuti perjalanan upacara Mandalabhisekam, penulis juga banyak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Selain bersosialisasi, penulis juga mengamati Bhakta yang datang ke kuil bahkan orang-orang yang mengikuti pelaksanaan upacara Mandalabhisekam juga. Pada saat upacara telah selesai, penulis mewawancarai salah satu Bhakta kuil Shri Balaji Venkateshwara yaitu Bapak Suba Thina Thayalan dengan maksud menanyakan tingkat pendidikan Bhakta yang berada di kuil Shri Balaji Venkateshwara. Dapat dikatakan bahwa secara umum tingkat pendidikan Bhaktanya beragam, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah tingkat atas hingga sarjana. Sumber mengatakan hal ini terjadi karena tingkat perekonomian Bhakta berbeda-beda, semakin tinggi tingkat perekonomian Bhakta semakin tinggi juga tingkat pendidikannya. 2.7 Mata Pencaharian Mata pencaharian Bhakta di kuil Shri Balaji Venkateshwara dapat dikatakan sebagian besar sebagai wiraswasta yaitu sebagai pedagang dan karyawan. Namun selain itu ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri. Bagi yang wanita, kebanyakan hanya sebagai ibu rumah tangga dibandingkan dengan wanita yang bekerja sebagai pedagang. 25 2.8 Aspek Kesejarahan Kuil Shri Balaji Venkateshwara di Kota Medan Alkisahnya bermula pada awal tahun 1990 atas pemikiran bersama 3 orang pemuka masyarakat Hindu di Medan perlu disediakan sebuah pusat pertemuan umat Hindu berupa sebuah Kuil dan Hall di Kec. Medan Selayang Kotamadya Medan, mengingat dilingkungan tersebut berdiam ±200 keluarga yang beragama Hindu keturunan India. Maka dengan niat yang tulus untuk berbuat yang baik dan bermanfaat bagi umat Hindu dalam membangun dan mengembangkan spiritual dan cultural, ketiga donator ini membeli sebidang tanah pertapakan seluas 1.430M¬2 (26 x 55M) sekaligus menimbun dan memagar kavling tersebut. Hari, bulan dan tahunpun berjalan, akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1995 hingga tahun 2005, rencana pembangunan proyek dimaksud tertunda untuk beberapa tahun. 2 tahun lalu atas inisiatif masyarakat Hindu setempat dan persetujuan donatur selaku pemilik kavling tersebut telah didirikan sebuat bangunan darurat untuk dijadikan Kuil dengan menempatkan sebuah photo Shri Venkateshwara sebagai wadah pemujaan dan diberi nama Kuil Shri Balaji Venkateshwara dan umat melakukan aktivitas rutin di kuil tersebut dengan antusias hingga saat ini serta menjalankan even-even hari besar keagamaan secara hidmat. Melihat perkembangan aktivitas ini pihak donator yang tiga orang yaitu Sdr. M. Jayaraman Naidu, Drs. M. Pubalen Naidu dan Suba Tirumal Naidu pada tanggal 22 Juli 2007 di bantu beberapa tokoh umat Hindu di Medan telah mendirikan sebuah wadah yang diberi nama Yayasan Shri Maha Wishnu yang didukung oleh 62 orang sebagai pendiri sekaligus membentuk kepengurusan Yayasan. Tujuan dibentuknya yayasan ini guna menjalankan tugas dan mengelola Kuil tersebut berserta asetnya dan merupakan satu badan hukum yang dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatunya dikemudian hari. Selanjutnya ketiga orang donator tersebut juga telah menghibahkan status tanah tersebut menjadi hak milik Yayasan Shri Maha Wishnu pada bulan Maret 2008. Yayasan ini mempunya tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan perencanaan dan 26 pembangunan Kuil Shri Balaji Venkateshwara serta Maha Wisnu Mandapa (HALL) yang dananya diharapkan akan di dapatkan dari sumbangan masyarakan luas baik di Indonesia maupun luar negeri yang mana sumbangan ini sifatnya tidak mengikat. Pengurus yayasan telah menyiapkan gambar rencana proyek bangunan Kuil dan Mandappa dimaksud dan telah pun mendapat izin untuk mendirikan bangunan dari pihak pemerintah Kotamadya Medan. Pada saat pembangunan kuil selesai dilaksanakan, Bhakta dapat mempergunakan kuil sebagai tempat sembahyang atau beribadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam keseharian maupun upacara-upacara yang bersifat tahunan. Berikut merupakan jadwal kegiatan ibadah harian yang dilakukan di kuil : 1. Hari Minggu ke hari Jumat 06.00 - 06.30 Suprabatham, yaitu saat membaca kidung untuk membangunkan 06.30 - 08.00 08.00 - 09.30 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng. 09.30 - 11.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 11.00 Tutup 17.30 - 18.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 18.00 - 18.30 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng. 18.30 – 20.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 20.00 – 20.30 Suddhi, Ekanta Seva, yaitu saat menidurkan Dewa 20.30 Tutup 27 2. Hari Sabtu 06.00 - 06.30 Suprabatham, yaitu saat membaca kidung untuk membangunkan 06.30 - 07.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 07.00 – 08.00 Abhisekam, yaitu memandikan arca 08.00 – 09.00 Alankaram, yaitu merias arca dewa 09.00 – 10.00 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng. 10.00 – 11.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 11.00 Tutup 17.30 – 18.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 18.00 - 18.30 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng. 18.30 – 20.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 20.00 – 20.30 Suddhi, Ekanta Seva, yaitu saat menidurkan Dewa 20.30 Tutup Acara tahunan yang dilaksanakan di kuil yaitu : 1. Tanggal 23 Maret : Sri Nandana Naama Samvatsara Pramrambham (Tahun baru saka) 2. Tanggal 1 April : Sri Ramanavami (Festival hari kelahiran Rama) 28 3. Tanggal 15 Mei : Hanuman Jayanthi (Festival hari kelahiran Hanuman) 4. Tanggal 27 Juli : Varalakhsmi Vratham (Hari puasa untuk memuja Varalakshmi) 5. Tanggal 10 Agustus : Sri Khrisnastami (Festival hari kelahiran Batara Khrisna) 6. Tanggal 16 Oktober : Devi Navarathrula Prarambham (Pemujaan kepada Dewi Laksmi selama 9 malam) 7. Tanggal 24 Oktober : Dasara (Perayaan hari ke-10 setelah 9 malam) 8. Tanggal 13 November : Deepavali (Hari kemenangan) 9. Tanggal 27 November : Kartika Depotsavam (Upacara pemujaan bulan purnama suci) 10. Tanggal 23 Desember : Vaikunta Ekadasi (Pemujaan kepada Dewa Wishnu yang membuka surga) 11. Tanggal 15 Januari : Maha Sankranti (Pemujaan kepada Batara surga) 12. Tanggal 21 Februari : Shri Balaji Venkateshwara Koil Pratama Vaarsakotchavam (Perayaan ulang tahun kuil) 13. Tanggal 1 April : Sri Vijaya Naama Samvatsara Prarambham (Tahun baru) 29 2.9 Kuil Shri Balaji Venkateshwara Shri Balaji Venkateshwara terletak di jalan Bunga Wijaya Kesuma no. 25-A, kelurahan Padang Bulan selayang II, kec. Medan Selayang. Kuil ini berdiri tahun 1990 dengan konsep bangunan yang sederhana. Shri Balaji Venkateshwara adalah Avatara (penjelmaan) Dewa Wisnu pada saat turun ke bumi. Dewa ini begitu dipuja dan dihormati oleh umat Hindu. Bangunan kuil Shri Balaji Venkateshwara memiliki ukuran luas 26 x 55 meter. Dari segi bangunan, kuil ini telah mengalami banyak perombakan secara total dari bangunan lama ke bangunan baru. Letak bagian depan kuil ini tepat menghadap matahari terbit dengan kata lain menghadap timur. Jadi Bhakta yang melaksanakan ibadah menghadap ke barat berhadapan dengan arca dewa-dewa yang menghadap ke arah timur. Menurut Bapak Suba Thina Thayalan, umumnya kuil-kuil menghadap ke arah timur, karena konsep arah matahari terbit menurut agama Hindu Tamil yaitu matahari merupakan sinar Ilahi yang datang tepat menuju arca dewa. Kemudian sinar yang ada pada dewa dipantulkan kepada orang yang melaksanakan ibadah. Di bagian dinding bagian atas kuil, atap kuil dan bagian dalam kuil terdapat patung / arca dewa dan dewi agama Hindu. Di bagian depan kuil juga terdapat Kodimaram / Dhvajastambha (Sansekerta) yaitu sejenis tiang bendera yang disebutkan sebagai penggambaran dari bagian-bagian kuil, yang terdiri atas: 1. Garbhagraham (Aaknyai) yaitu bagian kepala 2. Artha Mandapam (Visuthi) yaitu bagian leher 3. Maha Mandapam (Anaahatanam) yaitu bagian dada 4. Snana Mandapam (Manipurakam) yaitu bagian perut 5. Alankara Mandapam (Swathishtanam) yaitu bagian tangan 6. Sabha Mandapam (Mulatharam) yaitu bagian kaki 30 7. Gopuram (Gapura) yaitu bagian telapak kaki Gambar 2.1 Kodimaram / Dhvajastambha Lambang AUM terbuat dari bahan besi yang merupakan gambaran kehidupan mahluk hidup di dunia yang dirangkum oleh Tuhan Yang Maha Esa diletakkan di bagian paling atas kuil. Di bagian belakang terdapat kantor dan Maha Wishnu Mandapa (HALL) yang dipergunakan untuk mengurusi segala urusan inventaris kuil serta dipergunakan juga untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan agama dan budaya Tamil. 31 Gambar 2.2 Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak depan Gambar 2.3 Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak samping 2.9.1 Aturan Sebelum Masuk ke Kuil Adapun aturan yang harus dipatuhi sebelum masuk ke kuil yaitu: 32 1. Membersihkan diri dengan mandi (keramas). 2. Mengenakan pakaian yang bersih, sopan dan khas, antara lain : warna tidak menyolok, laki-laki memakai kemeja atau Jippa dan Thundu (selendang) dan perempuan memakai Saree, Paavaadai atau Dhavani. 3. Tidak memakai perhiasan yang berlebihan. 4. Bagi mereka yang datangnya tidak dari rumah, diperbolehkan memakai pakaian bebas asalkan tidak berwarna hitam. 5. Memakai Sricharana atau Thiruman atau Namam berbentuk U atau Y yang melambangkan kaki Shri Balaji Venkateshwara dan Srichurnam atau Trishaum atau Sendhuram berbentuk garis tegak yang melambangkan kekuatan Lakshmi. 6. Kaum perempuan dianjurkan menghias rambutnya dengan bunga dan mengenakan bubuk Kunkuman berbentuk bulat di tengah kening. 7. Bagi perempuan yang sedang mengalami haid / menstruasi tidak diperbolehkan masuk ke dalam kuil, sebelum hari ketiga sesudah haid. 8. Membawa buah kelapa, daun sirih, buah pinang, buah pisang, buah-buahan yang lain, Karpuram / Sudam, minyak sapi, kalung bunga, beberapa kuntum bunga dan Dupa / Bathi. Jika tidak dapat menyediakan keseluruhan, minimal ada membawa beberapa kuntum bunga yang wangi. 9. Sebaiknya pergi bersama keluarga, karena hal ini menunjukkan perasaan cinta (Anbu), kasih sayang (Paasam) dan kesetiaan. Sekaligus membimbing anak agar bermoral dan menjadi anak Hindu yang baik. 2.9.2 Larangan di Dalam Kuil Larangan ketika berada di dalam kuil yaitu : 1. Menyentuh Vigraham (Arca) 33 2. Memakai selendang / Thundu di bahu, melainkan ikat di pinggang 3. Bersembahyang / berjalan / berdiri diantara Mulamurti atau Palipidam 4. Bersembahyang dan mengitari kuil ketika Vigraham (Arca) ditutupi kain tirai atau ketika Abishekam sedang berlangsung 5. Berbicara perihal isu atau gosip 6. Melakukan pemujaan tidak pada waktunya 7. Berdiri jauh dan hanya mengamati puja yang sedang dilaksanakan 8. Mengenakan pakaian yang tidak layak 9. Melanggar aturan atau cara pemujaan 10. Bersujud di tempat lain selain tempat yang ditentukan 11. Menyalakan Karpuram (kapur barus) tidak pada waktu dan tempat yang tepat 12. Menempatkan bunga, buah dan bahan lainnya tanpa melalui Archagar / pendeta 13. Datang ke kuil dengan tujuan lain 14. Mangambil barang milik kuil untuk digunakan sendiri 15. Mengusapkan tangan pada pilar dan dinding kuil setelah menerima Prasadham 16. Menyanyikan lagu-lagu duniawi 34 BAB III DESKRIPSI UPACARA MANDALABHISEKAM 3.1 Pengertian Upacara Mandalabhisekam Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta) yang antara lain perwujudan dari dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam. Setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap kedua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana Mohotsava. Tahap pertama, upacara yang dilakukan adalah upacara 108 Kalasa Thirumanjana, yaitu upacara memandikan Vigraha Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) yang terdapat di kuil dengan menggunakan sarana/perlengkapan susu, susu masam, minyak sapi, madu, air kelapa muda, serbuk kunyit, serbuk cendana berikut air yang disucikan dan didoakan dari 108 kalasa yang disediakan Bhakta. Upacara ini dilakukan oleh 108 pasangan yang berasal dari Bhakta. Manfaat upacara 108 Kalasa Thirumanjana bagi para Bhakta yaitu akan mengalami penyembuhan dari cacat mental, penyakit kronis, dan dikaruniai keturunan. Dengan berpartisipasi dalam upacara 108 Kalasa Thirumanjana, Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) sebagai pelipur lara Bhakta akan memberikan obat dan kepuasan dari kekhawatiran serta kendala lain Bhakta sehari-hari seperti kedamaian hati, panjang umur, 35 tambah harta, kemakmuran lingkungan, keselamatan bagi para petani (Dhana Dhanya Samruthi), harmonisasi keluarga, dan pekerjaan /usahanya sendiri. Tahap kedua yaitu upacara Kalyana Mohotsava yang merupakan upacara perkawinan simbolis arca perwujudan Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) dengan arca perwujudan Shri Padmawati dan arca perwujudan Shri Aandaal yang dilakukan oleh pendeta dan seluruh Bhakta. Dalam upacara ini Bhakta yang terdiri dari wanita bersuami atau anak gadis dapat membawa hantaran untuk perkawinan (Varisai Taddu) berupa dua macam buah, bunga atau kalung bunga, gelang tangan, serbuk kunkuman, daun sirih, dan pinang yang ditempatkan pada sebuah talam. Hantaran ini nantinya akan dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah. Pada akhir upacara ini, arca dewa-dewi yang telah dikawinkan secara simbolis akan diarak kejalanan sesuai lokasi yang telah disepakati, untuk mengabarkan kepada semua Bhakta bahwa perkawinan yang dilakukan telah terlaksana dan memberi berkat kepada para Bhakta yang tidak dapat hadir dalam upacara itu. 3.2 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan Upacara Semua umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta isinya baik yang berada di segala penjuru bumi, di lautan maupun di angkasa merupakan bagian dari tubuh Sang Hyang Widhi meskipun tidak tampak langsung oleh manusia. Umat Hindujuga percaya bahwa bumi beserta isinya diciptakan oleh Sang Hyang Widhi bertujuan untuk kehidupan manusia ciptaannya. Cara yang paling mudah dan paling indah untuk mendekati Sang Hyang Widhi adalah melalui rasa. Untuk membangkitkan rasa cinta kepada Sang Hyang Widhi maka diperlukan suatu kondisi tertentu, kondisi yang dapat membangkitkan rasa Ketuhanan muncul dan hidup dengan baik. Hal inilah yang membuat umat Hindu mendirikan kuil di tempat-tempat yang indah, bersejarah atau yang dapat membangkitkan kekaguman akan kebesaran Sang Hyang 36 Widhi, disamping dekat dan mudah dicapai umatNya. Dengan kondisi yang demikian maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Sang Hyang Widhi, dan rasa ego serta keangkuhan akan hilang diganti rasa kagum dan hormat sehingga hubungan yang baik akan selalu terjaga antara manusia sebagai ciptaan dengan Sang Hyang Widhi sebagai pencipta. Bahan dan bentuk kuil pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal ataupun gedung biasa. Bagi umat Hindu kuil bukan hanya sebagai tempat ibadah semata, melainkan dianggap sebagai Kahyangan tempat memuja kekuasaan Sang Hyang Widhi serta tempat untuk menerima berkat bagi kehidupan Bhakta, karena itu dibangunlah kuil dengan bentuk dan bahan yang berbeda dengan bangunan biasanya sehingga disaat memasuki kuil perasaan akan seperti dalam Kahyangan dan Sang Hyang Widhi pun memberikan kesejukan hati. Perwujudan rasa hormat tersebut terlihat pada etika hidup masyarakat Hindu yang membangun kuil menghadap arah timur atau matahari terbit karena umat Hindu percaya bahwa sinar matahari meerupakan sinar kemuliaan Sang Hyang Widhi, karena matahari juga memiliki pengaruh yang besar terhadap hidup dan keselamatan umat manusia. Matahari juga dipercayai mempunyai kekuatan yang menyebabkan bumi berputar, angin dan air beredar. Dengan adanya sinar matahari semua mahluk hidup bisa hidup sehingga jika matahari tidak ada, maka bumipun akan mati. Maka pada waktu sembahyang, umat Hindu mencakupkan tangannya memuja Sang Hyang Widhi ke arah matahari terbit (timur), tempat darimana Sang Hyang Widhi menyampaikan kasih berupa anugerah yang berlimpah kepada semua mahluk hidup serta umat Hindu akan menundukkan kepalanya ke arah matahari terbit itu juga sebagai simbol ucapan rasa syukur dan terima kasih. Adapun hal yang melatarbelakangi pelaksanaan upacara ini adalah karena rasa hormat dan kagum kepada Sang Hyang Widhi serta ucapan syukur kepadaNya serta bagi umat Hindu membangun suatu tempat suci (kuil) adalah kewajiban yang harus dilakukan. Karena melalui 37 kuil inilah umat Hindu bisa selalu beribadah untuk memuji Sang Hyang Widhi dan menerima segala berkatNya. Di dalam kuil ini juga semua umat Hindu dapat menerima ajaran yang sesuai dengan tindakan dan perilaku yang dikehendaki Sang Hyang Widhi serta akan melaksanakannya dalam kehidupannya. Berangkat darisinilah umat Hindu melaksanakan upacara Mandalabhisekam, upacara ini merupakan persyaratan yang sangat penting dalam membangun sebuah kuil baru. Upacara ini merupakan upacara peresmian yang harus dilaksanakan agar sebuah bangunan kuil yang baru dibangun dapat dipergunakan secara sah menurut ajaran agama Hindu, dengan kata lain jika upacara ini tidak digunakan maka kuil tersebut belum bisa dipergunakan. Jika pelaksaan upacara Mandalabhisekam telah selesai dilaksanakan maka kuil tersebut telah sah menurut agama dapat dipergunakan sehingga melalui upacara tersebut juga para dewa yang disembah akan memberkati kuil tersebut. Oleh karena kuil tersebut telah diberkati oleh Sang Hyang Widhi maka umat yang melaksanakan ibadah akan terberkati, itulah tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut. 3.3 Tempat Pelaksanaan Upacara Dalam membahas tempat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, penulis akan menyebutkan satu-persatu seperti yang penulis saksikan pada saat upacara dilaksanakan. Tempat awal upacara Mandalabhisekam dilaksanakan di depan aula Shri Maha Wisnu Mandapa kemudian masuk ke dalam kuil Shri Balaji Venkateshwara yang dimulai dari pagi hari hingga malam hari. Di dalam kuil telah ditempatkan arca perwujudan dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan perwujudan Shri Hanuman sebagai perantara umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi untuk permohonan setiap umat pada saat acara persembahyangan. 38 Pada malam harinya, kelanjutan dari upacara Mandalabhisekam yaitu arak-arakan arca pasangan dewa yang telah dikawinkan secara simbolis dilakukan dengan melewati rute yang telah ditentukan yaitu jalanan disekitar kuil dan kembali lagi ke kuil Shri balaji Venkateshwara. Gambar 3.1 Pamplet kuil Shri Balaji Venkateshwara dari depan 39 Gambar 3.2 Gapura kuil Shri Balaji Venkateshwara Gambar 3.3 Pintu masuk aula Graha Maha Wishnu 40 Gambar 3.4 Ruang dalam kuil Gambar 3.5 Bhakta sembahyang di kuil 41 3.4 Komponen Upacara 3.4.1 Saat Upacara Upacara Mandalabhisekam dilaksanakan setiap kali pertama pembangunan kuil yang baru dibangun. Upacara ini dilakukan selama 13 hari, dimana selama 12 hari para Bhakta akan rutin mengadakan doa yang dimulai pada pukul 18.00 hingga 20.00. Pada hari ke-13, upacara Mandalabhisekam merupakan puncak upacara, setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap ke-dua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana Mohotsava. 3.4.2 Benda-benda dan Bahan-bahan Upacara Menurut umat Hindu benda-benda yang dipakai pada saat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam memiliki makna dan fungsi tertentu dan dipercayai dapat menjadi sarana penyampai pesan dan maksud bagi yang mereka sembah yaitu Sang Hyang Widhi. 3.4.2.1 Benda-benda Yang Digunakan Saat Upacara Benda-benda yang dipakai merupakan benda yang dianggap sakral dan suci. Bendabenda yang dipakai pada saat upacara terdiri atas: 1. Lampu sakral (Manggala Deepam / Dipam) Menurut agama Hindu lampu yang dalam hal ini memilki sinar terang yang berasal dari api lampu tersebut memiliki arti bahwa lampu disimbolkan sebagai cahaya penerang dan memberi kehidupan bagi manusia bagaikan sinar matahari yang menyinari bumi dan menjaga kehidupan manusia melaluiu terangnya. Selain itu sinar yang berasal dari lampu dapat disimbolkan juga sebagai cahaya yang dapat 42 membinasakan kekuatan kegelapan yang selalu mengganggu kedamaian hidup umat manusia. Berbeda jenis-jenis bahan pembuatan sumbu lampu sakral, berbeda pula makna dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Berikut jenis-jenis bahan pembuatan sumbu lampu sakral dan fungsinya: a. Kapas berfungsi untuk memberikan kedamaian dan hal yang terbaik. b. Batang Pohon Teratai berfungsi untuk menghapuskan perbuatan salah sebelumnya. c. Batang Pohon Pisang berfungsi untuk memberikan keturunan d. Kulit Pohon Eru Putih berfungsi untuk mengusir setan yang merasuki tubuh seseorang. e. Helai Kain Kuning (baru) berfungsi membebaskan dari usikan barang yang dianggap memiliki roh halus. f. Helai Kain Merah berfungsi untuk memberikan tanda larangan dan hambatan nikah serta tidak dikaruniai anak. Jenis-jenis minyak yang digunakan sebagai bahan bakar lampu juga memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda-beda. Berikut jenis-jenis minyak yang digunakan beserta fungsi dan tujuannya: a. Minyak Sapi (Ghee) memilki makna yang terbaik, memberikan kebahagiaan dan kemakmuran. b. Minyak Wijen (Sesame oil) memilki makna bebas dari penderitaan atau nasib buruk. c. Minyak Jerai (Kastroli) memiliki makna kerukunan keluarga dan sanak saudara. 43 d. Minyak Kelapa memilki makna bebas dari penyakit. e. Minyak Kacang tanah memiliki makna dilarang, membawa kehancuran dan sial. Menurut sastra agama Hindu ada berbagai macam bentuk dan makna yang terdapat pada lampu sakral. Lampu sakral itu terdiri atas: a. Thubam (lampu kemenyan) memiliki makna memberikan semangat. b. Dipam (lampu bersumbu) memiliki makna pengarah kegiatan. c. Maha Dipam (lampu berbaris) memiliki makna karunia kerajaan. d. Naga Dipam (lampu naga) memiliki makna memberi promosi. e. Virusha Dipam (lampu Virusha) memiliki makna karunia bumi. f. Lampu Purushamiruga memiliki makna bebas dari penyakit. g. Lampu Sula memiliki makna menyembuhkan tubuh ruam. h. Kamada Dipam (lampu kura-kura) memiliki makna membebaskan bahaya dari air. i. Lampu gajah memiliki makna memberi kekayaan. j. Viyakra Dipam (lampu harimau) memiliki makna perlindungan dari binatang buas. k. Lampu singa memiliki makna panjang umur. l. Lampu Thavaja memiliki makna peningkatan kekayaan. m. Lampu merak memiliki makna mendapat keturunan. n. Lampu ayam memiliki makna mengusahakan sendiri. o. Lampu kuda memiliki makna memperoleh kemakmuran. p. Lampu Karpuram memiliki makna bebas dari segala dosa. 2. Payung hias memiliki makna memberikan kenyamanan. 44 Menurut agama Hindu payung hias memiliki makna memberikan kenyamanan tidak terlepas dari fungsi dari penggunaan payung yaitu sebagai alat untuk melindungi dan menjaga dari ancaman hingga menimbulkan rasa nyaman. Umat Hindu juga percaya bahwa payung merupakan simbol dari perlindungan Sang Hyang Widhi kepada umat manusia. 3. Surutti (kipas yang memiliki tangkai panjang) memiliki makna memberikan keuntungan. 4. Cermin memiliki makna memberikan kebahagiaan. 5. Kipas memiliki makna bebas dari penyakit. 6. Bendera memiliki makna memberikan kekuatan. 7. Vensamaram (kipas berumbai) memiliki makna memberikan kekuasaan. 8. Lonceng Vaishnavaism memiliki makna memberi pertanda bahwa Sang Hyang Widhi satu-satunya yang didengar dan dipatuhi. 9. Lonceng memiliki makna mengingatkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah Maha Kuasa. 10. Sadari (mangkok dari bahan logam) memiliki makna wadah atau tempat tinggal umat manusia. 11. Kumba (Kendi) memiliki makna sebagai lambang tubuh manusia. 12. Kain suci memiliki makna menghadirkan kesucian 13. Puspa (bunga) Puspa (bunga) merupakan bentuk persembahan yang paling indah dan megah jika dilihat dari fisiknya. Bagi umat Hindu, puspa dipakai untuk keperluan sembahyang dan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi. Dalam kegiatan sembahyang dan pemujaan biasanya dipakai bunga yang masih segar dan indah serta dirangkai sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk yang bagus dan megah. Hal ini menyatakan bahwa 45 umat Hindu memberikannya dengan penuh keikhlasan sebagai wujud rasa terimakasih dan bakti kepada Sang Hyang Widhi. 14. Pohon pisang merupakan simbol perbuatan baik dan buruk, buah pisang bermanfaat agar manusia mampu menentukan mana perbuatan yang baik dan buruk. 15. Karpuram atau Suudam (kapur barus) Karpuram akan larut dan berdiri bersatu dengan cahaya api, akhirnya tidak ada sisa. Hakikatnya jiwa (Atma) akan bebas sejenak dan bersatu dengan Tuhan, akhirnya tubuh akan musnah juga tanpa ada sisa, itulah konsep penggunaan dan manfaat Karpuram bagi umat Hindu. 16. Benang suci (Kanganam) beemanfaat untuk ikatan berkat. 3.4.2.2 Bahan-bahan Yang Digunakan Saat Upacara Bahan-bahan yang digunakan pada saat pelaksanaan upacara terdiri atas dua bagian, yaitu: 1. Bahan-bahan Abhisekam (mandi suci) terdiri atas: 1. Air bermanfaat untuk membawa kemakmuran 2. Minyak Kelapa bermanfaat untuk membawa kekayaan 3. Tepung Kunyit bermanfaat untuk memberikan kecantikan 4. Lima jenis manisan bermanfaat untuk memberi kesuksesan 5. Minyak Sapi bermanfaat untuk menjadi sarana mencapai Moksha 6. Susu bermanfaat untuk memperoleh umur yang panjang 7. Susu Masam bermanfaat untuk memperoleh keturunan / anak 8. Madu bermanfaat untuk memperoleh pengetahuan dan naluri seni musik 9. Air Tebu bermanfaat untuk membebaskan diri dari penderitaan 10. Gula Merah bermanfaat untuk membebaskan diri dari permusuhan 46 11. Buah Pisang bermanfaat untuk mendapatkan laba dari usaha perkebunan 12. Buah Mangga bermanfaat untuk memperoleh keturunan / anak 13. Buah Delima bermanfaat untuk meredahkan amarah 14. Serat bermanfaat untuk membawa kejujuran 15. Air Kelapa Muda bermanfaat untuk memberikan kenyamanan 16. Tepung Cendana bermanfaat untuk membawa kemakmuran 17. Abu Suci bermanfaat untuk menimbulkan perbuatan baik 18. Tepung Beras bermanfaat untuk membebaskan hidup dari hutang 19. Nasi Manis bermanfaat untuk membebaskan hidup dari kelaparan 20. Lima potong kain bermanfaat untuk menghadirkan kesucian 21. Abhiseka Kuuddu bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit 22. Jeruk Manis bermanfaat untuk membawa keadilan 23. Buah Lemon bermanfaat untuk menjalani kehidupan tanpa takut mati 24. Tepung Kunkuman bermanfaat untuk membawa kemakmuran 25. Pannir bermanfaat untuk membebaskan hidup dari ketakutan 26. Dupa bermanfaat untuk menjadi obat untuk penyakit 2. Bahan-bahan Homam (bakaran) terdiri atas : 1. Api lambang dari Dewa Agni. Adapun manfaat api dalam upacara Mandalabhisekam adalah: a. Sebagai lambang sinar suci Sang Hyang Widhi yang menyinari alam semesta beserta isinya dengan penuh kebijaksanaan dan memberi kehidupan kepada alam semesta ini. b. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja. c. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat. 47 d. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Api dengan sinarnya yang menyala adalah penerangan dalam alam ini. 2. Ranting Pohon Nangka bermanfaat untuk membawa kemakmuran. 3. Ranting Pohon Kayu Hitam bermanfaat untuk memberi kesuksesan. 4. Ranting Pohon Bodhi bermanfaat untuk membawa kekayaan. 5. Ranting Pohon Ara bermanfaat untuk memberi kenyamanan. 6. Ranting Pohon Cendana bermanfaat untuk membawa ketentraman. 7. Ranting Pohon Beringin bermanfaat untuk memberi kesehatan. 8. Ranting Pohon Vannie bermanfaat untuk memberi kecantikan. 9. Ranting Pohon Vilva bermanfaat untuk pertumbuhan pada tubuh. 10. Ranting Pohon Mangga bermanfaat untuk melenyapkan permusuhan. 11. Minyak Sapi bermanfaat untuk mencapai Moksha. 12. Nasi bermanfaat untuk mendapat laba dari usaha pertanian. 13. Biji Gengily (ellu) bermanfaat untuk mencapai Moksha. 14. Gram Hitam (Ulunthu) bermanfaat untuk pertumbuhan pada lembu. 15. Dedak bermanfaat untuk membawa kemakmuran. 16. Gandum bermanfaat untuk melenyapkan permusuhan. 17. Gula Merah bermanfaat untuk membawa kekayaan. 18. Kelapa bermanfaat untuk mendapat Karunia Tuhan. 19. Kacang Hijau bermanfaat mendapat panjang umur. 20. Padi bermanfaat untuk memberi kenikmatan. 21. Berbagai Akar bermanfaat untuk memberi laba dari lahan usaha. 22. Madu bermanfaat untuk mendapat pengetahuan dan naluri musik. 23. Susu Masam bermanfaat untuk mendapatkan keturunan / anak. 24. Jeruk Manis bermanfaat untuk membawa keadilan. 48 25. Buah Apel bermanfaat untuk membawa kebahagiaan. 26. Buah Pisang bermanfaat untuk mendapatkan laba dari usaha perkebunan. 27. Buah Delima bermanfaat untuk meredahkan amarah. 28. Buah Lemon bermanfaat untuk menjalani kehidupan tanpa takut mati. 29. Susu bermanfaat untuk mendapat panjang umur. 30. Rumput Manis (Arugampul), Jathipu, Kunkumapu, Lamichaipu, Velli Root, Panchai Karpuram dan tebu bermanfaat untuk membawa kemakmuran. 31. Daun sirih dan buah pinang bermanfaat untuk membawa kekayaan. Penggunaan daun dalam upacara ini berfungsi juga sebagai: a. Sarana untuk kelengkapan dan kesempurnaan untuk dipersembahkan. b. Sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri dan sarana untuk memuja Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. c. Suatu cetusan hati nurani yang suci diiringi dengan rasa bakti untuk dipersembahkan kepadanya. d. Sarana untuk menyampaikan rasa terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi atas anugerah-Nya. e. Sarana penyuci diri lahir batin untuk terbebas dari kotoran dan mara bahaya. 3.5 Pendukung Upacara 3.5.1 Aiyere Swamy (Pendeta) Pimpinan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Mandalabhisekam adalah seorang Aiyere Swamy (Pendeta) yaitu Pendeta V. Hanumacharyulu. Sebagai pemimpin upacara pendetalah yang berhak dan bertugas menyampaikan Mantra atas nama seluruh Bhakta yang sedang ikut melaksanakan upacara Mandalabhisekam. 49 Selain itu dalam pelaksanaan upacara ini hanya pendetalah yang dapat memberikan nasehat dan bimbingan serta penjelasan mengenai pelaksanaan upacara. Dalam hal pakaian, pakaian yang dikenakan oleh pendeta berbeda dengan pakaian yang dikenakan oleh Bhakta. Hal ini terlihat jelas pada saat melaksanakan tugasnya dimana pendeta yang memimpin jalannya upacara memakai pakaian berupa kain yang terbuat dari sutra yang berwarna putih dan orange. Gambar 3.6 Aiyere Swamy (Pendeta) 3.5.2 Panitia dan Bhakta Pada upacara Mandalabhisekam selain pendeta, upacara ini juga didukung oleh panitia dan Bhakta yang hadir, baik Bhakta yang dari dalam maupun yang dari luar lingkungan kuil Shri Balaji Venkateshwara. Bahkan dalam hal ini, Bhakta yang mengikuti jalannya upacara ada juga umat Hindu yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Mereka sangat antusias dalam mengikuti jalannya upacara, karena mereka percaya bahwa upacara Mandalabhisekam dapat menjadi sarana penyampai anugerah dari Sang Hyang Widhi melalui kuil yang baru dibangun dan diresmikan. Upacara Mandalabhisekam memiliki susunan kepengurusan yang diketuai oleh Bapak Subaidu Tirumal Cancers C Aboy dan di bawah naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). 50 Umat Hindu yang mengikuti jalannya upacara Mandalabhisekam dapat dikatakan sebagian besar dan hampir keseluruhan merupakan etnis Tamil, namun ada juga etnis lain yang mengikuti jalannya upacara seperti etnis Telugu, Shindi, Punjabi, Karo, dan Tionghoa. Gambar 3.7 Panitia dan Bhakta 3.6 Kronologis Upacara Setelah acara peletakan arca dewa selesai dilakukan pada hari sebelumnya, kemudian dilaksanakanlah upacara Mandalabhisekam. 3.6.1 Tahap Persiapan Upacara Tahap persiapan yang dimaksud adalah persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum pelaksaanaan upacara. Para Bhakta terlebih dahulu mempersiapkan segala bahan-bahan yang dibutuhkan pada saat berlangsungnya upacara. Selain itu juga para panitia sudah mempersiapkan dana untuk mendukung jalannya upacara pada saat hari pelaksanaannya. Dalam masa persiapan ini, ada beberapa hal yang sangat penting untuk dilakukan 51 yaitu : 1. Bhakta yang yang terlibat dalam upacara ini tidak boleh memakan makanan yang berbau amis yang berasal dari hewani, karena umat Hindu menganggap makanan yang berbau amis tidak suci. Oleh karena itu Bhakta diwajibkan menjadi vegetarian. 2. Selama 12 hari, Bhakta mengadakan sembahyang rutin di kuil yang bertujuan untuk menyucikan serta membersihkan diri dari hal-hal yang tidak baik, yang dianggap dapat mengganggu jalannya upacara. 3. Bagi kaum wanita yang sedang dalam proses haid, tidak diperbolehkan sembahyang serta mengikuti upacara karena dianggap dalam masa kotor dan tidak suci. 4. Mempersiapkan benda-benda dan bahan-bahan upacara agar pada saat pelaksanaan upacara berlangsung semua bahan yang dibutuhkan telah tersedia. Tahap kronologis upacara Mandalabhisekam terdiri atas dua tahap upacara, yaitu: 1. Upacara 108 Kalasa Thirumanjana 2. Upacara Kalyana Mohotsava 3.6.2 Upacara 108 Kalasa Thirumanjana Upacara 108 Kalasa Thirumanjana dimulai pada pukul 08.00 bertempat di depan aula Shri Maha Wishnu. Upacara ini diikuti oleh Bhakta yang berpasangan yaitu suami dan istri sebanyak 108 pasang. Tempat pelaksanaan upacara ini, dihiasi dengan berbagai macam benda-benda yang memiliki fungsi dan makna tersendiri tetapi saling berkaitan. Bendabenda tersebut antara lain: 52 a. Penempatan daun sirih, buah pinang dan buah pisang. Daun sirih merupakan simbol manusia, buah pinang merupakan simbol kekayaandan dua buah pisang merupakan simbol perbuatan baik dan buruk. Penempatannya bertujuan agar manusia memiliki tubuh yang bebas dari penyakit, hidup bebas dari kemiskinan dan mampu menentukan mana perbuatan yang baik dan buruk. Hakekatnya adalah memohon kepada Tuhan untuk memusnahkan nafsu dan maya. b. Penempatan Kunkuman, Serbuk Cendana, bunga dan air Kunkuman merupakan simbol kekuatan (Parasakti), Serbuk Cendana (Sadhanam) merupakan simbol kesejukan, bunga merupakan simbol keindahan dan air merupakan simbol kebersihan atau kesucian. Hakekatnya adalah memohon kepada Tuhan agar manusia diberi kekuatan hidup, Atma (jiwa) nya berada dalam kesejukan, indah di hadapan Tuhan dan memperoleh pensucian diri. Cahaya Tuhan akan bersinar dalam Atma yang sejuk. c. Penempatan daun mangga dan janur. Daun mangga dan janur pada akhirnya akan layu dan kering, tidak berbau busuk. Hakekatnya untuk mengingatkan kita melaksanakan Dharma dalam perjalanan hidup agar pada akhirnya tidak berbau busuk. Setelah semuanya telah tersusun rapi upacarapun dimulai oleh Pendeta selaku pemimpin upacara tersebut. Pendeta masuk ke dalam tempat yang telah disediakan kemudian mengambil tempat dan duduk sembari mempersipakan diriuntuk memulai upacara. Dalam melaksanakan upacara ini, pendeta dibantu juga oleh pendeta lain namun arahan dan petunjuk hanya diberikan oleh pendeta V. Hanumacharyulu. Berikut ini merupakan tahapan pada saat melaksanakan upacara 108 Kalasa Thirumanjana: 53 1. Visvakshena Aaradhana Tahapan ini dilakukan bertujuan untuk menghadirkan Utsava Murti (Shri Wishnu Ganapati) dalam prosesi Yagasala. Pada tahap ini pendeta mengharapkan kehadiran Dewa Ganapati / Ganesha denga cara mengumandangkan doa-doa yang menyenangkan hati-Nya diiringi dengan alunan musik Nagasvharam, Thavil dan Sruti Box. Dalam mengumandangkan doa-doa kepada Dewa Ganapati / Ganesha, para Bhakta juga mengambil peran. Para Bhakta duduk bersila dengan sikap menyembah diselingi dengan kumandang doa yang mereka sampaikan. Pada saat acara ini juga diucapkan mantra yang ditujukan kepada Dewa Ganesha. Om Ekadantaya Vidmahe Vakkratundaya Dheemahi Tanno Danti Prachodayat" Yang artinya : Kita mempersembahkan pikiran kita kepada satu gading Tuhan Kita berdoa diatas-Nya yang memiliki peti berliku Semoga gading-Nya membawa kita ke jalan yang benar 54 Gambar 3.8 Visvakshena Aaradhana 2. Agni Prathisdabana Pada tahap ini akan dilakukan penyalaan api suci yang bertujuan untuk menghadirkan Dewa Api (Agni). Pada tahap ini pendeta selaku pemimpin upacara menyalakan api dari bahan-bahan Homam (bakaran). Umat Hindu percaya bahwa semua bahan Homam yang memiliki makna yang baik akan mendatangkan dewa Api dengan anugerah yang akan diberi-Nya. Pada saat pelaksanaan acara ini, pendeta mengucapkan mantra yang ditujukan kepada Dewa Api. Om Maha jwalaya Vidhmahe Agni devaya Dheemahe Thanno Agni Prachodayath Yang artinya : Mari berdoa kepada Dewa api yang agung 55 Tuhan daripada api, yang memberikan kita kebijaksanaan dan biarkan api Tuhan menerangi pikiran kita Gambar 3.9 Bahan Homam 3. 108 Kalasa Aavaagana Pada tahap ini pendeta dan Bhakta melakukan pemujaan dengan mantra kepada dewa disertai dengan 108 Kumbam (kendi). Hal ini burtujuan untuk memohon kepada pencipta atau penguasa tanah, air, api, angin, langit, matahari, bulan dan Atma dengan mempersembahkan Kudam, air, batu, permata, lalang, benang, Vastiram, daun mangga dan kelapa agar Sang dewa yang memiliki satu nama di satu daerah, menjelma di tempat ini dengan tiga puluh delapan kekuatan yang dimiliki-Nya dan bersatu dengan Arca yang akan ditempatkan. Adapun makna yang terkandung dalam bagian Kumbam / Kudam (Kendi) yaitu: a. Kumbam / kendi bermakna sebagai tubuh. b. Logam bahan Kumbam bermakna sebagai otot / daging tubuh. c. Kelapa bermakna sebagai kepala dan rambut. 56 d. Daun Mangga bermakna sebagai Dewa dan Dewi. e. Benang yang melilit bermakna sebagai 80.000 urat. f. Kain yang melilit bermakna sebagai kulit. g. Air yang memenuhi Kumbam bermakna sebagai darah. h. Lalang kering (Kuurcham) bermakna sebagai tulang. i. Bunga, uang koin dan batu permata bermakna sebagai tenaga atau kekuatan. j. Padi, gandum, kacang hijau dan beras bermakna sebagai roh atau bentuk kehidupan. k. Daun pisang bermakna sebagai bumi. Fungsi bahan-bahan Kumbam yaitu : I. Penggunaan bunga, uang koin, batu permata dan bahan logam adalah sebagai bentuk pemujaan kepada Dewi Sakti. II. Penggunaan benang adalah sebagai bentuk pemujaan kepada Dewi Saraswati, Dewi Lakshmi dan Dewi Routiri. III. Penggunaan padi, gandum, kacang hijau dan beras adalah sebagai bentuk pemujaan kepada Virusabam, Kumaram, Varunan, Agni, Chandiran, kuberan dan Dewi. IV. Penggunaan air suci adalah sebagai bentuk pemujaan kepada sungai Ganga, Yamuna, Saraswati, godavari, Narmathai dan kaveri. 57 Gambar 3.10 Pendeta yang mendoakan Kumbam Gambar 3.11 Kumbam 4. Aaradhana Pada tahap ini Bhakta dan pendeta mengumandangkan pujian, doa dan mantra untuk memuji Dewa Wishnu. Hal ini dilakukan karena Bhakta dan pendeta percaya bahwa doa dan pujian yang mereka lakukan diterima dan percaya bahwa Dewa telah memberkati dan menyucikan Kumbam yang 58 nantinya akan dijadikan persembahan bagi arca Dewa-dewa melalui proses mandi suci. Mantra yang diucapkan yaitu : Om Seathamanam Bavate Seathayukh Purusha Seatendriya Ayusevendrie Pratitispati Yang artinya : Ya Sang Hyang Widhi berilah kehidupan seratus tahun lamanya bagi jemaatMu, dengan penuh kedamaian, kesehatan dan bahagia. 5. Visesha Homa Pada tahap ini dilakukan pembersihan diri 108 pasangan suami istri dan 108 Kumbam dengan menggunakan api khusus. 108 pasangan nantinya akan membawa dan menghantar 108 Kumbam ke dalam kuil dimana akan dilakukan mandi suci. Hal ini dilakukan agar pasangan yang nantinya membawa hantaran dan hantaran yang akan diberikan telah bersih dari hal-hal jahat dan kotor, sehingga dalam kondisi bersih dan suci hantaran yang akan diberikan kepada dewa akan diterima dengan senang hati. Gambar 3.12 Pembersihan atau penyucian Kumbam dengan api 59 Gambar 3.13 Bhakta yang menerima Kumbam 6. Purnaahuti Pada tahap ini hantaran berupa Kumbam yang sudah dianggap suci dan bersih, disempurnakan melalui doa dan mantra pendeta. Setelah pengucapan doa dan mantra selesai dilaksanakan, pendeta dan Bhakta akan berjalan mengelilingi kuil dengan membawa Kumbam melalui gerbang belakang kuil. Adapun tujuan dari mengelilingi kuil yaitu sebagai penyerahan hati (Manam), tutur kata (Molhi) dan kebenaran (Mei) kepada Tuhan serta menyerahkan tubuh yang suci (Sthula), tubuh yang halus / lembut (Suksma) dan tubuh yang asli (Antahkarana) kepada Tuhan. Setelah pendeta dan Bhakta mengelilingi sekitaran kuil, kemudian masuk kembali ke dalam kuil melalui gerbang (Gapura). Namun sebelum masuk ke dalam gerbang kuil, dilakukan pemecahan kelapa tepat di depan gerbang kuil yang bermakna bahwa manusia memiliki cita-cita untuk menjadi kaum intelektual, intelek berarti ber-ilmu pengetahuan dan orang intelek sering berperilaku sombong. Kudumi (kuncir rambut kepala) dan mata milik manusia ada pada buah kelapa. Seratnya merupakan simbol sifat angkuh. Dengan memecahkan buah kelapa berarti Kucir, mata dan 60 seratnya tidak bermanfaat lagi, hanya isinya yang bermanfaat. Demikian pula dengan manusia, daya pikirnya berupa ilmu pengetahuan yang bermanfaat, yang lainnya tidak. Hakekatnya pecah kelapa adalah menghancurkan sifat angkuh dan menghadirkan daya pikir yang cemerlang. Setelah pendeta dan Bhakta memasuki kuil, kemudian lonceng dipukul. Lonceng ini merupakan simbol bunyi dan hakekatnya mengingatkan manusia bahwa Tuhan adalah maha kuasa. Gambar 3.14 Pendeta dan Bhakta mengelilingi kuil serta memecahkan kelapa Gambar 3.15 Memukul lonceng 61 7. Visesha Alankara Pada tahap ini pendeta akan memimpin untuk menerima hantaran yang bertujuan untuk memandikan serta merias arca. 108 Kumbam yang berisi bahan-bahan untuk memandikan arca akan digunakan beserta dengan bahan-bahan Abhisekam diiringi dengan doa dan mantra. Hal ini dipercaya untuk membersihkan dan menyucikan arca dewa. Setelah proses pemandian dan penyucian arca dewa selesai, maka arca dewa dirias sedemikian rupa. Kain yang berbahan sutra menjadi pakain bagi arca dewa yang disucikan. Puspam (bunga) juga dipakaikan ke badan arca dewa. Pada saat melaksanakan upacara ini para Bhakta akan mengucapkan doa yang berbunyi : Om namo vengganesha ya namaha. Gambar 3.16 Proses pemandian dan penyucian arca dewa Gambar 3.17 Arca dewa saat dirias 62 8. Annadhana Pada tahap ini pendeta dan Bhakta mengadakan jamuan makan bersama di aula Shri Maha Wishnu. Makanan yang disediakan berupa makanan yang berasal dari bahan nabati tanpa bahan yang berasal dari hewani (vegetarian). 3.6.3 Upacara Kalyana Mohotsava Upacara Kalyana Mohotsava dilakukan pada pukul 17.00 di dalam kuil. Secara sederhana umat Hindu mengatakan upacara ini denga arti perkawinan simbolis antara Dewa Wisnu dengan Shri Padmawati dan Shri Aandaal. Upacara ini juga memiliki tahapan- tahapan, yaitu: 1. Visvakshena Aaradhana Tahapan ini dilakukan bertujuan untuk menghadirkan Utsava Murti (Shri Wishnu Ganapati) dalam prosesi Yagasala. Pada tahap ini pendeta mengharapkan kehadiran Dewa Ganapati / Ganesha denga cara mengumandangkan doa-doa yang menyenangkan hati-Nya diiringi dengan alunan musik Nagasvharam, Thavil dan Sruti box. Pada saat ini juga, pendeta memakai beberapa benda seperti daun mangga yang memiliki arti para dewa yang suci, lampu Dipam sebagai simbol pengarah kegiatandan hantaran dari para Bhakta. Dalam mengumandangkan doa-doa kepada Dewa Ganapati / Ganesha, para Bhakta juga mengambil peran. Para Bhakta duduk bersila dengan sikap menyembah diselingi dengan kumandang doa yang mereka sampaikan. Pada saat acara ini juga pendeta selaku pemimpin upacara mengucapkan mantra. 63 Om Ekadantaya Vidmahe Vakkratundaya Dheemahi Tanno Danti Prachodayat" Yang artinya : Kita mempersembahkan pikiran kita kepada satu gading Tuhan Kita berdoa diatas-Nya yang memiliki peti berliku Semoga gading-Nya membawa kita ke jalan yang benar Gambar 3.18 Pendeta dan Bhakta berdoa kepada Dewa Ganesha 2. Rakshabandhana puja Tahapan ini merupakan proses pemujaan terhadap benang suci dengan membacakan mantra Dewa yang bertujuan agar yang memakainya tidak lupa akan kewajibannya dan dilindungi. Disaat melaksanakan proses ini pendeta selaku pemimpin upacara membunyikan lonceng Vaishnavaism serta menghidupkan Dupam dan membakar kapur barus agar mantra yang dikumandangkan diterima oleh para dewa. 64 Gambar 3.19 Proses pemujaan 3. Puja (Aaradhana) Pada tahapan ini pendeta dan Bhakta mengumandangkan doa dan pujian kepada Dewa Wisnu (Balaji) beserta kepada kedua saktinya yaitu Shri Padmawati dan Shri Aandaal. Disamping itu Bhakta juga membawa persembahan berupa buah, bunga, benang suci dan kain suci sebagai ungkapan rasa syukur dan keagungan Sang Hyang Widhi. Pada tahapan ini arca Dewa Wisnu berhadapan dengan arca kedua saktinya Yaitu Shri Padmawati dan Shri Aandaal. Pada tahapan upacara ini pendeta mengucapkan matra yang berbunyi: Om Nirnajanaya Vidmahe Nirapasaya Dheemahe Thanno Srinivasa Prachodayath Yang artinya : Mari berdoa pada dewa yang adalah kebenaran kekal Tuhan yang tidak memiliki batasan Memberikan kita kebijaksanaan Dan biarkan Tuhan Srinivasa menerangi pikiran kita. 65 Om Mahalakshmyai cha vidmahe Vishnu patnyai cha dhimahi Tanno Lakshmihi prachodayat Yang artinya : Mari berdoa kepada Tuhan yang agung Sri Lakshmi Istri dari Sri Maha Wishnu Semoga Dewi Lakshmi berkilau Menginspirasi dan menerangi pikiran dan pemahaman kita. Gambar 3.20 Pemujaan terhadap Dewa Wisnu 4. Rakshabandhanam Pada tahap ini pendeta dan Bhakta melaksanakan proses mengikat benang suci (Kanganam) yang tadinya telah didoakan di pergelangan tangan mereka yang bekerja selama prosesi upacara berlangsung. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar mereka yang bekerja dalam upacara ini memiliki perasaan terikat dan berkewajiban melaksanakan upacara dengan sebaik mungkin agar nantinya berkenan di hadapan Sang Hyang Widhi. 66 5. Nuthana Vasram Pada tahap ini dilakukan proses pemakaian pakaian yang berasal dari kain sutra kepada Dewa Wisnu dan kedua saktinya yaitu Shri Padmawati dan Shri Aandaal. Kain yang dipakaikan telah terlebih dahulu didoakan dan disucikan. Kain yang dipakaikan pada Dewa dan Dewi berasal dari kain persembahan Bhakta. Para Bhakta percaya bahwa melalui persembahan yang mereka berikan, maka mereka akan mendapat berkat yang melimpah dari Sang Hyang Widhi. Gambar 3.21 Proses pemakaian pakaian arca Dewa dan Dewi 6. Maha Sankalpam 67 Tahapan ini dilaksanakan untuk memohon pemberkatan bagi Bhakta yang hadir beserta dengan keluarga dan kerabatnya, kepada Sang Hyang Widhi. 7. Mangala Sutra Puja Pada tahap ini pendeta dan Bhakta mengumandangkan doa yang untuk memuja tanda suci perkawinan. Pada tahap ini pendeta mengumandangkan doa melalui perantaraan Dupam karena dipercaya bahwa Dupam merupakan sarana pengantar doa bagi Sang Hyang Widhi. Gambar 3.22 Dewa Wisnu beserta Shri Padmawati dan Shri Aandaal 8. Egnopavitham Dharana puja Upacara ini merupakan rangkaian upacara puja kepada dewa dan dewi yang akan dikawinkan secara simbolis. Terdiri atas : a. Pemujaan pemakaian benang suci untuk Dewa Balaji (Wisnu) b. Pemujaan pemakaian kalung bunga secara silang antara Dewa Balaji (Wisnu) dengan Shri Padmawati dan Shri Aandaal c. Pemujaan ketika penyatuan arca Dewa Balaji (Wisnu) dengan arca Shri Padmawati dan Shri Aandaal 68 Gambar 3.23 Arca Dewa dan Dewi telah disatukan 9. Aksatarophana Pemujaan dengan beras kuning untuk dewa dan dewi yang dikawinkan. Pada saat proses ini berlangsung, pendeta mengucapkan mantra yang berisi: Mangalyam Tanthunamena Mamajiwane Hethuna Kante Batnami twabage Twamjiwa Saratham Satam Yang artinya : Dengan ikatan suci yang telah dilaksanakan pasangan ini hidup seratus tahun lamanya dan hanya dapat dipisahkan oleh kematian yang abadi. 10. Rathavot savam (Proses arak-arakan arca Dewa dan Dewi) Pada tahap ini arca Dewa dan Dewi yang telah dikawinkan secara simbolis, diarak ke jalan sesuai dengan rute yang telah ditentukan. Hal ini 69 dilakukan sebagai simbol bahwa upacara perkawinan simbolis telah selesai dilaksanakan kepada Bhakta yang tidak hadir dalam upacara sebelumnya. Selain itu juga Bhakta yang tidak menghadiri upacara dapat juga meminta berkat kepada dewa dan dewi dengan cara memecahkan kelapa di depan rumah Bhakta yang bersangkutan. Bhakta juga percaya bahwa arakarakan dewa dan dewi dapat mengusir dan menghilangkan segala macam penyakit yang ada di sekitar lingkungan yang dilalui-Nya serta memberikan berkat bagi rumah para Bhakta yang dilaluinya. Gambar 3.24 Arak-arakan dewa dan dewi yang telah dikawinkan simbolis Gambar 3.25 Arca dewa dan dewi saat diarak Setelah semua rangkaian upacara yang dilakukan selesai, arak-arakan pun kembali ke kuil. Pada saat semua rombongan sampai di kuil, pendetapun mengakhiri upacara. Upacara selesai pada pukul 23.00. 70 3.7 Fungsi Mantra Dalam Upacara Mandalabhisekam Berbicara tentang fungsi, Merriam (1964:219-226) mengemukakan sepuluh fungsi musik,antara lain: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi perlambangan, (3)fungsi komunikasi, (4) fungsi kesinambungan kebudayaan, (5) fungsi pengesahan upacara agama, (6) fungsi pengintegrasian masyarakat, (7) fungsi hiburan, (8) fungsi reaksi jasmani, (9) fungsi penghayatan estetika, (10) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Jika dilihat dari eksistensi mantra, penulis menemukan 7 fungsi yang terdapat pada pengucapan mantra yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi perlambangan, (3) fungsi komunikasi, (4) fungsi kesinambungan kebudayaan, (5) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (6) fungsi pengintegrasian masyarakat. 3.7.1 Fungsi Pengungkapan Emosional Sebagaimana dikemukakan oleh Merriam, fungsi mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa/emosi para penyanyi yang dapat menimbulkan rasa emosi pada para pendengarnya, termasuk rasa sedih, rasa rindu dan lain-lain. Bahwa melalui musik dapat diekspresikan ide dan emosi-emosi yang tidak dapat ditampakkan pembicaraan biasa karena adanya norma-norma tertentu yang berlaku pada suatu masyarakat. Berikut ini dapat dilihat dari contoh teks mantra yang merupakan pengungkapan emosional. Om Seathamanam Bavate Seathayukh Purusha Seatendriya Ayusevendrie Pratitispati 71 Artinya: Ya Sang Hyang Widhi berilah hidup seratus tahun lamanya bagi jemaatMu, dengan hidup yang penuh kedamaian, kesehatan dan kebahagiaan. Dari uraian teks mantra ini mengungkapkan perasaan Sanghyang Widhi adalah sumber segala kehidupan. Disini umat memuji Tuhan sebagai yang suci dan tidak bernoda, tunggal tidak ada yang kedua. Selanjutnya dari teks di atas juga ada pengungkapan makna yang tersirat bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kekuasaannya. 3.7.2 Fungsi Perlambangan Merriam (1964:225) menyatakan, bahwa musik berfungsi sebagai lambang dari halhal, ide-ide, tingkah laku yang terdapat pada semua masyarakat. Demikian pula pada umat Hindu Tamil, Mantra merupakan perlambangan dari hal-hal, ide-ide serta tingkah laku umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi. Pada saat akan mengucapkan Mantra, umat terlebih dahulu mengambil sikap asana (tenang). Hal ini merupakan lambang bahwa semua umat melakukannya untuk menenangkan pikiran dan memusatkan perhatian kepada Sang Hyang Widhi, sehingga pada saat mendengarkan Mantra penjiwaannya benar-benar terpancar dari umat yang hadir. 3.7.3 Fungsi Komunikasi Fungsi ini jelas terlihat dalam pelaksanaan persembahyangan, dimana Mantra adalah merupakan media pemujaan umat Hindu Tamil kepada Sang Hyang Widhi. Karena dalam persembahyangan dua hal penting yaitu pertama: bahwa penyembah yakin bahwa yang disembahnya itu ada yaitu Ia yang Maha Kuasa yang mengasai segala-galanya serta bersifat 72 maha pengasih, maha bijaksana, dan sebagainya. Kedua adalah pernyataan bahwa penyembah menyadari akan kelemahan dan keterbatasan dirinya. Dari kedua pernyataan penyembah terhadap yang disembahnya tersebut melahirkan isi sembahyang itu ada dua hal yaitu: (1) berupa pujian dan pujaan untuk mengagungkan kemahakuasaan Tuhan, (2) berupa permohonan-permohonan, seperti permohonan keselamatan, permohonan panjang umur, permohonan agar dibebaskan dari segala dosa-dosa, dan sebagainya. Hubungan antara pujaan dengan permohonan itu adalah berupa ucapan terimakasih dan konsentrasi. Permohonan kepada Sang Hyang Widhi tercermin dari teks mantra. 3.7.4 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Musik dapat digunakan sebagai wahana pengajaran adat yang menjamin kesinambungan dan stabilitas kebudayaan sampai generasi penerus. Pada dasarnya, mantra merupakan kalimat suci yang berasal dari kitab suci Veda. Pengajarannya dilakukan bagi umat Hindu yang benar-benar ingin mendalami agama Hindu itu sendiri. Biasanya umat Hindu yang ingin belajar membaca mantra hanya dapat diajarkan di kuil. Tidak berbeda dengan agama lain, pengajaran mantra dilakukan dari mulai anak kecil yang benar-benar ingin belajar hingga orang dewasa. Hal ini menyebabkan adanya kesinambungan dari pengucapan mantra tersebut, karena telah diajarkan dari anak-anak dan terus dipelajari hingga dewasa dan menjadi tua. Dengan demikian akan melanjutkan kesinambungan kebudayaan itu sampai pada generasi yang berikutnya. Demikian seterusnya budaya itu tetap hidup sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. 3.7.5 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan 73 Dalam upacara ini, mantra sangat penting karena upacara ini merupakan upacara peresmian kuil yang baru dibangun. Dengan kata lain jika mantra tidak ada diucapkan, maka menurut ajaran agama Hindu, kuil tersebut belum sah dipergunakan. Lebih jauh dalam kesempatan yang sama, dikatakan bahwa upacara keagamaan dan persembahyangan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena pelaksanaan upacara tidak sah apabila tidak dilaksanaan persembahyangan atau upacara bersama setelah penyucian Kuil selesai dilaksanakan. 3.7.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Dengan pengucapan mantra dalam pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, menimbulkan rasa kebersamaan dan kesatuan di antara seluruh umat Hindu Tamil. Hal ini terjadi karena mantra adalah merupakan bagian dari diri umat sendiri dan untuk mengantarkan keinginan bersama dari seluruh umat Hindu Tamil. 3.7.7 Fungsi hiburan Fungsi hiburan yang dimaksud adalah ditinjau dari segi rohani yaitu setelah umat meminta ampun kepada Sang Hyang Widhi, agar dosa dan kesalahan yang diperbuat mendapat pengampunan. Setelah mengucapkan mantra maupun setelah melakukan serangkaian upacara tersebut, hati umat mendapat ketentraman, kesejukan, sekaligus memperkuat hati yang lemah, oleh karena keyakinan umat bahwa kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat selama ini mendapat pengampuan dari Sang Hyang Widhi. 74 BAB IV ANALISIS MUSIKAL PENGUCAPAN MANTRA PADA UPACARA MANDALABHISEKAM 4.1 Analisis Musik Pengucapan Mantra Menurut Nettl, (1964:98) ada dua pendekatan berkenaan dengan pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara keatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dari dua hal diatas untuk memvisualisasikan kedua mantra, penulis melakukan transkripsi agar lebih muda menganalisisnya terutama tangga nada, motif, tonalitas, kadensa, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat membantu kita untuk mengkomunikasikan kepada pihak lain tentang apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian, penulis menggunakan notasi Barat untuk memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar. Sebagaimana dikatakan oleh Nettl, (1964:94) yang mengutip 75 pendapat Seegers tentang penulisan notasi musik bahwa notasi musik terdiri dari dua bagian yaitu notasi deskriptif dan notasi preskriptif. Lebih lanjut dikatakan bahwa notasi deskriptif ialah notasi yang menggambarkan secara terperinci aspek-aspek musikal yang terdapat pada musik. Sedangkan notasi preskriptif hanya menuliskan bagian-bagian yang dianggap penting dalam suatu musik untuk memudahkan tekhnik membaca bagi pemain. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yaitu notasi deskriptif. Salah satu dari notasi deskriptif adalah penggunaan notasi balok. Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap secara efektif dalam pentranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada, simbol-simbol nada pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan ini dikarenakan notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam mantra dan juga sering digunakan dalam penulisan suatu musik. Dalam upacara Mandalabhisekam terdapat beberapa mantra. Namun dalam kepentingan transkripsi dan analisis, penulis memilih mantra 108 Kalasa Thirumanjana dan Kalyana Mohotsava. Adapun alasan penulis memilih kedua mantra ini, karena kedua mantra ini merupakan mantra utama dalam upacara Mandalabhisekam. Perlu diinformasikan bahwa kedua mantra yang dijadikan sampel adalah rekaman pada bulan Maret 2012, pada saat upacara Mandalabhisekam di Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan. 4.2 Model Notasi Dalam transkripsi kedua mantra menggunakan notasi Barat, hal ini dilakukan agar dapat dipahami secara universal. Ada beberapa simbol yang digunakan, yaitu: 76 Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G. Merupakan not ½ yang bernilai dua ketuk. Merupakan not ¼ yang bernilai satu ketuk. Merupakan not 1/8 yang bernilai setengah ketuk. Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk. Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami makna-maknanya. Di bawah ini merupakan hasil transkripsi kedua mantra yang dianalisis dalam upacara Mandalabhisekam, yaitu: mantra 108 Kalasa Thirumanjana dan Kalyana Mohotsava. Mantra 108 Kalasa Thirumanjana 77 Keterangan: Huruf kapital melambangkan : Bentuk Angka melambangkan : Frasa Mantra Kalyana Mohotsava Keterangan: Huruf kapital melambangkan Angka melambangkan : Bentuk : Frasa 4.3 Analisis Musikal Dalam menganalisis kedua mantra tersebut, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted scale dan hal-hal 78 yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodik (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 13). 4.3.1 Tangga Nada Nettl, (1964 : 1945) mengemukakan bahwa cara-cara untuk mendeskripsikan tangga nada adalah menuliskan nada-nada yang diapakai tanpa melihat fungsi masing-masing dalam musik. Tangga nada tersebut kemudian digolongkan menurut beberapa klasifikasi, yaitu menurut jumlah nada yang dipakai. Diatonic (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat nada), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada yang mempunyai jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja. Yang dimaksud tangga nada dalam tulisan ini yaitu nada-nada yang terdapat pada mantra yang diucapkan. Hal ini dilakukan pada pencacahan nada-nada mulai dari nada yang tertinggi hingga nada yang terendah. 4.3.1.1 Tangga Nada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Penulis mengurutkan nada-nada yang terdapat dalam mantra 108 Kalasa Thirumanjana dari nada terendah sampai nada tertinggi. Terdiri dari tiga nada dengan nada terendah Dis dan nada tertinggi Fis. 4.3.1.2 Tangga Nada Mantra Kalyana Mohotsava 79 Penulis mengurutkan nada-nada yang terdapat dalam mantra Kalyana Mohotsava dari nada terendah sampai nada tertinggi. Terdiri dari tiga nada dengan nada terendah D dan nada tertinggi Fis. 4.3.2 Nada Dasar Dalam menentukkan nada dasar kedua mantra ini, penulis beracuan pada hasil rekaman video maupun audio yang penulis dapatkan saat pelaksaan upacara yang telah ditranskripsikan ke dalam notasi Barat. Maka hasil yang didapatkan adalah: untuk mantra 108 Kalasa Thirumanjana nada dasarnya E Mayor dan mantra Kalyana Mohotsava nada dasarnya D Mayor. 4.3.3 Wilayah Nada Metode untuk menentukan wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang terdengar secara alami yang ditentukan oleh media penghasil bunyi itu sendiri, ialah dengan memperhatikan nada yang paling rendah hingga nada yang paling tinggi. 4.3.3.1 Wilayah Nada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Wilayah nada mantra 108 Kalasa Thirumanjana yang diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi adalah: 80 4.3.3.2 Wilayah Nada Mantra Kalyana Mohotsava Wilayah nada mantra Kalyana Mohotsava yang diurutkan dari nada terendah sampai tertinggi adalah: 4.3.4 Frekuensi Pemakaian Nada Frekuensi pemakaian nada dapat dilihat dari banyaknya jumlah nada yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. 4.3.4.1 Frekuensi Pemakaian Nada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam mantra 108 Kalasa Thirumanjana dapat dilihat dari garis paranada di bawah ini: Jumlah pemakaian nada-nada pada mantra 108 Kalasa Thirumanjana adalah : 81 1. Nada Dis sebanyak 7 kali 2. Nada E sebanyak 21 kali 3. Nada Fis sebanyak 5 kali 4.3.4.2 Frekuensi Pemakaian Nada Mantra Kalyana Mohotsava Banyaknya jumlah nada yang terdapat dalam mantra Kalyana Mohotsava dapat dilihat dari garis paranada di bawah ini: Jumlah pemakaian nada-nada pada mantra Kalyana Mohotsava adalah : 1. Nada D sebanyak 13 kali 2. Nada E sebanyak 15 kali 3. Nada Fis sebanyak 11 kali 4.3.5 Jumlah Interval Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik maupun turun. 4.3.5.1 Jumlah Interval Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Berikut adalah interval dari mantra 108 Kalasa Thirumanjana : Interval Posisi Jumlah Total 1P - 9 9 2M ↑ 4 9 82 5 ↓ 6 ↑ 13 2m 7 ↓ 1 ↑ 1 3m ↓ Tabel 5.1 Interval mantra 108 Kalasa Thirumanjana Dari tabel di atas dapat diketahui interval yang paling sering muncul adalah interval 2m, yang muncul sebanyak 13 kali, diikuti dengan interval 1P dan 2M sebanyak 9 kali. Interval yang jarang digunakan adalah interval 3m dengan jumlah penggunaan sebanyak 1 kali. 4.3.5.2 Jumlah Interval Mantra Kalyana Mohotsava Berikut adalah interval dari mantra Kalyana Mohotsava : Interval Posisi Jumlah Total 1P - 14 14 13 ↑ 20 7 ↓ ↑ 2m ↓ ↑ 3 3m 3 ↓ Tabel 5.2 Interval mantra Kalyana Mohotsava 2M 83 Dari tabel di atas dapat diketahui interval yang paling sering muncul adalah interval 2M, yang muncul sebanyak 20 kali, diikuti dengan interval 1P sebanyak 14 kali. Interval yang jarang digunakan adalah interval 3m dengan jumlah penggunaan sebanyak 3 kali. 4.3.6 Formula Melodik (Bentuk) Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk, frasa dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Motif adalah ide melodi sebagai dasar pembentukkan melodi. William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu: 1. Repetitive yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang. 2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian. 3. Stropic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. 4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi. 5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Melihat kepada apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk nyanyian, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kedua mantra yang dibahas dalam tulisan ini memiliki bentuk repetitive yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang. Mantra 108 Kalasa Thirumanjana dan Kalyana Mohotsava dalam tulisan ini bersifat free meter sehingga biramanya tidak dapat ditentukan. Untuk itu penulis berpedoman dengan 84 pendapat Nettle yang mengungkapkan: dalam menentukan bentuk dari suatu komposisi yang harus diperhatikan adalah pengulangan frasa, tanda diam, pola ritem, transposisi dan kesatuan teks yang terdapat dalam musik vokal (Nettle dalam Irawan Zulhidayat 1997: 76). 4.3.6.1 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif Pada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Secara garis besar, bentuk frasa dan motif yang terdapat dalam 108 Kalasa Thirumanjana adalah sebagai berikut: 1. Bentuk pada mantra 108 Kalasa Thirumanjana memiliki 3 bentuk yang terdiri dari bentuk A, B, dan C. Bentuk A mengalami satu kali perubahan menjadi A’. Jadi secara keseluruhan menjadi 4 bentuk, yaitu: A, A’, B, dan C. 2. Frasa pada mantra 108 Kalasa Thirumanjana berjumlah 4 buah frasa 3. Motif pada mantra ini adalah: Motif dalam mantra 108 Kalasa Thirumanjana ini adalah motif repetitive dan juga motif reverting. Kebanyakan melodi diulang dan ada juga yang diulang dan terjadi penyimpangan. 4.3.6.2 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif Pada Mantra Kalyana Mohotsava 1. Bentuk pada mantra Kalyana Mohotsava memiliki 5 bentuk yang terdiri dari bentuk A, B, C, D, dan E. 2. Frasa pada mantra Kalyana Mohotsava berjumlah 4 buah frasa. 3. Motif yang terdapat di dalam pujian ini: 85 Motif-motif yang terdapat dalam pujian ini digolongkan sebagai motif repetitive atau motif yang diulang, dan motif reverting atau motif yang diulang tetapi ada penyimpangan. 4.3.7 Pola Kadensa Kadensa adalah nada akhir dari suatu bagian melodi lagu. Pola kadensa dapat dibagi atasa dua bagian, yaitu : semi kadensa (half cadence) dan kadensa penuh (full cadence). Semi kadensa adalah suatu bentuk istirahat yang tidak lengkap atau tidak selesai (complete) dan memberi kesan adanya gerakan ritem yang lebih lanjut. Kadensa penuh adalah suatu bentuk istirahat di akhir frasa yang terasa selesai (complete) sehingga pola kadensa seperti ini tidak memberikan kesan untuk menambah gerakan ritem. 4.3.7.1 Pola Kadensa Mantra 108 Kalasa Thirumanjana 86 4.3.7.2 Pola Kadensa Mantra Kalyana Mohotsava 4.3.8 Kontur Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan 1997: 85) membedakan beberapa jenis kontur, yaitu: 1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya. 87 4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batasbatasan. Garis kontur yang terdapat pada kedua mantra dalam tulisan ini pada umumnya adalah conjuct dan juga static. 4.3.8.1 Kontur Mantra 108 Kalasa Thirumanjana Mengacu pada jenis-jenis kontur yang sudah dijelaskan di atas, maka penulis berpendapat bahwa kontur mantra 108 Kalasa Thirumanjana adalah conjuct dan static. Pergerakan melodinya bergerak melangkah baik naik maupun turun, yang diikuti dengan bentuk static. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari gambar di bawah ini : Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi tetap (static) kemudian bergerak turun dan naik (conjuct) 88 Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi turun (conjuct) kemudian bergerak tetap (static) Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi naik (conjuct), bergerak tetap (static) kemudian bergerak naik dan turun (conjuct) 4.3.8.2 Kontur Mantra Kalyana Mohotsava Mengacu pada jenis-jenis kontur yang sudah dijelaskan di atas, maka penulis berpendapat bahwa kontur mantra Kalyana Mohotsava adalah conjuct dan static. Pergerakan melodinya bergerak melangkah baik naik maupun turun, yang diikuti dengan bentuk static. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari gambar di bawah ini : Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi tetap (static), bergerak turun (conjuct) kemudian bergerak tetap (static) 89 Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi turun (conjuct) kemudian bergerak tetap (static) Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi naik (conjuct), bergerak tetap (static) kemudian bergerak turun (conjuct) 4.4 Gaya yang Timbul Akibat Hubungan Melodi dengan Teks Menurut William P. Malm (terjemahan Takari 1993: 15) ada dua gaya yang dipakai dalam musik vokal, yaitu: melismatis dan silabis. Apabila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatis. Apabila satu nada dipakai untuk beberapa silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Gaya musik vokal yang terdapat dalam mantra 108 Kalasa Thirumanjana dan Kalyana Mohotsava yang diteliti adalah silabis. 4.4.1 Gaya Musik Vokal Pada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana 90 silabis 4.4.2 Gaya Musik Vokal Pada Mantra Kalyana Mohotsava silabis BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Agama Hindu berasal dari India yang pada awal kedatangannya ke indonesia khususnya di sumatera, melalui daerah pantai barat sumatera utara yang dulunya menjadi pintu gerbang perdagangan. Dari sanalah dimulai hingga menyebar ke kota Medan yang menjadi pusat ibukota sumatera utara, hingga membentuk suatu kumpulan penganut agama hindu. Mayoritas etnis India yang datang kebanyakan etnis Tamil daripada etnis lainnya. Mereka bertempat tinggal pada suatu daerah yang menjadi pusat perkumpulan mereka. Kumpulan dari orang-orang pemeluk agama Hindu beretnis Tamil dalam satu lingkungan menyebut kumpulan mereka ini sebagai masyarakat Hindu Tamil. Dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang dianut, masyarakat Hindu Tamil melaksanakan 91 kegiatan ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari di kuil. Oleh karena ajaran agama menganjurkan untuk beribadah di kuil, maka masyarakat Hindu membangun Kuil sebagai tempat beribadah atau sembahyang untuk memuja Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara yang dilakukan pada saat peresmian bangunan kuil yang baru dibangun, agar dapat digunakan resmi secara keagamaan. Upacara Mandalabhisekam secara umum bertujuan untuk meresmikan suatu bangunan kuil yang baru dibangun dan secara khusus untuk meminta berkat serta anugrah dari Sang Hyang Widhi. Adapun rangkaian upacara dalam upacara Mandalabhisekam yaitu : 1. Upacara 108 Kalasa Thirumanjana 2. Upacara Kalyana Mohotsava Pada saat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, pendeta yang selaku pemimpin upacara mengucapkan mantra-mantra yang ditujukan kepada dewa-dewa yang ditinggikan. Bhakta (Umat) Hindu percaya bahwa melalui mantra yang diucapkan, dapat menjadi sarana penyampai pesan kepada Sang Hyang Widhi. Mantra yang dibahas dalam tulisan ini sebanyak dua mantra, yaitu: mantra 108 Kalasa Thirumanjana, dan Kalyana Mohotsava. Kedua mantra ini terdiri atas tiga tangga nada (tritonic). Bentuk atau pola mantranya adalah stropic atau gaya nyanyian yang diulang dengan teks yang baru atau berbeda. Dengan kata lain, pengucapan mantra ini adalah lebih mementingkan kata-kata daripada melodi atau disebut dengan logogenic. Gaya musik vokal yang dipakai dalam mantra ini adalah sillabis. Silabis adalah apabila satu bentuk nada dipakai untuk beberapa silabel atau suku kata. Mantra ini bersifat free rhytm dan juga free meter. Artinya ritem dan juga meter dalam mantra bersifat bebas atau tidak dapat diukur dengan menggunakan aturan musik barat. 92 Adapun fungsi kedua mantra ini dalam kehidupan umat Hindu adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan emosi baik bagi yang mengucapkan maupun yang mendengar melalui lirik maupun melodi mantra yang diucapkan, mantra ini juga berfungsi sebagai media penyampai komunikasi antara Sang Hyang Widhi Wasa dengan Bhakta yang mengucapkannya, tak terlepas juga mantra ini berfungsi sebagai penyambung kebudayaan yang selalu dilaksanakan pada saat pembangunan kuil yang baru, dan mantra ini juga berfungsi sebagai pangesahan upacara agama khususnya peresmian kuil yang baru dibangun. 5.2 Saran Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam meneliti upacara Mandalabhisekam dan membuat tulisan ini. Untuk itu, bagi para peneliti selanjutnya diharapkan untuk semakin menyempurnakan bahasan di bidang yang sama agar peneliti dapat melihat perkembangan yang lebih baik. Penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat mencari narasumber baru atau menambah jumlah narasumber agar informasi yang didapatkan lebih lengkap lagi. Selain itu juga menyarankan peneliti selanjutnya untuk meneliti upacara Mandalabhisekam secara mendalam pada bagian musiknya. Bagi pemilik kebudayaan ini yaitu masyarakat Hindu Tamil, penulis berharap dapat memberikan pengetahuan tentang eksistensi atau keberadaan budayanya. 93 Dan penulis berharap supaya masyarakat Hindu tamil tetap mempertahankan dan meningkatkan kesatuan komunitas dengan menjalankan kebudayaan-kebudayaan yang ada pada masyarakat itu sendiri. Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang etnomusikologi secara khusus. DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, Harja W. 1990. Pengamatan sebagai Suatu Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, Indonesia. Malm, William P. 1997. Music Culture of the Pasific, the Near East and Asia (terjemahan Takari), Medan : Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 94 Merriam, Alan P. 1964. The Anthtropolgy of Music. Chicago: North Western University Press. Moleong, 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Nettl, Bruno. 1964. Theory And Method in Ethnomusicology (terjemahan). New York: The Free Press of Glencoe. Purba,Destri Damayanti. 2011. Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Triwula Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan. Medan: USU. Poerwadarminta, W.J.S. 1995. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka. Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya. Indonesia. S, Jhonny Edwin.1995. Pirartenei pada Aktifitas Religius Masyarakat Tamil di Shri Mariaman Kuil-Medan: Kajian Struktur Musik Dan Teks. Medan: USU , Seeger, Charles. 1997. Study in Etnomusicology. New York: University California Press. Simanjuntak, Rina Gustriani. 2011. Studi Analisis Musikal dan Tekstual Pembacaan Kitab Shri Guru Granth Sahib Ji Pada Upacara Pahila Parkas Dihara Masyarakat Sikh di Gurdwara Shree Guru Granth Sahib Darbar Kota Tebing Tinggi. Medan: USU. Thayalan, Suba Thina. 2012. Shri Balaji Venkateshwara Koil Maha Samprokshana Puspam. Medan: Yayasan Shri Maha Wishnu. www.shrimahawishnu.com 95 DAFTAR INFORMAN 1. Nama : V. Hanumacharyulu Umur : 33 tahun Alamat : Jalan Bunga Wijaya Kesuma no. 25-A, kuil Shri Balaji Venkateshwara. Pendeta yang menjadi narasumber berasal dari India. Pekerjaan 2. Nama : Pendeta : Suba Thina Thayalan Umur : 48 tahun Alamat : Medan 96 Pekerjaan 3. Nama : Wiraswasta : R. Gopala Krishna Naidu Umur : 55 tahun Alamat : Medan Pekerjaan : Wiraswasta 4. Nama : Anan Kumar Umur : 30 tahun Alamat : Medan Pekerjaan : Wiraswasta 97