bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga
lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik yang menjadikan
Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Teori Pelat Tektonik, lempenglempeng kerak bumi ini bergerak relatif satu terhadap yang lain. Dalam kasus di
Indonesia, lempeng-lempeng ini bergerak saling bertumbukan yang mengakibatkan
terkumpulnya energi potensial seiring dengan regangan dan tegangan yang terjadi.
Ketika daerah pertemuan tersebut tidak lagi mampu menahan besarnya tegangan yang
terakumulasi, maka terjadilah pelepasan energi yang diikuti oleh dislokasi bagian
lempeng-lempeng tersebut. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya getaran tanah yang
lazim disebut sebagai gempa tektonik (Wegener, 1966). Berdasarkan uraian tersebut,
tidaklah mengherankan jika Indonesia merupakan daerah rawan gempa. Gambar
penunjaman lempeng di Indonesia dapat dilihat pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Penunjaman lempeng dunia (sumber: www.USGS.gov)
Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (SundaLand). Pada Daratan
Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng. Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan
1
2
Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak
ke tenggara sejak Oligosen, sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada di
selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur
kepulauan Sumatera dan Jawa (Liu, dkk., 1983 dalam Widiasworo, 2011).
Pola geodinamika lempeng bumi yang dinamis seperti terjadi di Pulau Jawa
tersebut dapat diukur secara geometris dengan menggunakan receiver GNSS (Global
Navigation Satellite Sistem) yang ditempatkan pada suatu titik pengamatan geodinamika
dan diukur secara berkala. Penggunaan teknologi GNSS memiliki kelebihan antara lain,
dapat beroperasi selama 24 jam dan tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca, tidak perlu
saling terlihat antara titik pengamatan, mudah dalam proses akuisisi data yang
berjumlah besar dan memiliki ketelitian tinggi dalam waktu yang cepat, serta dapat
digunakan untuk memantau area yang luas tanpa mengurangi presisi pengukuran 3D
(Widjajanti, 2010).
Studi pergeseran beberapa titik pasang surut (pasut) di Pulau Jawa yang
dilakukan oleh Taftazani (2013) dengan menggunakan data pengamatan GNSS pada
rentang waktu 2009 s.d. 2012, terdapat anomali pola pergerakan pada satu titik terhadap
titik yang lain. Lima stasiun pasut yang diamat yaitu Prigi, Tanjung Mas, Cilacap,
Pamengpeuk, dan Sunda Kelapa. Titik pengamatan yang dilakukan di Sunda Kelapa
mengalami pergerakan horizontal ke arah barat daya sedangkan titik pengamatan yang
lain mengalami pergerakan horizontal ke arah tenggara. Kondisi ini menimbulkan
pertanyaan mengapa titik di Sunda Kelapa pergerakannya tidak konsisten dengan titik
lain.
I.2. Identifikasi Masalah
Pada penelitian studi geodinamika lima stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun
2009 s.d. 2012, yang dilakukan oleh Taftazani terdapat satu titik yang memiliki arah
pergerakan horizontal yang berbeda dengan pergerakan titik lainnya. Empat titik (Prigi,
Cilacap, Tanjung Mas, Pameungpeuk) mengalami pergerakan horizontal ke arah
tenggara, sedangkan satu titik (Sunda Kelapa) mengalami pergerakan horizontal ke arah
barat daya. Salah satu titik tersebut melenceng dari arah pergerakan tektonik Pulau
Jawa. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut tentang pergerakan horizontal dan
vertikal lima stasiun pasut di Pulau Jawa dengan data pengamatan GNSS tahun
3
selanjutnya (2013). Kajian tersebut diperlukan untuk memastikan arah pergeseran titik
di Sunda Kelapa.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitiannya
sebagai berikut:
1.
Berapa nilai dan ketelitian koordinat lima stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun
2012 dan 2013 yang dihitung dengan menggunakan titik ikat global ?
2.
Berapa besar dan arah pergeseran pada sumbu X, Y, dan Z lima stasiun pasut Pulau
Jawa tersebut pada rentang waktu antara tahun 2012 s.d. 2013 ?
3.
Apakah arah pergerakan horizontal dan vertikal lima stasiun pasut Pulau Jawa pada
rentang waktu 2012 s.d. 2013 konsisten dengan arah pergerakan penelitan
sebelumnya yang dilakukan oleh Taftazani (2013) pada rentang waktu 2009 s.d.
2012 ?
I.4. Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam hal berikut ini:
1. Data yang digunakan adalah data pengamatan GNSS selama empat hari
pengamatan (empat doy) pada tahun 2012 dan 2013 di lima stasiun pasut Pulau
Jawa (Prigi, Cilacap, Tanjung Mas, Pameungpeuk, Sunda Kelapa).
2. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK.
3. Metode analisis pergeseran ke arah sumbu X, Y, dan Z menggunakan uji
signifikansi dua parameter t-student.
I.5. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menentukan nilai koordinat dan ketelitian koordinat lima stasiun pasut di Pulau
Jawa yang diikatkan pada titik ikat global pada tahun 2012 dan 2013.
2.
Menentukan besar dan arah pergeseran ke arah sumbu X, Y, dan Z lima stasiun
pasut Pulau Jawa pada rentang waktu antara tahun 2012 s.d. 2013.
3.
Menentukan pola pergerakan horizontal dan vertikal lima stasiun pasut Pulau Jawa
pada rentang waktu 2012 s.d. 2013 terhadap pergerakan titik pada rentang waktu
2010 s.d. 2012.
4
I.6. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat diperoleh koordinat dan ketelitian dari lima
stasiun pasut di Pulau Jawa pada tahun 2012 dan 2013, serta untuk mengetahui besar
kecepatan, arah pergerakan horizontal dan vertikal serta pola pergerakan lima stasiun
pasut di Pulau Jawa. Dengan mengetahui pola pergerakan horizontal dan vertikal serta
kecepatan stasiun pasut tersebut serta dengan melihat catatan kegempaan yang ada,
dapat diketahui potensi gempa bumi akibat aktivitas penunjaman lempeng.
I.7. Tinjauan Pustaka
Pada tahun 20013 Bock, dkk., melakukan studi pergeseran lempeng di
Kepulauan Indonesia untuk mengetahui pergeseran lempeng Kepulauan Indonesia
relatif dengan lempeng yang berada di sekitarnya, antara lain Lempeng Eurasia,
Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik dan sebagainya. Penelitian menggunakan
pengamatan data GPS pada 150 lebih titik pengamatan di seluruh Indonesia dari tahun
1991 s.d. 2001. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan adanya pergeseran lempeng
secara relatif terhadap lempeng-lempeng di sekitarnya. Salah satunya Lempeng Asia
Tenggara bergerak relatif terhadap Lempeng Eurasia dengan kecepatan 6 cm ± 3 mm
per tahun.
Setiadi (2007) melakukan hitung koordinat stasiun pasut dengan perangkat lunak
ilmiah GAMIT/GLOBK dari data pengamatan selama 3 x 24 jam. Data yang digunakan
adalah data pengamatan pada lima stasiun pasut di Pulau Jawa (Tanjung Priok, Jepara,
Tanjung Perak, Prigi, dan Cilacap) dengan menggunakan delapan buah titik ikat IGS
(COCO, DGAR, GUAM, IISC, JABI, KARR, KUNM, dan PIMO). Hasil penelitian
tersebut berupa koordinat pada masing-masing stasiun pasut dengan ketelitian fraksi
milimeter sampai sentimeter. Ketelitian baseline yang dihasilkan yaitu antara 0,00323
s.d. 0,01125 mm. Ketelitian baseline tertinggi terletak pada baseline stasiun KARR ke
CILA sebesar 3,23 mm, sedangkan yang terendah terletak pada baseline stasiun PRIG
ke DGAR sebesar 1,125 cm.
Abidin, dkk., (2009) telah melakukan studi deformasi kerak bumi di Pulau Jawa
untuk mengetahui deformasi antar seismik di tiga patahan aktif di Jawa Barat, serta
studi deformasi sebelum dan sesudah peristiwa seismik pada 15 Mei 2006 hingga Juli
2008 di bagian selatan Jawa. Penelitian tersebut menggunakan data pengamatan GNSS.
5
Hasil yang diperoleh bahwa di sekitar tiga patahan aktif (Cimandiri, Lembang dan
Baribis) Jawa Barat mengalami pergeseran horizontal sebesar 1 s.d. 2 cm/tahun. Sedang
pada penelitian sebelum dan sesudah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dihasilkan
bahwa saat gempa terjadi karena pergeseran patahan Opak sejauh kurang dari 10 cm.
Setelah gempa, masih terjadi pergeseran sejauh kurang dari 5 cm pada tahun 2006 s.d.
2007, dan kurang dari 3 cm pada tahun 2007 s.d. 2008.
Mc.Caffrey (2009) meneliti tentang kerangka tektonik pada zona tumbukan
Lempeng Sumatera-Jawa. Metode yang dilakukan yaitu studi geologi lempeng, dimana
pada kawasan Sumatera-Jawa terjadi tumbukan lempeng antara Lempeng HindiaAustralia dengan Lempeng Eurasia. Selain itu dari studi geologi ditemukan Patahan
Sumatera di bagian daratan Pulau Sumatera, serta patahan di dasar laut sebelah selatan
Sumatera dan Jawa. Studi tektonik diketahui, bahwa dari patahan di dasar laut selatan
Sumatera telah terjadi gempa bumi akibat dari penunjaman lempeng tersebut. Sejarah
mencatat sejak tahun 1800-an sampai 2006 telah terjadi lebih dari sepuluh kali gempa
bumi dengan kekuatan lebih dari 6,0 SR di wilayah selatan Sumatera. Gempa bumi itu
berasal dari pelepasan energi akibat dari penunjaman Lempeng Hindia-Australia dengan
lempeng Eurasia. Sedang pada wilayah Busur Sunda yang membentuk Pulau Jawa,
tercatat baru beberapa kali gempa pada rentang tahun 1800-an sampai 2006 dengan
kekuatan lebih dari 6,0 SR. Gempa terbesar yang terakhir terjadi pada tahun 2006
dengan kekuatan 6,3 SR (USGS, 2006).
Penelitian yang berkaitan dengan geodinamika Pulau Jawa dilakukan oleh
Taftazani (2013). Penelitian tersebut melakukan analisis geodinamika lima stasiun pasut
dengan tiga tahun (2009, 2010, 2012). Penelitian tersebut menggunakan data
pengamatan GNSS di lima stasiun pasut yang tersebar di Pulau Jawa (Prigi, Tanjung
Mas, Cilacap, Pameungpeuk, dan Sunda Kelapa). Pengolahan diikatkan dengan tujuh
buah titik ikat IGS (COCO, DARW, KARR, KUNM, NTUS, PIMO dan GUUG).
Koordinat lima stasiun pasut Pulau Jawa pada tahun 2009, 2010 dan 2012 diolah dengan
menggunakan GAMIT/GLOBK. Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan koordinat
yang relatif kecil pada masing-masing tahun, yakni dalam cakupan fraksi milimeter
sampai dengan sentimeter. Pola pergerakan horizontal stasiun pasut pada rentang tahun
2009 s.d. 2010, 2010 s.d.2012 dan 2009 s.d. 2012 sebagian besar memiliki
kecenderungan bergerak ke arah tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,9 s.d. 65,9
6
mm/tahun. Akan tetapi ada satu titik yang melenceng dari arah pergeseran tektonik
Pulau Jawa, yaitu Sunda Kelapa yang bergeser ke arah barat daya.
Penelitian ini merupakan studi lanjutan yang telah dilakukan oleh Taftazani
(2013) tentang pergerakan horizontal dan vertikal titik kontrol di lima stasiun pasut
Pulau Jawa yaitu Prigi, Tanjung Emas, Cilacap, Pameungpeuk, dan Sunda Kelapa. Pada
penelitian sebelumnya terdapat anomali pola pergerakan horizontal dan vertikal salah
satu titik terhadap titik yang lain. Pada penelitian ini pengukuran dilakukan
menggunakan receiver GNSS tipe geodetic selama empat hari pengamatan (empat doy)
pada tahun 2012 dan 2013. Sedangkan pengolahannya menggunakan perangkat lunak
ilmiah GAMIT/GLOBK.
I.8. Landasan Teori
I.8.1. Geodinamika
Teori lempeng tektonik dikemukakan oleh Mc.Kenzie dan Parker (1967) ahli
Geofisika Inggris. Kedua ahli itu menjadikan teori-teori sebelumnya sebagai satu
kesatuan konsep yang lebih sempurna sehingga diterima oleh para ahli geologi.
Teori lempeng tektonik diyakini oleh banyak ahli sebagai teori yang
menerangkan proses dinamika bumi, antara lain gempa bumi dan pembentukan jalur
pegunungan. Menurut teori ini kulit bumi (kerak bumi) yang disebut litosfer terdiri dari
lempengan yang mengambang di atas lapisan yang lebih padat yang disebut astenosfer.
Ada dua jenis kerak bumi, yaitu kerak samudra dan kerak benua. Kerak samudra
tersusun atas batuan yang bersifat basa, sedangkan kerak benua tersusun atas batuan
yang bersifat asam.
Kerak bumi menutupi seluruh permukaan bumi. Namun, akibat adanya aliran
panas yang mengalir diastenosfer menyebabkan kerak bumi pecah menjadi bagianbagian yang lebih kecil. Bagian-bagian itulah yang disebut lempeng kerak bumi
(lempeng tektonik). Aliran panas tersebut untuk selanjutnya menjadi sumber kekuatan
terjadinya
pergeseran
lempeng.
Lempeng
tektonik,
merupakan
dasar
dari
“terbangunnya” sistem kejadian gempa bumi, peristiwa gunung berapi, pemunculan
gunung api bawah laut, dan peristiwa geologi lainnya.
Pola pergeseran lempeng yang dikemukakan oleh Mc.Kenzie dan Parker (1967)
dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
7
1. Pergeseran lempeng saling mendekat
Pergeseran lempeng yang saling mendekat dapat menyebabkan terjadinya
tumbukan yang salah satu lempengnya menunjam ke bawah tepi lempeng yang
lain. Daerah penunjaman tersebut membentuk palung yang dalam dan merupakan
jalur gempa bumi yang kuat. Sementara itu di belakang jalur penunjaman terjadi
aktivitas vulkanisme dan terbentuknya cekungan pengendapan. Contoh pergeseran
lempeng ini di Indonesia adalah pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng
Eurasia. Pertemuan kedua lempeng tersebut menghasilkan jalur penunjaman di
selatan Pulau Jawa, jalur gunung api di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara, serta
berbagai cekungan di Sumatera dan Jawa.
Batas antar lempeng yang saling mendekat hingga mengakibatkan
tumbukan dan salah satu lempengnya menunjam ke bawah lempeng yang lain
(subduct) disebut batas konvergen atau batas lempeng destruktif.
2. Pergeseran lempeng saling menjauh
Pergeseran lempeng yang saling menjauh menyebabkan penipisan dan
peregangan kerak bumi hingga terjadi aktivitas keluarnya material baru yang
membentuk jalur vulkanisme. Meskipun saling menjauh, kedua lempeng ini tidak
terpisah karena di belakang masing-masing lempeng terbentuk kerak lempeng yang
baru. Proses ini berlangsung secara kontinu. Contoh hasil dari pergeseran lempeng
ini adalah terbentuknya gunung api di punggung tengah samudra di Samudra
Pasifik dan Benua Afrika.
Batas antar lempeng yang saling menjauh hingga mengakibatkan
terjadinya perluasan punggung samudra disebut batas divergen atau batas lempeng
konstruktif.
3. Pergeseran lempeng saling melewati
Pergeseran lempeng yang saling melewati terjadi karena gerak lempeng
sejajar dengan arah yang berlawanan sepanjang perbatasan antar lempeng. Pada
pergeseran ini kedua perbatasan lempeng hanya bergesekan. Oleh karena itu, tidak
terjadi penambahan atau pengurangan luas permukaan. Namun, gesekan antar
lempeng ini kadang-kadang dengan kekuatan dan tegangan yang besar sehingga
dapat menimbulkan gempa yang besar. Contoh hasil dari pergeseran lempeng ini
8
adalah Patahan San Andreas di California. Patahan tersebut terbentuk karena
Lempeng Amerika utara bergerak ke arah selatan, sedangkan Lempeng Pasifik
bergerak ke arah utara. Batas antar lempeng yang saling melewati dengan gerakan
yang sejajar disebut batas menggunting (shear boundaries).
Lempeng kerak bumi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lempeng mayor
(lempeng besar) dan lempeng minor (lempeng kecil). Pengelompokan lempeng
mayor dan minor dapat dilihat pada Tabel I.1. berikut ini.
Tabel I.1. Pengelompokan lempeng mayor dan minor (sumber: topex.ucsd.edu)
No
Lempeng Mayor
Lempeng Minor
1.
Lempeng Eurasia
Lempeng Filipina
2.
Lempeng Amerika Utara
Lempeng Juan De Fuka
3.
Lempeng Amerika Selatan
Lempeng Karibia
4.
Lempeng Afrika
Lempeng Kokos
5.
Lempeng Indo-Australia
Lempeng Nazca
6.
Lempeng Pasifik
Lempeng Skotia
7.
Lempeng Antartika
Lempeng Arabia
Berlandaskan pada teori lempeng tektonik, kerak bumi terpecah-pecah menjadi
lempengan-lempengan yang mengapung di atas lapisan yang lebih cair. Lempeng
tektonik tebalnya dapat mencapai 80 km, tetapi ada juga yang lebih tipis dengan luas
yang beragam. Jika lempeng-lempeng tersebut bergerak saling bertumbukan, maka
menyebabkan penunjaman. Sesuai dengan hukum fisika sederhana, lempengan yang
berat jenis atau massanya lebih besar, menunjam dan menyusup ke bawah lempeng
yang lebih ringan. Pergeseran lempeng tektonik tersebut sangat lambat, yaitu antara 1
dan 10 cm per tahun. Namun, pergeseran yang sangat lambat tersebut ternyata
mengumpulkan energi yang sangat kuat secara pelan-pelan di kedalaman sekitar 80 km.
Apabila tekanan dan regangan tumbukan lempeng mencapai titik jenuh, biasanya terjadi
gerakan lempeng tektonik secara tiba-tiba. Gerakan tersebut menimbulkan getaran di
muka bumi yang disebut gempa.
9
I.8.2. Pengamatan GNSS
GNSS merupakan suatu sistem penentuan posisi di permukaan bumi dengan
menggunakan satelit. Beberapa sistem satelit navigasi yang dapat digunakan secara
umum yaitu GPS dan GLONASS. GNSS merupakan suatu sistem navigasi dan
penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini berguna
untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu
dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan (Abidin, 2007). Sampai saat ini satelitsatelit GNSS ada 24 satelit aktif yang mengorbit di angkasa luar dan tersebar merata di
luar bumi.
Sekarang ini, kegunaan GNSS sebagai metode penentuan posisi sudah
dimanfaatkan secara luas, salah satunya digunakan untuk pengamatan pergeseran tanah.
Pada dasarnya, penggunaan GNSS untuk pergeseran tanah dilakukan dengan
menentukan koordinat titik-titik pantau secara teliti dan berkala. Dengan mempelajari
perubahan koordinat titik-titik pantau tersebut secara kontinyu dari waktu ke waktu,
maka besarnya kecepatan dan arah pergeseran dapat diketahui. Dengan diketahuinya
besar kecepatan dan arah pergeseran, analisis dan estimasi mengenai regangan yang
terjadi dapat dilakukan.
I.8.3. Penentuan Posisi dengan GNSS
Konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS menggunakan metode
pemotongan ke belakang dengan jarak. Pada Gambar I.2 pengukuran jarak antara
receiver GNSS dan beberapa satelit GNSS yang mengorbit di angkasa luar dilakukan
secara simultan. Untuk menentukan koordinat suatu titik di bumi, receiver setidaknya
membutuhkan empat satelit yang dapat diterima dengan baik.
10
Gambar I.2. Penentuan posisi relatif pengamatan GNSS (Widjajanti, 2010)
Keterangan Gambar I.2:
(SV)i
: satellite vehicle
Q dan P
: posisi receiver di permukaan bumi
(φ,λ)
: lintang dan bujur geodetis
Posisi suatu titik di permukaan bumi dapat ditentukan menggunakan receiver
GNSS dengan metode penentuan posisi absolut (point positioning), maupun terhadap
titik lain yang diketahui koordinatnya dengan metode penentuan posisi relatif
(differential positioning) yang minimal dua receiver GNSS (Abidin, 2007).
I.8.3.1. Penentuan posisi absolut. Penentuan posisi koordinat di suatu titik
dengan menggunakan satu receiver, koordinat yang diperoleh ditentukan terhadap suatu
sistem koordinat yang telah terdefinisikan. Persamaan untuk menentukan jarak titik dari
dapat dituliskan dalam rumus I.1 dan I.2 sebagai berikut (Adiwibawa, 2007):
(
)……………...............................................................................(I.1)
(
)………………………………………..……………………….(I.2)
11
Dalam hal ini,
: jarak titik di permukaan bumi (A) ke satelit
: panjang gelombang
: fase (gelombang tidak penuh)
:jumlah gelombang penuh
Penentuan posisi absolut tidak terlepas dari kesalahan orbit, bias ionosfer dan
troposfer, kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit, serta multipath pada
hasil pengamatan, sehingga persamaan I.1 dan I.2 menjadi I.3:
.......... (I.3)
I.8.3.2. Penentuan posisi relatif. Posisi yang diperoleh ditentukan terhadap titik
lain yang telah diketahui koordinatnya dan dianggap sebagai titik acuan dengan
menggunakan minimal dua receiver GNSS (Sunantyo, 2000). Penentuan posisi secara
diferensial dapat memberikan ketelitian posisi yang relatif tinggi dengan level
sentimeter sampai dengan milimeter. Teknik yang digunakan pada penentuan posisi
secara diferensial adalah teknik differencing, yakni dengan mengurangkan data
pengamatan GNSS untuk mengeliminasi dan mereduksi efek dari sebagian kesalahan
dan bias yang terjadi pada saat melakukan pengamatan GNSS. Data pengamatan hasil
pengurangan tersebut menjadi relatif lebih teliti. Dalam pengolahan data pengamatan
GNSS secara differencing, dikenal beberapa teknik, yaitu single difference, double
difference dan triple difference.
1.
Penentuan posisi single difference, merupakan penentuan posisi dengan cara
pengurangkan (differencing) dua persamaan pengamatan penentuan posisi one way
(OW). Jika terdapat dua receiver (A dan B) yang mengamati satu satelit (satelit c),
dapat dituliskan dengan persamaan I.4:
…..(I.4)
2.
Penentuan posisi double difference, merupakan teknik penentuan posisi dengan
cara mengurangkan (differencing) dua persamaan pengamatan penentuan posisi
relatife single difference (SD), pada dua receiver (di titik A dan B) yang
mengamati dua satelit ( satelit c dan satelit d), dapat dituliskan dengan persamaan
I.5:
……...…(I.5)
12
Proses differencing tersebut meliputi pengeliminasian kesalahan jam satelit dan
receiver, mereduksi efek kesalahan orbit, bias ionosfer dan bias troposfer pada data
pengamatan, pengestimasian ambiguitas fase.
3.
Penentuan posisi triple difference, merupakan suatu teknik penentuan posisi dengan
cara mengurangkan dua data pengamatan double difference dengan kala yang
berbeda, misalnya dua receiver (di titik A dan B) yang mengamati dua satelit (c
dan d) secara simultan sebanyak dua kala. Proses pengurangan data dapat
dituliskan dengan persamaan I.6:
……..… (I.6)
I.8.4. Bias dan Sumber Kesalahan
Dalam perjalanannya dari satelit ke pengamat di permukaan bumi, sinyal GPS
harus melalui medium propagasi, yaitu ionosfer dan troposfer dimana sinyal GPS
mengalami refraksi di dalamnya. Selain itu, sinyal GPS juga dapat dipantulkan oleh
benda-benda di sekitar pengamat dan menyebabkan efek multipath. Kesalahan dan bias
juga dapat disebabkan oleh kesalahan orbit satelit, jam satelit, kesalahan jam satelit dan
receiver, kesalahan antena, ambiguitas fase, dan cycle slips (Abidin, 2007).
I.8.4.1. Kesalahan orbit satelit. Kesalahan ini disebut juga dengan kesalahan
efemeris dimana orbit satelit yang terdapat dalam broadcast efemeris tidak sama dengan
orbit satelit yang sebenarnya, sehingga posisi satelit yang dilaporkan tidak sama dengan
posisi satelit yang sebenarnya dan nantinya akan mempengaruhi ketelitian posisi titiktitik yang diamat. Besarnya efek kesalahan orbit satelit dapat dihitung dengan
persamaan I.7 (Abidin, 2007):
..........................................................................................................(1.7)
Dalam hal ini,
db : besarnya efek kesalahan orbit pada panjang baseline
dr : besarnya kesalahan orbit
b : panjang baseline
r : jarak rata-rata pengamat ke satelit
I.8.4.2. Cycle slips. Cycle slips adalah ketidak-kontinyuan dalam jumlah
gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati, pengamatan sinyal oleh
receiver terputus oleh satu dan lain hal (Abidin, 2007).
13
I.8.4.3. Multipath. Multipath adalah fenomena dimana sinyal yang ditransmisikan
oleh satelit GNSS ditermia oleh receiver melalui dua atau lebih lintasan berbeda karena
efek pantulan benda-benda di sekitar pengamat seperti bangunan, jalan, permukaan air.
Perbedaan jarak tempuh dapat menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinterferensi ketika
diterima oleh antena sehingga menyebabkan kesalahan hasil pengamatan (Abidin,
2007).
I.8.4.4. Ambiguitas fase. Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh yang
tidak terukur oleh receiver GPS. Ambiguitas fase berupa bilangan bulat kelipatan
panjang gelombang. Ketidaktepatan dalam mendefinisikan besarnya ambiguitas fase
menyebabkan kesalahan dalam penentuan jarak dari satelit ke pengamat (Abidin, 2007).
I.8.4.5. Kesalahan jam satelit dan receiver. Setiap satelit GPS membawa beberapa
buah jam atom yang digunakan untuk mendefinisikan sistem waktu satelit. Seiring
dengan berjalannya waktu, jam-jam atom tersebut mengalami penyimpangan (offset,
drift, dan drift-rate). Pada umumnya receiver GPS dilengkapi dengan jam kristal quartz
yang relatif lebih kecil, lebih murah, dan relatif memerlukan daya yang relatif lebih
kecil
dibandingkan
jam
atom
yang
digunakan
di
satelit
(Abidin,
2007).
Ketidaksinkronan antara jam satelit dengan jam receiver memberikan informasi
mengenai waktu yang berbeda dan dapat menjadi sumber kesalahan.
I.8.4.6. Kesalahan antena. Pada pengukuran jarak dari satelit ke antena receiver
GPS, jarak ukuran diasumsikan mengacu ke pusat geometris dari antena yang lokasinya
tetap. Akan tetapi, sebenarnya secara elektronik pengukuran jarak tersebut mengacu ke
pusat fase antena, bukan ke pusat geometris antena. Adanya perbedaan lokasi antara
pusat fase dan pusat geometris antena menyebabkan terjadinya kesalahan pada jarak
ukuran (Abidin, 2007).
I.8.4.7. Refraksi troposfer. Troposfer merupakan lapisan dari atmosfer yang
berbatasan dengan permukaan bumi dan mempunyai ketebalan setinggi 9 s.d 16 km,
tergantung pada tempat dan waktu. Ketika melalui troposfer, sinyal GPS mengalami
refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah dari sinyal GPS. Efek
utama dari refraksi troposfer adalah kesalahan terhadap hasil ukuran jarak (Abidin,
2007).
I.8.4.8. Refraksi ionosfer. Ionosfer merupakan lapisan atas dari atmosfer.
Elektron-elektron bebas yang terdapat dalam lapisan ionosfer mempengaruhi propagasi
14
sinyal GPS yang kemudian turut mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan
kekuatan dari sinyal GPS yang melaluinya. Efek terbesar dari refraksi ionosfer terletak
pada kecepatan sinyal dimana ionosfer memperlambat pseudorange dan memperlambat
fase dari sinyal GPS yang mempengaruhi ukuran jarak dari pengamat ke satelit (Abidin,
2007).
I.8.5. Pengertian ITRF
International Terrestrial Reference Frame (ITRF) adalah realisasi dari
International Terestrial Reference System (ITRS). ITRS pada pada prinsipnya adalah
Conventional Terrestrial System (CTS) yang didefinisikan, direalisasikan, dikelola dan
dipantau oleh International Earth Orientation System (IERS). Ada beberapa produk
yang dihasilkan oleh IERS selain ITRF yaitu realisasi dari International Celestial
Reference System (ICRS) dan penentuan parameter orientasi bumi atau Earth
Orientation Parameter (EOP) yang menghubungkan ITRS dan ICRS (Witchayangkoon,
2000).
ITRS direalisasikan dengan koordinat dan kecepatan dari sejumlah titik yang
tersebar di seluruh permukaan bumi, dengan menggunakan metode-metode pengamatan
Very Long Baseline Interferometry (VLBI), Lunar Laser Ranging (LLR), Global
Positioning System (GPS), Satelite Laser Ranging (SLR), dan DORIS. ITRF
mempunyai origin di pusat massa bumi. Kerangka atau jaring titik hasil realisasi ini
dinamakan ITRF (ITRF, 2006)
I.8.6. Pengertian IGS
International GNSS Service (IGS) adalah suatu organisasi internasional yang
merupakan kumpulan dari berbagai agensi dan badan multinasional di seluruh dunia.
IGS mengumpulkan sumber dan data permanen dari stasiun GNSS dan memelihara
sistem GNSS tersebut. IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG).
Pada tahun 1993, dan secara formal beroperasi mulai tahun 1994. Setiap negara
berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun IGS. Saat ini IGS mempunyai
sekitar 200 stasiun penjejak satelit yang tersebar di seluruh dunia yang mengamati
satelit-satelit GNSS secara kontinyu. Data 26 pengamatan stasiun IGS diolah dan
dikelola oleh 16 Operational Data Centers, lima Regional Data Centers dan tiga Global
Data Centers. Data ini selanjutnya diolah oleh tujuh Analysis Centers yang kemudian
15
hasilnya disebarluaskan secara global. IGS juga menerbitkan spesifikasi dan standar
internasional dari data GNSS.
I.8.7. Perangkat GAMIT/GLOBK
GAMIT/GLOBK adalah sebuah perangkat lunak komprehensif untuk analisis
data GPS yang dikembangkan oleh MIT, Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics
(CfA) dan Scripps Institution of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK dapat
mengestimasi koordinat dan kecepatan stasiun, representasi fungsional dan stokastik
dari pasca kejadian deformasi, delay atmosfer, orbit satelit dan parameter orientasi
bumi. GAMIT adalah singkatan dari GPS Analysis of Masshachusstes Institute of
Technology, sedangkan GLOBK adalah singkatan dari Global Kalman Filter VLBI and
GPS Analysis Program. Perangkat lunak ini didesain untuk running di sistem operasi
berbasis UNIX dan melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di direktori
/libraries, /gamit dan /kf.
I.8.7.1. GAMIT. GAMIT adalah paket analisis data GNSS yang komprehensif
yang dikembangkan oleh MIT untuk melakukan perhitungan posisi tiga dimensi dan
satelit orbit. Perangkat lunak GAMIT dikembangkan mulai tahun 1970-an ketika
Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan receiver GNSS. Setelah
pengembangannya, GAMIT bermigrasi dengan platform sistem operasi Unix pada tahun
1987. Dengan berdirinya IGS pada tahun 1992 semakin memungkinkan pengembangan
skema pengolahan data GNSS secara otomatis. Pada pertengahan tahun 1990, GAMIT
menjadi perangkat lunak ilmiah fully automatic processing yang menyertakan data
stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya IGS (Anonim, 2000). Dalam
proses pengolahannya, GAMIT membutuhkan delapan macam input data, antara lain
(Herring, 2010):
1. Raw data dari data pengamatan GPS.
2. l-file, yang berisi koordinat dari semua stasiun pengamatan atau titik ikat yang
digunakan. Koordinat yang digunakan menggunakan koordinat geosentrik.
3. File station.info, berisi informasi stasiun-stasiun yang digunakan, seperti
tempat/lokasi stasiun, tinggi antena, model antena, model receiver, waktu
pengamatan (tahun, doy/day of year, start dan stop pengamatan), serta firmware yang
digunakan oleh receiver.
16
4. File session.info, yang berisi sesi dari data yang diolah. Informasi yang tercantum
antara lain tahun, doy, sesi pengamatan, sampling rate, banyak kala, dan nomornomor satelit.
5. File navigasi, bisa berupa rinex (Receiver INdependent EXchange Format),
Navigation Messages maupun efemeris yang disediakan IGS.
6. File sestbl memuat control table mengenai karakteristik proses yang dieksekusi oleh
GAMIT.
7. File sittbl digunakan untuk memberikan konstrain pada setiap stasiun pengamatan
yang digunakan.
8. File GPS efemeris yang didapat dari IGS dalam format SP3.
Hasil akhir dari proses pengolahan data pengamatan GPS dengan perangkat
lunak GAMIT sebagai berikut:
1. q-file, memuat semua informasi hasil pengolahan data pengamatan GPS dengan
GAMIT, yang disajikan dalam dua versi Biasses-free Solution dan Biasss-fixed
Solution.
2. h-file, yang berisi hasil pengolahan dengan Lossely Constraint Solutions yang berupa
parameter-parameter yang digunakan serta matriks varian kovarian pada pengolahan
lanjutan dengan GLOBK (Global Kalman Filter VLBI and GPS Analysis Program).
Input yang digunakan adalah h-file yang berisi parameter-parameter hasil pengolahan
dengan perataan Lossely Constraint serta matriks varian kovarian.
3. autcln.summary-file, yang terdiri atas file autcln.prefit.sum dan autcln.post.sum.
Kedua file tersebut berisi data statistik hasil editing dengan autcln.
I.8.7.2.
GLOBK.
GLOBK
adalah
satu
paket
program
yang
dapat
mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei ekstra
terestris. Kunci data input pada GLOBK adalah matriks varian kovarian dari data
koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil
pengamatan lapangan (Herring, dkk., 2006). Sebagai file input digunakan h-file hasil
pengolahan dengan GAMIT. Namun selain hasil pengolahan GAMIT, GLOBK juga
dapat menerima input file hasil pengolahan dari perangkat lunak ilmiah lain, misal:
GIPSY dan Bernesse (Herring, 2010). Terdapat tiga moda aplikasi yang dapat
dijalankan dengan menggunakan GLOBK, yaitu:
17
1. Mengkombinasikan hasil pengolahan individu (misal: harian) untuk menghasilkan
koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan lebih dari satu hari;
2. Mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan
koordinat stasiun;
3. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individu, yang digunakan
untuk menggeneralisasikan data runut waktu (time series) dari pengamatan teliti
harian atau tahunan.
Hal yang tidak dapat dijalankan oleh GLOBK antara lain (Herring, 2010):
1. Membuat sebuah model linier, karena terdapat banyak proses perataan yang
dijalankan (adjustment) pada koordinat stasiun dan parameter orbit.
2. GLOBK tidak dapat menghilangkan cycle slips, data yang buruk dan atmospheric
delay modelling errors.
3. GLOBK tidak dapat melakukan resolving ambiguitas fase.
I.8.8. Perataan Jaring pada GAMIT/GLOBK
Pada perangkat lunak GAMIT, perataan dilakukan untuk pengecekan konsistensi
terhadap sesama data ukuran. Perangkat lunak GAMIT menggunakan hitungan kuadrat
terkecil parameter berbobot dengan menggunakan teknik double difference dari
pengamatan data fase untuk melakukan estimasi posisi dan orbital dari titik pengamatan.
Pengolahannya mengacu pada koordinat stasiun observasi, koordinat stasiun titik ikat
dan parameter orbit (King dan Bock, 2002).
Hasil perataan pada jaring GPS menggunakan perangkat lunak GAMIT adalah
loosely constrained network dengan menggunakan free-network quasi-observation.
Dengan melibatkan matriks varian kovarian sebagai persamaan hitungan kuadrat
terkecil parameter berbobot, pendekatan ini menggunakan perataan baseline (King dan
Bock, 2002). Persamaan (I.18) berikut ini model matematis yang belum mengalami
iterasi.
La = F(Xa).....................................................................................................(I.18)
Sebagai contoh apabila terdapat dua receiver yang berada pada stasiun A dan B
yang mempunyai vektor koordinat XA, YA, ZA pada stasiun A dan XB, YB, ZB pada
stasiun B dan melakukan pengamatan terhadap dua satelit yaitu m dan n maka
persamaan double difference menjadi persamaan (I.19) dan (I.20):
18
 Am 
X
 Bn 
X
m
n
t   X A 2  Y m t   YA 2  Z m t   Z A 2 ...............................................(I.19)
t   X B 2  Y n t   YB 2  Z n t   Z B 2 ......................................................(I.20)
Koordinat stasiun A dianggap memiliki suatu nilai pendekatan yaitu
X
0
A
, YA0 , Z A0

sehingga diperoleh nilai XA, YA, dan ZA seperti pada persamaan (I.21), (I.22), dan (I.23)
XA = X0A + dXA .........................................................................................................(I.21)
YA = Y0A + dYA .........................................................................................................(I.22)
ZA = Z0A + dZA...........................................................................................................(I.23)
Kemudian persamaan (I.19) dan (I.20) dapat dilinierisasi sehingga menjadi persamaan
(I.24) dan (I.25)
 Am t    Am  cx m t .dX A  cy m t .dY A  cz m t .dZ A
 Bn t    Bn  cx n t .dX B  cy n t .dYB  cz n t .dZ B
...........................................(I.24)
...........................................(I.25)
Dengan melakukan substitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan matrikss residu,
menghasilkan penyelesaian double difference menjadi persamaan (I.26) :
LAB t   rCAB t    AB
mn
mn
mn
t   cx mn t .dX A  cy mn t .dYA  cz mn t .dZ A  .N AB mn …....(I.26)
Selanjutnya penerapan metode parameter berbobot pada persamaan I.18 sehingga
menjadi persamaan (I.27) :
L’a = Xa .............................................................................................................(I.27)
Dengan matriks bobot seperti tertera pada persamaan (I.28) dan persamaan
matriks residu pada (I.29) berikut ini :
 P1 0 
 …………………………………………….…….……..…......…........(I.28)
P
0 P 
2


V = A X + L ………………………………………………..………...…......…........(I.29)
Dalam hal ini matriks A, X dan L dapat dilihat dalam persamaan (I.30) s.d (I.32):
19

mn
mn
A  cx AB t  cy AB t 


L  LAB
mn
cz AB
mn
t 

   ………………..….......….........(I.30)

t    AB mn t  .................................................................................(I.31)
dX A 
dY

A

 …………..……………….…………...............................................(I.32)
X
dZ A 


N AB 
Hasil persamaan observasi (I.29) yang telah dilinierisasi menjadi persamaan
(I.35):
X0  Xb 
L'  Y0  Yb  ………………………………………………....…………..............(I.35)
 Z 0  Z b 
Dalam hal ini,
L
: matriks observasi
A
: matriks desain
X
: matriks parameter
ρ
: jarak geometri antara satelit dengan titik pengamatan
N
: ambiguitas fase
m,n
: satelit yang teramat
A, B
: stasiun pengamatan
(X0,Y0,Z0)
: koordinat pendekatan
Setelah melakukan perataan jaringan dengan menggunakan GAMIT, proses
selanjutnya yaitu pendefinisian kerangka referensi dari loosely constrained network
dilakukan pada pengolahan lanjutan menggunakan GLOBK, dengan hasil titik diberikan
constraint yang sangat besar dan beberapa titik dianggap fixed (King dan Bock, 2002).
20
I.8.9. Evaluasi Hasil Pengolahan GAMIT dan GLOBK
Evaluasi hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak GAMIT dapat
dilakukan dengan memperhatikan dua parameter evaluasi pada output file GAMIT
(Anonim, 2000) yaitu:
1. Postfit nrms (normalized root mean square)
Nilai postfit nrmsditentukan dengan menggunakan persamaan I.36.
postfit nrms
= √
Dengan nilai x2
=
………………………………….……………… (I.36)
………………………………...…...……………. (I.37)
Dalam hal ini,
x2
: chi-squared
n-u
: degree of freedom
𝜕
2
: varian apriori dari unit bobot
𝜃
2
: varian aposteriori dari unit bobot
: jumlah ukuran
: ukuran minimum
Standar kualitas nilai postfit nrms < 0,25 namun apabila nilai melebihi 0,5 berarti
dimungkinkan terdapat cycle slips yang belum dihilangkan.
2. Adjust,
Adjust, menunjukkan besarnya koreksi yang diberikan terhadap parameter yang
digunakan pada perhitungan.
3. Fract
Fract merupakan hasil perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal seperti
pada persamaan I.38. Nilai fract dapat digunakan untuk mengindikasikan apakah
terdapat nilai adjust yang janggal dan perlu tidaknya diberikan iterasi untuk
mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust
menunjukkan besarnya perataan yang diberikan terhadap parameter yang
digunakan dalam perhitungan. Nilai formal disebut juga nilai formal error. Nilai
formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian data bobot untuk perhitungan
kuadrat terkecil. Besar nilai fract tidak boleh lebih dari 10 (fract < 10) (Herring,
2006).
21
I.8.10. Analisis Deformasi
Secara umum deformasi diartikan sebagai perubahan posisi titik, bentuk, dan
dimensi benda secara absolut maupun relatif. Salah satu contohnya adalah gerakan
tanah. Prinsip pengukuran deformasi adalah dengan memantau perubahan jarak, beda
tinggi, sudut maupun koordinat antara titik-titik yang mewakili daerah tersebut (Abidin,
2007). Survei deformasi dilakukan secara berulang pada periode yang berlainan. Hasil
dari survei tersebut selanjutnya diolah dan dilakukan hitung perataan sehingga
dihasilkan koordinat hasil pengukuran. Salah satu analisis deformasi adalah analisis
geometrik yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang status geometrik obyek
deformasi seperti perubahan posisi obyek (analisis pergerakan) dan perbedaan posisi,
bentuk dan dimensi obyek deformasi (analisis regangan) (Taftazani, 2013). Pada
penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis pergerakan.
Analisis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi besar perubahan geometrik
melalui perpindahan posisi titik-titik pantau yang berada pada daerah yang diamati.
Data tersebut salah satunya dapat dicari dengan menggunakan pengamatan geodetik.
Dalam metode statik yang dihitung adalah selisih koordinat titik pantau antara dua
periode pengamatan. Hasil yang diperoleh adalah besar dan arah perpindahan posisi
titik-titik obyek yang diamati.
I.8.11. Kecepatan
I.8.12. Uji Statistik
Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji signifikansi beda dua
parameter. Uji tersebut digunakan untuk mengetahui nilai perbedaan yang signifikan
antara dua parameter. Pengujian ini melakukan analisis dengan cara menghitung beda
dua parameter dibagi dengan akar kuadrat masing-masing simpangan bakunya. Apabila
dituliskan dalam suatu model matematis menjadi persamaan I.40 (Widjajanti, 2010).
√
………………………………………………………………….……..(I.40)
Dengan penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < tf,α/2
Dalam hal ini,
T
: nilai t hitungan
tf,α/2
: distribusi t pada tabel t (student) dengan tingkat kepercayaan sebesar α
22
Xi
: koordinat stasiun pada project 1
Xii
: koordinat stasiun pada project 2
SXi2
: simpangan baku koordinat stasiun pada project 1
SXii2
: simpangan baku koordinat stasiun pada project 2
Pengujian tersebut mengidentifikasikan bahwa nilai koordinat untuk kedua project
besarnya sama seperti pada persamaan I.41.
……………………………………………………....……..(I.41)
…………………………………………………………..….……..(I.42)
Daerah penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T < tf,α/2.
I.9. Hipotesis
Hasil dari penelitian geodinamika Pulau Jawa pada tahun 1991 s.d 2001,
terdapat pergerakan horizontal ke arah tenggara dengan kecepatan 6 cm ± 3mm/tahun
(Bock, dkk., 2003). Pada tahun 2009 s.d. 2012 didapatkan kecepatan pergerakan
horizontal sebesar 4 s.d. 7 cm/tahun (Taftazani, 2013). Penelitian ini menggunakan data
pengamatan GNSS pada sesi pengamatan tahun 2012 dan 2013. Data GNSS diolah
dengan GAMIT/GLOBK dengan referensi ITRF 2008 dan titik ikat tujuh stasiun IGS
untuk mendapatkan pola variasi pergerakan horizontal dan pola pergerakan stasiun
pasut. Pola pergerakan horizontal yang didapatkan diduga memiliki kecepatan berkisar
antara 4 s.d. 7 cm/tahun dengan arah cenderung ke tenggara karena pengaruh
penunjaman lempeng Hindia-Australia di bawah lempeng Eurasia dan Indo-Australia,
sedangkan pola pergerakan vertikal yang didapatkan diduga memiliki kecepatan bekisar
9 s.d.13 cm/tahun karena penurunan muka tanah.
Download