BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembicaraan tentang perempuan telah lama menjadi isu penting baik
perempuan dipandang sebagai sosok superior maupun sebagai sosok inferior
dalam sistem patriarki. Menurut Rosseau, hal yang menentukan status inferior
perempuan adalah budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami. Hal itu
merupakan persoalan “sistem pendidikan yang salah”, sistem yang dibentuk oleh
laki-laki yang menganggap “female (perempuan) sebagai perempuan bukan
sebagai manusia”. Dengan demikian, hal tersebut menghasilkan “peradaban yang
tidak utuh” dan “perilaku dan sikap perempuan” dibentuk untuk menjadikan
mereka “objek hasrat yang tidak penting” (1992: 79, 83 via Thornham 2010).
Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa
perempuan menjadi the second sex seperti juga sering disebut sebagai „warga
kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Seperti yang
disebutkan Abdullah (1997: 3) dikotomi antara nature dan culture misalnya, telah
digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan starifikasi di antara dua jenis
kelamin ini. Satu jenis memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan
yang memiliki sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya
(culture). Usaha “membudayakan” perempuan tersebut telah menyebabkan
terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Implikasi dari konsep dan common sense tentang pemosisian
yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor
kehidupan ke dalam sektor domestik dan publik. Perempuan dianggap orang yang
berkiprah dalam sektor domestik sementara laki-laki ditempatkan sebagai
kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah
disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi
fakta sosial tentang status-status dan peran-peran yang dimainkan oleh
perempuan.
Sama seperti kebanyakan negara di Asia lain, negara Korea yang menganut
paham Konfusianisme secara tidak langsung telah membagi status sosial dan
peran kedudukan antara kaum lelaki dan perempuan. Konfusianisme adalah suatu
ajaran filosofi moral yang masuk ke Korea dari Cina pada zaman Tiga Kerajaan
(Widyaningrum, 2000). Dalam ajaran ini dikenal lima dasar hubungan antar
manusia yaitu hubungan antara penguasa dengan rakyat, hubungan antara ayah
dengan anak, hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara kakak dengan
adik, dan hubungan antara teman. Selama berabad-abad ajaran ini memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Korea
baik bidang politik, sosial, maupun budaya. Sebenarnya ajaran konfusianisme
adalah ajaran yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, namun
terkadang kaum pria salah menginterpretasikan maksud yang sebenarnya dari
ajaran ini. Wujud ajaran mengenai kesetiaan dan kesolehan disalah artikan oleh
kaum pria dengan menganggap kaum perempuan adalah kaum yang harus
mengabdi di rumah kepada kaum pria. Dengan adanya pembagian ranah area
kerja inilah yang membuat kaum perempuan terdomestikasi dan tersirat jika
kedudukan laki-laki lebih tinggi dalam lingkungan masyarakat.
Tatanan patriarki yang telah berakar kuat cenderung memaknai perbedaan
jenis kelamin dengan segala implikasinya sebagai suatu bentuk kekurangan pada
diri perempuan. Hal ini diperkuat oleh pandangan tentang perbedaan gender, yaitu
konsep yang terbentuk dari konstruksi sosial ataupun kultural, misalnya
perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara itu
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa (Fakih, 2006:8). Konstruksi
gender tersebut melahirkan ketidakadilan gender sehingga perempuan tetap
dianggap sebagai manusia kelas dua dan harus berada dibawah kendali laki-laki.
Ketidakadilan terhadap
perempuan selalu hadir dalam bentuk marginalisasi,
subordinasi, stereotipe dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dapat terjadi
dalam setiap aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya.
Dari sejarah kehidupan yang mendiskreditkan perempuan tersebut,
timbullah berbagai bentuk perlawanan diberbagai bidang melalui sebuah gerakan
yang disebut feminisme. Gerakan ini kemudian mempengaruhi banyak segi
kehidupan perempuan. Gerakan feminisme secara umum merupakan suatu reaksi
atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang
patriarki (Mustaqim via Evita 2008: 88). Secara historis, gerakan feminisme di
Barat terkait dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar
kebangkitan kesadaran baru Eropa. Pada saat itulah muncul para humanis yang
menghargai manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai individu yang
bebas menggunakan akal budinya. Feminisme sebagai filsafat adalah gerakan
yang berkaitan dengan era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary
Mortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika tahun
1776 dan Revolusi Perancis tahun 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi
perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika
itu perempuan dari kalangan atas sampai kalangan bawah, tidak memiliki hak-hak
seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, hal berpolitik, hak atas milik dan hak
pekerjaan. Karena tidak memiliki hak-hak tersebut, kedudukan perempuan
tidaklah sama di hadapan hukum. Menurut mereka, ketertinggalan tersebut
disebabkan oleh kabanyakan perempuan masih buta huruf, miskin dan tidak
memiliki keahlian.
Pada tahun 1990-an, perbedaan gender di Korea sangat kental terlihat.
Fenomena ini merupakan fenomena yang terjadi secara natural sebagai salah
proses modernisasi. Namun jika melihat fenomena yang terjadi di Korea Selatan,
masa itu situasinya sangat memprihatinkan. Keprihatinan tersebut dapat dilihat
dengan adanya demo massa yang sangat dramatis dengan aksi para pendemo
perempuan yang mogok kerja. Hal ini tidak lain dilakukan untuk melemahkan
kekuatan radikal kaum intelektual yang dipegang oleh kaum laki-laki. Dari
peristiwa tersebut, seorang produsen film bernama Kim Min Yeong yang peka
akan kejadian tersebut membuat sebuah karya yang akan dikenang sebagai salah
satu bagian dari sejarah penyamaan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan. Film yang menjadi bagian sejarah Korea itu berjudul “Gae kateun
Nareui Ohu” atau yang terkenal dengan judul “A Hot Roof” dalam versi
Inggrisnya. Film ini dicatat menjadi salah satu film dokumenter karena
mengabadikan sejarah mengenai tonggak awal gerakan feminis di Korea.
Topik utama film “Gae kateun Nareui Ohu/ A Hot Roof” menceritakan
tentang penindasan yang dilakukan oleh seorang suami pada istrinya yang
mengobarkan kemarahan kaum perempuan yang akhirnya juga ikut tersadar atas
semua perlakuan yang telah dilakukan para laki-laki khususnya suami mereka di
masa tersebut. Film ini menggambarkan situasi perempuan di era kekerasan untuk
melawan kekuatan kaum laki-laki karena pada saat itu semua aspek penting
kehidupan dipegang oleh kaum laki-laki. Bahkan mereka tidak dapat mengadukan
ketidakadilan tersebut kepada pihak yang berwenang seperti aparat keamanan
negara yang dikepalai oleh seorang laki-laki yang benar-benar tidak mengakui
eksistensi kaum perempuan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang, masalah utama
yang diangkat dalam studi ini adalah isu-isu tentang perempuan dalam sebuah
karya sastra yang berbentuk audio visual (film). Isu-isu tersebut terkait dengan
analisis terhadap eksistensi perempuan Korea dalam memperjuangkan persamaan
haknya dengan kaum laki-laki.
Film memiliki kemampuan mengarahkan perhatian penonton pada masalahmasalah tertentu serta mampu membentuk opini penonton tentang masalah
gender. Menurut
Mangunhadjana (via Evita 2001), film memiliki daya tarik
istimewa dibanding dengan pertunjukkan senilainya. Dengan menonton sebuah
film, pemikiran penonton telah dipenuhi oleh gagasan, pendapat atau cita-cita
yang disuguhkan dalam film. Sebuah film dapat dikatakan sukses apabila mampu
membuat penontonnya ikut larut dalam “kehidupan dunia film” tersebut dan dapat
membuat penonton untuk ikut masuk dalam kehidupan yang dikisahkan.
Film “Gae Katheun Nareui Ohu atau A Hot Roof” yang mengangkat
masalah pelik mengenai perlawanan para pahlawan perempuan Korea untuk
menuntut kesetaraan gender diharapkan dapat mengajak penonton membuka
pandangan masyarakat dalam menyikapi kesetaraan gender. Permasalahan yang
akan diangkat dari film A Hot Roof adalah:
Bentuk ketidakadilan gender yang muncul dalm film yang
1.
merupakan
cermin realitas sosial pada masa tersebut.
2. Ide-ide feminis yang tergambar dari bagaimana beberapa tokoh
perempuan pemeran utama film ini berusaha melakukan perlawanan
terhadapnya.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk-bentuk ketidakadilan gender
dan mengungkapkan ide-ide feminis yang terkandung dalam film “Gae kateun
Nareui Ohu” atau yang dalam judul Inggrisnya “A Hot Roof” yang merupakan
cerminan mengenai situasi sosial masyarakat Korea pada tahun 1990-an. Secara
spesifik penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi
dan solusi kepada perempuan tentang kesadaran internal untuk menggerakkan
eksistensi diri dengan semangat kemandirian.
1.4 Tinjauan Pustaka
Pembicaraan mengenai perempuan dalam karya sastra dalam dekade ini
sudah banyak dilakukan. Perkembangan tersebut membuktikan bahwa eksistensi
perempuan yang selama ini disudutkan, kini mulai digugat. Gugatan tersebut bisa
datang dari kaum perempuan itu sendiri ataupun dari sekelompok kaum laki-laki
yang prihatin akan nasib kaum perempuan yang selalu dianggap rendah. Salah
satu media yang dinilai representatif untuk menyampaikan permasalahan tersebut
adalah karya sastra.
Untuk mengungkapkan isi kandungan karya sastra sehingga dapat dipahami
oleh masyarakat luas diperlukan cara kerja ilmiah yang bertanggung jawab.
Dalam dunia akademik, salah satu cara untuk mengungkapkan kandungan karya
satra adalah melalui penelitian ilmiah sesuai dengan prosedur dan teori yang tepat.
Dari sejumlah teori yang digunakan untuk membedah karya sastra, salah satu teori
yang bisa mengungkapkan fenomena perempuan dalam karya sastra adalah kritik
sastra
feminis. Dengan menggunakan teori tersebut, diharapkan dapat
mengungkapkan permasalahan perempuan yang tercermin dalam karya sastra.
Berdasarkan penelusuran terhadap sumber-sumber tertulis, terdapat
beberapa penelitian ilmiah yang mengungkapkan eksistensi kaum perempuan
Korea dalam sebuah film yaitu penelitian mahasiswa jurusan Bahasa Korea
Universitas Gadjah Mada angkatan 2007 yang telah meneliti tentang ide-ide
feminis sebagai resistensi terhadap ketidakadilan gender kajian kritik feminis
terhadap film yang berjudul Hwang Jin Yi. Evita (2007) menyimpulkan jika tokoh
Jin Yi yang berperan sebagai gisaeng telah menunjukkan perlawanan terhadap
penindasan dan ketidakadadilan yang berlaku pada dirinya. Dia bereaksi dengan
caranya sebagai protes atas tindakan ketidakadilan atas wanita yang berprofesi
sebagai gisaeng. Akan tetapi, perlawanan tersebut belum sepenuhnya berhasil
karena masih terbelenggu dengan adat istiadat setempat.
Penelitian ilmiah lain yang mengungkapkan tentang eksistensi kaum
perempuan Korea dalam sebuah film yaitu skripsi berjudul ide-ide feminis sebagai
bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan gender dalam film 미인도 (The
Portrait of Beauty) yang ditulis mahasiswa jurusan bahasa Korea yang bernama
Edlina Adiaty. Film yang menceritakan tentang perjalanan hidup seorang pelukis
wanita yang terpaksa menjadi laki-laki itu berkesimpulan akhir pada terwujudnya
usaha atas pengungkapan rasa cinta tokoh utama wanita yang bernama Shin Yun
Bok kepada pria yang disukainya. Tokoh wanita ini mampu menginspirasi para
wanita untuk tidak malu untuk mengungkapkan keinginannya.
1.5 Landasan Teori
Untuk mendapatkan hasil analisis yang maksimal berdasarkan permasalahan
yang diutamakan sebelumnya, penelitian ini menggunakan landasan teori yang
tepat untuk mengungkapkan maksud penelitian yang akan dilakukan. Disamping
itu, untuk mengungkapkan permasalahan perempuan yang tercermin dalam karya
sastra secara komprehensif, penelitian ini menerapkan teori kritik sastra feminis
untuk menguraikan ide-ide feminis yang terkandung dalam sebuah film yang
diciptakan dari realitas sosial masyarakat Korea pada saat itu. Dengan demikian
penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan kondisi sosial khususnya pada
kaum perempuan di Korea pada era tahun 1990-an.
Sejak berlangsungnya gerakan feminis di negara Barat, kaum wanita yang
melakukan kegiatan ilmiah di lingkungan Universitas juga mulai berkembang,
khususnya sekitar tahun 1960 (Ihromi, 1995: 14). Feminisme sebagai suatu
gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan kaum suffrage, yaitu suatu
gerakan untuk memajukan perempuan baik mengenai kondisi kehidupan maupun
tentang status dan perannya. Inti perjuangan kaum suffrage adalah pergolakan
kaum sosialis yang menyadari bahwa di dalam masyarakatnya ada suatu golongan
manusia yang belum terpikirkan nasibnya.
Feminis itu sendiri berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan
(tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan
(jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Tujuan feminis menurut Ratna
(2004: 184) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan
yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang
dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya.
Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin
menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah
perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam
hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan
hanya dianggap sebagai “bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya
pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus
berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia.
Gerakan feminis sudah berkembang pesat pada tahun 1960-an di Amerika
Serikat, yang merupakan suatu gerakan politik di beberapa negara barat tertentu.
Sedangkan ciri lain yang bisa menandai tahun 1960 ialah bahwa gerakan politik
dan kegiatan akademis yang memilih perempuan sebagai fokus perhatiannya
dianggap sebagai tahap pertama dari perkembangan kajian wanita. Sebagai
kelanjutan dari anggapan ini, maka yang dianggap sebagai inti pandangan
feminisme ialah setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat
memilih apa yang menurut ia baik. Artinya, yang baik bukan yang ditentukan
kaum lelaki atau orang lain baginya sebagai perempuan.
Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra
feminis yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik
sastra feminis seperti yang disebutkan dalam Reading as A Woman oleh Millet
bukan berarti pengkritik wanita, kritik tentang wanita, atau kritik tentang
pengarang wanita melainkan bertugas untuk menganalisis ide-ide pengarang
tentang perempuan dalam karya sastra. Reading as A Women menurut Culler yaitu
menghindari melihat suatu karya sastra dari sudut pandang pembaca laki-laki
tetapi mengidentifikasi dan mengoreksi suatu karya sastra dari sudut pandang
wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran
khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan
budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan
kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris atau patrialkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan
dan pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, unsur
karya dan faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra.
Endraswara mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian
feminisme yang difokuskan adalah kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam
sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan dan
memperhatikan faktor pembaca sastra (.Endraswara 2003: 146 via Evita).
Jika pada mulanya penelitian feminis mengenai media meneliti “citra
tentang perempuan”, maka sejak pertengahan tahun 1970-an dan seterusnya,
banyak feminis yang bergelut dengan film, media dan kajian budaya mulai
mengalihkan perhatiannya pada „citra untuk perempuan‟ (Brunsdon 1991, 365).
Film perempuan sudah menjadi kategori penting dalam industri perfilman karena
target penontonnya perempuan, suatu strategi yang sering dikaitkan dengan
sinema Hollywood „klasik‟ tahun 1930-an, 1940-an dan 1950-an. Oleh karena
alasan ini, film-film dari periode inilah yang menarik sebagian besar perhatian
kritikus feminis.
Meskipun ada fakta yang menyebutkan bahwa film perempuan sebagai
suatu kategori berkaitan juga dengan berbagai macam genre, tapi masih
memungkinkan untuk mengidentifikasi sejumlah ciri-ciri utama yang memberikan
koherensi pada kategori film perempuan ini. Misalnya, Maria La Place
berpendapat bahwa film perempuan dibedakan oleh tokoh utamanya yang
perempuan, sudut pandang perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat di
sekitar realisme tradisional pengalaman perempuan seperti keluarga, rumah
tangga, percintaan, emosi, dan pengalaman yang terjadi sebelum munculnya
tindakan atau peristiwa. Salah satu aspek terpenting dari genre ini adalah adanya
suatu tempat mencolok yang sesuai dengan hubungan antara perempuannya.
(1987, 139). Patricia White berpendapat, film perempuan menghubungkan fokus
pada “penggambaran perempuan” dalam kritik sosiologis, yang menjadi
keprihatinan sinefeminis, dengan “figur perempuan” (1998, 122).
Bagi Rosen, film „merefleksikan perubahan citra perempuan yang
terdistorsi: „Cinema Women (perempuan dalam sinema) adalah Popcorn Venus
(pemanis), hybrid distorsi budaya yang menyenangkan tetapi tidak substansial‟
(Rosen 1957, 13). Rosen mengatakan bahwa citra feminin yang „salah‟ ini mengisi
kepala (kosong) para penonton perempuannya. Haskell juga berpendapat senada,
bahwa film tidak hanya merefleksikan „defenisi peran yang diterima masyarakat‟
tetapi juga memaksakan definisi feminitas yang sempit ini (1987): “Film adalah
lahan yang kaya akan penggalian stereotipe perempuan….” kalau kita melihat ada
stereotipe dalam film, hal ini terjadi karena stereotipe ada dalam masyarakat‟
(Hollows 2000: 30).
Meskipun film-film di masa lalu merefleksikan perilaku kemasyarakatan
bahkan terkadang memberikan inovasi pada perilaku kemasyarakatan tersebut,
tetapi sejak tahun 1950-an film memperlihatkan adanya „keretakan kredibilitas‟
dan menjadi lebih merendahkan perempuan dibandingkan masyarakat sendiri
(Hollows 2000: 37). Sama buruknya, sebagai proyeksi nilai-nilai laki-laki
(Hollows 2000: 39), film pada tahun 1960-an menanggapi tuntutan perempuan
akan kesetaraan dengan serangan balik: sinema menjadi lebih kasar terhadap
perempuan dan „pelecehannya terhadap perempuan sangat monolitik (Hollows
2000: 370). Namun Heskell menemukan suatu gambaran yang lebih kontradiksi
tentang perempuan dalam film perempuan tahun 1940-an dan mencoba mencari
tahu mengapa film-film disepelekan, melalui kaitannya dengan perempuan.
Sebagaimana Rosen mengungkapkan adanya perayaan akan kekuatan perempuan
dalam beberapa film ini, Haskel juga mengungkapkan bahwa film-film ini tidak
hanya menempatkan perempuan „di pusat semesta‟ (1987, 155) tetapi juga
memperlihatkan bahwa ranah pribadi dan hubungan pribadi adalah hal penting
dan bukan hal sepele.
Haskell dan Rosen beranggapan bahwa „pesan‟ suatu film dapat
ditransmisikan tanpa masalah kepada penonton yang pasif. Namun, penekanan
Haskell dan Rosen saat mengupas hubungan antara teks film diproduksi dan
dikonsumsi masih merupakan hal penting. Terlebih, Haskell khususnya,
mengungkapkan bahwa daripada feminitas menjadi entitas yang monolitik dan
transhistoris, maka dinegosiasikanlah gagasan feminitas yang berbeda-beda dalam
film baik di antara maupun di dalam periode historis.
Sejak tahun 1971, hubungan antara feminisme dan film sudah dimantapkan
dengan peluncuran jurnal film feminis pertama, Women and Film di Amerika,
organisasi festival film feminis, dan produksi dokumenter feminis (Thornham
1977, 12-13). Feminis pada periode itu menggandrungi film dokumenter seakan
film dokumenter adalah praktik film yang bisa merepresentasikan perempuan dan
perkara feminis dengan sangat „akurat‟ dan „jujur‟. Praktek dokumenter ini
mendapatkan kritikan yang sama dengan kritik „citra perempuan‟ yang
menganggap bahwa makna film feminis transparan dan memiliki „kebenaran‟
yang bisa dikomunikasikan tanpa masalah kepada penontonnya (Kuhn 1982, 149;
Citron 1988, 52). Lagi pula posisi ini mengistimewakan sutradara/penulis sebagai
orang yang berpengetahuan, oleh sebab itu menghasilkan berbagai pemikiran
tentang efek media berdasarkan teori budaya massa (Kaplan 1983, 127).
Pemikiran ini menciptakan hierarki yang memosisikan pembuat film feminis
sebagai perempuan yang tahu dan dapat mengungkapkan kebenaran kepada para
penonton yang tidak begitu tahu.
Untuk menganalisis permasalahan perempuan, di Barat telah dikembangkan
beberapa perspektif yang masing-masing perspektif mencoba mendeskripsikan
keterbelakangan atau opresi yang dialami oleh kaum perempuan. Perspektif
feminis tersebut antara lain adalah feminisme liberal, feminisme Marxis,
feminisme radikal, feminisme psikoanalisa, feminisme sosialis, dan feminisme
eksistensialis (Ihromi 1995: 85). Kelima persfektif yang terakhir merupakan
perspektif yang bereaksi terhadap feminisme liberal. Oleh karena itu, Tong
mengajak untuk menganalisis feminisme liberal terlebih dahulu sebelum
mengenali lebih lanjut kelima perspektif feminis yang terakhir.
Feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft
(1959-1799) dalam tulisannya A Vindication of the Rights of Women (feminis
liberal abad ke-18) dan John Stuart Mill dalam tulisannya The Subjection of
Women (feminis liberal abad ke-19), Kemudian Betty Friedan dalam tulisannya
The Feminine Mystique dan The Second Stage. Penekanan mereka adalah
subordinasi wanita berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi
wanita untuk masuk ke lingkungan publik. Masyarakat beranggapan bahwa
karena kondisi alamiah yang dimilikinya, wanita kurang memiliki intelektualitas
dan kemampuan fisik dibandingkan pria. Dengan pemikiran tersebut, wanita
dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Namun hal
tersebut dibantah oleh feminisme liberal yang mendasarkan pemikirannya pada
konsep liberal tentang hakikat manusia. Tong berkesimpulan bahwa kaum feminis
liberal ini berkeinginan agar manusia, pria dan wanita mengembangkan
kepribadian yang androgini (suatu pendekatan konseptual yang tidak mengaitkan
derajat hierarki dengan jenis kelaminnya).
Feminis Marxis adalah reaksi terhadap pemikiran feminis liberal tentang
bagaimana meningkatkan status dan peranan wanita. Paham ini berpendapat jika
ketertinggalan yang dialami oleh wanita bukan disebabkan oleh tindakan individu.
Bertolak dari konsep Marxis tentang hakikat manusia (human nature) dan teori
Marxis tentang masyarakat, ekonomi dan politik, serta teori Engels tentang
keluarga dalam The Origin of the Family, Private Poverty and The State,
perspektif ini mencoba untuk memahami mengapa perempuan tidak pernah
memperoleh kesempatan yang sama dengan kaum lelaki, dengan menganalisis
hubungan antara status pekerjaan perempuan dengan citra dirinya. Oleh karena
itu, tidak sedikit feminis Marxis yang mempersoalkan hal-hal yang berhubungan
dengan masalah reproduksi (misalnya kehamilan, kelahiran dan mengasuh anak)
dan sekaligus seksualitas wanita (misalnya pornografi, pelacuran).
Jika feminis Marxis memfokuskan perhatiannya pada permasalahan wanita
yang berhubungan dengan pekerjaan wanita, Feminis radikal memberikan
perhatiannya kepada permasalahan wanita yang berkaitan dengan masalah
reproduksi dan seksualitas wanita. Asumsi dasar perspektif ini adalah patriarki,
yaitu sistem kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat yang menyebabkan
keterbelakangan wanita. Oleh karena itu, sistem patriarki ini tidak hanya harus
dirombak, tetapi harus dicabut dari akarnya. Feminis radikal ini sebetulnya
bereaksi terhadap mereka yang anti-feminis yang berpendapat bahwa keadaan
biologi wanita yang berbeda dari pria adalah kehendak alam yang tidak dapat
diubah yang merupakan takdir atau kodrat. Menurut feminis radikal, keteraturan
alamiah tidak perlu dipertahankan karena hal tersebut hanya akan menghambat
kemajuan wanita saja.
Feminisme Psikoanalisis ini bertolak dari teori Freud yang menekankan
seksualitas adalah unsur yang krusial dalam pengembangan hubungan gender.
Perbedaan ini berakar pada perbedaaan psyche wanita dan pria. Perbedaan psyche
wanita dan pria berbeda disebabkan oleh perbedaan biologi antara kedua jenis
kelamin. Menurut Freud, anak dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa,
harus melewati beberapa tahapan perkembangan psikoseksual. Temperamen
mereka setelah dewasa sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka melalui
tahapan perkembangan psikoseksual tersebut.
Feminisme Sosialis muncul karena ketidakpuasan terhadap analisis feminis
Marxis yang pada intinya berdasarkan pada pemikiran Marxis yang buta gender.
Artinya, masalah kelas sosial tidak ada sangkut pautnya dengan masalah gender
yang hidup dalam masyarakat. Munculnya perspektif ini juga karena
ketidakpuasan terhadap analisis feminis radikal psikoanalisis. Asumsi yang
digunakan oleh feminis sosialis adalah hidup dalam masyarakat yang kapitalistik
bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan wanita. Selain di negara
kapitalis, di negara-negara sosialis, para wanitanya juga terjun dalam pasaran
tenaga kerja dan sebagian besar secara ekonomi mereka sudah mandiri. Namun,
dalam kenyataannya mereka masih hidup dalam kungkungan sistem patriarki.
Untuk mengatasi keterbatasan perspektif feminis Marxis, feminis radikal dan
feminis psikoanalisis, feminis sosialis mengembangkan 2 pendekatan yang
berbeda yaitu „dual system theory’ yang dibagi menjadi 2 yaitu suatu teori yang
menggabungkan penjelasan tentang patriarki yang non-matrealis dengan
penjelasan kapitalisme yang matrealis dan unified-system theory sebagai contoh
pembagian kerja berdasarkan gender sebagai konsep tunggal. Teori yang pertama
menjelaskan bahwa patriarki dan kapitalisme adalah bentuk-bentuk hubungan
sosial khusus, yang apabila keduanya sama-sama berkembang dan berlaku akan
menindas wanita lebih buruk lagi. Teori pertama yang menjelaskan kapitalisme
sebagai struktur materil yang secara historis berakar dalam „mode of production’
(cara bagaimana produksi dilakukan), yang digabungkan dengan teori yang
menjelaskan patriarki sebagai struktur materil yang secara historis berakar dalam
mode of production/sexuality. Teori sistem berganda ini dikembangkan oleh Heide
Hartmann dalam bukunya The Unhappy Marriage Between Marxism and
Feminism. Sebaliknya, Unified-systems theory mencoba menganalisis kapitalisme
dan patriarki secara bersama-sama dengan menggunakan satu konsep. Menurut
teori ini kapitalisme dan patriarki tidak dapat dipisahkan, seperti halnya pikiran
yang tidak dapat dipisahkan dari badan. Mereka yang mengembangkan teori ini
adalah Irish Young dalam tulisannya Beyond Unhappy Marriege Nature.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang lazim terjadi. Menurut
Diarsi (La Pona dkk., 2002: 9), hal ini dipicu oleh relasi gender yang timpang,
yang diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan antar jenis kelamin, yang
berkaitan erat dengan kekuasaan. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran
antara hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan
dalam status lebih rendah daripada laki-laki. Fakih (1997: 17) menyatakan bahwa
kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber,
namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan,
disebabkan oleh anggapan gender. Fakih menyebutnya sebagai gender-related
violence.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata
seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender, yakni suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional,
jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan (Fakih 1996: 8).
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat
bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun
negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender menjadi ketentuan Tuhanseolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaanperbedaan gender yang dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat
perempuan. Fakih (1996) menyatakan jika perbedaan gender (gender differences)
pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak
menimbulkan masalah, maka tidak digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah
dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur
“ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender
tersebut.
Dari studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis gender, banyak
ditemukan
berbagai
manifestasi
ketidakadilan
seperti:
pertama,
terjadi
marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum permpuan. Meskipun tidak
setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun
yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan
oleh perbedaan gender. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis
kelamin, umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga masyarakat
maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa „menganggap penting‟ kaum
perempuan. Ketiga, pelabelan negatif (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu,
dan akibat dari stereotipe merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender lain.
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu. Stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.
Salah satu jenis stereotipe adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak
sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang
bersumber dari penandaan (stereotype) yang dilekatkan kepada mereka. Keempat,
kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun
intergritas mental psikologis seseorang. Pada dasarnya kekerasan gender
disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat menyebabkan munculnya
bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender seperti
pemerkosaan, pemukulan dan serangan fisik dalam ranah domestik, penyiksaan
yang mengarah kepada organ alat kelamin, kekerasan dalam bentuk pelacuran,
pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana, serta pelecehan
seksual (Fakih, 1997: 17-20)
Espiritu (Dzuhayatin dan Yuarsi, 2002:8) mengatakan bahwa secara
struktural, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi penundukan
yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih
inferior dibandingkan dengan laki-laki. Secara kultural, budaya patriarki
memberikan legimitasi terhadap keniscayaan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan secara seksual menurut Skaine (Dzuhayatin dan
Yuarsi, 2002: 9) disebabkan oleh kecenderungan kaum laki-laki dalam
menempatkan diri sebagai kelompok dominan yang mengendalikan seksualitas
dan identitas gender perempuan. Oleh karena itu kaum laki-laki memberlakukan
mekanisme kontrol terhadap perempuan yang oleh Sheffield disebut sebagai
sexual terrorism, yakni sistem ideologi yang diberlakukan oleh laki-laki terhadap
perempuan yang termanifestasikan melalui kekerasan (Dzuhayatin dan Yuarsi,
2002:9).
Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan mengenai kekerasan fisik,
salah satunya adalah Meiyenti (1996: 6-7) yang menjelaskan jenis-jenis kekerasan
fisik yang melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul,
menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta
melukai dengan barang atau senjata.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah sebagai pengelola rumah
tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak
dan lebih lama (burden). Menurut Bhasin, laki-laki mengontrol produktivitas
perempuan di dalam dan di luar rumah tangga, dalam kerja bayaran. Di dalam
rumah tangga, perempuan memberikan semua pelayanan untuk anak-anak, suami
dan anggota keluarga lainnya, sepanjang hidupnya. Hal ini oleh Sylvia Walby
(Bhasin, 1996: 5) disebut sebagai “mode reproduksi patriarkal” karena kerja
perempuan diperas oleh suami dan orang lain yang tinggal disana. Menurut
Walby, perempuan adalah kelas yang memproduksi, sementara suami adalah kelas
yang mengambil alih produksi, kerja berulang-ulang tanpa akhir yang sangat
melelahkan, sama sekali tidak dianggap kerja dan ibu rumah tangga dianggap
tergantung pada suami. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus
bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga,
mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air
untuk mandi hingga mengasuh anak. Semua manifestasi ketidakadilan gender
tersebut saling berkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi
ketidakadilan itu “terisolasi” kepada kaum laki-laki dan perempuan secara
mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi
terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan
kodrat.
1.6 Metode Penelitian
Sehubungan dengan judul penelitian yaitu “Bias Gender dalam film A Hot
Roof karya Kim Min Yeong ”, maka penelitian yang dilakukan adalah melalui
pendekatan yang dilakukan bersifat kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini
banyak menggunakan data dalam bentuk kata-kata. Penelitian ini memiliki
metode penelitian sebagai berikut:
a.
Menentukan objek formal penelitian yaitu ide-ide feminis
b.
Menentukan objek penelitian berupa film berjudul “A Hot Roof”
yang disutradai oleh Lee Min Yeong pada tahun 1995. Objek material sebagai
acuan utama untuk memperoleh dan memproses analisis data.
c.
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan . Studi kepustakaan digunakan untuk mencari informasi yang
berguna dan mendukung penelitian. Sumber tertulis yang digunakan sebagai
referensi adalah buku, disertasi, thesis, makalah, jurnal, artikel serta skripsi yang
berhubungan dengan tema. Metode pengumpulan data tentang proses produksi
film, komentar publik seputar film A Hot Roof selain didapat dari sumber pustaka
juga didapat dari sumber internet.
d.
Metode analisis data dilakukan dengan mengolah objek penelitian
yaitu film A Hot Roof dari data berupa audio visual menjadi teks serta transkripsi
dan transliterasi dialog film A Hot Roof. Data yang telah dipeoleh tersebut
kemudian dianalisa berdasarkan kritik sastra feminis dan menemukan ide-ide
feminis yang terdapat dalam film tersebut.
e.
Membuat kesimpulan akhir sebagai laporan dari hasil akhir
penelitian yang diharapkan dapat menjawab secara ringkas mengenai isi
pembahasan analisis film A Hoot Roof.
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil penelitian iini akan dibagi menjadi beberapa bab
yang terdiri dari:
a.
Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penyajian.
b.
Bab II berupa identifikasi tokoh-tokoh yang ada dalam film A Hot
Roof yang penyajiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu tokoh profeminis dan
kontrafeminis.
c.
Bab III berupa manifestasi ketidakadilan gender dalam film A Hot
Roof. Keterbatasan pilihan yang dimiliki perempuan berdasar atas status sosialnya
dalam masyarakat serta manifestasi ketidakadilan gender yaitu kekerasan,
stereotipe dan subordinasi serta penjelasan beberapa adegan yang mencerminkan
manifestasi ketidakadilan gender.
d.
Bab IV berupa ide-ide feminis sebagai intisari dari film A Hot Roof
dalam perannya sebagai rejeksionis terhadap ketidakadilan gender pada masanya.
e.
Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Download