KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKELANJUTAN 1.1. Kriteria Pembangunan Berkelanjutan World Commission on Environment and Development mendefinisikan Sustainable Development sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mempersoalkan kamampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri." Walaupun ada ketidakjelasan pada definisi pembangunan yang bisa membangkitkan berbagai pertanyaan mengenai kemapanan hari ini dan esok: apakah hari ini harus lebih buruk dari esok dan bagaimana kompensasi yang harus diberikan bila kemapanan hari ini sangat baik ?,telah diputuskan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang mengakibatkan kemapanan menurun. Masalah yang timbul adalah: jika kemapanan masa depan tidak boleh menurun, generasi mendatang harus memiliki akses yang efektif terhadap basis sumber daya seperti yang dinikmati oleh generasi sekarang. Tapi efektifitas sangat bergantung pada teknologi yang saat ini belum diketahui, dan juga bagaimana generasi saat ini bisa mengetahui kebutuhan generasi masa depan? Isu-isu pun bermunculan sehubungan dengan ketidakpastian dan perimbangan antara modal lingkungan dan modal buatan manusia. Pemerhati lingkungan tidak akan senang apabila yang dihitung hanyalah nilai total saham saja karena nilai penting lingkungan akan tidak dihitung secara memadai. Lagipula sumber daya alam memiliki keterbatasan yang tidak bisa dilanggar. Memang harus disadari bahwa sampai saat ini tidak ada satupun definisi operasional yang disepakati. Namun beberapa orang mengajukan sejumlah aturan kerja/kebijakan yang mereka anggap penting agar pengembangan seperti itu bisa dicapai. Dari berbagai aturan kerja ini ada tiga yang dianggap penting, yakni (1) Ekuitas, dinyatakan bahwa kerusakan alam akan terjadi jika kebutuhan dan keinginan masyarakat yang paling miskin tidak terpenuhi; (2) Resilience/daya pegas, atau kapasitas sebuah sistem untuk menjaga pola struktur dan perilakunya ketika berhadapan dengan gangguan luar; (3) Efisiensi, yaitu nilai output tertinggi harus dicapai dari nilai input apa pun. Gambaran skematis mengenai kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan yang bisa dicapai dalam skala luas ditunjukkan pada Gambar 2.1.. 2 DATA ILMIAH SOSIALEKONOMI VALUASI KEBIJAKAN MAKRO DAN MIKRO EKONOMI : PARATURAN FISKAL DAN HARGA PILIHAN INVESTASI DAN PROYEK AKUNTANSI LINGKUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KEBIJAKAN HUKUM DAN SOSIAL POLITIK Gambar 1.1 Skema kebijakan pembangunan berkelanjutan Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1, agar bisa mencapai ketiga definisi kerja pembangunanr yang bisa dicapai ini, tiga area kerja yang luas bisa diidentifikasi, yakni (1) Valuation/Penilaian, yaitu nilai sumberdaya alam harus dihitung dengan tepat termasuk yang tidak berhubungan dengan pasar dan aliran uang; (2) Regulasi, karena penilaian saja tidak cukup maka dibutuhkan kerangkakerja sosial dan hukum yang harus ditaati untuk memastikan penggunaan sumber daya yang lebih bisa tercapai; (3) Monitoring, agar generasi masa depan tidak ditinggali dengan basis sumber daya alam yang lebih rendah maka diperlukan perhitungan dengan menggunakan pencatatan pemasukan bersih yang dicapai walaupun masih membutuhkan kerangka kerja akuntansi yang diadaptasikan dengan penilaian lingkungan dan sumberdaya alam.. 1.2. Determinan Degradasi Lingkungan Ada tiga sebab berbeda yang tetap terkait sehubungan dengan masalah lingkungan, yakni: (1) masalah lingkungan yang disebabkan oleh salah alokasi sumber daya karena kesalahan pasar dan kebijakan pemerintah; (2) masalah 3 lingkungan bisa disebabkan oleh kesalahan distribusi sumber daya seperti misalnya tanah yang subur; (3) masalah lingkungan bisa disebabkan oleh terlalu besarnya beban pertumbuhan populasi dan kapasitas asimilasi manusia pada lingkungan sebuah negara. Klasifikasi diatas didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: kepuasan terhadap keinginan manusia berasal dari lingkungan, baik secara tidak langsung oleh transformasi bahan baku menjadi komoditi, atau secara langsung sebagai sumber layanan penunjang kehidupan dan kesenangan yang tidak dimediasi oleh produksi dan pertukaran komoditi. 1. Modal Alam Modal alam bisa dibagi menjadi tiga yakni: (1) modal alam tak bisa diperbaharui dan bisa dipasarkan (misal: minyak bumi); (2) modal alam bisa diperbaharui dan bisa dipasarkan (misal: sawah); dan (3) modal alam yang bisa diperbaharui dan tak bisa dipasarkan (misal: alam liar, batas air) Karena pentingnya sumberdaya alam bisa diperbaharui, maka pemusatan perhatian pada sumberdaya alam bisa diperbaharui bisa didapatkan basis jangka panjang bagi pembangunan berkelanjutan yang bisa dicapai. 2. Alokasi, Distribusi dan Skala Ada tiga hal berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang bisa diperbaharui untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan, yaitu : Alokasi merujuk pada pembagian aliran sumberdaya pada berbagai penggunaan yang bisa saja efisien maupun tidak efisien. Distribusi merujuk pada pembagian masukan dan pencapaian kemakmuran diantara individu dan keluarga. Skala merujuk pada dimensi fisik ekonomi yang relatif terhadap ekosistem tempatnya berada - bukan sebagai skala perusakan tunggal, namun sebagai seperangkat dari keseluruhan perusahaan dan rumahtangga dalam ekonomi. Ketiga kriteria ini memiliki aspek intra dan inter generational. Alokasi yang efisien terhadap tahapan kehidupan pada sejumlah orang adalah hal yang berbeda dengan distribusi antara beberapa orang (generasi) yang berbeda 4 1.3. Degradasi Lingkungan Berikut ini daftar manifestasi ekonomi degradasi lingkungan, yaitu : 1. Penggunaan sumberdaya secara berlebihan, pemborosan dan inefisiensi hadir bersama dengan langkanya sumberdaya, misalnya: kurangnya air pada beberapa negara di Asia (Thailand, Indonesia, Filipina) diakibatkan oleh sebagian petani menggunakan air secara berlebihan sehingga petani yang lain menjadi kekurangan. Juga. semakin menurunnya produktifitas perikanan tangkap karena jumlah armada perikanan yang bertambah tanpa kendali. 2. Sumberdaya yang semakin dipakai untuk penggunaan yang bernilai rendah, memiliki hasil rendah dan tidak sustainable, padahal, penggunaan yang bernilai tinggi, memiliki hasil tinggi dan sustainable sudah ada, misalnya: di Thailand, dataran tinggi yang cocok untuk pohon buah-buahan ternyata ditanami singkong dan ditinggalkan ketika tanahnya menjadi tidak subur, padahal pada waktu itu buah-buahan akan memberikan hasil yang jauh lebih bagus. Atau penangkapan ikan ukuran kecil, yang seandainya diberi kesempatan untuk tumbuh dimungkinkan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. 3. Sumberdaya yang dapat diperbaharui yang bisa digunakan untuk sustainable management dieksploitasi sebagai sumber yang ditambang, misalnya: fakta bahwa penebangan hutan mangrove tidak diikuti dengan penhijauan yang memadai. Atau juga penggunaan peledak atau bahan kimia (potas) untuk mempermudah menangkap ikan berakibat rusaknya terumbu karang, padahal jika penangkapan dilakukan secara ramah akan memperoleh hasil yang berkelanjutan tanpa merusak terumbu kjarang tersebut. 4. Sebuah sumberdaya digunakan untuk pemakaian tunggal, padahal pemakain ganda akan memberikan keuntungan bersih yang lebih besar, misalnya: hutan tropis biasanya hanya digunakan sebagai penghasil kayu saja, padahal konservasi tanah dan air, keragaman hayati dan hal lain akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Juga kondisi lautan kita, seharusnya tidak hanya untuk menghasilkan ikan , tapi juga untuk wisata jasa lingkungan. 5. Investasi pada basis proteksi dan peningkatan sumberdaya tidak dijalankan meskipun mereka akan memberikan hasil bersih positif dengan meningkatkan produktifitas dan keberlanjutan, misalnya kegagalan banyak petani di Asia dan 5 Afrika untuk berinvestai pada pengembangan lahan pertanian dan konservasi tanah untuk mengurangi erosi dan meningkatkan irigasi. 6. Banyak biaya dan usaha digunakan padahal dengan sedikit usaha dan biaya akan memberikan hasil yang lebih besar, lebih menguntungkan dan lebih sedikit kerusakan pada sumberdaya, misalnya: industri perikanan yang membutuhkan lebih banyak pekerja dan modal yang hasilnya ternyata tidak bisa sampai maksimum dan hampir tidak ada surplus ekonomi. Setiap keuntungan yang bisa didapatkan dari usaha perikanan selalu minim bila dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Pada jangka panjang, pemancingan yang berlebihan akan menghasilkan pengurangan produktifitas stok, semakin rendah output dan perubahan komposisi mengarah pada spesies ikan dengan nilai yang rendah (lihat Panayotou, 1982) 7. Komunitas lokal, suku, atau kelompok lain seperti wanita tidak diberikan tempat atau kehilangan hak-haknya untuk mengakses sumberdaya tertentu padahal dengan kehadiran mereka atau pengetahuan khususnya, tradisi dan ketertarikan pribadi, bisa saja kelompok itu adalah manajer terbaik untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut, misalnya: wanita Afrika yang memiliki kewajiban mengatur sumberdaya tapi kekurangan akses kepada hak milik tanah, penyuluhan dan kredit, tidak memiliki pilhan lain kecuali untuk menggunakan secara berlebihan lahan pertanian atau perikanan yang seharusnya tidak digarap. 8. Proyek publik yang dilakukan tidak memberikan keuntungan yang cukup untuk mengkompensasi segala hal yang terkait (termasuk lingkungan) sampai pada level dimana mereka dinyatakan lebih baik dengan atau tanpa proyek itu, misalnya: proyek publik bertujuan untuk meningkatakan kemakmuran secara keseluruhan atau meningkatkan pembangunan ekonomi, tidak menyentuh redistribusi pendapatan. Proyek yang menguntungkan kaum miskin daripada yang kaya harus lebih dicermati. Karena itu, proyek publik harus benar-benar mengkompensasi segala hal yang terkait termasuk generasi masa berikutnya. 9. Kegagalan mendaur ulang sumberdaya dan produk sekunder ketika daurulang akan memberikan keuntungan bagi ekonomi maupun lingkungan, misalnya: industri kelapa sawit di Indonesia, sisa produksi kelapa sawit bisa digunakan sebagai pupuk dan dimanfaatkan secara ekonomis, atau limbah kepala udang untuk menghasilkan produk nilai tambah, akan tetapi limbah ini ternyata dibuang ke sungai yang malah mengakibatkan pencemaran. 6 10. Situs dan habitat unik menghilang dan spesies flora dan fauna seperti ikan trubuk ikut punah tanpa-alasan ekonomis yang bisa mengkompensasi nilai keunikan dan keragaman serta biaya kehilangan yang tak dapat direstorasi itu. 1. Penyebab Degradasi Lingkungan A. Kegagalan Pasar (1). Kegagalan Pasar Yang Mengarah Pada Kerusakan Lingkungan Pasar yang berfungsi baik biasanya merupakan mekanisme yang efisien untuk mengalokasikan sumberdaya antara penggunaan dan jangka waktu. Sebaliknya, banyaknya penggunaan tidak efisien terhadap sumberdaya alam dan lingkungan bisa dilacak dari pasar yang terdistorsi, malfungsi, atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan oleh harga-harga pada pasar tersebut tidak mencerminkan harga dan biaya sosial yang sebenarnya dari penggunaan sebuah sumberdaya. Kegagalan pasar yang paling penting yang mempengaruhi penggunaan dan manajemen sumberdaya adalah: 1. Hak properti yang didefinisikan secara buruk atau bahkan sama sekali tidak ada yang sebenarnya sangat penting bagi efisiensi operasi pasar. 2. Sumberdaya yang tidak diberi harga dan pasar yang tipis atau bahkan tidak ada. 3. Eksternalitas yang tidak terhitung tapi selalu hadir, efek tak langsung atau hubungan intersektoral yang tetap berada diluar domain pasar. 4. Tingginya biaya transaksi yang menghalangi pertukaran menguntungkan yang bisa saja melindungi sumberdaya dan peningkatan kemakmuran sosial. Biaya traksaksi mencakup biaya negosiasi informasi, monitoring dan penyelenggaraan. 5. Barang publik yang tidak bisa dan/atau seharusnya tidak diberikan oleh sektor swasta melalui pasar karena baik ketidak mampuan untuk meninggalkan free-rider dan mengembalikan biaya persediaan barang-barang karena pengeluaran, walaupun secara teknis memungkinkan, akan mengurangi kemakmuran sosial. 6. Ketidaksempurnaan pasar, khususnya kurangnya kompetisi dalam bentuk monpoli lokal, oligopoli dan pasar yang tersegmentasi. Yang sangat kritis bagi konservasi dan manajemen sumberdaya adalah ketidaksempurnaan pasar modal. 7. Pandangan yang dangkal pada tahapan horizon perencanaan yang terlalu pendek atau tingkat pembebanan yang terlalu tinggi yang berasal dari kemiskinan, ketidaksabaran, dan resiko ketidakpastian yang mempengaruhi individu tapi bukan masyarakat secara keseluruhan. 7 8. Keengganan terhadap ketidakpastian dan resiko yang bisa saja mengarah pada tingkat pembebanan biaya yang tinggi tapi juga ketidakinginan untuk melakukan investasi yang seharusnya menguntngkan tapi memiliki variasi kembalian yang lebar. 9. Tidak bisa diputar balik : ketika keputusan pasar dalam ketidakpastian mengarah pada hasil-hasil yang tidak bisa diputarbalik pasar tersebut bisa saja gagal mengalokasikan sumberdaya secara bijaksana. (2). Ketidakamanan Kepemilikan Sumberdaya Hak kepemilikan harus didefinisikan dengan baik, bila tidak akan mengakibatkan pada kompetisi klaim yang menyebabkan ketidakpastian pemilik dan menahan investasi, konservasi dan manajemen. Hak properti juga harus bersifat eksklusif dalam hal bahwa orang lain tidak memiliki hak yang sama atau bersaing pada satu sumberdaya tertentu. Hak properti juga harus aman, jika yang diinginkan adalah investasi jangka panjang maka hak properti juga harus tanpa batas waktu karena sertifikat tanah yang memiliki jangka waktu tertentu tidak akan memberikan keuntungan yang diinginkan sesuai dengan waktu dan kerangkakerjanya. Hak properti juga harus bisa dijalankan dan yang terakhir hak properti harus secara legal bisa dipindahtangankan, melalui peminjaman, penjualan atau warisan. Jika tidak, msks segala insentif untuk investasi dan konservasi akan sangat berkurang dan efisiensi alokasi sumberdaya akan dikompromikan. Untuk berbagai alasan historis dan sosiokultural, hak properti terhadap berbagai sumberdaya alam masih didefinisikan secara buruk, tidak aman dan pada bebarap kasus malah tidak ada. Sumberdaya yang dimiliki secara tidak aman mencakup (a) lahan pertanian swasta, (b) sumberdaya hutan dan tanah hutan milik umum, (c) sistem irigasi dan sumberdaya air, (d) zona pantai dan sumberdaya perikanan, dan (e) sumberdaya lingkungan. (3). Sumberdaya Yang Tak Diberi Harga dan Tidak Ada Pasar Tidak ada pasar dan karenanya tidak ada harga untuk sumberdaya dengan akses terbuka karena tidak adanya pemilik eksklusif dan aman yang seharusnya meminta harga itu. Tanpa adanya penjual dan pembeli, pasar bagi sumberdaya dengan akses terbuka tidak akan berkembang dan harga sumberdaya itu akan tetap bernilai nol meskipun jumlah mereka mulai menipis. Dengan nilai harga nol (gratis) dan tidak 8 ada pasar untuk melaporkan kelangkaannnya, maka sumberdaya alam yang punah dalam tingkat yang sangat cepat bukanlah sesuatu yang mengejutkan walaupun permintaan sangat tinggi dan pasokan (konservasi) sangat rendah (nol) pada harga nol. Oleh karena itu harga adalah mekanisme yang mengatur dan mengurangi kelangkaan sumberdaya melalui penetapan pasokan dan permintaan. Perlu dicatat juga, ketidakadaan pasar dan harga tidak hanya terbatas pada sumberdaya dengan akses terbuka seperti perikanan dan lingkungan, sumberdaya seperti hutan dan tanah hutan yang merupakan sumberdaya milik negara, sehingga pasar properti ini akan sangat tipis yang merupakan sumber kegagalan pasar itu sendiri. Salah satu contoh dari pasar yang tipis ini adalah sistem pengairan dimana negara memberikan pengairan tanpa menarik biaya yang pada akhirnya akan berdampak: (1) air digunakan secara tidak efisien dan diboroskan dan tidak ada usaha untuk mengkonservasinya meskipun air sudah semakin jarang, (2) negara tidak bisa mengembalikan modal, biaya operasi dan perawatan yang mengakibatkan layanan irigasi akan berkinerja buruk, (3) masalah lingkungan yang serius seperti sedimantasi, salinasi tanah dan waterlogging dari memburuknya aliran air dan irigasi yang berlebihan sementara daerah lain yang bisa dialiri air malah tidak mendapatkannya, (4) secara tidak langsung petani-petani / petambak yang berada di dekat kanal irigasi mendapatkan subsidi dari petani-petani yang berada jauh dari kanal yang sama-sama membayat pajak tapi mendapatkan sedikit akses pada air irigasi. Memang memberikan harga pada air akan terdengar sangat aneh terutama pada negara-negara yang menganggap bahwa air adalah pemberian Tuhan, tetapi peningkatan potensi akan mendukung beberapa bentuk pemberian harga terhadap air ketika menghadapi kelangkaan air. Kunci untuk pemberian harga yang optimal terhadap sumberdaya alam adalah dengan mengidentifikasi dan mengukur secara tepat biaya-biaya sosial eksternal dan biaya pengguna intertemporal eksploitasi sumberdaya tersebut dan dengan menginternalisasi mereka atau memasangkan mereka pada konsumen saat ini melalui pemberian harga atau pajak yang tepat. 9 B. Kegagalan Kebijakan (1). Kegagalan Kebijakan Yang Mengarah Pada Kerusakan Lingkungan Kegagalan pasar mendorong adanya intervensi pemerintah. Tapi hal ini adalah kondisi yang penting, namun bukan yang mencukupi. Kondisi yang mencukupi adalah bila (a) intervensi pemerintah mengungguli pasar atau meningkatkan fungsi pasar, (b) keuntungan intervensi semacam itu mengungguli biaya perencanaan, implementasi dan pelaksanaannya sebagaimana segala biaya tak terduga dari distorsi yang diperkenalkan pada sektor ekonomi yang lain. Idealnya, intervensi pemerintah bertujuan untuk membetulkan atau paling tidak membenahi kegagalan pasar melalui pajak, regulasi, insentif privat, proyek publik, manajemen makroekonomi dan reformasi institusional. Tapi, pada prakteknya intervensi pemerintah cenderung membawa distorsi baru kepada pasar sumberdaya alam dan bukannya memperbaiki. Alasannya bisa bermacam-macam, misal (1) pembetulan kegagalan pasar jarang sekali menjadi tujuan satu-satunya atau tujuan utama ntervensi pemerintah; yang mendominasi justru tujuan lain seperti keamanan nasional, ekuitas sosial, manajemen makroekonomi dan stabilitas politik; (2) intervensi pemerintah sering kali memiliki konsekuensi tak terduga dan efek samping yang tak dikira atau malah tidak diperhatikan, (3) kebijakan seperti subsidi dan proteksi terhadap import atau kompetisi seringkali hidup lebih panjang daripada kegunaannya ketika mereka dikapitalisasi pada pengharapan masyarakat dan nilai properti yang membuat penghapusannya sangat sulit, (4) intervensi kebijakan cenderung mengumpulkan dan berinteraksi dengan yang lain secara halus dalam mendistorsi insentif pribadi dari aktifitas yang menguntungkan secara sosial, dan (5) kebijakan yang terlihat tidak berhubungan dengan sumberdaya alam dan lingkungan mungkin saja memiliki efek yang lebih besar terhadap kebijakan lingkungan dan sumberdaya alam. Jadi, kerusakan lingkungan tidak hanya hadir karena terlalu percaya pada pasar bebas yang gagal berfungsi secara efisien tapi juga dari kebijakan pemerintah yang secara tidak sengaja atau tidak bijak mendistorsi insentif bagi kebaikan overeksploitasi dan melawan konservasi sumberdaya yang berharga.. Kegagalan kebijakan bisa dikelompokkan menjadi empat jenis. 1. Distorsi dari pasar yang seharusnya berfungsi baik dengan cara memberikan pajak, subsidi, kuota, regulasi, perusahaan negara yang tidak efisien dan proyek publik 10 dengan kembalian ekonomi yang tipis dengan dampak lingkungan yang besar. Hal ini disebut sebagai "membetulkan sesuatu yang tidak rusak" 2. Kegagalan dalam menganggap dan menginternalisasi efek samping lingkungan yang signifikan daripada intervensi kebijakan yang dijamin. 3. Intervensi kebijakan yaang bertujuan membetulkan atau membenahi kegagalan pasar tapi malah berakhir dengan menghasilkan sesuatu yang lebih buruk daripada yang dihasilkan oleh pasar yang gagal. 4. Kegagalan mengintervensi kegagalan pasar ketika intervensi tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan fungsi pasar dan harus dibuat pada harga yang dibenarkan oleh keuntungan yang telah diperkirakan sebelumnya. (2). Kegagalan Yang Berhubungan Dengan Proyek Pembangunan Proyek publik adalah instrumen manjur bagi pemerintah untuk mengintervensi dan membenahi kegagalan pasar, tapi, bila digunakan secara tidak baik bisa menjadi sumber distorsi pasar yang besar. Pertama, karena kebanyakan proyek publik didanai secara langsung maupun tidak langsung dari pajak umum, mereka cenderung memenuhi investasi pribadi sebagaimana sumberdaya yang terbagi. Hal ini hanya menguntungkan jika proyek publik menghasilkan kembalian sosial/ekonomi yang leih besar daripada proyek pribadi. Kedua, proyek publik khususnya pada negara berkembang cendrung sangat besar baik dalam perbandingan dengan proyek pribadi maupun pada ukuran ekonomi yang membuatnya cenderung memiliki dampak pada ekonomi dan lingkungan, tapi tidak menghirauukan dampak lingkungan dan sosial.. Proyek infrastruktur seperti jalan dan sistem irigasi seringkali memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih besar dari pada pergantian fisik lingkungan alam dan segala hal yang menjadi efek sampingnya. Misalnya: pembangunan jalan melalui hutan yang masih alami tidak hanya membuat hutan harus ditebang tapi juga pada akhirnya membuka hutan karena banyaknya orang yang meramaikan jalan yang dibangun tersebut. Sangat mudah untuk menyalahkan pesatnya perkembangan populasi sebagai penyebab penggundulan hutan lalu merumuskan kontrol populasi. Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya. Penelitian ekonometrik mengenai sebab penggundulan hutan di timur laut Thailand menyimpulkan bahwa kepadatan populasi (bukan perkembangan populasi), kemiskinan, dan infrastruktur sebagaiman insentif ekonomi memainkan peranan signifkan dalam penggundulan hutan (Panayatou dan Sugsawan, 1989) 11 Distorsi tingkat proyek terhadap penggunaan sumberdaya secara efisien, kualitas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) muncul dari beberapa alasan berikut: (a) proyek dipilih berdasarkan persetujuan keuntungan atau analisis ekonomi yang sempit, (b) keuntungan dan biaya sosial didefinisikan terlalu sempit dalam hal lingkup ruang dan waktu, (c) efek lingkungan diperkirakan dan dinilai, tetapi sangat sulit dihitung dan dievaluasi, (e) tingkat pembebanan sosial yang terlalu tinggi, dan (f) tidak bisa diputarbalikkannya perubahan yang dihasilkan proyek. Walaupun ada kesulitan tapi tetap ada instrumen untuk mengevaluasinya. Pada tingkat pembebanan dua poin harus dipakai: (1) tingkat pembebanan tidak membedakan antara keuntungan lingkungan tapi pada keuntungan jangka panjang yang mungkin bisa menjadi keuntungan pengembangan; dan (2) tingkat pembebanan adalah parameter kebijakan publik yang bisa dipilh untuk meningkatkan perspektif jangka panjang. (3). Kegagalan Kebijakan Pasar Kualitas kota dan lingkungan industri adalah area dimana terjadi kegagalan pasar yang sangat mencolok. Lingkungan kota adalah sumberdaya property yang pada umumnya tidak diberi harga:berupa polusi lingkungan. Polusi liingkungan adalah eksternalitas yang internalisasinya membutuhkan biaya transaksi yang sangat tinggi karena adanya jutaan polutan dan pihak-pihak yang terkait. Meskipun ada perhatian yang meningkat mengenai lingkungan kota, tetap saja lingkungan tersebut masih dibahayakan oleh kenyataan adanya akses terbuka bagi rumah tangga dan industri untuk membuang limbah semaunya. Pembuangan libmbah yang bebas sama dengan kurangnya status hak properti terhadap lingkungan atau penggunaan kapasitasi asimiliatif lingkungan yang sudah terbatas secara gratis. Sumberdaya terbuka yang tidak memiliki harga biasanya digunakan secara berlebihan, kurang konservasi dan tidak diatur dengan baik. Industrialisasi dan intensifikasi pertanian, ternyata, tidak harus menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini tergantung pada jenis industri, distribusi tenpat, dan campuran input dan teknologi serta struktur insentif dan regulasi lingkungan yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan pendekatan regulasi langsung pemerintah menetapkan tingkat toleransi maksimum setiap polutan dan bergantung pada badan administratif dan 12 sistem peradilan untuk menegakkannya. Alternatif standard lainnya adalah standar ambient yang menentukan tingkat kualitas lingkungan minimal yang bisa diterima untuk ketersediaan sumber air atau aliran udara. Insentif seperti penghapusan pajak, percepatan depresiasi, pinjaman lunak atau subsidi ikhlas untuk adopsi teknologi produksi yang bersih atau konstruksi fasilitas pengolahan limbah yang tidak efisien dan juga tidak efektif. Regulasi dan subsidi langsung ini memiliki banyak kelemahan: (a) ia hanya bergantung pada setting terpusat dan penegakkan standard yang mahal dan tidak efektif; (b) ia meningkatkan inefisiensi karena membutuhkan reduksi yang sama untuk polusi dari segala sumber terlepas dari biayanya; (c) ia menekankan subsidi dan modal intensif; (d) ia menghasilkan birokrasi yang besar dan subsidi yang mahal; (e) membutuhkan badan lingkungan yang menguasai teknologi baik produksi maupun kontrol polusi untuk ratusan jenis industri; (g) pemenuhannya sangat terbatas; (h) badan lingkungan harus melakukan negosiasi tanpa akhir dengan penghasil polusi mengenai tipe peralatan yang harus dipasang; (i) resiko moral dimana penyuapan menjadi tinggi; dan (j) regulasi langsung mengakibatkan banyaknya kesempatan untuk perilaku rent-seeking. Kemacetan dan polusi di kota mendominasi kehidupan kota besar. Kebijakan yang dikeluarkan sehubungan dengan masalah ini tersedia mulai dari penambahan infrastruktur sampai tidak melakukan apa-apa. Penambahan infrastruktur seperti jalan hanya akan sedikit menunda sampai akhirnya masyarakat membeli lebih banyak mobil dan kemacetan akan terjadi lagi. Tidak melakukan apa-apa memiliki tujuan agar masyarakat tidak algi mau meningkatkan penggunaan mobil pribadi karena jalanan sudah sesak, tapi cara ini sangat tidak efisien. Harga yang harus dibayar: (a) hilangnya waktu produktif; (b) peningkatan penggunaan bahan bakar fosil; (c) peningkatan polusi udara; dan (d) peningkatan polusi suara. (4). Kegagalan Kebijakan Industri dan Perdagangan Yang Membawa Pengaruh Pada Kerusakan Lingkungan Kebijakan perdagangan dan industri mungkin terlihat memiliki hubungan yang jauh dengan penggunaan dan manajemen sumberdaya alam, tapi sebenarnya sangat penting, karena mereka mempengaruhi: (a) masalah perdagangan antara pertanian/ perikanan dan industri sehingga ada hubungan relatif antara keuntungan pada pertanian dan keuntungan pada sektor sumberdaya lainnya; (b) penggunaan 13 sumberdaya alam sebagai input industri; (c) tingkat penyerapan tenaga kerja dan karena itu sisa pekerja pedesaan mendesak tekanan pada sumberdaya alam (d) tingkat polusi industri. Masalah pertanian/ perikanan dai negara-negara Asia dan Timur Dekat memburuk pada beberapa tahun ini karena tingginya proteksi terhadap industri melalui tarif import dan insentif investasi yang mendukung efek merugikan bagi perpajakan pertanian. Untuk mengurangi tekanan pada basis sumberdaya pertanian, jumlah orang yang bergantung pada pertanian harus dikurangi melalui pemindahan pekerja ke dalam sektor-sektor yang lain. Menurunnya keuntungan pada bidang pertanian sebagai hasil proteksi industrial ternyata juga mengurangi investasi dalam hal investasi pada pengembangan lahan pertanian dan konservasi tanah baik karena berkurangnya kembalian pada investasi itu dan karena berkurangnya tabungan. Reformasi kebijakan industri yang paling penting adalah pengembalian keuntungan komparatif industri yang padat-karya melawan industri intensif modal yang berbasis daerah perkotaan yang diproteksi dan didukung kebijakan pemerintah.. Solusi terbaik adalah reformasi penyapuan bias industri dan kebijakan perdagangan. Agar bisa berhasil, promosi industri daerah pedesaan harus dibangun dengan berbasisi pada beberapa ciri dasar area pedesaan, yaitu : ketersediaan bahan baku, pasokan tenaga kerja dan berkembangnya pasar. Tiga kebijakan industri lain yang membutuhkan pemikiran ulang terhadap biaya lingkungan adalah: (1) kemungkinan pemberlakuan depresiasi, potongan pajak dan pembebasan secara arif terhadap material dan peralatan yang bisa saja merupakan sumber utama polusi; (2) subsidi energi yang bisa saja mengarah pada sumber energi yang memiliki tingkat polusi tinggi bukannya pada sumber energi dengan tingkat polusi yang rendah; dan (3) kriteria untuk menyetujui investasi luar negeri secara langsung (sebelum proses screening yang didasarkan pada catatan perusahaan atau industri tertentu di tempat lain mungkin akan lebih efektif daripada penilaian dampak lingkungan setelah kejadian) (5). Kegagalan Kebijakan Makro Ekonomi Yang Berdampak Terhadap Kerusakan Lingkungan. Kebijakan moneter, fiskal dan perdagangan luar negeri terlihat dipisahkan dari manajemen sumberdaya alam daripada kebijakan industri dan perdagangan. Namun mereka bisa saja memiliki efek terhadap bagaimana sumberdaya dialokasikan 14 dan digunakan daripada kebijakan sektoral atau mikro. Misalnya, jika hal lain konstan, semakin tinggi biaya input modal dan pekerja yang digunakan dalam ekstraksi sumberdaya atau dalam industri yang berpolusi, relative terhadap harga output, maka semakin rendah tingkat kepunahan sumberdaya dan jumlah polusi. Jika teknologi yang intensif modal lebih banyak menghasilkan polusi daripada teknologi padat karya, semakin rendah harga modal relatif terhadap pekerja semakin banyak polusi yang dihasilkan. Tingkat suku bunga adalah parameter makroekonomi yang penting dengan implikasi mikroekonomi untuk alokasi sumberdaya karena ia menghubungkan hari ini dengan masa depan. Semakin tinggi tingkat suku bunga (atau tingkat pembebanan) semakin tinggi biaya untuk menunggu, dan karenanya semakin cepat tingkat kepunahan sumberdaya dan semakin rendah investasi pada konservasi sumberdaya. Namun efek ini bisa ditanggulangi dengan fakta bahwa semakin tinggi tingkat suku bunga berarti semakin tinggi biaya modal yang cenderung mengurangi kepunahan sumberdaya padat-modal dan kerusakan lingkungan. Hukum upah minimum (yang juga mendorong kepadatan modal) mengurangi penggunaan tenaga kerja dan mengurangi tekanan pada tingkat gaji nonmanufacturing. Hal ini, pada kondisi dimana tenaga kerja berlebih mengarah pada: (1) peningkatan pekerja bergaji rendah pada sumberdaya yang hampir punah, (2) pelanggaran baatas pada sektor sumberdaya oleh angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan atau yang setengah menganggur. Pertimbangan implikasi sumberdaya dan lingkungan, kebijakan makroekonomi bisa menghasilkan salah satu dari beberapa kemungkinan berikut: (a) biaya lingkungan bisa mempengaruhi skala terhadap kebijakan marjinal dengan meningkatkan biaya sosial diatas keuntungan sosialnya; hal yang sebaliknya bisa terjadi dengan kebijakan yang memiliki efek lingkungan yang positif; (b) intervensi kebijakan makroekonomi bisa berskal lebih besar atau lebih kecil tergantung pada implikasi lingkungan; dan (c) persediaan bisa disimpan untuk berjaga-jaga bila terjadi efek lingkungan negatif dari kebijakan-kebijakan tersebut ketika kebijakan seperti itu tidak bisa diskala lebih bawah dengan mencukupi agar bisa mengurangi biaya lingkungan sampai pada tingkatan yang bisa diterima. Dilain pihak, kesalahan manajemen makroekonomi sama merusak terhadap manajemen sumberdaya alam dan kualitas lingkungan dan juga terhadap sektor-sektor ekonomi yang lainnya. Menggunungnya hutang luar negeri, melebarnya 15 keseimbangan defisit perdagangan, hiperinflasi, tingkat suku bunga yang meningkat, tingkat tabungan yang rendah, pertumbuhan investasi bernilai negatif dan peningkatan defisit pendanaan terjadi pada stagnasi ekonomi, peningkatan kemiskinan perpendekan dan pembalikan sturktural terhadap horizon perencanaan yang mengakibatkan pada kerusakan lingkungan. Untuk beberapa alasan penting artinya untuk mempertimbangkan dampak struktural dan program dan pinjaman penetapan sektoral pada manajemen sumber daya dan sustainable development sebagi berikut: (a) progream penetapan ini akan lebih atau kurang mendefinisikan kebijakan sektoral dan makroekonomi yang harus diikuti oleh oleh sebagian besar tahun 90-an dan, sebagai kita lihat, kebijakan sektoral dan makroekonomi mempengaruhi alokasi sumberdaya dan penggunaannya; (b) karena program-program ini bertujuan untuk merestrukturisasi ekonomi wilayah, dampaknya akan terasa lebih lama darir masa berjalannya program dan pinjaman tersebut; dan (c) pertama-tama, perhatian lingkungan ditingkatkan oleh beberapa negara dan badan bantuan pembangunan dala m koneks kebijakan pembangunan dan makroekonomi dan beberapa tunjangan yang berhubungan dengan sumberdaya alam dan lingkungan sudah dimasukkan ke dalam kesepakatan pinjaman. Terlepas dari kecukupan atau keefektifan tunjangan ini, satu-satunya pengenalan terhadap implikasi kebijakan makroekonomi, perdagangan dan pembangunan terhadap lingkungan adalah langkah signifikan pada jalur yang tepat. Namun, pertanyaan muncul seiring dengan munculnya dampak keseluruhan kebijakan penetapan struktural terhadap lingkungan. 1.4 Kebijakan Lingkungan Yang Berhasil Kesuksesan kebijakan didefinisikan sebagai intervensi pemerintah, atau eliminasi, yang meningkatkan alokasi sumberdaya dan mengurangi kerusakan lingkungan. Kesuksesan kebijakan bisa diklasifikasikan pada tiga kelompok, yaitu : (1) Reduksi dan eliminasi kebijakan (pajak, sbusidi, kuota, dan proyek publuk) yang mendistorsi pasar berfungsi baik atau memperburuk kegagaln pasar, misalnya saja eliminasi subsidi persitisida di Indonesia dan subsidi peternakan di Brazil. (2) Koreksi atau perbaikan kegagalan pasar melalui intervensi yang meningkatkan fungsi pasar atau menghasilkan sesuatu yang lebih baik daripada pada pasar 16 bebas, misalnya pengenalan pemberian harga pada air di Cina dan pengutipan harga pada Jalan di Singapura. (3) Pertimbangan dan internalisasi lingkungan, sosial dan beberapa efek samping proyek publik lain dan kebijakan sektoral dan dan makroekonomi, misalnya irigasi Dumoga pada proyek taman nasional di Indonesia. Isu-isu penggundulan hutan, kehancuran daerah aliran sungai, erosi tanah, penggunaan tanah yang tak aman dan penggunaan pestisida yang berlebihan dan penggunaan air yang tidak efisien telah dibicarakan hampir di setiap negara. Sebagai respon terhadap hal ini pemerintah terlah memperknalkan berbagai perubahan terhadap kebijakan yang ada sebagaimana kebijakan danprogram baru yang berurusan dengan masalah-masalah lingkungan. Berbagai contoh misalnya saja: penarikan subsidi pestisida di Indonesia, penarikan subsidi peternakan di Brazil yang meskipun menguntungkan dalam hal ekonomi tapi tidak secara sosial, perbaikan status kepemilikan tanah di Thailand, Tunisia, Maroko dan Nepal. Penarikan biaya pada infrastruktur juga dilakukan, di Indonesia dan China, sistem irigasi mulai dikenakan biaya dan di Singapura sistem jaringan jalan raya yang dikenakan biaya sehingga bisa mengontrol kemacetan di perkotaan. Seringkali kita mengalami adanya konflik tujuan dari setiap kebijakan, misalnya antara efisiensi dan distribusi, atau antara efisiensi dan degradasi lingkungan. Sebagai misal : (1) Menghilangkan “ketidakmampuan untuk pulih” bagi semua sumberdaya alam yang dapat pulih. Dalam hal ini kita mengenal apa yang disebut standar minimum yang aman (safe minimum standard) untuk semua sistem sumberdaya alam yang pulih, yaitu menghindari tindakan fisik yang akan membuatnya tidak ekonomis untuk memanen dan membalik tindakan deplesi. Dasar pemikiranya adalah bahwa untuk mempertahankan standar minimum yang aman tidak memerlukan banyak biaya dalam kaitanya dengan kemungkinan rugi yang timbul karena adanya kepunahan sumberdaya alam. Standar minimum yang aman itu merupakan dasar bagi pelestarian sumberdaya alam diatas, dimana optimisme ekonomi bebas untuk menentukan tindakan terhadap sumberdaya alam. Konsep standar minimum yang aman harus didefinisikan secara khusus bagi setiap sistem sumberdaya alam yang pulih. Bagi kehidupan hewan, standar itu bisa berupa kepadatan populasi yang cukup untuk menjamin adanya reproduksi mereka. Standar seperti itu menentukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan 17 kebijakan perburuan, penyisihan suatu wilayah untuk cagar alam dan sebagainya. Bagi sumberdaya tanah, standar tersebut dapat dalam bentuk penentuan tingkat erosi yang maksimum. Untuk sumberdaya air, standar tersebut dapat dalam bentuk kwalitas minimum air, tingkat pengendapan sendimen tertentu, serta batas-batas eksploitasi air tanah untuk menjamin tersedianya air tanah. (2) Penghindaran terhadap tindakan dapat dipulihkannya lingkungan yang rusak, seperti menumpuknya nitrat dan pestisida dalam air tanah, serta penumpukan zatzat kimia di dalam danau. Hal ini sulit dihindari karena adanya penggunaan pupuk, pestisida dan sebagainya. (3) Harus diusahakan untuk menghindari pencemaran lingkungan secara global yang mengancam generasi masa datang. Isyu ini harus diperbincangkan baik secara nasional maupun internasional. (4) Perlu adanya penentuan yang jelas mengenai peranan pasar dan harga. Praktek pengelolaan sumberdaya alam saat ini masih merupakan campuran yang kurang sempurna antara pengawasan oleh pihak pemerintah dan swasta. Peranan pasar telah banyak kelihatan dalam kebijakan sumberdaya alam, sedangkan efek sampingan yang tidak diinginkan yang timbul akibat proses pasar telah diperingan oleh tindakan perpajakan dan subsidi. (5) Mengusahakan perencanaan sumberdaya alam pada tingkat nasional untuk sumberdaya alam yang pulih, dan diarahkan bagi pengadaan informasi tesedianya sumberdaya alam. Biasanya informasi sumberdaya alam kalah baik jika dibandingkan dengan informasi tentang pertanian, maka akan diketahui persediaan sumberdaya alam, teknologi, serta kebijakan yang akan mempertahankan atau menambah kemungkinan produksi bagi generasi yang akan datang. (6) Meningkatkan bantuan bagi peneliti sosial, peneliti teknologi dan peneliti untuk pengembangan lingkungan yang telah mengtalami degradasi. Pentingnya perbaikan teknologi dan penyesuaian diri manusia dalam mengurangi kelangkaan sumberdaya alam telah kita diskusikan. Pada saat ini masih belum banyak penelitian untuk usaha-usaha perbaikan dgradasi lingkungan tersebut. Karena kegiatan penelitian tersebut lebih bersifat barang publik, maka harus diusahakan lebih banyak dukungan dana. Memang sulit untuk menentukan alokasi yang tepat dari bantuan dana untuk peneliti dan pengembangan dalam bidang sumberdaya alam. 18 1.5 Instrumen Kebijakan Pengendalian Lingkungan Pada tahun 1920-an Pigou mengusulkan sistem pajak dan ongkos pencemaran untuk mengkoreksi eksternalitas lingkungan. Secara teori, pajak lingkungan dimaksudkan untuk mencapai tingkat ekternalitas yang optimal, dimana biaya marginal untuk penurunan pencemaran lingkungan adalah sama dengan biaya marginal kerusakannya. Mengingat adanya pencemaran lingkungan akan mendorong terjadinya ketidakefisienan ekonomi, maka sejak pernyataan Pigou tersebut masalah pencemaran lingkungan merupakan aspek yang banyak diteliti, terutama berhubungan dengan adanya ekternalitas ekonomi yang sifatnya negatif (external diseconomies). Pembahasan pencemaran lingkungan mengarah pada dua hal, yaitu : (a) memenuhi kebutuhan pemerintah untuk melakukan intervensi dalam pengendalian ekternalitas, dan (b) merumuskan berbagai pilihan kebijakan dan instrumen yang dapat digunakan oleh pembuat keputusan. Pada saat ini perdebatan pengendalian pencemaran tersebut terarah pada bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, khususnya menetapkan pilihan antara regulasi langsung atau instrumen yang berbasis pada ekonomi pasar. Pada umumnya para ekonom menyukai untuk menempuh jalur kebijakan yang berbasis pada ekonomi pasar dengan landasan efisiensi biaya dan dinamika teknologi, sekalipun pada kenyataannya kondisi industri, pemerintah dan masyarakat umumnya masih resisten terhadap pengendalian pencemaran lingkungan tersebut (Markandya dan Richardson, 1992). 1. Pilihan Instrumen Kebijakan Perdebatan terus berlangsung untuk menemukan kebijakan dan pilihan instrumen pengendalian pencemaran lingkungan yang tepat. Hasil pengkajian makin memperjelas bahwa tidak ada instrumen kebijakan tunggal yang terbaik untuk mengendalikan pencemaran lingkungan. Pendekatan efisiensi biaya adalah sangat kokoh, namun jika dikombinasi dengan pendekatan baku mutu jumlah cemaran tertentu akan menghasilkan dampak pengendalian pencemran yang semakin mantap. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa pendekatan insentif pasar lebih baik dari pada pendekatan yang berbasis pada “comand and control, CAC”. Ada dua sumber penyebab in-efisiensi pada pendekatan CAC, yaitu : 19 (1) CAC memerlukan regulator yang mengetahui polusi yang terjadi dalam suatu industri. Pada kenyataannya pengusaha jauh lebih tahu dari pada pemerintah tentang berapa biaya untuk menghilangkan polusi yang dihasilkan oleh industrinya. (2) Pengusaha bervariasi dalam menghasilkan polusi dan memerlukan pengawasan berbeda. Dibawah kendali sistem CAC, setiap “polluter” harus melakukan perbaikan sesuai baku yang telah ditetapkan, tentu saja mengacu teknologi tertentu yang cenderung menimbulkan biaya berlebihan. Pendekatan CAC cenderung tidak memperhatikan penggunaan teknologi yang lebih murah. Polluter dalam menghadapi biaya tinggi untuk menghilangkan polusi cenderung memilih membayar pungutan oleh pemrintah. Pilihan berbagai instrumen kebijakan ekonomi dari hasil survei di empat belas negara anggota OECD (Organisation for Economic C0-operation and Development” menurut Markandya dan Richardson (1992) dapat dikelompokkan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Instrumen kebijakan pengendalian lingkungan A. Instrumen Ekonomi 1. Definisi ulang hak pemilikan 2. Pajak/ Sistem pungutan 3. Subsidi 4. Sistem deposit-refund Ijin emisi yang tradable; Legislasi asuransi liabilitas Pajak buangan, pajak pengguna, pajak Produk, dan pajak administrasi Bantuan keuangan untuk instalasi teknologi, subsidi untuk riset lingkungan Kombinasi pungutan dan subsidi untuk mendorong recyling 20 B. Regulasi 1. Baku mutu 2.Kuotapenggunaan sumberdaya Baku mutu buangan dan teknologi “bebas” polusi Quota emisi, quota panen dan sistem quota yang dapat diperdagangkan Sumber : Markandya dan Richardson : The Economics of the Environtment, 1992. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.1, jenis instrumen kebijakan pengendalian lingkungan adalah sebagai berikut : (1) Instrumen ekonomi : ada beberapa pilihan, yaitu : (a) mendefinisikan kembali atas hak pemilikan sumberdaya (redefining property righ)t, (b) sistem pajak/ pungiutan lingkungan, (c) subsidi, dan (d) deposit –refund system. (2) Peraturan (regulasi) : ada dua pilihan, yaitu : (a) sistem baku mutu, dan (2) sistem kuota. Instrumen redefining property right dapat berbentuk sebagai berikut : (1) Perdagangan sesuatu yang dikeluarkan sebagai cemaran (emission trading), dimana pasar diciptakan untuk memperkenankan pembuat polusi berdagang dalam suatu penawaran terbatas sebagai “hak polusi” (polution right). Pembatasan penawaran direfleksikan dalam bentuk harga atas hak (rights), sekaligus bertindak untuk menghambat polusi. Perdagangan polusi itu sendiri dimaksudkan untuk menjamin pengurangan polusi secara bertahap yang dialokasikan secara menyeluruh diantara pembuat polusi. (2) Intervensi pasar untuk mempertahankan atau menstabilkan harga-harga dari komoditi tertentu yang menghasilkan buangan yang dapat didaur ulang (recyclable affluents). (3) Asuransi liabilitas (liability insurance), yaitu penciptaan suatu pasar dimana resiko yang ditanggung habitat berupa kerusakan lingkungan yang tidak menentu ditransfer kepada perusahaan asuransi. Pungutan (charges) dalam batas tertentu dianggap sebagai harga yang dibayarkan untuk polusi sebagai hasil permintaan biaya oleh masyarakat akibat layanan lingkungan yang “diinternalisasikan” dalam perhitungan biaya dan manfaat individu dari kegiatan yang dilakukannya. Pungutan untuk polusi lingkungan dapat berbentuk : 21 (1) Pungutan buangan (effluent charges) yang dibayar untuk aliran buangan ke dalam lingkungan berdasarkan kuantitas dan kualitas dari polutan buangan (discharged pollutants). (2) Pungutan penggunaan (user charges) untuk pembiayaan treatmen buangan secara kolektif atau publik. (3) Pungutan produk (product charges) dikenakan pada penjualan produk yang terlibat polusi dalam produksi atau konsumsi, dimana sistem pengendalian disposal tetap diorganisasikan. (4) Pungutan administrasi (administrtation charges) adalah termasuk pungutan untuk membayar layanan dari pelaksana regulasi, sebagai contoh untuk i,plimentasi dan pelaksanaan (penegakan aturan, enforcment) regulasi itu sendiri. (5) Differensiasi pajak (tax differentiation) yang terdiri dari penguruh positif atau negatif pungutan produk yangdirancang untuk mendorong atau menghambat pola dari barang dan jasa berkaitan dengan lingkungan. Subsidi adalah berbagai bentuk bantuan finansial untuk mendorong pengurangan polusi atau untuk membiayai langkah yang diperlukan dalam mengurangi polusi. Contoh kebijakan pemberian subsidi antara lain adalah : (1) Bantuan langsung; (2) Kredit lunak atas dasar suku bunga dibawah suku bungan pasar; (3) Bebas pajak atau pungutan, atau mempercepat penyusutan peralatan polusi, seolah-olah memperoleh potongan pajak. Dengan mempercepat penyusutan akan meningkatkan biaya produksi, sehingga akan menurunkan keuntungan, juga pajak perusahaan akan menurun. Adapun penerapan sistem deposit berupa penetapan dana yang disetorkan sebagai deposit terhadap penjualan produk yang berpotensi menimbulkan polusi. Dana dikembalikan jika kegiatan peusahaan tersebut memuaskan kondisi yang disyaratkan bagi kualitas lingkungan. Sebaliknya bila tidak memuaskan, dana deposit tetap ditahan. Dalam hal penegakan peraturan berupa : (1) pungutan ketidak patuhan, yaitu pungutan atau denda terhadap pembuat polusi yang tidak memetuhi ketentuan peraturan lingkungan, dan (2) sertifikat kinerja, yaitu penarikan kembali daya yang telah dibayarkan kepada pemerintah karena telah memenuhi ketentuan peraturan lingkungan. Pengenaan pajak atas polusi bisa berupa : 22 (1) Pajak polusi yang diukur secara langsung berhubungan dengan kuantitas buangan polusi, misalnya atas dasar input produksi bahan bakar atau jumlah buangan limbah polusi. (2) Pajak tidak langsung yang dikenakan pada penjualan atau pertambahan nilai, misalnya barang dan jasa yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dalam produksi dan konsumsi seperti BBM, baterai dan pupuk dapat dikenakan pajak tidak langsung berdasarkan besarnya kerusakan lingkungan yang diimbulkan. 2. Pengukuran Pigouvian Tax : Prosedur Baku Mutu Pembahasan tentang pendekatan pajak / subsidi untuk pengaturan ekternalitas sering menghdapi kesukaran ketika kita memasuki tataran praktis dalam menghitung Pigouvian Tax atau tingkat subsidi yang ideal. Boumol dan Oates (1996) menawarkan pendekatan alternatif yang ia sebut prosedur baku mutu untuk mengitung tingkat pajak/ subsidi lingkungan sesuai dengan semangat Pigouvian, walau disadari tidak menjamin alokasi sumberdaya secara optimal. Banyak faktor yang berpengaruh, seperti jumlah kegiatan dan orang-orang yang terkait. Bahkan menjadi sangat sukar kalau kita juga ingin mengukur dalam satuan moneter dengan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan, seperti kesehatan, keindahan lingkungan dan lain-lainnya. Mungkin kita dapat memperkirakan kerusakan yang ditanggung masyarakat, namun selanjutnya kita akan menghadapi kesukaran ketika kita akan merubahnya dalam satuan uang. Untuk mengatasinya Boumol dan Oates (1996) menawrkan pendekatan baku mutu dan harganya. Metode tersebut dimulai dengan menetapkan kualitas lingkungan yang baku, misalnya nilai BOD (kadar oksigen terlarut) untuk syarat kehidupan yang sehat di suatu perairan. Dengan bantuan nilai BOD, tingkat pajak ditetapkan, yaitu : Pajak = f(b) rupiah per liter dimana b = nilai BOD pada limbah industri terkena pajak lingkungan. Setiap penghasil polusi diberi insentif agar setiap pabrik yang menghasilkan polusi bersedia mengurangi polusi yang ditimbulkan. Dengan pengenaan pajak tertentu, selanjutnya masyarakat diharapkan bersedia melakukan purifikasi air limbah yang dihasilkan seperti yang kita sukai bersama. Tentu saja proses penetapan tingkat pajak tersebut 23 secara berulang diperbaiki sampai pada tingkat dimana perusahaan dan masyarakat sama-sama puas, karena kondisi lingkungan telah menjadi bersih seperti yang kita harapkan bersama. Penghitungan pajak atau subsidi dengan cara tersebut mungkin tidak menghasikan kondisi optimum Pareto, namun dengan cara ini dapat dilakukan dengan biaya terkecil untuk mencapai sasaran yang kita kehendaki bersama. Hanya saja kondisi yang kita hadapi berada dalah ketidakpastian. Menurut Markandya dan Richardson (1992) pembahasan kebijakan lingkungan mengandung asumsi implisit bahwa fungsi biaya marginal pengurangan polusi dan kerusakannya dapat diestimasi secara tepat, sehingga tingkat ekternalitas sosial yang optimum dapat diketahui. Pada kenyataannya informasi tersebut tidak kita peroleh, dan oleh karena itu pada pembuat keputusan kebijakan lingkungan terpaksa harus membuat kuantifikasi ketidakpastian biaya pengurangan polusi dan kerukaan yang ditimbulkannya dengan cara subyektif. Dengan demikian kebijakan yang dibuat berdasarkan estimasi tingkat eksternalitas yang tidak akurat, sehingga akan diperoleh hasil deadweigt losses yang ditanggung masyarakat secara tidak akurat pula. Tentu saja besarnya losses tersebut sangat bergantung pada slope dari fungsi biaya penguarngan polusi dan kerusakannya, disamping juga akan berbeda bergantung pada mekanisme pasar dan baku mutu yang digunakan. Robert dan Spence (1992) membandingkan ex-post deadweight losses dikaitkan dengan ongkos-ongkos limbah dan ijin dalam kondisi ketidakpastian. Menurutnya, jika regulator menghadapi ketidakpastian biaya penguarangan polusi dan kerusakan lingkungan, maka masing-masing instrumen kebijakan pungutan ongkos limbah dan ijin akan menghasilkan penyimpangan dari kondisi optimum dalam arah yang berlawanan. Pilihan instrumen yang memuaskan bergantung pada bentuk kurva kerusakan yang ditimbulkan. Jika fungsi kerusakan yang ditimbulkan berebentuk linier, maka instrumen kebijakan atas dasar pungutan ongkos limbah akan lebih memuaskan. Namun, jika kerusakan yang ditimbulkan berbentuk menanjak secara tajam dan non-linier sejalan dengan beban limbah, maka skema lisensi (ijin) relatif lebih memuaskan. Dalam hal ini, pengusaha diwajibkan membersihkan sendiri limbah melalui mekanisme perijinan. Dengan dasar pertimbangan diatas, menurut Merkandya dan Richardson (1992) bahwa kebijakan pengendalian lingkungan dalam kondisi ketidakpastian maka 24 instrumen pengendalian dengan pendekatan mekanisme harga dan baku mutu secara tunggal adalah tidak mencukupi. Oleh karena itu, skema instrumen kebijakan kombinasi antara mekanisme harga dan pungutan ongkos atas dasar baku mutu jumlah limbah yang diijinkan akan menjadi alternatif kebijakan yang lebih memadai. Dalam kaitan dengan kombinasi kebijakan ini, otoritas pengendali lingkungan memiliki tiga parameter yang dapat dimainkan, yaitu : subsidi, penalti dan lisensi. Subsidi merupakan bentuk insentif bagi pengusaha. Sedangkan penalti merupakan katup pengaman, jika biaya pencucian polusi ternyata tinggi. Jika harga ijin telah terbentuk, maka setiap perusahaan akian menghadapi fungsi penalti dengan efektif. Dalam praktek, skema untuk menetapkan ambang batas polusi adalah merupakan dasar bagi otoritas pengendali lingkungan dalam menetapkan subsidi atau besarnya penalti. Pada umumnya persepsi para pembuat kebijakan berkenaan dengan masalah eksternalitas mengasumsikan bahwa biaya marginal ekternalitas dan fungsi keuntungan berperilaku normal, dimana keseimbangan diasumsikan dapat dijaga seca unik dan stabil. Kadang-kadang ekternalitas tidak seperti biasa. Dalam kasus tertentu ekternalitas tersebut menghasilkan Kurva kemungkinan Produksi (KKP) yang nonkonveks, dimana keuntungan pengusaha menjadi nol. Menurut Starrett dan Zeckhauser (1992) adanya sifat non-konveks pada batas produksi tertentu memiliki implikasi luas dalam pembuatan kebijakan lingkungan. Misalnya saja, perusahaan menjadi tertekan keluar dari bisnis karena fungsi produlsinya berbentuk non-konveks. Dalam kondisi demikian, dimana keseimbangan industri terjadi pada tingkat yang tidak optimal, ia menyarankan barangkali perlu ditetapkan pengenaan pajak realtif rendah pada tingkat polusi yang masih tinggi. 3. Pengendalian Lingkungan Yang Efisien : Mekanisme Pasar Instrumen pengendalian eksternalitas lingkungan yang berbasis pada mekanisme pasar adalah : (1) pajak lingkungan, (2) ijin atau kuota atas suatu cemaran yang dikeluarkan . Pajak dan pungutan ongkos polusi yang optimal mengharuskan polluter membayar penuh semua ongkos jasa lingkungan yang mereka hasilkan yang besarnya ditetapkan sama dengan biaya kerukan marginal pada tingkat bebas ekternalitas optimum. Ijin tersebut dapat diperjual belikan secara bebas di pasar. Baku mutu polusi ditentukan oleh suplai ijin polusi dan dengan mudah dapat diperbaharui. 25 Dalam menghdapai pungutan biaya emisi atau harga sertifikat emisi (dalam kondisi optimum Pareto, nilainya sama), maka perusahaan yang meminimumkan biaya akan mencari cara untuk mengurangi polusi, baik melalui pengurangan output , investasi teknologi baru atau kegiatan untuk mengurangi dampak polusi. Insentif untuk mengurangi emisi polusi akan berlanjut sampai pada tingkat biaya marginal pengurangan polusi sama dengan harga sertifikat emisi atau beban biaya emisi dari otoritas pengendali lingkungan. Biaya pengurangan polusi berbeda diantara perusahaan, namun sepanjang perusahaan mencari cara untuk meminimumkan biaya, maka hasil akhir akan sampai pada suatu tingkat dimana biaya marginal pengurangan polusi antar perusahaan akan sama. Instrumen yang berbasis pda mekanisme pasar dilengkapi insentif agar polluter mencari cara meminimumkan biaya secara terus menerus sehingga secara teknis peusahaan akan tumbuh dinamis dan efisien. Atas dasar instrumen yang berbasis mekanisme pasar tersebut dimana ada kesempatan untuk implementasi secara praktis melalui prosedur harga dan baku mutu, pemeruintah secara perlahan dapat mengintegrasikannya ke dalam paket pengendalian lingkungan dan dapat dipastikan sebagian pengusaha akan dapat bertahan. Permsalhan tersebut secara mendalam dibahas oleh Tietenberg (1992). Pengalaman praktis yang diterapkan di Amerika menunjukkan bahwa teknologi untuk menurukan polusi yang baru tidak dapat secara otomatis dilakukan oleh para pengusaha, namun secara perlahan perdagangan emisi polusi secara bertahap telah disempurnakan dan berkembang menjadi lebih baik. Di Amereka contoh berhasil dalam perdagangan sertifikat emisi adalah perdagangan emisi polusi udara., sedangkan di Eropah dan Jepang, pungutan biaya emisi air lebih populer. Saat ini OECD telah melakukan identifikasi delapan puluh macam bentuk penerapan pengendalian lingkungan di empatbelas angotanya yang secara luas dilaksanakan untuk mengendalikan polusi air, sampah dan suara bising. Dari sebagian besar pelaksanaan pungutan biaya limbah/ polusi tidak seperti yang disarankan oleh ahli ekonomi lingkungan. Sebagian besar pungutan biaya adalah berada pada tingkat relatif rendah dan oleh karena itu tidak mencukupi sebagai dasar yang dapat mendorong polluter membuang polusi sampai pada tingkat optimal secara polusi. Pada kenyataannya pengenaan pungutan biaya lebih bermi\otif sekedar untuk menaikkan penerimaan negara dari pada sebagai insentif harga bagi polluter. Penerimaan tersebut sering digunakan untuk proyek lingkungan dan dalam banyak 26 kasus dikembalikan lagi untuk para pelaku polusi dalam bentuk subsidi untuk mendorong dikembangkannya instalasi teknologi pembersih polusi untuk kepentingan penelitian dan pengembangan lingkungan bersih. Pungutan semacam ini dikenal sebagai pungutan polusi distributif dan dengan jelas berbeda dengan apa yang dimaksud dengan pungutan polusi yang bertujuan untuk insentif ekonomio yang memiliki ciri optimal Pigouvian. Pengenalan pungutan polusi yang bersifat insentif ekonomi masih berkembang sangat lambat, tidak hanya karena kegagalan masyarakat dalam mengapresiasai pengertian biaya – manfaat yang efektif, tapi juga karena resistensi pengusaha dan pengambilan keputusan politik. Pungutan ongkos polusi yang bersifat insentif ekonomi menimbulkan pertanyaan berkenaan dengan pelanggaran atas hak pemilikan tentang (1996) mengusulkan beberapa kriteria “polluter pays principle”(PPP). Young dalam seleksi instrumen kebijakan pengendalian lingkungan, yaitu : (1) Efisien secara ekonomi. (2) Memerlukan sedikit informasi namun tepat tentang biaya yang berkaitan dengan kerusakan karena polusi. (3) Biaya administrasi tidak ruwet. (4) Menjamin pemerataan. (5) Dapat diperkirakan dan sejauh muskin mengurangi ketidakpastian. (6) Dapat menyesuaikan dengan perubahan teknologi dan harga. (7) Memiliki insentif yang mendorong perbaikan lingkungan dan inovasi. (8) Dierima secara politis. (9) Tidak radikal. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pendekatan mekanisme harga dalam pengendalian lingkungan terlaksana relatif lebih efisien jika dibandingkan dengan pendekatan regulasi, walaupun dalam penerapannya masih menghadapi keterbatasan, khususnya dalam hal dokumentasi data tentang biaya-biaya maupun kemungkinan impilkasinya dalamn praktek. Tietenberg (1992) menyimpulkan sebagai berikut : (1) Perdagangan emisi polusi dibuat terintegrasi dengan kebijakan yang berbasis pada baku mutu, pembatasan input atau teknologi dalam satu paket pengaturan. (2) Pungutan ongkos emisi polusi akan dapat berjalan baik jika biaya transaksi tinggi. (3) Perdagangan emisi polusi dapat dilakukan dengan baik jika terdapat keseragaman dalam polutan. 27 (4) Sertifikat penurunan emisi ternyata memiliki biaya transaksi lebih tinggi dari pada apa yang dipahami secara teori. Dalam hal ini regulator perlu melakukan validasi. (5) Pendekatan insentif ekonomi pada waktu mendatang akan tumbuh, saklipun harus disadari bahwa pendekatan insentif ekonomi untuk pengendalian lingkungan tidak menawrkan obat segala penyakit, tapi sekeedar cara praktis untuk mencapai sasaran perbaikan lingkungan, lebih fleksibel dengan biaya relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunakan peraturan. Banyak pakar ekonomi lingkungan cenderung menyarankan pendekatan campuran antara mekanisme harga dan regulasi, sekalipun pendekatan mekanisme pasar relatif lebih efisien.