BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Farmasi Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Menurut WHO, pelayanan farmasi di rumah sakit, terdiri dari berbagai unsur, yang paling utama yaitu terkait usaha pengadaan, distribusi, dan pengawasan semua obatobatan yang digunakan dalam pelayanan, melakukan evaluasi dan penyebaran informasi secara luas tentang obat-obatan dan penggunaannya kepada staff rumah sakit dan pasien, serta memantau dan menjamin kualitas penggunaan obat. Selain itu terdapat tugas dan kegiatan profesional lainnya, seperti penyuluhan obat-obatan kepada pasien dan tanggung jawab perawatan primer, yang dilakukan secara bekerja sama dengan bagian lainnya di rumah sakit. 2.2 Resep 2.2.1 Pengertian Resep Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter kepada instalasi farmasi untuk menyiapkan, membuat, meracik, dan menyerahkan obat untuk pasien. Dokter harus menulis resep dengan jelas dan lengkap, jika resep yang diterima oleh apoteker tidak jelas dan lengkap maka isi resep harus dikonfirmasi ulang ke dokter penulis resep (Syamsuni, 2006). 8 9 2.2.2 Ukuran Lembar Resep Pada umumnya, resep memiliki ukuran panjang 15 hingga 20 cm dan lebar 10 hingga 12 cm. Lembar resep pada umumnya berbentuk persegi panjang (Jas, 2009). 2.2.3 Jenis-Jenis Resep Resep terdiri dari 4 jenis, antara lain resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya; resep magistrales (R/. Poliklinikfarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik; resep medicinal, yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan; resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya, dapat mengalami peracikan atau tidak (Jas, 2009). 2.3 Penulisan Resep 2.3.1 Pengertian Penulisan Resep Penulisan resep artinya pengaplikasian pengetahuan dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaedah dan peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apotek terutama apoteker berkewajiban melayani secara cermat, memberi informasi terutama menyangkut penggunaan dan mengoreksinya bila terjadi kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih rasional yang artinya tepat, aman, efektif dan ekonomis (Jas, 2009). 10 2.3.2 Tujuan Penulisan Resep Penulisan resep memiliki tujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi, meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat, terjadi kontrol silang (cross check) dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi, meningkatkan peran dan tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat, memberikan obat lebih rasional dibandingkan dispensing dan dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah dan selektif, pelayanan yang dilakukan juga berorientasi kepada pasien (patien oriented), menghindarkan material oriented, selain itu resep juga sebagai medical record yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bersifat rahasia. 2.3.3 Format Penulisan Resep Resep terdiri dari 6 bagian, antara lain (Jas, 2009) : 1. Inscriptio: Nama dokter, no. SIP, alamat/ telepon/HP/kota/tempat, tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota dalam satu provinsi. Sebagai identitas dokter penulis resep, format inscription suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi. 2. Invocatio: permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/=resipe” artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dokter dengan apoteker di instalasi farmasi. 3. Prescriptio/Ordonatio: nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang diinginkan. 11 4. Signatura: yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan keberhasilan terapi. 5. Subscrioptio: yaitu tanda tangan/paraf dokter penulis resep berguna sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut. 6. Pro (diperuntukkan): dicantumkan nama dan umur pasien. Untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien (bertujuan untuk pelaporan ke Dinkes setempat). 2.3.4 Prinsip Penulisan Resep di Indonesia Setiap negara memiliki ketentuan berbeda tentang informasi apa yang harus tercantum dalam sebuah resep yaitu obat ditulis dengan nama paten/dagang, generik, resmi atau kimia, karakteristik nama obat ditulis harus sama dengan yang tercantun pada label kemasan, resep ditulis dengan jelas di kop resep resmi, bentuk sediaan dan jumlah obat ditentukan dokter penulis resep, Signatura ditulis dalam singkatan bahasa latin, Pro atau peruntukan dinyatakan dengan umur pasien (Jas, 2009). Di Indonesia, persyaratan administrasi yang harus dimiliki resep ditetapkan menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, meliputi nama dokter, SIP, dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan atau paraf dokter; nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta; cara pemakaian yang jelas; dan informasi lainnya 12 2.4 Kelengkapan Penulisan Resep Resep merupakan bagian terpenting sebelum pasien menerima obat. Dalam alur pelayanan resep, apoteker wajib melakukan skrining resep yang meliputi skrining administrasi, kesesuaian farmasetis, dan kesesuian klinis untuk menjamin legalitas suatu resep dan meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan. Dokter harus menulis resep dengan lengkap dan jelas untuk menghindari salah presepsi antara penulis dan pembaca resep. Terjadinya kegagalan komunikasi dan kejadian salah interpretasi antara dokter dengan apoteker merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kesalahan medikasi (medication error) yang dapat berakibat fatal bagi pasien (Cohen, 1999). Berdasarkan literatur, hasil kajian kelengkapan resep pediatri rawat jalan di Kabupaten Gianyar diperoleh angka kejadian terkait kelengkapan administrasi yang berpotensi menimbulkan medication error sebesar 4,69%. Angka kejadian yang tergolong kecil bukan berarti masalah tersebut dapat diabaikan, karena kejadian yang terus menerus dapat memberi dampak buruk bagi pelayanan di rumah sakit (Piliarta, 2012). Hasil penelitian dan analisis resep yang telah dilakukan di lima Apotek kota Surakarta, diketahui kejadian kelengkapan administrasi resep yang ditulis antara lain, terjadi ketidaklengkapan nama dokter 0,66%, nomor SIP 17,55%, alamat dokter 0,16 %, paraf dokter 21,68%, tanggal penulisan resep 2,32%, nama pasien 0,99%, umur pasien 32,78%, dan alamat pasien 55,80%. Penelitian lain juga menunjukkan, dalam penulisan resep sering kali terjadi penyimpangan dalam hal kelengkapan administrasi yang meliputi tanggal penulisan resep, SIP, alamat dokter, paraf dokter, dan keterangan bentuk sediaan. Tidak lengkapnya tanggal penulisan dan paraf dokter membuat keabsahan atau keaslian resep diragukan (Rahmawati dan Oetari, 2002). 13 Setiap komponen yang ada dalam administrasi kelengkapan penulisan resep memiliki peran penting untuk kejelasan keterangan dalam resep tersebut. Nama dokter merupakan salah satu syarat administrasi resep yang harus dipenuhi, karena dengan dicantumkannya nama dokter menujukkan bahwa resep tersebut asli dan dapat di pertanggungjawabkan dan tidak dapat disalahgunakan orang lain selain tenaga keprofesian dokter dalam hal ini untuk menentukan keputusan medis kepada pasien. Penulisan SIP dokter wajib dicantumkan di dalam resep, terutama untuk dokter praktik pribadi karena untuk menjamin bahwa dokter tersebut secara sah diakui dalam praktek keprofesian dokter. Peraturan menteri kesehatan juga menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi wajib memiliki SIP (Menkes RI, 2007). Alamat dokter terdiri dari alamat praktek, alamat rumah, dan nomor telepon dokter yang biasa dicantumkan dalam resep. Alamat dokter harus dicantumkan dengan jelas dan diperlukan apabila suatu resep tulisannya tidak jelas atau meragukan dapat langsung menghubungi dokter yang bersangkutan, hal ini juga akan memperlancar pelayanan pasien pada waktu di apotek. Namun, khusus untuk resep rumah sakit sudah lengkap dicantumkan alamat dan nomor telepon rumah sakit pada bagian atas resep. Pencantuman paraf dokter digunakan agar resep yang ditulis otentik dan dapat dipertanggungjawabkan agar tidak disalahgunakan oleh masyarakat umum, hal itu terkait dalam penulisan resep narkotik maupun psikotropika. Untuk tanggal penulisan resep dicantumkan untuk keamanan pasien dalam hal penggambilan obat. Apoteker dapat menentukan apakah resep tersebut masih dapat dilayani di apotek atau disarankan kembali ke dokter. 14 Pencantuman nama pasien di dalam resep sangat penting, yaitu untuk menghindari tertukarnya obat dengan pasien lain pada waktu pelayanan di apotek. Untuk alamat pasien sering kali diabaikan oleh penulis resep (dokter), alamat pasien berguna sebagai identitas pasien apabila terjadi kesalahan dalam pemberian obat di apotek, atau obat tertukar dengan pasien lain. Pencantuman umur pasien di dalam resep berguna dalam kaitannya dengan perhitungan dosis obat, karena banyak rumus untuk perhitungan dosis menggunakan umur pasien. Umur pasien juga berkaitan dengan kesesuaian bentuk sediaan akhir pada resep racikan. Jadi, setiap komponen dalam penulisan resep sangat penting untuk dilengkapi, selain untuk keamanan pasien juga dapat membantu apoteker dalam proses pembacaan resep dan kemudahan dalam pelayanan pemberian obat. 2.5 Sikap dan Pengalaman Dokter dalam Penulisan Resep Penulisan resep merupakan salah satu pengaplikasian pengetahuan dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaedah dan peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek/instalasi farmasi agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Dalam prosesnya sangat mungkin dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain sikap dokter itu sendiri dalam menerapkan penulisan resep sesuai kaedah dan peraturan yang berlaku. Selain itu, pengalaman dokter itu sendiri terkait kendala yang dialami di lapangan juga dapat mempengaruhi dirinya dalam penulisan resep. Hal tersebut dapat memberi pengaruh pada kelengkapan penulisan resep, resep yang tidak lengkap dapat memicu terjadinya salah persepsi antara penulis resep dengan pembaca resep (Wongkar, 2000). 15 Ranah perilaku terdiri atas kognitif, afektif, dan psikomotor atau dalam bentuk yang lebih operasional dapat diukur dengan knowledge (pengetahuan), attitude (sikap) dan practice (tindakan) (Notoatmodjo, 2010). Dengan adanya pengukuran knowledge, attitude dan practice ini nantinya dapat diidentifikasi apa yang telah diketahui dan dilakukan dokter serta bagaimana sikap dokter dalam melakukan pekerjaan sehari-hari apakah sudah mencerminkan perilaku aman atau belum. Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Kognitif atau pengetahuan merupakan domain terpenting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menumbuhkan sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang (Kholid, 2012). 2.6 Kelengkapan Penulisan Resep, Kinerja Petugas Farmasi dan Kualitas Layanan Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka rumah sakit harus mampu memikirkan strategi untuk memberikan pelayanan yang bermutu kepada pasien. Peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pasien merupakan hal penting yang harus diperhatikan sebagai penentu penetapan kebijakan baru di rumah sakit. Peningkatan mutu dalam pelayanan kesehatan selain berorientasi pada proses pelayanan yang bermutu, juga menuntut hasil mutu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan keinginan pasien (Wijono, 2009). 16 Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kelengkapan penulisan resep sangat membantu dalam proses penyelesaian resep oleh apoteker. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada apotek-apotek di kotamadya Yogyakarta diketahui bahwa salah interpretasi yang terjadi adalah terkait penulisan resep yang tidak jelas ataupun sukar dibaca (terutama pada bagian nama obat, dosis dan jumlah obat, aturan pakai, bentuk sediaan, dan jumlah iterasi), penulisan aturan pakai yang tidak lengkap serta digunakannya singkatan yang tidak lazim dalam resep untuk nama obat dan aturan pakai. Hal tersebut tentunya dapat menghambat apoteker dalam mengartikan isi resep sehingga menyebabkan waktu penyelesaian resep menjadi lebih lama. Dari data analisis kajian resep Instalasi Farmasi RSUD Anwar Makkatutu Bantaeng tahun 2012, menunjukkan bahwa resep yang dapat menyebabkan terjadinya medication error karena resep tidak lengkap yaitu sebesar 36,75%. Dengan melihat data tersebut, menandakan bahwa peluang akan terjadinya medication error di rumah sakit tersebut sangat besar. Penelitian lain yang dilakukan pada 96 resep pediatri rawat jalan di RS Swasta di kabupaten Gianyar, diperoleh angka kejadian yang berpotensi menimbulkan error tertinggi adalah cara pemakaian sebesar 76,92%, diikuti oleh nama dan umur pasien sebesar 15,39%, kemudian jumlah obat yang diminta sebesar 7,69%. Dari hasil kajian tersebut, yang berpotensi menimbulkan medication error sebanyak 277 resep, yang terdiri dari kesesuaian farmasetika sebesar 78,70%, pertimbangan klinis sebesar 16,61%, dan kelengkapan administrasi sebesar 4,69%. Kelengkapan administrasi tersebut dapat memicu kesalahan komunikasi antara penulis resep dengan pembaca resep. Contoh ketidaklengkapan resep pada peresepan pediatri yaitu tidak tercantumnya berat badan dan umur pasien, padahal diketahui kedua unsur resep 17 tersebut sangat penting sebagai dasar perhitungan dosis pemberian obat (Piliarta, 2012). Wongkar dalam Widiasari mengatakan bahwa jumlah resep dan kelengkapan resep merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi terhadap waktu tunggu pelayanan resep. Selain itu, tidak lengkapnya penulisan resep dapat memicu terjadinya salah persepsi antara penulis resep dengan pembaca resep. Pembaca resep atau apoteker wajib mengonfirmasi keraguannya dalam membaca resep ke penulis resep atau dokter yang bersangkutan. Kejadian tersebut tentunya dapat mempengaruhi kinerja petugas/apoteker dalam pelayanan resep yang dapat berdampak pada waktu tunggu penyelesaian resep yang dapat mempengaruhi kualitas layanan (Wongkar, 2000). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Southern California menunjukkan bahwa kepuasan pasien terhadap layanan farmasi sangat erat kaitannya dengan kepuasan pasien terkait waktu tunggu penyelesaian resep. Waktu tunggu penyelesaian resep yang lama merupakan salah satu alasan mengapa sebagian pasien enggan menebus resepnya ditempat tersebut. Hal tersebut tentunya sangat mempengaruhi kualitas layanan pada instalasi farmasi khususnya dan rumah sakit pada umumnya (Afolabi dan Erhun, 2003).