naskah akademik rancangan undang-undang

advertisement
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEKARANTINAAN KESEHATAN
‘
1
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2015
2
KATA PENGANTAR
Permasalahan kesehatan di Indonesia
ke depan
akan
semakin kompleks dan beragam. Sebagai bagian dari masyarakat
dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan
terjadinya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)
sebagaimana
Regulations
yang
(IHR)
diamanatkan
2005.
Dalam
dalam
International
melaksanakan
Health
amanat
ini,
Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi
manusia
dan
dasar-dasar
kebebasan
seseorang
serta
penerapannya secara universal.
Untuk mengoptimalkan upaya cegah tangkal terhadap
penyebaran penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah dan
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat dunia yang
terjadi di pintu masuk dan wilayah, perlu disusun adanya
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang komprehensif,
integratif dan efektif, mengingat Undang-Undang
sekarang
sudah
tidak
dapat
menampung
permaslahan saat ini. Penyusunan
yang ada
semua
materi
Rancangan Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini dimaksudkan untuk
mengganti Undang–Undang
Kekarantinaan Kesehatan yang ada
saat ini yaitu Undang–Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara.
Dalam rangka melengkapi persyaratan Rancangan UndangUndang tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan diusulkan
ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk dibahas sebagai
produk hukum, maka disusun argumentasi ilmiah yang berupa
Naskah Akademis (NA) Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan
Kesehatan.
i
Keberadaan Naskah Akademik mutlak diperlukan sebagai
dasar dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Dalam
Naskah
Akademis
penyusunan
ini
Rancangan
akan
dibahas
mengenai
Undang-Undang
perlunya
Kekarantinaan
Kesehatan baik dari aspek teoritis maupun empiris pelaksanaan di
lapangan.
Disadari bahwa dalam penyusunan Naskah Akademik ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik, saran
maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun sangat
diharapkan, demi kesempurnaan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dimasa yang akan
datang.
Jakarta, 13 Mei 2015
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Kementerian Kesehatan
Barlian, SH, M.Kes
NIP 195811191981021001
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang………………………………………….
1
B.
Identifikasi Masalah…………………………………..
5
C.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
D.
BAB II
Akademik ……………………………………………….
5
Metode …………………………………………………..
6
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis…………………………………………..
B.
Kajian terhadap Asas Yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma...............………………………
C.
Kajian
terhadap
Praktik
11
18
Penyelenggaraan,
Kondisi yang ada serta Permasalahan yang
dihadapi………………………………………………….
D.
Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem
Baru……………………………………………………....
BAB III
20
EVALUASI
DAN
ANALISIS
34
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.
Evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1962
tentang
Karantina
Laut
dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara..……………………………………..
B.
Sinkronisasi
Internasional
dan
dan
Harmonisasi
Peraturan
38
Ketentuan
Perundang-
undangan yang terkait dengan Kekarantinaan
Kesehatan……………………………………………….
42
iii
BAB IV
BAB V
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis…………………………………….
53
B.
Landasan Sosiologis…………………………………..
55
C.
Landasan Yuridis………………………………………
56
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
BAB VI
A.
Sasaran…………………………………………………..
58
B.
Arah dan Jangkauan Pengaturan…………………
58
C.
Ruang Lingkup Materi Muatan…………………….
59
PENUTUP
A.
Simpulan…………………………………………………
100
B.
Saran……………………………………………………..
102
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
103
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Amanat yang tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Negara Indonesia
berkewajiban melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai
hal
di
atas
adalah
melalui
peningkatan
derajat
kesehatan
masyarakat.
Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang,
memerlukan sumber daya manusia yang sehat jasmani, rohani
dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Untuk mendapatkan manusia yang sehat diperlukan
adanya perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.504 pulau yang
terdiri dari pulau besar/kecil serta memiliki posisi sangat strategis
karena diapit oleh dua benua dan dua samudera serta berada
pada jalur lalu-lintas dan perdagangan internasional dengan
banyaknya pintu masuk ke wilayah Indonesia, maka terdapat
faktor risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit dan gangguan
kesehatan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2014, Indonesia
memiliki lebih dari 240 juta orang penduduk serta menduduki
posisi keempat terbesar di dunia yang tersebar di berbagai pulau
dengan kepadatan yang berbeda.
1
Tingkat kepadatan tertinggi di pulau Jawa dan Bali, dengan
status
sosial
tergolong
ekonomi
rendah
menimbulkan
sebagian
besar
dibandingkan
masalah
penduduk
negara
kesehatan,
lain,
diantaranya
Indonesia
sehingga
penyebaran
penyakit infeksi, status gizi kurang dan lain-lain.
Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia
dari waktu ke waktu akan semakin kompleks. Indonesia sebagai
negara kepulauan yang mempunyai letak strategis (posisi silang),
berperan penting dalam lalu lintas alat angkut, orang dan barang.
Meningkatnya pergerakan dan perpindahan penduduk sebagai
dampak
peningkatan
pembangunan,
serta
perkembangan
teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh
perjalanan antar negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini
memperbesar risiko masuk dan keluar penyakit menular (new
infection diseases, emerging infections diseases dan re-emerging
diseases), dimana ketika pelaku perjalanan memasuki pintu
masuk gejala klinis penyakit belum tampak. Disamping itu juga
terdapat kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang
menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan
pergerakan kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya,
baik pergerakan secara alamiah maupun pergerakan melalui
komoditas barang di era perdagangan bebas dunia yang dapat
menyebabkan peningkatan faktor risiko.
Dalam
praktik
penyelenggaraan
tindakan
karantina
kesehatan saat ini, hanya dilakukan terhadap alat angkut, orang
dan barang di pintu masuk yaitu Pelabuhan dan Bandar udara.
Sedangkan kebutuhan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
saat ini diperlukan pula pada pos lintas batas darat negara dan
wilayah.
2
Kondisi tersebut di atas dibutuhkan mengingat potensi
penyebaran penyakit potensial wabah antar negara maupun antar
wilayah semakin meningkat yang dapat menimbulkan epidemi,
pandemi,
dan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat
bahkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
Perkembangan transportasi darat, laut maupun udara sejalan
dengan kemajuan teknologi dan perekonomian memicu pula
pergerakan dan perpindahan orang dan barang baik antara negara
maupun antar wilayah yang berdampak pada penyebaran penyakit
dan faktor risikonya, sehingga penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi
dalam rangka cegah tangkal.
Sebagai
bagian
berkewajiban
dari
melakukan
masyarakat
upaya
dunia,
pencegahan
Indonesia
terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(Public
Health
sebagaimana
Emergency
yang
of
diamanatkan
International
dalam
Concern/PHEIC)
International
Health
Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia
harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan
dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara
universal.
International
Health
Regulations
2005
mengharuskan
Indonesia meningkatkan kapasitas berupa kemampuan dalam
surveilans dan respon cepat serta tindakan kekarantinaan dalam
rangka melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau
faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat
pada
pintu
masuk
(pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas Batas Darat Negara) dan di
wilayah.
3
Untuk
itu
diperlukan
perangkat
peraturan
perundang-
undangan, organisasi dan sumber daya yang memadai berkaitan
dengan kekarantinaan kesehatan dan organisasi pelaksananya.
Pengaturan kekarantinaan kesehatan di Indonesia diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan
lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang
tersebut dibuat masih mengacu kepada peraturan kesehatan
internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR)
1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health
Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang
didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi.
Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati
International Health Regulations (IHR) 1969 tersebut menjadi
International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007.
Pembaharuan
terhadap
Undang-Undang
Kekarantinaan
Kesehatan diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang
cukup kuat untuk melakukan penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan secara terpadu dan sistematis.
Dengan kondisi pengaturan kekarantinaan kesehatan yang
demikian
sudah
waktunya
dilakukan
pembaharuan
secara
menyeluruh agar terdapat pengaturan kekarantinaan kesehatan
secara terpadu dan sistematis. Untuk itu diperlukan adanya
penyusunan
naskah
akademik
Rancangan
Undang-Undang
tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar bagi penyusunan
draf
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Kekarantinaan
Kesehatan.
4
B.
Identifikasi Masalah
1.
Permasalahan
apa
yang
dihadapi
terkait
dengan
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di Indonesia
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962
tentang
Karantina
Laut
dan
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara?
2.
Mengapa
diperlukan
penggantian
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara?
3.
Apa yang menjadi pertimbangan landasan filosofis,
sosiologis,
dan
yuridis
pembentukan
RUU
tentang
Kekarantinaan Kesehatan?
4.
Apa yang menjadi sasaran, ruang Lingkup, jangkauan
dan arah pengaturan dari RUU tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang akan disusun?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan Penyusunan Naskah Akademik sebagai berikut:
1.
Merumuskan
dengan
permasalahan
kekarantinaan
yang
kesehatan
dihadapi
di
terkait
Indonesia
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962
tentang
Karantina
Laut
dan
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
2.
Merumuskan
permasalahan
hukum
sebagai
alasan
penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
5
3.
Merumuskan
pertimbangan
atau
landasan
filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan RUU Kekarantinaan
Kesehatan.
4.
Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang
lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan
dalam RUU Kekarantinaan Kesehatan.
Sedangkan
kegunaan
naskah
akademik
ini
adalah
sebagai bahan acuan dalam penyusunan Rancangan UndangUndang tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pengambilan
kebijakan bidang kekarantinaan kesehatan.
D.
Metode
1.
Tipe penelitian
Penelitian terhadap permasalahan kekarantinaan
kesehatan
Metode
ini
menggunakan
dilakukan
metode
melalui
yuridis
studi
normatif.
pustaka
yang
menelaah data sekunder berupa Peraturan Perundangundangan atau dokumen hukum lainnya, dan hasil
penelitian, pengkajian, serta referensi lainnya yang
berkaitan dengan masalah yang diidentifikasi. Metode
yuridis normatif ini dilengkapi dengan diskusi terfokus,
dan rapat dengan para pihak yang berkepentingan dalam
rangka mempertajam kajian dan analisis. Para pihak
yang berkepentingan antara lain kementerian/lembaga
yang tugas pokok dan fungsinya berhubungan dengan
penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan,
keimigrasian, kepabeanan, kepelabuhanan, kebandar
udaraan dan pos lintas batas darat negara, serta unsur
pemerintah daerah. Di samping itu dilibatkan pula para
6
akademisi, pakar dibidang yang relevan serta organisasi
profesi terkait.
Dalam
rangka
permasalahan,
menyusun
pokok-pokok
perkembangan
kekarantinaan,
pertahanan dan keamanan negara, dalam penelitian ini
dilakukan pendekatan kajian untuk mendapatkan materi
dalam rangka menyiapkan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut
berjudul
Peter
Mahmud
“Penelitian
dalam
Hukum”
bukunya
terdapat
yang
beberapa
pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian
hukum, yaitu pendekatan undang-undang
approach),
pendekatan
kasus
(case
(statute
approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif
(comparative
approach),
dan
pendekatan
konseptual (conceptual approach.)1
Dalam
konteks
Penelitian
ini,
pendekatan
perundang-undangan yang dilakukan adalah dengan
menelaah peraturan perundang-undangan (regeling) dan
peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersangkut paut
dengan
kekarantinaan
kesehatan.2
Pendekatan
komparatif dilakukan dengan membandingkan secara
substanstif pengaturan dan pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan
di
negara
Indonesia
dengan
pengaturan
kekarantinaan kesehatan di dunia internasional.
1
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I, hlm. 93-94 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.391. A.
Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan
Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni
1992. 2
7
2.
Jenis Data dan Cara Perolehannya
a.
Penelitian Kepustakaan
Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, yang
sumber datanya diperoleh dari:
1)
Bahan hukum primer:
Bahan-bahan hukum yang mengikat berupa
UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundangundangan, serta dokumen hukum lainnya yang
berkaitan
dengan
kekarantinaan
Peraturan
perundang-undangan
kesehatan.
yang
dikaji
1
Tahun
1962
2
Tahun
1962
4
Tahun
1984
secara hierarkis sebagai berikut:
a. Undang-Undang
Nomor
tentang Karantina Laut;
b. Undang-Undang
Nomor
tentang Karantina Udara;
c. Undang-Undang
Nomor
tentang Wabah Penyakit Menular;
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992
tentang
Karantina
Hewan,
Ikan
dan
Tumbuhan;
e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
1995
tentang
Kepabeanan;
f.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
8
g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran;
h. Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2009
tentang Penerbangan;
i.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan;
j.
Undang-Undang
Nomor
6
Tahun
2011
tentang Keimigrasian;
2) Bahan
hukum
penjelasan
sekunder
mengenai
yang
bahan
memberikan
hukum
primer
seperti risalah sidang, konvensi internasional,
dokumen penyusunan peraturan yang terkait
dengan
penelitian
ini
dan
hasil-hasil
pembahasan dalam berbagai media dan sidang
internasional terkait kekarantinaan kesehatan.
3) Bahan
hukum
tersier
atau
bahan
hukum
penunjang seperti kamus hukum dan bahan lain
di luar bidang hukum yang dipergunakan untuk
melengkapi data penelitian.
b.
Penelitian Lapangan
Untuk menunjang akurasi data sekunder yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan dilakukan
penelitian
lapangan
guna
memperoleh
informasi
langsung dari sumbernya (data primer).
Informasi diperoleh melalui wawancara secara
terstruktur
dengan
ahli
terkait
kekarantinaan
kesehatan. Selain itu untuk mendapatkan informasi
yang
mendukung
kebutuhan
pengaturan
kekarantinaan kesehatan juga dilakukan simulasi
episenter pandemi dalam rangka kesiapsiagaan dan
9
antisipasi
serta
penilaian
kapasitas
inti
dan
implementasi penuh IHR (2005).
3.
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara kualitatif. Bahanbahan
hukum
tertulis
yang
telah
terkumpul
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah
diidentifikasi,
kemudian
dilakukan
content
analysis
secara sistematis terhadap dokumen bahan hukum dan
dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga
dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Analisis
data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang
akan menuju dasar dari penggantian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara.
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis
Teori terjadinya penyakit berkembang dari waktu ke
waktu. Pada awal abad ke-19 terdapat beberapa pendapat
mengenai kejadian penyakit dalam skala besar di masyarakat.
Pendapat pertama3 yang dikenal dengan teori lingkungan
yang didasarkan pada teori Hiprocrates menyatakan bahwa
kejadian KLB penyakit karena kualitas air dan udara karena
adanya perubahan cuaca. Pendapat kedua4 yang dituliskan
oleh
seorang
dokter
Venesia-Italia
Fracastoro (1930) menyatakan bahwa
bernama
Girolamo
kejadian penyakit
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui zat penular
(transference) yang disebut teori kontagion. Menurut teori ini
sakit terjadi karena adanya proses kontak bersinggungan
dengan sumber penyakit.
Berdasarkan teori kontagion inilah dimulai usaha isolasi
dan karantina yang dipraktekkan oleh beberapa kota di Italia
dengan melakukan karantina terhadap kapal kapal yang
berlayar dan kru kapal5, selanjutnya konsep isolasi dan
karantina kemudian mempunyai peranan positif dalam usaha
pencegahan penyakit menular hingga saat ini.
3
Greenwood M. 1933. Epidemics and Crowd Diseases: an Introduction to the study of
Epidemiology in. Epidemiology Kept Simple an introduction to the Traditional and Modern
Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition. 2003.
4
Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum Curatione in. Theories of
Causation; Dana Loomis and Steve Wings Oxford University Press. New York. 2001.
5
Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the Study of Infectious
Diseases. Oxford University Press. New York. 2001
11
Sejalan
kedokteran,
dengan
kuman
kemajuan
di
bidang
(mikroorganisme)
teknologi
dianggap
sebagai
penyebab tunggal penyakit (Robert Koch) yang dikenal sebagai
agen penyakit.
Agen penyakit menular yang bervariasi dari protein yang
bereplikasi sendiri (Prion), partikel sub virus (virusoid-delta
hepatitis agen), virus, bakteria (Chlamidia, Rickettsia, dan
Mycoplasma), fungi (ragi dan jamur), protozoa, cacing, dan
ektoparasit. Setiap agen penyakit tersebut memiliki cara dan
kemampuan untuk menginfeksi inang (host), berpindah ke
inang lainnya, dan menyebabkan penyakit. Hubungan antara
inang dan agen penyakit tersebut membentuk hubungan yang
simbiotik, komensal atau parasit, hubungan ini tergantung
kepada
agen
(environment)
(agent),
yang
inang
dikenal
(host)
teori
dan
triangle6.
lingkungan
Terjadinya
penularan penyakit dapat terjadi karena 1) adanya inang yang
rentan, bahwa meskipun seseorang hidup dalam lingkungan
penuh mikroorganisme patogen namun tetap sehat karena
sudah adanya kekebalan, 2) adanya agen patogen yang
mampu menyebabkan sakit dan 3) mikroorganisme patogen
mempunyai reservoir sebagai tempat untuk bertahan hidup
dan menggandakan diri, reservoir dimaksud diantaranya
manusia, hewan dan lingkungan, serta 4) adanya jalan keluar
dari reservoir dan jalan masuk ke inang yang rentan7.
Penularan dapat terjadi dengan satu atau lebih cara
yaitu melalui kontak (contact), benda umum (common), udara
(air borne) atau vektor (vector borne). Penularan kontak dapat
terjadi secara langsung, tidak langsung maupun percikan
6
Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David and Rutala A. William
Biological Basis on Infectious Disease Epidemiology; Oxford University Press. New York. 2001.
7
Op.Cit.,Thomas. 12
(droplet) yang jarak kurang 1 meter. Penularan benda umum
terjadi seperti melalui minuman, makanan, peralatan medis
termasuk transfusi. Penularan melalui udara terjadi dalam
jarak yang lebih jauh, sedangkan penularan melalui vektor
terjadi melalui hewan antropoda.
Namun demikian, kebanyakan jenis penyakit menular
belum diketahui dengan pasti model penularannya, padahal
pemahaman terhadap transmisi dari sumber infeksi ke inang
sangat penting dalam menentukan upaya pengendalian yang
diterapkan.
Menurut H.L. Blum status derajat kesehatan masyarakat
atau perorangan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu
lingkungan, perilaku, layanan kesehatan dan keturunan. Hal
ini didukung dengan konsep manajemen penyakit berbasis
wilayah
(Ahmadi,
keterpaduan
2005)
intervensi
yang
menyebutkan
dicerminkan
dalam
bahwa
intervensi
program, baik upaya pencegahan promotif, preventif maupun
kuratif dan rehabilitatif menuju ke suatu fokus penyakit yang
menjadi fokus prioritas nasional maupun prioritas daerah8.
Dalam merumuskan fokus tersebut maka permasalahan
kesehatan dilihat dari hulu ke hilir, mulai dari sumber
penyakit,
media
lingkungan
sebagai
transmisi,
simpul
kependudukan, kontak manusia dengan sumber penyakit dan
dampak kesehatan terhadap manusia yang dikenal dengan
teori simpul.
Penyebaran penyakit terutama penyakit potensial wabah
semakin cepat dan meluas seiring dengan tingginya arus lalu
8
Umar Fahmi Achmadi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penebit Buku Kompas
Jakarta Cetakan 1. 2005
13
lintas alat angkut, orang dan barang. Hal ini menuntut
adanya kewaspadaan yang perlu disikapi secara serius
karena dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih
luas.
Salah
satu
meminimalisasi
upaya
yang
penyebaran
diperlukan
penyakit
adalah
untuk
dengan
melakukan tindakan karantina kesehatan.
Untuk
pengaturan
itu
diperlukan
yang
memadai
adanya
bagi
dasar
instansi
hukum
terkait
atau
untuk
melakukan tindakan karantina kesehatan, karena tindakan
karantina
kesehatan
bersifat
multidisipliner
dan
multisektoral.
Karantina kesehatan telah dilaksanakan sejak lama oleh
banyak negara, bahkan sejak zaman kerajaan Romawi. Hal
itu tercermin dari pengertian karantina yang didasarkan pada
peristiwa yang terjadi. Kata "karantina" berasal dari bahasa
latin "quadraginta" yang berarti empat puluh. Ini berasal dari
lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut
yang berasal dari negara tertular penyakit epidemis, seperti
pes, demam kuning, dimana awak kapal dan penumpangnya
dipaksa untuk tetap tinggal terisolasi di atas kapal yang
ditahan di lepas pantai selama empat puluh hari, yaitu
jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang
dicurigai (Morschel, 1971).
Definisi lain dari karantina adalah tempat dimana
sebuah
alat
ditempatkan
angkut
di
(kapal
pengisolasian
laut
atau
atau
pesawat
udara)
pembatasan
dalam
perjalanan untuk mencegah agar suatu penyakit menular,
serangga hama penyakit hewan dan lain-lain tidak menyebar.
Suatu keadaan dalam masa karantina adalah suatu tempat
dimana orang, binatang atau tanaman yang berpenyakit
14
menular diisolasi atau dalam keadaan tidak dapat melakukan
perjalanan.
Menurut International Health Regulations (IHR) 2005,
karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan
seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum
menunjukkan gejala penyakit dan pemisahan alat angkut
atau barang yang diduga terkontaminasi dari orang dan atau
barang lain sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan
di
pintu
masuk
yang
merupakan
tempat
masuk
dan
keluarnya alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk
bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas darat
atau laut negara.
Di samping itu diperlukan pula kekarantinaan kesehatan
di wilayah mengingat potensi episenter pandemi berada di
wilayah, demikian pula potensi penyebaran penyakit juga
lebih besar di wilayah karena sebagian besar penduduk
terancam berada di wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan
dilakukan
dengan
surveilans
kesehatan
dan
responnya dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan.
Surveilans
kesehatan
dalam
rangka
kekarantinaan
kesehatan merupakan suatu analisis yang dilakukan secara
terus
menerus
dan
konsisten
terhadap
segala
bentuk
ancaman terhadap kedaulatan negara melalui penyakit dan
faktor risikonya, kedaruratan nuklir, dan bentuk-bentuk teror
biologi dan kimia melalui pintu masuk dan wilayah, sebagai
bagian dari proses perlindungan terhadap masyarakat dan
kedaulatan negara.
Fokus kegiatan surveilans dilakukan terhadap alat
15
angkut, orang, barang dan lingkungan serta wilayah yang
terindikasi sebagai episenter pandemi.
Tindakan kekarantinaan kesehatan merupakan kegiatan
yang dilakukan dengan 1) tindakan isolasi terhadap orang
dan barang, 2) tindakan karantina terhadap orang, barang,
alat angkut dan lingkungan, 3) tindakan vaksinasi terhadap
orang dan barang, 4) tindakan deratisasi terhadap alat
angkut dan lingkungan 5) tindakan desinseksi terhadap alat
angkut, lingkungan dan media lingkungan 6) tindakan
desinfeksi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media
lingkungan
7)
tindakan
dekontaminasi
terhadap
orang,
barang, alat angkut, dan media lingkungan dan 8) tindakan
kekarantinaan
kesehatan
lain
berdasarkan
situasi
dan
kecenderungan epidemiologi.
Tindakan karantina merupakan bagian integral dari
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan
upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya
penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Tindakan karantina tersebut bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari risiko penyebaran suatu penyakit menular,
sehingga
tidak
masyarakat
di
menimbulkan
suatu
wilayah
kedaruratan
negara
kesehatan
bahkan
yang
memungkinkan penyebaran lintas negara dan berpotensi
menimbulkan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat
yang
meresahkan dunia.
Tindakan karantina dilakukan dengan cara memisahkan
orang, barang, alat angkut
yang terpapar dengan sumber
penularan dan patut diduga dan/atau tersangka (suspek).
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
16
Kesehatan, kesehatan adalah suatu keadaan sehat baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Dengan perkembangan kondisi lingkungan
dan semakin
beragamnya
jenis-jenis penyakit yang harus ditangkal
menyebabkan
tindakan
karantina
kesehatan
diperluas
maknanya. Perluasan makna karantina kesehatan tidak
terbatas pada penyakit karantina tetapi sudah meluas pada
penyakit yang berpotensi menimbulkan kondisi Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC). Di samping itu
perlakuan tindakan karantina pun tidak hanya terbatas pada
penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang ada di
pintu masuk tetapi juga di wilayah serta pos lintas batas
darat.
Penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan
sebagai
upaya cegah tangkal masuk dan keluarnya penyakit dan
faktor risikonya dilakukan melalui :
a. Dari dalam negeri, diisyaratkan kemampuan utama
surveilans, deteksi dini dan respon cepat mulai dari
masyarakat sampai dengan tingkat nasional. Apabila
dijumpai penyakit atau kejadian yang berpotensi PHEIC
berdasarkan laporan dari masyarakat maka dilakukan
penyelidikan epidemiologis dan respon cepat mulai tingkat
puskesmas dan Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat. Di
tingkat pusat melakukan verifikasi dan koordinasi dengan
Organisasi Kesehatan Dunia.
Di dalam proses respon cepat yang di atas dilakukan
karantina rumah, karantina wilayah, pembatasan sosial
berskala besar, serta isolasi bagi kasus dan karantina di
Rumah
Sakit.
Tindakan
itu
didukung
juga
dengan
17
tindakan di pintu keluar (bandar udara, pelabuhan,
PLBDN).
b. Dari
luar
negeri,
diisyaratkan
kemampuan
utama
surveilans, deteksi dini dan respon cepat dimulai dari
pintu masuk (bandar udara, pelabuhan, PLBDN). Kegiatan
yang dilakukan adalah surveilans rutin terhadap alat
angkut,
orang,
barang
dan
lingkungan.
Disamping
surveilans rutin, juga harus memperhatikan informasi
aktual tentang penyakit yang berpotensi PHEIC yang
sedang berkembang di dalam dan luar negeri. Jika
ditemukan
indikasi,
respon/intervensi
maka
berupa
dilakukan
tindakan
suatu
kekarantinaan
kesehatan (tindakan karantina, tindakan isolasi, serta
tindakan penyehatan).
B.
Kajian Terhadap Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan
Norma
Tujuan
dari
kekarantinaan
kesehatan
sebagaimana
diuraikan di atas adalah untuk mencegah, melindungi dan
mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dan lintas
wilayah tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu
lintas dan perdagangan internasional maupun nasional
dengan
prinsip
menghormati
martabat,
hak
asasi
dan
kebebasan hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka dalam pembuatan naskah akademik ini memuat asasasas sebagai berikut:
1. Asas perikemanusiaan, berarti bahwa penyelenggaraan
kekarantinaan
perlindungan
kesehatan
dan
harus
penghormatan
dilandasi
pada
atas
nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab dan universal dengan tidak
18
membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, bangsa,
status sosial dan gender.
2. Asas
manfaat,
berarti
bahwa
penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan harus memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi perlindungan kepentingan
nasional dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
3. Asas
pelindungan,
kekarantinaan
seluruh
berarti
kesehatan
masyarakat
bahwa
harus
dari
penyelenggaran
mampu
penyakit
yang
melindungi
berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan yang meresahkan
dunia.
4. Asas keadilan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang.
5. Asas
non
diskriminatif,
penyelenggaraan
berarti
kekarantinaan
bahwa
dalam
kesehatan
tidak
membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis
kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
6. Asas
kepentingan
penyelenggaraan
umum,
berarti
kekarantinaan
bahwa
dalam
kesehatan
harus
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi atau golongan tertentu.
7. Asas keterpaduan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan
dilakukan
secara
terpadu
melibatkan lintas sektor.
8. Asas
kesadaran
penyelenggaraan
hukum,
berarti
kekarantinaan
bahwa
kesehatan
dalam
menuntut
peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari
masyarakat.
19
9. Asas
kedaulatan
penyelenggaraan
mengutamakan
meningkatkan
negara,
berarti
kekarantinaan
kepentingan
upaya
bahwa
dalam
kesehatan
harus
nasional
pengendalian
dan
ikut
kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
C.
Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang
Ada serta Permasalahan Yang Dihadapi
Di
Indonesia,
praktik
penyelenggaraan
tindakan
karantina telah dilaksanakan sejak zaman Hindia Belanda
yang diatur dalam Staatsblad Nomor 277 tentang Quarantaine
Ordonnantie yang ditetapkan pada tanggal 6 April 1911
dengan pengaturan pengawasan penyakit pes, kolera dan
demam kuning. Selanjutnya ditetapkan pula staatsblad Nomor
298 pada tanggal 22 April 1911 tentang Epidemie Ordonantie
yang merupakan bagian dalam pelaksanaan staasblad No 277
tersebut di atas. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda
menetapkan Pilgrim Ordonnantie tahun 1922, yaitu dengan
dilaksanakannya “pengasingan” pada suatu tempat terhadap
calon
Jemaah
haji
untuk
memastikan
bahwa
kondisi
kesehatan para calon Jemaah haji yang akan berangkat ke
tanah suci bebas dari penyakit menular yang dapat berjangkit
selama perjalanan maupun di negara tujuan (Arab Saudi),
sehingga mengganggu kelangsungan ibadah haji.
Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat, yaitu di
Pulau Onrust di gugusan Kepulauan Seribu dan Pulau
Rubiah di Wilayah Sabang. Kekarantinaan pada zaman
Hindia Belanda diselenggarakan oleh Harbour Maaster.
Pada
awal
kemerdekaan,
kekarantinaan
tetap
dilaksanakan terhadap calon Jemaah haji sampai pada tahun
20
1953 WHO mengeluarkan International Sanitary Regulation
(ISR) guna mengantisipasi berbagai epidemi yang berlangsung
di negara-negara Eropa serta Benua Amerika dan Benua Asia,
seperti penyakit pes, influenza, malaria, kolera, dan cacar.
Penyelenggaraan
internasional
perkembangan
terus
kekarantinaan
berkembang
penyakit
menular
kesehatan
secara
sejalan
dengan
yang
potensial
menimbulkan wabah. Dalam konvensi internasional yang
ditetapkan melalui ISR 1953, kekarantinaan difokuskan pada
upaya untuk mencegah dan menangkal (port of entry dan port
d’entry) melalui pintu masuk, yaitu pelabuhan dan bandar
udara, sehingga dalam kekarantinaan kesehatan dikenal
adanya penyakit karantina, yaitu kolera, pes, demam kuning,
demam balik-balik, tifus bercak wabahi dan cacar. Seperti
pada zaman Hindia Belanda, kekarantinaan di Indonesia
diselenggarakan oleh otoritas bandar udara dan pelabuhan.
Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia menetapkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara, yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Pelabuhan Laut dan Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara.
Dinas Kesehatan Pelabuhan tersebut merupakan unsur
Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab
di bawah Kantor Wilayah Kesehatan, dengan tugas utama
melaksanakan
upaya
cegah
tangkal
terhadap
penyakit
karantina melalui pelabuhan dan bandar udara.
Sesuai perkembangan penyelenggaraan pemerintahan
dengan
melakukan
desentralisasi,
organisasi
Dinas
Kesehatan Pelabuhan Laut dan Udara disesuaikan menjadi
Kantor Kesehatan Pelabuhan yang merupakan unit pelaksana
21
teknis Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung
jawab di bawah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas
di bidang pemberantasan penyakit menular.
Praktik kekarantinaan kesehatan terus berkembang
dalam kerangka tugas QIC (quarantine, immigration, custom),
dengan melakukan upaya pengamatan penyakit menular,
penyehatan lingkungan, serta tindakan isolasi dan karantina
terhadap alat angkut, orang/pelaku perjalanan, dan barang.
Upaya pengamatan penyakit menular dilakukan dengan
penemuan kasus, pencegahan dengan pemberian vaksinasi
sebagai prasyarat untuk memperoleh sertifikat vaksinasi
internasional (ICV), dan melakukan pengawasan sanitasi
terhadap alat angkut untuk memperoleh dokumen sanitasi
kapal,
serta
pengawasan
terhadap
orang,
barang,
dan
lingkungan guna mencegah kemungkinan penyebaran atau
penularan penyakit di lingkungan pintu masuk.
Pada dekade awal tahun 2000, dunia dikejutkan dengan
munculnya jenis penyakit baru yang menimbulkan epidemi,
seperti
SARS
dan
flu
burung
(H5N1),
sehingga
WHO
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan
kesiapsiagaan di setiap negara anggota, termasuk dalam
pelaksanaan kekarantinaan. Selanjutnya, terjadi penyakit
baru lagi yang belum diketahui penyebabnya, seperti ILI
(influenza like illness) dan kejadian penyakit zoonosis yang
muncul kembali dan menyerang manusia.
Berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi
khususnya kejadian penyakit menular potensial wabah,
diperkirakan bahwa penyakit menular bersumber binatang
dan
penyakit
zoonosis
lainnya
akan
semakin
menjadi
ancaman kesehatan masyarakat. Indonesia sebagai negara di
22
wilayah
tropis
memiliki
penyakit
bersumber
binatang
dan/atau penyakit zoonosis yang potensial sewaktu-waktu
menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit
menular seperti pes, antrax, rabies, leptospirosis, japanese
enchepalitis telah lama endemis di Indonesia dan berkali-kali
menimbulkan kejadian luar biasa, bahkan terdapat penyakit
zoonosis yang dahulunya hanya menyerang primata telah
menyebrang ke manusia, seperti filariasis yang ditularkan
dengan
perantaraan
cacing
mikrofilaria
pahangi
di
Kalimantan. Di beberapa perairan Indonesia tumbuh dan
berkembang sejenis ganggang merah yang pada musimmusim tertentu dapat menjadi penyebab kematian terutama
pada nelayan yang mencari penghidupan di lautan.
Dengan kemajuan teknologi kesehatan, jenis binatang
tertentu seperti serangga, unggas, primata, dan binatang
peliharaan lainnya dapat direkayasa menjadi vektor dan
binatang pembawa penyakit yang potensial menimbulkan
kejadian luar biasa atau wabah.
Pada tahun 2005, Badan Pekerja WHO (WHA) telah
menyepakati konvensi berupa International Health Regulation
(IHR) 2005. Dalam konvensi ini, perhatian utama diarahkan
terhadap
kedaruratan
kesehatan
masyarakat
yang
meresahkan dunia (KKMMD) yang merupakan akibat dari
wabah penyakit dan kejadian kesakitan atau kematian oleh
agen biologi, kimia, dan nuklir (Nubika). Perhatian juga
diarahkan terhadap kemungkinan terjadinya bioterorisme
yang dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu, dengan tujuan
menimbulkan kekacauan, kepanikan, dan musibah massal.
Pada
dasarnya
praktik
kekarantinaan
kesehatan
dilaksanakan sesuai standar internasional yang ditetapkan
23
oleh WHO dengan kolaborasi IMO, ICAO, ILO, dan IATA,
meskipun
secara
organisasi
setiap
negara
diberikan
kewenangan sesuai dengan hukum yang berlaku pada
masing-masing negara. Filosofi kekarantinaan kesehatan
pada dasarnya adalah melakukan pembatasan terhadap
pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta lingkungan
yang dicurigai berpotensi menjadi sumber penyebaran dan
penularan penyakit serta faktor risikonya dengan prinsip
minimal pembatasan dan maksimal perlindungan.
Dengan
munculnya
penyakit
baru
(new
emerging
diseases) dan penyakit yang lama muncul kembali (reemerging diseases), baik di wilayah Indonesia maupun di luar
negeri,
maka
ditingkatkan
kesehatan
upaya
kekarantinaan
intensitasnya
guna
melalui
mengidentifikasi
kesehatan
akselerasi
berbagai
semakin
surveilans
kemungkinan
penyebaran penyakit antarwilayah maupun antarnegara.
Untuk
meningkatkan
kemampuan
dalam
kekarantinaan
kesehatan dilakukan penataan organisasi, yaitu menetapkan
organisasi baru Kantor Kesehatan Pelabuhan, dengan fokus
tugas melakukan kekarantinaan dan surveilans kesehatan,
pengendalian risiko lingkungan, dan upaya kesehatan lintas
wilayah
termasuk
pelayanan
kesehatan
terbatas
guna
mengidentifikasi potensi penyebaran penyakit menular.
Sebagai
berkewajiban
bagian
dari
melakukan
masyarakat
upaya
dunia,
Indonesia
pencegahan
terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health
Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini
Indonesia
harus
melakukan
pembaharuan
secara
24
menyeluruh
pengaturan
kekarantinaan
kesehatan
agar
terdapat pengaturan secara terpadu dan sistematis. Beberapa
pokok-pokok permasalahan yang harus segera ditangani,
antara lain :
1.
Penyesuaian dengan IHR 2005
Pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang
ada, masih didasarkan pada ISR tahun 1953, sementara
perkembangan ketentuan internasional yang berlaku
telah didasarkan pada IHR tahun 2005.
Akibatnya banyak istilah atau definisi dalam UndangUndang Karantina yang sudah tidak sesuai lagi dengan
ketentuan
internasional
yang
berlaku
saat
ini.
Disamping itu dalam Undang-Undang Karantina belum
mengakomodir materi muatan yang berkaitan dengan
peningkatan core capacities di setiap pintu masuk dan
keluar sebagaimana yang telah dipersyaratkan oleh IHR
(2005).
Core
capacities
surveilans
rutin,
koordinasi
dan
tersebut
surveilans
komunikasi
meliputi
respon
dalam
adanya
cepat,
serta
penyelenggaraan
karantina kesehatan.
Dalam IHR (2005) juga dicantumkan mengenai new
emerging diseases, emerging diseases dan re-emerging
diseases. Hal penting terhadap new emerging diseases
adalah
kemampuan
untuk
mengidentifikasi
dan
antisipasi terhadap sumber penyebab, penyebab dan
pola penyebarannya. Sedangkan re-emerging diseases
adalah kemampuan untuk melakukan analisis terhadap
kemungkinan terjadinya mutasi, resistensi dan pola
penyebarannya.
Selain
itu
dalam
IHR
(2005)
juga
mencantumkan ancaman kesehatan yang bersumber
25
dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA) yang
berpotensi
menimbulkan
masyarakat
yang
kedaruratan
meresahkan
kesehatan
masyarakat
dunia
(PHEIC).
Pengamatan
dan
pengawasan
terhadap
obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif
(OMKABA) juga merupakan bagian dari penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan. Sementara ketentuan tersebut
belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang
Karantina yang ada.
Dalam praktik kekarantinaan kesehatan, untuk
pengawasan OMKABA banyak negara mempersyaratkan
sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh otoritas kesehatan
di pintu masuk negara (embarkasi), sebagai bentuk
legalisasi dalam proses keluar masuknya barang tersebut
antar negara.
Apabila negara tujuan meminta sertifikat kesehatan
untuk OMKABA maka otoritas karantina kesehatan
menerbitkan sertifikat kesehatan atau surat keterangan
kesehatan OMKABA.
Untuk itu perlu adanya perubahan penetapan
bukan hanya jenis penyakit karantina, tetapi juga
mencakup penyakit lama yang muncul kembali (reemerging
diseases),
new
emerging
diseases
dan
pengaturan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya
kondisi
PHEIC,
antara
lain
ancaman
kesehatan yang bersumber dari kontaminasi nuklir,
biologi,
Karantina
kimia
(NUBIKA).
Kesehatan
juga
Dalam
harus
Undang-Undang
mencantumkan
kewajiban adanya core capacities IHR 2005.
26
2.
Praktik
Kekarantinaan
Kesehatan
yang
lebih
komprehensif
Pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan
Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan wilayah.
Penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan
tersebut
harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Namun
dalam
praktiknya,
penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan saat ini baru dilakukan di pintu masuk,
khususnya di pelabuhan dan bandar udara. Selain hal
tersebut, diperlukan pula pengaturan kekarantinaan
kesehatan di Pos Lintas Batas Darat Negara, zona
karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah.
a)
Kekarantinaan Kesehatan Di Pos Lintas Batas
Darat Negara
Dalam ketentuan karantina yang berlaku saat
ini, kekarantinaan kesehatan hanya dilakukan di
pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan
barang, khususnya Pelabuhan dan Bandar udara.
Sementara perkembangan yang ada di pintu masuk
dan keluar, terjadi pula di pos lintas batas darat
negara
yang
berpotensi
pula
menjadi
media
penyebaran penyakit menular. Pos lintas batas darat
negara seperti di pos lintas batas darat Indonesia
dengan Malaysia, Indonesia dengan Papua Nugini,
Indonesia dengan Timor Leste menjadi sarana lintas
batas orang dan barang yang cukup intensif. Hal ini
menuntut
pula
agar
kekarantinaan
kesehatan
diperluas pada wilayah dan pos lintas batas darat
negara.
27
Kondisi tersebut belum diatur dalam UndangUndang Karantina yang ada. Untuk itu diharapkan
pengaturan Undang-Undang Karantina Kesehatan
yang akan datang perlu dicantumkan ketentuan
mengenai kekarantinaan kesehatan di wilayah dan di
pos lintas batas darat negara.
b)
Zona Karantina
Dalam praktiknya untuk melakukan tindakan
kekarantinaan kesehatan terhadap alat angkut dan
muatannya diperlukan adanya zona karantina, baik
di lingkungan pelabuhan maupun di bandar udara.
Undang-Undang
mengatur
Karantina
keberadaan
pelaksanaan
zona
zona
yang
ada,
karantina,
karantina
didasarkan
belum
tetapi
pada
pertimbangan epidemiologis.
Keberadaan
zona
karantina
belum
dapat
diimplementasikan secara optimal pada pintu masuk
dan keluar alat angkut beserta muatannya. Hal itu
akan menyulitkan penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan, apabila terjadi kasus penyebaran penyakit
yang
memerlukan
tindakan
kekarantinaan
kesehatan.
Berdasarkan
hal
tersebut,
perlu
adanya
pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang
akan datang mengenai penetapan zona karantina di
setiap pintu masuk dan keluar alat angkut, orang
dan barang. Dalam penetapan zona karantina baik di
pelabuhan, bandar udara, atau pos lintas batas darat
28
negara serta di wilayah ditentukan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi wilayah yang bersangkutan.
c)
Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah
Pada
akhir-akhir
ini
sering
terjadi
adanya
pandemi di suatu wilayah tertentu di Indonesia yang
dapat
menimbulkan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat, misalnya ketika terjadinya pandemi
Avian Influenza (H5N1) dan Swine Flu (H1N1). Untuk
mencegah timbulnya penyebaran penyakit tersebut
salah
satunya
kekarantinaan
perlu
dilakukan
kesehatan
pada
tindakan
wilayah
yang
terjangkit.
Tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah
dilaksanakan
terhadap
wilayah
yang
ditemukan
kasus/sumber penularan penyakit potensial wabah
agar tidak terjadi penyebaran penyakit ke wilayah
lain.
Sementara itu belum ada pengaturan untuk
melakukan kekarantinaan kesehatan di wilayah yang
terjangkit pandemi. Terkait hal tersebut perlu adanya
ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan dan
mekanisme,
penetapan
tindakan
kekarantinaan
kesehatan di wilayah, karena berhubungan dengan
otonomi daerah. Pengaturan tersebut harus mampu
mensinergi
penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan antara Pusat dengan daerah.
3.
Penegakan Hukum dalam Kekarantinaan Kesehatan
29
Sesuai
prinsip
dasar
kekarantinaan
kesehatan
adalah seminimal mungkin melakukan pembatasan dan
semaksimal
mungkin
memberikan
perlindungan
terhadap orang yang diduga kontak dengan penderita
atau sumber penularan lainnya. Terhadap mereka yang
positif menderita penyakit dilakukan isolasi di rumah
sakit
yang
ditunjuk
untuk
dilakukan
penanganan,
sedangkan terhadap suspek atau kontak dikenakan
tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi
terpanjang dari penyakit yang diderita. Terhadap alat
angkut dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan
sesuai
dengan
faktor
risikonya,
seperti
desinfeksi,
disinseksi, deratisasi, dan/atau dekontaminasi.
Dalam hal terjadi penyimpangan atau pelanggaran
terhadap
pelaksanaan
kekarantinaan
kesehatan,
dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
praktiknya,
pelanggaran
terhadap
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sering terjadi,
seperti terjadinya penolakan tindakan kekarantinaan
kesehatan, pemalsuan dokumen, dan pelanggaran izin
kekarantinaan.
Keterbatasan
undangan
dalam
dukungan
penindakan
peraturan
perundang-
terhadap
pelanggaran
kekarantinaan kesehatan, seperti sanksi pidana maupun
sanksi administrasi yang terlalu ringan, menyebabkan
berulangnya
pelanggaran-pelanggaran
dan
tidak
menimbulkan efek jera. Kondisi ini jelas memberikan
dampak
yang
luas,
seperti
timbulnya
penyebaran
penyakit di wilayah negara, terganggunya kegiatan
30
ekspor-impor, kepariwisataan, dan akhirnya mengancam
kondisi sosial, ekonomi, serta keamanan dan pertahanan
negara.
Sebagai gambaran, masuknya penyakit polio ke
wilayah Indonesia (Sukabumi) dari Afrika (Nigeria) pada
tahun 2005, negara harus menanggung beban untuk
melindungi seluruh bayi dan anak balita agar tidak
terserang
penyakit
polio
dengan
melakukan
Pekan
Imunisasi Nasional yang menghabiskan dana lebih dari
satu trilyun Rupiah. Kejadian merebaknya MERS-CoV di
Arab
Saudi
berpengaruh
terhadap
penyelenggaraan
ibadah haji dan umrah karena setiap calon Jemaah perlu
memperoleh perlindungan maksimal, yang memerlukan
biaya negara yang besar.
Sebaliknya apabila terjadi ancaman penyakit dari
luar dan negara tidak melakukan tindakan untuk
antisipasi, maka dapat berakibat negara mendapat
peringatan (warning), seperti travel warning, penghentian
ekspor-impor,
yang
sangat
merugikan
kegiatan
pariwisata dan perdagangan yang jelas akan berdampak
negatif terhadap devisa negara.
Kondisi tersebut di atas belum dilindungi oleh
hukum
yang
mengatur
terhadap
kekarantinaan
kesehatan saat ini. Oleh karena itu, diperlukan payung
hukum dalam bentuk undang-undang untuk melakukan
pengaturan
yang
lebih
komprehensif
agar
seluruh
komponen negara mampu melakukan deteksi dini dan
menyelenggarakan
kekarantinaan
kesehatan
serta
penanganan dampaknya secara lebih efektif dan efisien.
31
4.
Kelembagaan
Kekarantinaan
kesehatan
secara
praktik
di
lapangan hanya dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis
Kementerian
Kesehatan,
yaitu
Kantor
Kesehatan
Pelabuhan (KKP). Kewenangan KKP sebagai lembaga
yang melaksanakan penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan di pintu masuk sangat terbatas. Kondisi ini
juga diperberat oleh belum optimalnya koordinasi dan
komunikasi antar instansi dalam pelaksanaan tugas
QICP (quarantine, immigration, custom, port).
Sebagai gambaran, dalam peraturan perundangundangan dijelaskan bahwa alat angkut yang datang
dari luar negeri berada dalam status karantina karena
berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan
penyakit serta faktor risikonya. Untuk itu, sesuai dengan
aturan internasional, jajaran kesehatan (KKP) yang
memiliki kewenangan untuk paling awal melakukan
pengawasan, pengamatan, dan pemeriksaan terhadap
alat angkut tersebut.
Namun dalam praktik di lapangan, seringkali aturan
ini
tidak
ditaati
dan
dilanggar
sehingga
dapat
membahayakan kesehatan masyarakat dan petugas yang
bersangkutan. Pada akhirnya kondisi tersebut dapat
berpotensi terjadinya penyebaran penyakit yang lebih
luas di wilayah negara melalui pintu masuk. Salah satu
penyebab tidak berjalannya koordinasi pada tugas QICP
karena KKP hanya merupakan unit pelaksana teknis
yang sangat terbatas kewenangannya.
Mengingat dalam pelaksanaan tugas QICP di pintu
masuk dilaksanakan oleh jajaran Kementerian terkait
32
(unsur pusat), maka perlu dikaji organisasi kelembagaan
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang ada
pada saat ini. Organisasi penyelenggara kekarantinaan
kesehatan
agar
lebih
efektif
dan
efisien,
perlu
dipertimbangkan sebagai berikut.
a. Di pintu masuk (pelabuhan, Bandar udara, dan
PLBDN), kekarantinaan kesehatan dilakukan oleh
organisasi pusat di wilayah sebagai unsur perwakilan
pusat dalam bentuk Kantor Wilayah.
b. Di pusat sebagai unit utama Kementerian Kesehatan
dalam bentuk Direktorat Jenderal untuk menyusun
kebijakan
teknis,
NSPK,
serta
pengendalian
dan
pengawasan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan.
5.
Kondisi Sumber Daya
KKP di seluruh Indonesia saat ini berjumlah 49 unit
kerja, yang memiliki 304 wilayah kerja. Jumlah personel
tercatat sebanyak 2.616 orang. Setiap KKP sesuai
dengan klasifikasi dan beban kerjanya dilengkapi dengan
sarana dan prasarana berupa gedung dan bangunan,
sarana operasional, dan sarana pendukung lainnya
untuk
kelancaran
tugas
kekarantinaan
kesehatan.
Dibandingkan dengan beban tugas yang diemban, maka
kondisi sumber daya yang tersedia saat ini masih
minimal. Sebagai gambaran, sumber daya manusia
teknis
sesuai
dengan
analisis
beban
kerja
masih
memerlukan kurang lebih 500 tenaga teknis fungsional,
seperti
dokter,
epidemiolog
perawat
kesehatan,
kesehatan
sanitarian,
dan
masyarakat,
entomolog
kesehatan.
33
Sumber
pembiayaan
dalam
penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan berasal dari APBN Kementerian
Kesehatan
dalam
jumlah
yang
belum
optimal,
khususnya guna mendukung operasional di lapangan.
D.
Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru
Dengan
berlakunya
Undang-Undang
Kekarantinaan
Kesehatan akan melahirkan implikasi baik yang bersifat
negatif ataupun positif dalam penerapannya.
Implikasi tersebut memerlukan antisipasi dari pihakpihak yang akan terkena dampak dari penerapan suatu
Undang-Undang yang meliputi:
1.
Sosial
Dengan
adanya
perubahan
Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan, terutama dengan penetapan
wilayah dalam status karantina, maka setiap aktivitas
dan mobilitas warga menjadi terganggu. Oleh karena itu
diperlukan adanya penyuluhan secara intensif agar
warga mengetahui manfaat dan tujuan dari penetapan
wilayah
dalam
penetapan
status
wilayah
bekerjasama
dan
karantina.
dalam
status
berkoordinasi
Di
samping
karantina
dengan
itu
harus
pemerintah
daerah setempat.
Adanya
kemungkinan
komplain
dari
pemilik
angkutan dan pengguna jasa berkaitan dengan adanya
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang lebih
ketat
atau
pengeluaran
pembatasan
barang,
tempat
maka
perlu
pemasukan
adanya
dan
suatu
mekanisme yang dapat diterima oleh semua pihak
dengan
prinsip
penyelenggaraan
kekarantinaan
34
kesehatan
tidak
mengganggu
arus
perjalanan
dan
perdagangan.
2.
Beban Keuangan Negara
Pada
dasarnya
kekarantinaan
kesehatan
merupakan upaya perlindungan terhadap kedaulatan
negara, khususnya di bidang kesehatan agar tidak
berdampak negatif terhadap perekonomian, kehidupan
sosial,
serta
keamanan
Kekarantinaan
dan
kesehatan
pertahanan
memerlukan
negara.
dukungan
anggaran negara, namun dibanding dengan dampak
yang ditimbulkan, maka kekarantinaan kesehatan lebih
besar
manfaatnya
dikeluarkan.
dibanding
Sebagai
dengan
gambaran,
biaya
untuk
yang
melakukan
tindakan karantina membutuhkan biaya perawatan dan
pengobatan. Namun apabila tindakan karantina tidak
dilaksanakan
dapat
menimbulkan
kedaruratan
kesehatan masyarakat yang akan berdampak luas di
masyarakat.
3.
Kelembagaan
Untuk
mewujudkan
adanya
penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan yang efektif dan efisien, perlu
dilakukan penataan organisasi sebagai penyelenggara di
wilayah, pintu masuk, maupun di pusat, yang menjadi
organ Kementerian Kesehatan mengingat kekarantinaan
kesehatan
merupakan
urusan
antar
negara
yang
menjadi kewenangan pusat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dengan
demikian,
terjadi
keseimbangan dalam eselonisasi maupun dalam tugas
35
dan kewenangan pada penyelenggaraan QICP sehingga
pejabat karantina kesehatan dapat menjalankan tugas
sesuai dengan kewenangan yang memadai.
4.
Penyediaan Sarana dan Prasarana
Dengan
Kekarantinaan
pemberlakuan
Kesehatan
Undang-Undang
akan
diwajibkan
bagi
Pemerintah atau pengelola pelabuhan, bandar udara dan
pos lintas batas darat negara untuk menyediakan ruang
karantina bagi kontak dengan suspek penyakit PHEIC,
ambulans khusus untuk proses evakuasi serta peralatan
yang dapat digunakan untuk deteksi dini terhadap
PHEIC secara cepat (rapid test). Saat ini sebagian KKP
telah memiliki ruang karantina, namun idealnya seluruh
KKP seharusnya wajib memiliki ruang karantina dan
kapasitas pendukung lainnya.
5.
Hukum
Dengan
pemberlakuan
Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan pencabutan
terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
kekarantinaan kesehatan, baik Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut maupun UndangUndang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Selanjutnya,
untuk
melaksanakan
operasional
di
lapangan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaan,
mengatur
berupa
mengenai
Peraturan
tata
cara
Pemerintah
pengenaan
yang
sanksi
administratif dan kriteria pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan di wilayah, Peraturan Menteri yang berkaitan
36
dengan
teknis
penyelenggaraan
kekarantinaan
kesehatan, dan SOP teknis kekarantinaan kesehatan di
pintu masuk dan di wilayah sebagai panduan bagi
pejabat kekarantinaan kesehatan.
37
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.
Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara
Dilihat dari segi materi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara, sudah tidak sesuai
dengan
perkembangan
epidemiologi,
teknologi
perubahan
iklim
tansportasi,
global,
tata
transisi
hubungan
internasional maupun nasional, tata pemerintahan, dan
kondisi
lingkungan
hidup,
sehingga
banyak
tindakan-
tindakan yang sebenarnya merupakan lingkup kekarantinaan
kesehatan belum dapat diakomodasi.
Secara umum kedua undang-undang tersebut mengatur
jenis
penyakit
penetapan
yang
dan
pelabuhan/bandar
memerlukan
pencabutan
udara
dari
tindakan
karantina;
terjangkitnya
penyakit
suatu
karantina;
penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka atau terjangkit;
penggolongan pelabuhan/bandar udara dalam karantina;
pengawasan dan penerbitan dokumen kesehatan alat angkut
dan orang; tata cara dan tindakan karantina pada saat
kedatangan dan keberangkatan pada alat angkut berserta
muatannya; tindakan khusus terhadap penyakit karantina;
penegakan hukum atau ketentuan pidana; dan
peraturan
tambahan.
38
Jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit karantina
yang
ditetapkan
dalam
kedua
undang-undang
tersebut
meliputi Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar, Tifus bercak
wabahi
dan
Demam
balik-balik.
Dalam
kenyataannya
penyakit-penyakit tersebut sudah kurang relevan karena
beberapa alasan yaitu:
1. Penyakit
cacar
sudah
dinyatakan
musnah
(berhasil
dieradikasi di Indonesia sejak tahun 1974);
2. Saat ini IHR 2005 telah diberlakukan terhitung mulai 15
Juni 2007 dan telah berkembang lebih luas, di mana
tidak hanya mencakup penyakit karantina tetapi juga
mencakup PHEIC;
3. Saat ini di dunia sudah banyak muncul penyakit baru
seperti SARS dan Avian Influenza yang sangat potensial
untuk menyebar ke seluruh dunia.
Penetapan dan pencabutan penetapan terjangkitnya
suatu pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina
dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan pertimbangan
epidemiologis dan pengujian laboratorium atau selama 2 (dua)
masa inkubasi suatu penyakit karantina. Ketentuan ini
masih relevan dengan kondisi saat ini, sehingga masih layak
dipertahankan.
Penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka, atau
terjangkit
dimaksudkan
karantina
terhadap
untuk
orang
dan
menentukan
barang.
tindakan
Penggolongan
pelabuhan/bandar udara karantina dimaksudkan untuk
menentukan
klasifikasi
pelabuhan/bandar
udara
yang
mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan tindakan
karantina.
39
Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu
pengaturan mengenai siapa yang berwenang
penggolongan
kapal/pesawat
menetapkan
dan
penggolongan
pelabuhan/bandar udara.
Setiap
kapal/pesawat
wajib
memiliki
dokumen
kesehatan sebagaimana juga diharuskan oleh IHR 2005 dan
ketentuan internasional lainnya, oleh sebab itu di dalam
kedua undang-undang tersebut diatur bagaimana penerbitan
dokumen kesehatan alat angkut dan orang. Ketentuan ini
masih layak dipertahankan, namun beberapa istilah dan
bentuk
dokumen
kesehatan
menurut
ketentuan
internasional mengalami perubahan, oleh sebab itu dalam
ketentuan baru perlu penyesuaian.
Setiap kapal/pesawat yang datang dari luar negeri dan
atau dari suatu pelabuhan dalam negeri yang terjangkit
penyakit
karantina
berada
dalam
karantina,
dimana
nahkoda/pilot dilarang menaikan atau menurunkan orang
dan barang sebelum memperoleh surat izin bebas karantina,
dan kapal tersebut bebas karantina setelah diberikan surat
izin karantina. Setiap kapal/pesawat yang akan berangkat
harus
dilakukan
pemeriksaan
penumpang
masyarakat.
kesehatan,
pemeriksaan
kesehatan
serta
dokumen
awak/personal
pemeriksaan
faktor
Setelah
dinyatakan
baru
diberikan
kesehatan,
penerbang
risiko
sehat
surat
dan
kesehatan
oleh
petugas
persetujuan
berlayar/terbang karantina kesehatan. Ketentuan ini masih
layak dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk
kapal/pesawat yang datang dari pelabuhan/bandar udara
dalam negeri.
40
Terhadap
kapal/pesawat
yang
penumpangnya
mengalami penyakit karantina harus dilakukan tindakan
khusus karantina atau penanganan terhadap alat angkut
beserta
muatannya
sesuai
jenis
penyakit
karantina.
Ketentuan ini masih perlu dipertahankan, karena masih
sesuai dengan tata laksana kasus penyakit.
Pelanggaran terhadap kedua undang-undang tersebut
dikenakan sanksi pidana kurungan 1 (satu) tahun penjara
dan/atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.75.000,-.
Ketentuan mengenai sanksi ini sudah tidak relevan karena
tidak
menimbulkan
efek
jera,
oleh
sebab
itu
perlu
disesuaikan dengan kondisi saat ini. Untuk lebih operasional
kedua undang-undang karantina memerintahkan pengaturan
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, akan tetapi
sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah dimaksud.
Dari sisi maksud dan tujuan dilakukannya tindakantindakan karantina, yakni menolak dan mencegah masuk dan
keluarnya penyakit karantina melalui sarana transportasi
laut maupun udara, kedua undang-undang tersebut masih
relevan. Namun dalam tataran implementasi sangat sulit
dilaksanakan, karena perkembangan teknologi tranportasi,
meningkatnya
mobilitas
orang
dan
barang,
transisi
epidemiologi, tata hubungan internasional maupun nasional,
tata pemerintahan, serta kondisi lingkungan hidup, maka
kedua undang-undang ini perlu diganti dan disesuaikan
dengan kondisi saat ini.
41
B.
Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan Internasional
dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan
Kekarantinaan Kesehatan
1.
IHR 2005
Pada IHR 1969 penyakit yang diatur hanya 6
penyakit karantina (Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar,
Tifus bercak wabahi dan Demam balik-balik,) dan
diutamakan pada pintu masuk (pelabuhan, bandar
udara dan lintas batas negara). Setelah itu ditetapkan
IHR 2005 yang sudah mencakup seluruh penyebab
kejadian yang menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat
yang
meresahkan
dunia
(PHEIC)
dan
memerlukan respon internasional yang terkoordinasi.
Dengan telah ditetapkannya IHR 2005, banyak hal
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1962 tentang Karantina Udara menjadi tidak relevan lagi,
seperti
istilah
penyakit
karantina,
jenis
dokumen
kesehatan dan core capacities. Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat dunia juga harus ikut menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi pada IHR. Beberapa
perkembangan yang harus diakomodasi dalam IHR 2005
tersebut seperti perubahan orientasi dari beberapa
penyakit
karantina
menjadi
PHEIC
dan
adanya
penetapan National Focal Point. Untuk menghindari
sanksi
dikucilkannya
Indonesia
dari
pergaulan
internasional, maka diperlukan beberapa penyesuaian
produk hukum termasuk Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
42
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
Hal-hal yang perlu diakomodasi di dalam ketentuan
karantina yang baru antara lain:
a. Perubahan dokumen kesehatan, antara lain yang
semula
sertifikat
hapus
tikus
(Deratting
Certificate/DC)/sertifikat bebas hapus tikus (Deratting
Exemption Certificate/DEC) menjadi sertifikat tindakan
sanitasi
kapal
(Ship
Sanitation
Control
Certificate/SSCC)/sertifikat bebas tindakan sanitasi
kapal
(Ship
Sanitation
Control
Exemption
Certificate/SSCEC).
b. Core capacities yang meliputi komunikasi-koordinasi,
pengawasan rutin dan respon PHEIC.
2.
Undang-Undang
Nomor
36
Tahun
2009
tentang
Kesehatan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan istilah karantina terdapat di bab X
mengenai penyakit menular dan tidak menular, Pasal
154 dan Pasal 155, mengatur bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah menetapkan jenis
penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina dan lama
karantina. Pemerintah daerah dalam menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan
jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina dan lama karantina secara berkala.
Dalam
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
43
Tahun 1962 tentang Karantina Udara, jenis penyakit
yang memerlukan tindakan karantina secara langsung
ditentukan dalam Undang-Undang tersebut, akan tetapi
dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, penetapan jenis penyakit yang memerlukan
tindakan karantina didelegasikan kepada Pemerintah
dan
pemerintah
daerah.
Penetapan
tersebut
harus
diumumkan dan dilakukan secara berkala. Konsekuensi
dari
pengaturan
penetapan
ini,
maka
ketentuan
mengenai
jenis penyakit yang ada di dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara perlu dilakukan penyesuaian.
3.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab I,
Pasal
1
yang
berjangkitnya
dimaksud
status
wabah
penyakit
adalah
kejadian
menular
dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan petaka.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular dalam Bab I, Pasal 1 (7) Kejadian Luar Biasa
(KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan
merupakan
keadaan
yang
dapat
menjurus
pada
terjadinya wabah.
44
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab V
Pasal 5 ayat 1 tentang Upaya penanggulangan Wabah
meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologi;
b. Pemeriksaan,
pengobatan,
perawatan
dan
isolasi
penderita termasuk karantina;
c. Pencegahan dan pengebalan;
d. Pemusnahan penyebab penyakit;
e. Penanganan jenazah akibat wabah;
f. Penyuluhan kepada masyarakat;
g. Upaya penanggulangan lainya.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun
1991,
Pasal
20
disebutkan
bahwa
upaya
penanggulangan KLB diperlakukan sama dengan upaya
penanggulangan wabah.
Upaya
karantina
dilakukan
bila
ada
ancaman
kemungkinan penyebaran penyakit tersebut ke daerah
lain. Bahkan sangat dimungkinkan diilakukan karantina
wilayah bagi suatu daerah apabila memang dianggap
perlu. Upaya ini dilakukan untuk mencegah keluar
masuknya penyakit dari atau ke suatu daerah.
4.
Undang-Undang
Nomor
16
Tahun
1992
tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang
Karantina
Hewan,
Ikan,
karantina
sebagai
upaya
tersebarnya
hama
dan
dan
Tumbuhan
pencegahan
penyakit
mengatur
masuk
hewan,
ikan
dan
dan
tumbuhan.
45
Dalam teori dinamika penyakit hewan, ikan dan
tumbuhan
yang
mengandung
bahan
berbahaya
termasuk bibit penyakit adalah merupakan faktor risiko
terjadinya masalah kesehatan bagi manusia, sehingga
pengaturan karantina hewan, ikan dan tumbuhan juga
harus
memperhatikan
aspek
kesehatan
manusia.
Dengan demikian pada implementasi dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
yang
sebenarnya
berhubungan,
ada
sehingga
berkesinambungan
kekarantinaan,
kemiripan
diperlukan
dari
baik
instansi
dari
dan
saling
koordinasi
yang
yang
menangani
Kementerian
Kesehatan,
Kementerian Pertanian, maupun Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992,
pemeriksaan terhadap dokumen dan media pembawa
penyakit hewan yang ada di atas kapal harus dilakukan
pada
setiap
kapal
yang
akan
berlabuh.
Tindakan
penolakan terhadap kapal baru dapat dilakukan apabila:
1) Setelah dilakukan pemeriksaan diatas alat angkut,
tertular hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina atau tidak bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau
rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang
pemasukannya;
2) Persyaratan: a) dilengkapi sertifikat kesehatan dan
46
dari negara/area asal; b) melalui tempat-tempat
pemasukan yang telah ditetapkan; c) dilaporkan dan
serahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan untuk keperluan tindakan karantina;
tidak seluruhnya dipenuhi;
3) Setelah dilakukan penahanan pasca pemeriksaan
dokumen,
keseluruhan
persyaratan
yang
harus
dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak
dapat dipenuhi; atau
4) Setelah diberi perlakuan diatas alat angkut, tidak
dapat disembuhkan dan/atau disucihamakan dari
hama dan penyakit hewan karantina.
Jadi secara kesisteman, “penolakan dari karantina
hewan" merupakan salah satu subsistem dari sistim
kesehatan hewan yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1992. Saat ini penyakit hewan dapat
mempengaruhi kesehatan manusia, oleh karena itu
tindakan karantina terhadap hewan, ikan dan tumbuhan
berkorelasi positif dengan karantina kesehatan.
5.
Undang-Undang
Nomor
6
Tahun
2011
tentang
Keimigrasian.
Keimigrasian merupakan hal ihwal lalu lintas orang
yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia serta
pengawasannya
kedaulatan
dalam
negara.
Dari
rangka
menjaga
pengertian
tegaknya
tersebut
dapat
dimaknai tegaknya kedaulatan dari aspek perlindungan
kesehatan masyarakat.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, menyatakan pejabat
imigrasi menolak orang asing masuk wilayah Indonesia
47
dalam hal orang asing tersebut menderita penyakit
menular
yang
membahayakan
kesehatan
umum.
Kemudian dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan orang
asing
yang
ditolak
masuk,
ditempatkan
dalam
pengawasan sementara menunggu proses pemulangan
yang bersangkutan.
Dalam
Pasal
42
huruf
f,
disebutkan
bahwa
permohonan visa ditolak dalam hal pemohon menderita
penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang
dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban umum.
Pengaturan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
yang mewajibkan setiap orang untuk diisolasi dan
dirawat
di
rumah
sakit
bila
menderita
penyakit
karantina.
6.
Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
2008
tentang
Pelayaran
Dilihat dari tujuan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, disamping memperlancar
arus
perpindahan
perairan
dengan
angkutan
di
orang
dan/atau
mengutamakan
perairan
dalam
barang
dan
rangka
melalui
melindungi
memperlancar
perekonomian nasional, juga menjunjung kedaulatan
negara. Undang-Undang ini mengatur jenis angkutan
perairan dan angkutan laut, perizinan, kewajiban dan
tanggung
jawab
pengangkut,
tata
kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, kelaiklautan
48
kapal,
kenavigasian,
syahbandar,
perlindungan
lingkungan maritim, dan lain-lain.
Pada bab kepelabuhanan Pasal 79 dan Pasal 80
disebutkan bahwa kegiatan pemerintahan di pelabuhan
diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi, yang
meliputi kegiatan :
a. pengaturan dan pembinaan, pengawasan kegiatan
kepelabuhanan,
keselamatan
dan
keamanan
pelayaran dan/atau
b. kepabeanan;
c. keimigrasian;
d. kekarantinaan.
Pada
pasal
117,
disebutkan
keselamatan
dan
keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya
persyaratan kelaiklautan kapal, yang meliputi antara lain
kesejahteraan
dan
kesehatan
awak
penumpang.
Pemenuhan tersebut dibuktikan dengan sertifikat atau
surat kapal, yang dalam pengertian undang-undang
karantina laut dan udara berupa dokumen kesehatan.
Pada pasal 127, sertifikat kapal tidak berlaku
apabila antara lain masa berlaku sudah berakhir, kapal
berubah
nama,
kapal
berganti
bendera.
Sertifikat
dibatalkan apabila keterangan dalam dokumen kapal
yang digunakan untuk menerbitkan sertifikat ternyata
tidak sesuai dengan yang sebenarnya dan sertifikat
diperoleh secara tidak sah.
Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dalam rangka
cegah tangkal penyakit karantina sudah sejalan dan
49
mendapat dukungan dari ketentuan Undang-Undang
Pelayaran.
7.
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2009
tentang
Penerbangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
memiliki
pengaturannya
Tahun
2008
mengatur
dengan
tentang
kegiatan
kemiripan
dalam
Undang-Undang
Pelayaran.
pemerintahan
Pada
di
substansi
Nomor
pasal
bandar
17
226
udara
meliputi:
a. pembinaan kegiatan penerbangan;
b. kepabeanan;
c. keimigrasian; dan
d. kekarantinaan.
Fungsi-fungsi
tersebut
dilaksanakan
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara.
8.
Undang-Undang
Kepabeanan
Nomor
10
sebagaimana
Tahun
telah
1995
tentang
diubah
dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
Pada pasal 10B, disebutkan barang impor yang
dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau
pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat
kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea
dan cukai. Pada pasal 11A, disebutkan barang yang
50
akan
diekspor
wajib
diberitahukan
dengan
pemberitahuan pabean.
Kemudian dalam pasal 53 ayat (1) disebutkan:
untuk
kepentingan
larangan
dan
pengawasan
pembatasan,
untuk
kepentingan
instansi
teknis
yang
menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan
atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada
Menteri. Pada pasal 53 ayat (3) disebutkan: semua
barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi
syarat
untuk
diberitahukan
permintaan
ekspornya;
diimpor
dengan
diekspor,
pemberitahuan
importir
diekspor
atau
atau
jika
pabean
eksportir;
kembali;
atau
telah
atas
dibatalkan
dimusnahkan
dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai kecuali
terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan terhadap barang impor atau ekspor
yang mempunyai potensi risiko kesehatan masyarakat
seperti terkontaminasi virus, bakteri dan NUBIKA, dapat
dilakukan
melalui
pemusnahan
guna
mencegah
penyebaran atau penularan. Hal ini sejalan dengan
prinsip dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
9.
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Dalam pasal 6 disebutkan pemerintah berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan
ibadah
haji,
akomodasi,
transportasi,
pelayanan
51
kesehatan, keamanan dan hal-hal lain yang diperlukan
oleh jemaah haji.
Pada
bab
VIII
tentang
kesehatan,
pasal
31
disebutkan pembinaan dan pelayanan kesehatan ibadah
haji baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan
penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kesehatan.
Terkait
dengan
penyelenggaraan
cegah
tangkal penyakit, Arab Saudi merupakan daerah tempat
berkumpulnya umat muslim seluruh dunia sehingga
berpotensi menimbulkan berbagai penyakit menular,
maka diwajibkan vaksinasi dan diberikan sertifikat ICV
(international certificate of vaccination or prophylaxis) bagi
setiap calon jemaah haji/umroh. Hal ini masih sejalan
dengan tujuan karantina kesehatan yaitu dalam rangka
cegah tangkal penyakit.
52
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
Landasan
filosofis
pembentukan
undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah:
1. Sesuai dengan tugas konstitusional Pemerintah Negara
Republik Indonesia yang termaktub dalam Alinea Kedua
Undang-Undang
Dasar
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu “….. melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial …”, yang dalam konteks
kekarantinaan
kesehatan
pada
hakikatnya
adalah
melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya penyakit
menular dan bahaya faktor risiko kesehatan lainnya.
Disamping itu berarti pula negara menjalankan tugas ikut
melaksanakan ketertiban dunia dengan cara menjalankan
segala kewajiban negara sebagaimana diamanatkan dalam
IHR.
2. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang
Dasar
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia Tahun 1945 menjamin “setiap orang berhak
53
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini dapat
diwujudkan
dengan
kesehatan
baik
melaksanakan
preventif,
promotif,
berbagai
kuratif
upaya
maupun
rehabilitatif yang diarahkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
4. Universal Declaration of Bioethics and Human Rights
memutuskan bahwa perlu dan sudah waktunya bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
yang merupakan prinsip-prinsip universal. Hal ini lebih
mengemuka
setelah
terjadinya
kemajuan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang justru mengakibatkan
penderitaan umat manusia akibat pelaku-pelaku yang
tidak
memahami
manusia.
masalah
Kemajuan
disalahgunakan
untuk
ilmu
bioetika
dan
dan
hak
teknologi
menyebarkan
virus,
azasi
dapat
kuman,
NUBIKA yang akan mengganggu kedamaian hidup antar
manusia melalui perang, bioterorisme, penyalahgunaan
kekuasaan, perdagangan yang tidak etis (komersialisasi)
antar negara, antar pulau dan antar wilayah yang pada
gilirannya
dapat
membahayakan
kesehatan
manusia
melalui penularan di tempat-tempat yang strategis. Hal ini
memunculkan adanya kewajiban suatu negara untuk
melindungi rakyat dan bangsanya.
54
B.
Landasan Sosiologis
Landasan
sosiologis
pembentukan
undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah:
1. Kuman dan virus maupun mikroorganisme lainnya secara
alami mengalami perubahan yang cepat seiring dengan
perubahan iklim, teknologi dan lingkungan, sehingga
menimbulkan penyakit baru dan atau penyakit lama yang
muncul kembali dengan kemampuan penyebaran yang
lebih
besar.
Dengan
demikian
upaya
pengendalian/
pemberantasannya makin sulit karena harus makin
komprehensif
dan
membutuhkan
biaya
yang
besar
mengingat ruang lingkup sangat luas baik geografis,
waktu,
maupun
dikategorikan
orang/masyarakat.
sebagai
bencana
Hal
ini
nasional
dapat
bahkan
internasional.
2. Di era perdagangan bebas dan kemajuan teknologi
transportasi, akan menyebabkan pergeseran epidemiologi
penyakit. Hal ini ditandai dengan penyebaran kejadian
penyakit dari satu benua ke benua lainnya, melalui
mobilitas
orang
dan
barang
yang
membawa
atau
terkontaminasi bibit penyakit dan faktor risiko kesehatan.
Disamping itu perubahan kuman dan virus baik secara
alami maupun secara rekayasa teknologi menimbulkan
risiko kesehatan secara global. Antisipasi risiko ini telah
diatur
dalam
melindungi
IHR
dan
2005
yang
mengendalikan
bertujuan
mencegah,
penyebaran
penyakit
lintas negara, yang bila Indonesia tidak melaksanakannya
akan dikucilkan dari pergaulan internasional.
55
3. Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki
banyak pelabuhan laut, udara dan pos lintas batas darat
yang potensial dalam penyebaran penyakit menular serta
masuk
keluarnya
faktor
risiko
kesehatan
termasuk
bahaya NUBIKA yang semuanya dapat berpotensi PHEIC.
4. Kekarantinaan Kesehatan pada hakekatnya bertujuan
untuk
melakukan
mungkin
cegah
melakukan
mungkin
tangkal
melalui
pembatasan
memberikan
dan
perlindungan.
seminimal
semaksimal
Di
dalam
kekarantinaan kesehatan terdapat tindakan karantina
yang merupakan tindakan penahanan (pembatasan gerak)
orang yang apabila tidak dilandasi dengan kejelasan
kewenangan
terhadap
pelaksanaannya
dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Untuk itu negara
memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan
menjaga
kesehatan
masyarakat
dengan
kepentingan penghormatan terhadap HAM. Berkaitan
dengan kewajiban negara tersebut maka perlu adanya
peraturan perundang-undangan tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan
masyarakat sebagai penyandang HAM.
C.
Landasan Yuridis
Landasan
yuridis
pembentukan
undang-undang
kekarantinaan kesehatan adalah :
1. Dalam IHR 2005 disebutkan bahwa seluruh negara
anggota
Organisasi
Kesehatan
Dunia
harus
mampu
mendeteksi dan merespon secara dini seluruh kejadian
yang berpotensi PHEIC.
56
Salah satu upaya merespon secara dini adalah dengan
melaksanakan
tindakan
kekarantinaan
kesehatan
di
pintu masuk dan di wilayah. Sebagai negara anggota
Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia menerima dan
melaksanakan IHR 2005 sejak tanggal 15 Juni 2007.
2. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina
Udara
sudah
tidak
relevan
lagi
dengan
perkembangan penyakit dan teknologi, karena belum
mengakomodir
penanggulangan
PHEIC
dan
belum
mengatur secara tegas tentang kekarantinaan kesehatan,
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina
Udara
juga
harus
menyesuaikan
dengan
peraturan perundang-undangan lain misalkan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
mengatur kewajiban pemerintah menyelenggarakan upaya
kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang
Wabah
Pemerintah
Penyakit
Nomor
40
Menular
Tahun
dan
1991
Peraturan
tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular yang mengatur
penyakit menular yang potensial wabah dan upaya
penanggulangannya
termasuk
diantaranya
tindakan
karantina serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan kekarantinaan kesehatan.
57
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Sasaran
Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1962 tentang Karantina Udara yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan pemberlakuan ISR 1958. Oleh karena
ISR
1958
telah
berubah
beberapa
kali
dan
terakhir
diberlakukan IHR 2005 pada 15 Juni 2007, maka sebagai
anggota
Badan
Kesehatan
Dunia
Indonesia
memandang
peraturan
perundang-undangan
kekarantinaan
perlu
kesehatan
(WHO),
melakukan
yang
dalam
Pemerintah
penggantian
mengatur
rangka
tentang
melindungi
masyarakat dan kedaulatan negara agar Indonesia mampu
melaksanakan cegah tangkal penyakit menular potensial
wabah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan demikian Indonesia telah ikut memelihara dan
menjaga
agar
masyarakat
di
tidak
timbul
kedaruratan
kesehatan
dalam
negeri
dan
timbulnya
potensi
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
(PHEIC).
Pembentukan
Undang-Undang
tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini diselaraskan dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait.
B.
Arah dan Jangkauan Pengaturan
Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962
tentang Karantina Udara hanya mengatur tindakan karantina
58
kesehatan di pintu masuk, yaitu di pelabuhan dan bandar
udara, terhadap penyakit karantina. Selaras dengan amanat
IHR 2005, maka substansi yang dimuat dalam naskah
akademik RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur
pula kekarantinaan kesehatan di wilayah dan pos lintas batas
darat
negara,
di
samping
kekarantinaan
kesehatan
di
pelabuhan dan bandar udara.
C.
Ruang Lingkup Materi Muatan
1.
Ketentuan Umum
1) Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah
dan menangkal keluar atau masuknya penyakit
dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi
menimbulkan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat.
2)
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian
kesehatan
dengan
masyarakat
ditandai
yang
penyebaran
bersifat
luar
penyakit
biasa
menular
dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi
nuklir, pencemaran biologi, dan kontaminasi kimia
(NUBIKA), dan pangan yang menimbulkan bahaya
kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah
atau lintas negara.
3) Pintu Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya
alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk
bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas
darat atau laut negara.
59
4) Alat Angkut adalah kapal, pesawat udara, dan
kendaraan darat yang digunakan dalam melakukan
perjalanan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
5) Barang adalah produk nyata, hewan, tumbuhan, dan
jenazah/abu jenazah yang dibawa dan/atau dikirim
melalui
perjalanan,
termasuk
benda/alat
yang
digunakan dalam alat angkut.
6) Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau
pemisahan
seseorang
yang
terpapar
penyakit
menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan meskipun belum menunjukkan
gejala apapun atau sedang berada dalam masa
inkubasi, dan pemisahan peti kemas, alat angkut,
atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari
orang dan/atau barang yang mengandung penyebab
penyakit atau kontaminan lain untuk mencegah
kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang
di sekitarnya.
7) Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang
sehat
yang
kesehatan
dilakukan
untuk
di
fasilitas
mendapatkan
pelayanan
pengobatan
dan
perawatan.
8) Karantina
Rumah
adalah
pembatasan
penghuni
dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga
terinfeksi
penyakit
dan/atau
terkontaminasi
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
60
9) Karantina
Rumah
Sakit
adalah
pembatasan
seseorang dalam rumah sakit yang diduga terinfeksi
penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit
atau kontaminasi.
10) Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk
dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk
beserta
isinya
yang
diduga
terinfeksi
penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
11) Pembatasan
pembatasan
suatu
Sosial
kegiatan
wilayah
yang
Berskala
tertentu
diduga
Besar
adalah
penduduk
dalam
terinfeksi
penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
12) Status Karantina adalah keadaan alat angkut, orang,
dan barang yang berada di suatu tempat untuk dapat
menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan.
13) Zona Karantina adalah area atau tempat tertentu
untuk
dapat
menyelenggarakan
tindakan
Kekarantinaan Kesehatan.
14) Persetujuan
Karantina
Kesehatan
adalah
surat
pernyataan yang diberikan oleh pejabat karantina
kesehatan kepada penanggung jawab alat angkut
yang berupa pernyataan persetujuan karantina bebas
atau persetujuan karantina terbatas.
61
15) Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin,
tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan
bangunan
terapung
yang
tidak
berpindah-
pindah.
16) Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang
dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari
reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara
terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk
penerbangan.
17) Kendaraan Darat adalah suatu sarana angkut di
darat yang terdiri atas Kendaraan Bermotor termasuk
kendaraan yang berjalan di atas rel dan Kendaraan
Tidak Bermotor.
18) Awak Kapal yang selanjutnya disebut Awak adalah
orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal
oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan
tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang
tercantum dalam buku sijil.
19) Personel Kabin yang selanjutnya disebut Personel
adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas
pesawat udara oleh pemilik atau operator pesawat
udara untuk melakukan tugas di atas pesawat udara.
20) Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang
menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai
wewenang
dan
tanggung
jawab
tertentu
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
62
21) Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan
oleh perusahaan atau pemilik pesawat udara untuk
memimpin
penerbangan
dan
bertanggung
jawab
penuh terhadap keselamatan penerbangan selama
pengoprasian
pesawat
udara
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
22) Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan
dan/atau
perairan
dengan
batas-batas
tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat
kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan
penunjang
pelabuhan
serta
sebagai
tempat
perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
23) Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau
perairan
dengan
batas-batas
tertentu
yang
digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat
dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar
muat barang, dan tempat perpindahan intra dan
antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan,
serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
24) Pos Lintas Batas Darat Negara adalah pintu masuk
orang, barang, dan alat angkut melalui darat lintas
negara.
63
25) Pengawasan
Kekarantinaan
Kesehatan
adalah
kegiatan pemeriksaan dokumen karantina kesehatan
dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap alat
angkut, orang, serta barang oleh pejabat karantina
kesehatan.
26) Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat adalah hal,
keadaan, atau peristiwa yang dapat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap
kesehatan masyarakat.
27) Terjangkit adalah kondisi seseorang yang menderita
penyakit
yang
dapat
menjadi
sumber
penular
penyakit yang berpotensi menyebabkan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
28) Terpapar adalah kondisi orang/barang/alat angkut
yang terpajan, terkontaminasi, dalam masa inkubasi,
insektasi, pestasi, ratisasi (tertikuskan) termasuk
kimia dan radiasi.
29) Pejabat Karantina Kesehatan adalah Pegawai Negeri
Sipil yang bekerja di bidang kesehatan yang diberi
kewenangan
oleh
Menteri
untuk
melaksanakan
Kekarantinaan Kesehatan.
30) Dokumen
Karantina
keterangan
angkut,
kesehatan
orang,
dan
Kesehatan
yang
adalah
dimiliki
barang
yang
surat
setiap
alat
memenuhi
persyaratan baik nasional maupun internasional.
31) Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau
badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun
tidak berbadan hukum.
64
32) Penyidik
Pegawai
Kesehatan
Negeri
yang
Kekarantinaan
Sipil
selanjutnya
Kesehatan
Kekarantinaan
disebut
PPNS
adalah
pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Kekarantinaan
Kesehatan.
33) Pemerintah
Pusat
yang
selanjutnya
disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
34) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau
Walikota
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
35) Menteri
adalah
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
2.
Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan
Kekarantinaan
pemerintah
perlindungan
dan
kesehatan
pemerintah
kesehatan
diselenggarakan
daerah
masyarakat
dalam
dari
oleh
rangka
penyakit
dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi
menimbulkan
kedaruratan
masyarakat
melalui
kekarantinaan
upaya
kesehatan
di
pintu
masuk dan di wilayah. Pemerintah bertanggung jawab
dalam pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di pintu
masuk dan di wilayah.
65
Pemerintah daerah memberikan dukungan dan terlibat
secara
penuh
dalam
pelaksanaan
kekarantinaan
kesehatan.
Pada
dasarnya
memperoleh
setiap
perlakuan
penyelenggaraan
mendapatkan
orang
yang
kekarantinaan
pelayanan
mempunyai
hak
sama
dalam
kesehatan,
yaitu
kesehatan
dasar
sesuai
kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan
kehidupan
sehari-hari
lainnya
selama
karantina.
Sebaliknya, setiap orang berkewajiban mematuhi dan
turut serta sesuai dengan kondisi yang dihadapi dalam
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di
wilayah dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi
yang didukung oleh jaringan informasi yang cepat dan
akurat sehingga dapat terlaksana tindakan karantina
yang efektif dan efisien. Pelaksanaan kekarantinaan
kesehatan merupakan bagian integral dari tugas dan
fungsi yang tergabung dalam karantina-imigrasi-bea
cukai
(quarantine-immigration-customs),
yang
berlaku
secara internasional sehingga diperlukan jejaring kerja
antar pemangku kepentingan, seperti:
a. Otoritas Kesehatan
b. Imigrasi
c. Bea dan Cukai
d. Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, Otoritas Bandar
Udara, Navigasi
e. Pengelola pintu masuk: Angkasa Pura, Pelindo
f. Karantina Pertanian
g. Karantina Ikan
66
h. TNI dan POLRI
i. Assosiasi pelayaran
j. Assosiasi penerbangan
k. Pemerintah
Daerah:
dinas-dinas
terkait
(Dinas
Kesehatan dan lain-lain)
l. Sarana Pelayanan Kesehatan: Rumah Sakit, poliklinik
dan lain-lain
m.Badan-badan Nasional dan internasional terkait
n. LSM, Swasta, Organisasi Profesi
o. Tokoh masyarakat
Dukungan berbagai pihak tersebut di atas diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan
dalam
pelaksanaan di lapangan mengikuti sistem komando dan
koordinasi di bawah penanggungjawab pelaksanaan
kekarantinaan kesehatan setempat yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah. Semua petugas dari berbagai pihak
tersebut
di
atas,
kekarantinaan
dalam
melaksanakan
kesehatan
mendapat
upaya
jaminan
perlindungan dari Pemerintah.
Guna menjamin penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan yang berhasil dan berdaya guna, perlu
didukung
bentuk
oleh
infrastruktur
pengorganisasian,
informasi,
serta
Kesehatan
daya,
dalam
jaringan
pelaksanaannya.
Pemerintah
membentuk
memadai
sumber
peraturan
pengorganisasian,
yang
unit
melalui
kerja
Dalam
Kementerian
utama
guna
menyiapkan dan menyelenggarakan kebijakan teknis
kekarantinaan
kesehatan.
Dalam
pelaksanaan
di
lapangan yaitu di pintu masuk dilaksanakan oleh unit
pelaksana teknis sebagai otoritas kesehatan masyarakat,
67
sedangkan di wilayah dapat dilaksanakan oleh dinas
kesehatan.
Organisasi
kesehatan
penyelenggara
mempunyai
kekarantinaan
kewenangan
dalam
melaksanakan cegah tangkal penyebaran penyakit, baik
secara lokal di wilayah, antar wilayah, maupun antar
negara.
a. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu
Masuk
Penyelenggaraan
pintu
masuk
kesehatan
kekarantinaan
merupakan
masyarakat
kesehatan
implementasi
dan
upaya
di
upaya
kesehatan
perorangan di lingkungan pintu masuk (pelabuhan,
bandar udara, pos lintas batas darat negara), terhadap
pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta
masyarakat yang beraktifitas di pintu masuk.
Kegiatan
kekarantinaan
surveilans
kesehatan
didukung
oleh
pelayanan
dan
upaya
kesehatan
kesehatan
tindakan
pendukung operasional lainnya.
kekarantinaan
respon
kesehatan
terbatas,
kesehatan
ini
mencakup
yang
lingkungan,
dan
tindakan
Penyelenggaraan
merupakan
bagian
integral dari seluruh aktifitas di pintu masuk yang
menjadi
tanggung
jawab
pengelola
serta
otoritas
pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas darat
negara.
Pengelola alat angkut sesuai ketentuan yang
berlaku wajib mematuhi dan memenuhi seluruh
kegiatan
kekarantinaan
kesehatan
dalam
rangka
68
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, baik
yang berlaku secara nasional maupun internasional.
1) Penyelenggaraan
Kekarantinaan
Kesehatan
di
Pelabuhan
Kegiatan
lingkungan
kekarantinaan
pelabuhan,
kesehatan
alat
angkut,
di
pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
pelabuhan merupakan tugas dan tanggung jawab
otoritas kesehatan masyarakat.
Kegiatan pada lingkungan pelabuhan pada
dasarnya merupakan kegiatan rutin dalam rangka
peningkatan
kesehatan
kesehatan
lingkungan,
pelayanan
kesehatan
yang
mencakup
surveilans
terbatas,
upaya
kesehatan,
dan
kegiatan
pendukung operasional. Sedangkan dalam rangka
pemeriksaan alat angkut sesuai dengan ketentuan
internasional
dilakukan
dengan
pemeriksaan
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a)
Keberangkatan Kapal
(1) Pengawasan orang
Penumpang dan awak kapal yang akan
melakukan
perjalanan
internasional
ke
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina
kesehatan
berupa
Vaksinasi
Internasional
yang
Sertifikat
disyaratkan
oleh negara tujuan. Bagi penumpang dan
awak kapal yang sakit harus memiliki surat
kesehatan izin layar yang dikeluarkan oleh
69
dokter karantina kesehatan di pelabuhan
untuk mengidentifikasi apakah berpenyakit
yang dapat menyebabkan PHEIC atau tidak.
(2) Pengawasan barang
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan,
terutama terhadap barang yang mempunyai
faktor risiko sumber penularan penyakit.
Petugas
karantina
kesehatan
melakukan
pengawasan:
a. Obat,
Makanan,
Kosmetika
dan
Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) ekspor bekerja sama dengan
Bea Cukai untuk melakukan pemeriksaan
dokumen
kesehatan
OMKABA
dan
pemeriksaan fisik.
b. Dokumen
penyebab
kematian
jenazah
yang akan diangkut melalui kapal.
(3) Pengawasan kapal
Kapal yang berangkat untuk perjalanan
internasional harus menunjukkan dokumen
kesehatan kapal yang dipersyaratkan.
Sebagai
dasar
pertimbangan
utama
untuk diberikannya Surat Izin Karantina
Kesehatan Berlayar (Port Health Quarantine
Clearance/PHQC),
harus
melengkapi
dokumen berupa Ship Sanitation Exemption
Control Certificate (SSCEC)/Ship Sanitation
70
Control
Certificate
(SSCC),
One
Month
Extension Certificate, Sailling permit, Buku
Kesehatan Kapal, Health Alert Card (HAC),
International
Certificate
of
Vaccination
or
Prophylaxis (ICV), Cargo list, Passenger list,
Crew list, Sertifikat P3K kapal, General Nil
List, Port Health Quarantine Clearance.
Untuk mencegah keluarnya alat angkut, orang,
dan barang yang berasal dari wilayah dan/atau
pernah singgah dalam 7 (tujuh) hari terakhir di
wilayah yang memiliki akses episenter PHEIC di
pintu masuk wilayah pelabuhan dilakukan melalui
kerja
sama
dengan
TNI/POLRI
dan
security
pelabuhan. Jika ditemukan orang yang berasal dari
wilayah episenter PHEIC atau pernah singgah di
wilayah episenter PHEIC, maka dapat dipulangkan
ke
wilayah
asalnya
atau
dilakukan
tindakan
karantina.
Jika ditemukan orang dengan gejala atau tanda
yang mengarah kepada penyakit penyebab PHEIC,
maka dilakukan wawancara dan pemeriksaan di
ruang khusus. Apabila dinyatakan kasus/suspek
penyakit penyebab PHEIC, maka orang tersebut
dirujuk
ke
rumah
sakit
rujukan.
Selanjutnya
terhadap kapal dan barang yang berasal dari
episenter PHEIC tidak diperbolehkan memasuki
wilayah
pelabuhan
dan
dilakukan
tindakan
penyehatan.
71
Adapun penumpang yang sehat dan bukan
berasal dari episenter PHEIC, maka diperbolehkan
melanjutkan perjalanan dengan membawa kartu
kewaspadaan kesehatan. Dengan demikian, kepada
pengelola
pelabuhan
fasilitas
untuk
diwajibkan
menyediakan
penyelenggaraan
karantina
kesehatan, seperti asrama karantina, ruang khusus
wawancara dan pemeriksaan.
b) Kedatangan Kapal
Ditujukan terhadap alat angkut, orang dan
barang melalui pemeriksaan rutin kekarantinaan.
Kegiatan ini meliputi pemeriksaan kelengkapan
dokumen kesehatan kapal dan pemeriksaan faktor
risiko merupakan dasar pertimbangan utama untuk
diberikannya Persetujuan Karantina Bebas (Free
Pratique).
Untuk
Bebas,
memperoleh
nakhoda
kapal
Persetujuan
harus
Karantina
menyampaikan
permohonan kepada Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Seluruh kapal yang datang dari luar negeri berada
dalam
karantina
dan
mematuhi
tanda-tanda/
isyarat karantina kapal yang ditetapkan dalam
undang-undang yaitu:
(1) Kapal berada dalam karantina (lepas jangkar di
zona karantina).
(2)
Kapal harus menaikkan isyarat karantina:
(a)
Pada siang hari menaikan bendera Q
(kuning).
72
(b)
Pada malam hari dua lampu putih yang
satu ditempatkan diatas yang lain dengan
jarak 2 meter yang tampak dari jarak 2
mil.
(3)
Nakhoda kapal yang berada dalam karantina
dilarang menurunkan orang, barang, tanaman
dan hewan sebelum memperoleh surat izin
karantina
(4)
Nakhoda kapal menyampaikan permohonan
untuk
memperoleh
suatu
izin
atau
memberitahukan suatu keadaan kapal dengan
suatu isyarat karantina:
Siang hari :
(a)
Bendera Q artinya kapal saya sehat atau
saya minta izin karantina.
(b)
Bendera Q diatas panji pengganti ke satu:
Kapal saya tersangka.
(c)
Bendera Q diatas bendera L kapal saya
terjangkit.
Malam hari :
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak
maksimum 1,8 meter: Saya belum mendapat
izin karantina.
Dalam
episenter
hal
PHEIC,
berkewajiban
mengenai
kapal
datang
maka
memberitahukan
waktu
kedatangan
dari
daerah
agen
kapal
kepada
dan
KKP
asal
kedatangan kapal dari daerah episenter PHEIC.
73
Di samping itu, agen kapal juga meminta
kapten
kapal
untuk
menyiapkan
semua
dokumen kesehatan yang dipersyaratkan oleh
pemerintah Republik Indonesia. Setelah kapal
datang di pelabuhan, kapal masuk ke dalam
zona karantina untuk dilakukan pengawasan
kekarantinaan kesehatan.
Dalam
melakukan
pengawasan
kekarantinaan kesehatan kapal yang datang
dari
wilayah
episenter
PHEIC
diterapkan
prosedur sebagai berikut :
(1) Kapal
berada
dalam
karantina
(lepas
jangkar di zona karantina).
(2) Kapal harus menaikan isyarat karantina
(a)
Pada siang hari menaikan bendera Q
(kuning).
(b)
Pada malam hari dua lampu putih
yang satu ditempatkan diatas yang lain
dengan jarak 2 meter yang tampak dari
jarak 2 mil.
(3) Nakhoda
kapal
karantina
barang,
yang
dilarang
tanaman
berada
dalam
menurunkan
orang,
dan
hewan
sebelum
memperoleh surat izin karantina.
(4) Nakhoda kapal menyampaikan permohonan
untuk
memperoleh
memberitahukan
suatu
suatu
izin
atau
keadaan
kapal
dengan suatu isyarat karantina:
74
Siang hari:
(a) Bendera Q artinya kapal saya sehat atau
saya minta izin karantina.
(b) Bendera Q diatas panji pengganti ke satu:
Kapal saya tersangka.
(c) Bendera Q diatas bendera L kapal saya
terjangkit.
Malam hari:
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak
maksimum 1,8 meter: Saya belum mendapat
izin karantina.
Apabila
hasil
pengawasan
tidak
ada
ABK/penumpang yang berpenyakit menular
atau tidak ditemukan faktor risiko di atas
kapal,
maka
kepada
kapal
diberikan
persetujuan karantina bebas (free pratique) dan
kapal
diperbolehkan
melakukan
aktivitas
bongkar muat barang/penumpang.
Sementara itu bagi penumpang yang sehat
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa kartu kewaspadaan kesehatan.
Jika
ditemukan
orang
dengan
gejala
mengarah PHEIC, maka dilakukan wawancara
dan pemeriksaan di ruang khusus. Apabila
dinyatakan kasus/suspek penyakit penyebab
PHEIC, maka orang tersebut dirujuk ke rumah
sakit rujukan. Selanjutnya terhadap kapal dan
barang yang berasal dari episenter PHEIC tidak
diperbolehkan memasuki wilayah pelabuhan
dan dilakukan tindakan penyehatan.
75
Kemudian kepada pengelola pelabuhan
diwajibkan
menyediakan
penyelenggaraan
seperti
ruang
fasilitas
kekarantinaan
karantina,
untuk
kesehatan,
ruang
khusus
wawancara dan pemeriksaan.
2) Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Bandar Udara
Kegiatan
kekarantinaan
kesehatan
di
lingkungan bandar udara, alat angkut, pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
bandar udara merupakan tugas dan tanggung
jawab otoritas kesehatan masyarakat.
Mengingat situasi dan kondisi bandar udara
yang memerlukan pelayanan yang serba cepat dan
tepat, maka dalam pelaksanaan kegiatan pada
lingkungan bandar udara menyesuaikan dengan
kondisi
tersebut,
meskipun
pada
dasarnya
kegiatannya relatif sama dengan di pelabuhan.
Kegiatan rutin dalam rangka peningkatan
kesehatan di bandar udara mencakup upaya
kesehatan
lingkungan,
pelayanan
kesehatan
surveilans
terbatas,
kesehatan,
dan
kegiatan
pendukung operasional. Sedangkan dalam rangka
pemeriksaan alat angkut sesuai dengan ketentuan
internasional
dilakukan
dengan
pemeriksaan
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
76
a) Keberangkatan pesawat udara
Dalam rangka deteksi dini faktor risiko
yang
dapat
pejabat
menimbulkan
karantina
KKMMD/PHEIC,
kesehatan
melakukan
kegiatan terhadap:
(1) Pengawasan orang
Semua penumpang dan kru yang akan
melakukan
perjalanan
internasional
ke
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina
kesehatan
berupa
Vaksinasi
Internasional
yang
Sertifikat
disyaratkan
oleh negara tujuan. Bagi penumpang dan
kru
yang
sakit
harus
memiliki
surat
kesehatan laik terbang yang dikeluarkan
oleh dokter karantina kesehatan di bandar
udara
untuk
mengidentifikasi
apakah
berpenyakit yang dapat menyebabkan PHEIC
atau tidak.
(2) Pengawasan barang
Dalam melakukan pengawasan barang
dilakukan
pemeriksaan
terhadap
semua
barang, terutama barang yang mempunyai
faktor risiko sumber penularan penyakit.
Pejabat
karantina
kesehatan
melakukan
pengawasan:
(a) Obat, Makanan, Kosmetika dan Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) ekspor bekerja sama dengan
Bea
Cukai
untuk
melakukan
77
pemeriksaan
dokumen
kesehatan
OMKABA dan pemeriksaan fisik.
(b) Dokumen penyebab kematian jenazah
yang akan diangkut melalui pesawat.
(3) Pengawasan pesawat
Pesawat
perjalanan
yang
berangkat
untuk
internasional
harus
menunjukkan dokumen karantina kesehatan
bagi pesawat, meliputi Health Part of Aircraft
General
Declaration
Sanitasi
Pesawat,
Pesawat,
dan
(HPAGD),
Sertifikat
Sertifikat
P3K
Sertifikat
Disinseksi
Pesawat.
Dokumen karantina kesehatan bagi pesawat
dikeluarkan
oleh
pejabat
karantina
kesehatan, kecuali HPAGD.
Untuk mencegah keluarnya alat angkut,
orang, dan barang yang berasal dari wilayah
dan/atau pernah singgah dalam 7 (tujuh) hari
terakhir
di
wilayah
yang
memiliki
akses
episenter PHEIC di pintu masuk wilayah bandar
udara dilakukan melalui kerja sama dengan
TNI/POLRI dan security bandar udara. Jika
ditemukan orang yang berasal dari wilayah
episenter PHEIC atau pernah singgah di wilayah
episenter PHEIC, maka dapat dipulangkan ke
wilayah
asalnya
atau
dilakukan
tindakan
karantina.
78
Jika ditemukan orang dengan gejala atau
tanda yang mengarah kepada penyakit penyebab
PHEIC,
maka
pemeriksaan
dilakukan
di
ruang
wawancara
khusus.
dan
Apabila
dinyatakan kasus/suspek penyakit penyebab
PHEIC, maka orang tersebut dirujuk ke rumah
sakit rujukan. Selanjutnya terhadap alat angkut
dan barang yang berasal dari episenter PHEIC
tidak diperbolehkan memasuki wilayah bandar
udara dan dilakukan tindakan penyehatan.
Adapun penumpang yang sehat dan bukan
berasal
dari
episenter
PHEIC,
maka
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa kartu kewaspadaan kesehatan.
Dengan demikian, kepada pengelola bandar
udara diwajibkan menyediakan fasilitas untuk
penyelenggaraan karantina kesehatan, seperti
ruang karantina, ruang khusus wawancara dan
pemeriksaan.
b) Kedatangan pesawat
(1) Pengawasan orang
Penumpang dan kru yang datang dari
negara terjangkit harus memiliki dokumen
karantina
kesehatan
berupa
Vaksinasi
Internasional
yang
Sertifikat
disyaratkan
oleh WHO. Bagi penumpang dan kru yang
sakit
dilakukan
pengobatan
di
pemeriksaan
poliklinik
dan
karantina
kesehatan.
79
(2) Pengawasan barang
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan,
terutama barang yang mempunyai faktor
risiko sumber penularan penyakit. Petugas
karantina
kesehatan
melakukan
pengawasan:
a. Obat,
Makanan,
Kosmetika
dan
Alat
Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) impor bekerja sama dengan Bea
Cukai
untuk
dokumen
melakukan
kesehatan
pemeriksaan
OMKABA
dan
pemeriksaan fisik.
b. Dokumen
penyebab
kematian
jenazah
yang dibawa dengan pesawat.
(3) Pengawasan pesawat
Pesawat yang datang dari perjalanan
internasional harus menunjukkan dokumen
kesehatan
meliputi
pesawat
Health
Declaration
Part
(HPAGD),
yang
of
dipersyaratkan
Aircraft
Sertifikat
General
Sanitasi
Pesawat, Sertifikat Disinseksi Pesawat, dan
Sertifikat P3K pesawat.
Dalam hal pesawat udara datang dari
Bandar udara yang mempunyai akses dengan
wilayah episenter PHEIC atau wilayah terjangkit,
maka pesawat parkir di zona karantina atau
isolated parking.
80
Petugas Karantina Kesehatan boarding ke
pesawat untuk memeriksa Health Part of Aircraft
General
Declaration
(HPAGD)
apakah
ada
penumpang atau kru yang berpenyakit menular.
Apabila
berpenyakit
tidak
ada
menular,
penumpang
maka
yang
petugas
mengarahkan penumpang untuk turun melewati
jalur yang telah ditentukan dan memeriksa
kartu
kewaspadaan
kesehatan
yang
telah
dibagikan di bandar udara sebelumnya.
Apabila ditemukan kasus suspek PHEIC
maka penumpang langsung dibawa ke unit
pelayanan
kesehatan
khusus
Karantina
Kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan medik
dan
selanjutnya
dirujuk
ke
RS
Rujukan.
Penumpang yang berada di lokasi dekat dengan
suspek PHEIC di dalam pesawat dilakukan
tindakan karantina.
Setelah seluruh kru dan penumpang turun
dari pesawat dilakukan tindakan penyehatan
terhadap pesawat dan barang sesuai prosedur
disinfeksi dan disinseksi pesawat. Pengelola
bandar udara diwajibkan menyediakan zona
karantina atau isolated parking bagi pesawat
yang datang dari negara terjangkit.
81
3) Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN)
Kegiatan
lingkungan
kekarantinaan
PLBDN,
kesehatan
alat
angkut,
di
pelaku
perjalanan, dan masyarakat yang beraktifitas di
PLBDN yang secara resmi diakui oleh dua negara,
merupakan tugas dan tanggung jawab otoritas
kesehatan masyarakat. Kegiatan pada lingkungan
PLBDN pada dasarnya merupakan kegiatan rutin
dalam
rangka
peningkatan
kesehatan
yang
mencakup upaya kesehatan lingkungan, surveilans
kesehatan, pelayanan kesehatan terbatas, dan
kegiatan pendukung operasional.
Sedangkan dalam rangka pemeriksaan alat
angkut sesuai dengan ketentuan internasional
dilakukan
dengan
pemeriksaan
sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
a) Keberangkatan Kendaraan Darat
Pemeriksaan kendaraan darat, orang dan
barang
dilakukan
terhadap
secara
keberangkatan
terus
menerus
kendaraan
darat
dengan cara pemeriksaan dokumen kesehatan
dengan memperhatikan apakah ada tidaknya
penumpang/awak yang menderita sakit yang
berpotensi PHEIC.
Dokumen
diisyaratkan
Karantina
oleh
Kesehatan
pemerintah
yang
Republik
Indonesia di bidang kesehatan berupa Surat
keterangan
Hapus
Serangga,
Sertifkat
82
Disinfeksi,
Surat
Keterangan
OMKABA
untuk
barang
Vaksinasi
Internasional
Kesehatan
serta
bagi
Sertifikat
negara
yang
mensyaratkan ICV dan/atau profilaksis.
Kendaraan darat, orang dan barang yang
berasal dari episenter PHEIC harus dilakukan
pengawasan kekarantinaan kesehatan. Jika
ditemukan orang yang berasal dari episenter
PHEIC
tapi
tidak
memiliki
gejala
klinis
(terpapar) maka dilakukan tindakan karantina
selama 2 kali masa inkubasi di wilayah PLBDN
atau ruang karantina. Terhadap kendaraan
darat dan barang yang berasal dari episenter
PHEIC
dilakukan
desinseksi
dan
atau
disinfeksi.
Jika
ditemukan
kasus
(suspek)
yang
mengarah ke penyebab PHEIC maka orang
tersebut dilakukan tindakan isolasi. Terhadap
penumpang yang sehat bukan berasal dari
episenter
PHEIC
maka
penumpang
diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan
membawa Health Alert Card (HAC).
b)
Kedatangan kendaraan darat
Setiap kedatangan kendaraan darat, orang
dan
barang
kekarantinaan
pemeriksaan
dilakukan
kesehatan
dokumen
pengawasan
dengan
kesehatan
cara
dengan
memperhatikan apakah ada penumpang/awak
yang menderita sakit yang dapat menimbulkan
83
PHEIC. Dokumen Kesehatan yang diisyaratkan
adalah Ground Crossing Declaration of Health,
Surat
Keterangan
Hapus
Serangga;
Surat
Keterangan OMKABA dan Sertifikat Vaksinasi
International.
Pemeriksaan
terhadap
penumpang dengan cara seluruh penumpang
turun dari kendaraan darat melewati pos
karantina kesehatan.
Jika
ada
menderita
penumpang
(suspek)
yang
penyakit
dicurigai
yang
dapat
menimbulkan PHEIC, maka terhadap orang
tersebut
dilakukan
tindakan
isolasi
dan
terhadap penumpang sehat lainnya dilakukan
tindakan
karantina
inkubasi
selama
diwilayah
2
kali
PLBDN.
kendaraan
darat
dan
penumpang
dilakukan
Terhadap
barang
tindakan
masa
bawaan
desinseksi,
disinfeksi atau dekontaminasi.
Pada kedatangan kendaraan darat dari
PLBDN yang mempunyai akses dengan wilayah
episenter PHEIC, maka dilakukan pemeriksaan
dokumen dan kesehatan penumpang di pos
karantina kesehatan. Jika ditemukan orang
yang berasal dari negara terjangkit tapi tidak
memiliki gejala klinis (terpapar) penyakit PHEIC
maka dilakukan tindakan karantina selama 2
kali
masa
inkubasi
terhadap
orang
yang
berasal dari negara terjangkit di wilayah PLBDN
atau asrama karantina. Terhadap kendaraan
darat dan barang yang berasal dari negara
84
terjangkit
dilakukan
desinseksi
dan
atau
(suspek)
yang
disinfeksi.
Jika
ditemukan
kasus
mengarah ke PHEIC dalam kendaraan darat
maka suspek tersebut dilakukan
tindakan
isolasi, terhadap penumpang lain yang sehat
yang berada dalam satu kendaraan tersebut
dilakukan tindakan karantina selama 2 kali
masa inkubasi. Seluruh biaya penyelenggaraan
akibat pelaksanaan kekarantinaan kesehatan
ini menjadi tanggung jawab negara.
b.
Penyelenggaraan
Kekarantinaan
Kesehatan
di
Wilayah
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di
wilayah
merupakan
penanggulangan
tindak
lanjut
KLB/wabah
yang
dari
upaya
berdasarkan
pertimbangan epidemiologis berpotensi menimbulkan
kedaruratan
kekarantinaan
kesehatan
kesehatan
masyarakat.
di
wilayah
Kegiatan
meliputi
akselerasi surveilans kesehatan, upaya peningkatan
kesehatan lingkungan, penanganan kasus termasuk
rujukan, dan tindakan karantina sesuai dengan
situasi dan kondisi yang berkembang. Kegiatan
kekarantinaan kesehatan di wilayah didukung dalam
bentuk pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari,
perlindungan dan pemeliharaan hewan ternak, serta
pemeliharaan ketertiban dan keamanan.
85
Pada
wilayah
tertentu
di
perbatasan
antar
negara yang memiliki hubungan kekerabatan sosial,
ekonomi, dan budaya, kekarantinaan kesehatan di
wilayah
terkait,
memerlukan
dengan
persetujuan
pertimbangan
antar
negara
situasi
dan
kecenderungan epidemiologi penyakit dan masalah
kesehatan lain.
Upaya kekarantinaan kesehatan di wilayah yang
dilaksanakan meliputi kegiatan sebagai berikut:
a) Karantina Rumah
Tindakan
karantina
rumah
dilaksanakan
dalam suatu wilayah yang berpotensi menjadi
episenter setelah adanya sinyal awal penyakit
menular yang dapat menyebabkan PHEIC setelah
dilakukan
penyelidikan
epidemiologi
dan
pemeriksaan cepat laboratorium oleh petugas
kesehatan
yang
mempunyai
kompetensi
dan
kewenangan di wilayah tersebut, yang tujuannya
untuk mencegah penyebaran penyakit.
Adapun
indikasi
rumah
yang
harus
dikarantina adalah apabila di dalam rumah
tersebut terdapat satu atau lebih kasus suspek
PHEIC. Upaya yang dilakukan terhadap rumah
yang terindikasi adalah:
a. Kasus suspek penyebab kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia dirujuk ke
Rumah Sakit.
b. Rumah dengan seluruh anggota keluarga yang
tinggal dirumah tersebut dilakukan karantina
rumah sesuai prosedur yang ditetapkan.
86
c. Kebutuhan hidup dasar selama masa karantina
rumah ditanggung oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah daerah.
b) Karantina Wilayah
Tindakan karantina wilayah dilaksanakan
setelah Pemerintah menetapkan penanggulangan
episenter
pada
wilayah
episenter
PHEIC
berdasarkan hasil verifikasi secara epidemiologis
dan laboratorium jika perlu bersama Organisasi
Kesehatan Dunia. Pemerintah menetapkan batas
serta
lamanya
karantina
wilayah
tergantung
penyebabnya dan hasil analisa epidemiologi dan
klinis yang ditetapkan oleh pemerintah atas
rekomendasi dari tim Penyelidikan Epidemiologi.
Tindakan
karantina
wilayah
dihentikan
setelah 2 kali masa inkubasi dari kasus terakhir,
tetapi
kegiatan
dipertahankan
pada
surveilans
wilayah
aktif
tetap
penanggulangan
episenter selama satu bulan. Kegiatan Karantina
wilayah meliputi pembatasan gerak orang, alat
angkut dan barang keluar dan kedalam suatu
wilayah episenter PHEIC melalui pengendalian
perimeter
dengan
bantuan
TNI/POLRI.
Pembatasan di atas termaksud kegiatan sosial
dan keagamaan skala besar termasuk peliburan
sekolah, dekontaminasi pada alat angkut dan
barang
serta
penyehatan
lingkungan
dalam
wilayah episenter PHEIC.
87
c) Karantina Rumah Sakit
Tindakan
karantina
dilaksanakan
Rumah
dengan
Sakit
Rumah
Sakit
pertimbangan
bahwa
sebagai
fasilitas
pelayanan
kesehatan rujukan tingkat lanjutan berpotensi
menjadi sumber penularan dan dapat secara
cepat menyebar di lingkungan masyarakat serta
menimbulkan
kedaruratan
kesehatan
masyarakat.
Pokok-pokok
kesehatan
kegiatan
pada
pembatasan
Rumah
sosial
kekarantinaan
Sakit
seluruh
mencakup
aktifitas
guna
menjamin tidak menyebarnya penyakit keluar
dari Rumah Sakit. Seluruh kebutuhan dasar di
Rumah Sakit disuplai dari luar secara ketat
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
d) Pembatasan Sosial Berskala Besar
Pembatasan sosial berskala besar dalam
kekarantinaan
merupakan
masyarakat
kesehatan
pada
pembatasan
yang
dasarnya
aktifitas
memungkinkan
sosial
terjadinya
penularan penyakit antar anggota masyarakat,
antara lain dengan:
(1) meliburkan sekolah dan tempat kerja;
(2) membatasi kegiatan keagamaan; dan
(3) membatasi
kegiatan
di
tempat/fasilitas
umum.
88
Pembatasan sosial berskala besar ini dilakukan
secara
ketat
dan
mengikuti
prosedur
dan
ketentuan yang berlaku.
3.
Dokumen Karantina Kesehatan
Dokumen
bukti
bahwa
kesehatan
Karantina
seluruh
telah
Kesehatan
aktifitas
dilaksanakan
merupakan
kekarantinaan
sesuai
dengan
prosedur dan diterbitkan oleh otoritas kesehatan
masyarakat
di
pintu
masuk
(bandar
udara,
pelabuhan, PLBDN). Dokumen karantina kesehatan
ini berlaku secara internasional (konvensi IHR, ICAO,
dan
IMO)
serta
merupakan
kewajiban
setiap
pengelola alat angkut dan pelaku perjalanan untuk
melengkapinya
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
ketentuan penggunaan yang diberlakukan.
Bentuk dokumen karantina kesehatan pada alat
angkut meliputi:
a. Deklarasi kesehatan;
b. Sertifikat Persetujuan Karantina Kesehatan;
c. Sertifikat sanitasi;
d. Sertifikat obat-obatan dan alat kesehatan;
e. Buku kesehatan untuk kapal; dan
f.
Surat Persetujuan Berlayar Karantina Kesehatan
(port health quarantine clearance) untuk kapal.
Bentuk dokumen karantina kesehatan untuk
pelaku
perjalanan
meliputi
Sertifikat
Vaksinasi
Internasional dan Surat Keterangan Pengangkutan
Orang Sakit, sedangkan untuk barang meliputi surat
izin
pengangkutan
jenazah/abu
jenazah
dari
89
pelabuhan/bandar udara, sertifikat kesehatan untuk
bahan berbahaya, dan sertifikat kesehatan atau surat
keterangan
kesehatan
kosmetika,
alat
untuk
kesehatan
obat,
dan
makanan,
bahan
adiktif
(OMKABA). Diberlakukan pula dokumen terhadap
bahan
biologis,
reagen,
dan
bahan
keperluan
diagnostik.
Khusus dokumen kesehatan untuk OMKABA
hanya diterbitkan oleh pejabat karantina kesehatan
berdasarkan permintaan negara tertentu.
Dimungkinkan diterbitkan dokumen karantina
kesehatan
lain
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
kesepakatan antar negara, yang akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pelaksanaan.
4.
Sumber Daya Kekarantinaan Kesehatan
Sumber
daya
penyelenggaraan
yang
dibutuhkan
kekarantinaan
dalam
kesehatan
mencakup fasilitas dan perbekalan kekarantinaan
kesehatan, pejabat karantina kesehatan, penelitian
dan pengembangan, dan pendanaan.
a. Fasilitas
dan
Perbekalan
Kekarantinaan
Kesehatan
Fasilitas
dan
perbekalan
kekarantinaan
kesehatan merupakan hal yang esensial dalam
menyelenggarakan
kekarantinaan
kesehatan,
yang mencakup peralatan deteksi dan respon
cepat,
ruang
wawancara/observasi,
ruang
diagnosis, ruang karantina kesehatan, ruang
90
isolasi,
rumah
rujukan,
dan
sakit
rujukan,
transportasi
laboratorium
evakuasi
penyakit
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Sebagai
kelengkapan
operasionalisasi
fasilitas dan perbekalan diperlukan pendidikan
dan
pelatihan
di
bidang
kekarantinaan
kesehatan. Sesuai dengan perkembangan situasi
dan
kecenderungan
serta
pola
penyebaran
penyakit menular, maka dimungkinkan teknologi
kekarantinaan
kesehatan
berkembang
sesuai
dengan kebutuhan.
b. Pejabat Karantina Kesehatan
Pemerintah menjamin tersedianya tenaga
untuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,
melalui pendidikan, pelatihan serta bimbingan
dan pengawasan yang bermutu.
Jenis tenaga yang diperlukan adalah tenaga
dalam
bidang
surveilans
tenaga
pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga
farmasi yang berstatus berstatus Pegawai Negeri
Sipil, dengan kemampuan teknis yang memadai
yang
diperoleh
melalui
pendidikan/pelatihan
nasional dan internasional. Menteri Kesehatan
menetapkan pejabat karantina kesehatan yang
bertugas
melakukan
pengawasan
menjamin
terselenggaranya
semua
untuk
kegiatan
kekarantinaan kesehatan.
Mengingat potensi risiko yang besar dalam
melaksanakan tugas dan fungsi kekarantinaan
91
kesehatan,
pejabat
dimungkinkan
kerja,
yang
karantina
memperoleh
merupakan
kesehatan
tunjangan
imbalan
atas
risiko
risiko
kecelakaan dan kerusakan organ perorangan
yang
dialami
petugas
pada
pelaksanaan
kekarantinaan kesehatan, seperti pelaksanaan
pengawasan fumigasi dan risiko tertular penyakit
pada saat pelayanan penderita atau tersangka.
Besaran tunjangan risiko ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
diselaraskan dengan peraturan terkait bidang
keuangan.
c. Penelitian dan Pengembangan
Perkembangan pengetahuan dan teknologi
dalam kekarantinaan kesehatan serta situasi dan
kecenderungan epidemiologi penyakit menular
dan masalah kesehatan menuntut dilakukan
penelitian
dan
pengembangan
di
bidang
kekarantinaan kesehatan.
Hal tersebut guna mengkaji berbagai bentuk
perubahan, baik perubahan pada pola penyakit
dan munculnya penyakit baru, teknologi, serta
peraturan perundang-undangan.
d. Pendanaan
Pendanaan
Kekarantinaan
anggaran
kegiatan
Kesehatan
pendapatan
dan
penyelenggaraan
bersumber
belanja
dari
negara,
92
anggaran
pendapatan
dan
belanja
daerah,
dan/atau masyarakat.
Pendanaan
kegiatan
penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk pada
alat angkut di luar situasi Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang meresahkan dunia dibebankan
pada pemilik alat angkut.
Pendanaan mengenai pelaksanaan tindakan
penyehatan
yang
dimohonkan
pengelola
alat
angkut menjadi tanggung jawab pemohon dan
merupakan penerimaan negara.
5. Informasi Kekarantinaan Kesehatan
a. Substansi Informasi Kekarantinaan Kesehatan
Informasi kekarantinaan kesehatan meliputi
informasi
wabah,
tentang
dan
PHEIC,
lain-lain
yang
penyakit
potensial
berkaitan
dengan
kekarantinaan kesehatan.
b. Penyelenggara
Informasi
Kekarantinaan
Kesehatan
Informasi
kekarantinaan
diselenggarakan
oleh
kesehatan
Pemerintah
Republik
Indonesia dan atau jajarannya, dengan luar negeri
atau badan internasional yang bertanggung jawab
tentang
kekarantinaan
kesehatan,
yang
penyelenggaraannya harus mengikuti peraturan
internasional.
Pemerintah
alat/media
mengembangkan
pelaporan
beserta
berbagai
mekanisme
93
pelaksanaannya
baik
tingkat
pusat,
wilayah/daerah, dan di unit pelabuhan, serta
menggunakan
berbagai
jenis
media
cetak/elektronik untuk menjamin terlaksananya
informasi kekarantinaan kesehatan kepada pihakpihak yang memerlukan, antara lain Organisasi
Kesehatan
Dunia,
Badan-Badan
Kesehatan
Internasional antar negara, perwakilan pemerintah
Indonesia di luar negeri, dan agen perjalanan
wisata Nasional/Internasional.
c. Penyampaian
Informasi
Kekarantinaan
Kesehatan
Agen/operator alat angkut, petugas di pintu
masuk dan pengguna jasa apabila mengetahui
adanya
tersangka
penderita
PHEIC
dan/atau
barang yang dicurigai harus melapor selambatlambatnya
dalam
waktu
1x24
jam
sejak
diketahuinya kejadian tersebut kepada pejabat
karantina kesehatan di pintu masuk.
Laporan
tentang PHEIC menurut data epidemiologi meliputi
waktu,
tempat
dan
penderita,
secara
rinci
pedomannya ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pejabat karantina kesehatan di pintu masuk
segera melaporkan adanya tersangka penderita
PHEIC kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur
Jenderal
yang
bertanggungjawab
di
bidang
kekarantinaan kesehatan.
Pejabat kesehatan masyarakat di daerah yang
bertanggungjawab
dalam
penyelenggaraan
94
kekarantinaan kesehatan di wilayahnya, harus
segera melaporkan adanya tersangka penderita
PHEIC kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur
Jenderal
yang
bertanggungjawab
di
bidang
kekarantinaan kesehatan.
Penyelenggaraan
informasi
kekarantinaan
kesehatan dilaksanakan sesuai sistem informasi
kesehatan yang berlaku berdasarkan ketentuan
peraturan perundangan.
6.
Pembinaan dan Pengawasan
a. Pembinaan
Pembinaan diarahkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan dan profesionalisme pejabat
karantina
kesehatan
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam rangka kerjasama antar negara baik secara
bilateral, regional dan internasional.
Selain itu juga untuk memberikan dorongan
bagi masyarakat, termasuk swasta, agar ikut
berperan
serta
dalam
menunjang
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan serta
untuk
meningkatkan
sektor
terkait
koordinasi
di
keterpaduan
pelabuhan
pelaksanaan
dalam
undang
berbagai
rangka
undang
kekarantinaan kesehatan ini.
b. Pengawasan
Pengawasan penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan dilakukan oleh pemerintah bersama
95
masyarakat. Pemerintah berwenang mengambil
tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan
dan sarana pelayanan kesehatan serta sarana
lainnya
yang
melakukan
kelalaian
atau
pelanggaran terhadap ketentuan dalam undangundang ini.
7. Penyidikan
Dalam
bidang
kekarantinaan
kesehatan,
kejadian yang dapat mengarah kepada unsur pidana,
antara lain ditemukannya faktor risiko yang berasal
dari alat angkut, pelaku perjalanan, barang dan
lingkungan pintu masuk negara yang mengarah pada
kejadian
yang
kesehatan
dapat
menimbulkan
masyarakat.
Hal
tersebut
kedaruratan
merupakan
salah satu dasar untuk dijadikan investigasi yang
dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan penyidikan.
Selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia juga kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di Kementerian Kesehatan diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
untuk
melakukan
penyidikan
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Kewenangan
PPNS
di
bidang
kesehatan
khususnya terkait dengan kekarantinaan kesehatan
sebagai berikut:
96
a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana
Kekarantinaan Kesehatan;
b. mencari keterangan dan alat bukti;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang
memasuki
setiap
orang
tempat
meninggalkan
kejadian
perkara
atau
untuk
kepentingan penyidikan;
e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap,
atau
menahan
melakukan
seseorang
tindak
yang
pidana
disangka
Kekarantinaan
Kesehatan;
f. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen;
g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau
tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
h. memeriksa atau menyita surat, dokumen, atau
benda yang ada hubungannya dengan tindak
pidana Kekarantinaan Kesehatan;
i. memanggil
seseorang
untuk
diperiksa
dan
didengar keterangannya sebagai tersangka atau
saksi;
j. mendatangkan
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
k. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana
Kekarantinaan Kesehatan;
l. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
m. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber
yang berkompeten;
n. melakukan penghentian penyidikan; dan/atau
97
o. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
8. Ketentuan Sanksi
Pelanggaran
diatur
terhadap
dalam
ketentuan
undang-undang
yang
akan
kekarantinaan
kesehatan ini dikenakan :
a. Sanksi administratif, berupa:
1) Peringatan;
2) Denda administratif; dan/atau
3) Pencabutan izin.
b. Sanksi pidana, berupa :
1) Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun,
bagi nahkoda kapal atau kapten penerbang
pesawat
udara
menurunkan
barang
yang
atau
sebelum
Karantina
dengan
menaikkan
orang
memperoleh
Kesehatan
sengaja
dan
Persetujuan
dengan
maksud
menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko
kesehatan
yang
menimbulkan
Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat;
2) Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00
(seratus
juta
rupiah),
bagi
setiap orang yang dengan sengaja menghalanghalangi
penyelenggaraan
Kekarantinaan
Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat
98
9.
Ketentuan Peralihan
Semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2373) dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan
Lembaran
Negara
diundangkannya
Nomor
2374)
undang-undang
pada
saat
kekarantinaan
kesehatan ini masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan undang-undang atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
undang-undang ini.
10.
Ketentuan Penutup
Dengan
berlakunya
undang-undang
kekarantinaan kesehatan ini maka Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1962
tentang
Karantina
Laut
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2373) dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan
Lembaran
Negara
Nomor
2374)
dicabut
dan
dinyatakan tidak berlaku.
99
BAB VI
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat
diambil adalah :
1.
Permasalahan yang dihadapi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
yaitu :
a) Tidak adanya kesesuaian pengaturan kekarantinaan
kesehatan nasional dengan IHR 2005;
b) Belum adanya pengaturan tentang kekarantinaan di
Pos Lintas Batas Darat Negara, pengaturan zona
karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah;
c) Belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku
pelanggaran kekarantinaan kesehatan;
d) Belum optimalnya koordinasi dan komunikasi antar
instansi dalam pelaksanaan tugas QICP (quarantine,
immigration, custom, port); dan
e) Masih terbatasnya Kewenangan KKP sebagai lembaga
yang
melaksanakan
penyelenggaraan
karantina
kesehatan di pintu masuk/keluar negara serta sumber
daya yang tersedia masih minimal.
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina
Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara dinilai sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi
saat
ini
sehingga
mengharuskan
adanya
100
pembaharuan hukum terkait pengaturan kekarantinaan
kesehatan.
3.
Landasan
Filosofis
penyusunan
RUU
tentang
Kekarantinaan Kesehatan adalah mewujudkan tujuan
negara yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh
tumpah
perlindungan
darah
Indonesia”
kesehatan
melalui
upaya
dari
bahaya
masyarakat
penyakit yang berpotensi PHEIC. Secara sosiologis,
penyusunan RUU ini semakin penting karena upaya
pengendalian/pemberantasan
penyakit
makin
sulit
mengingat lokasi strategis Indonesia serta perkembangan
teknologi transportasi kini memperbesar resiko masuk
dan
keluar
penyakit
menular.
Secara
yuridis,
penyusunan RUU baru merupakan hal mutlak yang
harus dilakukan karena UU No 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan UU No 2 Tahun 1962 tentang
Karantina
Udara
sudah
tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan zaman termasuk penyesuaian dengan
instrument hukum internasional (IHR 2005).
4.
Sasaran yang ingin diwujudkan dari penyusunan RUU
tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu terbentuknya
pengaturan kekarantinaan kesehatan agar Indonesia
mampu melaksanakan cegah tangkal penyakit menular
potensial wabah, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri
dalam
rangka
melindungi
masyarakat
dan
kedaulatan negara. Jangkauan dan arah pengaturan
RUU ini adalah mengatur tindakan karantina kesehatan
di pintu masuk, yaitu di pelabuhan, bandar udara,
wilayah dan lintas batas darat negara.
101
B.
Saran
Dari hasil kajian dan pembahasan, penyusunan RUU
tentang
Kekarantinaan
Kesehatan
harus
menyesuaikan
dengan instrumen hukum internasional (IHR 2005) serta
perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi
transportasi di udara, laut maupun darat, yang berpengaruh
pada risiko penularan penyakit.
Pengaturan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
perlu pula diselaraskan dengan sistem pengawasan lainnya
seperti karantina tumbuhan dan hewan, keimigrasian, bea
dan
cukai,
agar
terdapat
kesamaan
pandang
dalam
memberikan pelayanan dan pengawasan kepada masyarakat
luas, serta kerjasama secara lintas sektor maupun lintas
program. Penggantian undang-undang ini disarankan masuk
pada prioritas tahun 2015 dan segera diserahkan untuk
dibahas oleh DPR RI.
102
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005 Manajemen Penyakit Berbasis
Wilayah. Penebit Buku Kompas Jakarta Cetakan 1.
Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum
Curatione in. Theories of Causation; Dana Loomis and Steve
Wings Oxford University Press. New York. 2001.
Greenwood M. 1933. Epidemics and Crowd Diseases: an
Introduction to the study of Epidemiology in. Epidemiology Kept
Simple an introduction to the Traditional and Modern
Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition. 2003.
Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David
and Rutala A. William Biological Basis on Infectious Disease
Epidemiology; Oxford University Press. New York. 2001.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press,
Jakarta. A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan
Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Dies
Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,
Jakarta, 17 Juni 1992
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta,
Edisi I.
Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the
Study of Infectious Diseases. Oxford University Press. New
York. 2001
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara;
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan dan Tumbuhan;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
103
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular;
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan;
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja KKP;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011
tentang
Perubahan
Atas
Permenkes
Nomor
356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Kesehatan Pelabuhan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi KKP;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 949 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaa Dini Kejadian
Luar Biasa;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1372 Tahun 2005 tentang
Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa Flu Burung;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 612 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Karkes Pada Penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1314 Tahun 2010 tentang
Pedoman
Standarisasi
SDM,
Sarana,
Prasarana
di
Lingkungan KKP;
International Health Regulations (2005);
Convention on the International Maritime Organization;
Convention on International Civil Aviation;
104
Download