1 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI INTERPERSONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI MUTASI KEDINASAN Oleh : MUHAMMAD ASEP MUHARAM RINA MULYATI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008 2 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI INTERPERSONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI MUTASI KEDINASAN Telah Disetujui Pada Tanggal ------------------------------------ Dosen Pembimbing Utama (Rina Mulyati, S. Psi., M.Si) 3 HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI INTERPERSONAL DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI MUTASI KEDINASAN Muhammad Asep Muharam Rina Mulyati INTISARI Penelitian ini bertujuan ntuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan. Asumsi awal yang diajukan adalah ada pengaruh positif antara kompetensi interpersonal dengan penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan, dimana semakin tinggi kompetensi interpersonal subjek, maka pengaruhnya terhadap penyesuaian diri akan semakin meningkat dan juga berlaku sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di perumahan militer berusia 1121 tahun, tidak dibatasi jenis kelamin maupun latar belakang agama. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Data diungkap dengan menggunakan metode angket dimana angket yang digunakan ada dua yaitu (1) Angket Penyesuaian Diri yang disusun berdasarkan karakteristik penyesuaian diri normal yang dikemukakan oleh Schneiders (1964), terdiri dari 38 aitem dengan koefisien korelasi aitem sahih bergerak antara 0.2509-0.5934 serta koefisien korelasi Alpha sebesar 0.8987 dan (2) Angket Kompetensi Interpersonal yang disusun dengan mengacu pada aspek-aspek kompetensi interpersonal yang dikemukakan oleh Buhrmester, dkk (1988) terdiri dari 23 aitem dengan koefisien korelasi aitem sahih bergerak antara 0.2683-0.6537 serta koefisien korelasi Alpha sebesar 0.8452. Metode analisis yang digunakan adalah tehnik analisa perhitungan product moment dari Pearson. Perhitungannya dilakukan dengan bantuan program SPSS 10.0 for Windows. Hasilnya menunjukkan kompetensi interpersonal memberikan pengaruh yang sangat signifikan kepada penyesuaian diri remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan (r=0.504 dengan p<0.01). Tingkat kompetensi interpersonal subjek membrikan sumbangan sebesar 25.4% (r²=0.254) terhadap penyesuaian dirinya. Kata kunci : Kompetensi Interpersonal, Penyesuaian Diri 4 PENGANTAR Individu sebagai mahluk ciptaan Tuhan dianugerahi berbagai kemampuan yang nantinya dapat berkembang setelah lahir diantaranya adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan tempat hidup, tumbuh dan berkembang. Penyesuaian diri menurut Powell (1983) merupakan proses pembentukan kesesuaian atau keselarasan dari dalam diri seseorang yang pada umumnya berkaitan dengan lingkungan yang baru dikenal atau dimasuki oleh seseorang. Melalui proses yang cukup panjang, seseorang akan menjadi terbiasa dengan norma-norma, aturan serta kebiasaan yang ada di lingkungannya. Kemampuan penyesuaian diri sangat menentukan bagi dirinya diterima atau tidak dalam lingkungan baru tersebut. Masa remaja merupakan serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani, salah satunya adalah membina hubungan dengan lingkungan baru atau hubungan pertemanan yang lebih luas. Namun pada remaja yang memiliki orang tua mengalami mutasi kedinasan, remaja tersebut tidak begitu banyak memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih luas karena seorang anak dengan orang tua yang mengalami mutasi kedinasan akan memiliki mobilitas tempat tinggal yang tidak tetap karena harus mengikuti orang tuanya yang berpindah-pindah tempat dinas. Tentara, polisi, dokter, pegawai negeri merupakan beberapa profesi yang memiliki mobilitas tempat dinas yang tidak tetap. Setiap beberapa tahun sekali akan selalu berpindah tempat dinas. Berpindah-pindah tempat dinas tersebut 5 tentunya tidak hanya berakibat kepada si orang tua sebagai pengemban amanah karena profesi yang digelutinya, namun juga berimbas kepada keluarga yang turut serta dengannya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Arimurti (2006) yaitu bahwa orang tua yang memiliki mutasi kedinasan, anak tidak memiliki pilihan sehingga mau tidak mau akan ikut pindah kemanapun orang tuanya ditempatkan. Itibiliana (2006) mengungkapkan bahwa perpindahan tempat tinggal secara permanen ke lokasi yang sama sekali baru, bisa menimbulkan stres bagi remaja. Remaja tersebut harus beradaptasi kembali dari awal dengan lingkungan, teman-teman baru, lingkungan sekolah baru, guru baru dan suasana yang baru. Perpindahan tempat tinggal dari satu kota ke kota yang lain akan berdampak dalam proses penyesuaian dirinya dengan lingkungan baru. Menurut penulis, hal tersebut tentunya akan menimbulkan perasaan takut dan cemas. Respon tersebut adalah normal untuk pertama kali merasakan kepindahan, namun apabila perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan tersebut tidak dapat diatasi bukan tidak mungkin akan menimbulkan depresi bagi remaja. Perasaan-perasaan tersebut dapat juga mengakibatkan remaja menjadi kurang percaya diri sehingga ia tidak memiliki keberanian untuk mengenal lingkungan barunya. Kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru akan menjadi penting bagi remaja yang memiliki mobilitas tempat tinggal. Hal tersebutlah yang menjadikan seorang remaja menjadi tidak stres jika harus mengalami perpindahan dari satu kota ke kota lainnya, terutama bagi remaja yang kurang pandai bergaul dan kurang pandai beradaptasi. 6 Herlina (Arimurti, 2006) mengungkapkan bahwa seseorang yang tidak mampu mengatasi perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan saat masuk ke dalam lingkungan baru dapat mengakibatkan seseorang tersebut dapat menarik diri dari lingkungan dan menjadi manusia yang sulit untuk bersosialisasi. Pandia (2006) juga mengungkapkan bahwa perubahan perilaku terjadi saat remaja mengalami perubahan situasi yang drastis dan mendadak seperti pindah rumah, pindah sekolah, atau ditinggal oleh orang tua dengan berbagai alasan. Remaja yang sering berpindah-pindah tempat tinggal juga dapat menimbulkan perubahan perilaku bagi remaja, seperti menjadi pendiam atau banyak menyendiri di dalam kamar. Ketidakmampuan menyesuaikan diri bagi remaja yang berpindah dari satu kota ke kota yang lain dapat mempengaruhi kondisi psikologis remaja tersebut. Hasil wawancara penulis dengan remaja yang berpindah-pindah menyebutkan bahwa ia merasa takut untuk bersosialisasi dengan lingkungan barunya karena perbedaan bahasa yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya sehingga membuat ia sukar dalam melakukan komunikasi dengan teman barunya, seperti halnya berkenalan ataupun mengobrol. Jika tidak memiliki penyesuaian diri yang baik, tentunya akan dapat mengganggu mengenal lingkungannya apabila ia tidak dapat berkenalan dengan teman barunya. Selain itu, saat masuk ke dalam lingkungan baru, ia juga mengalami diskriminasi dengan teman-temannya karena ia pindah dari daerah ke kota yang lebih maju. Seperti halnya di sekolah yang baru, ia dikucilkan dari teman-teman barunya, ditekan saat berada di sekolah karena dianggap “anak baru“. Hal tersebut 7 membuat ia takut untuk pergi ke sekolah, hal ini dapat berakibat kepada prestasi akademis dari remaja tersebut. Standar kualitas sekolah yang satu dengan yang lainnya tentu akan berbeda-beda, sehingga dapat saja berakibat menurunnya prestasi akademik apabila remaja tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan sekolah yang baru. Hal yang lain adalah ia juga lebih suka menyendiri daripada harus bergaul dengan teman-temannya karena takut akan diskrimnasi-diskriminasi tersebut. Remaja tersebut juga tidak memiliki teman atau sahabat karib yang benar-benar dekat dengan dirinya, karena ia akan berfikir saat akan melakukan hubungan pertemanan yang lebih dalam, ia akan pindah tempat tinggal lagi karena ikut dengan orang tuanya. Berdasarkan hasil uraian di atas, kemampuan penyesuaian diri pada remaja sangat diperlukan saat harus mengalami perpindahan tempat tinggal karena ikut dengan orang tua yang mengalami mutasi kedinasan. Memiliki penyesuaian diri yang baik tentu saja membuat seseorang akan lebih mudah mengenal lingkungan barunya ketika ia harus berpindah-pindah tempat tinggal. Saat seseorang memiliki penyesuaian diri yang baik, orang tersebut dapat memecahkan konflik, frustrasi dan masalah tanpa adanya gangguan di dalam dirinya, seseorang akan lebih dapat menerima lingkungan barunya dengan cepat, walau lingkungan barunya tersebut tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya, sehingga tidak ada masalah penyesuaian diri yang berarti sehingga seseorang itu dapat menjalankan aktivitas hariaannya seperti biasa. 8 Remaja yang akan memulai suatu hubungan yang baru dengan lingkungannya juga tidak lepas dari kemampuan-kemampuan yang lain yang ada di dalam kompetensi interpersonal, seperti yang diungkapkan oleh Buhrmester dkk (1988) adalah kemampuan berinisiatif yang membuat remaja tersebut berani untuk melakukan sebuah interaksi dengan teman yang baru saja dikenalnya sehingga memiliki teman di lingkungan baru. Interaksi yang terjalin tersebut membuat remaja akan mengembangkan kemampuan berempati, bersikap asertif dan membuka diri terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal tersebut membuat remaja yang mengalami perpindahan tempat tinggal akan akan lebih mudah untuk mengenal lingkungan barunya. Rolf (1979) mengungkapkan jika seorang remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik, maka remaja tersebut akan lebih mampu melakukan komunikasi dengan lebih efektif, mampu memahami diri sendiri dan orang lain, mampu mengenal gender, mampu memahami nilai-nilai norma yang berlaku di dalam masyarakat, dan mampu menyesuaikan diri dengan normanorma yang berlaku di dalam tatanan masyarakat serta juga mampu mengatur emosinya. Menurut penulis, remaja yang memiliki kompetensi interpersonal dengan baik menjadikan remaja tersebut dapat menyesuaikan dengan lingkungan barunya, yaitu dengan memiliki kemampuan inisiatif. Hal ini sejalan dengan data yang didapat di lapangan bahwa ada remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan baik karena ia memiliki kemampuan berinisiatif. Remaja tersebut mulai menciptakan hubungan dengan teman barunya, seperti berkenalan dengan teman 9 di lingkungan baru, mulai berbincang-bincang dan hal ini memudahkan untuk mengenal lingkungan barunya dan membuat kemampuan-kemampuan lain seperti berempati, asertif, dan membuka diri dengan lingkungannya, dan mengatasi konflik interpersonalnya akan terus berkembang sehingga mempermudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa harus mengalami gangguan akibat terlalu banyak memiliki mobilitas tempat tinggal karena mengikuti orang tuanya. Berdasarkan uraian mengenai penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya yang mengalami mutasi kedinasan dan kompetensi interpersonal serta ada banyaknya dampak negatif dari perpindahan tempat tinggal yang dialami oleh remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan, maka penulis tertarik untuk meneliti seberapa besar kompetensi interpersonal memberikan pengaruh terhadap penyesuaian diri remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan. TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyesuaian Diri Woodworth (dalam Gerungan, 1991) menjelaskan penyesuaian diri dalam arti luas yaitu mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai keinginan diri. Lingkungan dapat diartikan sebagai tempat tinggat yang mengalami perpindahan dari satu kota ke kota lain yang tentunya akan ada banyak perbedaan suasana sehingga harus memiliki kemampuan mengenal lingkungan dengan baik. Penyesuaian diri dapat dibedakan dari bagaimana seseorang menyikapi sebuah lingkungan baru. Penyesuaian diri yang pertama disebut dengan penyesuaian diri yang autoplatis (auto = sendiri ; 10 plastis = bentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut dengan aloplastis (alo = yang lain). Jadi penyesuaian diri ada artinya yang pasif, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan artinya yang aktif, kita mempengaruhi lingkungan. Fatimah (2006) memiliki berbagai macam definisi tentang penyesuaian diri, antara lain, penyesuaian diri sebagai konformitas yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip yang berlaku umum. Selain itu, penyesuaian diri juga berarti dapat mempertahankan eksistensi, atau dapat survive dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan lingkungan sosial. Individu yang survive atau bertahan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah sehingga akan mendapatkan kenyamanan dan mampu untuk memulai suatu hubungan dengan orang lain. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan juga mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik-konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efektif. Respon positif dalam individu terhadap lingkungan yang baru dapat menekan kecemasan akan bayangan tempat tinggal baru yang dialaminya. Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai penguasaan dan kematangan emosional (Fatimah, 2006). Penyesuaian diri individu yang berpindah-pindah memerlukan penguasaan emosional yang baik karena perpindahan dari satu kota ke kota yang lain dapat menimbulkan stres, stres tersebut dapat ditekan melalui penguasaan emosi dengan baik. 11 Remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya mempunyai ciri-ciri antara lain : suka bekerjasama dengan orang lain, simpati kepada orang lain, mudah akrab kepada orang lain, disiplin dan lainlain. Sebaliknya bagi remaja yang tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya mempunyai ciri-ciri; suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egoistik, merendahkan orang lain, buruk sangka dan sebagainya. (www.darulnuman.com,7 Maret 2007). Schneiders (1964), mengungkapkan bahwa karakterisitik penyesuaian diri yang normal adalah sebagai berikut : a. Tidak adanya emosi yang berlebihan Individu mampu menunjukkan ketenangan emosi dan kontrol yang memungkinkan individu tersebut mengahadapi suatu permasalahan secara tepat dan dapat menentukan berbagai macam kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Hal ini bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, namun lebih menekankan kemampuan kontrol emosi ketika mengahadapi situasi tertentu. b. Tidak menggunakan defense mechanism Seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah bila seseorang tersebut menyelesaikan masalah tidak memakai defense mechanism. Defense mechanism merupakan reaksi bertahan akan suatu masalah yang dialami seseorang, seperti tidak mau mengakui apa yang menjadi kelemahannya. Misalnya, penyesuaian diri dikatakan baik bila seseorang mengalami kegagalan, maka seseorang tersebut mengakui kegagalan 12 tersebut dan akan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Seseorang dikatakan gagal dalam penyesuaian dirinya apabila seseorang tersebut menghadapi kegagalan dengan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai (sour grapes mechanism). c. Tidak ada frustrasi personal Individu dengan penyesuaian diri yang baik adalah individu yang mampu mengorganisir pikiran, tingkah laku, perasaan, motivasi dan tingkah lakunya untuk menghadapi situasi yang memerlukan penyesuaian yang berarti bahwa individu tersebut tidak mengalami frustrasi. Frustrasi ditandai dengan adanya perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan. Frustrasi dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan untuk merespon secara normal terhadap suatu permasalahan atau situasi. d. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri Seseorang dengan kemampuan penyesuaian diri yang baik adalah seseorang yang mempu berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap suatu masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi (mengarahkan) pikiran, tingkah laku dan perasaan. Tingkah laku untuk memecahkan permasalahan dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian diri yang normal. Hal ini tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang apabila seseorang tersebut tidak dikuasai emosi berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik. 13 e. Memiliki kemampuan untuk belajar Individu dengan penyesuaian diri yang baik adalah individu yang mampu belajar. Proses belajar dilihat dari hasil kemampuan individu tersebut mengatasi konflik, situasi dan stres secara berkesinambungan. Prekembangan individu dari satu masalah ke masalah yang lain akan membuat individu tersebut akan lebih banyak belajar sehingga akan lebih dapat menyesuaiakan diri dengan perbedaan kondisi atau suasana yang drastis. f. Mempu memanfaatkan pengalaman masa lalu Seseorang dapat belajar dari pengalamannya maupun pengalaman orang lain. Pengalaman masa lalu yang baik terkait dengan keberhasilan maupun kegagalan untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik. Pengalaman masa lalu berkaitan dengan proses belajar dari yang sebelumnya sehingga membuat seseorang memiliki banyak aituasi-situasi yang mendukung dalam proses penyesuaian dirinya Seseorang dengan penyesuaian diri yang baik dapat menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat membantu dan mengganggu penyesuaian diri dari pengalamanpengalamn sebelumnya. g. Memiliki sikap realistik dan obyektif Seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah seseorang yang mampu menerima keadaan dirinya dan keterbatasan yang dimiliki seseorang sebagaimana keadaan sebenarnya dan mampu menghadapi kenyataan baik diri sendiri maupun lingkungan. Seseorang tersebut juga 14 dapat menerima kenyataan yang dialaminya tanpa harus mengeluh dan berusaha untuk bertahan di dalam kondisi tersebut. Vembrianto (1980) menyatakan bahwa proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a. Sifat dasar Sifat dasar adalah sifat yang merupakan potensi yang dibawa sejak lahir yang merupakan warisan dari orang tua. b. Lingkungan prenatal Lingkungan prenatal adalah lingkungan di dalam kandungan ibu. Di dalam kandungan seorang bayi mendapatkan pengaruh yang tidak langsung dari ibu. Pengaruh ini dapat pula berupa gangguan yang dapat mengakibatkan keterbelakangan mental dan emosi anak. c. Perbedaan perorangan sejak lahir Individu berkembang secara unik yang berbeda dengan individu lain. d. Lingkungan Lingkungan sekitar individu yang mempengaruhi proses penyesuaian diri, misal lingkungan alam seperti benda atau alat-alat yang ada di sekitar individu. e. Motivasi Motivasi adalah dorongan dari dalam untuk melakukan suatu tindakan. Penyesuaian diri merupakan tindakan dan tindakan ini penggerakanya adalah motivasi. Pada penelitian ini banyak membahas mengenai remaja yang memiliki mobilitas tempat tinggal karena mengikuti orang tuanya yang mutasi kedinasan 15 dari satu kota ke kota yang lainnya. Beberapa profesi orang tua yang diungkapkan oleh Solahudin (2006) adalah sebagai tentara, polisi, dokter, pegawai negeri sipil dan sebagainya. Arimurti (2006) mengungkapkan bahwa remaja-remaja yang memiliki orang tua yang mengalami mutasi kedinasan harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru, rumah baru, sekolah baru, guru baru hingga proses pembelajaran yang baru. Hal tersebut belum tentu direspon dengan tepat atau efektif dengan remaja sehingga dapat menyulitkan proses penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru. Menurut Arimurti (2006) di lingkungan rumah, remaja yang ikut serta dengan orang tuanya yang mengalami mutasi kedinasan akan meninggalkan teman-teman dekat di tempat tinggal sebelumnya. Saat datang ke tempat tinggal yang baru, remaja tersebut memerlukan proses untuk menganali teman di sekitar rumahnya. Selain di rumah, tentunya juga akan memerlukan proses di dalam lingkungan sekolah, seperti halnya teman-teman baru di sekolah, guru yang baru, suasana belajar yang baru, metode belajar yang baru. Masa transisi perpindahan tersebut dapat dilalui dengan baik apabila remaja tersebu memiliki penyesuaian diri yang baik. Kemampuan penyesuaian diri remaja dengan orang tua yang mengalami mutas kedinasan tersebut tergantung pada masing-masing remaja. Ada remaja yang dengan cepat dapat mengenal dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru karena memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi, namun juga 16 ada remaja yang lambat dalam penyesuaian dirinya karena malu dan sukar bergaul Maria (Arimurti, 2006). Ketidakmampuan remaja dengan orang tuanya yang mengalami mutasi kedinasan dalam mengenal dan menyesuaikan diri dalam lingkungan baru akan berakibat fatal (Arimurti, 2006). Biasanya perasaan takut dan cemas akan melanda diri remaja tersebut, tetapi itu adalah respon yang normal, namun apabila remaja tersebut tidak dapat mengatasi respon-respon tersebut dengan baik akan berakibat kepada dirinya, seperti misalnya saat di sekolah remaja tersebut tidak mampu mengendalikan perasaan takut dan cemas membuat remaja tersebut tidak mau pergi ke sekolah dan berakibat penurunan prestasi akademis. Contoh lain misalnya perbedaan antara kualitas sekolah dari satu ke kota yang lainnya tentunya berbeda, bila tidak dilakukan pendampingan akan menyulitkan remaja tersebut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah barunya. Selain itu, apabila tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik akan berdampak pula dengan sosialisasi remaja terhadap lingkungan barunya. Jika remaja tersebut tidak mampu mengatasi perasaan ketidaknyamanannya akan berakibat akan menarik diri serta mengurung diri dan menjadi manusia yang tidak mampu bersosialisasi dengan baik (Arimurti, 2006). Tentunya tidak hanya dampak negatif saja yang dapat dialami oleh seorang remaja dengan orang tua yang mengalami mutasi kedinasan, ada sisi positif yang dapat dialami oleh remaja tersebut. Yanesthi (2006) mengungkapkan bahwa remaja tersebut dapat bahasa daerah yang beragam dan memahami pula beragam adat serta budaya lebih banyak dibanding anak yang tidak pernah pindah 17 kota sama sekali. Selain itu wawasan serta pengetahuan umum remaja tersebut berpotensi untuk berkembang karena lebih banyak hal yang bisa disaksikan dan alami secara langsung. Hal yang lainnya adalah, remaja tersebut mendapat kenalan yang bisa dijadikan kesempatan untuk terjalinnya sebuah korespondensi dengan teman dari tempat tinggal yang terdahulu. Untuk anak yang ekstrovert dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik tentunya akan sangat bermanfaat. 2. Kompetensi Interpersonal Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan, keahlian atau kecakapan. Napitupulu (2006) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah suatu kemampuan, kecakapan, dan memelihara suatu hubungan yang telah terjalin agar hubungan tersebut tidak hanya dipermukaan saja melainkan dapat lebih mendalam. Pendapat lain mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk menjalin dan membina suatu hubungan baik dengan orang lain (Mulyati, 1993). Kompetensi interpersonal oleh Spiltzberg & Cuparch (De Vito, 1995) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan memulai suatu hubungan efektif yang nantinya dapat dipertahankan. Kemampuan ini tidak lepas dari karakteristik psikologis yang akan timbul seperti pengetahuan tentang perilaku non verbal orang lain, kemampuan menyesuaiakan dengan konteks dimana interaksi tersebut tengah berlangsung dan kemampuan lainnya. Buhrmester dkk (1988), membedakan kompetensi interpersonal menjadi dua bagian untuk menentukan kemampuan seseorang di dalam membina suatu hubungan. Bagian pertama adalah kompetensi yang didasarkan pada tugas-tugas 18 interpersonal yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, seperti kemampuan berinisiatif yaitu kemampuan untuk memulai suatu hubungan yaitu dapat melalui pembicaraan dengan orang lain atau berkenalan dengan orang lain. Bagian kedua adalah mencoba untuk mengidentifikasi kemampuan perilaku yang menentukan efektif atau tidaknya suatu interaksi, contohnya adalah kemampuan dalam bahasa non verbal yang dilakukan saat berinteraksi. Dalam proses interaksi tentunya lawan bicara akan memiliki bahasa-bahasa tubuh yang secara tidak sadar akan terlihat sehingga dapat terlihat apa yang sebenarnya dirasakannya. Berdasarkan hal ini Buhrmester dkk. (1988) telah menggunakan pedekatan pertama atau mendasarkan pada dimensi (aspek) tugas-tugas interpersonal dalam penelitiannya, sehingga menurutnya ada lima aspek tugas interpersonal yang dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal seseorang dalam mengenal lingkungan barunya. Kelima aspek tugas interpersonal itu adalah (1) kemampuan berinisatif; (2) kemampuan asertif; (3) kemampuan membuka diri; (4) kemampuan memberikan dukungan sosial; dan (5) kemampuan mengatasi konflik yang terjadi dalam suatu hubungan. Lukman (2000) menyatakan bahwa kemampuan berinisiatif adalah kemampuan individu dalam membuka hubungan dengan individu lainnya. Pendapat lain dikemukakan oleh Hudaniah (2003) bahwa kemampuan berinsiatif adalah suatu kemampuan untuk menciptakan suatu interaksi dengan seseorang yang belum dikenal sama sekali ataupun yang baru saja dikena dan juga tindakantindakan yang dapat berguna untuk membantu proses interaksi dan mempertahankan sebuah hubungan yang sudah terbina sebelumnya. Pengertian 19 asertif dalam hal ini selalu diarahkan kepada mulainya suatu hubungan interpersonal yang baru dengan seseorang yang baru dikenal. Kemampuan bersikap terbuka adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberi perhatian kepada orang lain. Pengungkapan informasi pribadi ini adalah suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas terjadinya sharing (Lukman, 2000). Menurut Calhabun & Acocella (Nashori, 2003), keterbukaan dapat menumbuhkan kepercayaan dan keakraban serta dapat memperkuat hubungan yang telah terjalin. Keterbukaan yang terjalin dalam suatu hubungan dapat menguntungkan kedua belah pihak, namun keterbukaan ini harus disesuaikan dengan tingkat keterdekatan dalam tahap hubungan Sears dkk (1991) mengungkapkan bahwa keterbukaan merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Keterbukaan memiliki manfaat yang tidak kecil di dalam mempertahankan suatu hubungan. Keterbukaan dapat menumbuhkan kepercayaan dan keakraban serta meningkatkan keintiman. Pearlman & Cozby (Lukman, 2000) mengungkapkan asertif adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas dan dapat mempertahakan hak-haknya dengan tegas. Sikap asertif ini lebih mementingkan kejujuran serta ketegasan apabila seseorang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan sehingga akan menolak dengan tegas. Sikap asertif merupakan kemampuan untuk meminta orang lain melakukan 20 sesuatu yang diinginkan atau menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan (Calhabun & Acocella dalam Nashori, 2003). Ada saat dimana seseorang membutuhkan bantuan orang lain saat suka maupun duka. Barke dan Lamle (dalam Buhrmester dkk. 1988) menyatakan bahwa dukungan emosi mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang lain sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Tallent (1978) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Perasaan ini akan diterima oleh orang lain sebagai sikap yang hangat dan ini akan menjadi dasar yang penting bagi tumbuh sikapnya suka menolong. Orang yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk berempati akan memiliki keinginan yang tinggi pula untuk menolong (Davidio, 1990). Buhrmester dkk (1988) menyatakan bahwa kemampuan mengatasi konflik merupakan upaya bagi remaja agar konflik dalam hubungan mereka tidak semakin memanas dan berkepanjangan. Dengan kemampuan mengatasi konflik tersebut, remaja dapat lebih sadar akan arti sebuah pertemanan ataupun persahabatan agar hubungan mereka menjadi lebih baik. Johnson (Nashori, 2003) mengungkapkan bahwa konflik merupakan situasi yang ditandai dengan adanya sesuatu yang menghalangi, menghambat dan mengganggu dalam terbinanya suatu hubungan. Nashori (2003) menyatakan bahwa kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan seseorang dalam menjalin suatu hubungan karena akan memberikan dampak negatif bila tidak diselesaikan dengan baik. Kemampuan mengatasi konflik meliputi sikap- 21 sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru (Lukman, 2000) METODE PENELITIAN Subjek penelilian ini adalah remaja yang tinggal di lingkungan komplek militer. Usia subjek dalam penelitian ini adalah usia 11-21 tahun, sesuai dengan kriteria diatas, baik laki-laki mapun perempuan, agama yang tidak dibatasi. Remaja tersebut memiliki orang tua yang berpindah-pindah tempat dinas. Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Penelitian yang akan dilaksanakan ini, menggunakan skala sebagai metode untuk pengumpulan data untuk dapat mengungkap penyesuaian diri dan kompetensi interpersonal pada remaja. Angket ini terdiri dari dua bagian yaitu angket penyesuaian diri dan angket kompetensi interpersonal. Skala penyesuaian diri ini disusun penulis dengan mengacu pada karekateristik penyesuaian diri yang normal yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) dan skala kompetensi interpersonal disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Buhrmester dkk, (1988). Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, analisis statistik yang dipakai adalah dengan Product Moment untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi interpersonal terhadap penyesuaian diri remaja, dengan menggunakan statistik SPSS 10.0 for Windows XP. 22 HASIL PENELITIAN Deskripsi statistik dari data penelitian yang menunjukkan gambaran umum tentang fungsi-fungsi dasar statistik kedua variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian Hipotetik Empirik Variabel Penyesuaian Diri Kompetensi Interpersonal Min 0 Maks 165 0 115 Rerata SD 95 31,7 57,5 18,17 Min 95 Maks 190 Rerata 138,70 SD 19,34 69 109 89,64 9,69 Setelah dilakukan pendeskripsian statistik data penelitian kemudian dilakukan pembuatan kateggorisasi pada setiap variabel. Untuk mengetahui keadaan subjek penelitian, dapat dilihat pada tabek berikut ini : Tabel 2. Kriteria Kategorisasi Skala Penyesuaian Diri Kategori Skor Frekuensi Sangat Rendah (X < 37,94) 0 Rendah (37,94 < X = 75,98) 0 Sedang (75,98 < X = 114,02) 4 Tinggi (114,02 < X = 152,06) 30 Sangat tinggi (X > 152,06) 10 Persentase 0% 0% 9,09% 68,18% 22,72% Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar subjek atau responden penelitian ini memiliki penyesuaian diri dalam kategori tinggi (68,18%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki penyesuaian diri pada level tinggi. 23 Tabel 3. Kriteria Kategorisasi Skala Kompetensi Interpersonal Kategori Skor Frekuensi Sangat Rendah (X < 22,994) 0 Rendah (22,994 < X = 45,998) 0 Sedang (45,998 < X = 69,002) 0 Tinggi (69,002 < X = 92,006) 24 Sangat tinggi (X = 92,006) 20 Persentase 0% 0% 0% 54,54% 45,46% Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar subjek atau responden penelitian ini memiliki kompetensi interpersonal dalam kategori tinggi (54.54%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki kompetensi interpersonal pada level tinggi. Sebelum dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang telah dilakukan, dilakukan terlebih dahulu pengujian asumsi pada kedua variabel penelitian. Berikut adalah hasil uji asumsi, yang berupa uji normalitas dan uji linieritas : Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Varabel Kompetensi Interpersonal Penyesuaian Diri Tabel 5. Hasil Uji Linieritas Varabel Kompetensi Interpersonal Penyesuaian Diri K-SZ 0.599 0.602 F 14.548 p 0.866 0.862 p 0.001 Uji hipotesis dilakukan setelah uji asumsi dengan syarat normal dan linier sehingga uji hipotesis yang diajukan dapat dilakukan. Hasil uji hipotesis : 24 Tabel 6. Hasil Uji Hipotesis Varabel Kompetensi Interpersonal Kompetensi Interpersonal 0.000 Penyesuaian Diri 0.504 Penyesuaian Diri 0.504 0.000 Tabel diatas menunjukkan bahwa kompetensi interpersonal dengan penyesuaian diri berkorelasi, perhitungan diatas menggunakan tehnik korelasi product moment dari Pearson’n, diperoleh r = 0.504, dengan p = 0.000, syarat p < 0.01. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan kompetensi interpersonal, artinya semakin tinggi kompetensi interpersonal, maka makin tinggi pula penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian diatas, diketahui bahwa kompetensi interpersonal dapat mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengamali mutasi kedinasian dimana semakin tinggi tingkat kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh remaja maka semakin baik pula penyesuaian diri remaja tersebut jika harus memasuki lingkungan baru dan bertemu dengan orang baru. Hal ini berlaku sebaliknya jika remaja tersebut memiliki tingkat kompetensi interpersonal yang rendah maka remaja tersebut akan menjadi lebih sulit untuk 25 melakukan penyesuaian diri dengan perubahan yang dialami akibat perpindahan tempat tinggal. Jones, dkk (Ragilia, 1997) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Remaja yang mampu memulai hubungan dengan teman sebaya di tempat yang baru akan lebih cepat untuk memiliki teman sehingga proses penyesuaian dirinya tidak dilakukan sendirian, ada teman-teman yang berada lebih dahulu dapat membantu untuk menyesuaikan diri. Lukman (2000) menyatakan bahwa inisiatif merupakan suatu kemampuan untuk membuka hubungan dengan individu lainnya. Remaja yang baru saja pindah di lingkungan baru jika ingin cepat mendapatkan teman baru tentunya akan berusaha menciptakan sebuah hubungan, misalnya dengan berinisatif untuk berkenalan dengan teman baru, mulai berbincang-bincang dengan kenalan baru, hal tersebut tentunya juga menjadikan remaja tersebut akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sears dkk, (1991) mengungkapkan bahwa keterbukaan merupakan kegiatan membagi perasaan dengan orang lain. Remaja yang telah berkenalan dengan teman sebaya di lingkungan baru mendorong teman barunya tersebut untuk terlibat ikut untuk membuka diri. Keterbukaan satu sama lainnya akan membuat hubungan pertemanan yang baru saja terjalin akan semakin intensif dan dalam sehingga remaja yang baru pindah akan lebih mudah dalam menyesuaikan dirinya di lingkungan baru. Sejalan juga dengan yang diungkapkan oleh Willis (Sulistya, 2005) bahwa seseorang yang memiliki kompetensi interpersonal yang 26 baik mampu membina dan mempertahankan suatu hubungan yang harmonis dengan orang lain. Kemampuan bersikap asertif juga dapat mempengaruhi penyesuaian diri remaja yang ikut serta dengan orang tuanya yang mengalami mutasi kedinasan dari satu kota ke kota yang lainnya. Kemampuan asertif merupakan kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada orang lain secara jujur. Saat remaja yang baru saja pindah dari satu kota ke kota yang lainnya karena ikut serta orang tuanya yang mutasi dinas tidak mampu menyampaikan atau mengungkapkan secara jujur apa yang diinginkannya kepada teman barunya dapat menimbulkan masalah bagi dirinya maupun pada hubungan pertemanan dengan teman barunya. Nashori (2003) mengungkapkan bahwa kemampuan memberi dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dua pribadi. Hubungan yang baru saja terjalin akan menjadi lebih mendalam apabila seseorang memberikan sebuah perhatian atau kepedulian kepada orang lain, hal tersebut akan membuat seseorang memiliki ikatan emosional yang kuat. Misalnya saat remaja yang memiliki pengalaman berpindah-pindah tempat tinggal tersebut mendapatkan suatu masalah akan lebih banyak bercerita dengan teman-temannya tentang masalah yang dialaminya sehingga akan saling memberikan support, saling memberikan perhatian dan sebagainya. Setelah merasa telah terbantu tentu akan timbul perasaan berharga bahwa telah ditolong dan menolong seorang teman yang sedang kesusahan, dan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya tidak akan mengalami gangguan. 27 Seorang remaja yang memiliki kemampuan mengatasi konflik yang baik akan mempermudah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam suatu hubungan pertemanan. Ada saat dimana terjadi pertentangan dengan teman sebaya yang membuat seorang remaja harus melakukan tindakan agar masalah segera selesai, seperti konflik yang berkepanjangan. Agar konflik tersebut tidak berkepanjangan dan remaja tersebut akan terhindar dari penyelesaian masalah yang negatif, seperti melarikan diri, menggunakan defense mechanism dan sebagainya maka seorang remaja harus memiliki kemampuan mengatasi konflik. Pada penelitian ini juga kemampuan mengatasi konflik memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penyesuaian diri remaja yang ikut orang tuanya berpindah tempat tinggal karena tuntutan dinas. Penyesuaian diri remaja dalam penelitian ini dikategorikan tinggi, walaupun mereka harus berpindah-pindah. Peneliti melihat di lapangan bahwa banyak dari remaja yang berpindah-pindah tersebut memiliki kegiatan-kegiatan yang positif, baik dari segi akademis maupun dari segi sosial, seperti olah raga di lingkungan perumahan, les mata pelajaran, organisasi remaja dan kelompok remaja masjid. Dengan ikut kegiatan positif tersebut akan membuat remaja-remaja yang berpindah-pindah tadi lebih mampu lebih cepat mengenal lingkungan barunya dan mereka akan banyak mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mengasah kemampuan mengatasi konflik serta dapat belajar saling memberikan dukungan emosional kepada menyesuaikan diri dengan baik. teman-temannya sehingga mereka dapat 28 Kompetensi interpersonal cukup berperan sebagai kunci keberhasilan remaja yang berpindah-pindah tempat tinggal dalam menyesuaikan diri pada lingkungannya, namun ada faktor lain diluar kompetensi interpersonal yang dalam membantu dan mendukung dalam usaha penyesuaian diri remaja yang berpindahpindah tempat tinggal pada lingkungan barunya. Kompetensi interpersonal memberi pengaruh pada penyesuaian diri yang dimiliki remaja yang berpindahpindah tempat tinggal sebanyak 25.4%, selebihnya, 74,6% merupakan faktor lain yang turut berpengaruh, yang tidak diungkap dalam penelitian ini. Terdapat kelemahan dalam penelitian ini, yaitu tidak melekatnya konteks dari penelitian ini yang berupa remaja yang berpindah-pindah karena iku serta dengan orang tua yang mengalami mutasi kedinasan, pada setiap aitem-aitem dalam skala alat ukur. Dalam alat ukur penelitian ini aitem-aitemnya adalah lekat pada remaja secara umum, bukan remaja yang berpindah-pindah. Selain itu, hal yang lain adalah tidak terungkapnya berapa rentang waktu seorang remaja yang berpindah-pindah tempat tinggal menetap di suatu tempat tinggal hingga remaja tersebut pindah dari tempat tinggalnya. Lamanya waktu dalam mengenali lingkungan kemungkinan juga berperan dalam proses penyesuaian diri. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kompetensi interpersonal responden yang tinggi mampu mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan. 29 2. Semakin rendah kompetensi interpersonal maka akan semakin rendah penyesuaian diri yang dimiliki remaja dan semakin tinggi kompetensi interpersonal maka akan semakin tinggi penyesuaian diri pada remaja yang orang tuanya mengalami mutasi kedinasan. 3. Tingkat penyesuaian diri pada remaja yang tergolong tinggi disumbang sebesar 25.4% oleh tingkat kompetensi interpersonal mereka Penelitian ini merupakan salah satu wujud untuk memperkaya wacana dan khasanah ilmu pengetahuan. Usaha ini perlu diteruskan dan dikembangkan lagi guna membenahi kekurangan yang ada pada penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan pada subbab ini, antara lain : 1. Untuk subjek penelitian Bagi subjek penelitian hendaknya mengasah kemampuan mengatasi konflik serta kemampuan memberikan dukungan emosional jika menginginkan penyesuaian dirinya baik. Kemampuan mengatasi konflik diperlukan saat remaja berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya sehingga dapat menekan rasa cemas dan takut akan lingkungan baru. Sedangkan kemampuan memberikan dukungan sosial berguna saat menjalin hubungan pertemanan dengan teman baru agar lebih mendalam. 2. Untuk peneliti selanjutnya Saran bagi peneliti selanjutnya yang berminat dengan tema yang sama dengan penelitian ini diharapkan mencari faktor lain selain kompetensi interpersonal yang mempengaruhi penyesuaian diri, misalnya apakah keaktifan remaja di dalam kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungannya mempengaruhi 30 penyesuaian diri remaja tersebut atau lamanya waktu seseorang menetap pada suatu daerah hingga berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, apakah hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 31 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 1990. Psikologi Sosial. Jakarta : P. T. Rineka Cipta. Andari, K. K. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung : CV. Mandar Maju. Arimurti, I. 2006. Sering Pindah Sekolah. http://mail-archive.com/.17/07/08. Baron, R. A and Byrne, D. 1991. Sosial Psychology Understanding Human Interaction. Boston : Hougton Miflin Company Buhrmester, D., Furman, W. & Wittenberg, M.T. 1988. Five Domains of Interpersonal Competence in Peer Relatioanships. Journal of Personality and Sosial Psychology. Vol. 55, No. 6, 991-1008. Damayanti, E.T. 1992. Efektifitas Pelatihan Asertif Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Davidio, J. F., Schroeder, D.A., Allen J. L. 1990. Spesific of Emphaty Induce Helping : Evidence for Altruistic Motivation. Journal of Personality and Social Psychology. 1094. Vol 59, No. 2, 249-260. Daradjat, Z. 1991. Kesehatan Mental. Jakarta : P.T. Gunung Agung Fatimah, E. 2006. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung : CV Pustaka Setia. Gerungan, W. A. 1978. Psikologi Sosial. Jakarta : Refika. Grasha, A.f. 1987. Practical Aplication ini Psychology. Illionis : The Dorcey Press Home Wood Hadi, S. 1997. Metodologi Research-Research. Yogyakarta : Andi Offset Hall, C. S & Lindzey, G. 1981. Theories of Personality. Third Edition. New York : John Willey & Sons. Hudaniah, Y. D. 2003. Psikologi Sosial. Malang : UMM Press Itibiliana, V. 2006. Budaya Ketiga Anak Sering Pindah. http://www.inspiredkidsmagazine.com/.26/06/08 32 Lukman, M. 2000. Kemadirian Anak Asuh di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Psikologika. No 10, tahun V. Hal 57-72. Mahmud, M. D. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta : BPFE. Martani, W. & Adiyanti, M.G. 1991. Kompetensi Sosial dan Kepercayaab Diri Remaja. Jurnal Psikologi. No. 1, 17-20. Moddlebrooks, N. 1990. Social Psychology and Modern Life. 2nd Edition. New York : Alfreid. A, Knoft. Melati, S. A. A. 2005. Hubungan Antara Kompetensi Interpersonal Dengan Perilaku Agresif Pada Siswa SMU Negeri 9 Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Mulyati, R. 1993. Kompetensi Interpersonal pada Anak yang Diasuh di Panti Asuhan dengan Sistem Pengasuhan Tradisional dan Sistem Pengasuhan Ibu Asuh. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Napitupulu, M. S. 2006. Kompetensi suatu perenungan untuk karya dan perbaikan nyata. http://www.binuscareer.com/.07/03/07. Nashori, F. H. 2003. Kompetensi Interpesonal Mahasiswa Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi. Vol II, No I, Hal 26-36. Pandia, W.S. 2006. Tahun Ajaran Baru, Pindah Sekolah Baru. Tabloid Nakita Online. http://Tabloid-nakita.com/.17/07/08. Pramundita, D. 2004. Hubungan Kecenderungan Kepribadian Ekstrovert Dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Lingkungan Kampus. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala. Ragilia, L. 1997. Peran Kompetensi Interpersonal Terhadap Perilaku Menolong Altruistik. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Raharjani, W. 2000. Hubungan bermain Video Game dengan Sosialisasi Anak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : fakultas Psikologi Gajah Mada. Rolf, M. E. 1979. Theories of Adolescence. New York : Random House 33 Santrock, J. W. 2002. Life Span Development Jilid II. (terjemahan). Jakarta : Erlangga Sarwono, S.S. 1994. Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta : Bharata Aksara Sears, D. O, Taylor, S. E. And Peplau, L. A. 1991. Psikologi Sosial Jilid 1. (terjemahan). Jakarta : Erlangga Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjustment And Mental Health. New York : Holt, Rinehart dan Winston Sulistya, W. K. 2005. Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kompetensi Interpersonal Pada Remaja Pecinta Alam. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala. Tallent, N. 1978. Psychology of Adjustment. Toronto : John Willey and Sons. Inc. Vembriarto, S. T. 1981. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta : Paramita. Walgito, B. 1989. Kenakalan Anak. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. --------.2006. Setiap remaja harus mempersiapkan diri sebagai khalifah Allah. www.darulnuman.com.,07/032007