BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum, pada Pasal 1 butir 6 a dan b KUHAP serta Pasal 13 KUHAP, ditegaskan bahwa, Jaksa adalah pejabat yang diberikanwewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir 6a junto Pasal 13 KUHAP). Lembaga Kejaksaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan tergantung sepenuhnya pada Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar ini harusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari Kejaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan. Praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas/merdeka artinya hakim tidak terikat dalam mengambil keputusan akan tetapi tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang 27 tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan Kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan dialakukan secara merdeka. Berdasarkan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 4.1.1 Upaya Yang Dilakukan Jaksa Penuntut Umum Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berita Acara Pemeriksaannya Belum Lengkap Proses penyelesaian perkara pidana yang diajukan oleh kepolisian, jaksa selaku penuntut umum selalu berupaya menyelesaikan berkas perkara yang terkadang berlarut-larut dikarenakan berkas tersebut tidak lengkap-lengkap. Upaya tersebut antara lain : 4.1.1.1 Pra-Penuntutan Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan namun, penyelesaian perkara pidana pada tahap Prapenuntutan sering kali terjadi adanya bolak-balik berkas antara penyidik ke jaksa penuntut umum, seperti halnya dalam perkara pemalusan tanda tangan yang dituduhkan kepada tersangka fatmawati Ahmad alias FA, c. Tersangka dituduh menyuruh lakukan kepada laki-laki Arfan alias AA untuk 1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Hlm 90. 28 memalsukan tanda tangan korban pada sertifikat tanah yang korban klaim bahwa sertifikat tanah tersebut adalah tanah milik orang tua korban. Pada BAP tersangka, telah dijelaskan bahwa tanah milik orang tua korban telah dilakukan tukar guling kepada tanah milik orang tua tersangka. Bahwa antara orang tua korban dan tersangka adalah kakak beradik yang jauh sebelum adanya perkara tersebut telah sepakat bertukar kepemilikan tanah yang bersebelahan. Ketika telah dibuatkan sertifikat balik nama antara para ahli waris korban keberatan karena korban merasa belum pernah menanda tangani para ahli waris dan menuduh tersangka memalsukan tanda tangannya. Untuk itu pihak aparat penegak hukum mengambil langkah-langkah untuk dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan cara apabila berkas perkara telah masuk, maka Jaksa yang ditunjuk sebagai jaksa penuntut umum melakukan penelitian terhadap berkas perkara. Bila berkas perkara telah memenuhi syarat formil maupun materil, Jaksa akan menyatakan berkas perkara telah lengkap (P-21), akan tetapi bila ada yang belum lengkap, Jaksa akan memberitahukan kepada penyidik dengan surat (P-18) dan selanjutnya petunjuk dengan surat (P-19). Hubungan antara Jaksa dan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan secara formalitas terkait dengan berkas perkara saja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, akan tetapi secara materil kadang juga bisa melakukan pertemuan dalam konteks koordinasi demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara, terutama dalam pembuktian. Jadi hubungan itu harus tetap terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik hal ini 29 tentu juga akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan. Pembuat undang-undang (DPR) terlihat hendak menghindari kesan seakan-akan jaksa atau penuntut umum itu mempunyai wewenang penyidikan lanjutan, sehingga hal itu disebut sebagai prapenuntutan. Andi Hamzah sependapat dengan ketentuan di dalam HIR, dimana petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan pada hakekatnya merupakan bagian dari penyidikan lanjutan. Oleh sebab itu, antara penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara tajam2. Penyidikan dinyatakan selesai maka berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Berkas perkara diterima oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut. Bila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materil maka Jaksa atau Penuntut Umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi. Pada kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tanah atas nama fatmawati Ahmad alias FA penyidik telah menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum selaku peneliti. Dari hasil penelitian jaksa peneliti ditemukan beberapa kekurangan yang harus dipenuhi oleh penyidik (p-18, p-19). Berkas perkara (BAP) tersangka FA telah berulang-ulang kali berkasnya dikembalikan oleh JPU selaku peneliti kepada penyidik, sampai 2 Ibid. 30 dengan saat ini berkas perkara tersebut belum diterbitkan P-21 dikarenakan penyidik belum dapat memenuhi petunjuk jaksa. Apabila penyidik berhasil melengkapi berkas pemeriksaan Jaksa atau Penuntut Umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses Penuntutan.3 Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.4 Menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan disebutkan defenisi mengenai prapenuntutan dimana bahwa, “Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”5 Sesuai dalam pengertian lain, bahwa wewenang penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuranagn pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 3 Abd.Hakim Nusantara,dkk, Penjelasan KUHAP dan Peraturan Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta, 1986, Hlm 21 4 http://www.modusaceh.com/html/konsultasi-hukum-read/41/pra_penun, Diakses terakhir tanggal 15 Maret 2010. 5 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). 31 ayat (3) dan ayat (4), KUHAP dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.6 Rangkaian prapenuntutan itu dapat dipahami dari ketentuan beberapa pasal di dalam KUHAP misalnya menurut ketentuan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, “Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Kemudian ditentukan pula kepada penyidik agar memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan atas suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan Pasal 109 ayat (9) KUHAP. Pada Pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Menurut Pasal 14 KUHAP bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum. Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan tambahan penyidikan. Pada kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tanah atas nama fatmawati Ahmad alias FA Dari hasil penelitian jaksa peneliti ditemukan beberapa kekurangan yang harus dipenuhi oleh penyidik (p-18, p-19). Berkas perkara (BAP) tersangka FA telah berulang-ulang kali berkasnya dikembalikan oleh JPU selaku peneliti kepada penyidik, untuk dilengkapi 6 Pasal 14 huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 32 dengan melakukan tambahan penyidikan sampai dengan saat ini berkas perkara tersebut belum diterbitkan P-21 dikarenakan penyidik belum dapat memenuhi petunjuk jaksa. Dalam doktrin belum diperoleh kesepakatan tentang pengertian tugas prapenuntutan, hal ini disebabkan karena KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang arti dan makna istilah tersebut. Pada umumnya para pakar mengartikan tugas prapenuntutan sebagai pelaksanaan penelitian berkas perkara yang diterima dari Penyidik dan pemberian petunjuk oleh Penuntut Umum kepada Penyidik guna melengkapi berkas perkara hasil penyidikan. Dikaitkan dengan perkembangan hukum acara pidana dewasa ini, pengertian tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan realitas pelaksanaan tugas prapenuntutan. Tugas Prapenuntutan mengandung arti, tidak saja mencakup tugas penelitian berkas perkara dan pemberian petunjuk guna melengkapi berkas perkara, tetapi meliputi pula semua pelaksanaan tugas yang berkenaan dengan persiapan pelaksanaan tugas penuntutan. Dengan demikian dalam pengertian luas, prapenuntutan meliputi pelaksanaan tugas-tugas : Pemantauan perkembangan penyidikan, penelitian berkas perkara tahap pertama, Pemberian petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, Penelitian ulang berkas perkara, Penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan. 33 4.1.1.2 Kelemahan Dalam Pelaksanaan tugas Pra-Penuntutan Berdasarkan hasil eksaminasi dan pemantauan yang telah Kejaksaan Agung Republik Indonesia lakukan, ternyata masih ditemukan berbagai kelemahan dalam pelaksanaan tugas prapenuntutan. Seperti halnya pada kasus dugaan pemalsuan tanda tangan yang dituduhkan kepada tersangka FA, cs. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) penyidik pada tahun 2011sampai dengan tahun 2013 berkas perkaranya masih pada tahap prapenuntutan karena penyidik belum mengembalikan berkas perkara kepada jaksa. Bolak baliknya berkas perkara yang memakan waktu cukup lama menunjukan kurang efektifnya hubungan koordinasi antara penyidik dengan jaksa sehingga perkara tersebut menjadi berlarut-larut hingga saat ini tidak ada kepastian bagi tersangka maupun korban. Ada beberapa petunjuk Teknis yang di sampaikan sebagai berikut : 7 a) Penerimaan surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan Penerimaan SPDP dicatat dalam Register Penerimaan Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan/ Penghentian Penyidikan (RP-9), Setelah penerimaan SPDP, diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penelitian dan Penyelesaian Perkara (P- 16), Jaksa yang ditunjuk bertugas untuk memantau perkembangan penyidikan. Pada contoh kasus pemalsuan tanda tangan pada sertifikat tersebut seharusnya tidak berlarut-larut apabila antara penyidik dan jaksa penuntut umum berkoordinasi dengan baik dan optimal. Perkara yang masih dalam tahap prapenuntutan hingga tahun 2013 ini harusnya tidak terjadi apabila 7 Surat Edaran jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-401/E/9/93 tanggal 8 September 1993 34 antara kedua penegak hukum tersebut berkoordinasi dan bekerja sama secara baik duduk bersama mencari berbagai kekurangan yang ada sehingga perkara segera dapat dilimpahkan kepengadilan. b) Penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama. a. Penerimaan berkas perkara tersebut dicatat dalam Register penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada : 1) Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas/ persyaratan, tata cam penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, lzin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Di samping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang-Undang; 2) Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materlil antara lain : a) Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal yang dilanggar); b) Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka, saks-saksi/ahli); c) Begaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi); d) Dimana perbuatan dilakukan (locus delicti); e) Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti); f) Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara viktimologis); 35 g) Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang mendorong pelaku). Kelengkapan material terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan b. Pelaksanaan penelitian dimaksud butir 3, dilakukan oleh Jaksa, Peneliti yang tercantum dalam P-16 dan hasil penelitiannya dituangkan dalam check list sebagaimana terlampir. c. Apabila menurut hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21). dan bila sebaliknya, dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan belum Lengkap (P-18) dan berkas perkara dikembalikan disertai dengan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19). d. Dalam P-19 agar diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa yang harus dilengkapi oleh penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat 2 jo pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana dengan penggunaan kalimat-kalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud; e. Pengembalian berkas perkara kepada penyidik dilakukan lewat kurir, atau dalam hal terlaksana pertemuan dimaksud huruf d, berkas perkara dapat diserahkan langsung kepada Penyidik. Kedua bentuk penyerahan kembali berkas perkara tersebut dilengkapi dengan P-19 dan Tanda Terima Pengembalian Berkas Perkara; 36 f. Dalam hal SPDP tidak ditindak-lanjuti dengan penyerahan berkas perkara dalam batas waktu 30 hari, Jaksa Peneliti yang bersangkutan meminta laporan, perkembangan hasil penyidikan (p-17); Dari contoh kasus yang telah dipaparkan diatas yakni perkara pemalsuan tanda tangan jelas terlihat kurangnya koordinasi yang baik antara penyidik dengan jaksa penuntut umum sehingga perkara tersebut menjadi sulit pembuktiannya apabila tetap diteruskan ke tahap persidangan. Apabila dari hasil penelitian jaksa, ternyata hasil penyidikan dinyatakan belum lengkap, maka dikeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan belum Lengkap (P-18) dan berkas perkara dikembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19). Dalam P-19 agar diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa yang harus dilengkapi oleh penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat 2 jo pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP. Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana dengan penggunaan kalimatkalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud, sehingga perkara tidak menjadi berlarut-laut dan adanya kepastian hukum bagi tersangka. 37 PELAKSANAAN TUGAS PRAPENUNTUTAN HASIL PENELITIAN BERKAS PERKARA I. PERSYARATAN FORM No YANG DITELITI 1 1. 2 Sampul Berkas Perkara CORET YANG TIDAK PERLU 3 ADA / TIDAK - NamaTersangka - Tempat Lahir - Umur / Tanggal Lahir - Jenis Kelamin - Kebangsaan - Tempat Tinggal - Agama - Pekerjaan Identitas lain kalau ada ADA / TIDAK (1) Pendidikan (2) Nomor KTP (3) Nomor SIM (4) Paport 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. (5) Lain-lain Daftar Isi Berkas Perkara Resume Surat Pengaduan Laporan Polisi Surat Perintah Penyidikan Berita Acara Pemeriksaan tempat Kejadian Perkara Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan Surat Panggilan Tersangka/Saksi ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK 38 KETERANGAN 4 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Surat Perintah membawa Tersangka/ Saksi Berita Acara Pemeriksaan Saksi/Ahli Berita Acara Penyumpahan Saksi Berita Acara Pemeriksaan Tersangka Surat Kuasa Tersangka kepada Penasehat Hukum Berita Acara Konf rontasi Berita Acara Rekonstruksi Surat Permintaan Visum et Repertum Surat Keterangan Dokter/Visum et Repertum Berita Acara Hasil Pemeriksaan oleh Ahli (a.l. hasil pemeriksaan forensic laboratories) Surat Perintah Penangkapan ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK ADA / TIDAK II. PERSYARATAN MATERIEL No 1 1. 2. CORET YANG TIDAK PERLU 2 3 Tindak Pidana Yang Disangkakan SESUAI / TIDAK Unsur Delik apakah sudah diuraikan YA / TIDAK secara : YANG DITELITI - Cermat - Jelas - Lengkap? 3. 4. 5. Tempus Delicti YA / TIDAK Locus Delicti YA / TIDAK Peran kedudukan masing-masing SESUAI / TIDAK tersangka terhadap perbuatan yang disangkakan **) 39 KETERANGAN 4 6. Alat Bukti MENDUKUNG/ TIDAK - Keterangan Saksi MENDUKUNG/ TIDAK - Keterangan Ahli MENDUKUNG/ TIDAK - Surat 7. MENDUKUNG/ TIDAK - Petunjuk MENDUKUNG/ TIDAK - Keterangan Tersangka MENDUKUNG/ TIDAK Pertanggung Jawaban Pidana dari ADA /TIDAK Tersangka Kaitan Kejahatan dengan Kekayaan ADA / TIDAK Negara Lian-lain 8. 9. - Kompetensi Absolut SESUAI/TIDAK - Kompetensi Relatif SESUAI/TIDAK PENDAPAT JAKSA PENELITI NO. 1 1. 2. CORET NOMOR/BUTIR YANG TIDAK PERLU 2 Hasil Penyidikan sudah lengkap perlu dilanjutkan penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan Barang Bukti, untuk segera menentukan apakah perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan (Psi. 139 KUHAP). Hasil Penyidikan belum lengkap, perlu memberi petunjuk antara lain : - Perkara perlu di Split - Perlu Saksi Ahli - Perlu Saksi A. Charge - Perlu Alat Bukti Lain 40 KETERANGAN 3 3. Hasil Penyidikan sudah optimal tetapi secara materiel belum terpenuhi,diberikan petunjuk barang bukti dan tersangka agar diserahkan untuk diadakan Pemeriksaan tambahan, berdasarkan pasal 27 ayat (1) huruf d UU Nomor 5 Tahun 1991. Lain-lain seperti : 4. - Perkara Koneksitas - Termasuk Wewenang Pengadilan Negeri Lain 4.1.1.3 Pemeriksaan Tambahan. Apabila dari hasil penelitian lebih lanjut ternyata bahwa berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap belum memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, maka dalam rangka melengkapi berkas Perkara, dapat dilakukan Pemeriksaan tambahan sesuai ketentuan pasal 27 ayat 1 d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 beserta penjelasannya dan petunjuk tehnis yang telah diberikan. Jika perkara pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh tersangka fatmawati Ahmad tersebut dipaksakan untuk dilimpahkan ke pengadilan akan tetapi ternyata masih juga ada berbagai macam kekurangan yang akhirnya dapat melemahkan dakwan jaksa penuntut umum yang berakibat terdakwa bebas dari tuntutan sebelum sidang digelar jaksa berupaya melakukan pemeriksaan tambahan dalam rangka melengkapi berkas tambahan (wawancara dengan Bapak Mulyadi Abdullah, SH. Kepala Seeksi penerangan Hukum). 41 4.1.2 Hambatan apa yang dialami jaksa penuntut umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan Jaksa penuntut Umum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap Pra-penuntutan sering kali mendapatkan hambatan-hambatan yang antara lain sebagai berikut : 4.1.2.1 Hambatan dari Undang-Undang Tingkat prapenuntutan, yaitu “bahwa prapenuntutan terletak antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik” Prapenuntutan adalah, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.8 Berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :9 8 9 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua,Sinar, 1991, Grafika,Hlm 120 Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan 42 1. Tidak dilakukan terhadap tersangka 2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP 3. Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik. Republik Indonesia sebagai Negara hukum. yang dimaksudkan bukanlah sekedar Negara hukum dalam artian formal. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum dalam artian lebih luas, yaitu negara hukum dalam arti materil yang berarti hukum ditinjau dari segi isinya, yang dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan dua kepentingan yaitu manfaat hukum (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechmatigheid). Sehubungan dengan itu, maka dapat dipastikan bahwa pada hakikat terhadap eksistensi Kejaksaan dalam proses penegakan hukum dalam melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara pidana di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.10 Kejaksaan dimana disebutkan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan terdapat istilah prapenuntutan, 10 Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm 5. 43 selengkapnya berbunyi, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”11 4.1.2.2 Hambatan dari Aparat Penegak Hukum. Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah system peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Dalam prakteknya ditemukan bahwa kurangnya penyidik Polri yang berpendidikan sarjana hukum, sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam menterjemahkan petunjuk-petunjuk dari jaksa penuntut umum yang berlatar belakang pendidikan hukum. Sehingga berbagai macam hambatan dan kendala ditemukan oleh penyidik dan jaksa dalam berkoordinasi terhadap berbagai macam perkara di tahap prapenuntutan. Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usahausaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam 11 Undang-Undang Kejaksaan No 16 Tahun 2004, Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan. 44 masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan atau “crimes without victims” dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 (1) menyenbutkan bahwa, ”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.12 Penegak hukum dapat dibedakan dalam pengertian luas dan pengertian yang sempit. Arti luas, penegak hukum adalah setiap orang yang mentaati hukum. Sedangkan dalam arti sempit, terbatas pada orang yang diberi wewenang memaksa oleh undang-undang untuk menegakkan hukum. Menurut Marjono Reksodiputro, istilah penegak hukum dalam arti sempit hanya berarti Polisi, tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Sedangkan di Indonesia, pengertian tersebut biasanya 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Tentang Kejaksaan. 45 diperluas lagi dan meliputi juga para Hakim, dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah para Advokat.13 Hambatan yang terjadi pada aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan terkait dengan sumber daya manusia yang rendah seperti dapat terlihat kurang mengertinya penyidik atas petunjuk yang diberikan jaksa yang Menyulitkan penyidik untuk memenuhinya. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan penyidik yang boleh diblang masig dibawah jaksa. Belum lagi bila Jaksa punya kepentingan terhadap berkas perkara sering memberikan petunjuk yang menyimpang dari substansi perkara sehingga menyebabkan para aparat penegak hukum sangat merasa kesulitan dalam hal penyelesaian dan pemecahan suatu perkara.14 4.1.2.3 Hambatan Dari Budaya Masyarakat Faktor penghambat dari budaya hukum itu sendiri yang menghambat terwujudnya penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dari segi aspek legal kultur adalah budaya masyarakat. Misalnya masyarakat yang menjadi korban kejahatan (Victim), terkadang sering membuat laporan tindak pidana tidak didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Laporan-laporan yang demikian akan menyulitkan penegak hukum seperti penyidik maupun Jaksa untuk menyelesaikannya, dan terkadang sering mendesak perkara untuk cepat diselesaikan padahal bukti tidak cukup.15 13 HMA. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2007, hlm.176 Wawancara dengan Bapak Andi Nirwansyah, SH, Staf Seksi Penerangan Hukum Kejati Gorontalo pada tanggal 18 Juli 2013. 15 Wawancara dengan Bapak Mulyadi Abdullah, SH., Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada tanggal 18 Juli 2013 14 46 Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam tahap prapenuntutan adalah dengan cara, Sejak dikeluarkannya P-16, Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan secara aktif membina koordinasi dan kerjasama positif dengan Penyidik melalui Forum Konsultasi Penyidik Penuntut Umum. Forum tersebut digunakan secara optimal untuk memberikan bimbingan/arahan kepada Penyidik, dengan maksud agar kegiatan penyidikan mampu menyajikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi kepentingan penuntutan dan bolak-baliknya berkas perkara dapat dihindarkan. 47