KPPOD Brief_Des_FC.indd

advertisement
Edisi Nov - Des 2012
KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
www.kppod.org
Krisis Perikanan di Negeri Maritim
Bukan lautan, hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada
topan kau temui, ikan dan udang menghampiri diri mu….
S
epenggal syair lagu milik group musik legendaris – Koes Plus- tersebut menggambarkan
betapa besarnya kekayaan laut negeri ini. Tiga perempat, atau kurang lebih 5,8 juta km wilayah
Indonesia terdiri dari lautan, dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Namun
demikian apakah sair lagu tersebut juga mampu menggambarkan kondisi nelayan di tanah air?
Indikasi terjadinya krisis perikanan di Indonesia sudah mulai tampak dari masih
banyaknya nelayan tradisional yang rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp.10
juta per tahun. Padahal, nelayan tradisional merupakan pemasok 75% volume ikan
domestik di Indonesia. Berdasarkan data Kiara tahun 2010, dalam setahun nelayan
tradisional melaut rata-rata hanya 160-180 hari. Turunnya frekuensi melaut ini
berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan hingga 50%-70%. Rata-rata
sekali melaut nelayan hanya mampu memperoleh Rp.20.000,- s/d Rp.40.000,- atau
berkisar 2-3 kilogram ikan. Kondisi ini diperparah dengan terdapat sekitar 80 persen
kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan bebas keluar masuk
kawasan perairan kita. Belum lagi pengusaha perikanan di Indonesia, saat ini lebih
suka melakukan ekspor ikan mentah, sehingga tidak ada nilai tambah yang dihasilkan.
Dalam 10 tahun terakhir jumlah nelayan berkurang 25 persen. Beberapa faktor
penyebab adalah, pertama karena kebijakan yang tidak menguntungkan nelayan.
Kedua, karena memang ada pengabaian baik oleh pemerintah maupun industri
yang melakukan pencemaran di laut. Ketiga, adanya yang disebut dengan praktik
pengusiran. Ini terlihat di kawasan industri pariwisata dimana nelayan-nelayan
kita tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah pariwisata. Faktor lainnya,
disamping karena faktor cuaca yang ekstrim, adalah meluasnya penyelewengan
pemakaian BBM bersubsidi. Di tingkat daerah juga masih marak ditemui pungutan
perikanan, dan rendahnya harga ikan karena kecurangan tengkulak, serta tak
berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal-hal tersebut turut memperburuk
pendapatan nelayan di daerah, dan mempercepat krisis ikan nasional.
Dalam rangka pemberdayaan nelayan tampaknya juga terjadi ketidaksinkronan
program antara pemerintah pusat dan daerah. Dirjen Perikanan Tangkap
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berusaha menghapuskan berbagai
retribusi yang selama ini menggerogoti pendapatan nelayan di daerah. Namun di
beberapa Pemda yang terjadi justru sebaliknya masih tetap melakukan pungutan
terhadap nelayan, bahkan atas obyek yang semestinya menjadi kewenangan pusat
dalam skema PNBP, yang sebenarnya pada akhirnya dikembalikan ke daerah dalam
bentuk Dana Bagi Hasil SDA Perikanan. Itupun masih menyisakan ketidakpuasan
bagi daerah, karena formulasinya yang dibagi sama rata untuk seluruh daerah,
bukan didasarkan by origin. Insentif dari pemerintah pusat (KKP) bagi daerah
yang mau membebaskan pungutan perikanan di daerah, berupa pemberian
DAK, juga tidak banyak disambut oleh daerah. TPI yang diharapkan mampu
menstabilkan harga, dengan pembentukan harga yang optimal melaui mekanisme
lelang pun tidak dikelola secara optimal. Tak lebih dari 15% TPI di seluruh
daerah di Indonesia yang berfungsi sebagaimana mestinya. Lantas dimanakah
keberpihakan pemerintah terhadap keberlangsungan hidup nelayan kita?
EDITORIAL
Perda, Sinyal Awal Komitmen Pemda
DAFTAR ISI
Dampak Perda pada
Sektor Perikanan .................... 3
Review Regulasi .................... 7
Dari Daerah .......................... 11
Upaya Revitalisasi Tempat
Pelelangan ikan ................... 14
Laporan Diskusi Publik ...... 18
Agenda KPPOD ................... 20
Seputar Otonomi Daerah ... 21
Sekilas KPPOD ..................... 22
Wilayah Isu KPPOD ............ 23
Susunan Redaksi
Pemimpin Redaksi:
Robert Endi Jaweng
Redaktur Pelaksana:
Ig. Sigit Murwito
Staff Redaksi:
Sri Mulyati
Boedi Rheza
Elizabeth Karlinda
Illinia Ayudhia Riyadi
Distribusi:
Regina Retno Budiastuti
Kurniawaty Septiani
Agus Salim
Tata Letak:
Rizqiah D
Winantyo
Alamat Redaksi:
Permata Kuningan Building 10th Fl.
Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C
Guntur Setiabudi
Jakarta Selatan 12980
Phone : +62 21 8378 0642/53
Fax : +62 21 8378 0643
www.kppod.org
http://perda.kppod.org
http://pustaka.kppod.org
2
Pembaca yang budiman
Menyambung topik utama ”KPPOD Brief” edisi sebelumnya prihal
infrastruktur daerah, pada kesempatan ini kami menghadirkan
satu lagi aspek krusial dalam tata kelola ekonomi daerah: Perda!
Ya, beleid di aras lokal ini berperan penting dalam mewadahi
pengaturan aktivitas ekonomi di era otonomi. Dari sisi pemda,
perda adalah instrumen manifestasi kewenangan otonom suatu
daerah. Kualitas perda mencerminkan wajah otentik otonomi
dan mutu pengelolaan kewenangan yang dimiliki pemda.
Sementara dari sisi pengusaha, perda dapat dibaca sebagai sinyal awal,
kesan pertama, buat menakar komitmen “ramah” investasi pemda.
Bahkan, Perda menjadi penanda penting dalam mengetes kesehatan
(kondusifitas ) iklim usaha suatu daerah. Ia semacam tes kolesterol dalam
menguji kesehatan lingkungan usaha secara menyeluruh sekaligus
sebagai peringatan dini prihal datangnya berbagai penyakit ikutan lain.
Sayangnya, sepanjang belasan tahun ini, contoh paling sering disebut
saat menggambarkan mutu buruk governansi di era otonomi adalah
keberadaan Perda bermasalah. Istilah ”perda bermasalah” sontak
menjadi frasa sehari-hari, ramai menjadi berita media massa dan wacana
publik, dalam makna yang amat konotatif. Hal ini muncul seiring dengan
merebaknya Perda yang dinilai distortif bagi pembangunan ekonomi
dan kelancaran aktivitas usaha di daerah. Desentralisasi membawa
tantangan dan tekanan baru yang mendorong upaya penggalian
potensi keuangan daerah tergelincir menjadi upaya PAD semata.
Bagi dunia usaha, lingkungan bisnis di era desentralisasi ini
justru dirasakan kurang kondusif. Persyaratan regulasi, registrasi,
perijinan dan pungutan (pajak/retribusi) terasa menumpuk, kurang
jelas dan berbelit--meski di sebagian daerah sudah ada innovasi
birokrasi investasi melalui penerapan pelayanan terpadu (OSS).
Pada gilirannya, iklim tak kondusif tersebut berdampak kepada
biaya, resiko dan hambatan persaingan usaha. Daya saing mikro
(level perusahaan) dan makro (daerah) melemah dan negeri ini pun
belum sepenuhnya terdeteksi radar pencarian para penanam modal.
Melihat urain di atas, ”KPPOD Brief” kali ini memperlihatkan sisi
otonomi dalam wajahnya yang problematik. Namun, jika menelisik
lebih jauh halaman-halaman selanjutnya, kami tidak hanya sedang
telling the obvious—menceritakan masalah yang semua sudah jelas
adanya, sudah menjadi pengetahuan umum. Lebih dari, kami
menghadirkan solusi. Kami percaya, Perda menjadi titik masuk
bagi perbaikan kerangka kebijakan dan tata kelola investasi lainnya,
seperti pengaturan soal perijinan, tata infrastruktur, biaya transaski,
dst. Salah satu pilihan tools yang coba dibahas dalam ulasan-ulasan
tersebut adalah alat bantu regulatory impact assessement (RIA). Kami
berharap sungguh, edisi ini menghadirkan catatan kebermasalahan
sekaligus petunjuk arah bagi jalan perbaikan regulasi daerah ke depan.
Selamat membaca
Artikel
Dampak Perda Pada Sektor Perikanan
Oleh: Sri Mulyati
Peneliti KPPOD
S
ebagai negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 setelah Kanada, seharusnya sektor perikanan
mendapat prioritas utama dalam pengembangan ekonomi. Konsumsi ikan perkapita penduduk
Indonesia (32kg/kapita/tahun) paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, Korea, dan
Jepang. Industri pengolahan ikan di Indonesia kurang berkembang, dari yang ada hanya mampu
berproduksi 50% dari kapasitas terpasangnya, dan anehnya disebabkan kekurangan bahan baku. Dari
dimensi makro, penyebab rendahnya konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia adalah karena faktor
jumlah hasil tangkap (produksi), ketersediaan ikan, dan permasalahan distribusi ikan itu sendiri. Hal yang
sama adalah penyebab rendahnya tingkat utilisasi industri pengolahan ikan yang hanya 50%, sebagai akibat
dari kekurangan bahan baku, yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya impor ikan dari luar negeri.
Dokumentasi KPPOD
Pemerintah melalui program
bagi nelayan, penjual dan pembeli.
Kebijakan apa saja yang Dalam prakteknya, pembentukan
Minapolitan mencoba meminimalisir
permasalahan dalam pengembangan
harga berlangsung tanpa melalui
dibuat oleh Pemda
sektor perikanan dengan membuat
terkait sektor perikanan mekanisme lelang secara terbuka
konsep pembangunan kelautan
sehingga harga tidak kompetitif dan
tangkap, dan bagaimana seringkali nelayan berada di posisi
dan perikanan berbasis wilayah.
dampaknya?
Program ini dilakukan melalui
yang tidak menguntungkan.
pendekatan sistem dan manajemen
Dengan beberapa permasalahan
kawasan
dengan
prinsip:
integrasi,
efisiensi,
tersebut, pertanyaannya kemudian adalah pertama,
kualitas dan akselerasi. Selain itu, Pemerintah juga
kebijakan apa saja yang dibuat oleh Pemda terkait
memberikan insentif berupa DAK bagi daerah yang
sektor perikanan tangkap, dan bagaimana dampaknya?
telah menghapuskan pungutan retribusi perikanan di
Bagaimana peran TPI sebagai sarana dalam
Daerahnya. Sayangnya program pemerintah tersebut
menstabilkan harga dan pertukaran informasi yang
tidak langsung ditindaklanjuti oleh Pemda dengan
simetris antar pihak terkait? Apakah TPI sudah dapat
membuat kebijakan yang ramah terhadap kegiatan
mendukung pengembangan usaha sektor perikanan
usaha sektor perikanan, namun justru sebaliknya,
atau justru keberadaannya menambah beban nelayan?
Pemda masih menerapkan regulasi yang membebani
Guna menjawab pertanyaan di atas, KPPOD
masyarakat dengan berbagai macam pungutan yang
melakukan studi mengenai dampak perda (kebijakan
menyebabkan semakin tingginya biaya operasional yang
daerah) bagi aktivitas usaha di sektor perikanan
harus ditanggung oleh nelayan. Selain itu, keberadaan
khususnya perikanan tangkap. Untuk melihat dampak
tempat pelelangan ikan (TPI) belum dapat dioptimalkan
perda tersebut, KPPOD melakukan studi kasus di dua
fungsinya sebagai sarana pembentukan harga yang stabil
daerah yakni Belitung Timur dan Tulungagung. Dengan
3
Artikel
melakukan studi lapangan di dua daerah yang memiliki
karakteristik berbeda diharapkan dapat memberikan
gambaran secara lebih lengkap mengenai permasalahan
yang dihadapi di sektor perikanan, termasuk untuk
mendapatkan gambaran terkait komponen biaya/
pungutan retribusi apa saja dibebankan di Daerah
sebagai dampak dari penetapan perda oleh Pemda. Ke
depannya diharapkan studi ini dapat menjadi referensi
bagi para pengambil kebijakan dalam membuat regulasi
terkait pengembangan sektor perikanan.
Metodologi
Studi ini menggunakan pendekatan kajian tekstual
(desk analysis) dan metode Regulatory Impact Assessment
(RIA). Desk analysis ditujukan untuk membuat profil
regulasi sektor perikanan yang dilakukan melalui
kajian tekstual atas perda-perda perikanan. Untuk
kajian tekstual dilakukan berdasarkan 14 kriteria
penilaian perda KPPOD yang terbagi dalam 3 aspek,
yakni aspek yuridis, aspek substansi, dan aspek prinsip.
Desk analysis tersebut dilakukan dengan menggunakan
data sekunder yakni atas 78 perda perikanan dimiliki
KPPOD, yang berasal dari 53 Daerah. Mengingat
banyaknya jenis perda perikanan di daerah, maka
dalam Studi ini dibatasi hanya pada jenis perda terkait
pungutan dan perizinan khususnya perikanan tangkap
yang ditetapkan dari tahun 2009 sampai 2012. Hal
tersebut juga sekaligus untuk melihat implementasi UU
PDRD terbaru yakni UU No. 28 Tahun 2009 di Daerah.
Sedangkan metode RIA ditujukan untuk
mengetahui dampak penerapan suatu kebijakan
daerah melalui kalkulasi rasional menyangkut manfaat
optimum dan biaya netto minimal (cost-benefit analysis).
Pendekatan RIA ini diaplikasikan dalam studi kasus di
dua daerah yakni Belitung Timur dan Tulungagung.
Guna melihat dampak regulasi sektor perikanan di dua
daerah tsb, dilakukan wawancara mendalam, observasi
dan analisis data sekunder.
Hasil empiris
Dari analisis tekstual terhadap 78 perda di sektor
perikanan, diperoleh gambaran bahwa mayoritas (86%)
perda yang dikaji adalah perda tentang retribusi. Dan
kebanyakan perda-perda tersebut belum menyesuaikan
dengan ketentuan UU terkait. Berikut beberapa
permasalahan tersebut.
Ditinjau dari aspek yuridis, banyak dijumpai
perda yang tidak mencantumkan UU Sektoral sebagai
konsiderannya, sehingga terkesan bahwa perda
tersebut tidak memiliki basis legal yang kuat dalam
pembentukannya sehingga dapat berpotensi timbulnya
disharmonisasi dengan Peraturan perundang-undangan
di atasnya. Sebagai contoh Perda Kota Makassar
No. 13/2011 tentang Retribusi Jasa Usaha yang tidak
mencantumkan UU No.31/2004 tentang Perikanan
sebagai acuan.
4
2,6
Kelengkapan Yuridis
35
9,0
Up to Date Acuan Yuridis
72
34,6
n Perikanan
n TKED 2011
Relevansi Acuan Yuridis
9
Sumber: KPPOD, 2012
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Gambaran lain ditunjukan dari hasil kajian
KPPOD tersebut, adanya kesenjangan kualitas perda
antar daerah terlihat antara daerah Jawa dan Luar Jawa.
Akses informasi yang kurang merata antar pemda di
Indonesia menjadi salah satu penyebab banyaknya
perda di luar Jawa masih belum meng up date Peraturan
perundang-undangan yang menjadi konsiderannya,
sedangkan di Jawa mayoritas Perda telah merevisi dan
menyesuaikan Perdanya dengan Peraturan perundangundangan terbaru
12,5
Relevansi Acuan Yuridis
87,5
0,0
Up to Date Acuan Yuridis
100
50
n Jawa
n Luar Jawa
Kelengkapan Yuridis
50
Sumber: KPPOD, 2012
0
20
40
60
80
100
120
Secara substansi, kebanyakan Perda Perikanan
(17,9%) tidak jelas dalam mengatur standar waktu,
biaya, dan prosedur. Akibatnya banyak perda yang
kemudian berdampak negatif terhadap aktivitas
ekonomi. Dampak negatif yang mungkin ditimbulkan
adalah ketidakpastian bagi masyarakat maupun pelaku
usaha. Contoh Perda Lamongan No. 19/2010 tentang
Retribusi Tempat Pelelangan Ikan yang di dalamnya
terdapat ketidakjelasan dalam penetapan rumusan
tarif retribusi. Tarif retribusi dalam perda ini hanya
mencantumkan besaran 2.5% untuk retribusi kepada
penjual maupun pembeli tanpa menyebutkan klausul
apapun sebagai dasar perhitungan untuk tarif retribusi
tersebut. Ketidakjelasan penetapan tarif tersebut
dikhawatirkan dapat menimbulkan penyimpangan
dalam implementasinya di lapangan misalnya pungutan
illegal.
Perda memperburuk kondisi Nelayan. Ditinjau
dari aspek prinsip, seperti terlihat pada grafik 4
menunjukkan, 15% Perda Perikanan berdampak negatif
Artikel
terhadap aktivitas usaha perikanan dan membebani
nelayan. Perda-perda tersebut kebanyakan melanggar
prinsip free internal trade yang menghambat mobilitas
barang dan jasa antar daerah, melanggar kewenangan,
sehingga terjadi tumpang tindih dengan pungutan
di tingkat pusat, dan adanya pungutan yang tidak
wajar. Contoh Perda Kota Cirebon No. 5/2011 tentang
Penyelenggaraan dan Retribusi TPI. Untuk setiap
transaksi (jual beli) ikan yang diselenggarakan di TPI
dikenakan tarif sebesar 5% dari nilai transaksi. Tarif
sebesar 5% tersebut 3% nya dibebankan kepada pembeli;
dan kepada nelayan sebesar 2%. Dalam praktiknya,
beban retribusi bagi pedagang, dialihkan kepada
nelayan dan kepada pembeli.
Banyaknya kebijakan yang mengatur sektor
perikanan (over regulated) menyebabkan beberapa
jenis izin yang overlapping dan berpotensi adanya
pungutan ganda. Tercatat paling tidak ada 8 (delapan)
Izin Usaha Perikanan Tangkap di tingkat Daerah
(Pemda Kabupaten/Kota) dan Pusat, seperti Surat Izin
Usaha Perikanan (SIUP); Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan (SIKPI); Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI); Izin
Penggunaan Alat tangkap. Yang khusus diatur di tingkat
pusat antara lain: Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman
Modal (APIPM) untuk penanaman modal; Surat Ijin Kapal
Perikanan; serta Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP).
Jika ditinjau dari tujuan yang diatur dalam beberapa
jenis izin tersebut, PPP secara prinsip sama dengan
pungutan untuk SIUP, SIPI, SIKPI. Demikian pula PHP
yang hanya dikenakan pada hasil produksi perikanan
yang diekspor dengan tarif 1%-2%, berpotensi terjadi
pungutan ganda dengan retribusi daerah atas Surat
Keterangan Pengangkutan Ikan (SKPI) atau pungutan
hasil perikanan di TPI dengan tarif 2%–5%. Jika
memang pada level pemerintahan tingkat atas sudah
dipungut, seharusnya Pemda Kabupaten/Kota tidak lagi
memungut karena nantinya Pemda akan mendapatkan
dana sharing dari skema Dana Bagi Hasil (DBH).
Mekanisme alokasi dana DBH telah melanggar
prinsip keadilan, dimana daerah penghasil maupun
bukan penghasil diberikan alokasi DBH yang sama.
Idealnya pembagian DBH ini mengacu pada prinsip
DBH SDA maka semestinya harus diterapkan
berdasarkan prinsip by origin atau daerah penghasil
sehingga daerah dapat mengoptimalkan dana tersebut
guna pemberdayaan masyarakat sekitar dan upaya
konservasi lingkungan yang terkena dampak langsung.
Isu lain yang menjadi hambatan dalam
pengembangan sektor perikanan adalah Keberadaan
TPI belum dioptimalkan sebagai sarana stabilisasi
dalam pembentukan harga. Dengan ketidaan TPI
justru mengakibatkan nilai tawar nelayan menjadi
lemah dan harga tidak kompetitif karena mekanisme
pembentukan harga tidak dilakukan dengan lelang
secara terbuka (terjadi asimetri informasi) sehingga
harga tidak tercapai pada tingkat optimal. Pelelangan
ikan dikuasai oleh kelompok pedagang tertentu,
sebagai konsekwensi jerat hutang dari nelayan. Namun
persoalan lain, adalah keengganan nelayan untuk
transaksi di TPI, karena keberatan terhadap pungutan
yang harus mereka tanggung. Hal ini mengakibatkan
harga ikan sulit dikontrol, dan PAD (Retribusi TPI) tidak
dapat diperoleh secara maksimal. Data hasil tangkapan
ikan (produksi perikanan) di daerah juga tidak dapat
tersedia secara ada akurat.
Keberadaan TPI masih sangat dibutuhkan sebagai
sarana stabilisasi harga dan upaya peningkatan daya
tawar nelayan. Dengan melihat cost and benefit analysis
(metode RIA) yang dilakukan di Belitung Timur dan
Tulungagung, Pemda perlu melakukan revitalisasi
keberadaan TPI secara optimal baik dari sisi kebijakan
maupun fasilitas layanan yang diberikan. Kebijakan
insentif yang diberikan oleh Kementerian Kelautan
berupa insentif DAK untuk daerah yang telah
menghapus biaya retribusi perikanan baiknya menjadi
salah satu alternatif bagi daerah untuk meningkatkan
sektor perikanan. Sebagai contoh, Belitung Timur dari
sisi kebijakan telah menghapuskan biaya retribusi
perikanan, dengan penghapusan retribusi tersebut
justru menaikkan alokasi DAK menjadi dua kali lipat
(dari 3M menjadi 6M), sedangkan dari segi fasilitas
keberadaan TPI, meskipun secara fisik TPI tidak
difungsikan namun sistem pencatatan administrasi
atas hasil tangkap ikan masih dilakukan secara tertib.
Lain halnya dengan Tulungagung, meskipun secara
5
Artikel
fisik TPI tersebut ada, namun fungsinya justru tidak
berjalan dengan semestinya, terlihat dari tidak adanya
pencatatan yang tertib atas hasil tangkap ikan sehingga
Pemda tidak memiliki data yang valid atas produksi
perikanan daerahnya. TPI disamping sebagai sarana
stabilisasi harga,
Pemda juga sangat
berkepentingan
g
u
n
a
mendapatkan
data yang valid
atas produksi hasil
perikanan
serta
potensi perikanan
di
daerahnya.
M e l i h a t
pentingnya
keberadaan
TPI
tersebut,
h e n d a k n ya
Pemda
dapat
berkoordinasi
dengan
pihak
lainnya atau bekerjasama dengan BUMD daerah
dalam pengelolaan TPI tersebut salah satunya dengan
memperbaiki fasilitas dan kualitas sarana dan prasarana
pendukung. Nelayan maupun pedagang pada dasarnya
tidak berkeberatan untuk membayar retribusi sepanjang
biaya yang dikeluarkan masih seimbang dengan kualitas
pelayan yang didapat dari tempat TPI tersebut.
Kesimpulan
Pemda lebih berorientasi pada pembuatan perdaperda pungutan yang dapat meningkatkan PAD bagi
daerahnya namun tidak diimbangi dengan kualitas
perda yang baik. Selain belum update dengan peraturan
Perundang-undangan terbaru, beberapa daerah masih
belum mencantumkan peraturan sektoral terkait yang
justru menjadi dasar hukum pembuatan perda sektoral,
serta masih adanya perda yang menetapkan besaran tarif
yang berpotensi meningkatkan beban biaya operasional
bagi nelayan.
Banyaknya jenis perda yang diatur dalam sektor
perikanan yang diatur baik oleh Pemda Kabupaten/Kota
dan Pemerintah (5 jenis Perda di Kabupaten/Kota, 3 jenis
Perda Pemerintah) dalam prakteknya menimbulkan
overlapping aturan pusat dan daerah yang menyebabkan
6
adanya pungutan berganda yang berdampak ekonomi
negatif.
Dana Bagi Hasil (DBH) berpotensi menimbulkan
pungutan ganda dengan retribusi daerah dan melanggar
prinsip keadilan. Hal ini dikarenakan sumber DBH yang
berasal dari Pungutan
Pengusahaan Perikanan
(PPP) dan Pungutan
Hasil Perikanan (PHP)
secara prinsip sama
dengan SIUP, SIKPI, SIPI
yang juga dipungut di
daerah.
Belum optimalnya
TPI menyebabkan tidak
stabilnya atau lemahnya
harga ikan bagi nelayan,
karena sistem lelang
tidak berlaku sehingga
terjadi informasi yang
asimetris antara nelayan
dengan pedagang.
Rekomendasi
Dari sisi kebijakan, dalam pembuatan Perda,
Daerah hendaknya menyesuaikan dengan Peraturan
perundang-undangan tertinggi, sekaligus peraturan
sektoral terkait. Sehingga tidak terjadi siharmoni dan
pertentangan dengan peraturan perundang-undangan
diatasnya.
Dalam
pengembangan
sektor
perikanan,
gerakan Nasional untuk merevitalisasi keberadaan
TPI perlu diupayakan oleh pemerintah, sehingga TPI
dapat berfungsi secara optimal. Beberapa cara dapat
dilakukan misalnya dengan membebaskan retribusi,
penyediaan fasilitas dan jasa-jasa di TPI denga kualitas
yang baik dan Pemda tetap memiliki kewenangan
untuk mengatur (dikenakan biaya atas penggunaannya)
sebagai upaya pengelolaan dan perawatan atas fasilitas
yang telah disediakan. Disamping itu, hendaknya
Daerah melaksanakan himbauan dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan untuk membebaskan retribusi
perikanan sehingga nelayan tidak merasa terbebani
dengan berbagai pungutan dan sekaligus memberikan
dorongan bagi nelayan untuk memiliki izin.
--o0o--
Review Regulasi
Perda IMB Kota Denpasar: rugi sekarang, untung seterusnya?
Oleh: Boedi Rheza
Peneliti KPPOD
I
zin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur
bangunan-bangunan yang ada di daerah. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam pengaturan IMB
adalah aspek keamanan bangunan dan keteraturan, sehingga terdapat berbagai kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah bangunan. Aspek kewilayahan pun juga menjadi salah satu yang diatur melalui
IMB melalui pemenuhan tata ruang. Bangunan yang akan didirikan harus sesuai antara peruntukan
dengan tata ruang yang telah ditetapkan di daerah tempat bangunan berdiri.
tengananpanglipuranbahagwk.blogspot.com
Dengan Perda IMB, Pemda berusaha menjaga
keserasian bangunan dengan wilayah, jaminan
keselamatan bangunan, juga keharmonisan bangunan
di wilayahnya. Pemko Denpasar, melalui Perda No.6
Tahun 2001 tentang IMB, menerapkan aturan khusus
penggunaan corak tradisional Bali. Tujuan dari
penerapan perda ini adalah untuk menjaga keserasian
bentuk dan arsitektur bangunan yang akan di bangun
di Denpasar, dan mempertahankan kekahsan budaya
termasuk di dalamnya arsitektur bangunan Bali di
Kota Denpasar sebagai salah satu daerah tujuan wisata.
Arsitektur bercorak Bali ini umumnya terdapat pada
susunan bangunan di Bali , didasari oleh suatu prinsip
yang dipegang oleh masyarakat Bali yaitu prinsip tri
angga, yakni mulai dari bagian tangga, pintu, bagian
bangunan hingga pada atap.
Karena adanya aturan khusus tersebut, maka
untuk membangun sebuah bangunan di Kota Denpasar,
tentunya diperlukan pekerja yang memiliki ketrampilan
khusus untuk mengerjakan bagunan dengan arsitektur
Bali. Selain diperlukan ketrampilan khusus bagi pekerja
juga diperlukan tambahan waktu untuk pembuatan
ukiran khas yang terdapat dalam arsitektur Bali. Bagi
pihak yang akan membangun bangunan, penerapan
aturan khusus ini sedikit banyak mempengaruhi
preferensi pembangun untuk membangun sebuah
bangunan dalam hal arsitektur. Sebab dengan penerapan
aturan khusus IMB ini tentunya pilihan arsitektur
bangunan menjadi terbatasi.
Untuk mengetahui sejauh mana dampak yang
ditimbulkan oleh penetapan aturan khusus di dalam
Perda IMB di Kota Denpasar, maka dilakukan analisis
Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap perda
tersebut. Sebagai pembanding, dilakukan juga analisis
terhadap penerapan perda IMB di Belitung Timur dan
Tulungagung. Dari analisis penerapan perda di tiga
daerah tersebut, terlihat perbedaan yang signifikan
dengan adanya aturan khusus tentang penggunaan
arsitektur khas Bali untuk bangunan pada Perda IMB
di Kota Denpasar. Sedangkan di Belitung Timur dan
7
Review Regulasi
di Tulung Agung tidak terdapat ketentuan untuk
penggunaan unsure arsitektur lokal seperti di Denpasar.
Di Belitung Timur belum memiliki Perda RTRW sebagai
salah satu acuan untuk penetapan IMB, sehingga
dalam menerbitkan IBM mengacu pada Permendagri
No. 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian IMB.
Sedangkan di Tulungagung diberlakukan Perda No.
17 Tahun 2010 tentang IMB. Perbedaan tersebut antara
lain, untuk daerah yang tidak ada aturan mengenai
keharusan membuat bangunan dengan corak lokal tidak
diperlukannya keahlian khusus bagi pekerja bangunan
yang memiliki keahlian untuk membuat corak lokal
bangunan yang akan dikerjakannya. Juga tidak perlu ada
penyesuaian bagi bangunan yang sedang dibangunnya
dengan arsitektur bercorak lokal.
Berikut ini adalah ringkasan perbedaan aturan
penerbitan IMB di tiga daerah penelitian:
atau terkena dampak secara langsung maupun
tidak langsung dari pemberlakuan aturan (perda)
tersebutadalah: Pemda Kota Denpasar melalui Dinas
Tata Kota, pekerja bangunan non Bali, kontraktor,
masyarakat asli bali, masyarakat pendatang yang
tinggal di Bali.
Untuk menganalisis dampak pemberlakuan perda
IMB kota Denpasar tersebut dibagi menjadi tiga kategori
dampak yaitu kecil, sedang dan besar. Sedangkan
koefisien untuk menentukan arah dari besaran dampak
adalah (+) untuk manfaat dan (-) untuk biaya.
Alternatif Tindakan/Kebijakan:
Beberapa alternatif tindakan/kebijakan yang
mungkin diterapkan untuk memacahkan permasalahan
yang ditimbulkan dari penerapan perda tersebut, antara
lain:
Tabel 1. Hasil Temuan Studi Lapangan Kota Denpasar, Tulungagung dan Belitung Timur
Temuan studi lapangan
Tulungagung
Kota Denpasar
Belitung Timur
Keberadaan perda IMB
Ada, Perda IMB juga
mengatur retribusi IMB
Ada, dilengkapi dengan
Perwali yang mengatur
retribusi IMB
Tidak ada, yang ada
hanya perda retribusi
perizinan tertentu yang
mengatur retribusi IMB
Perda Terkait
1 Perda (Perda No. 17
Tahun 2010 tentang IMB)
1 Perda (Perda No. 6
Tahun 2001 tentang IMB)
Keberadaan corak lokal
Tidak ada
Ada
1 Perda (Perda No. 4 Tahun
2012 tentang retribusi
perizinan tertentu)
Tidak ada
Struktur tarif
Luas BG x Indeks
Terintegrasi x 1,00 x HS
retribusi
Biaya IMB (Luas
bangunan x nilai
bangunan + Rp. 10.000)
+ Biaya jasa administrasi
sempadan
L x It x 1,00 x HSbg
Pengawasan
Ada
Ada dan memerlukan
tambahan pengawasan
Ada
Kejelasan standar waktu
Jelas
Jelas
Tidak disebutkan
Masa berlaku IMB
Selama bangunan berdiri/
tidak berubah
Selama bangunan berdiri/ Tidak disebutkan (tidak ada
tidak berubah
perda khusus terkait Izin
mendirikan bangunan)
Analisis Regulatory Impact Assessment (RIA) Perda IMB Denpasar
Dari
identifikasi
awal
terhadap
potensi
permasalahan yang mungkin timbul dari penerapan
Perda IMB di Denpasar adalah sebagai berikut:
1. Perlunya pembangun melakukan penyesuaian
dengan arsitektur Bali
2. Adanya tambahan waktu pengerjaan untuk
arsitektur Bali
3. Adanya tambahan biaya yang dikeluarkan untuk
membuat arsitektur Bali
4. Perlunya ketrampilan khusus bagi pekerja bangunan
non Bali untuk membuat corak arsitektur Bali
Analisis Biaya dan Manfaat dari Penerapan Perda
Analisis Stakeholders:
Pemilihan kebijakan
Adapun stakeholder yang kemungkinan terlibat
8
1. Tetap memberlakukan aturan khusus yang berada
dalam perda IMB Kota Denpasar
2. Merevisi atau menghapus pasal yang berada dalam
perda IMB Kota Denpasar
Dari dua alternatif kebijakan diatas, dilakukan
analisis manfaat dan biaya secara kualitatif melalui
metode Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk
masing-masing alternatif. Berkut adalah table analisa
biaya dan manfaat untuk masing-masing alternatif.
Dari hasil perhitungan biaya dan manfaat (secara
Review Regulasi
kualitatif) untuk setiap alternatif yang telah ditetukan,
alternatif kebijakan mana yang paling bisa diterima oleh
seluruh pemangku kepentingan. Alternatif yang paling
sedikit menimbulkan biaya yang harus ditanggung
oleh setiap pemangku kepentingan, atau yang paling
mendatangkan manfaat yang paling besar adalah
tindakan atau kebijakan yang akan dipilih.
Dari hasil penghitungan biaya dan manfaat
dari masing-masing opsi, baik untuk jangka panjang
maupun jangka pendek, maka untuk opsi alternatif I
yaitu ‘Tetap memberlakukan aturan khusus yang berada
dalam perda IMB Kota Denpasar’ pada jangka pendek
memang menimbulkan biaya bagi pembangun, pekerja
dan masyarakat pendatang yang akan membangun di
Kota Denpasar. Namun, dalam jangka panjang, dengan
tetap memberlakukan aturan khusus, ada manfaat
yang diperoleh oleh beberapa pihak, bahkan termasuk
didalamnya pekerja bangunan bukan asli Bali. Bagi
pekerja bangunan bukan asli Bali akan mendapatkan
manfaat berupa pengetahuan dan ketrampilan untuk
mengerjakan arsitektur Bali, meskipun di jangka
pendek, akan memerlukan waktu, tenaga dan usaha
khusus untuk mempelajarinya.
Bagi masyarakat asli Bali, pemberlakuan aturan
khusus penggunaan tentunya dapat menjaga budaya
dan ke khasan Bali. Selama ini, kekhasan Bali di dalam
arsitektur bangunan tersebut, juga menjadi daya
tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Dengan
adanya kunjungan wisatawan ke Bali, khususnya Kota
Denpasar, akan meningkatkan pemasukan juga bagi
Pemda setempat.
Sementara dari opsi ke II yaitu ‘Merevisi atau
menghapus pasal yang berada dalam perda IMB Kota
Denpasar’, terlihat pada jangka pendek, pembangun
bangunan tidak akan mengeluarkan biaya dan usaha
untuk menyesuaikan bangunan dengan arsitektur khas
Bali. Demikian juga dengan
Namun dengan tidak adanya aturan khusus
tersebut, sangat mungkin unsur khas daerah yang
ditunjukkan oleh arsitektur tradisional Bali perlahanlahan akan menghilang. Padahal kekhasan daerah ini,
menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk
datang ke Bali, khususnya Kota Denpasar. Sehingga, di
masa mendatang, dapat saja preferensi wisatawan untuk
datang ke Kota Denpasar akan berubah, dan bukan tidak
mungkin menyamakan Kota Denpasar dengan KotaKota lainnya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan
wisatawan ke Kota Denpasar. Bagi masyarakat asli Bali
di Kota Denpasar, dengan penghapusan pasal tentang
aturan khusus tersebut, akan berpotensi menghilangkan
unsur tradisional yang selama ini dijaga.
Di dua daerah lain, yaitu Tulungagung dan
Belitung Timur, tidak terdapat aturan khusus mengenai
corak lokal untuk bangunan, sehingga konstruktor atau
pemilik bangunan hanya mengeluarkan biaya untuk
perizinan saja dan tidak ada biaya tambahan untuk
membuat corak lokal. Selain itu, bagi pekerja bangunan
tidak memerlukan usaha khusus untuk mempelajari
Tabel 2. Analisis dampak perda IMB Kota Denpasar terhadap masing-masing stakeholder
No.
1
Pemangku
Jabatan
Pemilik
Bangunan
Alternatif 1
(Memberlakukan
Aturan Khusus)
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
Alternatif 2
(Menghapus
Aturan Khusus)
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
Kesesuaian dengan
kepentingan bisnis
(+) Besar
(+) Besar
(+) Besar
(+) Besar
Preferensi pribadi pemilik
bangunan
(-) Sedang
(.) Neutral
(+) Besar
(.) Netral
Biaya untuk membuat
arsitektural bali tersebut
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Kemungkinan pungli oleh
aparat Pemda
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(+) Kecil
(+) Besar,
(+) Sedang
(+) Sedang
Administrasi
implementasi perda
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
Mempertahankan
keserasian kota
(+) Besar
(+) Besar
(-) Sedang
(-) Besar
Biaya untuk membuat
perda
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Sedang
(-) Besar,
(-) Sedang
2 (-) Besar
2 (-) Besar,
(-) Sedang
Manfaat/Kerugian
Dampak bagi Pemilik Bangunan
2
Pemda
Dampak bagi Pemda
9
Review Regulasi
No.
3
Alternatif 1
(Memberlakukan
Aturan Khusus)
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
Alternatif 2
(Menghapus
Aturan Khusus)
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
Nilai budaya yang harus
diterapkan
(+) Besar
(+) Besar
(-) Besar
(-) Besar
Penggunaan arsitektur
Bali untuk Bangunan oleh
masyarakat pendatang
yang membangun di Bali
(-) Kecil
(-) Kecil
(-) Kecil
(-) Kecil
(+) Sedang,
(+) Kecil
(+) Sedang,
(+) Kecil
(-) Besar,
(-) Kecil
(-) Besar,
(-) Kecil
Usaha tertentu untuk
mempelajari Arsitektur
Bali
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Waktu dan Biaya untuk
mempelajari arsitektur
Bali
(-) Sedang
(-) Kecil
(.) Netral
(.) Netral
Pengetahuan tentang
Arsitektur Bali
(+) Besar
(+) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(.) Neutral
(+) Sedang
(-) Besar
(-) Besar
(-) Besar
(.) Netral
(.) Netral
(.) Netral
(-) Besar
(.) Netral
(.) Netral
(.) Netral
(+) Sedang
(+) Besar
(-) Kecil
(-) Sedang
Dampak bagi Wisatawan
(+) Sedang
(+) Besar
(-) Kecil
(-) Sedang
Total Dampak
(-) Sedang,
(-) Kecil
3(-) Besar
3(-) Besar,
(-) Sedang,
(-) Kecil
Pemangku
Jabatan
Masyarakat
Bali secara
luas
Manfaat/Kerugian
Dampak bagi Masyarakat Bali secara luas
4
Pekerja
Pendatang
dari luar Bali
Dampak bagi pekerja pendatang
dari luar Bali
5
Perencana
Bangunan
Usaha lebih besar untuk
menyingkronkan desain
arsitektural bali dengan
desain bangunannya
Dampak bagi Perencana Bangunan
6
Wisatawan
Preferensi wisatawan atas
penggunaan arsitektur
Bali
teknik untuk membuat arsitektur lokal untuk bangunan.
Namun dengan tidak memberlakukan aturan
khusus menggunakan arsitektur khas daerah, maka
dapat terjadi hilangnya unsur ke khasan daerah yang
ditunjukkan melalui bangunan. Dengan hilangnya
ke khasan suatu daerah, secara tidak langsung, dapat
menghilangkan manfaat lain yaitu daya tarik sebuah
daerah bagi pariwisata. Karena dengan tidak adanya
kekhasan bangunan di suatu daerah, wisatawan
mungkin saja tidak begitu merasakan kekhasan daerah
tersebut.
(+) Besar
jangka panjang, jika aturan tersebut tidak diberlakukan,
sangat mungkin, arsitektur khas Bali perlahan-lahan
akan menghilang. Ini dapat menimbulkan kerugian
tersendiri bagi masyarakat asli Bali maupun wisatawan
yang akan berkunjung ke Kota Denpasar. Dengan
hilangnya kekhasan tersebut, preferensi wisatawan
untuk datang ke Kota Denpasar akan berkurang,
karena tidak mendapati lagi bangunan khas Bali.
Dampak selanjutnya adalah penurunan penerimaan
Pemda Kota Denpasar dari sektor pariwisata.
--o0o--
Kesimpulan
Dengan melihat dampak dari penerapan aturan
khusus penggunaan arsitektur Bali, dalam jangka
pendek memang menimbulkan biaya bagi pembangun
maupun pekerja bangunan bukan asli Bali. Tapi di
10
Dari Daerah
Tulungagung Surga Perikanan yang Belum Dioptimalkan
Oleh: Rizqiah Darmawiasih
Peneliti KPPOD
W
ilayah Indonesia terbentang sepanjang 6.400,36 km mulai dari Sabang sampai Merauke
dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan terletak di antara Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Jika dibandingkan antara luas daratan dan lautannya, maka luas lautan
di Indonesia memiliki dominasi lebih besar yaitu mencapai 62 persen dari total wilayah
Indonesia sedangkan luas daratan hanya 38 persen dari total wilayah Indonesia, dengan kondisi tersebut
Indonesia dikenal sebagai Negara Maritim atau Negara Bahari Potensi yang dimiliki oleh laut Indonesia
itu luar biasa, Sebagai Negara maritim terbesar di dunia, kekayaan laut Indonesia yang bisa di eksplor
sungguh luar biasa, salah satunya variasi jenis ikan dan biota laut yang beragam.
Dokumentasi KPPOD
Salah satu daerah yang memiliki potensi perikanan
laut atau perikanan tangkap, di Indonesia adalah
Kabupaten Tulungagung, yang terletak di pantai selatan
Jawa Timur. Tulung agung berada pada posisi 111o 43’
sampai dengan 112o 07’ Bujur Timur dan 7o 51’ sampai
dengan 8o 18’ Lintang selatan dan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Kediri, Trenggalek, dan Blitar.
Popoh, Brumbun, Sine adalah nama beberapa pantai
di kawasan Tulungagung yang menjadi pusat kegiatan
nelayan dan wisata bahari. Pantai yang berada di sekitar
176 meter dari permukaan laut (mdpl) ini, dikelola
langsung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Tulungagung. Sedangkan beberapa area
hutan yang terdapat di sekitar pantai, berada di bawah
kelola pihak perhutani setempat.
Perikanan Tangkap masih menjadi sub sektor
andalan untuk Perikanan
Pemerintah daerah memiliki perhatian khusus
kepada sektor perikanan Tulungagung, hal ini
ditunjukan dengan beberapa perda yang mengatur
mengenai usaha perikanan dan kelautan seperti
Peraturan daerah kabupaten Tulungagung nomor
12 Tahun 2010, yang mengatur mengenai berbagai
ketentuan dalam perijinan seperti SIUP (Surat Izin
Usaha Perikanan),SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan), SIKPI
(Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) dan lain sebagainya.
Hal ini dilakukan agar kegiatan melaut ataupun jual
beli di daerah tersebut bisa berjalan baik dan sesuai
dengan prosedur, Pemerintah juga sedang membuat
sebuah perda yang mengatur mengenai perikanan dan
kelautan.
Pada tahun 2011 jumlah PAD dari sektor perikanan
adalah 121.127.300, PAD pada tahun 2011 ini meningkat
dari tahun sebelumnya yang berjumlah 94.686.950. Hal ini
membuktikan bahwa sektor perikanan memiliki potensi
yang sangat baik, Pemda setempat memiliki rencana
baik untuk sektor perikanan di Tulungagung, Pemda
11
Dari Daerah
Tulungagung sedang membuat draft Peraturan daerah
orang dan Rp.1,000,-/kendaraan (motor). Penerangan
yang membahas khusus mengenai sektor perikanan.
di sekitar jalan menuju pantai Popoh dianggap kurang
Dalam Perda nomor 12 tahun 2010 dicantumkan
layak oleh para nelayan, karena penerangan hanya ada
berbagai perijinan dan kejelasannya, seperti apa saja dan
ketika sudah tiba di kawasan Pantai Popoh namun
bagaimana cara mengurus perijinan tersebut. Namun
ketika diperjalanannya sangat minim penerangannya
para nelayan atau pelaku usaha perikanan belum
dan menyulitkan beberapa nelayan dari luar daerah.
banyak yang memilikinya,
Di tempat tersebut
Produksi perikanan tangkap,
hal ini diperkuat dari data
pemerintah daerah telah
yang dimiliki oleh Dinas
membangun
Tempat
Potensi perikanan di Tulungagung
Perikanan dan Kelautan
Pelelangan Ikan (TPI),
adalah 10.000 ton per tahun dan
Tulung
agung
yang
sebagai
sarana
untuk
jumlah produksi perikanan di TPI
menunjukan
penurunan
transaksi hasil tangkap ikan
Tulungagung pada tahun 2011 adalah oleh nelayan dan pedagang.
khususnya pada perijinin
usaha perikanan, pada
Tempat Pelelangan Ikan
843.545 kg pertahun
tahun 2008 tercatat 270
menjadi wadah para nelayan
nelayan yang memiliki izin usaha perikanan tangkap,
dan penjual ikan dalam kegiatan jual beli. Fasilitas TPI
namun pada tahun 2011 yang tercatat hanya 35 nelayan.
Popoh sudah dikembangkan oleh Pemerintah daerah
Pengurusan perijinan dapat dilakukan di Unit Koperasi
dan memberikan beberapa fasilitas untuk memudahkan
yang disediakan pemda tepat di TPI Popoh, Unit
masyarakat, fasilitas yang diberikan berupa dermaga
Koperasi adalah salah satu fasilitas dari pemerintah
untuk sandar kapal, timbangan, gudang penyimpanan,
untuk mempermudah proses perijinan di sektor
KUD, Kios, penerangan dan berbagai jenis kebutuhan.
perikanan. Berbagai penjelasan dan ketentuan dalam
Peraturan daerah nomor 12 tahun 2012 menyebutkan
Stabilitas harga belum berjalan baik hanya
berbagai perijinan yang harus dimiliki oleh para
berdasarkan musim, ketika tangkapan ikan berlimpah
pelaku usaha perikanan namun hal ini tidak di ikuti
maka harga jual akan jauh lebih murah daripada masaoleh berbagai penyuluhan, hal ini ditunjukan dengan
masa “terang bulan”, karena hasil tangkapan jauh lebih
banyaknya nelayan yang mengetahui hak tersebut dan
sedikit dan harga menjadi jauh lebih mahal. Pihak
menyatakan bahwa tidak ada penyuluhan dari Pemda
KUD atau perwakilan dari Pemerintah daerah memiliki
setempat.
tugas tersendiri yaitu sebagai pengontrol dan penjaga
Dari sisi produksi perikanan tangkap, Potensi
keamanan TPI. di tentukan oleh Nelayan sesuai dengan
perikanan di Tulungagung adalah 10.000 ton per tahun
banyaknya hasil tangkapan. Proses transaksi jual beli
dan jumlah produksi perikanan di TPI Tulungagung
di TPI Popoh ini adalah ikan hasil tangkapan nelayan
pada tahun 2011 adalah 843.545 kg pertahunnya.
dibawa ke TPI kemudian ditimbang dan di catat oleh
Tulungagung memiliki keragaman jenis ikan seperti
pihak dari KUD dalam buku besar yang nantinya akan
Sebelah, Lidah, Manyung, Semar, Tuna, Teropong, dan
dilaporkan, kemudian harga disepakati antara nelayan
lain sebagainya. Jenis yang disebutkan di atas adalah
dan pembeli pembayaran kemudian dilakukan di
ikan yang dominan tertangkap oleh para nelayan di
tempat. Belum adanya sistem pelelangan ikan di TPI ini
Tulungagung.
menyebabkan harga ikan tidak stabil bahkan terkadang
lebih rendah dari biaya melaut itu sendiri.
TPI Popoh menjadi salah satu TPI terbesar dikota
Optimalisasi Peran Tempat Pelelangan Ikan
untuk Mendorong Pertumbuhan Sektor
Tulungagung ini memiliki banyak fasilitas yang sudah
Perikanan
disediakan oleh Pemda, namun ada beberapa fasilitas
Di Tulungagung terdapat beberapa Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) sebagai tempat berkumpul
nelayan dan mengadakan transaksi jual beli seperti TPI
Brunbun dan Popoh.
Salah satu TPI di Tulungagung ada di Pantai
Popoh yang terletak di jalur laut selatan atau Samudera
Indonesia. Tepatnya berada di Desa Besulih, Kecamatan
Besuki, Kabupaten Tulungagung. TPI Popoh merupakan
TPI terbesar di Kabupaten Tulungagung yang juga
terletak di kawasan Wisata Pantai Popoh, hal ini
dikuatkan oleh pernyataan dari pihak Dinas Kelautan
Dan Perikanan Kabupaten Tulungagung Bapak
Rohyadi. Letaknya kurang lebih 30 km dari pusat kota
yang tidak digunakan dan menjadi terbengkalai dan
ke arah selatan. Memasuki kawasan Pantai Popoh para
bahkan sudah rusak, seperti kios-kios yang disediakan
pengunjung akan dikenakan retribusi sebesar Rp.3,000,-/
12
Dari Daerah
untuk menjual hasil tangkap atau menjual souvenir,
balai pertemuan pun kini yang dialih fungsikan
menjadi gudang serbaguna oleh para nelayan setempat,
namun itu bukanlah hal yang diharapkan oleh nelayan
saat ini,para nelayan mengharapkan pembangunan
dermaga yang optimal. TPI Popoh memiliki sebuah
dermaga yang masih pada tahap penyelesaian, hal ini
menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan
karena seringkali terjadi kecelakaan pada saat perahu
sandar di dermaga. Kios-kios yang dibangun Pemda
kini terbengkalai dan menjadi bagian dari fasilitas yang
tidak berfungsi sampai saat ini, balai pertemuan yang
dibangun di TPI ini juga memiliki nasib yang sama
yaitu tidak terpakai sehingga pada akhirnya digunakan
sebagai gudang oleh para nelayan.
Dermaga menjadi salah satu fasilitas yang
sangat diharapkan oleh nelayan pantai Popoh untuk
dimaksimalkan pembangunannya, hal ini merujuk pada
beberapa kecelakaan yang terjadi di dermaga ini ketika
perahu pembawa ikan sandar sehingga seringkali
menyebabkan
berkurangnya
penghasilan
para
nelayan tidak hanya itu ombak tinggi juga seringkali
menyebabkan terbaliknya kapal para nelayan pemecah
ombak yang disediakan oleh pemda belum berhasil
membuat perahu para nelayan aman dari ombakombak tersebut. Keamanan para nelayan dipertaruhkan
di dermaga ini ketika berhadapan dengan ombak tinggi.
Pedagang ikan dari pasar sekitar pantai Popoh
selalu memenuhi TPI ini, para pembeli sebagian besar
dari pasar Besole dan Pasar Bandung. Para pembeli
dikenakan biaya Rp.5.000,- jika membeli satu keranjang
ikan atau setara dengan 50 kilogram, dan tidak terbatas
pada jenisnya. Kemudian Nelayan sendiri memiliki
bagian ikan dari hasil penangkapan yang biasa
disebut “Laukan”. Laukan tersebut menjadi hak para
nelayan karena selebihnya ikan yang ditangkap dan
di tempatkan dikeranjang adalah milik para juragan
pemilik kapal sedangkan oleh nelayan laukan tersebut
di tempatkan di plastik-plastik berukuran sedang.
Nelayan memiliki kewajiban untuk membayar kepada
bakul depan sebanyak 2,5 % dari hasil penangkapan.
Pungutan yang dibayarkan ke bakul depan
sebanyak 2,5 % dirasakan cukup memberatkan karena
ketika sedang tidak banyak hasil tangkapan mereka
tetap harus membayarkan 2,5% tersebut jika tidak bisa
dibayarkan pada hari itu mereka akan menundanya dan
menggantinya ketika mereka mendapatkan ikan pada
lain waktu. Biaya melaut yang cukup besar membuat
mereka merasa hal ini memberatkan karena tidak sesuai
dengan fasilitas yang maksimal dari TPI ini dan sekali
perjalanan melaut nelayan membutuhkan 100 liter
solar, satu liter solar seharga 4500 rupiah dan ketika
dikalikan 100 maka sekali melaut para nelayan harus
mengeluarkan 450.000 rupiah dan dikalikan 2 karena
setiap melaut nelayan harus membawa 2 buah kapal,
satu untuk menyimpan hasil tangkapan dan satunya
lagi untuk menjaring ikan.
Tempat Pelelangan Ikan adalah sebuah media
untuk para nelayan bertransaksi dan beraktifitas, hal
ini akan menjadi seimbang dan baik jika diiringin
dengan fasilitas yang tepat untuk para nelayan tidak
hanya untuk wisatawan. Pembangunan dermaga dan
fungsi dari Unit Koperasi yang di maksimalkan akan
memberikan hal yang baik untuk para nelayan sehingga
memberikan dampak yang maksimal untuk sektor
perikanan Tulungagung.
--o0o--
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik
menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll).
Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org.
Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat
menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan
submenu pemesanan perda.
Terima kasih
Bagian Keperpustakaan
13
Opini
Revitalisasi TPI Dalam Rangka Stabilisasi Harga Jual Ikan
Oleh: Illinia Ayudhia Riyadi
Peneliti KPPOD
I
ndonesia merupakan negara maritim yang besar dengan luas laut hampir 2/3 dari total luas wilayah.
Pada tahun 2011, jumlah penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan adalah sebanyak
2,7 juta jiwa dimana 89,38% di antaranya merupakan nelayan tradisional. Populasi masyarakat
nelayan yang begitu besar tersebut tidak diikuti dengan kualitas hidup yang baik. Dari 34,96 juta
jiwa penduduk miskin di Indonesia (versi BPS), 63,47% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di
kawasan pesisir dan pedesaan. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat nelayan di Indonesia masih
hidup di bawah garis kemiskinan.
Dokumentasi KPPOD
Kemiskinan yang masih melanda masyarakat
nelayan harus mendapat perhatian yang besar dari
pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan di kawasan pesisir. Salah satu aspek
penting yang menentukan tingkat kesejahteraan nelayan
adalah harga jual ikan. Para nelayan selalu berharap agar
harga jual ikan berada pada level yang tinggi sehingga
dapat menutupi seluruh biaya operasional nelayan
dan memberikan margin keuntungan bagi nelayan.
Margin keuntungan yang diperoleh tersebut tentunya
akan sangat menentukan tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat nelayan. Oleh karena itu, pembentukan
harga jual ikan haruslah berdasarkan mekanisme
pasar yang mencerminkan kekuatan penawaran dan
permintaan.
Sebenarnya, pemerintah telah berupaya membantu
menciptakan pembentukan harga jual ikan yang adil
bagi nelayan dengan menyediakan tempat pelelangan
ikan (TPI). TPI ini merupakan pasar yang biasanya
terletak di dalam pelabuhan atau pangkalan pendaratan
14
ikan. Tempat tersebut menjadi wadah pertemuan antara
nelayan sebagai produsen dengan bakul ikan sebagai
pembeli yang melakukan transaksi penjualan ikan atau
hasil laut baik secara lelang.
Idealnya, penjualan ikan dengan proses lelang
dapat menciptakan fairness, baik bagi pihak nelayan
maupun bakul ikan. Dengan adanya proses lelang dalam
penjualan ikan, maka diharapkan dapat menghindari
terjadinya asymmetric information karena melalui proses
lelang, informasi bisa diperoleh secara sempurna.
Proses lelang dapat menggambarkan willingness to pay
dari pembeli secara tepat sehingga berperan dalam
pembentukan harga yang sesuai dengan mekanisme
pasar. Para pembeli dapat saling bersaing dalam
memberikan penawaran harga sampai terbetuk harga
pada level tertentu yang merupakan titik ekuilibrium
dari kekuatan permintaan dan penawaran. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam proses pembentukan
harga tersebut, baik dari sisi permintaan (pihak
pembeli) maupun penawaran (pihak nelayan) samasama memiliki bargaining position untuk mempengaruhi
Opini
harga sehingga terbentuk harga jual ikan yang lebih
menguntungkan bagi nelayan. Lain halnya bila nelayan
langsung menjual ke bakul ikan secara sendiri-sendiri,
maka harga yang terbentuk akan jauh lebih rendah
karena nelayan tidak memiliki bargaining position dalam
penentuan harga. Dengan demikian, secara konseptual,
proses lelang dalam transaksi penjualan ikan
merupakan cara yang tepat untuk membentuk harga
yang adil dan stabil bagi nelayan maupun pembeli.
Sejarah Keberadaan TPI di Indonesia
Komoditi
perikanan
memerlukan
suatu
keseimbangan pasar yang mengarah pada penciptaan
stabilitas harga. Oleh karena itu, pemerintah harus
mengambil suatu kebijakan-kebijakan yang tepat
sasaran. Kebijakan harga pada komoditi perikanan
tujuan untuk melindungi nelayan dari permainan
seperti pada penetapan harga produksi hasil perikanan
harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon,
biasanya dilakukan dengan memperhitungkan tingkat
membantu nelayan mendapatkan harga yang layak
keuntungan yang ingin dicapai. Semakin besar margin
dan juga membantu nelayan dalam mengembangkan
keuntungan yang ingin didapat , maka menjadi tinggi
usahanya (Sulistyani, 2005). Pada dasarnya, sistem
pula harga yang ditetapkan untuk konsumen namun
dari Pelelangan Ikan adalah suatu pasar dengan sistem
diseimbangkan dengan tingkat kualitas barang.
perantara (dalam hal ini adalah tukang tawar) melewati
Kebijakan harga pada komoditi perikanan
penawaran umum dan yang berhak mendapatkan
dipandang perlu untuk diimplementasikan secara
ikan yang dilelang adalah penawar tertinggi. Dengan
riil. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian
demikian, nelayan sebagai pihak penjual merasa
Indonesia masih sering mengalami gejolak sebagai
diuntungkan karena memperoleh harga terbaik
dampak dari beberap hal, di antaranya adalah sering
dalam transaksi jual-beli ikan hasil tangkapannya.
terjadinya pergantian kabinet, keadaan politik dan
keamanan yang tidak stabil, serta kebijakan ekonomi
Tantangan Pengembangan TPI
yang sering berubah-ubah. Oleh karena itu, intervensi
Mengingat pentingnya keberadaan TPI sebagai
pemerintah dalam penetapan harga jual komoditi
tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk
perikanan menjadi salah satu hal yang penting dilakukan
melakukan transaksi secara lelang, maka transaksi
untuk melindungi kesejahteraan para nelayan.
jual beli ikan hasil tangkapan nelayan perlu diarahkan
Terdapat dua aspek yang berpengaruh langsung
untuk diselenggarakan di TPI. Ironisnya, saat ini
terhadap peningkatan kesejahteraan hidup para
nelayan
cenderung
memilih
nelayan, yaitu aspek kelembagaan
Idealnya,
penjualan
ikan
untuk
menjual
langsung
ikan
hasil
atau pranata produksi dan
tangkapan
mereka
di
atas
kapal
distribusi hasil tangkapan. Pada
dengan proses lelang dapat
masih berada di tengah laut.
saat ini, hubungan sosial yang
menciptakan fairness, baik ketika
Hal ini dikarenakan para nelayan
melingkupi kedua aspek tersebut
bagi
pihak
nelayan
maupun
tersebut sudah terlilit hutang
masih kurang menguntungkan
dengan para juragan tengkulak
bakul
ikan
bagi para nelayan. Oleh karena itu,
yang memberikan pinjaman modal
TPI dihadirkan dengan harapan
bagi mereka untuk melaut. Sebagai imbalannya, para
dapat meningkatkan penghasilan serta memberikan
nelayan tersebut harus menjual hasil ikan tangkapan
pembinaan dan pemberdayaan bagi keluarga nelayan.
mereka ke para juragan dengan harga rendah sesuai
Selain itu, unit usaha TPI dibentuk dengan tujuan untuk
yang ditetapkan oleh juragan tersebut. Kondisi ini
menstabilkan harga ikan melalui mekanisme lelang
mengindikasikan bahwa selama ini para nelayan
dalam transaksi jual beli yang diselenggarakan di sana.
masih mengalami kesulitan dalam akses permodalan.
Transaksi menggunakan mekanisme lelang
Merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB)
sebenarnya sudah berkembang sejak lama dalam
No.139
tahun 1997, 902/Kpts/PI-420/9/97, 03 SKB/M/
kegiatan perekonomian di Indonesia. Sejarah
IX/1997 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan,
lelang di Indonesia dimulai oleh East India Company
maka kepala daerah menunjuk pihak yang bertanggung
yang menyelenggarakan lelang untuk teh (1750)
jawab mengelola TPI. Dalam rangka menggiatkan
dah masih bertahan sampai sekarang di London.
kembali usaha koperasi di bidang perikanan, maka
Sejarah Pelelangan Ikan telah dikenal sejak
KUD Mina ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung
tahun 1922, didirikan dan diselenggarakan oleh
jawab dalam mengelola TPI dan menyelenggarakan
Koperasi Perikanan terutama di Pulau Jawa, dengan
15
Opini
transaksi jual beli hasil ikan tangkapan nelayan. Namun,
pada kenyataannya, hampir sebagian besar KUD Mina
yang ditunjuk sebagai pengelola TPI gagal dalam
memfungsikan TPI untuk menciptakan stabilisasi harga
jual ikan di tingkat nelayan. KUD Mina sebagai pihak
pengelola TPI tidak mampu menarik minat nelayan
untuk menjual hasil tangkapannya ke TPI. Para nelayan
kehilangan kepercayaan untuk memilih TPI sebagai
wadah untuk memasarkan hasil tangkapan mereka.
Hal ini disebabkan karena TPI yang awalnya
didirikan untuk membantu para nelayan agar terlepas
dari jeratan kemiskinan, kini justru berkembang
menjadi sarana untuk memungut retribusi oleh Pemda
kekeluargaan sehingga menciptakan ikatan kerjasama
yang kuat antara pengurus dengan anggota koperasi
untuk meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi
itu sendiri, yang notabene adalah para nelayan. Namun,
pada kenyataannya KUD Mina gagal membantu
para nelayan untuk memperoleh akses permodalan
maupun menciptakan stabilisasi harga dalam penjualan
ikan. Kegagalan tersebut tidak terlepas dari proses
pembentukan KUD Mina yang bersifat top down,
bukan hasil dari gerakan sosial-ekonomi masyarakat
nelayan. Oleh karena itu, sebaiknya kewenangan
dalam pengelolaan TPI diberikan langsung kepada
dinas perikanan daerah setempat yang secara langsung
bertanggung jawab pada bupati dalam memberikan
laporan tentang pencapaian target yang ditetapkan.
Penyerahan kewenangan pengelolaan TPI kepada
dinas perikanan setempat merupakan langkah awal
yang penting dalam serangkaian upaya revitalisasi TPI.
Dengan adanya penyerahan pengelolaan TPI di bawah
wewenang dinas perikanan setempat, diharapkan
proses transaksi jual-beli komoditi perikanan melalui
mekanisme lelang dapat terselenggara sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Pemda melalui dinas perikanan
diharapkan dapat berperan aktif sebagai juru lelang
yang memimpin langsung proses pelelangan dalam
transaksi jual-beli komoditi perikanan. Selain itu,
kehadiran Pemda sebagai pihak pengelola juga sangat
diperlukan untuk membenahi sistem pencatatan
Tingkat I, Tingkat II, dan sebagainya. Selain itu, KUD
data komoditi perikanan yang terkumpul dan terjual
Mina sebagai pihak pengelola TPI juga dianggap
melalui proses pelelangan yang berlangsung di TPI.
gagal dalam melaksanakan fungsinya. KUD Mina
Data-data komoditi perikanan yang akurat dan valid
tidak mampu menghimpun dan menyalurkan modal
sangat penting sebagai bahan evaluasi kinerja sektor
kepada para nelayan sebagai anggotanya. Akibatnya,
perikanan di daerah tersebut serta indikator penting
para nelayan justru terjebak dalam lilitan hutang dan
untuk menilai efisiensi dan efektivitas keberadaan TPI
kewajiban untuk menjual ikan hasil tangkapannya
di daerah tersebut.
kepada para juragan tengkulak. Selain itu, ternyata
Peran pemda melalui dinas perikanan sebagai
di beberapa TPI transaksi jual beli secara lelang tidak
pengelola TPI diharapkan tidak hanya sebatas untuk
terselenggara sebagaimana mestinya karena ketiadaan
menjamin terselenggaranya proses pelelangan yang
juru lelang dari pihak KUD Mina.
sesuai prosedur dan membenahi
Upaya merevitalisasi
Kondisi ini mengindikasikan
sistem pencatatan data saja,
keberadaan
TPI
agar
mampu
bahwa
pihak
KUD
Mina
melainkan juga membantu sistem
berfungsi sebagai stabilitator distribusi komoditi perikanan.
telah gagal dalam mengelola
TPI sebagai upaya untuk
harga sebagaimana mestinya. Pengaturan sistem distribusi
menciptakan stabilisasi harga.
hasil
perikanan
sangatlah
penting untuk menjaga agar
harga jual di pasar tidak mengalami penurunan secara
Pengembangan TPI ke Depan
signifikan pada saat jumlah pasokan ikan melimpah.
Berdasarkan uraian dan fakta-fakta yang telah
Oleh karena produk hasil perikanan bersifat mudah
dipaparkan sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa
rusak, maka dalam upaya membangun sistem distribusi
keberadaan TPI sangatlah penting untuk stabilisasi dan
yang baik, perlu adanya sistem penyimpanan dengan
pembentukan harga jual ikan secara adil bagi nelayan.
menggunakan cold storage yang higienis. Pengadaan cold
Namun, perlu adanya perbaikan-perbaikan di beberapa
storage membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga
aspek dalam upaya merevitalisasi keberadaan TPI agar
perlu keaktifan Pemda melalui dinas perikanan sebagai
mampu berfungsi sebagai stabilitator harga sebagaimana
pihak pengelola untuk bermitra dengan investor dari
mestinya. Salah satu perbaikan yang harus dilakukan
sektor swasta. Dengan demikian, kunci keberhasilan
adalah meninjau kembali pemberian kewenangan
revitalisasi TPI tidak hanya bertumpu pada sector
pengelolaan TPI kepada KUD Mina. Seyogyanya,
pemerintah saja, melainkan juga membutuhkan sinergi
suatu koperasi perikanan terbentuk berlandaskan azas
16
Opini
dengan sector swasta sebagai mitra usaha.
Upaya lain yang penting untuk dilakukan untuk
revitalisasi TPI adalah dengan mengusahakan untuk
menarik minat nelayan agar bersedia menjual ikan hasil
tangkapannya ke TPI. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mempermudah akses permodalan kepada para
nelayan sehingga mereka tidak perlu lagi berhutang
diharapkan keberadaan perbankan dapat membantu
nelayan terlepas dari jeratan juragan tengkulak dan
membantu para nelayan untuk belajar berinvestasi.
Revitalisasi TPI penting dilakukan untuk
mengubah pola hubungan pengusaha dengan nelayan,
agar tidak terjadi riak dalam hubungan antara nelayan,
pengusaha dan pemerintah. Hal ini bisa terjadi kalau
revitalisasi TPI juga ternyata memberikan manfaat
kepada pengusaha. Oleh karena itu, penting bagi
pengusaha industri perikanan untuk memperoleh
insentif dari pemerintah agar bersedia mendukung
TPI sebagai wadah berlangsungnya transaksi jual-beli
komoditi perikanan melalui mekanisme lelang. Insentif
diberikan kepada para pelaku usaha industri perikanan
yang membeli bahan baku di TPI melalui mekanisme
pelelangan yang berlangsung. Insentif tersebut berupa
kemudahan izin usaha, akses pasar dan pemasaran bagi
pelaku usaha pengelola industri perikanan hasil olahan
komoditi perikanan yang dibeli dari TPI. Dengan
adanya insentif tersebut, diharapkan para pelaku
usaha industry olahan berlomba-lomba untuk membeli
bahan baku melalui mekanisme pelelangan komoditi
perikanan di TPI.
dengan para penjual tengkulak. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah dengan menarik lembaga
keuangan bank (terutama bank-bank yang memang
ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyalur kredit usaha
rakyat atau KUR) atau lembaga non-bank agar mau
mendirikan kantor-kantor cabang di berbagai lokasi
TPI. Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan salah satu
contoh bank yang secara resmi ditunjuk pemerintah
untuk menyalurkan KUR. Selain itu BRI juga memiliki
instrumen perbankan simpedes (simpanan masyarakat
pedesaan) dan kupedes (kredit umum masyarakat
pedesaan) yang pengembangannya disesuaikan
dengan masyarakat setempat. Melalui instrumen
tersebut, diharapkan BRI mampu menghimpun dan
menyalurkan dana ke masyarakat nelayan. Keberadaan
kantor cabang BRI di lokasi TPI diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyaluran
permodalan kepada pihak nelayan. Dengan demikian,
Catatan Penutup
Keberadaan TPI sangatlah penting untuk
menciptakan stabilisasi melalui pembentukan harga jual
ikan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran.
Hal ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan para
nelayan dan mengembangkan potensi sektor perikanan
secara luas. Revitalisasi TPI penting untuk dilakukan
agar keberadaannya tidak hanya menghabiskan
anggaran saja, tetapi juga memberikan manfaat yang
besar bagi masyarakat nelayan maupun pelaku usaha
industri pengolahan perikanan secara luas. Dengan
demikian, keberadaan TPI nantinya tidak hanya
akan memberikan manfaat bagi nelayan, tetapi juga
turut mendorong perkembangan industri perikanan
bernilai tambah tinggi sehingga mampu meningkatkan
PDRB daerah setempat di masa mendatang.
-o0o-
Visi dan Misi KPPOD
VISI
KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan
mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Nusantara.
MISI
KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan
praktik Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi
pembangunan ekonomi Nasional.
17
Laporan Diskusi Publik
“Pengaruh Perda terhadap Aktivitas Usaha Perikanan Daerah”
Oleh: Elizabeth Karlinda
Peneliti KPPOD
T
emuan dari studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan
peraturan perundangan sektor perikanan di tingkat nasional maupun daerah yang tumpang
tindih (overlapping) berpotensi menimbulkan pungutan ganda (double taxation) dan beberapa
perda sektor perikanan yang dikaji telah melanggar aspek yuridis, substansi maupun prinsip.
Hal ini menarik untuk didiskusikan dalam suatu forum publik. Berangkat dari temuan tersebut,
KPPOD menyelenggarakan diskusi publik dengan tema Pengaruh Peraturan Daerah terhadap aktivitas
usaha sektor perikanan tangkap di daerah. Acara yang dilaksanakan pada Senin, 26 November 2012
bertempat di ruang ATC Apindo ini dihadiri oleh 42 peserta yang berasal dari berbagai kalanga, baik
Pemerintah Pusat (KKP, Kemenkeu ), pelaku usaha (GAPPINDO), lembaga donor (SEADI-USAID),
NGO pemerhati perikanan dan lingkungan hidup, serta media massa. Sektor perikanan mengalami
over-regulated dan terjadi pungutan berganda.
Dokumentasi KPPOD
Diskusi publik yang berlangsung dari pukul 10.15
hingga pukul 12.10 ini di awali dengan pemaparan hasil
studi KPPOD mengenai pengaruh peraturan daerah
(perda) terhadap aktivitas usaha sektor perikanan
tangkap di daerah. Hasil studi KPPOD dipresentasikan
oleh Ig. Sigit Murwito (Deputi Direktur KPPOD) yang
menjelaskan bahwa dari 78 perda sektor perikanan
yang dikaji memiliki pelanggaran dalam aspek yuridis,
substansi dan prinsip. Dilihat dari aspek yuridis,
sebesar 34.6 persen dari perda yang dikaji memiliki
acuan yuridis yang tidak relevan. Misalnya Perda
Kota Makassar No. 13/2011 tentang Retribusi Jasa
Usaha yang tidak mencantumkan UU 31/2004 tentang
Perikanan sebagai acuan. Sementara 17.9 persen perda
18
perikanan tersebut tidak memiliki kejelasan standar
waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standar
tarif. Contoh dari pelanggaran ini adalah Perda Lebak
No. 3/2009 tentang Retribusi izin usaha perikanan yang
tidak dijelaskan jenis pelanggaran yang berdampak
pada denda. Dari aspek prinsip, 15.4 persen perda
sektor perikanan yang dikaji memiliki dampak ekonomi
negatif. Misalnya adalah Perda Kota Makassar 10/2009
dimana retribusi dikenakan atas transaksi di TPI
berdasarkan nilai transaki (5%) dibebankan sepenuhnya
pada bakul (penjual). Temuan lainnya adalah peraturan
perundangan sektor perikanan di tingkat daerah
maupun nasional yang over-regulated berpotensi
menyebabkan double taxation atau pungutan ganda.
Laporan Diskusi Publik
Pungutan berganda di Tingkat Pusat hingga
Daerah memperlemah daya saing produk
perikanan.
Selanjutnya Bambang Suboko selaku Direktur
Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia
(GAPPINDO), sebagai narasumber yang mewakili
pelaku usaha sektor perikanan, menjelaskan bagaimana
pengaruh kebijakan daerah (perda) terhadap kegiatan
usaha perikanan. Menurutnya, salah satu faktor yang
mengakibatkan rendahnya daya saing perikanan di
pusat dan daerah adalah peraturan perundangan yang
tidak meningkatkan daya saing. Perda, Keputusan
Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota yang tumbuh
menjamur dan kebanyakan baertujuan semata-mata
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sehingga mendistorsi aktivitas usaha. Tumpang tindih
antara regulasi di tingkat pusat dengan di daerah,
juga turut mempersulit perkembangan usaha sektor
perikanan. Sebagai contoh, hasil tangkap ikan yang
telah dipungut oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan, ditingkat daerah juga masih dipungut
melalui Perda/ Keputusan Gubernur/ Keputusan Bupati/
Walikota. Hal ini mengakibatkan terjadi pungutan
ganda atas obyek pungutan yang sama yaitu oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga
mengurangi daya saing produk perikanan di Indonesia.
Perlu mendorong daerah untuk membuat Perda
yang menjamin kelestarian keanekaragaman
hayati laut.
Selanjutnya, Prof. Dr. Martani Huseini yang
merupakan guru besar Universitas Indonesia, yang
juga mantan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian
Kelautan dan Perikanan memberikan tanggapan
mengenai studi yang dilakukan oleh KPPOD.
Menurutnya, studi yang dilakukan oleh KPPOD
perlu dikategorikan atau difokuskan pada subsektor
perikanan tertentu mengingat sektor perikanan
itu sangat luas cakupannya. Selain itu, saran yang
diberikan terhadap studi KPPOD adalah perlunya
kajian terhadap perda yang bersifat non pungutan,
dan bersifat mengatur kelestarian keanekaragaman
hayati laut. Menurut beliau, di beberapa daerah telah
dikembangkan beberapa perda yang bertujuan untuk
melindungi spesies ikan dan binatang laut agar tidak
terjadi kepunahan. Tidak semua perda yang dibuat
oleh pemda berdampak buruk bagi sektor perikanan.
Beberapa perda ada yang bersifat pengaturan, yakni
perda mengenai keberlangsungan (sustainability)
ekosistem air laut, perda mengenai keselamatan
dan keamanan (safety and security), maupun perda
yang membantu kesejahteraan masyarakat nelayan.
Cotohnya adalah perda di Kabupaten Simeulue yang
mengatur penangkapan lobster dan perda Kabupaten
Jembrana mengenai alat pendeteksi letak ikan sehingga
nelayan diarahkan untuk menangkap ikan di wilayah
yang sudah dideteksi terdapat banyak ikan. KPPOD
dan stakeholder dalam diskusi tersebut sepakat agar
terus mendorong pemerintah daerah, untuk membuat
regulasi yang tidak semata-mata berorientasi pada
peningkatan pendapatan daerah, yang justru akan
memperlemah perkembangan usaha sektor perikanan.
Tetapi diharapkan juga agar daerah-daerah membuat
kebijakan yang berorientasi jangka panjang, yakni yang
dapat menjaga kelestarian keanekaragaman hayati laut,
sehinga dapat mendatangkan keuntungan baik secara
ekologis dan ekonomis yang bersifat jangka panjang.
--o0o--
PROSES PEMESANAN PERDA DI KPPOD
No.
KETERANGAN
1
Pemesan memilih Perda yang dibutuhkan dengan terlebih dulu melihat koleksi Daftar Perda KPPOD
pada menu regulasi É peraturan daerah;
2
Permintaan jenis dan jumlah Perda dapat dikirim via email [email protected];
3
Setelah menerima email pemesan Perda, KPPOD akan mengirimkan konfirmasi terkait tindak
lanjutnya, terutama menyangkut besaran biaya pemesanan dan teknis pengiriman;
A. Klasifikasi biaya berdasarkan jumlah pesanan;
l Jumlah perda 1 - 50 file, @ Rp. 30.000,-;
l Jumlah perda 51 - 100 file, @ Rp. 25.000,-;
l Jumlah perda diatas 100 file, @ Rp. 20.000,-;
Catatan: Pembayaran melalui transfer bank yang akan ditunjuk pihak KPPOD
B. Teknis pengiriman perda;
l Dikirim via email bila memungkinkan dari sisi ukuran file dan/atau jumlah perda.
l Dikirim dalam bentuk CD/DVD (bila ukuran file dan/atau jumlah perda besar) yang akan dikenakan
ongkos kirim..
19
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif
(ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik),
KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis
bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di
daerah. Saat ini, KPPOD bekerjasama dengan lembaga
beberapa donor sedang melaksanakan beberapa
kegiatan sebagai berikut.
1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPOD
dalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan Tata
Kelola Ekonomi di Indonesia
Program ini merupkan kerjasama KPPOD dengan
SEADI (Support for Economic Analysis Development in
Indonesia)-USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan
Juni 2012 hingga Mei 2013 terdiri dari beberapa
kegiatan utama, yakni
- Penelitian Tematik dari untuk memperdalam
temuan hasil penelitian TKED. Empat topik yang
dipilih merupakan pendalaman dari studi Tata
Kelola Ekonomi Daerah yang telah dilakukan
KPPOD sebelumnya. Dari bulan Juni hingga saat
ini, ada dua topik yang telah selesai dikerjakan oleh
KPPOD. Topik pertama terkait dengan hubungan
antara korupsi, belanja pemerintah daerah di
sektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur
daerah. Sementara topik kedua merupakan topik
yang dibahas pada KPPPOD Brief Edisi ini yakni
terkait peraturan daerah khusunya di sektor
perikanan tangkap. Selain itu, topik ketiga yang
pada bulan Febuari 2013 akan dikerjakan pada
awal bulan Febuari dengan tema yang terkait
dengan isu buruh.
- Lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemda
dalam Pembuatan Peraturan Daerah. Kegiatan ini
dilaksanakan pada 29-31 Desember 2013. Lokalatih
tersebut mengangkat tema ‘Penguatan Kapasitas
Pemda dan DPRD dalam Pembuatan Perda’.
- Bisnis Forum: Merupakan kegiatan yang
mempertemukan antara beberapa Pemda dengan
Investor potensial. Pemerintah daerah diberi
kesempatan untuk mempresentasikan potensi
investasi daerahnya di hadapan forum bisnis.
Kegiatan ini direncakanan dilaksanakan pada
akhir bulan Juni 2013.
20
2. Penguatan Iklim Investasi bagi Peningkatan Rantai
NIlai Usaha Kakao
Pada program ini, KPPOD mencoba bergerak
langsung di salah satu sektor utama perkebunan.
Komoditas kakao dipilih mengingat komoditas
tersebut merupakan komoditas utama ekspor
Indonesia sekaligus komoditas yang menjadi program
pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melalui
Gernas Pro Kakao. Program yang dilakukan di dua
daerah, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara
Timur dan Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi
Barat dimulai dari bulan Oktober 2012 dan berakhir
di bulan September 2013. Pada bulan November 2012,
telah dilakukan kick off meeting dan penelitian awal
(need assessment) di dua daerah tersebut. Selanjutnya,
di bulan Januari atau Februari 2013 akan diadakan
Focus Group Discussion (FGD) dimana dalam forum
tersebut dipaparkan hasil temuan awal studi. FGD
yang dihadiri oleh stakeholder terkait tersebut,
diharapkan dapat menghasilkan kesepakan rencana
tindak lanjut program kakao ke depan di masingmasing daerah.
3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, dan
Indikator) pembentuk Indeks Good Governence
Provinsi di Indonesia 2013.
Program ini merupakan kerjasama KPPOD dengan
Kemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan
pembobotan prosedur pembentuk Indeks Good
Governence Provinsi di Indonesia.
4. Penyusunan Instrumen needs assesment guna
mendorong penerapan prinsip integritas dalam
penyelenggaraan proses barang/jasa.
Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskan prinsipprinsip integritas yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia dan mengembangkan model insentif
apa yang dapat mendorong pelaku usaha untuk
menginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebut
dalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa.
Pelaksanaan needs assesment ini melalui kegiatan
FGD yang dilakukan di 5 Propinsi yaitu DIY, jawa
Barat, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Sulawesi
Selatan
Seputar Otonomi
Ikhtisar Otonomi November-Desember 2012
Masih soal Pembahasan RUU Pemda
Perkembangan pada level kebijakan desentralisasi
3 bulan terakhir masih ditandai berlangsungnya proses
pembahasan RUU Pemda sebagai revisi atas UU No.32
Thn 2004 yang berlaku saat ini. Atas draft usulan
Pemerintah, fraksi-fraksi di DPR mengajukan daftar
inventarisasi masalah (DIM) yang kalau dikompilasi
berjumlah 1.493 isian masalah. Dalam perkembangan
lebih lanjut, Pansus DPR sepakat untuk tidak
membahas 792 diantaranya lantaran pendapat fraksifrasi tersebut hampir sama dengan usulan pemerintah.
Artinya, yang masuk dalam pembahasan PAnsus dan
diperdalam di Panja DPR sebanyak 711 DIM di mana
terdapat perbedaan pandangan dan pendapat antara
Pansus DPR dengan pemerintah. Akhir Desember ini,
pembahasan dihentikan karena Dewan memasuki masa
reses, dan akan kembali ke meja pembahasan pada
putaran masa sidang berikutnya di bulan Januari 2013.
Prihal proses pembahasannya, sebagaimana
dikatakan Ketua Pansus Totok Daryanto, RUU Pemda
menjadi prioritas karena menjadi acuan dan induk bagi
pengaturan otonomi daerah. Seluruh aturan yang terkait
dengan penyelenggaraan otonomu daerah, termasuk
RUU Desa dan RUU Pilkada, harus sesuai dengan
aturan dalam RUU Pemda. Targetnya, bulan Maret atau
April 2013, RUU Pemda yang baru akan selesai dibahas
dan dimajukan ke Rapat Paripurna untuk disetujui.
Pembentukan 12 Daerah Otonom
Baru (DOB) di Akhir Tahun 2012
Komisi II DPR dan Pemerintah telah membahas
19 calon DOB dan akhirnya mengesahkan 12 DOB
yang terdiri atas 1 Provinsi dan 11 Kabupaten pada
bulan Desember ini, yakni: Provinsi Kalimantan
Utara (Kalimantan Timur), Pesisir Barat (Lampung),
Pangandaran (JaBar), Pegunungan Arfak (Papua
Barat), Manokwari Selatan (Papua Barat), Mahakam
Ullu (Kalimantan Timur), Penukal Abab Lematang
Illir (Sumatera Selatan), Malaka (NTT), Pulau Taliabu
(Maluku Utara), Mamuju Tengah (Sulawesi Barat),
Banggai Laut (Sulawesi Tengah), dan Kolaka Timur
(Sulawesi
Tenggara).
Pemerintah
menegaskan,
pemekaran daerah harus ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, pelayanan publik, dan tata kelola
pemerintahan. Jika gagal menyejahterakan rakyat, DOB
akan dihapus dan digabung kembali dengan daerah
induk. Dengan demikian, jumlah Kabupaten/Kota
di Indonesia hari ini adalah 504 Daerah, sementara
Propinsi sebanyak 34 daerah. Pada masa sidang Januari
2013, DPR akan kembali mendesak Pemerintah untuk
menyetujui pembentukan 7 DOB lainnya lagi. Mari kita
tunggu.
Politik Kekeluargaan di Daerah
Politik kekeluargaan--menguatnya pengaruh
tokoh politik dan keluarganya--kini semakin menguat
di daerah. Fenomena ini ditandai dengan kian banyak
Kepala Daerah yang digantikan oleh istri, anak, krabat
atau yan gsecara umum disebut dinasti keluarga.
Sayangnya, mantan kepala daerah itu pun tetap
membayangi keluarganya yang kini menjabat. Hal ini
bisa dijumpai di Kab. Lampung Selatan (Lampung),
Kota Cilegon (Banten), Kab. Indramayu, Kota Cimahi
(JaBar), Kab. Kendal (Jawa Tengah), Kab. Bantul (DI
Yogyakarta), Kab. Kediri (JaTim), Kab. Tabanan (Bali),
dan Kab. Kutai Kartanegara (KalTim). Menguatnya
politik kekeluargaan di daerah tidak terbatas digantikan
oleh istri ataupun anaknya tetapi juga dari penguasaan
jabatan publik oleh sejumlah keluarga. Bahkan, ada
pula yang seperti menyebarkan anggota keluarganya
untuk meraih jabatan.
Masih terkait Pilkada, pada sisi lain Pemerintah
saat ini mewacanakan untuk memberlakukan
percepatan atau sebaliknya memundurkan jadwal
penyelanggaraan 43 Kepala daerah yang jatuh tempo
masa jabatan pada tahun 2014. Sebagaimana yang
kita ketahui, pada tahun 2014 itu kita m emiliki dua
perhelatan politik penting: Pileg dan Pilpres, di mana
sesuai ketenuan bahwa enam bulan sebelum perhelatan
nasional tersebut tidak dibolehkan adanya Pemilulkada.
Wacana Pemerintah ini belum mendapatkan dasar
hukum karena masih alotnya pembahasan mengenai
hal ini di internal Pemerintah, antara Pemerintah dan
Pemda maupun adanya keterlibatan pihak legislative
dan KPU yang merasa berhak pula untuk terlibat dalam
pembahasan isu tersebut.
--o0o--
21
SEKILAS KPPOD
Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah”
yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for
Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember
2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan
suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di
kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui
kesertaan para figur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen
Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat
latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD
merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media
massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini.
Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya,
KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebijakan yang
bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi
terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara
menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka
pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk
mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah.
Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya
pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan
kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan
pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik),
KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata
kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.
--o0o--
WILAYAH ISU KPPOD
PEMBANGUNAN
EKONOMI
TATA KELOLA
EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA
KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan
(pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan
kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
22
Tarif Pemasangan Iklan
di KPPODBrief
Terbit 1 kali tiap 2 bulan, dengan jumlah 2000 eksemplar dan didistribusikan ke
Gebernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat, Asosiasi Bisnis,
Kedutaan Besar, NGO, Perguruan Tinggi dll
Biaya iklan
l
l
l
l
l
Full color cover depan dalam satu halaman Rp. 7.500.000,Full color cover belakang luar satu halaman Rp. 5.500.000,Full color cover belakang dalam satu halaman Rp. 4.000.000,One color cover satu halaman isi Rp. 3.500.000,One color cover setengah halaman isi Rp. 2.000.000,-
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Regional Autonomy Watch
Permata Kuningan Building 10th Fl.
Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C
Guntur Setiabudi
Jakarta Selatan 12980
Phone : +62 21 8378 0642/53
Fax : +62 21 8378 0643
www.kppod.org
http://perda.kppod.org
http://pustaka.kppod.org
Download