SEKOLAH SEPAK BOLA “PLUS” VERSI KORPORASI: Studi Kasus

advertisement
1
SEKOLAH SEPAK BOLA “PLUS” VERSI KORPORASI:
Studi Kasus Tentang Penanaman Nilai Karakter Bangsa
Di Pertamina Soccer School
Oleh: Muhammad Nurul Fajri
Sosiologi FISIP UI Program S1 Reguler
muhammad.nurul01.ui.ac.id
Abstrak
Kontribusi peran korporasi melalui CSR dalam ranah pembinaan pesepak bola usia muda merupakan
fenomena baru. Dalam hal ini kebanyakan lebih terlihat pada peran state atau pemerintah dan sekolah
sepak bola (SSB) pada umumnya. Adanya Peran korporasi PT Pertamina Persero membahas mengenai
proses penanaman nilai-nilai, peran agen sosialisasi dan potensi mobilitas sosial yang terjadi di Pertamina
Soccer School (PSS). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan berupa
wawancara dan observasi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa PSS merupakan wujud konkret
dari model pembangunan society centered yang dijalankan oleh program CSR PT Pertamina Persero. Melalui
mekanisme rekrutmen yang objektif, PSS berpotensi sebagai sarana mobilitas sosial vertikal. Selain itu ciri
khas PSS sebagai sekolah sepak bola yakni memiliki tujuh nilai karakter bangsa yang disosialisasikan
kepada anak-anak meliputi nilai tanggung jawab, kedisiplinan, kejujuran, religi, persahabatan, menghargai
prestasi, dan kepedulian lingkungan. Selective exposure merupakan tahapan proses sosialisasi yang dominan
di PSS, di mana anak hanya diberikan penjelasan untuk bersikap dan berperilaku seperti yang diharapkan
oleh agen sosialisasi. Dalam proses internalisasi nilai, anak cenderung bersikap menerima apa adanya (taken
for granted) nilai dan norma yang disosialisasikan.
Kata Kunci;
Peran korporasi, proses penanaman nilai-nilai, sarana mobilitas vertikal
Abstract
The role of corporate trough corporate social responsibility in the field of youth soccer development is the
new phenomenon. In this case that state or goverment and soccer school have a main role to gain the
young footballers. The role of PT Pertamina Persero is as agent of socialization in sharing values and as a
tool to social mobility. This research uses qualitative approach to collect data with indepth interview and
observation. This result shows that PSS is the real form of the model development based on society
centered have be done by corporate social responsibility program of PT Pertamina Persero. Through the
objective of mechanism recruitment, PSS can be as means of vertical social mobility. In addition, the
characteristic of PSS as soccer school has seven of nation character socialized to children, namely
responsibility, discipline, honesty, religious, friendship, respect for achievement, caring environment.
Selective exposure is the dominant stage of socialization process, which children only are given
explanation to act and behave as expected by agents of socialization. The process of internalization,
children tend taken for granted about norms and values that are socialized.
Keywords;
The role of corporate, socialization, vertical social mobility
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
2
Pendahuluan
Semakin berkembang pesatnya sekolah sepak bola (SSB) yang ada di Indonesia (Jakarta)
tidak terlepas dari fenomena pesepak bola profesional di luar negeri yang menjadi bintang sepak
bola dunia seperti Lionel Messi, Andres Iniesta, dan Xavi Hernandez. Sebut saja akademi klub
sepak bola di Eropa Barat yakni akademi klub Barcelona “La masia” atau sekolah sepak bolanya
klub Barcelona - Spanyol yang menjadi akademi sepak bola terbaik di dunia. Dalam
pengelolaanya, akademi tersebut tidak hanya belajar sepak bola, akan tetapi mengajarkan anakanak pendidikan akademik. Melalui pembentukan kepribadian (nilai-nilai) yang baik sehingga
akademi tersebut dapat menjadi sarana mobilitas sosial (bola.kompas.com). Hal ini pun juga
tercermin dari keberadaan jenis SSB yang di Indonesia (Jakarta) yakni SSB nasional dan SSB
internasional dilihat dari pembinaan pesepak bola usia muda. SSB nasional contohnya lebih
merepresentasikan SSB yang cenderung mudah dijangkau secara biaya oleh kalangan masyarakat
menengah ke bawah. Akan tetapi kualitas yang ditawarkan tidak sebagus SSB internasional seperti
status kepelatihannya ada yang hanya sebagai guru olahraga (duniasoccer.com). Berbeda dengan SSB
internasional walaupun lebih fokus pada kalangan masyarakat menengah ke atas, akan tetapi
melihat perkembangannya SSB ini dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak Indonesia
untuk dapat mengeyam pelatihan sepak bola dari pelatih dan kurikulum berkualitas internasional.
Berangkat dari jenis SSB yang hanya bersifat profit oriented di Indonesia (Jakarta) serta
adanya akademi sepak bola yang menciptakan keberhasilan pesepak bola di luar negeri menjadi
bintang sepak bola dunia. Dalam tulisan ini memfokuskan dari salah satu SSB di Jakarta yakni
SSB nasional yang bernama Pertamina Soccer School (PSS). PSS merupakan SSB yang didirikan oleh
korporasi PT Pertamina Persero sebagai program CSR yang bekerjasama dengan Pertamina
Foundation di bidang pendidikan dan tidak bersifat profit oriented. Sekaligus menjadi fenomena baru
bahwa dalam kontribusi suatu korporasi tidak melulu terkait dengan sponsorship klub sepak bola
melainkan dapat bermain di ranah pembinaan pesepak bola usia muda. Hal ini lah juga menjadi
model program CSR dari PT. Pertamina Persero sekaligus model kontra dari adanya jenis SSB
yang lebih mementingkan suatu komoditas pasar, entah itu profit oriented, branded, ataupun ingin
mendapatkan juara serta hanya untuk mendapatkan akses menjadi pesepak bola profesional tanpa
melihat pembinaan dan penanaman nilai-nilai kepada pemain dalam sepak bola. Disisi lain ini
merupakan ciri khas dalam PSS bahwasannya dalam pembinaan pesepak bola usia muda tidak
hanya belajar sepak bola, mereka yang bergabung juga dididik secara mental dan sikap
(bolanews.com).
Adapun studi yang dilakukan Andreas (2013) mengenai olahraga khususnya sepak bola
yakni kemunculan SSB internasional seperti Liverpool International Soccer Schools atau (LISS)
ternyata digunakan untuk mengisi waktu luang, pembelajaraan nilai-nilai kedewasaan, dan
memperoleh nilai-nilai keterampilan dalam kelompok sosial yang hanya bagian dari kurikulum
terselubung SSB tersebut serta memperkuat reputasi dari status sosial mereka. Dalam tulisan ini
ingin melihat munculnya PSS merupakan langkah awal suatu peran korporasi yang mana terdapat
proses penanaman nilai dan rekrutmen yang lebih obyektif terutama dalam penerapan formal
kurikulum yang tidak dimiliki SSB lainnya. Implikasinya adalah PSS juga dapat menjadi sarana
mobilitas sosial kepada anak-anak. Tulisan ini juga ingin membandingkan bahwa adanya jenis SSB
nasional maupun internasional terkait proses penanaman nilai kepada anak-anak, bahwa rata-rata
pelatih dalam jenis SSB tersebut hanya ingin menargetkan bahwa pemain yang ada di salah satu
jenis SSB tersebut hanya ingin juara, tanpa menyiapkan pemain untuk dapat memiliki perilaku
yang baik (liputan6.com). Hal ini berbeda dengan PSS, di mana dalam menanamkan nilai-nilai
kepada anak-anak lebih mengedepankan sport science yang merupakan mengemban misi dan
menjadi pusat unggulan dalam membangun karakter nasional. Sekaligus mencetak pesepak bola
muda yang tangguh, berkarakter, serta menjadi kebanggaan bangsa (Laporan Tahunan Pertamina
Foundation, 2012).
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang mana untuk dapat melihat pola
hubungan antara anak-anak dengan agen-agen sosialisasi dalam pembinaan pesepak bola usia
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
3
muda di Pertamina Soccer School (PSS). Dalam hal ini terkait penanaman nilai-nilai yang diterapkan
oleh agen tersebut guna memberikan pemahaman mendalam mengenai sosialisasi, proses
internalisasi nilai yang anak-anak jalankan di PSS. Lebih jauh untuk memperoleh data secara
komprehensif, selain itu juga dalam tulisan ini ingin melihat mekanisme rekrutmen yang objektif
oleh PSS sebagai sarana untuk anak-anak yang berpotensi mewujudkan mobilitas sosial, dimana
hal-hal tersebut bersifat kualitatif.
Selain itu teknik pengambilan data dalam tulisan ini di lakukan melalui data sekunder
seperti studi pustaka yang dilakukan penelitian sebelumnya serta laporan-laporan yang berasal dari
artikel-artikel website mengenai SSB Pertamina Soccer School dan mengenai SSB lainnya. Sedangkan
data primer seperti observasi dilihat melalui aktivitas-aktivitas anak-anak yang dijalankan di
asrama Pertamina Soccer School, aktivitas staf-staf dalam bekerja dan fasilitas lapangan yang sangat
modern, serta keadaan kantor Pertamina Foundation. Selanjutnya wawancara mendalam dengan
membuat pedoman wawancara terkait topik penelitian. Tidak lupa alat perekam suara dan buku
catatan untuk hal-hal yang dianggap penting dan memberikan souvernir untuk informan sebagai
tanda terima kasih. Terakhir tahap pengkodean (coding) data terdiri dari penafsiran data primer dan
sekunder, proses penyatuan (unityzing, kategorisasi, penafsiran data, analisa data dan tahap
penarikan kesimpulan (Moleong 2000).
Peran Korporasi Dan Jenis Sekolah Sepak Bola Dalam Pembinaan Pesepak Bola
Usia Muda
Dalam tinjauan pustaka yang sejenis di sini pada dasarnya berguna untuk melihat
positioning dari hasil tulisan yang sudah dilakukan berikut studi-studi yang relevan antara lain Munir
(2006), Hilarius (2009), Julianto (2011), Andreas (2013). Untuk studi Munir (2006) dan Hilarius
(2009) menjelaskan bahwa korporasi yang berperan adalah Gudang Garam dan adanya
keterlibatan peran state sebagai penyalur dana CSR (sponsorhip) dan dana APBD untuk pengelolaan
klub sepak bola profesional yakni Persik Kediri sebagai alat politik dan pelengkap pemerintah
daerah. Sedangkan dalam tulisan ini lebih memilih adanya peran swasta yang terlibat dalam ranah
olahraga sepak bola yakni PT Pertamina Persero sebagai penyedia dana tunggal yang bersifat
keberlanjutan (sustain) dan bermain dalam ranah pembinaan pesepak bola usia muda dengan
periode tiga tahun. Selanjutnya dalam studi Julianto (2011) dan Andreas (2013) lebih menjelaskan
bahwa sekolah sepak bola memiliki keterkaitan dengan keberadaan klub seperti klub sepak bola
Union Makes Strength (UMS) dan Liverpool FC yang memberikan lisensi SSB bernama Liverpool
International Soccer Schools (LISS). Kedua studi tersebut memfokuskan bahwa keberadaan sekolah
sekolah sepak bola tersebut dapat menjadi sarana mobilitas sosial tanpa melihat penanaman nilainilai kepada anak-anak. Sedangkan tulisan ini memfokuskan bahwa adanya sekolah sepak bola
seperti Pertamina Soccer School (PSS) tidak hanya dapat berpotensi menjadi sarana mobilitas sosial,
akan tetapi berimplikasi pada metode pembinaan nilai-nilai yang di tanamkan oleh anak-anak.
Sosialisasi dan Proses Internalisasi Dalam Penanaman Nilai-Nilai
Vembrianto (1990) menyatakan proses belajar dalam sosialisasi terdapat proses
akomodasi di mana individu menahan, atau mengambil impuls-impuls dalam dirinya dan
mengambil alih, atau cara hidup, atau kebudayaan masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi,
individu mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola nilai, dan tingkah laku, maupun standar
tingkah laku dalam masyarakat di mana ia hidup. Semua sikap dan kecakapan yang dipelajari
individu dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan sistem
pribadinya. Kemudian menurut Fuller dan Jacobs (1973) terdapat empat agen sosialisasi utama
dalam kehidupan seseorang, yaitu: keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa. Dalam
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
4
tulisan ini lebih membahas konsep sosialisasi dari beberapa tokoh yang relevan serta agen
sosialisasi dan bentuk sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak.
Selanjutnya Farley (1992) menjelaskan bahwasannya terdapat proses sosialisasi yang
dapat membentuk pikiran dan perilaku orang yang disosialisasikan. Pertama, penjelasan yang
selektif (Selective Exposure) yakni anak diberikan penjelasan mengenai sikap dan perilaku yang
diharapkan dan dilindungi dari hal yang tidak diharapkan. Kedua, modelling yakni proses di mana
anak meniru perilaku yang seringkali diulangi (repeatedly) dan ditunjukan secara sistematis
(systematically Exposed) yang menjadi imitasi seperti perilaku menjadi kebiasaan. Ketiga, penghargaan
dan Hukuman (Reward and punishment) ketika anak meniru dan mengulangi significant others,
significant others tersebut merespon dengan memberi persetujuan. Dalam hal ini terdapat ganjaran
atau hukuman atau penghargaan yang diberikan. Keempat, pemeliharaan dan identifikasi
(Nurturance and Identification) perasaan positif yang membuat anak menginginkan untuk menjadi
seperti orang tersebut. Perasaan ini sebagian besar dibangun oleh pemeliharaan perilaku yang
diarahkan agen sosialisasi kepada anak. Dari keempat proses sosialisasi di atas, terdapat tiga
proses sosialisasi yang relevan yang dapat di masukan dalam analisa tulisan ini. Penulis
menetapkan bahwa proses selective exposure, modeling dan reward-punishment yang relevan dalam
melihat proses penanaman nilai-nilai yang dilakukan oleh agen-agen sosialisasi di Petamina Soccer
School (PSS).
Selain itu juga dalam proses internalisasi nilai Berger dalam Samuel (2012) mengemukakan
bahwasannya realitas sosial bergerak dalam tiga proses utama yakni eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Pertama, dalam proses eksternalisasi terdapat dua aspek penting dalam memunculkan
masyarakat yakni adanya habitualisasi dan tipifikasi. Habitualisasi dalam terminologi Berger adalah
pengulangan tindakan atau aktivitas oleh manusia. Intinya manusia cenderung mengulangi
aktivitas yang pernah dilakukannya dan akhirnya terbiasa dengan tindakan-tidakannya. Sedangkan
tipifikasi (menciptakan asumsi-asumsi standar dalam konstruksi sosial) atas aktivitas yang
mengalami habitualisasi yang mana tidak hanya berlangsung pada satu atau dua orang saja, tetapi
melibatkan semua manusia. Kedua, Objektivasi yang terdapat aspek yang bernama signifikasi
(signification) alasan Berger dalam Eriyanto (2008) menganggap bahasa itu memiliki kedudukan
yang fundamental yakni bahasa sebagai cara/alat agar dapat mewariskan suatu realitas sosial
untuk diwariskan kepada orang lain dan pada proses ini terdapat legitimasi terkait dengan norma,
nilai, dan kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat. Ketiga, internalisasi dapat diartikan sebagai
proses manusia memerhatikan dunia yang sudah dihuni oleh sesamanya, Namun internalisasi
tidak berarti menghilangkan kedudukan objektif dunia tersebut seperti institusi sosial dan tatanan
institusional secara keseluruhan dan menjadikan persepsi individu berkuasa atas realitas sosial.
Proses internalisasi pada dasarnya berlangsung seumur hidup manusia ketika ia mengalami
sosialisasi primer maupun sosialisasi sekunder. Dalam tulisan ini menegaskan bahwa ketika sudah
melewati tahap proses sosialisasi, penulis ingin memperdalam lagi bagaimana cara-cara dan sikap
yang di tekankan atau di bentuk oleh agen-agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai kepada
anak-anak di Pertamina Soccer School (PSS).
Implikasi Teori Stratifikasi Sosial dan Mobilitas Sosial
Dalam teori stratifikasi sosial, menurut Svalastoga (1989) Weber menjelaskan bahwa ada
tiga dimensi yang berperan dalam pembentukan sistem stratifikasi sosial di masyarakat, yaitu
kelas, status, dan kekuasaan. Dalam dimensi kelas, merupakan kelompok sosial pada masyarakat
yang mempunyai strata yang sama dalam hal kekayaan dan pendapatan. Weber menjelaskan
bahwa adanya kelompok kelas tertentu biasanya berada dalam situasi kelas (class situation) yang
kemungkinan memiliki kesempatan dalam memasok barang, kesempatan hidup yang lebih baik,
dan kesempatan ini ditentukan dengan sejumlah kekuasaan (power) (Jeffries & Ransford 1980:90).
Dimensi selanjutnya adalah kelompok status, di mana dimensi tersebut merupakan dimensi yang
diungkapkan Weber (1978) yang merujuk pada kehormatan status seseorang yang didasarkan
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
5
pada gaya hidup, pendidikan, prestise pekerjaan. Bahkan, orang yang memiliki atau tidak memiliki
pemilikan bisa berada dalam kelompok status yang sama, dan menunjukkan gaya hidup yang
serupa (Irawati,2012, p.19). Bahkan, menurut Bourdieu (1994), status kehormatan (prestige)
merupakan bagian yang penting dalam sistem stratifikasi masyarakat modern (Calhoun, Light,
Keller, 1989, p.214). Dimensi terakhir, Weber mengungkapkan dimensi ketiga dalam sistem
stratifikasi sosial adalah party yang merujuk pada bentuk kekuasaan. Menurut Weber, dimensi
ketiga ini lebih merujuk pada dimensi politik (Schaefar 2009:130).
Dari penjelasan di atas, bahwa sistem stratifikasi sosial terbagi menjadi dua berdasarkan
sifatnya, yaitu sistem stratifikasi tertutup dan sistem stratifikasi terbuka (Schaefar 2009:145).
Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada sistem stratifikasi sosial terbuka yang merujuk
bahwa posisi setiap individu atau kelompok dipengaruhi oleh oleh bentuk status pencapaian yang
diraihnya. Salah satunya didasarkan padan achieved statuses, di mana status yang didapatkan
merupakan hasil dari usaha individu dan prestasi yang dicapai (Calhoun, Light, Keller, 1989,
p.234). Hal ini menunjukkan bahwa tiap individu memiliki kesempatan untuk menempatkan
posisi tertentu dalam kelompok sosial, tetapi disertai bentuk kompetisi atau persaingan dengan
yang lainnya. Selanjutnya, dalam mencapai mobilitas vertikal terdapat mobilitas intergenerasi yang
merujuk pada perubahan posisi sosial anak dengan orang tua. Selain itu juga terdapat beberapa
alasan mobilitas sosial dapat terjadi pada setiap individu atau kelompok yakni adanya motivasi
individu. Menurut Lipset dan Zetterberg (1996), ego/ambisi seseorang berperan dalam
mendorong seseorang untuk mempertahakan atau menaikkan posisi sosialnya. Sedangkan
menurut Horton dan Hunt (1992) juga terdapat perbedaan kemampuan masing-masing individu
dalam memengaruhi tingkat mobilitas sosial seseorang. Dapat di simpulkan bahwa dalam tulisan
ini juga pada level tataran makro untuk melihat mekanisme rekrutmen anak-anak dalam rangka
menyeleksi menjadi pemain Pertamina Soccer School (PSS). Implikasi dari teori stratifikasi sosial
dengan adanya penanaman nilai-niai (proses pembinaan) ke anak-anak nantinya dapat
berpontensi membuka potensi mobilitas vertikal.
Peran Korporasi “Sorot Kontribusi” Pembinaan Pesepakbola Usia Muda
Dalam tulisan ini menjadi pengantar bahwa maraknya kontribusi yang dilakukan peran
aktor-aktor pembangunan seperti state (Negara), market (pasar/korporasi) dan masyarakat sipil
(society) melalui ranah olahraga sepak bola membuktikan terdapat perubahan yang berarti bagi
setiap individu (Martinusen 1997). Pembinaan pesepak bola yang biasa di jalankan oleh peran state
(Negara) di sini memperlihatkan bahwa posisi yang dominan beralih pada peran korporasi yang
berkembang pada saat ini. Hal tersebut pada dasarnya ditentukan pada beberapa model
pembangunan di antaranya model state centered dan society centered (Hilarius 2009:56). Tulisan ini
menemukan bahwa model yang dijalankan adalah menggunakan model society centered. Salah
satunya adalah peran korporasi yang memasuki ranah pembinaan pesepak bola usia muda yang
merupakan wujud kepedulian dalam pengembangan olahraga sepak bola yang banyak digemari
oleh masyarakat Indonesia. Kontribusi yang diberikan adalah dengan memanfaatkan program
CSR mereka. Umumnya korporasi lebih menjanjikan lewat CSRnya dengan bermain di olahraga
prestasi seperti menjadi sponsorship, pemilik saham klub, dan sebagainya contohnya PT Gudang
Garam Tbk, PT Panasonic Gobel Indonesia dan sebagainya. Akan tetapi dalam tulisan ini
memfokuskan terdapat peran korporasi yang menjadi “sorot” akan keseriusan pembinaan
pesepak bola usia muda yakni PT Pertamina Persero. Korporasi tersebut sebagai model society
centered di mana mendirikan sekolah sepak bola bernama Pertamina Soccer School (PSS) yang
merupakan program CSR Pertamina berkerjasama dengan Pertamina Foundation.
Inilah yang dapat dikatakan “sorot” dari kontribusi yang dijalankan oleh peran korporasi
yang merupakan paket lengkap untuk berbicara banyak dalam ranah pembinaan pesepak bola usia
muda. Melalui Pertamina Soccer School (PSS) anak-anak yang sudah lolos dalam seleksi dapat
mengikuti mekanisme yang ada di PSS. Beberapa kontribusi yang diberikan oleh PSS akan
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
6
kepedulian terhadap anak-anak dalam proses pembinaan di antaranya mengikuti sistem
boardingschool yakni anak-anak dapat tinggal selama tiga tahun di asrama yang sudah tersedia.
Sedangkan untuk sistem pendidikan formalnya anak-anak dapat merasakan sistem homeschoolling
yang menjamin masa depannya seperti anak-anak pada umumnya. Selanjutnya anak-anak dalam
menjalankan pembinaan pesepak bola usia muda di PSS. PSS memiliki ciri khas tersendiri yang
tidak dimiliki oleh SSB lainnya yakni adanya penanaman nilai-nilai yang di adopsi menjadi
kurikulum tujuh karakter bangsa. Proses di tanamkan anak-anak merupakan proses yang terjadi
secara implisit dari aktivitas yang dijalankan oleh anak-anak mampu diterapkan sesuai apa yang
dibutuhkan oleh olahraga sepak bola.
Awal Menanamkan Nilai-Nilai Ke Anak-Anak Di Pertamina Soccer School
Temuan yang ada dalam tulisan ini memfokuskan pada kurikulum tujuh karakter bangsa
yang ingin dibentuk oleh Pertamina Soccer School untuk anak-anak binaannya. Salah satunya adalah
dengan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak melalui tujuh karakter yang menjadi ciri khas
sekolah sepak bola tersebut diantaranya peduli terhadap lingkungan, tanggung jawab, disiplin,
jujur, religi, bersahabat dan menghargai prestasi atau menghormati.
Gambar 1: Tujuh Nilai Karakter Bangsa
Sumber: hasil observasi penulis dan pertaminasoccerschool.com
Secara garis besar, Pertamina Soccer School merupakan agen sosialisasi utama yakni
mempuyai posisi sebagai “sekolah” dalam mengatur perkembangan pribadi masing-masing
individu sekaligus bentuk sosialisasi sekunder yang terdapat dalam suatu institusi (sekolah di sini
tidak hanya guru melainkan terdapat beberapa agen sosialisasi). Di dalamnya turut juga membantu
agen-agen sosialisasi atau significant others yang terlibat seperti peran kepala asrama dan petugas
piket yang merupakan agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di asrama.
Guru yang lebih terfokus pada aktivitas anak-anak di homeschoolling dan peran pelatih dan staf
divisi kompetisi yang biasa menjalankan peranannya di lapangan. Inilah yang menurut Fuller dan
Jacobs (1973) bahwa terdapat agen sosialisasi utama yang menjadi patokan untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari individu dalam bersosialisasi.
Awal menanamkan nilai-nilai ke anak-anak dalam menerapkan kurikulum tujuh karakter
bangsa dalam tulisan ini adalah suatu proses sosialisasi yang dapat membentuk pikiran dan
perilaku yang disosialisasikan oleh agen-agen sosialisasi. Di sinilah Farley (1992) menetapkan
empat proses sosialisasi sebagai berikut: selective exposure, modelling, reward and punishment, serta
nurturance and identification. Dari keempat proses sosialisasi tersebut yang digunakan untuk
menjelaskan penanaman nilai-nilai tujuh karakter bangsa. Nyatanya terdapat salah satu proses
sosialisasi yang dominan seperti proses selective exposure dibandingkan dengan proses yang lainnya.
Bahkan ada juga proses sosialisasi yang tidak relevan seperti nurturance and identification. Hal
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
7
tersebut dikarenakan agen-agen sosialisasi lebih fokus membentuk karakter anak-anak saja sebagai
awal menanamkan nilai-nilai di PSS.
Disinilah terdapat agen-agen sosialisasi yang lebih menekankan proses selective exposure
(dominan). Pertama, peran kepala asrama dan petugas piket di asrama yang mana untuk melakukan
proses selective exposure dalam menanamkan tujuh nilai karakter bangsa. Peran petugas piket di sini
adalah memberikan penjelasan mengenai sikap seperti bahwa anak-anak dapat menjalankan
aktivitas keagamaan seperti salat subuh berjamaah, mengaji seminggu dua kali, serta melakukan
doa sehari-harinya agar dapat terbiasa dan menerapkan perilaku yang diharapkan dari agen
sosialisasi tersebut. Sehingga mereka mempuyai kontrol dan fondasi dalam berperilaku seharihari. Selain itu juga juga peran kepala asrama yang memberikan penjelasan sikap ke anak-anak
agar dapat membersihkan kamar setiap pekannya yakni dengan melaksanakan aktivitas “Sabtu
Bersih”. Anak-anak juga di biasakan setelah makan untuk menyuci piring dengan membuat jadwal
piket setiap seminggu sekali. Dan terakhir melakukan pertukaran kamar bergilir yakni berdasarkan
posisi pemain atau asal daerah. Dalam hal ini perilaku yang diharapkan adalah supaya anak-anak
dapat menjalin persahabatan dan kekompakan setiap individu.
Kedua, di homeschoolling yang mana agen-agen sosialisasi terlibat di sini yakni guru. Peran
guru dalam proses selective exposure adalah memberikan pengajaran di kelas berupa sikap jujur
seperti jujur ketika tidak mengerjakan tugas dan tidak meyontek. Salah satunya menyontek yang
dapat menjadi kebiasaan anak-anak dan terbiasa untuk korupsi nilai, bahkan ketika sukses anakanak tersebut dapat menjadikan dirinya seorang koruptor karena membudayakan menyontek pada
saat di sekolah. Selain itu guru juga mengajarkan bahwa dalam sepak bola anak-anak juga memiliki
tugasnya masing-masing seperti fungsi dari setiap posisi yang berbeda-beda yakni penjaga gawang,
bek, penyerang dan sebagainya. Hal ini dapat menerapkan karakter disiplin dalam menjalankan
fungsinya tersebut. Begitupun di kelas anak-anak juga menerapkan karakter displin seperti
memerhatikan pelajaran, mengerjakan tugas dan sebagainya. Dalam hal ini guru menginginkan
apa yang diperoleh di kelas dapat ditularkan juga di lapangan sepak bola sehingga pengaruh yang
ditanamkan oleh adanya peran guru memberikan efek yang baik dalam aktivitas sehari-harinya
guna membiasakan sikap disiplin dalam dunia pendidikan. Terakhir memberikan penjelasan
bahwasannya potensi anak-anak dalam melakukan kegiatan belajar mengajar jelas memiliki
kemampuan daya tangkap menyerap pelajaran yang berbeda-beda. Untuk itu anak-anak yang bisa
menguasai materi pelajaran lebih cepat dapat ditularkan keteman lainnya yang belum bisa
sehingga dapat membentuk rasa saling menghargai prestasi satu sama lain.
Ketiga, agen-agen sosialisasi yang terlibat diantaranya peran pelatih dan staf divisi
kompetisi di lapangan. Peran pelatih dalam selective exposure terlihat pada sikap dan perilaku yang
dilakukan anak-anak seperti mereka ketika latihan harus fokus, konsentrasi dan bekerja keras
sehingga dalam prosesnya dapat menyesuaikan apa yang diharapkan pelatih. Ada juga penerapan
yang di lakukan anak-anak dapat menghargai lawan pada saat bertanding, lawan tidak baik kalau
diremehkan, lawan merupakan kawan ketika sudah selesai pertandingan dan terakhir adalah lebih
memberikan penjelasan bahwa sikap dan perilaku anak-anak yang harus dilakukan ketika selesai
atau sesudah pertandingan adalah mampu berkomunikasi dengan anak-anak dari tim Sekolah
Sepak Bola (SSB) lainnya seperti berjabat tangan, menegur atau menyapa. Di sinilah nantinya
sikap berkomunikasi yang terjalin dapat memunculkan rasa persahabatan diantara sesama pemain.
Dengan demikian dari pemaparan tulisan di atas dari empat proses sosialisasi yang ada. Proses
sosialisasi selective exposure (dominan) dari agen-agen sosialisasi yang ada hanya memberikan
penjelasan mengenai sikap dan perilaku yang diharapkan dalam menjalankan aktivitas dan
membentuk karakter anak-anak di Pertamina Soccer School (PSS). Hal ini merupakan awalan guna
mencapai contoh pembinaan pesepak bola usia muda yang terbaik di Indonesia.
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
8
Masih Terlalu Pagi? Proses Internalisasi Nilai Pada Pesepak Bola Usia Muda
Dalam melihat penanaman nilai-nilai yang di bentuk oleh agen sosialisasi di Pertamina
Soccer School (PSS). Tulisan ini memfokuskan pada penjelasan yang dikemukakan Berger (2012)
mengenai proses utama dalam realitas sosial yakni eksternalisasi, objektivasi dan di bentuk melalui
internalisasi. Pada proses ekternalisasi, terdapat dua aspek yang terlibat yakni aspek habitualisasi
yang di lakukan anak-anak yang mana cenderung melakukan aktivitas-aktivitas secara berulangulang. Hal ini terlihat ketika di asrama, anak-anak terbiasa melakukan aktivitas seperti makan
bersama, menonton bersama, di homeschoolling melakukan belajar bersama, dan di lapangan
melakukan latihan dan pertandingan. Selain itu aspek tipifikasi (hubungan timbal balik) yang
terjadi dalam proses eksternalisasi disebabkan karena adanya aspek habitualisasi seperti peran
agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai dilakukan secara terus menerus. Akan tetapi pada
aspek tipifikasi belum terlalu kelihatan karena berdirinya PSS masih terlalu baru.
Gambar 2: Habitualisasi Anak-Anak
Sumber: hasil observasi penulis dan pertaminasoccerschool.com
Selanjutnya adalah proses objektivasi yang mana istilah seperti signification sangat
memengaruhi aktivitas anak-anak dalam melakukan penanaman nilai-nilai di PSS. Hal ini
dibuktikan dengan ketika berinteraksi antara anak-anak dengan agen-agen sosialisasi, anak-anak
biasa memanggil petugas piket atau pelatih yakni bukan “pak” atau “bu” melainkan “coach” di sini
anak-anak menganggap bahwa untuk memanggil dengan istilah tersebut membuat anak-anak
memiliki rasa hormat terhadap petugas piket atau pelatih. Selain itu dalam proses objektivasi
terdapat suatu istilah legitimasi berupa norma, nilai-nilai, dan kesepakatan-kesepakatan yang
dibentuk oleh agen-agen sosialisasi. Misalnya di asrama, anak-anak biasanya melakukan apa yang
telah petugas piket perintahkan seperti mengumpulkan handphone (HP) tepat waktu. Ketentuan
tersebut merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh anak-anak pada saat waktu menunjukan jam
sembilan malam, tepatnya sebelum mereka tidur pada malam hari. Dengan demikian, dapat dilihat
di atas, adanya mekanisme proses internalisasi yang dibangun melalui proses ekternalisasi dan
proses ojektivasi. Rasa-rasanya “masih terlalu pagi” untuk mendapatkan hasil dari proses
internalisasi nilai dari keberadaan anak-anak di PSS. Karena mekanisme pembinaan yang di
bentuk melalui penanaman nilai-nilai di PSS, di sini anak-anak baru bisa mencontohkan apa yang
dilakukan oleh agen-agen sosialisasi di PSS.
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
9
Pertamina Soccer School: Dari Mekanisme Sampai Penanaman Nilai-Nilai
Menuju Implikasi Potensi Mobilitas Vertikal
Tulisan ini menegaskan adanya beberapa mekanisme yang dijalankan Pertamina Soccer
School (PSS) seperti Pertamina Soccer Stars dan Pertamina Soccer Camp pada dasarnya telah
menciptakan sistem stratifikasi terbuka. Berangkat dari sistem rekrutmen yang di kelola PSS.
Mekanisme tersebut setidaknya memberikan kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) kepada
anak-anak untuk meraih sukses melalui prestasi dalam mewujudkan cita-citanya. Hal tersebut
didasari apa yang dikemukakan oleh Calhoun, Light, and Keller (1989) yakni ketika anak-anak di
sini sudah terpilih menjadi bagian dari Pertamina Soccer School (PSS) adanya achieved status setiap
individu, hal ini pastinya didapatkan dari usaha individu dan prestasi yang dicapai. Contohnya
terlihat dalam tulisan ini adalah tidak ada perbedaan dari anak-anak yang mampu dan kurang
mampu dari status sosial ekonomi. Untuk anak dengan status sosial ekonomi yang mampu saja,
anak tersebut berkat adanya achieved status yang dimilikinya seperti dilihat skills sepak bola dan juga
prestasi sebelum masuk PSS. Seperti anak tersebut berhasil membawa SSBnya yang bernama JFA
juara di babak playoff dan menjadi Best Players Safra Cup Singapore, serta berhasil berangkat ke
Swedia mengikuti kompetisi Gothia Cup yang merupakan kejuaraan anak bergengsi sampai
sekarang. Akhirnya dengan mempertimbangkan prestasi yang dicapai, anak dari golongan mampu
tersebut dapat masuk PSS. Inilah yang dijelaskan Lipset dan Zetterberg (1996) adanya motivasi
masing-masing individu untuk mempertahankan atau menaikkan tingkat posisi sosialnya,
ego/ambisi seseorang lah yang berperan terutama untuk menjadi pesepak bola profesional. Hal
tersebut pun di dukung oleh Horton dan Hunt (1992) bahwa perbedaan kemampuan masingmasing individu dalam memengaruhi tingkat mobilitas sosial seseorang yang terlihat dari
kemampuan bermain sepak bola seperti kemampuan teknik, taktik dan permainan. Faktor-faktor
dari individu tersebut pada akhirnya dapat memengaruhi potensi mobilitas sosial.
Selanjutnya untuk melihat implikasi potensi mobilitas vertikal yang dapat tercermin dalam
penanaman nilai-nilai tujuh karakter bangsa. Pertamina Soccer School (PSS) secara nyata telah
memenuhi kriteria yang dibutuhkan dari pembinaan pesepak bola usia muda. Melalui kerjasama
antara CSR Pertamina dengan Pertamina Foundation di bidang pendidikan. Untuk menjadi
pesepak bola yang tidak hanya memiliki skill tapi sikap dan mental yang baik. Di bentuknya PSS
juga didukung oleh lembaga-lembaga pendukung seperti AC Milan Soccer School dan Fakultas Ilmu
Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Hal ini terlihat dari beberapa metodemetode pembinaan seperti kurikulum tujuh karakter bangsa, mekanisme kepelatihan yang
mengacu pada standar FIFA dan AFC serta sistem boardingschool dan sistem homeschoolling. Adanya
proses sosialisasi dalam menanamkan nilai tujuh karakter bangsa di PSS. Anak-anak juga
ditanamkan nilai-nilai salah satunya karakter bersahabat seperti menjunjung tinggi sikap fairlplay,
respect, berkomunikasi dan sebagainya. Hal tersebut tercermin dari aktivitas yang dijalankan anakanak ketika sebelum dan sesudah bertanding di lapangan, di mana yang tadinya anak-anak
tersebut hanya berkomunikasi dengan temannya sebanyak 24 anak. Adanya Liga Pertamina U-16
mereka dapat berkomunikasi dengan 300 anak lainnya yang mengikuti kompetisi di liga tersebut
seperti saling menyapa, berjabat tangan dan lainnya.
Dari pemaparan di atas mengenai aktivitas anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai yang
diperintahkan agen-agen sosialisasi. Guna mencapai implikasi potensi mobilitas vertikal, agenagen tersebut nyatanya telah menyiapkan rencana ke depan perihal anak-anak ketika sudah lulus
dari PSS seperti direktur eksekutif pertamina foundation dan direktur pertamina soccer school
menyepakati komitmen yang dibuat yakni tidak hanya memikirkan pembentukan karakternya
akan tetapi di sini mereka menyalurkan anak-anak untuk masuk ke perguruan tinggi negeri seperti
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) serta memberikan beasiswa dari program yang memang sudah
ada terkait rencana studi yang dilanjutkan anak-anak. Selain itu, agen sosialisasi lainnya seperti staf
divisi talent scouting berani menjamin bahwa anak-anak PSS ketika sudah lulus dapat menjembatani
mereka ke beberapa klub yang ada di Indonesia Super League (ISL) dan seleksi Tim Nasional.
Dengan demikian merujuk pada mekanisme yang dijalankan sebelum masuk PSS, pembentukan
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
10
sikap dan mental yang ditanamkan. Pada akhirnya dapat berimplikasi potensi mobilitas vertikal
anak-anak, walaupun anak-anak sering mencurahkan harapan dan impian sesuai dengan cita-cita
yang diinginkan. Adanya rencana maupun wacana yang dilontarkan oleh beberapa agen-agen
sosialisasi yang terlibat pada dasarnya anak-anak semua masih dalam proses berjuang untuk
menaikan posisinya dalam kelompok sosial mereka jalankan sekarang.
Kesimpulan
Transformasi model pembangunan yang dikemukakan oleh Martinussen (1997) dari state
centered menuju society centered mengindikasikan bahwa yang dilakukan oleh peran korporasi seperti
PT Pertamina Persero dapat berkontribusi positif dalam pembinaan pesepak bola usia muda di
Indonesia. Sekaligus merubah paradigma state centered yang cenderung mempolitisir olahraga sepak
bola. Hal ini dibuktikan juga dengan mendirikan Pertamina Soccer School (PSS) sebagai sekolah
sepak bola yang memiliki ciri khas kurikulum tujuh karakter bangsa. Disini lah dalam penanaman
nilai-nilai tujuh karakter bangsa yang dibentuk oleh agen-agen sosialisasi melalui tahap proses
sosialisasi yang dikemukakan Farley (1992) di PSS. Dalam hal ini lebih menerapkan proses selective
exposure (dominan) yang mana anak-anak hanya diberikan penjelasan oleh agen-agen sosialisasi di
sekolah mengenai sikap dan perilaku dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Selain itu dari
hasil proses utama dalam realitas sosial oleh Berger (2012) melalui internalisasi nilai yang
diterapkan di PSS. Di sini cenderung menerima aturan-aturan dengan mudah yang mana anakanak baru bisa mencontohkan apa yang diperintahkan oleh agen-agen sosialisasi dari adanya
aspek habitualisasi, tipifikasi, Signification, dan legitimasi yang dibentuk.
Sedangkan dalam mekanisme rekrutmen yang objektif dijalankan oleh PSS. Tulisan ini
menemukan adanya sistem stratifikasi terbuka yang mendorong adanya kesetaraan kesempatan
(equality of opportunity) dalam meraih sukses melalui prestasi dapat dirasakan anak-anak di Indonesia
dari tahap yang di lalui seperti Pertamina Soccer Stars, Pertamina Soccer Camp sampai Pertamina
Soccer School. Hal tersebut juga didasari adanya achieved status didapatkan dari usaha individu dan
prestasi yang dicapai. Selain itu dari adanya proses sosialisasi dari penanaman nilai-nilai tujuh
karakter bangsa yang dibentuk agen-agen sosialisasi. Nyatanya ketika anak-anak telah
menanamkan sikap dan perilaku yang diharapkan, implikasi potensi mobilitas vertikal yang terjadi
di sini adalah bahwa agen-agen tersebut juga menyiapkan akses atau jaringan untuk anak-anak
agar dapat mencetak pesepak bola profesional.
Daftar Pustaka
Buku
Calhoun, C., Light, D., & Keller, S. 1994. Sociology 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Eriyanto. 2008. Analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media, Yogyakarta: LkiS.
Farley, John. 1992. Sociology. New Jersey. Prentice Hall.
Fuller, John Scott & Jerry Jacobs. 1973. “Socialization.” Hlm. 168-208 dalam Jack D. Douglas ed,
Introduction to sociology: situations and structures. New York: The Free Press.
Jeffries, V & Ransford, H. Edward 1980. Social stratification: a multiple hierarchy approach. Boston:
Allyn And Bacon, Inc.
Martinussen, J. 1997. Society, state and market: a guide to competing theories of development. London and
New York: Zeed Books Ltd.
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
11
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi penelitian kualtitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Samuel, Hanneman. 2012. Peter L Berger: sebuah pengantar ringkas. Depok: Kepik.
Schaefer, Richard T. 2009. Sociology matters. 4th ed. New York: McGraw Hill.
Vembrianto, ST 1990 Sosiologi pendidikan. Jogjakarta : Penerbit Andi Offset.
Dokumen Lembaga
Laporan Tahunan Pertamina Foundation 2012.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Andreas, Dupri. 2013. Pengelolaan sekolah sepak bola internasional : studi tentang prospek mobilitas sosial
pada siswa liverpool international soccer schools menjadi pemain sepak bola. Depok: Skripsi Departemen
Sosiologi FISIP UI.
Hilarius, Yoseph. 2009. Peran negara dan swasta dalam pengelolaan klub sepak bola di era otonomi daerah
(studi kasus pada klub persik kediri). Depok: Tesis Program Pasca Sarjana FISIP UI.
Irawati, Indera Ratna. 2012. Mobilitas sosial vertikal antar generasi: kajian terhadap masyarakat kota di
provinsi jawa barat dan jawa timur. Depok: Disertasi Program Pasca Sarjana FISIP UI.
Julianto, Hansen. 2011. Dinamika pesepak bola etnis tionghoa dalam pesepak bolaan indonesia : studi
terhadap klub union makes strength (UMS). Depok: Skripsi Departemen Sosiologi FISIP UI.
Munir, Rosa Badrul. 2006. Terpilihnya kembali walikota kediri h.a maschut untuk periode 2004-2009 dan
persatuan sepak bola Indonesia Kediri. Depok: Skripsi Departemen Ilmu Politik FISIP UI.
Pawitri, Cinantya. 2007. Pandangan ibu tentang konsep pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial vertical
(suatu studi pada masyarakat miskin perkotaan di kelurahan kalibaru, kecamatan cilincing, jakarta utara).
Depok: Skripsi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI.
Artikel Website
http://bola.kompas.com/read/2012/01/07/12264331/La.Masia.Tak.Sekadar.Menc
tak.Pemain.Biasa diakses pada tanggal 4 Desember 2013, pukul 0:40 WIB.
http://duniasoccer.com/Duniasoccer/Indonesia/PSSI/Inilah-Masalah-di-Pembinaan-SepakBola-Indonesia diakses pada tanggal 11 Desember 2013, pukul 6:40 WIB.
http://www.bolanews.com/read/sepak bola/indonesia/19830-Sekolah-Sepak-Bola-Luar-BiasaDari-Pertamina.html diakses pada tanggal 11 Desember 2013, pukul 15:37 WIB.
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
12
http://health.liputan6.com/read/728736/coach-indra-sjafri-senang-banyak-sekolah-bola-sayang
diakses pada tanggal 11 Desember 2013, pukul 15:14 WIB.
Sekolah sepak bola plus..., Muhammad Nurul Fajri, FISIP UI, 2014
Download