3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit demam berdarah dengue (DBD) disebut juga Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) karena disertai gejala demam dan perdarahan, sedangkan penyebabnya adalah virus yang tergolong virus dengue. Penyakit ini merupakan penyakit yang baru bagi Indonesia, yakni, baru pada tahun tujuh puluhan masuk ke Indonesia. Penyakit ini terus menyebar dengan cepat diantara masyarakat karena vektornya tersedia, yaitu Ae. aegypti dan Ae. albopictus dan masyarakat samasekali tidak mempunyai kekebalan terhadapnya. Pada saat itu DBD seringkali menyebabkan kematian karena perdarahan yang sulit dihentikan. Pada umumnya, DBD akan menyebabkan kematian sebanyak 5 %, dan akan terdapat lebih banyak di daerah urban (Slamet 1994). DBD disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik (virus) yang dikenal serotipe 1-4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Virus ini terdapat dalam darah penderita 1-2 hari sebelum demam. Virus ini terdapat dalam darah penderita (viremia) selama 4-7 hari. Infeksi dengan satu dari empat serotipe ini tidak menimbulkan kekebalan (protektif) silang. Orang yang tinggal di daerah endemik dapat tertular oleh empat jenis virus sepanjang waktu. Infeksi dengan satu serotipe virus akan menghasilkan reaksi kekebalan yang lama terhadap virus itu, tetapi tidak terhadap serotipe yang lain (Hadi 2011). 2.2 Virus DBD Virus Dengue merupakan salah satu virus yang termasuk dalam famili Flavividae. Virion Dengue merupakan partikel sferis dengan diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 mm, sehingga diameter virion kira-kira 50 nm. Genon virus Dengue terdiri dari asam ribonuleat berserat tunggal, panjangnya kira-kira 11 kilibasa. Genon terdiri dari protein structural dan protein non structural, yaitu gen C mengkode sintesa nukleokapsid (Capsid), gen M mengkode sintesa protein M (Membran) dangan E mengkode sentesa glikoprotein selubung (Envelope) (Levinson 2000). 4 Virus Dengue adalah virus dengan untaian tunggal, virus RNA (famili Flaviviridae) yang muncul dengan empat serotype antigen yang berbeda. Setiap serotype secara genetik memiliki perbedaan. Meskipun infeksi secara umum (terutama infeksi primer) simtomatik sama, seluruh tipe virus ini berhubungan dengan demam Dengue, dan demam adalah gejala minor. Infeksi primer menghasilkan imunitas jangka panjang terhadap infeksi sekunder dengan serotype lainnya. Hal ini meningkatkan dalam resiko kebanyakan hasil dari reaksi silang antibodi dan sel T yang meningkatkan tingkat infeksi dan secara langsung melibatkan patifisiologi DBD (Carrington et al. 2005). Virus DBD termasuk ke dalam siklus tranmisi urban yang mencakup manusia dan Ae. aegypti di berbagai daerah tropis. Infeksi virus dengue tidak menunjukkan gejala dan kadang-kadang terjadi pendarahan yang hebat yang dikenal dengan demam berdarah dengue (DBD) atau demam shock sindrom (DSS). Jenis serotype virus DBD adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. 2.3 Vektor DBD Sejauh ini di Indonesia dikenal dua jenis vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus. Siklus normal infeksi DBD terjadi antara manusia – nyamuk Aedes – manusia. Dari darah penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus DBD setelah melewati masa inkubasi 8-10 hari yang membuat virus mengalami replikasi (perbanyakan) dan penyebaran yang berakhir pada infeksi saluran kelenjar ludah sehingga nyamuk menjadi tertular selama hidupnya. Sekali nyamuk tertular virus seumur hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan virus ke inang lain ketika menghisap darah berikutnya. Nyamuk infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara transovarial melalui telur, tetapi peranannya dalam melanjutkan transmisi virus pada manusia belum diketahui (Hadi 2011). Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus tersebar di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Keduanya bisa dibedakan dengan mudah pada stadium dewasa dan larva. Tanda pada bagian dorsal mesonotum sangat jelas bisa dilihat dengan mata telanjang, 5 pada Ae. aegypti terdapat garis lengkung putih dan 2 garis pendek di bagian tengah, sedang pada Ae. albopictus terdapat garis putih di medial dorsal toraks. Selain itu Ae. albopictus secara umum berwarna lebih gelap daripada Ae. aegypti. Adapun untuk melihat perbedaan larva/jentik diperlukan diseccting microscope. Bagian yang paling jelas adalah perbedaan bentuk sisik sikat (comb scales) dan gigi pekten (pecten teeth), dan sikat ventral yang terdiri atas empat pasang rambut pada Ae. albopictus dan lima pasang pada Ae. aegypti. Selama ini stadium pradewasa Ae. aegypti dikenal mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah, nyamuk dewasanya beristirahat dan aktif menggigit di siang hari di dalam rumah (endofilik-endofagik). Umumnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus berbiak di dalam wadah (container breeding) dengan penyebaran di seluruh daerah tropis maupun subtropis. Tempat perkembangbiakan larva nyamuk Ae. aegypti adalah tempat-tempat yang digunakan oleh manusia seharihari seperti bak mandi, drum air, kaleng-kaleng bekas, ketiak daun dan lubanglubang batu. Tipe-tipe kontainer baik yang kecil maupun yang besar yang mengandung air merupakan tempat perkembangbiakan yang baik bagi stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti. Hasil-hasil pengamatan entomologi menunjukkan bahwa Ae. aegypti menempati habitat domestik terutama penampungan air di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon, drum, ban bekas yang terdapat di luar (peridomestik) (Wahid 2011). Bahari (2011) menyatakan hasil penelitiannya mengenai kepadatan nyamuk yang menjadi vektor DBD di desa Babakan kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa kepadatan nyamuk Ae. aegypti lebih tinggi di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus di luar rumah. Begitu juga dengan perilaku menggigitnya, Ae. aegypti menghisap darah di dalam rumah (endophagic), sedangkan Ae. albopictus lebih banyak menghisap di luar rumah. Adapun untuk aktivitas istirahat nyamuk Ae. aegypti berada di dalam rumah dan tidak dijumpainya nyamuk Ae. albopictus di dalam maupun di luar rumah. 6 2.4 Pengendalian Vektor DBD Menurut Suroso dan Umar (1999) pemberantasan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penular DBD dapat dilakukan dengan cara: a) fogging, yaitu pengasapan untuk membunuh nyamuk dewasa; b) abatisasi, yaitu penaburan abate dengan dosis 10 gr untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik nyamuk; c) penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dengan 3 M, yaitu menguras, menutup tampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk. Fogging (pengasapan nyamuk dewasa) dilakukan di dalam dan di luar rumah penduduk. Oleh karena itu perlu persiapan yang matang, sosialisasi, dan kerjasama dengan penduduk. Ketika dilakukan fogging seluruh peralatan yang ada di dalam rumah harus diamankan, dan orang-orangnya harus keluar rumah. Seluruh penampungan air yang ada di dalam rumah juga harus disikat, dikuras, dibersihkan, dan ditutup rapat agar tidak menjadi sasaran nyamuk dewasa bertelur dan berkembang biak (Hadi 2011). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya dan yang paling utama adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M ( Menguras-Menutup-Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian. Selama ini berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSNDBD sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk secara terus menerus melakukan PSN-DBD di tatanan dan lingkungan masing-masing. Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD, pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu Komunikasi. Perubahan Perilaku/KPP (Communications for Behavioral Impact /COMBI), tetapi beberapa negara di dunia seperti negara Asean ( Malaysia, Laos, Vietnam), Amerika Latin (Nikaragua, Brazil, Cuba) telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik. Di Indonesia sudah 7 diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan memberikan hasil yang baik (DEPKES 2008). 2.5 Pengetahuan dan perilaku masyarakat Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, penciuman, rasa, dan raba. yakni: indera penglihatan, pendengaran, Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: (1) Tahu (know), (2) Memahami (Comprehension), (3) Aplikasi (Application), (4) Analisis (Analysis), (5) Sintesis (Synthesis), (6) Evaluasi (Evaluation). Slamet (1998) mengemukakan bahwa perilaku terdiri dari tiga dasar yang meliputi: pertama, perilaku pengetahuan (knowing behaviour), kedua, perilaku sikap (feeling behaviour) dan ketiga, perilaku keterampilan (doing behaviour). Apabila pengertian perilaku ini lebih disederhanakan maka perilaku dapat dibagi menjadi 2 unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah hasil dari suatu proses yang kompleks yang biasanya memerlukan waktu yang lama. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan dari 3 faktor yaitu : (1) Faktor-faktor predisposisi, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya, (2) Faktor-faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan (misalnya puskesmas dan obat-obatan) (3) Faktorfaktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Dengan demikian perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. 8 Glanz et al. (1997) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain: (1) Perilaku kesehatan (health behaviour), yakni hal-hal yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam hal ini termasuk juga tindakan untuk mencegah penyakit dan kebersihan perorangan. (2) Perilaku sakit (illness behaviour) yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang merasa dirinya sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau merasa dan mengenal rasa sakit yang ada pada dirinya. Termasuk disini juga kemampuan atau pengetahuan individu tersebut untuk mengidentifikasi penyakitnya, penyebab penyakit serta usaha-usaha pencegahan penyakit. Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis). Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup : (1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, dengan tingkat pencegahan penyakit, yakni : Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. misalnya: (makan makanan yang bergizi dan olahraga), pencegahan penyakit. misalnya: (Tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria dan imunisasi), pencarian pengobatan seperti halnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas moderen seperti puskesmas, mantri, dokter praktek dan sebagainya, dan pemulihan kesehatan (2) perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan (3) perilaku terhadap makanan dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan. Perilaku kesehatan mencakup beberapa aspek di antaranya: perilaku kesehatan sehubungan dengan air bersih, pembuangan air kotor, limbah, rumah 9 yang sehat (meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai) dan pembersihan sarangsarang nyamuk (vektor). 2.6 Pengetahuan Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Penyakit Manalu & Rahmalina (2010) menyatakan pengetahuan masyarakat di Kabupaten Tangerang terhadap penyakit tuberculosis (TB) paru belum cukup baik, hal ini tercermin masyarakat belum mengetahui secara benar tanda-tanda TB paru. Adapun perilaku mencari pengobatan sudah cukup baik, umumnya penderita berobat ke fasilitas kesehatan (Puskesmas), hanya saja perilaku pencegahan penularan dan kepatuhan minum obat masih kurang. Santoso & Budiyanto (2008) mengemukakan mengenai pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat terhadap DBD di Kota Palembang, dari 6 kelurahan dengan jumlah responden keseluruhan 606 orang, sebanyak 51,7% responden mempunyai pengetahuan yang baik, sisanya (48,3%) pengetahuannya kurang. Sebanyak 50,2% responden mempunyai sikap yang masih buruk terhadap penyakit DBD. Adapun perilaku masyarakat terhadap pencegahan dan pengendalian vektor penyakit DBD tergolong baik (54,3%). Jika diuji statistik terhadap pengetahuan dan sikap serta pengetahuan dan perilaku, ternyata diketahui adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap serta pengetahuan dan perilaku. Pengetahuan yang rendah, akan membentuk masyarakat kepada sikap dan perilaku yang kurang baik terhadap penyakit DBD. Sauri (2011) melakukan penelitian kepada 239 mahasiswa yang terdiri atas semester tiga, lima, tujuh dan PPDH Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap Foodborne Disease. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden terhadap foodborne disease dalam kategori cukup (59,4%) sampai baik (15,5%) dan sisanya (25,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk sampai sangat buruk. Adapun hasil analisis sikap menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa FKH IPB bersikap baik terhadap foodborne disease (84,5%) dan sisanya (15,5%) memiliki sikap sedang, dan tidak ada (0,0%) responden bersikap buruk. Setelah dianalisis lebih lanjut, bahwa tingkat pengetahuan tidak berkaitan dengan sikap mahasiswa.