bermain konstruktif sambil belajar konsep bilangan pada anak usia

advertisement
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
BERMAIN KONSTRUKTIF SAMBIL BELAJAR KONSEP BILANGAN
PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN
Ni Ketut Alit Suarti
(Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram)
Email: [email protected]
Abstrak: Anak merupakan generasi penerus keluarga dan sebuah bangsa, oleh karena
itu anak perlu mendapat perhatian yang serius baik dari orang tua, guru maupun orang
dewasa lainnya termasuk pemerintah yang mempunyai andil sangat besar terhadap
pendidikan anak usia dini yang akan menentukan keberhasilan bagi suatu bangsa ke
depan. Salah satu hak anak yang tidak bisa diabaikan adalah hak untuk bermain. Bagi
anak bermain adalah dunianya, melalui bermain anak memperoleh kesenangan dan
yang paling penting adalah dapat menstimulasi perkembangan kognitif, fisik motorik,
bahasa, sosial emosional dan nilai-nilai moral, sehingga diharapkan anak tumbuh
sehat, cerdas dan ceria. Jenis permainan sangat tergantung dengan usia anak, kondisi
organ alat indera, kepribadian, kesempatan belajar, tipe pengalaman, jenis kelamin,
dan inteligensi. Bagi anak yang mempunyai inteligensi yang cukup biasanya memilih
jenis permainan yang lebih menantang seperti bermain konstruktif yang biasa
dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun dengan menggunakan media balok, puzzel,
potongan kayu, tepung, plestisin atau media lain yang ada di sekitar anak. Dengan
bermain kontruktif dapat melatih anak untuk belajar tentang bilangan atau angka
dengan menghitung jumlah benda yang digunakan, dan secara tidak disadari anak
akan memiliki pemahaman tentang konsep bilangan atau angka.
Kata Kunci: Bermain Konstruktif, Konsep Bilangan, Anak Usia 5-6 Tahun.
PENDAHULUAN
Anak adalah harapan bagi suatu
keluarga, masyarakat dan bangsa
Indonesia. Baik buruknya nasib suatu
keluarga, masyarakat maupun bangsa ke
depannya adalah ditentukan oleh kondisi
anak saat ini. Anak yang berkualitas dan
berguna tergantung kepada pendidikan
yang diperolehnya sejak usia dini. Anak
usia dini adalah sosok individu yang
sedang
menjalani
suatu
proses
perkembangan dengan pesan dan
fundamental bagi kehidupan selanjutnya
(Yuliani, 2012: 6). Lebih lanjut
mengenai penjelasan tentang anak usia
dini dalam Undang-Undang No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa anak usia
dini adalah anak yang berusia 0 sampai 6
tahun. Pada usia ini anak suka meniru,
seluruh aspek kepribadiannya akan
tumbuh dan berkembang secara alamiah
oleh karena itu perlu rangsangan dari
orang tua dan pendidik pada umumnya
(Santoso, 2011: 7), yang artinya bahwa
orang tua, guru, maupun orang lain yang
di sekitarnya menjadi panutan bagi anak,
dan anak belum paham dengan arti yang
sebenarnya terhadap perbuatan yang
baik dan kurang baik.
Kehadiran anak dalam keluarga
dapat memperkokoh dan menambah
keharmonisan ikatan perkawinan dalam
rumah tangga. Setiap orang tua yang
memiliki anak sekalipun tanpa ayah
mereka selalu ingin memelihara,
membesarkan dan mendidiknya dengan
baik (Djamarah, 2004: 27). Anak lahir
memerlukan perhatian, kasih sayang dan
pendidikan yang cukup dari orang tua
atau orang-orang yang terdekatnya.
Pendidikan yang layak akan menentukan
Halaman | 1
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
masa depan bagi anak itu sendiri di
samping faktor lain yang dapat
memberikan
kontribusi
terhadap
perkembangannya. Ki Hajar Dewantara
menjelaskan bahwa pendidikan anak
sangat penting diberikan sejak dini,
dengan memberikan pendidikan yang
berisi: penanaman nilai budi pekerti,
nilai seni, nilai budaya, kecerdasan,
keterampilan dan agama (Santoso,
2002:12). Pendidikan yang diperoleh
oleh anak sejak usia dini sangat
mempengaruhi terhadap perkembangan
anak pada tahap berikutnya dan
produktivitas kerja di masa dewasanya.
Salah satu pendidikan yang dibutuhkan
oleh anak di samping perhatian, kasih
sayang dan pemenuhan kebutuhan
primer bagi anak adalah bermain.
Mayesty
(1990:196-197)
menjelaskan bahwa bermain adalah
merupakan salah satu cara untuk
membentuk kepribadian anak, sehingga
untuk mendidik anak yang tepat adalah
bermain sambil belajar. Bagi seorang
anak bermain adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang hari, karena bagi
anak bermain adalah hidup dan hidup
adalah bermain (Yuliani, 2012: 134).
Bagi anak usia dini bermain sambil
belajar yang artinya bahwa anak bermain
untuk memperoleh kesenangan dan
secara
tidak
langsung
mereka
memperoleh
pengalaman
dan
pengetahuan yang dapat menjadi
tonggak awal nasib anak di masa depan.
Namun berbeda dengan belajar sambil
bermain yang kadang-kadang dilakukan
oleh orang dewasa yang memberikan
dampak kurang bagus terhadap hasil
yang diperolehnya. Dalam sumber lain
dijelaskan bahwa bermain adalah
aktivitas yang membuat hati seorang
anak menjadi senang, nyaman, dan
bersemangat (Fadlillah, 2014: 25). Bagi
anak usia dini tidak membedakan antara
bermain dan belajar yang penting
mereka bermain dan terus bermain tanpa
memperhatikan waktu, kesehatan, dan
kebersihan badan untuk memperoleh
kesenangan, sehingga sering disebut
bermain adalah dunia anak, oleh karena
itu orang tua, guru maupun orang
dewasa lainnya harus memberikan
kesempatan yang cukup kepada anak
untuk bermain supaya anak dapat
bereksplorasi dengan kemampuan, bakat
dan minatnya melalui bermain. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa anak-anak pada
umumnya sangat menikmati kegiatan
bermain, dan mereka bermain dimana
saja setiap ada kesempatan (Yuliani,
2012:134). Dukungan dari berbagai
pihak sangat dibutuhkan untuk tumbuh
dan kembang anak. Demikian juga
stimulasi dari lingkungan bermanfaat
untuk
mengembangkan
potensi
kecerdasannya, maka upaya pendidikan
sejak dini adalah merupakan bentuk
stimulasi
psikososial
sedini
dan
sebanyak mungkin kepada anak (Forum
Padu,2004: 24). Namun kenyataan yang
ada di kalangan anak khususnya pada
anak usia 5-6 tahun tidak semua
memperoleh kesempatan yang beruntung
seperti nasib anak yang dilahirkan oleh
orang tua yang berkecukupan materi dan
berpendidikan tentang pengasuhan anak,
berbeda dengan anak yang orang tuanya
hidup
serba
kekurangan
bahkan
ditambah
dengan
memanfaatkan
anaknya yang berusia masih tergolong
anak usia dini diberikan beban untuk
mencari nafkah seperti: menjadi
pemulung, pengemis, buruh, atau
kegiatan lainnya dengan harapan
memperoleh uang yang digunakan untuk
menambah
penghasilan orang tua,
sehingga orang tua mengorbankan
anaknya yang semestinya masih bermain
tetapi sudah diajak/disuruh bekerja demi
memperoleh uang untuk menyambung
kehidupan keluarga.
Pada usia5-6 tahun merupakan
usia yang masih tergolong usia dini, oleh
karena itu perlu mendapat perhatian
yang serius dari berbagai kalangan
seperti: orang tua, masyarakat dan
Halaman | 141
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
pemerintah. Setiap anak yang dilahirkan
semestinya tidak ada yang ditelantarkan,
karena
anak
wajib
mendapat
perlindungan dan pendidikan dari orang
tua maupun guru, untuk itu telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang hak asasi manusia Pasal 28
B ayat (2) bahwa: “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang
serta
berhak
atas
perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” (PT. Kloang Klede Putra
Timur,2003:
86).Salah
satu
dari
implementasi dari hak ini, yaitu setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan
tingkat kecerdasan yang sesuai dengan
minat serta bakatnya. Cara mendidik
anak sering sekali dianggap sesuatu yang
biasa-biasa saja, padahal mendidik anak
khususnya pada usia 5-6 tahun pada
zaman
sekarang
membutuhkan
keseriusan, pengawasan dan selektif
terhadap media yang digunakan untuk
bermain, karena banyak media bermain
yang terbuat dari pabrik termasuk media
yang berbasis teknologi seperti: televisi,
HP maupun laptop/komputer atau yang
sejenisnya, dimana sarana tersebut
sangat mudah dan cepat dapat
mempengaruhi
kebiasaan
serta
perkembangan anak. Namun sebaliknya
jika orang tua, guru maupun orang
dewasa lainnya mampu mengarahkan
dan mendidik anak dengan baik sesuai
dengan usia anak, maka anak dapat
berkembang secara maksimal sesuai
dengan
harapan.
Dalam
proses
perkembangan anak supaya tumbuh
menjadi anak yang cerdas, sehat dan
memiliki nilai moral dibutuhkan 3 (tiga)
komponen yang meliputi: faktor gizi,
kesehatan dan stimulasi psikososial
(Forum Padu, 2004:24). Di samping
faktor makanan yang dapat memberikan
dampak kepada kesehatan, maka
stimulasi yang sesuai dengan usia anak
serta media yang digunakan termasuk
dengan jenis bermain dapat menentukan
perkembangan anak untuk tingkat
selanjutnya. Hal ini didukung oleh
seorang ahli yaitu Bloom menjelaskan
bahwa perkembangan mental yaitu
perkembangan inteligensi, kepribadian
dan tingkah laku sosial sangat pesat
ketika anak masih usia dini (Buletin
PAUD dalam Siskandar, 2003: 22),
untuk itu peran pendidikan melalui
bermain konstruktif bagi anak usia dini
khususnya pada usia 5-6 tahun adalah
merangsang kemampuan anak dalam
berhitung. Untuk menjauhkan anak dari
pengaruh yang dapat mengganggu
perkembangan anak, maka peran orang
tua, guru maupun orang dewasa lainnya
serta pemerintah sangat diharapkan,
termasuk
dalam
memilih
jenis
permainan yang cocok untuk anak
seusianya.
PEMBAHASAN
Konsep Bermain Konstruktif
Bermain konstruktif merupakan salah
satu jenis bermain yang menggunakan
benda
untuk
membangun
atau
membentuk sesuatu. Seefeldt & Nita
Barbour (1994: 36).menjelaskan bahwa
bermain konstruktif adalah bermain yang
bersifat membangun, yaitu bermain yang
menggunakan obyek atau material
untuk
membuat
suatu
bentuk
tertentu.Demikian juga Santrock (1997:
259)mengatakan
bahwa
permainan
konstruktif adalah permainan yang
terjadi ketika anak-anak melibatkan diri
dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu
produk atau suatu pemecahan masalah
yang merupakan hasil ciptaan sendiri.
Berdasarkan beberapa uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud
dengan
bermain
konstruktif adalah suatu kegiatan yang
dilakukan
oleh
seseorang
atau
sekelompok anak dengan menggunakan
benda yang ada disekitarnya untuk
membangun atau menciptakan suatu
bentuk tertentu untuk mencapai tujuan.
Dalam memilih jenis permainan salah
satunya tergantung usia anak, khusus
Halaman | 142
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
pada anak yang berusia 5-6 tahun anak
lebih condong kepada jenis permainan
yang menggunakan otot dan sudah bisa
mencoba membuat/menyusun sesuatu
yang didasari oleh imajinasinya, seperti
membuat rumah-rumahan dari balok,
membuat gunung atau membentuk
sesuatu menggunakan media pasir,
membuat/membentuk
benda
atau
membuat lambang angka dengan
plestisin/playdog,
bongkar
pasang
puzzel, demikian juga anak dapat
menggunakan media lainnya untuk
membentuk sesuatu yang diinginkan
tergantung dengan fasilitas yang
tersedia. Semua yang dilakukan oleh
anak terkait dengan membentuk/
menyusun adalah merupakan jenis
bermain konstruktif.
Untuk
membedakan
jenis
permainan yang satu dengan lainnya
dapat dilihat dari karakteristik masingmasing permainan, demikian juga
permainan
konstruktif
dimana
Smilansky (1968) menjelaskan bahwa
permainan konstruktif menggunakan
materi atau benda yang ada di
lingkungan anak untuk membuat sesuatu
bentuk yang diinginkan oleh anak
(Dockett Sue & Marylin Fleer, 2000:
59).
Anak
biasanya
melakukan
permainan
konstruktif
dengan
menggunakan benda-benda apa saja
yang ditemukannya akan diperlakukan
secara simbolis atau bermain dengan
beberapa aturan (Patmonodewo, 2003:
108). Uraian tersebut menjelaskan
bahwa permainan konstruktif adalah
termasuk
jenis
permainan
yang
menggunakan benda atau obyek yang
dapat dilakukan oleh anak secara
individual atau secara kelompok (bekerja
sama)
dalam
membangun
atau
menciptakan suatu bentuk.
Permainan
yang
bersifat
konstruktif sangat bermanfaat untuk
perkembangan motorik halus dan
perkembangan kognitif anak yaitu
khusus dalam belajar tentang konsep-
konsep matematika, salah satunya
konsep bilangan atau angka. Menurut
Piaget dalam Gestwicki mengatakan
bahwa anak memperoleh pengetahuan
melalui permainan konstruktif, tidak dari
informasi
yang
diperoleh
dari
lingkungannya, tetapi melalui suatu
proses
konstruksi
yang
akan
memperbaharui pemahaman anak yang
berusia 4 sampai 6 tahun, permainan
konstruktif bermanfaat untuk membantu
perkembangan keahlian visual-spasial
terutama untuk perkembangan kognitif
(Seefeldt Carol, Alice Galper, 1998:
199), yang diperkuat juga oleh Vigotsky
dalam sebuah sumber yang percaya
bahwa dengan bermain membantu
perkembangan kognitif anak secara
langsung (Naughton, 2003: 46).
Permainan konstruktif sangat
diminati oleh anak yang mempunyai
level pemikiran yang lebih tinggi. Rubin,
Fein, dan Vandenberg (1983) dalam
Sandra mengemukakan bahwa pada usia
4-6 tahun 51% waktunya digunakan
untuk bermain yang sifatnya konstruktif.
Dalam permainan konstruktif anak-anak
mulai menggunakan proses intelektual
(Gestwitcki, 2007:
40). Permainan
konstruktif terjadi ketika anak-anak
melibatkan diri dalam suatu kreasi atau
konstruksi sebuah produk atau suatu
pemecahan
masalah.
Permainan
konstuktif merupakan jenis permainan
yang paling umum selama tahun-tahun
prasekolah, permainan ini
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan
keterampilan akademik, keterampilan
berpikir dan pemecahan masalah
(Santrock, 1997: 259). Anak secara
simbolis menampilkan obyek, ide atau
proses,
belajar
mengenali
dan
menampilkan informasi yang dipahami
sebelumnya. Pada awalnya anak
menciptakan dalam pikirannya dan
kemudian membentuk dalam realitas.
Dalam permainan konstruktif, anak-anak
melakukan level pemikiran lebih tinggi
ketika dia memecahkan masalah,
Halaman | 143
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
hipotesis dan menggunakan memorinya.
Permainan
konstruktif
dapat
mengembangkan konsep bilangan atau
angka dalam matematika, geometri,
ukuran, pola, membandingkan dan
mengklasifikasikan, hubungan dalam
dimensi, hubungan spatial dan fungsi
(Stone, 1993: 64-66).
Disamping
itu
manfaat
permainan konstruktif adalah untuk
mengembangkan kemampuan kognitif
anak yaitu mampu berdaya cipta
(kreatif), melatih keterampilan motorik
halus, melatih ketekunan, daya tahan,
dan konsentrasi. Kalau ia berhasil, akan
menimbulkan rasa puas, mendapat
penghargaan sosial seperti pujian dari
orang lain yang akan meningkatkan
keinginan anak untuk bekerja yang lebih
baik dan ada kecendrungan untuk
mencoba membuat kreasi bentuk yang
lain. Terkait dengan kecenderungan
perilaku anak sesuai dengan teori
Operant Conditioning Theory oleh
Edward L. Thorndike yang mengatakan
bahwa perilaku seseorang atau binatang
mencoba-coba
untuk
menemukan
sesuatu sebagai pemecahan masalah, jika
perlakuannya
berhasil
ada
kecenderungan
untuk
mengulang
kembali. Teori ini merupakan hasil
penelitian
dari
Thorndike
yang
menghasilkan hukum akibat (low of
effect), yaitu apabila suatu respon dari
suatu stimulus diikuti dengan kepuasan,
maka respon tersebut cenderung diulang
atau sebaliknya suatu respon yang
diikuti
oleh
hal
yang
tidak
menyenangkan, maka respon tersebut
tidak dilakukan lagi (Suyanto, 2005: 8283). Sebagai aplikasi dari teori Operant
Conditioning Theory dalam proses
pembelajaran bagi anak usia 5-6 tahun
adalah anak mencoba kemampuannya
dalam permainan konstruktif, jika anak
berhasil, maka mereka merasa puas
apalagi mendapat penghargaan yang
berupa pujian dari guru maupun orang
tua, sehingga anak akan terus ingin
mencoba berkali-kali dalam bentuk
kreasi yang lain, oleh karena itu peranan
guru
dan
orang
tua
terhadap
perkembangan anak sangat memegang
peranan
penting
yaitu
dalam
mengoptimalkan
kemampuan
anak
sesuai dengan perkembangannya.
Bentuk-bentuk kegiatan yang
termasuk permainan konstruktif adalah
menggambar, mencipta bentuk tertentu,
menggunting dan menempel kertas atau
kain, merakit kepingan kayu atau plastik
(Tedjasaputra, 2001:57). Permainan
konstruktif dapat menggunakan berbagai
macam alat atau benda, yang penting
sangat tergantung kepada kemampuan,
media yang tersedia dan kreativitas anak.
Untuk
membuat
sesuatu
dalam
permainan
konstruktif
dapat
menggunakan obyek seperti: balok, lego,
puzzle, pasir, tanah liat, tepung dan
sebagainya (Stone, 1993: 9-66). Bagi
anak usia 5-6 tahun sangat kreatif dalam
menggunaka media untuk bermain,
hampir setiap benda yang mereka temui
dapat digunakan, bahkan tidak jarang
menggunakan bantal, kursi ataupun alatalat yang ada di dapur, sehingga waktu
mereka sebagian besar digunakan untuk
bermain.
Terkait dengan media yang
digunakan oleh anak dalam permainan
konstruktif yaitu sesuai dengan salah
satu petunjuk bahwa apabila orang tua
atau guru menggunakan metode bermain
sambil belajar yaitugunakan peralatan
bermain
yang
sungguh-sungguhan
(bukan mainan) untuk mengajari anak
mengenali alam yang sebenarnya (Sunar,
2007: 15). Demikian juga Plato adalah
orang pertama yang menyadari dan
melihat pentingnya nilai praktis dari
bermain bagi anak, menurut Plato anakanak akan lebih mudah mempelajari
aritmatika melalui bermain dengan
membagikan apel, dan Aristoteles
berpendapat bahwa anak-anak perlu
didorong untuk bermain dengan apa
yang akan mereka tekuni di masa
Halaman | 144
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
dewasanya nanti (Tedjasaputra, 2001:1),
artinya bahwa jika memungkinkan anak
bermain dengan media yang asli sesuai
dengan lingkungan anak, di samping
melestarikan budaya nenek moyang
dapat juga mengandung arti untuk
membiasakan kepada anak untuk hidup
dengan apa yang dimiliki dan tidak
berambisi memiliki sesuatu yang bukan
menjadi miliknya. Oleh karena peran
orang tua, guru, orang dewasa lainnya
sangat besar dalam memaksimalkan
potensi anak. Terkait dengan hal tersebut
kaum
konstruksionis-sosial,
mengemukakan bahwa pembelajaran
akan terjadi bila orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih kompeten
memediasi pengalaman belajar anakanak dengan menekankan kepada
perkembangan
anak
(http://ecrp.uiuc.edu/index.html).
Pandangan ini sesuai dengan
teori Zone of Proximal Development
(ZPD) Vigotsky dalam Santrock yaitu
istilah Vigotsky terhadap tugas-tugas
yang terlalu sulit untuk dipahami sendiri
oleh anak, tetapi anak akan dapat
memahaminya dan mampu untuk
melakukannya dengan bimbingan dari
orang dewasa atau anak-anak yang lebih
terampil (Santrock, 1997: 240). Makna
dari teori Vigotsky dalam permainan
konstruktif adalah orang dewasa baik
orang tua maupun guru mempunyai
peran yang sangat besar dalam
mengoptimalkan potensi anak, yaitu
memberikan kesempatan kepada anak
untuk bereksplorasi sesuai dengan
kemampuannya dan jika mengalami
kesulitan orang tua maupun guru
memberikan bantuan sampai kepada
taraf dimana anak dapat melakukan
sendiri, demikian seterusnya meningkat
sampai anak dapat melakukan kegiatan
ke tingkat yang lebih tinggi sesuai
dengan
perkembangannya.
Dalam
permainan konstruktif teori ini sering
berlaku, sehingga melalui permainan
konstruktif
potensi
anak
dapat
berkembang
sesuai
dengan
perkembangannya terutama pada anak
usia 5-6 tahun belajar tentang konsep
bilangan atau angka.
Konsep Bilangan
Konsep bilangan atau angka merupakan
bagian dari matematika, yang mana pada
anak usia dini belum mengenal
matematika, tetapi dengan bermain anak
sambil belajar mengenali konsep
bilangan atau angka. Konsep bilangan
atau angka adalah bidang menghitung
pada usia dini khususnya anak usia 5-6
tahun perlu dilatih dan dibiasakan dalam
kehidupan sehari-hari, karena pada usia
ini
melalui
bermain
merupakan
kesempatan yang sangat baik untuk
memberikan
stimulasi
tehadap
kemampuan anak dalam menghitung,
baik dalam menjumlahkan maupun
mengurangi
secara
sederhana.
Pengembangan
kemampuan
dasar
menghitung dapat dilakukan dengan
membiasakan anak dalam kehidupan
sehari-hari untuk berinteraksi dengan
situasi yang berkaitan dengan kegiatan
menghitung seperti anak melakukan
permainan yang mengandung giliran
(Dodge, 2002: 45). Permainan dengan
melalui giliran dapat dilakukan dengan
cara berbaris/duduk di kursinya masingmasing, kemudian menyebut nomornya
secara berurutan dimulai dari nomor
satu, dua, tiga dan seterusnya.
Disamping dengan cara berbaris/duduk
dapat juga dilakukan dengan cara
membiasakan anak untuk menghitung
benda-benda yang ada di sekitar anak.
Kebiasaan ini akan berulang-ulang
dilakukan, sehingga setiap benda yang
dijumpainya dihitung selalu dihitung
jumlahnya.Karena
semakin
sering
menghitung benda yang dijumpainya
atau dipegang, maka tidak disadari
bahwa dengan menghitung benda secara
otomatis dalam waktu yang berulangulang akan terjadi proses pembelajaran
mengenai penjumlahan, pengurangan
Halaman | 145
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
dan juga memasangkan jumlah benda
dengan angka yang cocok. Pada anak
usia 5-6 tahun baru mengenal angka 120, angka tersebut merupakan angka
dasar yang sewajarnya dikenal oleh
anak. Namun kadang-kadang ada anak
yang mampu memahami di atas angka
tersebut itu sangat tergantung dengan
kemampuan anak dalam bermain dengan
menggunakan konsep bilangan atau
angka. Jika dikaitkan dengan teori Plato
dan Aristeteles di atas bahwa anak akan
lebih mudah dalam menanamkan
pemahaman kepada anak usia 5-6 tahun
tentang konsep bilangan atau angka
melalui benda-benda yang sering
dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari
dan disukai oleh anak-anak, tentunya
peranan guru dan orang tua sangat besar
untuk memaksimalkan kemampuan anak
sesuai dengan perkembangannya. Seperti
contoh anak dibesarkan di daerah buahbuahan, maka anak dapat menggunakan
buah sebagai media untuk belajar
tentang bilangan atau angka, seperti
mengenal jumlah, lebih besar dan lebih
kecil atau lebih banyak dan lebih sedikit,
penambahan dan pengurangan, demikian
juga bagi anak yang hidup di daerah
pesisir dapat menggunakan ikan, kerang
atau bebatuan.
Semakin sering bermain dengan
konsep bilangan atau angka, ada
kecendrungan anak lebih cepat dalam
memahami angka dan semakin lama
anak menjadi senang dengan permainan
yang bernuansa angka. Hal ini akan
berdampak pada anak untuk pendidikan
lebih lanjut senang dengan pelajaran
matematika.
Mengenai
pelajaran
matematika saat ini masih ada yang
menganggap
bahwa
pelajaran
matematika
adalah
momok
dan
menjengkelkan
atau
menakutkan,
bahkan ada yang sampai bolos kalau
belajar matematika. Untuk menghindari
rasa takut dan menjengkelkan tersebut
perlu dipahami tentang strategi untuk
menyenangi matematika yaitu salah
satunya melalui bermain konstruktif
sejak usia dini. Pada masa usia dini
adalah masa yang sangat strategis untuk
memperkenalkan konsep bilangan yang
merupakan bagian dari matematika.
Secara umum anak usia dini sangat peka
terhadap rangsangan yang diterima dari
lingkungan demikian juga anak usia 5-6
tahun. Rasa ingin tahunya yang tinggi
akan disalurkan apabila mendapat
stimulasi/rangsangan/motivasi
yang
sesuai dengan tegas perkembangannya
(Triharso, 2013: 48). Anak akan lebih
berhasil dalam mengerjakan sesuatu
apabila yang dipelajari adalah sesuai
dengan
minat,
kebutuhan
dan
kemampuannya.
Konsep bilangan sangat penting
diperkenalkan kepada anak, karena
sekitar umur 5 tahun minat anak
terhadap angka akan tumbuh sangat
besar secara alamiah, oleh karena itu
sejak kecil perlu diperkenalkan dengan
konsep bilangan atau angka secara
kongkrit
(http:www.mailarchive.com/[email protected]/msg02025.ht
ml). Belajar menghitung dapat dilakukan
sambil bermain, orang tua atau guru
hendaknya
mampu
memilihkan,
mengarahkan atau menyiapkan sarana
yang terkait dengan matematika. Untuk
dapat belajar matematika bagi anak usia
5-6 tahun dapat dilakukan dalam segala
macam bentuk permainan, terutama
dalam permainan konstruktif, karena
permainan konstruktif secara tidak
langsung
anak
bermain
sambil
menggunakan
angka
melalui
menghitung
jumlah
benda
yang
digunakan untuk membangun sesuatu
bentuk. Contoh membangun sebuah
rumah-rumahan
dibutuhkan
sejumlahbalok
yang
bervariasi
bentuknya dan warna yang menarik.Jika
anak menggunakan sejumlah angka
dalam kehidupan sehari-hari, maka
mereka
perlu
menemukan
penggunaannya bukan diajar cara untuk
Halaman | 146
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
menggunakannya. Anak tidak belajar
hanya dengan memanipulasi obyek
tetapi juga dari abstraksi reflektif ketika
mereka bertindak atau memanipulasi
obyek (Richard, 1984: 22).
Berdasarkan beberapa uraian di
atas, maka dapat dipertegas bahwa untuk
mengenalkan konsep bilangan atau
angka pada anak usia 5-6 tahun dapat
dilakukan dengan bermain konstruktif
dengan menggunakan benda yang ada di
sekitar lingkungan anak seperti balok,
batu, atau potongan-potongan kayu
kecil, puzzle, tepung, buah-buhan,
dedaunan yang dirangkai menjadi suatu
bentuk tertentu dan sebagainya sehingga
secara tidak langsung anak menghafal
urutan
angka
1-20.Mengenai
kemampuan anak terhadap konsep
bilangan atau angka antara yang satu
dengan yang lainnya tidak sama
walaupun umur mereka sama, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor: (1)
Kondisi organ alat indera, (2)
Kepribadian, (3) Kesempatan belajar, (4)
Tipe pengalaman, (5) Jenis kelamin, (6)
Inteligensi (Hurlock, 1997: 46-47).
Organ alat indera bagi anak yang
normal akan mengirim pesan yang jelas
ke otak dibandingkan dengan anak yang
mengalami gangguan terhadap organ
indera, karena kesan benda yang
ditangkap oleh organ indera tidak
jelas.Proses logis dari matematika harus
didasarkan pada struktur psikologis yang
ada pada anak-anak. Struktur ini berubah
ketika
anak-anak
matang secara
psikologis dan secara neurologist dan
ketika anak-anak telah mengalami
pengalaman yang dibutuhkan dalam
dunia fisik. Pengalaman ini harus
melibatkan tindakan yang dilakukan
pada obyek dan komunikasi dengan
orang-orang lain seperti guru ataupun
dengan teman-temannya. Dari aliran
Developmentalist menyatakan bahwa
memperbaiki
kesalahan
anak-anak
pertama kali guru harus memahami
tentang konsep bilangan atau angka yang
diajarkan.
Anak-anak
langsung
menyelidiki situasi untuk dirinya dengan
menggunakan material fisik atau
kongkrit (Richard, 1984: 9-11).
Dalam kehidupannya anak-anak
khususnya anak usia 5-6 tahun
kepribadiannya
mengalami
perkembangan dari yang suka bermain
peran sampai kepada bermain yang
kongkrit, artinya anak semakin mampu
memandang lingkungannya sebagaimana
adanya. Menurut Piaget anak usia 5-6
tahun ada pada tahap pra operasional.
Siegler (1997) dalam sebuah sumber
menjelaskan bahwa pada usia 5 tahun
cara anak berpikir yaitu egosentris,
mereka mulai sadar akan perasaan dan
sudut pandang orang lain (Seefeldt &
Wasik, 2008: 81). Pada usia ini anak
mulai mengerti bahwa mereka merasa
bahagia bila orang lain tidak bahagia dan
mulai merima orang lain tidak harus
melakukan permainan tepat seperti
permainan yang sedang mereka lakukan.
Pada usia ini anak lebih suka ditemani
oleh teman dibandingkan oleh dewasa.
Hubungan sosial dapat mempengaruhi
kognitif dan emosi anak-anak. Anak
yang ditolak secara sosial akan menjadi
anak yang tidak bahagia di sekolah
(Seefeldt & Wasik, 2008: 885-86).
Kesempatan belajar akan memberikan
peluang bagi anak untuk meningkatkan
penguasaan terhadap konsep bilangan
atau angka. Proses belajar bagi anak usia
5-6 tahun diperoleh melalui bermain,
dengan menggunakan sarana yang ada.
Bredekamp (1987), Cheyne dan Rubin
(983), Piaget (1962) dalam Seefeldt
mengemukakan bahwa bagi anak kecil,
bermain dipercaya menjadi dasar untuk
pembelajaran.
Ketika
anak-anak
menggunakan perasaan, rasa dan bau
pada obyek baru, mereka mendapatkan
pengetahuan baru tentang obyek
tersebut, dengan bermain memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk
memahami alam mereka dan belajar
tentang konsep bilangan atau angka dan
Halaman | 147
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
bentuk (Caroll, Alice Galper, 1998:
299). Kesempatan bermain bagi anak
merupakan
sesuatu
yang
paling
berharga,
dengan
bermain
anak
mengasah kemampuannya, mencoba
menyesaikan masalah yang sederhana.
Bermain
menyediakan
kesempatan
kepada anak untuk berinteraksi dengan
obyek. Anak memiliki kesempatan untuk
menggunakan
inderanya,
seperti
menyentuh, mencium, melihat dan
mendengarkan untuk mengetahui sifatsifat obyek (Santoso, 2011: 58). Guru
perlu menciptakan kesempatan yang
memungkinkan
anak-anak
untuk
merefleksikan pikiran mereka. Di akhir
kegiatan guru maupun orang tua
biasanya bertanya tentang pengalaman
yang diperoleh pada saat mereka
bermain.Upaya tersebut dilakukan secara
rutin sehingga anak secara perlahanlahan, tahap demi tahap belajar
memecahkan masalah yang mereka
alami (Seefeldt & Wasik, 2008:
390).Perkembangan pemahaman tentang
konsep pada periode awal didasarkan
kepada pengalaman yang diperoleh dari
orang lain seperti dari acara siaran TV,
radio atau juga dapat dari lingkungan
anak itu sendiri. Lingkungan anak yang
paling banyak memberikan andil
terhadap kemampuan tentang konsep
bilangan atau angka, karena anak hidup
dengan alamnya sendiri dan selalu
berinteraksi dengan lingkungannya, oleh
karena itu guru, peran orang tua dan
orang dewasa lainnya sangat diharapkan
untuk ikut menyediakan media yang
sesuai dengan kemampuan serta usia
anak.
Sejak awal masa kanak-kanak
telah dilatih untuk berpikir dan bertindak
dengan cara yang dianggap sesuai
dengan jenis kelamin mereka, sehingga
sejak itu juga anak sudah memilih jenis
permainan yang sesuai dengan keadaan
dirinya, Seperti contoh anak laki-laki
suka bermain perang-perangan, kejarkejaran, mobil-mobilan dan sebagainya,
semetara anak perempuan lebih memilih
jenis permainan yang mengarah kepada
pekerjaan perempuan seperti: bermain
jual-jualan, masak-masakan, bermain
boneka dan sebagainya. Namun dalam
bermain konstruktif dapat dilakukan oleh
anak
laki
maupun
perempuan,
tergantung
dengan
media
yang
digunakan.
Ciri-ciri anak mulai menyukai
permainan dengan konsep bilangan atau
angka, yaitu: a) Anak mulai menyebut
urutan bilangan tanpa pemahaman, b)
Anak mulai menghitung benda-benda
yang ada di sekitarnya secara spontan, c)
Anak mulai membanding-bandingkan
benda-benda dan peristiwa yang ada di
sekitarnya, d) Anak mulai menjumlahjumlahkan atau mengurangi angka dan
benda-benda yang ada di sekitarnya
secara tanpa disengaja mendapatkan
beberapa video pengenalan angka yang
mungkin menarik buat anak. Saat anak
sudah mengenal semua angka dari 1
sampai dengan 20, atau mungkin sampai
100, maka dia sudah siap untuk belajar
dasar-dasar berhitung. Ini bisa dimulai
dengan aktivitas sederhana, seperti
berhitung jumlah obyek yang sama
dalam
satu
tampilan
(http://www.makemac.com/tipsberhitung-bermain-anak-usia-dini-ipad/).
Manfaat mengenalkan konsep
bilangan atau angka bagi anak usia dini
yaitu melatih kepekaan anak terhadap
setiap benda yang ada di lingkungan
anak, di samping untuk menanamkam
perasaan senang dengan bilangan
sehingga setelah masuk di sekolah
lanjutan anak tidak merasa tertekan atau
stres berhadapan dengan bidang studi
yang terkait dengan angka. Manfaat lain
yaitu untuk melatih ketelitian dan
ketekunan untuk mengingat sesuatu yang
terakait dengan angka.
KESIMPULAN
Bermain konstruktif merupakan
salah satu jenis bermain yang
Halaman | 148
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
menggunakan benda untuk membangun
atau membentuk sesuatu. Melalui
bermain anak memperoleh kesenangan
dan yang paling penting adalah dapat
menstimulasi perkembangan kognitif,
fisik motorik, bahasa, sosial emosional
dan
nilai-nilai
moral,
sehingga
diharapkan anak tumbuh sehat, cerdas
dan ceria. Anak memilih jenis permainan
sangat tergantung dengan usia anak,
kondisi organ alat indera, kepribadian,
kesempatan belajar, tipe pengalaman,
jenis kelamin, dan inteligensi. Media
yang
digunakan
untuk
bermain
konstruktif bagi anak usia 5-6 tahun
adalah balok, puzzel, potongan kayu,
tepung, plestisin atau media lain yang
ada di sekitar anak. Dengan bermain
kontruktif dapat melatih anak untuk
belajar tentang bilangan atau angka
dengan menghitung jumlah benda yang
digunakan, dan secara tidak disadari
anak akan memiliki pemahaman tentang
konsep bilangan atau angka. Disamping
itu, peran orang tua, guru dan
pemerintah sangat diharapkan untuk
memberikan perhatian yang serius
kepada anak usia dini khususnya pada
usia 5-6 tahun, karena pada usia tersebut
kemampuan, bakat dan minat anak
terhadap
matematika
dapat
diperkenalkan dengan konsep bilangan.
DAFTAR PUSTAKA
Carol Seefeldt, Alice Galper, 1998.
Continuing Issues in Early
Childhood Education, New
Jersey: Prentice Hall,Inc.
Carol Seefeldt & Barbara A.Wasik,
2008.Pendidikan Anak Usia
Dini, Menyiapkan Anak Usia
Tiga, Empat, dan Lima tahun
masuk Sekolah, Edisi 2. Jakarta:
PT.Indeks.
Carol Seefeldt & Nita Barbour, 2004.
Early Chilhood Education An
Introduction,
New
York:
Macmillian College Publishing
Company.
Djamarah,Syaiful Bahri, 2004. Pola
Komunikasi Orang Tua & Anak
Dalam
Keluarga,
Sebuah
Perspektif Pendidikan Islam,
Jakarta: Rineka Cipta.
Dockett Sue & Marylin Fleer, 2000.Play
and Pedagogy in
Early
Chilhood Bending the Rules,
Sydney: Harcourt.
Dodge, Diane Trister dan Laura J.
Colker.
2002.
Creative
Cirriculum
for
Early
Childhood, Washington, DC:
Teaching Stategies.
Fadlillah, dkk., 2014. Pendidikan Anak
Usia
Dini,
Menciptakan
Pembelajaran Menarik, Kreatif
dan Menyenangkan, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Forum Padu, 2004.Potret Pengasuhan,
Pendidikan dan Pengembangan
Anak Usia Dini di Indonesia,
Jakarta.
Gestwitcki Carol, 2007. Developmentaly
Appropriate
Practice,
Curriculum And Development
In Early Education, Canada:
Thomson, Delmar Learning.
Naughton, G.Max. 2003. Shaving Early
Childhood:
Learners,
Curriculum
and
Contexts,
Midenhead, Berkshire: Open
University Press.
Padmonodewo,
Soemantri,
2003.
Pendidikan Anak Prasekolah,
Jakarta: Rineka Cipta.
PT. Kloang Klede Putra Timur, 2003.
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun
Halaman | 149
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 2 Edisi Oktober 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
2003
Tentang
Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Richard Copeland W., 1984. How
Children Learn Mathematics,
Teaching
Implications
of
Piaget’s Research, New York:
Macmillan
Publishing
Company.
Santoso Soegeng, 2002. Pendidikan
Anak Usia Dini, Jakarta:
Yayasan
Citra
Pendidikan
Indonesia.
, 2011. Konsep Pendidikan Anak
Usia Dini Menurut Pendirinya
2, Jakarta.
Santrock, John W., 1997. Live Span
Development,sixth
edition,
Texas: Brown & Benchmark.
Stone, Sandra,J., 1993. Playing, A Kid’s
Curiculum 1001 Activities
Young Children, Agos 2-6,
USA: GoodYearBooks.
Sunar,
Prasetyono
Dwi,
2007.
Membedah Pikologi Bermain
Anak, Jogjakarta: Think.
Suryabrata Sumadi, 1995. Psikologi
Pendidikan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Suyanto Slamet, 2005. Dasar-Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini,
Yogyakarta: Hikayat.
Tedjasaputra,Mayke S., 2001. Bermain
Mainan
dan
Permainan,
Jakarta: PT Gramedia.
Triharso
Siskandar, 2003.Buletin PAUD, Jurnal
Ilmiah Anak Usia Dini, Menu
Pembelajaran PADU, Jakarta,
Proyek Pengembangan Anak
Dini Usia.
Agung, 2013. Permainan
Kreatif & Edukatif Untuk Anak
Usia Dini, Yogyakarta, Andi.
Yuliani Nurani Sujiono, 2012. Konsep
Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini, Jakarta: Indeks.
Halaman | 150
Download