Mewaspadai Banjir Lahar Gunung Bromo

advertisement
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, www.bmkg.go.id - 13 Januari 2011
ARTIKEL KEBUMIAN
Mewaspadai Banjir Lahar Gunung Bromo
Oleh: Daryono, S.Si.,M.Si.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Email: [email protected]
ERUPSI Gunung Bromo (2.392 meter dpl) di Jawa Timur hingga saat ini belum menunjukkan
tanda-tanda berhenti. Aktivitas Gunung Bromo yang masih tinggi hingga memasuki musim
hujan saat ini perlu di waspadai oleh seluruh warga yang bermukim di sepanjang daerah aliran
sungai yang berhulu di Kaldera Bromo. Peluang terjadinya banjir lahar yang lebih besar dapat
terjadi akibat curah hujan di atas normal dampak penyimpangan iklim global La Nina yang
masih berlangsung hingga sat ini.
Banjir Lahar
Aktivitas Gunung Bromo yang masih berlangsung hingga saat ini banyak menimbulkan tanda
tanya sekaligus perasaan khawatir pada sebagian besar warga masyarakat di sekitar Bromo.
Sampai kapankah erupsi Gunung Bromo akan berakhir, sementara Gunung Merapi di
Yogyakarta sudah menghentikan aktivitas erupsinya. Apa perbedaan karakteristik erupsi pada
kedua gunungapi tersebut?
Gambar 1. Erupsi Gunung Bromo, Minggu 26 Desember 2010
Ada perbedaan karakteristik erupsi antara Gunung Bromo dengan Gunung Merapi. Jika Gunung
Bromo memiliki tingkat eksplosifitas rendah karena karakteristik magmanya yang cair, maka
Gunung Merapi dinilai lebih berbahaya karena karakteristik magmanya yang lebih kental
sehingga menghasilkan letusan eksplosif yang lebih kuat. Merapi juga dinilai lebih berbahaya
karena memiliki bentuk pelepasan energi magma yang berupa awan panas atau wedhus gembel
yang mematikan, sementara Gunung Bromo tidak memiliki bentuk pelepasan energi berupa
luncuran awan panas.
Meskipun risiko letusan Gunung Bromo dinilai lebih rendah, namun dengan aktivitasnya yang
masih terus menyemburkan hujan abu tebal dapat menyebabkan potensi bahaya sekunder berupa
banjir lahar yang semakin besar di puncak musim hujan ini. Lahar merupakan material
piroklastik yang mengalir akibat bercampur dengan air hujan. Meskipun material lahar tersusun
atas abu gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih deras dan
lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa.
Pada beberapa kasus letusan gunung api, ternyata dampak banjir lahar terkadang lebih berbahaya
daripada letusan gunungapi itu sendiri. Letusan kecil Gunungapi Nevado del Ruiz di Columbia
tahun 1985 menewaskan lebih dari 23.000 orang tewas. Korban tewas ini tidak disebabkan oleh
letusan gunungapi tetapi akibat tersapu banjir lahar. Contoh lain adalah peristiwa letusan
Gunungapi Pinatubo di Filipina tahun 1991. Sebanyak 100.000 rumah rusak berat bukan
disebabkan oleh letusan gunung tetapi hanyut akibat banjir lahar.
Gambar 2. Banjir lahar Bromo mengalir ke beberapa sungai di wilayah Kabupaten Probolinggo
Tingkat kerentanan banjir lahar dapat diketahui berdasarkan analisis kondisi geomorfologi dan
peta unit lahan. Berbeda dengan tingkat kerentanan erupsi, maka tingkat kerawanan banjir lahar
justru terletak di dataran kaki gunungapi. Dataran kaki memiliki kerentanan tinggi disebabkan
karena kawasan ini menjadi zona bebas luncuran lahar dari lereng gunung hasil akumulasi aliran
material. Contoh nyata bencana banjir lahar di dataran kaki yang sedang berlangsung saat ini
adalah luapan banjir lahar Merapi di Kali Putih yang memutuskan jalur transportasi MagelangYogyakarta.
Material lumpur dan pasir yang memiliki massa jenis besar ini mengalir cepat dan meluncur
menuruni lereng-lereng gunung dengan dengan percepatan yang makin besar. Karena laju aliran
lahar ditopang oleh gaya gravitasi, maka semakin cepat laju banjir lahar maka akan semakin
besar potensi kerusakan yang dapat ditimbulkannya. Endapan material vulkanik seperti abu,
pasir dan krikil hasil letusan Bromo yang semakin tebal di musim hujan sat ini merupakan
bentuk ancaman baru yang dapat meningkatkan potensi banjir lahar di daerah aliran sungai yang
berhulu di kaldera Bromo seperti Sungai Patalan, Sungai Kedung Galeng, dan Sungai Pesisir.
Di Atas Normal
Puncak musim hujan di kawasan Bromo terjadi pada bulan Januari pada setiap tahunnya.
Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan di stasiun pengamatan hujan di Daerah Sapih
yang lokasinya paling dekat dengan puncak Bromo, diketahui kawasan Bromo mengalami curah
hujan tertinggi pada bulan Januari, sekitar 421 milimeter.
Anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik ekuator yang menunjukkan kondisi cukup dingin,
sementara anomali suhu muka laut di sekitar Indonesia diprediksi cukup hangat hingga Pebruari
2011 dan mulai mendingin pada Maret 2011. Berlangsungnya penyimpangan iklim global La
Nina semacam ini, yang ditambah dampak cuaca faktor regional seperti monsun baratan, zona
konvergensi di busur Jawa semakin memberi berpeluang terjadinya curah hujan di atas normal.
Citra satelit cuaca pada awal Januari menunjukkan wilayah Indonesia sedang berlangsung
pembentukan zona konvergensi hasil pertemuan massa udara yang membawa uap hujan dari
belahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Dampaknya, di Pulau Jawa akan terjadi hujan
lebat diiringi petir, angin kencang, dan gelombang laut yang tinggi. Memperhatikan dinamika
atmosfir dan suhu muka laut ekuator, tampak ada kecenderungan akan terjadi peningkatan
intensitas curah hujan pada periode puncak musim hujan saat ini hingga bulan Pebruari 2011.
Upaya mitigasi sekecil apapun dapat bermanfaat untuk meperkecil kerugian baik harta, benda
dan jiwa manusia. Selain ancaman banjir lahar, dampak curah hujan di atas normal juga dapat
memicu kemungkinan terjadinya ancaman bencana lain seperti bencana tanah longsor yang
dapat terjadi di lereng–lereng terjal perbukitan di sekitar Bromo. Sosialisasi waspada banjir lahar
dan longsor tampaknya mendesak untuk dilakukan bagi penduduk di sekitar Bromo khususnya
mereka yang bermukim di sepanjang jalur sungai yang berhulu di puncak Bromo.***
Download