II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Gurame Ikan gurame merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih lebar, bagian punggung berwarna merah sawo dan bagian perut berwarna kekuning-kuningan/keperak-perakan. Ikan gurame merupakan keluarga Anabantidae, keturunan Helostoma dan bangsa Labyrinthici (Tarwiyah, 2001). Ikan gurame ini memiliki pertumbuhan yang lamban. Selain itu, ikan ini pun memiliki waktu yang lama untuk dapat matang gonad dan dapat dipijahkan yaitu sekitar 2-3 tahun. Gambar 1. Ikan Gurame Klasifikasi ikan gurame adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Labyrinthici Sub Ordo : Anabantoidae Famili : Anabantidae Genus : Osphronemus Species : Osphronemus gouramy (Lacepede) Ikan gurame memiliki ciri-ciri jantan dan betina yang dapat dibedakan secara fisik yaitu ikan betina mempunyai dasar sirip dada yang gelap atau berwarna kehitaman, warna dagu ikan betina keputih-putihan atau sedikit coklat, jika diletakkan di lantai maka ikan betina tidak menunjukan reaksi apa-apa. Sedangkan induk jantan mempunyai dasar sirip berwarna terang atau keputihputihan, mempunyai dagu yang berwarna kuning, lebih tebal daripada betina dan menjulur. Induk jantan apabila diletakkan pada lantai atau tanah akan menunjukkan reaksinya dengan cara mengangkat pangkal sirip ekornya ke atas (Tarwiyah, 2001). Ikan gurame mampu menghasilkan telur sekitar 2000-3000 butir untuk jenis bastar, sedangkan untuk jenis porselen dapat menghasilkan telur sampai 10.000 butir (Sitanggang, 1999). 2.2 Ikan Nila Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini berukuran sedang, panjang total (moncong hingga ujung ekor) bisa mencapai sekitar 30 cm. Sirip punggung (dorsal) dengan 16-17 duri (tajam) dan 11-15 jari-jari (duri lunak); dan sirip dubur (anal) dengan 3 duri dan 8-11 jari-jari (Bardach et al., 1972). Tubuh berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang) yang makin mengabur pada ikan dewasa. Ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah. Tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung dengan warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim berbiak (Bardach et al., 1972). Gambar 2. Ikan Nila Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Species : Oreochromis niloticus Ikan nila merupakan salah satu ikan yang memiliki pertumbuhan yang cepat. Selain itu, ikan nila juga memiliki umur pemijahan yang singkat yaitu 2-3 bulan sudah dapat dipijahkan. Ikan ini bertelur antara 2000-2500 butir tergantung besar kecilnya induk. Suhu yang cocok bagi ikan nila berkisar antara 25 -31 °C. 2.3 Transplantasi sel Transplantasi sel adalah pemindahan sel yang berasal dari donor kepada individu resipien. Pada rekayasa genetik dan reproduksi perikanan, teknologi transplantasi sel atau teknologi induk semang dilakukan dengan cara menyuntikkan sel germinal berupa primordial germ cells (PGCs) (Takeuchi et al., 2003) atau sel spermatogonia (Okutsu et al., 2006b) ke dalam rongga perut larva ikan resipien yang nantinya sel tersebut akan berubah menjadi sel sperma ataupun sel telur. Pemijahan induk semang yang sudah ditransplantasikan sel donor tersebut akan menghasilkan ikan target (Okutsu et al., 2006a). Teknologi transplantasi sel digunakan untuk memproduksi ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis ataupun ikan yang hampir punah. Pada bidang perikanan yang berhubungan dengan reproduksi, transplantasi sel dilakukan dengan menggunakan sel germinal. Sel germinal ini akan memindahkan informasi genetik dari generasi ke generasi berikutnya, berdiferensiasi pada awal embryogenesis dari sejumlah kecil sel yaitu sel bakal gonad (Primordial Germ Cells, PGCs). PGCs merupakan sel germinal awal sebelum diferensiasi seksual gonad, yang memiliki kemampuan menjadi oogonia dan spermatogonia di dalam ovari dan testis (Yoshizaki et al., 2002). Teknologi transplantasi sel germinal pada ikan pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Dr. Yoshizaki di Tokyo University of Marine Science and Technology yaitu pada ikan rainbow trout. Pada awalnya, aplikasi transplantasi sel menggunakan sel PGC sebagai materialnya. Sel PGC rainbow trout ditransplantasikan ke ikan salmon masu sebagai resipien, dan ternyata sel tersebut mengalami gametogenesis secara normal pada gonad ikan salmon masu (Takeuchi et al., 2004). Akan tetapi, jumlah sel PGC pada ikan relatif sedikit yaitu hanya sekitar 20-30 sel per embrio ikan rainbow trout, dan pengambilan sel PGC pada larva yang baru menetas umumnya relatif sulit (Yoshizaki et al., 2008). Untuk menanggulangi masalah pengadaan sel PGC, pengembangan teknologi transplantasi selanjutnya adalah menggunakan sel testikular yang di dalamnya mengandung sel stem (sel punca) spermatogonia (spermatogonial tipe A). Transplantasi sel testikular telah dilakukan pada ikan rainbow trout (Okutsu et al., 2006b) dan sekitar 10.000 sel testikular ikan rainbow trout yang ditransplantasikan dapat terinkorporasi di dalam genital ridge resipien dalam waktu 20 hari setelah transplantasi. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa sel testikular dapat berkolonisasi dalam gonad embrio dan dapat berdiferensiasi menjadi germinal jantan dan betina. 2.4 Marker Molekular Marker molekular berguna dalam membedakan sel donor dan sel resipien. Pada mulanya, PGC ikan dapat dikenali dengan histologi berdasarkan karakter morfologinya, seperti ukuran, rasio nukleositoplastomik, granular nuclear chromation (Patino & Takashima 1995 dalam Yoshizaki et al., 2000). Berdasarkan penelitian Moore (1937) dalam Yoshizaki et al. (2000) bahwa secara histologi, PGC ikan rainbow trout dapat diidentifikasi pada tahap mesoderm ketika mendekati blastopore, sembilan hari setelah fertilisasi. Akan tetapi, tidak diketahui mekanisme molekular yang mengatur penentuan dan perkembangan PGC ikan tersebut, sehingga diperlukan analisa secara molekular untuk mengidentifikasi sel germinal ikan. Pengembangan awal pembuatan marker molekular dilakukan melalui penelitian cloning dan isolasi gen vasa (RtVLG) pada ikan rainbow trout (Yoshizaki et al., 2000). Hasil dari penelitian tersebut adalah RtVLG yang dapat digunakan sebagai marker untuk PGC embrio ikan rainbow trout karena ekspresi gen tersebut hanya pada sel germinal. Selain itu, Wolke et al. (2002) dalam Takeuchi et al. (2002) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan gen GFP sebagai reporter, akan diketahui daerah pengatur ekspresi gen RtVLG. Pengatur ekspresi (promoter) gen yang terletak di ujung 5’ dan sekuens ujung 3’ serta intron pertama gen RtVLG yang mengandung cis-element yang esensial bagi vasa disambungkan dengan gen GFP untuk mengetahui pola ekspresinya pada PGC secara spesifik dan rainbow trout hidup. Ekspresi RtVLG hanya dapat dideteksi pada populasi sel PGC yang mengandung gen GFP. Penggunaan gen GFP sebagai marker molekular sudah memberikan hasil yang sangat baik dalam pengembangan transplantasi sel. Akan tetapi, penyediaan ikan transgenik masih sangat terbatas dan tidak dapat dilepaskan ke alam. Untuk menanggulangi hal tersebut maka perlu adanya metode visualisasi sel germinal yang tidak menggunakan ikan transgenik. Pada tahun 2005, telah dikembangkan sistem visualisasi sel germinal menggunakan RNA GFP-vasa dengan metode injeksi kimera mRNA (Yoshizaki et al., 2005). Metode ini memiliki keunggulan yaitu waktu yang pendek dalam memproduksi benih melalui induk semang (Takeuchi et al., 2003). Akan tetapi, sifat mRNA mudah terdegradasi sehingga injeksi kimera mRNA untuk marker molekular PGC hanya bersifat sementara (Yoshizaki et al., 2005). Pada tahun 2008, pengembangan marker molekular dilakukan melalui metode PCR yaitu dengan menggunakan primer spesifik. Menurut Okutsu et al. (2008) bahwa sel germinal donor ikan rainbow trout dapat diidentifikasi menggunakan primer spesifik berdasarkan sekuen gen vasa yang diamplifikasi dengan metode PCR, sehingga hanya DNA dari sel germinal ikan rainbow trout saja yang dideteksi oleh primer tersebut. Menurut Marlina (2009) bahwa marker molekular GH dan vasa dapat dijadikan sebagai penanda untuk mengidentifikasi sel germinal donor (ikan gurame) di dalam gonad resipien (ikan nila). Marker molekular GH lebih sensitif dibandingkan vasa dalam mengidentifikasi sel donor ikan gurame, dengan kemampuan mendeteksi 1 sel gurame di antara 104 sel nila. 2.5 PCR (Polymerase Chain Reaction) Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan dari istilah bahasa Inggris polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Teknik ini dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar dalam waktu singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel (http://id.wikipedia.org/wiki/Reaksi_berantai_polimerase). yang sangat kecil Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap. Tiga tahap tersebut yaitu tahap pertama adalah peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94–96°C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi utas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua utas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat ("cetakan") bagi primer. Tahap kedua adalah penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini berlangsung beberapa puluh detik hingga tahap berikutnya. Tahapan ketiga adalah pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase (P pada (Gambar 3) yang dipakai. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 72°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit untuk 1 kb DNA templat. Proses PCR dapat dilihat pada Gambar 3. Setelah tahap ketiga, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Tahap keempat pada gambar menunjukkan perkembangan yang terjadi pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa DNA baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat utas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial. Primer merupakan hal yang penting untuk mencapai sensitivitas dan spesivitasnya yang lebih tinggi. Karanis et al. (2007) menyebutkan bahwa PCR mampu mengamplifikasi konsentrasi terendah yang setara dengan 105 oosit Cryptosporidium. Reaksi PCR termasuk DNA templat yang bentuknya dapat beragam, primer, buffer, enzim polymerase untuk mengkatalis copy DNA baru, dan dNTP untuk membentuk copy DNA yang baru. Proses yang berlangsung dari reaksi thermocycling adalah DNA templat didenaturasi, primer menempel pada daerah komplemennya dan enzim polimerase mengkatalis penambahan nukleotida pada masing-masing primer, kemudian membuat copy baru dari daerah targetnya (Dale & Schantz, 2002). Gambar 3. Prinsip amplifikasi DNA dengan metode PCR ; 1. Tahap denaturasi, 2. Tahap annealing, 3. Tahap ekstensi (P: Polimerase), 4. Perkembangan pada siklus selanjutnya (Erlich, 1989). 2.6 Primer Spesifik Primer spesifik adalah DNA untai tunggal pendek yang dapat mengamplifikasi DNA tertentu saja. Desain primer sangat mempengaruhi keberhasilan amplifikasi. Agar primer dapat bekerja secara optimal, maka primer yang didesain sebaiknya memiliki panjang 20-30 nukleotida dengan kandungan GC sekitar 30-70%. Pembentukan primer dimer dapat terjadi apabila ujung basa 3’ merupakan komplemen (Rasmussen, 1992). Primer spesifik didesain dengan cara menyejajarkan beberapa sekuen DNA untuk memperoleh area forward dan reverse yang potensial yang dapat mendeteksi dan mengamplifikasi DNA target. Menurut Nugroho et al. (2008) primer spesifik GH gurame dirancang dengan menyejajarkan (alignment) sekuen GH gurame dan sekuen GH nila. Menurut Erlich, (1989) bahwa primer dapat didesain dengan mempertimbangkan beberapa faktor yaitu: a. Distribusi basa acak dan kandungan GC yang mirip dengan fragmen – fragmen yang akan diamplifikasi. Menghindari primer dengan sekuen polipurin, polipirimidin, atau sekuen lain yang unusual seperti palindrome. b. Menghindari sekuen dengan struktur yang dapat membentuk loop. c. Sekuen primer tidak saling komplemen Kebanyakan primer memiliki panjang 20-30 basa yang disintesis sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Primer akan bekerja dengan tingkatan suhu yang berbeda-beda berdasarkan target yang diharapkan (Erlich, 1989) 2.7 Pewarna Sel PKH-26 PKH-26 merupakan bahan kimia yang bisa melabeli sel sehingga berpendar fluoresen dalam jangka waktu tertentu dan tidak beracun. PKH-26 dapat digunakan untuk berbagai jenis sel. Selain itu, bahan kimia ini juga memiliki sifat yang kuat, tidak bocor ataupun transfer dari sel ke sel. Dalam berbagai penelitian, PKH-26 sering digunakan untuk melabeli sel seperti pelabelan bakteri yang dilakukan oleh Kollner et al. (2001) yang melabeli bakteri Aeromonas salmonisida dalam penelitiannya untuk mengetahui monoklonal antibodi pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Selain itu, pada penelitian Fischer et al. (1998) PKH-26 digunakan untuk melabeli eritrosit pada ikan koki Carassius auratus. Terdapat tiga jenis kit PKH yang dapat digunakan untuk pelabelan sel antara lain PKH-2, PKH-67, dan PKH-26. PKH-2 dan PKH-67 merupakan pelabel sel berpendar hijau dengan eksitasi (490 nm) dan emisi (504 nm), sementara PKH-26 adalah berpendar merah dengan eksitasi (551 nm) dan emisi (567 nm).