BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres 2.1.1. Definisi Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003). Menurut Morgan dan King, “…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986). Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (AAT Sriati, 2007). 2.1.2. Kajian mengenai stres Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali diajukan oleh Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia menggambarkan prinsip-prinsip keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi) di lingkungan badan internal, sangat penting untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, perubahan dalam lingkungan eksternal Universitas Sumatera Utara atau kekuatan eksternal yang mengubah keseimbangan internal harus bereaksi dan mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan hidup. Contoh kekuatan eksternal adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di udara, pengeluaran energi, dan keberadaan predator. Selain itu, penyakit juga stres yang mengancam keseimbangan lingkungan internal tubuh (Nasution I. K., 2007). Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah dijelaskan Bernard. Dia juga adalah yang pertama untuk memperkenalkan bahwa stresors dapat berupa emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. (Nasution I. K., 2007) Seterusnya, Hans Selye, seorang ilmuwan awal yang mempelajari stres, melanjut pengamatan Cannon. Beliau mengatakan bahawa selain daripada respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007) Dalam eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus gastrointestinal dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu proses adaptasi umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa Universitas Sumatera Utara proses ini adaptif, penyesuaian yang sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres. Proses adaptif yang berlebihan, dapat merusak tubuh. Overstres, bisa berbahaya. (Nasution I. K., 2007) 2.1.3. Jenis-jenis stres Quick dan Quick (1984) dan Hans Selye dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat dua jenis stres, yaitu eustres dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong tubuh untuk beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh mampu menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah hambatan dan meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif, sehat, dan menantang (Walker.J, 2002). Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah fisik atau psikologis. Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung bereaksi secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal (Walker.J, 2002). 2.1.4. Sumber stres Sumber stres atau penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara penyebabnya adalah, fisik, psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa. Pada stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu Universitas Sumatera Utara biasanya yang bersifat negatif seperti frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah, kuatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresor sosial yaitu tekanan dari luar disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial yang bersifat traumatic yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pension, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan lain-lain. (Nasution I. K., 2007). 2.1.5. Mekanisme stres Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres: 1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi intensitas respons stres. 2) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi. 3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres. 4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas dapat menambah atau mengurangi respons stres. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Alur mekanisme respons tubuh terhadap stres Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight (Nasution I. K., 2007). 2.1.6. Gejala stres Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitif dan hyperreactivity, memendam perasaan, penarikan diri depresi, komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri. Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah : meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin), Universitas Sumatera Utara gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan, kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada, gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker. Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotaj dalam pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas, perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tandatanda depresi, meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi, meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak semestinya dianggap sebagai stres oleh yang lain. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan berbeda pada setiap individu (AAT Sriati, 2007). 2.1.7. Penentuan tahap stres Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala. Antaranya adalah dengan menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item. DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya Universitas Sumatera Utara untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian (Lovibond & Lovibond, 1995). Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat berat. Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item, mencakup 3 subvariabel, yaitu fisik, emosi/psikologis, dan perilaku. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-119 (berat); >120 (Sangat berat) (Lovibond & Lovibond, 1995). Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti Perceived Stres Scale(PSS) atau Profile Mood States(POMS). Alat-alat ini digunakan sebagai instrument untuk mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai alat untuk mendiagnosa (Cohen, 1983). 2.1.8. Stres pada mahasiswa Fenomena stres di kalangan pelajar universitas merupakan satu topik yang sering menjadi bahan kajian kebanyakan pengkaji. Terdapat banyak faktor yang boleh menyebabkan seseorang pelajar mengalami stres seperti lingkungan, akademik, persaingan kerjaya, hubungan interpersonal dan cara pemikiran pelajar juga boleh menyumbang stres kepada pelajar. Justeru, stres masih tidak boleh dipisahkan dengan kehidupan pelajar dalam kesibukan mereka menuntut ilmu dan memperolehi pelbagai kemahiran di universitas. Perbedaan stres di kalangan pelajar juga adalah berbeza. Terdapat pelajar yang berupaya berhadapan dengan stres tanpa mengalami apa-apa kesan fizikal, mental atau emosi yang negatif serta boleh memotivasikan diri. Terdapat juga pelajar yang tidak berupaya menguruskan stres apabila berada dalam pengajian di universiti. Stres yang melebihi pada tahap tertentu sekiranya tidak dikawal akan mewujudkan pelbagai masalah kepada setiap individu. Kebiasaannya, Universitas Sumatera Utara stres akan dialami dalam pelbagai keadaan seperti rasa kesunyian, kurang tidur, keresahan, kebimbangan yang tinggi serta simptom-simptom fisiologi yang ditunjukkan kesan daripada sesuatu peristiwa yang dialami (Wright, 1967). Oleh yang demikian, stres boleh menyebabkan kehidupan dan pergaulan seharian seseorang pelajar terjejas sehingga memberi dampak negatif terhadap tahap kesihatan, personaliti, interaksi sosial dan pencapaian akademik mereka. Menurut Campbell dan Svenson (1992), apabila stres dilihat dari aspek negatif atau tekanan yang terlalu tinggi, ia boleh mendatangkan kesan negatif terhadap kesihatan dan pencapaian akademik seseorang pelajar (Mastura, 2007). Stres yang bersifat konstan dan terus menerus mempengaruhi kerja kelenjar adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon. Adrenalin, tiroksin, dan kortisol sebagai hormon utama stres akan naik jumlahnya dan berpengaruh secara signifikan pada sistem homeostasis. Adrenalin yang bekerja secara sinergis dengan sistem saraf simpatis berpengaruh terhadap kenaikan denyut jantung, dan tekanan darah. Tiroksin selain meningkatkan Basal Metabolism Rate (BMR), juga menaikkan denyut jantung dan frekuensi nafas. Namun, pemaparan stres yang ringan atau sementara tidak menyebabkan penyakit sistemik. Ia hanya menyebabkan peningkatan tekanan darah sebagai proses homeostasis. Perubahan gaya hidup mahasiswa semasa periode ujian disebabkan oleh stres dan perubahan gaya hidup ini juga boleh menyebabkan stres. Antaranya adalah kekurangan tidur, kurangnya bersenam, pola makan yang berubah, rasa takut menghadapi ujian dan sebagainya. Selain itu, rasa takut dan anxietas semasa ujian juga bisa menyebabkan stres pada mahasiswa. Stres ini memicu respons fight or flight pada tubuh. Ini akan menyebabkan sistem simpatik bekerja. Aktivasi sistem simpatik akan menyebabkan vasokonstriksi supaya darah dipam lebih banyak dalam masa sesaat, di mana stroke volumenya meningkat langsung meningkatkan tekanan darah (Qureshi.F, 2002). Universitas Sumatera Utara 2.2. Tekanan darah 2.2.1. Pengertian tekanan darah Tekanan darah berarti tenaga yang digunakan oleh darah terhadap setiap satuan dinding pembuluh tersebut. Menurut D.G. Beevers (2002) tekanan darah adalah tekanan di dalam pembuluh darah ketika jantung memompakan darah ke seluruh tubuh. Jantung dapat bergerak untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dengan cara mengembang dan menguncup yang disebabkan oleh karena adanya rangsangan yang berasal dari susunan saraf otonom. (Guyton, 1996) 2.2.2. Mekanisme kerja jantung Dalam melakukan kerjanya jantung mempunyai tiga periode yaitu: 1. Periode Konstriksi (periode sistole) Periode konstriksi merupakan suatu keadaan dimana jantung bagian ventrikel dalam keadaan menguncup. Katup bikus dan trikuspidalis dalam keadaan tertutup valvula semilinaris aorta dan valvula semilunaris arteri pulmonalis terbuka, sehingga darah dari ventrikel dekstra mengalir ke arteri pulmonalis masuk ke paruparu kiri dan kanan, sedangkan darah dari ventrikel sinistra mengalir ke aorta kemudian dialirkan ke seluruh tubuh (Lawson.R, 2007). 2. Periode dilatasi (periode diastole) Periode diastole merupakan suatu keadaan dimana jantung mengembang. Katup bikuspidalis dan trikuspidalis terbuka sehingga darah dari atrium sinistra masuk ke ventrikel sinistra dan darah dari atrium dekstra masuk ke ventrikel dekstra. Selanjutnya darah yang ada di paru-paru kiri dan kanan melalui vena pulmonalis masuk ke atrium sinistra dan darah dari seluruh tubuh melalui vena cava masuk ke atrium dekstra (Lawson.R, 2007). Universitas Sumatera Utara 3. Periode istirahat Peride istirahat yaitu waktu antara periode konstriksi (sistole) dan dilatasi (diastole) dimana jantung berhenti kira-kira 1/10 detik (Lawson.R, 2007). 2.2.3. Langkah penentuan tekanan darah Untuk menentukan menggunakan cara tidak besarnya tekanan langsung, darah yaitu biasanya dengan para klinisi menggunakan alat sphygmomanometer atau tensimeter. Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara perabaan (palpasi) dan dengan cara pendengaran (auskultasi). Dalam penelitian ini pengukuran tekanan darah dilakukan secara tidak langsung dengan auskultasi, karena pemeriksaan ini lebih teliti dan mendekati sesungguhnya. Selain menggunakan sphygmomanometer pemeriksaan ini juga membutuhkan alat bantu pendengaran yaitu stetoskop (Qureshi.F, et al., 2002). Fase-fasenya Fase I : Suara gelombang nadi yang pertama melalui manset menyerupai suara pertama jantung yang melemah. Fase II : Suara menjadi lebih keras dan diikuti oleh desingan seperti tiupan. Fase III : Suara menjadi mksimal dan desingan mulai menghilang. Fase IV : Sekonyong-konyong suara menjadi kurang nyata, menjadi suara tertutup (muffing sound). Fase V : Suara hilang. Adapun langkah-langkah penentuan tekanan darah dengan metode ini adalah sebagai berikut: i. Mempersilakan sampel/subjek duduk. ii. Pastikan lengan yang akan diperiksa tidak ditutupi oleh pakaian. iii. Lilitkan bagian bladder cuff di medial lengan atas, tepat di atas arteri brachialis, bagian bawah cuff berada 2,5cm proksimal fossa antecubiti, sejajar dengan letak Universitas Sumatera Utara jantung. Pastikan lilitan cuff tidak terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Posisikan lengan penderita sehingga sedikit fleksi pada sendi siku. iv. Sebelum memompa cuff, buka kunci sphygmomanometer terlebih dahulu, kemudian kunci katup pompa (jangan terlalu kuat). Hadapkan sphygmomanometer ke arah pemeriksa. v. Tetapkan tingginya tekanan cuff, perkirakan tekanan sistol dengan cara palpasi pada arteri radialis. Rasakan pulsasi arteri radialis dengan jari kedua dan ketiga tangan kiri, secara cepat pompa cuff hinga menggembung sampai pulsasi arteri radialis menghilang. vi. Baca tekanan yang dihasilkan pada manometer, kemudian tambahkan 30mmHg. Kempiskan cuff dengan cepat dan sempurna, dan tunggu selama 15-30 detik. vii. Pemeriksa memasang stetoskop. Kemudian, letakkan bell stetoskop di atas arteri brachial. viii. Pompa cuff sampai level yang telah ditetapkan tadi, kemudian kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3mmHg per detik. Catat di mana terdengar suara pertama kali. Ini merupakan tekanan sistole. ix. Lanjutkan menurunkan tekanan secara perlahan sampai suara menghilang sempurna. Ini merupakan tekanan diastole. Turunkan tekanan sampai angka 0. x. Buka cuff dengan cara menggulung, kunci sphygmomanometer, perbaiki sampel/subjek. (Qureshi.F, et al., 2002). 2.2.4. Pengaturan tekanan darah Tekanan darah = cardiac output x tahanan vaskular Gambar 2.2 Hubungan cardiac output dengan tekanan darah Dari rumus di atas, jelas bahwa faktor apa saja yang mengubah curah jantung atau tahanan perifer total (jika faktor lain tidak berubah) akan menyebabkan Universitas Sumatera Utara perubahan tekanan arteri rata-rata. Tekanan arteri diatur oleh beberapa sistem yang saling berhubungan dengan melakukan fungsi-fungsi khusus, yang kesemuanya merupakan mekanisme umpan balik saraf yang mulai bereaksi dalam beberapa detik. Semua mekanisme ini menjadi aktif penuh dalam 30 menit sampai beberapa jam. Pengaturan tekanan arteri meskipun bekerja sangat cepat dan kuat, umumnya kehilangan kemampuan setelah beberapa jam sampai beberapa hari karena reseptor tekanan saraf tersebut ”beradaptasi” atau kehilangan kepekaannya. Disamping mekanisme saraf, untuk mengatur tekanan arteri dengan cepat juga ada mekanisme hormonal dan mekanisme perpindahan cairan kapiler yang mulai bekerja dalam beberapa menit dan berfungsi penuh dalam beberapa jam (Lawson.R, 2007). 2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah 1. Umur Pada usia lanjut, kondisi kardiovaskuler mengalami penurunan, hal ini menyebabkan pada usia lanjut akan lebih mudah mengalami gangguan kardiovaskuler. Hal ini dikarenakan bahwa semakin bertambahnya usia maka tekanan sistole semakin tinggi, sebagai akibat dari timbulnya arterosklerosis. Arteriosklerosis merupakan bercak yang terdiri dari timbunan jaringan lemak pada pembuluh darah yang menonjol ke dalam lumen pembuluh darah. Bercak ini sangat peka terhadap ulserasi, perdarahan, dan perkapuran yang tidak hanya menambah penyempitan, tetapi juga merupakan predisposisi bagi pembentukan trombus. (Lawson.R, 2007) 2. Jenis Kelamin Menurut Evelyn C. Pearce, bahwa pada wanita tekanan darah lebih rendah dari pria sebesar 5 sampai 10 mmHg. (Lawson.R, 2007) 3. Kondisi kesehatan Adapun beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi tekanan darah antara lain: Universitas Sumatera Utara a. Penyakit Ginjal Pada penderita penyakit ginjal maka ekskresi natrium klorida dan cairan urine terganggu, akibatnya natrium klorida dan air yang ditambahkan pada cairan ekstraseluler jumlahnya besar. Garam dan air ini bocor dari darah masuk ke rongga interstitial, tapi sebagian masih tetap dalam darah. Hal ini akan menimbulkan efek berupa peningkatan volume interstitial yang luas (edema ekstraseluler) dan hipertensi akibat peningkatan volume darah (Guyton dan Hall, 1996). b. Anemia Pada penderita anemia, viskositas darah dapat turun hingga serendah 1,5 kali air, padahal normalnya kira-kira 3 kali air. Hal ini akan mengurangi tahanan terhadap aliran darah dalam pembuluh perifer, sehingga jumlah darah yang mengalir melalui jaringan dan kemudian kembali ke jantung menjadi jauh melebihi normal. Jadi, efek utama dari anemia adalah meningkatkan beban kerja jantung (Guyton dan Hall, 1996). c. Penyakit Jantung Penyakit jantung menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara aliran darah arterial dan kebutuhan myocardium, yang hampir selalu disebabkan oleh penyempitan arteriosklerotik. Penyakit jantung berhubungan dengan hipertensi, obesitas, hypercholesterolemi dan merokok. d. Arterosklerosis Arterosklerosis disebabkan adanya kadar kolesterol serum yang tinggi, tekanan darah tinggi, infeksi virus, dan kadar besi darah yang tinggi. 4. Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari “nutriture” dalam bentuk variabel tertentu. Alat yang paling Universitas Sumatera Utara sederhana untuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan adalah dengan Indeks Masa Tubuh (IMT). 5. 0lahraga Menurut Dede Kusmana (2002) sejumlah studi telah menunjukkan bahwa olahraga teratur terutama olahraga yang menggunakan lengan minimal 3 kali seminggu dapat mempengaruhi kesehatan dan mengurangi resiko penyakit arteri. Olahraga juga dapat mengurangi beberapa faktor risiko terhadap penyakit jantung koroner dan stroke, termasuk hipertensi, kolesterol, darah tinggi, diabetes melitus, serta kegemukan. Olahraga juga memiliki efek yang positif terhadap stres mental (Lawson.R, 2007). 6. Merokok Merokok merupakan faktor resiko mayor terhadap penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler (Christopher Davidson, 2003). Zat-zat kimia dalam asap rokok terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi setiap sel tubuh. Zat-zat kimia ini sering membuat pembuluh darah menyempit dan membuat sel darah menjadi lebih lengket sehingga mudah membentuk gumpalan (Lawson.R, 2007). 7. Alkohol Konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga peluang untuk terkena hipertensi semakin tinggi (Lawson.R, 2007). 8. Kondisi Psikis Kondisi psikis seseorang dapat mempengaruhi tekanan darah, misalnya kondisi psikis seseorang yang mengalami stres atau tekanan. Respon tubuh terhadap stres disebut alarm yaitu reaksi pertahanan atau respon perlawanan. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan, dan ketegangan otot. Selain itu stres juga mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otot-otot Universitas Sumatera Utara rangka dan penurunan aliran darah ke ginjal, kulit, dan saluran pencernaan. Stres akan membuat tubuh lebih banyak menghasilkan adrenalin, hal ini membuat jantung bekerja lebih kuat dan cepat (Lawson.R, 2007). 2.3. Hubungan stres ujian dengan tekanan darah Mekanisme respon tubuh terhadap stres diawali dengan adanya rangsang yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh individu sendiri yang akan diteruskan pada sistem limbik sebagai pusat pengatur adaptasi. Sistem limbik meliputi thalamus, hipothalamus, amygdala, hippocampus dan septum. Sistem Limbik juga dapat mempengaruhi kerja dari sistem otonom. Hipothalamus memiliki efek yang sangat kuat pada hampir seluruh sistem viseral tubuh kita dikarenakan hampir semua bagian dari otak mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena hubungan ini, maka hipothalamus dapat merespon rangsang psikologis dan emosional. Peran hipothalamus terhadap stres meliputi empat fungsi spesifik. Fungsi tersebut adalah; 1) menginisiasi aktivitas sistem saraf otonom, 2) merangsang hipofise anterior memproduksi hormon ACTH, 3) memproduksi ADH atau vasopressin, 4) merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroksin. Pemahaman empat fungsi ini sangat penting untuk mengerti tentang respons tubuh terhadap stres. Hipothalamus saat stres akan mensekresikan CRF (corticotropin releasing hormone) yang memacu hipofise anterior untuk memproduksi ACTH (adrenocorticotrophic hormone) dan TRF (thyrotropin releasing factor). Pelepasan ACTH membuat kelenjar adrenal mensekresikan beberapa hormon, meliputi glukokortikoid (kortisol), adrenalin dan noradrenalin. Pelepasan TRF akan merangsang kelenjar hipofise untuk memproduksi tirotropin yang akan mengatur kecepatan sekresi tiroksin dan triiodotironin pada kelenjar tiroid (Pramanik.T, et al., 2005). Perubahan lifestyle mahasiswa semasa periode ujian disebabkan oleh stres dan perubahan gaya hidup ini juga bisa menyebabkan stres. Antaranya adalah kekurangan tidur, kurangnya bersenam, pola makan yang berubah, rasa takut menghadapi ujian Universitas Sumatera Utara dan sebagainya. Selain itu, rasa takut dan anxietas semasa ujian juga boleh menyebabkan stres pada mahasiswa. Maka, situasi stres ujian ini mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatik dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatik juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Adrenalin, tiroksin, dan kortisol sebagai hormon utama stres akan meningkat jumlahnya dan berpengaruh secara signifikan pada sistem homeostasis. Adrenalin yang bekerja secara sinergis dengan sistem saraf simpatik berpengaruh terhadap kenaikan denyut jantung, dan tekanan darah. Tiroksin selain meningkatkan Basal Metabolism Rate (BMR), juga menaikkan denyut jantung dan frekuensi nafas. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight. Ini akan menyebabkan sistem simpatik bekerja. Aktivasi sistem simpatik akan menyebabkan vasokonstriksi supaya darah dipam lebih banyak dalam masa sesaat, di mana stroke volumenya meningkat. Stroke volume yang meningkat akan menyebabkan tekanan darah meningkat. (Qureshi.F, et al., 2002). Universitas Sumatera Utara