BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Deddy Mulyana mengutip pernyataan Tubbs dan Moss yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih (Mulyana, 2004: 59). Banyak hal yang dapat dikomunikasikan lewat berbagai macam cara oleh manusia di dunia ini, termasuk juga berkomunikasi melalui sebuah karya seni. Sebuah karya seni pasti memerlukan sebuah media dalam penyampaian pesannya, entah itu merupakan sebuah seni lukis, drama, ataupun tarik suara. Salah satu seni yang sering menjadi sarana komunikasi adalah musik. Kalau bicara musik, tentunya tidak akan terlepas dari genre musik itu sendiri dan industri musik. Genre musik bermacam-macam, yaitu pop, rock, jazz, metal, soul, dan masih banyak yang lainnya. Menurut Merriam pada buku The Anthropology of Music (Merriam, 1964: 32-33), musik merupakan suatu lambang dari hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide, maupun perilaku masyarakat. Bicara mengenai suatu profesi di dunia musik, tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya peran produser musik. Lewat tangan dingin si produser musik inilah, lahir karya-karya bagus dari para pelaku musik. Bisa dilihat bahwa profesi sebagai produser musik tidak bisa dianggap sebelah mata. 1 Malah, profesi sebagai produser musik merupakan profesi yang bisa dibilang cukup menggiurkan. Seperti yang dilansir di situs www.simplyhired.com, Selasa (22/9), yang dikutip oleh www.inilah.com menyatakan bahwa, pendapatan produser musik secara global bisa dibilang menggiurkan, rata-rata mencapai US$119 ribu atau setara dengan Rp 1,15 miliar. Sedangkan untuk kawasan Asia sendiri, pendapatan yang diterima sebagai produser musik mencapai US$111 ribu atau setara dengan Rp 1,07 miliar. Tidak cuma produser musik saja yang dikategorikan sebagai profesi menjanjikan. Para musisi pun juga begitu. Berdasarkan data yang didapat dari www.unikgaul.com, para musisi atau band papan atas mempunyai pendapatan yang tinggi. Contohnya seperti grup musik NOAH sebagai band beraliran pop, mendapat bayaran sebesar Rp 400 juta dalam sekali show. Dari beberapa data yang telah disebutkan di atas, bisa dilihat bahwa musik merupakan bisnis yang menjanjikan, begitu pun musik di Indonesia, khususnya warna musik pop itu sendiri. Sehingga, musik pop dalam komoditasnya sekarang telah dijadikan sebuah industri yang menjanjikan dan dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak, bahkan rela mengesampingkan nilai seni dari musik itu sendiri. Dalam bukunya, John Storey, membuat asumsi yang mengatakan bahwa musik sebagai sebuah industri, industri musik menentukan nilai guna produkproduk yang dihasilkan. Seperti pernyataan Leon Rosselson yang dikutip dalam buku Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop menyatakan bahwa industri musik 2 memberikan "publik apa yang mereka inginkan" (Storey, 2007:121). Dalam hal ini, terlihat bahwa musik populer diciptakan, direkam, dirilis, diedarkan, dan dijual hanya untuk mengikuti selera yang sedang digandrungi oleh pasar atau publik atau konsumen. Seperti yang dikatakan oleh Zanoe Aliep (pada wawancara tanggal 6 Maret 2013) yang merupakan seorang wartawan musik di salah satu majalah remaja di Indonesia, sekaligus gitaris dari grup band beraliran hardcore,TRAGEDI, bahwa para pelaku seni termasuk musisi sekali pun, menciptakan lagu untuk memuaskan hasrat bermusiknya dan pelampiasan ego semata, atau bahkan untuk menyerukan kritik yang berhubungan dengan isu-isu sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Zanoe menambahkan, pada kenyataannya, di Indonesia, masih banyak para perusahaan atau produser rekaman yang menuntut para musisi untuk menciptakan sebuah karya yang sesuai dengan selera pasar atau yang disukai oleh orang kebanyakan. Seperti ketika musik Indonesia sedang ramai-ramainya dengan kehadiran band-band melayu, sehingga membuat banyak grup musik beraliran sejenis yang muncul ke permukaan. Atau, banyaknya kemunculan boyband dan girlband karena pasar yang sedang terpengaruh oleh musik-musik dari Korea. Menurut Zanoe, hal-hal semacam itu sebenarnya seakan membuat kreativitas dari para musisi atau pencipta lagu seakan terbatasi, sehingga dari segi lirik ataupun aransemennya tidak menggambarkan ciri khas dari musisi itu sendiri. 3 Karena permasalahan itulah, banyak dari para musisi yang masih berusaha untuk menciptakan lagunya tanpa ada paksaan atau campur tangan produsen rekaman. Hal tersebut dimaksudkan agar para musisi-musisi dapat menviptakan lagu sesuai dengan hasrat bermusik mereka tanpa harus mengalami tuntutan ataucampur tangan perusahaan rekaman yang hanya berorientasi pada bisnis, untuk menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari sinilah, muncul yang namanya musisi-musisi independent atau yang biasa dikenal dengan indie, yang bebas berkarya tanpa adanya campur tangan para perusahaan atau produser rekaman. Salah satu komponen terpenting dalam sebuah lagu adalah lirik lagu itu sendiri, karena lewat lirik lagu, para musisi atau pecipta lagu dapat menyampaikan pesan tertentu yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap adanya fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi di dalamnya. Atau dengan kata lain, lewat lirik yang diciptakan, para musisi seakan ingin buka suara atau "melakukan aksi demo" terhadap isu yang terjadi, tetapi dengan menggunakan kreativitas dan kemampuan mereka sebagai musisi. Sama dengan bahasa, lirik lagu juga dapat berfungsi menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Lirik lagu juga dapat menjadi sebuah sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu. 4 Secara sadar ataupun tidak sadar, ternyata musik dapat mempengaruhi cara berbicara, berperilaku, bahkan hidup kita. Hal ini dikarenakan, dalam sebuah lagu terdapat pesan tertentu yang diberikan oleh si pencipta lagu tersebut kepada para pendengarnya. Dalam perkembangannya, musik juga bukan cuma merupakan sebuah hiburan, tetapi juga memiliki pesan akan kritik sosial. Dalam bukunya Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia, dalam Wacana Pembangunan (Akbar, 1997: 12), Akhmad Zaini Akbar mengungkapkan bahwa kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam arti, bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan-gagasan baru, sembari menilai gagasan lama untuk suatu perubahan sosial. Di Indonesia sendiri, musik dijadikan sebagai sarana untuk mengungkapkan kritik sosial dimulai pada tahun 1980-an, yang mengingatkan kita akan nama besar seperti Iwan Fals. Sebagai seorang seniman dan musisi, Iwan Fals identik dan dikenal sebagai musisi solo yang kritis terhadap rezim kekuasan saat itu. Sedangkan di tahun 1990-an sendiri, muncul grup musik Slank yang juga terkenal akan isi lirik-liriknya yang kritis terhadap realitas sosial, seperti pendahulunya, Iwan Fals. Seiring perkembangan zaman, di Indonesia semakin banyak bermunculan musisi-musisi yang menyerukan hal serupa, yakni tentang kritik sosial. Seperti HOMICIDE yang merupakan grup beraliran rap asal Bandung, Zeke Khaseli, Efek Rumah Kaca, dan masih banyak yang lainnya, yang memang para musisi ini, 5 lebih cenderung tergolong atau bergerak sebagai musisi independent atau indie, yang merupakan musisi-musisi yang ingin bebas dari campur tangan produser rekaman dalam proses penciptaan lagunya. Seperti yang terdapat dalam lirik lagu grup band Efek Rumah Kaca yang berjudul Di Udara yang merupakan single ketiga dari album "Efek Rumah Kaca," yang berkaitan tentang permasalahan terhadap situasi sosial dan isu-isu sosial yang terjadi, khususnya Hak Asasi Manusia (HAM). Efek Rumah Kaca sendiri merupakan sebuah grup musik yang berasal dari Jakarta. Terbentuk sejak tahun 2001 silam, Efek Rumah Kaca kini diisi oleh Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal, bass), dan Akbar Bagus Sudibyo. Grup musik ini, dikenal oleh para pecinta musik di tanah air karena lagu-lagu ciptaan mereka menyentuh dan memotret keadaan sosial masyarakat. Sampai saat ini, Efek Rumah Kaca sudah menciptakan dua album, diantaranya adalah Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Dalam setiap perform-nya, Efek Rumah Kaca tidak pernah ketinggalan untuk membawakan lagu Di Udara, dan pada kesempatan itu jugalah, Cholil selalu mendedikasikan lagu tersebut untuk Alm. Munir, yang merupakan seorang pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Seperti yang sudah diketahui, HAM merupakan sebuah bahasan yang universal. Di Indonesia sendiri, HAM juga merupakan isu yang kerap kali diberitakan oleh media-media nasional, yang masih belum menemukan titik terang dari penyelesaian masalah hak asasi tersebut. Ada beberapa kasus yang sampai saat ini, masih "tergantung" atau belum terselesaikan secara tuntas, bahkan 6 kasus-kasus tersebut sudah melewati banyak cara yang dilakukan untuk menyelesaikannya dengan cara gugatan, peradilan, dan yang lainnya yang masih diragukan oleh banyak orang. Seperti adanya kasus penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), seperti yang dikutip dari www.kontras.org, dan yang paling fenomenal adalah kasus kematian pejuang HAM, Munir yang meninggal di dalam pesawat dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Belanda. Karena permasalahan dalam lirik lagu tersebut yang berkaitan dengan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu apa makna sesungguhnya dari lirik lagu Di Udara ciptaan Efek Rumah Kaca. Selain itu, ketertarikan peneliti memilih lagu tersebut sebagai objek penelitian dikarenakan, sebagai sebuah band indie, Efek Rumah Kaca tidak menciptakan lagu untuk selera pasar, namun untuk menyuarakan sebuah peristiwa atau kejadian yang memiliki makna yang cukup dalam, seperti kasus Munir itu sendiri. Peneliti tertarik untuk meneliti lagu Di Udara karya Efek Rumah Kaca karena ada beberapa faktor. Yaitu dalam proses pembuatan lagu Di Udara (2007) ini, Cholil selaku pengarangnya, melihat dan meriset tentang kasus Munir dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. Berdasarkan hasil wawancara Cholil dengan Rolling Stone Indonesia, dikatakan bahwa Cholil menciptakan lagu tentang Munir dikarenakan pada rentang tahun 2004-2007, sosok Munir-lah yang mendapatkan tempat atau porsi lebih dalam media, kasusnya ramai 7 diperbincangkan saat itu. Itulah yang melatar belakangi pembuatan lagu Di Udara sendiri. Selain itu, dari beberapa lagu bertemakan HAM, yang mendapatkan apresiasi lebih merupakan lagu Di Udara ini yang merupakan karya Efek Rumah Kaca. Apresiasi banyak datang dari para penikmat musik dan wartawan musik tanah air. Tercatat, lagu ini sendiri menempati urutan 131 dari 150 lagu terbaik di Indonesia periode 1950-an sampai 2000-an, versi Rolling Stone Indonesia. Apresiasi dari penikmat musik tanah air juga besar, terlihat dari penjualan album berjudul Efek Rumah Kaca (2007) yang di dalamnya terdapat lagu Di Udara cukup besar, yakni sebanyak 8.000 keping, sehingga mengangkat pamor dari grup yang biasa perform di studio band menjadi lebih tenar seperti sekarang ini. Dan karena lagu ini pula, Efek Rumah Kacadisebut-sebut oleh beberapa media massa sebagai band politik. Teknik analisis semiotika milik Charles Sanders Peirce digunakan oleh peneliti untuk mendeskripsikan makna yang terdapat dalam tanda pada lagu Di Udara. Semiotika Peirce membahas bagaimana makna dari sebuah tanda dimaknai langsung oleh manusia. Keterlibatan manusia akan terlihat jelas dalam hal ini, karena akan langsung menjustifikasi tanda-tanda yang muncul, yang dianggap menggambarkan sesuatu hal atau yang memiliki makna lain. Dari beberapa hal di atas, maka peneliti melihat bahwa lagu dari grup musik indie Efek Rumah Kaca menarik untuk diteliti dan dalam penelitian ini, peneliti ingin menitikberatkan pada makna yang terkandung pada lirik lagu Di Udara. 8 1.2. Perumusan Masalah Berdasar pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, adalah: 1.2.1 Apa makna yang terdapat dalam lagu Di Udara ciptaan grup musik indie Efek Rumah Kaca, dalam album Efek Rumah Kaca? 1.2.2 Bagaimana representasi Hak Asasi Manusia dalam lirik lagu Di Udara ciptaan grup musik indie Efek Rumah Kaca? 1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian 1.3.1.1 Untuk mengetahui apakah makna yang terkandung dalam lagu "Di Udara" ciptaan Efek Rumah Kaca. 1.3.1.2 Untuk mengetahui bagaimana representasi Hak Asasi Manusia dalam lirik lagu "Di Udara" ciptaan Efek Rumah Kaca. 1.3.2. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis, yaitu untuk menambah literatur penelitian kualitatif Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis dengan menggunakan metode semiotik. 2. Kegunaan Praktis, bermanfaat sebagai referensi untuk mahasiswa-mahasiswi ilmu komunikasi yang tertarik dengan penelitian analisis semiotika, khususnya semiotika Charles Sanders Peirce. 9