HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERTUMBUHAN BAL ISOLAT MENGANDUNG SENYAWA UJI ASI PADA MEDIA YANG 1. Pertumbuhan BAL Isolat ASI pada MRSB yang Mengandung 2-propanol dan MRSB yang Mengandung Natrium tioglikolat 2-propanol (isopropil alkohol) merupakan senyawa dengan struktur C3H8O yang sering digunakan sebagai pelarut, bahan baku industri, dan sebagai desinfektan. Pada tahapan penelitian selanjutnya, senyawa ini digunakan sebagai pelarut kolesterol dalam uji asimilasi kolesterol. Adapun natrium tioglikolat merupakan senyawa yang berfungsi sebagai penangkap oksigen (oxygen scavenger) untuk menciptakan kondisi anaerob pada media (Kimoto et al. 2002). Kondisi anaerob ini diciptakan untuk mencerminkan kondisi di dalam saluran pencernaan. Natrium tioglikolat dapat berikatan dengan oksigen terlarut dan menghilangkan oksigen pada medium. Pengujian pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung 2propanol dan media yang mengandung natrium tioglikolat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keberadaan 2-propanol ataupun natrium tioglikolat dapat mempengaruhi pertumbuhan BAL yang diuji. Hasil pengujian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum semua isolat dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung 2-propanol (4% v/v) maupun natrium tioglikolat (0.2% b/v) dengan waktu inkubasi 24 jam. Hal ini ditandai dengan timbulnya kekeruhan pada media setelah masa inkubasi. Secara keseluruhan, tingkat kekeruhan pada media yang mengandung 2-propanol maupun natrium tioglikolat hampir sama dengan tingkat kekeruhan pada media kontrol (tanpa 2-propanol maupun natrium tioglikolat). Ini menunjukkan bahwa keberadaan 2-propanol maupun natrium tioglikolat tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan BAL yang diuji. Kemampuan BAL untuk tumbuh pada media yang mengandung natrium tioglikolat menunjukkan bahwa BAL tersebut mampu hidup pada kondisi anaerob. Hal ini sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh BAL yaitu aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofilik (Surono 2004). 2. Pertumbuhan BAL Isolat ASI pada MRSB yang Mengandung Oxgall Selain diuji kemampuannya untuk tumbuh pada media yang mengandung 2-propanol dan natrium tioglikolat, semua isolat yang digunakan juga diuji kemampuannya untuk tumbuh pada media yang mengandung oxgall (garam empedu). Keberadaan oxgall dalam media dimaksudkan untuk menciptakan kondisi seperti di dalam pencernaan dimana garam empedu diekskresikan ke dalam saluran pencernaan. Pada pengujian ini, semua BAL yang digunakan ditumbuhkan dalam media MRSB yang mengandung 0.2% dan 0.3% oxgall, kemudian diinkubasi selama 24 dan 48 jam. Analisis terhadap pertumbuhan dilakukan secara subjektif dengan melihat tingkat kekeruhan dari media yang diinokulasi dengan kultur bakteri asam laktat setelah diinkubasi dan membandingkannya dengan media kontrol (tanpa oxgall). Hasil yang diperoleh (Tabel 4) menunjukkan bahwa semua isolat yang diuji mampu tumbuh pada konsentrasi garam empedu 0.2% selama 24 dan 48 jam inkubasi dengan derajat pertumbuhan yang berbeda (berdasarkan tingkat kekeruhan). Pada konsentrasi garam empedu 20 0.3% dan waktu inkubasi 24 jam, dari 37 isolat yang diuji, terdapat 4 isolat yang tidak tumbuh (media tidak keruh), yaitu isolat Lactobacillus A25, A30, dan A32, serta L. rhamnosus A24. Pada inkubasi 48 jam, semua isolat dapat tumbuh pada konsentrasi garam empedu 0.3%. Hal ini terjadi karena garam empedu bersifat bakterisidal sehingga menghambat pertumbuhan bakteri, dan kemungkinan sebagian dari bakteri yang diinokulasikan mati. Bakteri yang masih bertahan memerlukan waktu adaptasi yang cukup lama sehingga pertumbuhan baru terlihat setelah 48 jam. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Toit et al. (1998) dan Usman & Hosono (1999). Bakteri asam laktat yang ditumbuhkan pada media yang mengandung garam empedu mengalami penundaan pertumbuhan karena memerlukan adaptasi yang lebih lama dibandingkan dengan bakteri yang ditumbuhkan pada media yang tidak mengandung garam empedu. 3. Pertumbuhan BAL Isolat ASI pada MRSB yang Mengandung 2-propanol, Natrium tioglikolat, dan Oxgall Pada uji ini, semua BAL ditumbuhkan dalam media MRSB yang mengandung 2propanol (4% v/v), natrium tioglikolat (0.2% b/v), dan oxgall (0.3% v/v). Inkubasi dilakukan selama 20 dan 48 jam. Hasil pengujian pada Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 37 isolat yang diuji, hanya 13 isolat yang tumbuh setelah inkubasi 20 jam dan 15 isolat setelah 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar isolat yang diuji tidak tahan terhadap kondisi media yang mengandung kombinasi senyawa uji (2-propanol, natrium tioglikolat, dan oxgall). Terdapat beberapa isolat yang mampu tumbuh dalam media yang mengandung 2-propanol maupun natrium tioglikolat (Tabel 3 dan 4), namun dalam media kombinasi ini isolat-isolat tersebut tidak tumbuh. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya sinergisme dari ketiga senyawa uji dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Dari 37 isolat yang diuji, dipilih 13 isolat untuk diuji pada tahap selanjutnya, yaitu isolat Lactobacillus A6, A38, B2, B13, dan R3; Lactobacillus fermentum A20; Lactobacillus fermentum2 B11; Lactobacillus acidophilus1 A8 dan A22; Lactobacillus rhamnosus A23; Pediococcus pentosaceus2 A16; serta Leuconostoc R1 dan R9. Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan isolat-isolat tersebut untuk dapat tumbuh pada media yang mengandung semua senyawa uji. Hal ini disesuaikan dengan kondisi pengujian pada tahap selanjutnya. 21 Tabel 3. Intensitas pertumbuhan BAL isolat ASI pada MRSB (kontrol), MRSB yang mengandung 2propanol (4%), dan MRSB yang mengandung natrium tioglikolat (0.2%) Kode Isolat Media MRSB MRSB + 2-propanol MRSB + natrium tioglikolat A3 +++++ +++++ ++++ A6 A7 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ A8 ++++ ++++ ++++ A11 A13 ++++ +++++ ++++ ++++ ++++ +++++ A15 A16 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ A20 A22 ++++++ +++++ ++++++ +++++ +++++ +++++ A23 +++++ +++++ +++++ A24 A25 +++++ +++++ ++++ ++++ ++++ +++++ A27 A29 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ A30 A32 ++++ ++++ ++++ ++++ +++++ +++++ A38 +++++ +++++ ++++ B2 B10 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ B11 B13 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ B16 R1 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ R3 ++++++ ++++++ ++++++ R9 R12 +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ R14 R19a-2 ++++++ ++++++ ++++++ ++++++ ++++++ ++++++ R21 R22 ++++++ +++++ +++++ +++++ +++++ +++++ R23 ++++++ ++++++ ++++++ R24 R26 ++++ +++++ ++++ +++++ ++++ +++++ R27 R32 ++++++ ++++ ++++++ +++++ ++++++ +++++ R34 +++++ +++++ +++++ Keterangan: + menunjukkan adanya kekeruhan, semakin banyak + semakin keruh. 22 Tabel 4. Intensitas pertumbuhan BAL isolat ASI pada MRSB yang mengandung 0% (kontrol), 0.2%, dan 0.3% oxgall 24 jam Kode Isolat 48 jam Konsentrasi oxgall Konsentrasi oxgall 0% 0.2 % 0.3% 0% 0.2% 0.3% A3 +++++ +++ +++ +++++ +++ +++ A6 ++++++ ++++ + ++++++ ++++ ++ A7 +++++ +++ +++ +++++ +++ +++ A8 ++++ +++ ++ ++++ +++ +++ A11 ++++ +++ ++ +++++ +++ ++ A13 ++++++ ++++ ++++ ++++++ ++++ ++++ A15 +++++ +++ ++ +++++ +++ ++ A16 +++++ +++ +++ +++++ ++++ ++++ A20 +++++ ++++ +++ ++++ ++++ +++ A22 +++++ ++++ ++ +++++ ++++ ++ A23 +++++ ++++ ++ +++++ ++++ ++ A24 ++++ +++ - ++++ +++ + A25 +++++ +++ - +++++ +++ ++ A27 +++++ ++ + +++++ ++ ++ A29 +++++ ++++ ++ +++++ +++ ++ A30 +++++ ++ - +++++ +++ ++ A32 ++++ +++ - ++++ +++ + A38 +++++ +++ ++ +++++ +++ ++ B2 +++++ ++++ +++ ++++++ +++++ ++++ B10 +++++ +++ + +++++ +++ ++ B11 +++++ +++ +++ +++++ +++ +++ B13 +++++ ++++ ++++ +++++ +++++ ++++ B16 +++++ ++ + +++++ ++ ++ R1 ++++++ ++++ +++ ++++++ ++++ +++ R3 +++++++ +++++ +++ +++++++ +++++ +++ R9 +++++ +++ +++ +++++ ++++ +++ R12 ++++++ +++ +++ ++++++ ++++ ++++ R14 +++++ ++ + +++++ ++ ++ R19a-2 +++++ +++ +++ +++++ +++ +++ R21 ++++ +++ + +++++ +++ ++ R22 +++++ +++ ++ +++++ +++ ++ R23 +++++ ++++ ++ +++++ ++++ +++ R24 ++++ +++ ++ +++++ +++ ++ R26 +++++ +++ ++ +++++ +++ +++ R27 +++++ +++ ++ +++++ +++ ++ R32 +++++ +++ + +++ ++ R34 +++++ +++ ++ +++ ++ +++++ +++++ Keterangan : + Menunjukkan adanya kekeruhan, semakin banyak + semakin keruh. – Tidak keruh 23 Tabel 5. Intensitas pertumbuhan BAL isolat ASI pada MRSB (kontrol) dan MRSB yang mengandung 2-propanol (4%), natrium tioglikolat (0.2%), dan oxgall (0.3%) MRSB yang mengandung 2-propanol, natrium MRSB Kode isolat tioglikolat, dan oxgall A3 20 jam +++++ 48 jam +++++ 20 jam - 48 jam - A6 ++++++ ++++++ + ++ A7 A8 +++++ ++++ +++++ ++++ +++ +++ A11 A13 ++++ ++++++ +++++ ++++++ - - A15 A16 +++++ +++++ +++++ +++++ +++ + +++ A20 +++++ ++++ +++ +++ A22 A23 +++++ +++++ +++++ +++++ ++ ++ ++ ++ A24 A25 ++++ +++++ ++++ +++++ - - A27 A29 +++++ +++++ +++++ +++++ - - A30 +++++ +++++ - - A32 A38 ++++ +++++ ++++ +++++ ++ ++ B2 B10 +++++ +++++ ++++++ +++++ +++ - +++ + B11 B13 +++++ +++++ +++++ +++++ +++ +++ +++ +++ B16 +++++ +++++ - - R1 R3 ++++++ +++++++ ++++++ +++++++ +++ +++ +++ +++ R9 R12 +++++ ++++++ +++++ ++++++ +++ - +++ - R14 R19a-2 +++++ +++++ +++++ +++++ - - R21 ++++ +++++ - - R22 R23 +++++ +++++ +++++ +++++ - - R24 R26 ++++ +++++ +++++ +++++ - - R27 +++++ +++++ - - R32 R34 +++++ +++++ +++++ +++++ - - Keterangan : + Menunjukkan kekeruhan, semakin banyak + semakin keruh - Tidak keruh 24 B. KETAHANAN BAL ISOLAT ASI TERHADAP pH RENDAH DAN GARAM EMPEDU 1. Ketahanan terhadap pH Rendah Salah satu syarat mikroorganisme dikatakan sebagai probiotik adalah kemampuannya untuk dapat bertahan dalam kondisi saluran pencernaan seperti ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu. Stres yang pertama terjadi pada sel bakteri yang memasuki saluran pencernaan adalah terpapar pada asam lambung, yang menurut Wildman dan Medeiros (2000) memiliki pH sekitar 2. Uji ketahanan terhadap pH rendah diperlukan untuk mengetahui kemampuan kultur bakteri asam laktat isolat ASI untuk dapat bertahan terhadap asam lambung. Gambar 7 menunjukkan perubahan jumlah sel yang terjadi pada 13 bakteri asam laktat yang ditumbuhkan pada media MRSB yang mengandung HCl (pH 2) setelah diinkubasi selama 5 jam pada suhu 37°C. Nilai negatif menunjukkan terjadi penurunan terhadap jumlah sel bakteri setelah diberi perlakuan. Semakin banyak penurunan jumlah sel, semakin tidak tahan bakteri tersebut terhadap pH rendah. A6 A8 A16 A20 A22 A23 A38 B2 B11 B13 R1 R3 R9 Perubahan Σ sel (log cfu/ml) 0 -1 -0.57d -2 -3 -4 -3.95c -4.16c -3.85c -3.73c -4.52c -5 -4.36c -5.15bc -6 -7 -6.06ab -6.87a -6.92a -6.77a -7.24a -8 Kode isolat Gambar 7. Perubahan jumlah BAL isolat ASI setelah inkubasi pada media yang memiliki pH 2 selama 5 jam Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p>0.05) Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa semua isolat mengalami penurunan jumlah sel setelah diberi perlakuan. Nilai penurunan tersebut berbeda untuk setiap isolat dengan kisaran penurunan sebesar 0.57-7.24 log cfu/ml. Dari 13 isolat BAL yang diuji, hanya isolat Lactobacillus R3 yang mengalami penurunan jumlah sel kurang dari 1 unit log (paling tahan). Nilai ini berbeda nyata (p<0.05) dengan nilai perubahan jumlah sel pada isolat lainnya berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 17), dimana isolat lain mengalami penurunan jumlah sel >3 unit log cfu/ml. Beberapa isolat (isolat L. acidophilus A8, Pediococcus pentosaceus2 A16, L. rhamnosus A22, dan Leuconostoc R9) mati setelah inkubasi 5 jam, yang ditandai dengan tidak adanya koloni yang tumbuh pada MRSA, seperti terlihat pada Lampiran 3, 4, dan 7. Hal ini menunjukkan bahwa keempat isolat tidak tahan terhadap pH rendah. Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 17) nilai perubahan jumlah sel pada keempat isolat tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan isolat L. rhamnosus A23. 25 Menurut Jacobsen et al. (1999), semua bakteri yang berhasil bertahan pada kondisi pH rendah dinyatakan bersifat tahan/resisten terhadap asam. Namun, jumlah sel yang nantinya mampu mencapai usus harus dipertimbangkan, mengingat sel bakteri tersebut masih harus melewati rintangan yang lain setelah terpapar asam lambung, yaitu terpapar garam empedu. Pada penelitian ini, semua isolat kecuali isolat Lactobacillus R3 mengalami penurunan jumlah sel yang cukup besar setelah diberi perlakuan pH rendah. Jumlah sel bakteri yang masih hidup dikhawatirkan tidak mampu melawan patogen sehingga tidak dapat melakukan aktivitas spesifik yang dimilikinya. Agar bakteri dapat melaksanakan aktivitas fungsionalnya, jumlah sel mikroba hidup yang umumnya terdapat dalam produk probiotik adalah sebesar 106-108 cfu/ml (Svensson 1999). Perubahan jumlah sel yang berbeda pada semua isolat yang diuji menunjukkan bahwa kemampuan untuk bertahan pada kondisi asam berbeda untuk setiap isolat. Kemampuan ini bersifat strain dependent. Hal ini kemungkinan terjadi karena komposisi asam lemak dan protein penyusun membran sitoplasma yang berbeda pada setiap bakteri. Keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik serta permeabilitas membran. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri terhadap pH rendah (Kusumawati 20002; Hartanti 2007). Penambahan HCl pada media MRSB menciptakan kondisi yang sangat asam pada media dan bersifat merusak terhadap membran sitoplasma bakteri. Membran sitoplasma merupakan pertahanan utama bagi bakteri terhadap lingkungannya. Membran ini terdiri atas struktur lemak dua lapis (lipid bilayer). Terpaparnya sel pada kondisi yang sangat asam dapat mengakibatkan kerusakan membran dan lepasnya komponen intraseluler seperti Mg, K, dan lemak dari sel yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri yang tahan terhadap asam, memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kerusakan membran akibat pH rendah dibandingkan bakteri yang tidak tahan asam. Asam menghambat pertumbuhan bakteri melalui efek denaturasi enzim-enzim yang ada di permukaan sel, kerusakan lipopolisakarida dan membran luar, serta penurunan pH sitoplasma melalui peningkatan permeabilitas membran terhadap proton pada gradien pH yang sangat besar. Penelitian yang dilakukan oleh Bender et al. (1987) menunjukkan bahwa pada galur streptococci yang kurang tahan terhadap asam, ion Mg keluar dari dalam sel ketika pH ekstraselular 4.0, sedangkan pada L. casei hal tersebut terjadi pada pH eksternal di bawah 3.0. Perbedaan ketahanan terhadap kerusakan membran yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang asam tampak bervariasi untuk setiap organisme dan derajat toleransi asam. 2. Ketahanan terhadap Garam Empedu Selain harus tahan terhadap asam pada lambung, bakteri probiotik juga harus tahan terhadap garam empedu yang disekresikan ke dalam usus. Derajat toleransi terhadap garam empedu merupakan karakteristik yang penting bagi bakteri asam laktat karena hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam saluran pencernaan. Pada penelitian ini semua isolat ditumbuhkan pada media yang mengandung 0.5% oxgall dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC untuk mengetahui tingkat ketahanannya terhadap garam empedu. Jumlah kultur yang diinokulasikan ke dalam media adalah sebanyak 1% (106-107 cfu/ml). 26 0,35 0,3 Perubahan Σ sel (log cfu/ml) 0.32d 0.31d 0.26d 0,25 0.22bcd 0.22bcd 0.24cd 0,2 0,15 0,1 0,05 0 -0,05 A6 -0,1 -0.04ab A8 A16 A20 A22 A23 A38 -0.08a -0,15 B2 B11 B13 R1 -0.08a R3 R9 -0.01abc -0.12a -0,2 -0,25 -0.22a -0.21a Kode Isolat Gambar 8. Perubahan jumlah BAL isolat ASI setelah inkubasi pada media yang mengandung 0.5% garam empedu selama 24 jam Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p>0.05) Pada jam ke-0 sudah terjadi penurunan yang cukup banyak (sekitar 3 log) Gambar 8 menunjukkan perubahan jumlah sel pada semua bakteri isolat ASI yang ditumbuhkan pada media yang mengandung garam empedu (0.5% oxgall). Perubahan jumlah sel diperoleh berdasarkan selisih antara jumlah sel bakteri yang tumbuh setelah inkubasi 24 jam dengan jumlah sel bakteri yang tumbuh setelah inkubasi 0 jam. Nilai positif menunjukkan adanya pertumbuhan (terjadi penambahan jumlah sel) bakteri setelah inkubasi. Sebaliknya, nilai negatif menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel bakteri setelah inkubasi. Dari 13 isolat yang diuji, sebanyak 6 isolat mengalami penambahan jumlah sel setelah inkubasi selama 24 jam dengan kisaran 0.22-0.32 log cfu/ml. Sebaliknya, 7 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah sel dengan kisaran 0.01-0.22 log cfu/ml. Lactobacillus R3, L. fermentum A20, dan Pediococcus pentosaceus2 A16 merupakan isolat yang mempunyai ketahanan paling tinggi jika dibandingkan dengan isolat lainnya berdasarkan analisis statistik. Isolat-isolat ini mampu tumbuh setelah inkubasi 24 jam dengan penambahan jumlah sel masing-masing sebesar 0.26, 0.31, dan 0.32 log cfu/ml. Namun, penambahan jumlah sel yang terjadi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan penambahan jumlah sel pada isolat L. fermentum2 B11, Lactobacillus B2, dan Lactobacillus B13 berdasarkan hasil analisis statistik pada Lampiran 18. Isolat Leuconostoc R9 adalah isolat yang paling tidak tahan terhadap garam empedu 0.5% jika dibandingkan dengan isolat lainnya. Meskipun selisih jumlah sel bakteri setelah inkubasi 24 dan 0 jam sangat kecil (-0.01 log cfu/ml), namun jumlah sel bakteri setelah inkubasi 0 jam sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kultur yang ditambahkan semula (hanya sekitar 3 log). Dengan kata lain, pada saat pertama kali kontak dengan medium yang mengandung garam empedu sudah banyak sel yang mati. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Pada pengujian sebelumnya (Tabel 4), Leuconostoc R9 menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh pada media MRSB yang mengandung 0.2% dan 0.3% oxgall pada inkubasi 24 dan 48 jam dengan derajat pertumbuhan yang tidak berbeda dengan beberapa isolat lain. Hal ini terjadi karena pada pengujian sebelumnya (Tabel 4), konsentrasi garam empedu yang digunakan lebih rendah (0.2 dan 0.3%). Semakin tinggi garam empedu yang digunakan, semakin tidak tahan bakteri tersebut terhadap garam empedu. 27 Perbedaan ketahanan pada isolat-isolat yang diuji menunjukkan bahwa ketahanan terhadap garam empedu bersifat strain dependent. Kimoto-Nira et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara komposisi asam lemak setiap bakteri dengan kemampuannya untuk dapat bertahan terhadap garam empedu. Perbedaan komposisi asam lemak pada setiap bakteri inilah yang mungkin menjadi penyebab perbedaan ketahanan pada bakteri-bakteri tersebut. Cairan empedu merupakan campuran dari asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu, dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia, kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu (Hill 1995 diacu dalam Kusumawati 2002). Gilliland et al. (1984) membuktikan bahwa sel yang diinkubasi pada larutan penyangga yang mengandung oxgall mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang sangat besar, yang dapat diukur pada panjang gelombang 260 nm. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri. Cairan empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan pada struktur membran (Hill 1995 diacu dalam Kusumawati 2002). Surono (2004) menyatakan bahwa beberapa strain bakteri saluran pencernaan memiliki enzim yang dapat menghidrolisis garam empedu terkonjugasi menjadi garam empedu terdekonjugasi (bile salt hydrolase). De smet et al. (1995) menduga bahwa proses dekonjugasi mungkin menurunkan tingkat toksisitas dari garam empedu terkonjugasi terhadap bakteri. Enzim ini mengubah sifat fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empedu sehingga tidak bersifat racun bagi BAL. Hal inilah yang dimungkinkan menjadi penyebab beberapa isolat BAL tahan terhadap garam empedu. C. ASIMILASI KOLESTEROL Kemampuan mengasimilasi kolesterol merupakan salah satu karakteristik bakteri asam laktat yang dapat digunakan untuk melakukan seleksi terhadap kultur yang akan dikembangkan sebagai probiotik penurun kolesterol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gilliland et al. (1985), proses asimilasi hanya terjadi jika kultur ditumbuhkan secara anaerobik dengan adanya garam empedu pada media pertumbuhannya. Jumlah garam empedu yang dibutuhkan agar kultur mampu mengambil kolesterol dari medium pertumbuhan setara dengan jumlah garam empedu yang secara normal terdapat di dalam usus. Jadi, kondisi yang dibutuhkan pada sistem in vitro untuk pengambilan kolesterol oleh bakteri asam laktat juga diperkirakan menyerupai kondisi di dalam usus. Dalam penelitian ini, media yang digunakan mengandung 0.3% garam oxgall sebagai garam empedu dan 0.2% natrium tioglikolat untuk menciptakan kondisi anaerob (Kimoto et al. 2002), sehingga mendekati kondisi di dalam usus. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga belas kultur bakteri asam laktat isolat ASI yang diuji memiliki kemampuan untuk mengasimilasi kolesterol secara in vitro. Jumlah kolesterol yang diasimilasi oleh setiap kultur berbeda-beda dengan kisaran 0.86-14.97 µg/ml, seperti yang terlihat pada Gambar 9. 28 Kolesterol yang diasimilasi (µg/ml) 16 14.97d 14.03d 14 14.27d 11.92cd 12 9.55bcd 10 9.92bcd 8 6.82abc abc 5.31ab 5.67 6 3.50ab 4 2 2.26a 1.76a 0.86a 0 A6 A8 A16 A20 A22 A23 A38 B2 B11 B13 R1 R3 R9 Kode isolat Gambar 9. Jumlah kolesterol yang diasimilasi oleh BAL isolat ASI setelah inkubasi 20 jam pada suhu 37°C Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p>0.05) Lactobacillus A38, Lactobacillus B2, dan Pediococcus pentosaceus2 A16 merupakan isolat dengan aktivitas asimilasi terbesar, yaitu masing-masing 14.97 µg/ml, 14.27 µg/ml, dan 14.03 µg/ml. Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 19) nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan aktivitas asimilasi yang dimiliki oleh L. fermentum2 B11 (11.92 µg/ml), L. acidophilus1 A22 (9.92 µg/ml), dan L. fermentum A20 (9.55 µg/ml) karena berada pada subset yang sama. Adapun isolat yang memiliki aktivitas asimilasi terendah yaitu L. rhamnosus A23 dengan aktivitas asimilasi sebesar 0.86 µg/ml. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai aktivitas asimilasi yang dimiliki Lactobacillus A6, Leuconostoc R9, L. acidophilus1 A8, Leuconostoc R1, Lactobacillus R3, dan Lactobacillus B13 (Lampiran 19). Dilihat dari jenis bakteri berdasarkan aktivitas metabolismenya, baik bakteri homofermentatif maupun heterofermentatif keduanya dapat mengasimilasi kolesterol. Dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa keragaman aktivitas asimilasi kolesterol tidak berhubungan dengan perbedaan spesies tertentu akan tetapi tergantung dari masing-masing strain (strain dependent). Perbedaan dalam pengikatan kolesterol tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh sifat kimia dan struktural dari peptidoglikan dinding sel masing-masing strain yang mengandung asam amino yang mampu mengikat kolesterol (Kimoto-Nira et al. 2007). Dalam penelitian ini, besarnya kolesterol yang diasimilasi oleh masing-masing isolat dihitung berdasarkan selisih jumlah kolesterol yang terdeteksi pada media kontrol (media yang tidak diinokulasi oleh kultur bakteri) dengan jumlah kolesterol yang terdeteksi pada media yang diberi perlakuan (diinokulasi dengan kultur bakteri). Besarnya aktivitas asimilasi pada isolat-isolat yang diuji dalam penelitian ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan aktivitas asimilasi pada bakteri yang telah diuji sebelumnya oleh beberapa peneliti. Tabel 6 menunjukkan hasil uji asimilasi dari beberapa penelitian. 29 Tabel 6. Beberapa hasil penelitian uji asimilasi kolesterol Jumlah Kolesterol yang diasimilasi Jenis Bakteri (µg/ml) L. acidophilus dari feses babi 8.2 – 29.8a L. acidophilus dari feses manusia L. acidophilus ATCC 43121 Lactobacillus dari makanan fermentasi BAL yang diisolasi dari dadih, growol, sosis, bayi, gatot, asinan sawi, dan yoghurt Lactococcus lactis L. casei dan L. acidophilus Sumber: 20.5-83.3b 48c 11.1-37.9d 19.96 – 42.68e 21.7 – 68.1f 12.03 – 32.25g a Gilliland et al. (1985); bBuck dan Gilliland (1994); cNoh et al. (1997); dKusumawati (2002); e Ngatirah et al. (2000); fKimoto et al.(2002); gLiong dan Shah (2005a). Perbedaan kemampuan mengasimilasi antara bakteri yang diuji dalam penelitian ini dengan bakteri yang diuji pada penelitian sebelumnya (Tabel 6) terjadi karena strain yang digunakan berbeda. Selain itu, menurut Kusumawati (2002), perbedaan kemampuan mengasimilasi kolesterol mungkin juga disebabkan oleh perbedaan sumber kolesterol yang digunakan dalam pengujian. Gilliland et al. (1985) menggunakan fraksi serum pleuro-pneumonia like organism (PPLO) sebagai sumber kolesterol, Buck & Gilliland (1994) dan Noh et al. (1997) menggunakan misel kolesterol-fosfatidilkolin, sedangkan Liong dan Shah (2005a) menggunakan polioxyethanyl cholesteryl (kolesterol larut air) sehingga memiliki kelarutan yang baik dalam media yang digunakan untuk pengujian (MRSB). Adapun sumber kolesterol yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolesterol murni, seperti pada penelitian yang dilakukan Ngatirah et al. (2000) dan Kusumawati (2002). Menurut Kusumawati (2002), kolesterol murni tidak dapat larut dengan baik pada media MRSB yang merupakan media berbasis air, karena kelarutan kolesterol dalam air sangat rendah. Hal tersebut mungkin berpengaruh terhadap jumlah kolesterol yang dapat diasimilasi oleh bakteri. Pada penelitian ini, jumlah total kolesterol yang terdeteksi pada kontrol dan perlakuan jika dibandingkan dengan jumlah kolesterol yang ditambahkan semula pada media, menghasilkan selisih yang cukup besar. Pada saat sentrifugasi diduga kolesterol yang tidak larut ikut mengendap dan terbuang bersama massa sel sehingga tidak terdeteksi pada saat pengukuran. Namun, karena tahapan dan kondisi pengujian untuk media kontrol dan perlakuan dibuat sama, kolesterol yang terbuang pada keduanya diasumsikan sama, sehingga selisih kolesterol pada kedua media tersebut cukup mencerminkan jumlah kolesterol yang diasimilasi oleh bakteri asam laktat yang diuji. Pada penelitian ini digunakan 2-propanol untuk membantu melarutkan kolesterol sebelum dimasukkan ke dalam MRSB dengan konsentrasi yang masih bisa ditoleransi oleh bakteri yang diuji. Jika dikaitkan dengan ketahanan masing-masing isolat terhadap pH rendah (Gambar 7) dan garam empedu (Gambar 8), berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 20) tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05) antara ketahanan terhadap pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu, maupun total ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu dengan kemampuan mengasimilasi kolesterol pada isolat-isolat yang diuji. Hubungan yang tidak signifikan ini juga terlihat dari nilai koefisien korelasi linear (r) yang rendah seperti pada Gambar 10 11, dan 12. Koefisien korelasi linear antara ketahanan terhadap pH dengan kemampuan mengasimilasi kolesterol adalah sebesar 0.08, koefisien korelasi linear antara ketahanan terhadap garam empedu 30 dengan kemampuan mengasimilasi kolesterol adalah 0.466, sedangkan koefisien korelasi linier antara total ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu dengan kemampuan mengasimilasi kolesterol adalah 0.123. Hal ini menunjukkan hubungan yang lemah antara ketahanan terhadap pH dan garam empedu dengan kemampuan mengasimilasi kolesterol. Kolesterol yang diasimilsai (µg/ml) 16 14 r = 0.080 12 10 8 6 4 2 0 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 Perubahan Σ sel karena pH rendah (log cfu/ml) Gambar 10. Hubungan ketahanan terhadap pH rendah (pH2) dengan jumlah kolesterol yang dapat diasimilasi oleh BAL Kolesterol yang diasimilsai (µg/ml) 16 12 r = 0.466 8 4 0 -0,3 -0,2 -0,1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 Perubahan Σ sel karena garam empedu (log cfu/ml) Gambar 11. Hubungan ketahanan terhadap 0.5% garam empedu dengan kolesterol yang dapat diasimilasi oleh BAL 31 Kolesterol yang diasimilasi (µg/ml) 16 r = 0.123 12 8 4 0 -8 -6 -4 -2 0 Total perubahan Σ sel karena pengaruh pH rendah dan garam empedu (log cfu/ml) Gambar 12. Hubungan ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu dengan kolesterol yang dapat diasimilasi oleh BAL Isolat yang memiliki ketahanan tinggi terhadap pH rendah dan garam empedu belum tentu memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengasimilasi kolesterol. Sebagai contoh, isolat Lactobacillus R3 yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pH rendah dan garam empedu, memiliki aktivitas asimilasi yang lebih rendah dibanding isolat Lactobacillus A38 yang memiliki ketahanan terhadap pH dan garam empedu lebih rendah. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Usman dan Hosono (1999), dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara ketahanan terhadap garam empedu pada Lactobacillus gasseri dengan kemampuannya dalam mengikat kolesterol. Pereira dan Gibson (2002) melaporkan bahwa L. johnsonii memiliki ketahanan tinggi terhadap garam empedu dibanding L. casei shirota, namun L. johnsonii tidak dapat mengasimilasi kolesterol sebanyak yang diasimilasi oleh L. casei shirota. Dalam proses asimilasi, diduga sebagian kolesterol yang diambil oleh sel bakteri bergabung dengan membran seluler bakteri tersebut. Penelitian yang dilakukan Noh et al. (1997) menunjukkan bahwa sel bakteri Lactobacillus acidophilus ATCC 43121 yang ditumbuhkan pada media yang mengandung oxgall dan misel kolesterol lebih tahan terhadap lisis oleh sonikasi dibandingkan dengan bakteri yang ditumbuhkan pada media kontrol (media yang tidak diberi oxgall dan kolesterol). Berdasarkan hasil tersebut, diduga bahwa adanya kolesterol telah mengubah dinding sel atau membran seluler lactobacilli sehingga lebih tahan terhadap gangguan sonikasi. Kimoto et al. (2002) juga mengevaluasi penurunan kolesterol oleh beberapa strain bakteri lactococci. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan perbedaan pola distribusi asam lemak pada sel yang tumbuh pada media yang mengandung kolesterol dan yang tidak mengandung kolesterol. Diduga kolesterol bergabung ke dalam membran sel dan mengubah komposisi asam lemak dalam sel. Adanya penggabungan tersebut meningkatkan total asam lemak pada membran sehingga membran menjadi lebih tahan terhadap lisis. Adanya pengambilan kolesterol oleh bakteri asam laktat menyebabkan jumlah kolesterol yang diserap di dalam usus menjadi berkurang sehingga dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Untuk lebih mengetahui potensi BAL isolat ASI dalam menurunkan kolesterol, pengujian terhadap mekanisme lain dalam menurunkan kolesterol perlu dilakukan, mengingat kemampuan isolat-isolat tersebut dalam mengasimilasi kolesterol cukup rendah. 32 D. AKTIVITAS BILE SALT HYDROLASE (BSH) Dekonjugasi garam empedu oleh enzim bile salt hidrolase (BSH) yang dihasilkan oleh BAL berhubungan dengan penurunan kolesterol dalam darah. Hal ini terjadi karena garam empedu bebas (terdekonjugasi) lebih sulit untuk diserap kembali di dalam saluran usus dibandingkan dengan garam empedu dalam bentuk terkonjugasi, sehingga lebih cepat dikeluarkan melalui feses. Akibatnya tubuh harus mensintesis lebih banyak asam empedu dari kolesterol untuk menggantikan asam empedu yang hilang. Dengan demikian kolesterol yang tersedia untuk diserap menjadi berkurang (Usman dan Hosono 1999). Dalam penelitian ini, adanya aktivitas BSH diuji dengan menumbuhkan kultur pada media MRSA yang mengandung 0.5% TDCA (taurodeoxicholic acid) sebagai garam empedu terkonjugasi dan 0.37 g/L CaCl2. Adanya aktivitas BSH dapat diketahui dengan terbentuknya endapan di sekitar koloni, karena asam empedu hasil dekonjugasi oleh enzim BSH akan bereaksi dengan CaCl2 membentuk garam yang mengendap. Hasil pengujian aktivitas BSH pada 13 isolat dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan 16. Aktivitas BSH tidak terdeteksi pada semua isolat yang diuji. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya endapan yang terbentuk di sekitar koloni (baik yang menggunakan kertas saring maupun tidak), yang menandakan tidak adanya aktivitas dekonjugasi terhadap garam empedu. Tidak terdeteksinya aktivitas BSH mungkin terjadi karena isolat-isolat tersebut memang tidak dapat menghasilkan BSH atau BSH yang dihasilkan oleh isolat-isolat tersebut terlalu sedikit sehingga tidak mampu melakukan aktivitas dekonjugasi terhadap garam empedu. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Toit et al. (1998), Moser dan Savage (2001), dan Surono (2003) terhadap strain BAL yang berbeda dengan menggunakan metode yang sama. Pada penelitian-penelitian tersebut sebagian besar BAL yang diuji menunjukkan adanya aktivitas BSH yang cukup tinggi, yang ditandai dengan adanya zona presipitasi di sekitar koloni. Menurut Noriega et al. (2006) hasil pengujian yang berbeda kemungkinan terjadi karena perbedaan strain yang diuji atau keakuratan metode yang digunakan. Uji aktivitas BSH pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode tidak langsung. Keakuratan metode ini mungkin juga menjadi penyebab tidak terdeteksinya aktivitas BSH pada isolat-isolat yang diuji. Beberapa peneliti (Liong dan Shah 2005b; Lye et al. 2010) melakukan uji aktivitas BSH secara kuantitatif dengan mengukur kadar asam amino (glisin/taurin) yang dibebaskan dari garam empedu terkonjugasi, dimana 1 unit aktivitas BSH (U mL-1) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat membebaskan 1µmol asam amino per menit dari substrat yang diberi perlakuan. Hasil pengujian tersebut menunjukkan adanya aktivitas BSH pada L. acidophilus, L. casei, dan L. bulgaricus yang berkisar antara 0.25-1.81 U mL-1. Metode kuantitatif lain yang biasa digunakan untuk mengukur aktivitas BSH adalah HPLC (De Smet et al. 1995; Toit et al. 1998). Pada metode HPLC, aktivitas BSH diukur berdasarkan jumlah asam deoksikolat (DCA) yang terbentuk dari hasil dekonjugasi garam empedu. Toit et al. (1998) melakukan pengujian terhadap aktivitas BSH dari L. reuteri dan L. johnsonii dengan metode kualitatif dan kuantiatif. Metode kualitatif yang digunakan sama seperti pada metode dalam penelitian ini, sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan HPLC. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya aktivitas BSH baik pada metode kualitatif maupun metode kuantitatif. Berdasarkan metode kuantitatif diketahui bahwa isolat-isolat yang diuji memiliki aktivitas BSH yang cukup tinggi, dimana DCA yang dibebaskan berkisar 618-1204 nmol DCA (10 log10 cfu menit)-1. 33 A B Gambar 13. Hasil pengujian aktivitas BSH pada isolat A6, A8, A16, A20, A22, A23, dan A38 yang ditumbuhkan pada MRSA (A) dan MRSA yang mengandung 0.5% TDCA dan 0.37g/L CaCl2 (B) dengan menggunakan kertas saring A B Gambar 14. Hasil pengujian aktivitas BSH pada isolat B2, B11, B13, R1, R3, dan R9 yang ditumbuhkan pada MRSA (A) dan MRSA yang mengandung 0.5% TDCA dan 0.37g/L CaCl2 (B) dengan menggunakan kertas saring A B Gambar 15. Hasil pengujian aktivitas BSH pada isolat A6, A8, A16, A20, A22, A23, dan A38 MRSA (A) dan MRSA yang mengandung 0.5% TDCA dan 0.37g/L CaCl2 (B) tanpa menggunakan kertas saring 34 A B Gambar 16. Hasil pengujian aktivitas BSH pada isolat B2, B11, B13, R1, R3, dan R9 yang ditumbuhkan pada MRSA (A) dan MRSA yang mengandung 0.5% TDCA dan 0.37g/L CaCl2 (B) tanpa menggunakan kertas saring 35