BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rokok dan Kandungan zat berbahaya dalam rokok Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap atau dihirup yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin adalah zat atau zenyawa pyrrolidine yang terdapat dalam nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Tar adalah kondensat asap yang merupakan total residu dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air yang bersifat karsinogenik (Pemprov, 2011). Asap rokok utama (mainstream smoke) adalah asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya, sedangkan asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (sidestream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama dan asap rokok sampingan yang dihembuskan lagi oleh perokok disebut asap rokok lingkungan (ARL) (environmental tobacco smoke, ETS) atau disebut juga second hand smoker. Mereka tidak merokok tetapi terpaksa menghisap asap rokok dari lingkungan dan bukan tidak mungkin akan menderita berbagai penyakit akibat rokok kendati mereka sendiri tidak merokok (Aditama, 2006). Asap rokok mengandung sekitar 4.000 zat kimia seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO), asam sianida (HCN), amonia (NH4OH), acrolein, acetilen, benzaldehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin, etilkatehol-4, dan ortokresol. Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar (Pemprov, 2011). 2.2 Dampak Rokok bagi kesehatan Bahan-bahan yang terkandung di dalam rokok menyebabkan terjadinya berbagai macam kelainan dan penyakit. Dampak langsung setelah terpapar asap rokok adalah batuk, sesak nafas dan pusing (Kemenkes, 2010). Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh rokok menurut Aulia (2010) adalah: a. Memperlambat Pertumbuhan Anak Berdasarkan fakta sejak tahun 1986, Amerika Serikat menyimpulkan bahwa asap rokok yang dihasilkan secara langsung maupun hembusan perokok dapat memperlambat pertumbuhan dan fungsi paru pada masa anak-anak, serta meningkatkan resiko penyakit saluran pernafasan. b. Kanker Rahim Dan Keguguran Merokok bisa merusak kesuburan rahim (servik) dan kanker rahim, serta merusak kesuburan wanita dan menyebabkan komplikasi kehamilan. Merokok selama kehamilan mempertinggi resiko berat bayi lahir rendah, yang menyebabkan si kecil rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan. Keguguran didapati dua sampai tiga kali lebih sering pada perokok. c. Mengancam Kehamilan Hal ini terutama ditunjukkan kepada wanita perokok. Banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa wanita hamil yang merokok memiliki resiko melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah, kecacatan, keguguran, bahkan bayi meninggal saat dilahirkan. 2.3 Bahaya rokok pada ibu hamil dan kehamilan Gangguan kehamilan dan janin yang disebabkan oleh kebiasaan merokok atau terpapar asap rokok selama hamil diantaranya adalah abortus, gangguan perkembangan tumbuh janin dan berat bayi lahir rendah (Aditama, 2006). Paparan asap rokok terhadap ibu hamil menurut Surgeon General Report menyebabkan prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), sindrom kematian mendadak pada bayi (CDC, 2006). Bahaya rokok dikuatkan dengan hasil penelitian Rasyid, dkk (2012) menemukan keterpaparan asap rokok selama hamil memberi risiko 4,2 kali secara signifikan (p=0,002) terhadap kejadian BBLR. Selain itu penelitian Rufaridah (2012) mengatakan ibu hamil dengan perokok pasif memiliki resiko 81,2% dengan nilai p= 0,02 sehingga ada pengaruh perokok pasif terhadap berat badan lahir. Disisi lain penelitian Rufaridah (2012) mengatakan ibu hamil yang terpapar asap rokok memiliki plasenta bayi yang tidak normal yaitu sebesar 83,3% dengan nilai p=0,003 dibandingkan ibu yang tidak terpapar asap rokok. Menurut Amiruddin (2006) nikotin dalam rokok dapat menimbulkan kontraksi pada pembuluh darah ke tali pusat janin menjadi berkurang, sehingga menyebabkan bayi lahir prematur. Penelitian Mountoha, dkk (2013) menunjukkan kejadian KPD disebabkan oleh paparan asap rokok dengan nilai p = < 0,05 dengan OR 23,188 sehingga ibu hamil yang terpapar asap rokok memiliki peluang 23 kali lebih tinggi untuk mengalami KPD. Penelitian Dewi, dkk (2012) menyatakan paparan asap rokok menyebabkan kejadian lesi prakanker leher rahim dengan nilai OR= 4,75 ; 95% CI : 2,19-10,33 sehingga paparan asap rokok meningkatkan risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim sebesar 4 kali dibanding tanpa paparan asap rokok. Penelitian Musrifa (2014) mengatakan ibu yang terpapar asap rokok suami selama hamil 2,7 kali lebih berisiko untuk mempunyai neonatal yang meninggal sebelum usianya mencapai 7 hari bila dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok suami selama kehamilannya (OR 2,758, CI95%: 0,72-10,50). Hasil penelitian Hidayat (2009) bahwa keluarga yang merokok, kemungkinan anaknya terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. 2.4 Perilaku suami dalam pencegah paparan asap rokok Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon, serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung, perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2012). Sekitar 70-80% perokok ingin berhenti merokok namun hanya 40% perokok yang mencoba berhenti merokok, tetapi hanya 3% yang benar-benar berhenti merokok dalam 6 bulan mendatang sehingga upaya berhenti merokok dapat dilakukan dengan niat untuk berhenti merokok, melakukan tekhnik/ berkonsultasi dengan dokter atau klinik berhenti merokok dan menggunakan obat-obat tertentu (Aditama, 2006). Data hasil penelitian Hidayati dan Akrom (2010) menunjukkan bahwa edukasi tentang upaya pencegahan bahaya rokok dalam rumah dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap upaya pencegahan bahaya rokok dalam rumah. Edukasi upaya pencegahan bahaya rokok dalam rumah berhubungan dengan penurunan aktivitas merokok dalam rumah OR=0.06 ; 95% CI : 0.01 – 0.43. Edukasi upaya pencegahan bahaya rokok dalam rumah dapat diterapkan sebagai upaya membatasi kebiasaan merokok dalam rumah di Bantul Yogyakarta. 2.5 Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku suami dalam pencegahan paparan asap rokok Faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Green (dalam Notoadmojo 2012) ialah faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). 2.5.1 Faktor Predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi perilaku pada diri seseorang atau masyarakat yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. A. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan suatu domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Suatu penelitian mengatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan mampu bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2012). Dari hasil penelitian Rachman (2009) menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan partisipasi suami dalam perawatan kehamilan. Dapat dijelaskan pula bahwa semakin tinggi pengetahuan semakin optimal pula partisipasinya. 1) Pendidikan Semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya (Notoadmojo, 2012). Menurut penelitian Sarajuddin dkk (2011) semakin tinggi pendidikan peluang untuk menghabiskan jumlah batang rokok semakin rendah, hal ini berlaku juga sebaliknya. Orang yang berpendidikan rendah lebih banyak sebagai perokok aktif dibanding perokok pasif. Jadi dengan rendahnya pendidikan pada mereka yang memang menghabiskan jumlah batang rokok lebih banyak, akan membuat tugas penyuluh kesehatan semakin rumit. Hal ini disebabkan merubah kebiasaan pada orang yang berpendidikan akan lebih mudah dibanding orang yang tidak berpendidikan (Sarajuddin dkk, 2011). 2) Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung (Notoadmojo, 2012). Menurut Aditama (2006) dalam lingkungan perkerjaan ibu maupun suami dapat mendapatkan informasi tentang bahaya Asap Rokok. 3) Usia Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa (Notoadmojo, 2012). Menurut aditama (2006) sekitar 70% dari perokok di Indonesia memulai kebiasaannya sebelum umur 19 tahun, karena terbiasa melihat anggota keluarganya yang merokok. Penelitian yang dilakukan Sodikin (2009) berdasarkan umur paling muda 29 tahun dan paling tua adalah 58 tahun didapatkan rata-rata kelompok umur 37,77 tahun (95% CI; 36,60 – 38,93) dan median 37,00 dengan standar deviasi 5,961 tahun, rata-rata usia yang lebih tua memungkinkan responden lebih bijaksana dalam menganalisis keamanan dan keselamatan istrinya. 4) Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik (Notoadmojo, 2012). Penghasilan merupakan ukuran yang penting sehingga hasil penelitian Sirajuddin dkk (2011) faktor yang berhubungan dengan jumlah batang rokok yang diisap adalah pendidikan rendah dan pengeluaran. Kelompok penghasilan rendah memiliki kebiasaan merokok yang lebih tinggi dibanding dengan kelompok berpenghasilan keatas (Sirajuddin dkk, 2011). B. Sikap Sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak bisa langsung dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Hal-hal yang memotivasi hal tersebut menurut Notoatmodjo (2012) adalah: a. Perceived susceptibility adalah seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya dengan merasakan bahwa dirinya rentan terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa dirinya atau keluaarganya rentan terhadap penyakit tersebut. b. Perceived seriousness adalah tindakan untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh persepsi keseriusan penyakit tersebut. c. Perceived benafis and barriers adalah apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit yang dianggap gawat, ia akan melakukan suatu tindakan. Tindakan ini tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan, kemungkinan mengambil tindakan untuk perilaku sehat/sakit. d. Cues adalah untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan maka diperlukan faktor eksternal seperti pesan-pesan dari media massa, nasihat atau anjuran teman atau keluarga lain. Dari hasil penelitian tentang dampak negative rokok pada perokok pasif adalah peningkatan infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, peningkatan resiko kematian pada sudden infant death syndrome (SIDS), peningkatan kemungkinan penyakit kardiovaskuler, gangguan perilaku dan syaraf bila anak tumbuh menjadi dewasa selain itu upaya berhenti merokok seperti niat untuk berhenti merokok (Aditama, 2006). Dari hasil penelitian Hampir seluruh perokok menyatakan sikap tidak setuju jika ada perokok yang melakukan aktifitasnya di dekat ibu hamil atau anak-anak. Keluarga perokok sebanyak 45,6% memiliki pemikiran menghentikan kebiasaan namun upaya hanya dilakukan oleh 21,9%. Sementara alasan kesehatan yang menjadikan berpikir untuk berhenti merokok (Pemprov, 2009). 2.5.2 Faktor pemungkin (enabling faktors) Faktor pemungkin terwujud dalam lingkungan fisik dan tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan seperti adanya peringatan di bungkus rokok yang menyatakan asap rokok merusak kesehatan anak-anak dan orang sekitarnya, melakukan konsultasi dengan dokter/ klinik berhenti merokok, menggunakan nicotine replacement therapy (NRT) (Aditama, 2006). 2.5.3 Faktor pendorong (reinforcing faktors) Faktor penguat yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan maupun petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat, termasuk undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2012). Menurut Aditama (2006) sarana berupa pelatihan bagi dokter dan petugas kesehatan tentang bahaya ARL dan upaya penyuluhan kesehatan ke rumah-tangga tentang bahaya asap rokok lingkungan. Hal lain dibuktikan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalanan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatann Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau, dan yang ditetapkan Kabupaten Gianyar adalah Peraturan Daerah No.7 tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.