Modal Spiritual Kekuatan Tersembunyi di Balik Kemampuan

advertisement
Bab 1
TINJAUAN MODAL SPIRITUAL
DALAM PEMBANGUNAN
D
inamika pembangunan di setiap daerah memiliki kekhasannya
tersendiri. Oleh karena itu, tulisan ini hendak menyajikan sebuah
sintesa teori kontekstual untuk situasi pembangunan dalam masyarakat yang
komunal, memiliki penghayatan spiritual yang tinggi, dan di wilayah yang
memiliki orbitasi rendah terhadap pemerintahan pusat. Hal penting yang ingin
ditekankan dalam tulisan ini adalah bahwa modal spiritual sungguh penting dan
relevan bagi pembangunan di Indonesia karena masyarakatnya yang memiliki
penghayatan spiritual.
Banyak teori pembangunan yang berbicara pada level negara dengan
berbagai indikasi makro, dan kemajuan pembangunan umumnya dikaitkan
dengan perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut
(Hofman 2004, Steiner 2006, Werner 2006, Arestis et al. 2007). Namun, tulisan
ini justru hendak membicarakan pembangunan dengan berangkat dari sebuah
kampung yang terpencil dan terabaikan dalam pembangunan. Alasan utama,
kehidupan sehari-hari masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan berada di
level akar rumput, bukan di level negara. Dengan mengacu kepada Lebret,
Goulet (2006) mengungkapkan kemajuan pembangunan dilihat dari adanya
peningkatan kreativitas masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan hidup lewat
segala pengorbanan mereka. Pemenuhan kebutuhan ini tidak lain merupakan
usaha untuk mencapai kebebasan sejati yang dapat dinikmati oleh setiap orang
5
(Sen 2000:18). Hal ini diteguhkan pula oleh Yapa (2006) yang membahas
pendapat Ariyaratne bahwa pembangunan bukan sekedar diukur dari
pertumbuhan material melainkan melibatkan pula perkembangan dimensi
psikologis, moral, dan spiritual, sebagaimana dimensi sosial, ekonomi, dan
politik. Oleh karena itu, pembangunan yang melulu berfokus pada pertumbuhan
ekonomi dan modernisasi bukanlah pembangunan yang sesungguhnya karena
tidak menyentuh secara langsung kebutuhan masyarakat untuk menikmati
kebebasannya. Kebebasan dalam hal ini bagi Sen (2000:10) dipandang sebagai
suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk bertindak dan memutuskan,
serta suatu peluang yang memungkinkan seseorang memperoleh kebaikan
personal dan sosialnya.
Di lain pihak, untuk dapat membuahkan pembangunan dibutuhkan
modal. Di saat modal dari intervensi negara tidak dapat diharapkan, masyarakat
di aras lokal perlu mengusahakan modal itu sendiri, atau memanfaatkan modal
yang sudah mereka miliki. Dalam hal inilah modal spiritual hadir untuk
menjawab tantangan pembangunan, khususnya di aras lokal. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan, ternyata tak dapat
digapai dengan meningkatkan kapasitas produksi semata. Muhni (1994:133)
menyinggung bahwa Mosjov menyatakan pembangunan semesta adalah
pembangunan yang menyeluruh meliputi kesejahteraan moral, spiritual, dan
fisik manusia seutuhnya. Betapapun, manusia memegang peranan yang paling
utama dalam pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan sekelompok
masyarakat yang mempunyai jiwa sebagai insan pembangun, agen-agen
perubah, untuk dapat menggapai keberhasilan dalam pembangunan.
Dalam sebuah masyarakat yang komunal dan spiritualistis 4, spiritualitas
mereka akan mewarnai sikap maupun gaya hidup masyarakat. Pada saat ini,
pembangunan di Indonesia jarang memerhatikan modal spiritual. Pada
umumnya pembangunan dikaitkan dengan politik dan ekonomi. Bahkan, secara
eksplisit Presiden Indonesia periode 2009-2014 menyampaikan bahwa
Indonesia perlu memiliki konsensus untuk mewujudkan kemajuan. Untuk itu
dibutuhkan enam pilar, pertama adalah menjalankan demokrasi bersama
penegakan hukum sekaligus menjaga stabilitas. Pilar kedua adalah peranan
pemerintah dalam ekonomi dijalankan tetapi nilai konstruktif dalam kaidah
pasar agar kompetitif tidak boleh diabaikan. Ketiga, perusahaan multinasional
tidak diutamakan walau ekonomi nasional sudah terintegrasi dengan ekonomi
4
Spiritualistis dalam hal ini merupakan kata sifat dari masyarakat yang berpenghayatan
spiritual tinggi.
6
internasional. Keempat, pertumbuhan ekonomi walaupun penting harus diikuti
dengan pemerataan dan keadilan sosial sekaligus pemeliharaan lingkungan yang
baik. Pilar kelima adalah mendorong pasar domestik, dan pilar yang terakhir
adalah pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai (Kompas, 6
September 2010). Tampaklah bahwa untuk mencapai kemajuan dalam
pembangunan, pemerintah merencanakan konsensus yang disandarkan pada
pilar-pilar politik dan ekonomi.
Kebijakan pembangunan yang tidak memerhatikan kondisi masyarakat
dapat menghancurkan kekuatan masyarakat di aras lokal 5 (Summer 1986). Oleh
karena itu, diperlukan suatu pola pembangunan berbasis komunitas dengan
sistem ”bottom-up” (Ife 2002:25-26). Dalam masyarakat komunal,
pembangunan berbasis komunitas masyarakat ini perlu dipikirkan, lebih-lebih
di saat kawasan itu berada dalam ancaman terabaikan oleh pembangunan. Tentu
saja, keberadaan pembangunan berbasis komunitas ini bukan untuk menafikan
peran negara. Secara lebih spesifik, tulisan ini hendak melihat bagaimana
peranan modal spiritual dalam pembangunan, salah satu modal yang masih
jarang dibahas dalam berbagai tulisan pembangunan (Flora 2009, Johnson
2009). Berhadapan dengan komunitas yang spiritualistis dan hidup dalam
kawasan yang terpencil, mempelajari peranan modal spiritual dalam
pembangunan kiranya menjadi hal yang urgen.
PERAN NEGARA DALAM PEMBANGUNAN
DI ARAS LOKAL
Masyarakat di aras lokal mengharapkan pembangunan dapat
meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk tingkat lokal, tentu saja
pembangunan diharapkan dari peran negara di tingkat lokal, dengan perkataan
lain, pemerintah daerah. Harapan ini lebih-lebih semakin meningkat ketika
daerah mereka mendapatkan otonominya. Namun, banyak fenomena yang
menunjukkan bahwa pembangunan di aras lokal tersebut bisa saja
meningkatkan pendapatan daerah namun belum tentu meningkatkan
5
Salah satu contohnya terjadi di Nagari Santiago, Sumatera Barat. Sebelum tahun 1984
jalan menuju kawasan tersebut terpelihara baik oleh swadaya masyarakat. Sejak konsep
pemerintahan digantikan oleh pemerintahan desa masa orde baru rakyat tidak terlibat
lagi dalam pemeliharaan jalan. Tahun 2001pemerintahan dikembalikan lagi kepada
Nagari namun masyarakat sudah enggan bergotong royong. Bulan Juli 2010 jalan dalam
keadaan rusak berat, penuh lumpur dan berlubang, sehingga tidak dapat lagi dilalui
kendaraan. (Kompas, 25 Juli 2010)
7
kesejahteraan rakyat. Mala (2001) melalui penelitiannya di Nepal menemukan
fenomena tersebut. Dikatakannya pemerintah tidak bersifat netral karena
memiliki kepentingannya sendiri dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mengejar kepentingan tersebut dan
dengan demikian, pembangunan menjadi terabaikan. Diuraikan oleh Mala
bagaimana segala ”tujuan tak resmi” yang dikejar oleh petahana inilah yang
mengemudikan perilaku pemerintah dalam pembangunan. Tak heran jika
kemudian timbul ungkapan yang menyatakan negara menjadi aktor utama
penghambat pembangunan (Antlöv 2001). Oleh karena itu, pembangunan tidak
dapat berakhir hanya sampai di pertumbuhan ekonomi saja (Martinussen 1995).
Kehadiran negara yang tidak mengutamakan kesejahteraan masyarakat,
atau tidak meningkatkan kebebasan bagi masyarakat menurut Sen (2000), justru
mengakibatkan peran negara dalam pembangunan kurang terasa (Michie 1981,
Antlöv 2000, Mala 2001). Jelaslah di sini berbagai penelitian mendukung
bahwa keberhasilan pembangunan tidak semata diukur dari tingginya
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Sekalipun negara hadir di suatu daerah
dan kiprahnya cukup aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
modernisasi, namun bila semua itu tidak efektif bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat di aras lokal, seolah negara tidak pernah hadir di sana.
Memang, tidak bisa diluncurkan tuduhan yang menggeneralisasi bahwa
negara yang peranannya kurang terasa dalam pembangunan adalah negara yang
mementingkan kepentingan pribadi para kaum elite pemerintahannya. Demikian
pula yang terjadi dengan pemerintahan di aras lokal. Bisa saja para aktor
pembangunan memiliki dedikasi yang besar dalam pembangunan namun tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Kiprahnya justru membawa
ketidaksejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini terjadi jika pemerintah
melakukan pembangunan tanpa melihat kondisi masyarakatnya. Mereka seolah
membuat keputusan-keputusan dalam kegelapan sehingga akibatnya justru fatal.
Goulet (2006) mengamati banyak aktor pembangunan yang bukannya
mengambil resiko penuh perhitungan melainkan memaksakan diri mengambil
resiko buta. Menurutnya, hal ini terjadi karena para elite tersebut kehilangan
prinsip-prinsip penuntun etis, khususnya dalam hal pembangunan. Para pemikir
politik masa kini cenderung untuk menjalankan politik tanpa etika atau
mengejar keadilan yang samar karena tertutup aura utopia sebab tak mengakar
pada dunia nyata.
Pola pembangunan ini sebetulnya tergantung dari kebijakan
pimpinannya. Beberapa negara memaksakan penarikan sejumlah besar sumber
8
daya namun menyediakan sedikit sekali untuk kebutuhan orang banyak. Cukup
beralasan jika negara semacam ini disebut oleh Evans (1989) sebagai Negara
Predator. Kaum Elite penguasa sistem yang ada di negara tersebut melakukan
perampokan besar-besaran tanpa memerhatikan kesejahteraan masyarakat
umum. Jenis negara yang kedua adalah negara yang mampu memfasilitasi kaum
swasta untuk berkembang melalui entrepreneurship. Negara seperti ini disebut
oleh Evans sebagai Negara Pembangunan. Negara Predator hingga Negara
Pembangunan sebetulnya merupakan kontinuum, sehingga banyak negara yang
berada di antara keduanya. Yang jelas, kehadiran Negara Predator akan
membuat pembangunan absen bagi masyarakatnya. Seberapa besar peranannya
dalam pembangunan, tergantung pada posisinya dalam garis kontinuum
tersebut.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, ada dua macam kemungkinan
penyebab kurang terasanya peranan negara dalam pembangunan di aras lokal.
Kemungkinan pertama adalah karena para elite pemerintahan yang lebih
mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri daripada
kesejahteraan masyarakat banyak. Kemungkinan kedua adalah karena pola
pemerintahan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Kedua
kemungkinan ini berada di dalam garis kontinuum yang mendekat ke kategori
Negara Predator.
Namun, tulisan ini hendak menambahkan sebuah alasan yang lain lagi.
Peranan negara tidak terasa signifikan dalam pembangunan di aras lokal karena
pemerintah daerahnya masih “terlalu muda” masa kerjanya. Kawasan penelitian
berada dalam sebuah kabupaten yang belum lama mendapatkan otonominya,
bahkan Bupati pertamanya baru menjalankan masa satu tahun jabatannya.
Dengan keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, pemerintah daerah harus
menentukan prioritas daerah-daerah dan sektor-sektor mana saja yang harus
dibangun. 6 Konsekuensinya, akan ada banyak daerah yang tidak menjadi
prioritas, berada di bawah ancaman terabaikan oleh pembangunan, setidaknya
untuk beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, di saat negara tidak dapat lagi
diharapkan untuk melakukan pembangunan, diperlukan sebuah solusi yang lain,
yaitu pembangunan berbasis komunitas masyarakat.
6
Kondisi umum pembangunan di Kabupaten Manggarai Timur dapat dilihat pada
lampiran.
9
PEMBANGUNAN BERBASIS KOMUNITAS
Pada saat peran negara dalam pembangunan kurang dirasakan dampaknya
secara signifikan, perlu dilakukan suatu usaha pembangunan melalui
kelembagaan di tingkat komunitas tanpa menafikan peran negara. Walaupun
demikian, hal ini juga tidak terlalu mudah. Pada saat pola pembangunan yang
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tetap dipaksakan, terjadilah suatu relasi
vertikal yang kuat antara negara dan masyarakat pedesaan (Summers 1986).
Relasi vertikal ini dapat membuat suatu komunitas masyarakat pedesaan tak
berdaya menghadapi dunia yang jauh lebih kuat dan lebih luas dengan adanya
urbanisasi, industrialisasi, birokrasi, dan sentralisasi. Suatu perubahan sosial
yang terjadi secara makro tersebut seolah telah merampas otonomi masyarakat
lokal dalam membuat keputusannya sendiri dan seolah mereka terhisap dalam
masyarakat yang lebih luas. Masalahnya adalah masyarakat kecil ini terhisap
untuk menjadi semakin tak berdaya karena terdampar dalam dunia global yang
melampaui kekuatan dan kemampuan mereka. Di lain pihak, sejarah mencatat
pula banyaknya pembangunan yang bersifat top-down atau melalui pendekatan
blue-print akhirnya gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat (Adams 2001). Oleh karena itu, masyarakat perlu
membangun sebuah basis yang kuat di tataran horisontal untuk dapat bertahan
hidup. Lebih-lebih, di tengah dunia yang berubah dengan cepat, proses
pembangunan perlu menyesuaikan diri baik secara materiil maupun spiritual
(Kartodirdjo 1994:4).
Pembangunan ini perlu bergerak dalam komunitas kelembagaan
masyarakat sehingga menyentuh langsung sendi-sendi kehidupan rakyat (Uphof
1986, Ife 2002). Istilah pembangunan yang bottom up sebetulnya sudah lama
dicetuskan oleh Mahatma Gandhi (Singh 2006). Beliau mengatakan bahwa
dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, namun tidak akan
pernah cukup untuk memenuhi kerakusan setiap orang. Setiap desa
sesungguhnya mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga setiap
orang menemukan tempat yang ideal untuk tinggal di desanya. Oleh karena itu,
Gandhi tidak menganjurkan politik ekonomi makro. Setiap desa harus berusaha
mencukupi dirinya sehingga yang terjadi adalah pembangunan bottom up,
bukan top down. Sebuah pembangunan baru dapat berhasil apabila didasarkan
pada pengertian politik dan ekonomi lokal, dengan melibatkan partisipasi dari
masyarakat setempat (Adams 2001). Dengan adanya pembangunan yang
berbasis masyarakat, pembangunan bukan lagi sesuatu yang jauh dari pusat,
tetapi lebih ”mendarat”, bergerak langsung di tengah-tengah orang miskin.
10
Melalui pembangunan yang berbasis masyarakat ini, pembangunan dilakukan
oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan dilakukan langsung di tengah-tengah
masyarakat. Dengan demikian, harapannya pembangunan dapat menjadi milik
rakyat yang dapat dinikmati oleh rakyat (public good). Pendekatan
pembangunan berbasis komunitas ini cukup panjang lebar disampaikan oleh Ife
(2002). Pendekatan tersebut dapat menjadi sebuah teori yang menjanjikan
karena kelembagaan masyarakat hadir di tengah-tengah masyarakat dalam
kondisi apa pun.
”Lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa
memedulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan
bersahaja atau modern karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhankebutuhan pokok yang apabila dikelompok-kelompokkan terhimpun menjadi
lembaga kemasyarakatan.” (Soerjono Soekanto 1982)
Kalau dicermati, setiap daerah memiliki kelembagaan lokal yang
melibatkan para penduduk lokal. Ada nilai-nilai yang disepakati bersama, ada
kearifan lokal yang berlangsung turun temurun, semua itu membentuk suatu
budaya dan adat istiadat yang khas di tempat tersebut. Setiap perilaku sosial di
suatu tempat dipengaruhi oleh ide-ide, pola-pola kebudayaan, dan mitos-mitos
yang berkembang di sana. Semua nilai ini membuahkan norma yang dihidupi
bersama dan menjadi dasar regulasi dalam kehidupan mereka. Regulasi tersebut
mengatur perilaku sosial sekaligus interaksi sosial di antara masyarakat. Dengan
adanya norma ini, masyarakat terikat dalam satu komitmen satu sama lain
sehingga memunculkan saling percaya di antara mereka dalam sebuah jaringan
komunitas masyarakat. Di sebagian tempat, kelembagaan lokal itu terungkap
dalam kehidupan bermasyarakat yang terorganisir dengan adanya ketua suku
dan para pembantunya. Sementara di beberapa tempat lainnya lebih bersifat
egaliter, namun hidup dalam suatu komunitas yang erat seperti klan-klan kecil.
Kekerabatan mereka yang berupa jaringan ini dapat menjadi sebuah modal
sosial pula.
Memang ada banyak kritik dan keberatan terhadap layanan berbasis
masyarakat ini. Kritik yang cukup tajam disampaikan oleh John Friedman
(Martinussen 1995:292) yang mengatakan bahwa pengembangan masyarakat
ini merupakan pendekatan romantik dan khayalan yang dilebih-lebihkan. Ia
mengatakan bahwa pendekatan ini berasumsi bebas dari konflik dan komunitas
masyarakatnya homogen. Padahal, dalam kenyataannya terjadi banyak konflik
kepentingan, ketidaksetaraan dalam banyak hal, diskriminasi perempuan, dan
sebagainya.
11
”Sungguh naif jika percaya bahwa pembangunan alternatif tersebut dapat
diciptakan dan dibuat berkelanjutan (sustainable) di tingkat komunitas yang
kecil, dan keberadaannya dapat menjadi oposisi yang konsisten terhadap
pemerintah negara. Sekalipun pembangunan ini dimulai secara lokal, tidak akan
berakhir secara lokal juga. Tanpa bantuan pemerintah negara, kebanyakan
masyarakat miskin tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.”
(Friedman 1992 dalam Martinussen 1995:292)
Bagaimanapun, ide yang disampaikan oleh Ife (2002) cukup menarik,
karena ia menawarkan suatu pembangunan yang holistik. Sebuah pendekatan
yang kontekstual karena pengembangan masyarakat dilakukan dengan
memerhatikan nilai-nilai yang berada di akar rumput, entah itu budaya,
spiritual, maupun ideologi yang selama ini dihidupi oleh masyarakat. Walaupun
demikian, pendapat Friedman (Martinussen 1995:292) tidak dapat diabaikan
begitu saja. Pembangunan berbasis komunitas masyarakat tidak dimaksudkan
untuk menafikan peran negara. Situasi yang ideal justru tercipta jika terjadi
pembangunan baik dari pihak negara maupun masyarakat, sejauh ada
kesinkronan antara keduanya.
PENGERTIAN MODAL SPIRITUAL
Saat ini, dunia ilmu pengetahuan sudah mulai melihat bahwa penelitian
mengenai modal spiritual adalah sesuatu yang urgen. Bahkan, dikatakan modal
spiritual merupakan kaki yang hilang dari pembangunan ekonomi dan harus
digabungkan dengan kedua kaki lainnya, yaitu modal sosial dan modal
personal 7 (Malloch 2003). Pendapat Malloch ini menegaskan bahwa modal
spiritual selalu dikaitkan dengan pembangunan ekonomi. Belakangan ini sudah
mulai bermunculan berbagai penelitian mengenai modal spiritual walaupun
belum terlalu banyak. Meskipun istilah modal spiritual ini sudah mulai
digunakan dalam dunia ilmiah, namun tampaknya belum ada kesepakatan
mengenai apakah pengertian modal spiritual itu sebenarnya.
Cukup banyak yang merumuskan modal spiritual dengan mengaitkan
nilai-nilai. Davies & Guest (dalam Flanagan 2007) mengatakan bahwa istilah
modal spiritual dimengerti sebagai keterkaitan iman religius dengan
penggunaan sumber-sumber budaya. Modal spiritual merupakan kompetensi
spiritual yang mengalirkan nilai-nilai seperti pelayanan, mementingkan orang
lain, bijaksana, berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh
religi. Sementara Zohar (2004) memandang modal spiritual mengambil satu
7
Modal personal di sini merupakan terjemahan bebas dari human capital.
12
tahap yang lebih tinggi dan lebih luas daripada “modal” lainnya. Modal spiritual
menjadi batu karang yang menyangga modal-modal yang lain. Modal spiritual
mengandung komoditas perubahan dalam pemaknaan, visi yang
menginspirasikan, keluhuran, yang kesemuanya itu dapat diterapkan dalam
nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Melalui penelitiannya di Amerika Serikat,
Zohar (2004) mengungkapkan modal spiritual ini juga ada di dalam sebuah
bangsa. Pada saat modal spiritual rendah, masyarakat akan lebih sering sakit
dan stress. Selain itu, akan ada banyak depresi, ketergantungan narkoba dan
alkohol, bunuh diri, keretakan keluarga, dan banyak orang akan merasa terasing
menghadapi egoisme, kriminalitas, dan pengrusakan. Dengan perkataan lain,
Zohar (2004) yakin tanpa modal spiritual masyarakat akan kehilangan hatinya.
Tak mengherankan, ada yang mengaitkan modal spiritual dengan hati nurani.
Secara gamblang, Jauhari (2007) menyatakan modal spiritual adalah makna,
tujuan, dan pandangan yang kita miliki bersama mengenai hal yang paling
berarti dalam hidup. Modal spiritual bukanlah masalah agama atau suatu sistem
kepercayaan, melainkan suatu kecerdasan hati nurani, diawali dengan
pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri. Adapun Beard (2007) dalam
tulisannya mengatakan bahwa modal spiritual merupakan istilah yang merujuk
kepada keuntungan positif dari pembentukan spiritualitas, psikologi, dan
moralitas terhadap seseorang, organisasi, dan komunitas atau sekelompok
masyarakat. Dengan demikian, modal spiritual didefinisikan sebagai stok
pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan makna, nilai-nilai, dan tujuan
fundamental dari individu atau budaya. Hal pendatangan keuntungan yang
dikaitkan dengan modal spiritual dibicarakan juga oleh Zohar & Marshall
(2004:21). Mereka berargumentasi bahwa modal spiritual mensyaratkan adanya
dimensi moral dan sosial terhadap kapitalisme. Oleh karena itu, modal spiritual
berbicara tentang mendatangkan keuntungan yang lebih besar dengan
menjalankan bisnis melalui konteks yang lebih luas dalam makna dan nilai.
Cara ini akan memberikan kesejahteraan tidak saja yang bersifat jasmaniah
namun juga batiniah.
Berikut ini akan diuraikan berbagai penelitian yang relevan sehingga
sedikit demi sedikit dapat diperoleh gambaran mengenai apakah sebenarnya
modal spiritual itu. Sesuai dengan namanya yang diawali dengan kata “modal”,
peranan utama modal spiritual tidak lain adalah kebangkitan ekonomi.
Walaupun berbagai penelitian mengaitkan modal spiritual dengan politik
maupun struktur sosial, namun pada akhirnya modal spiritual bermuara pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebuah karya tua dan terkenal dari
Weber (dalam 2006) telah mengangkat keterkaitan antara etika Protestanisme
13
dengan kapitalisme. Dalam bukunya Weber menjelaskan istilah calling dalam
etika Protestan, yaitu suatu panggilan untuk memenuhi kewajiban moral
seseorang dalam memenuhi tugas duniawinya. Perilaku religius ini
terproyeksikan dalam aktivitas sehari-hari. Calling ini berkaitan dengan
kepercayaan kaum Protestan akan takdir yang menentukan orang-orang terpilih
saja yang akan memperoleh keselamatan (Weber 2006:71). Efeknya, etika ini
mendorong orang untuk bekerja keras, disiplin, dan hemat agar memperoleh
kekayaan yang dipercaya oleh mereka sebagai tanda berkat dari Tuhan (Weber
1958 dalam Alatas 2002:111). Bagi manusia yang masih hidup di bumi, state of
grace mereka diketahui dari keadaan mereka selama hidup di dunia. Oleh
karena itu, semua orang berlomba untuk menjadi orang-orang terpilih sehingga
mereka menjadi dinamis dan progresif. Dengan demikian, prinsip time is money
yang dicetuskan oleh Benjamin Franklin mengandung muatan spiritual. Etika
Protestan inilah yang akhirnya mendorong perilaku ekonomi individu dengan
semangat kapitalisme sehingga melahirkan suatu kebangkitan ekonomi.
Kelompok masyarakat kapitalis yang seringkali digolongkan sebagai
masyarakat industri modern ini mendobrak ekonomi tradisional kuno yang
berada dalam status quo. Dengan demikian, mereka menjadi sumber dinamisme
dan kebangkitan ekonomi dari para masyarakat industri.
Penelitian Weber ini berkaitan erat dengan masalah spiritual karena
sesungguhnya perubahan askese bangsa Amerikalah yang mendukung perilaku
ekonomi mereka. Askese ini khususnya yang menyangkut perolehan harta
benda duniawi. Ketika masih di Eropa sebelum bermigrasi ke Amerika, umat
mengalami keraguan untuk mengejar kekayaan tanpa batas karena penghayatan
spiritual mereka yang tidak mendukung hal tersebut. Hal ini diamati oleh Weber
dari ajaran-ajaran yang beredar di kalangan umat ketika itu, antara lain:
Dia yang mencari perlindungan di bawah harta milik yang diberikan Allah,
Allah akan memukulnya bahkan dalam hidup ini. Cara hidup puas diri dengan
menikmati kekayaan yang sudah diperoleh hampir selalu merupakan gejala
degradasi moral. Jika kita memiliki segalanya yang bisa kita miliki di dunia ini,
apakah itu yang kita harapkan? Kepuasan sepenuhnya atas semua keinginan
tidak bisa diperoleh di dunia karena kehendak Allah telah menetapkan
demikian. (Saint’s Everlasting Rest bab 10 dalam Weber cetakan 2003:406)
Demikianlah bahwa Allah memelihara kita dan aktivitas kita; kerja adalah ujung
moral serta alami dari kekuatan…. Dengan cara demikianlah Allah bisa dilayani
dan dihormati… Kesejahteraan umum atau kebaikan banyak orang harus
dijunjung di atas kesejahteraan dan kebaikan diri kita sendiri. (Christian
Directory I hal. 375-376 dalam Weber cetakan 2003:406)
Pada zaman itu, beberapa sinode di Belanda juga mengutuk dengan keras segala
bentuk pencarian impulsif terhadap kekayaan. Diceritakan oleh Weber (dalam
14
2003:405-406) bahwa pada tahun 1574 Sinode Belanda Selatan menyatakan
rentenir tidak boleh diterima ke dalam persekutuan meskipun diizinkan oleh
hukum. Pada tahun 1958, Sinode Provinsial Deventer memperluas hal ini
kepada para pegawai rentenir. Sinode Gorichem tahun 1606 mendeskripsikan
persyaratan yang sangat berat dan merendahkan bagi para istri lintah darat,
dapat diterima.
Setelah hidup di Amerika, perlahan-lahan keraguan untuk mengejar harta
duniawi ini terkikis. Time is money yang dicetuskan oleh Benjamin Franklin
memiliki pengertian spiritual karena satu jam yang terbuang percuma berarti
membuang kesempatan untuk bekerja demi memuliakan Tuhan. Dengan
demikian, mencari keuntungan untuk menumpuk kekayaan pribadi menjadi hal
yang baik. Bahkan, jika Tuhan menunjukkan jalan untuk mendapatkan hasil
yang lebih banyak dibandingkan jalan yang lainnya, itu merupakan panggilan.
Menolak jalan tersebut dengan memilih jalan lain yang keuntungannya lebih
sedikit berarti menghilangkan salah satu tujuan panggilan, menolak untuk
menjadi pelayan Tuhan, dan menolak pula untuk menerima anugerah Tuhan.
Kepercayaan yang tertanam saat itu adalah manusia dapat menjadi kaya bagi
Tuhan walau bukan untuk daging dan dosa (Weber dalam 2003:231-238).
Hilangnya keraguan untuk mengejar kekayaan yang berkaitan dengan
penghayatan spiritual inilah yang akhirnya mengubah perilaku ekonomi bangsa
Amerika dan membangkitkan kapitalisme.
Sebab jika ada kenyataan bahwa Tuhan, yang kekuasaan-Nya dilihat oleh kaum
Puritan dalam setiap kejadian dalam kehidupan, menunjukkan kepada salah satu
dari umat pilihan-Nya suatu kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, maka
umat itu harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, orang
Kristen yang beriman harus menuruti panggilannya dengan memanfaatkan
segala keuntungan dari setiap kesempatan yang ada (Baxter dalam Weber
cetakan 2003:238).
Kebangkitan ekonomi di kalangan masyarakat Jatinom, Jawa Tengah,
juga tidak lepas dari penghayatan spiritual masyarakatnya (Abdullah 1994:145).
Diungkapkan bahwa masyarakat Jatinom memercayai Allah Yang Esa sehingga
para pengusaha di Jatinom merasa mereka harus membangun nilai-nilai budaya
Islam melalui bekerja dengan bantuan rahmat Allah. Segala perjuangan dan
pengorbanan diikuti oleh ketaatan, ketulusan, dan devosi kepada Allah.
Pengajaran spiritual Islam mereka terjemahkan dalam kegiatan ekonomi
mereka, yaitu san (lurus), opén (tekun memelihara), dan tlatén (rajin). San
dalam arti mereka tidak malu melakukan pekerjaan apapun asalkan halal. Oleh
karena itu, banyak di antara mereka yang memulai usahanya dengan rela
menjual apapun dan membeli apapun, termasuk barang-barang bekas, hingga
15
akhirnya mempunyai toko sendiri. Opén dalam arti tekun merawat dan
mengumpulkan mulai dari yang kecil-kecil hingga terakumulasi. Konsep ini
juga merujuk pada sikap ekonomi yang teliti. Adapun tlatén berarti rajin bekerja
dan tekun menjalankan usahanya. Pengajaran religius Islam yang menekankan
kejujuran dan setia memegang janji ikut mendukung keberhasilan bisnis di
Jatinom (Abdullah 1994:145-146).
Kebangkitan ekonomi di belahan timur dunia juga ternyata tak dapat
dilepaskan dari peranan modal spiritual masyarakatnya. Penelitian Bellah
(1992:145) menunjukkan adanya keterkaitan antara Buddhisme Zen dengan
etika ekonomi di Jepang. Pada masa Ashikaga (1392-1573), para rahib Zen
memainkan peranan yang tidak kecil dalam perekonomian. Sekte Zen ini
menghargai kegiatan produktif serta hidup dalam kesederhanaan spartan dan
keugaharian. Tidak seperti sekte Buddhis lainnya yang meminta sedekah, para
rahib Zen lebih menekankan kerja keras. Kerja dipandang sebagai sesuatu yang
suci karena merupakan ungkapan syukur atas rahmat yang telah diterima. Pada
masa selanjutnya, Konfusianisme yang mempunyai pengaruh besar di Jepang
dapat dipakai untuk mengiluminasi pemahaman hubungan antara ekonomi dan
negara (Bellah 1992:146). Dasar pikiran Konfusius adalah kemanunggalan
ekonomi dan negara. Ini pula yang menjadi ciri para penguasa Tokugawa8
dalam memberikan perhatiannya terhadap ekonomi rakyat. Inti kebijakan
ekonomi Konfusian adalah mendorong produksi dan mengurangi konsumsi,
sehingga kekayaan yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat tercukupi.
Pengurangan konsumsi ini mengambil bentuk lahir dan batin. Konsumsi lahir
dibatasi dengan mengurangi pengeluaran sedangkan konsumsi batin dibatasi
dengan mengurangi keinginan. Ada dua hal yang menjadi ciri khas nilai-nilai
Jepang dalam hal ekonomi. Pertama, dinamisme satu arah untuk mencapai
tujuan bersama, dan yang kedua, semangat pengorbanan yang tulus tanpa
pamrih demi tercapainya tujuan bersama tersebut. Jika diperhatikan, sikap rajin
dan hidup hemat ada di dalam kedua pandangan itu. Pandangan-pandangan
ekonomi politik yang lahir dari nilai-nilai masyarakat Jepang ini diterjemahkan
dalam berbagai kebijakan pemerintah yang akhirnya mendongkrak
perekonomian Jepang. Salah satunya, pemerintah memberikan banyak fasilitas
dan keringanan pajak yang mendorong pembukaan sawah-sawah sehingga di
awal pemerintahan Tokugawa luas tanah pertanian berkembang dua kali lipat
(Bellah 1992:150). Salah satu wilayah yang terkenal karena mengalami
perkembangan ekonomi pesat adalah Yonezawa. Upaya khas yang dilakukan di
8
Tokugawa merupakan sebuah masa pemerintahan di Jepang yang berlangsung dari tahun 1600 hingga 1868.
Pemerintahan ini diakhiri oleh Era Meiji (1868-1911).
16
sana pada saat itu adalah mengangkat pengkotbah keliling yang menanamkan
nilai luhur dari sifat rajin, jujur, dan hemat dalam upacara-upacara Konfusian
kepada masyarakat.
Salah satu nilai dalam masyarakat Jepang yang memiliki dampak besar
terhadap perekonomian adalah nilai bakti anak kepada orang tua dan leluhur.
Sikap rajin dan kerja keras dipupuk bukan demi profit pribadi melainkan demi
profit keluarga. Setiap orang bertekun dalam bisnis demi keharuman nama
keluarga dan tidak mempermalukan leluhur. Dengan demikian, integritas
pribadi merupakan hal yang patut dipertahankan. Dampak positifnya adalah
terciptalah trust sehingga praktik pembayaran dengan cara kredit mulai berlaku
dan semakin membangkitkan dunia bisnis. Chen (1976 dalam Alatas 2002:113)
juga melakukan penelitian terhadap nilai-nilai Asia. Melalui penelitiannya
tersebut, ia melihat nilai-nilai Asia seperti semangat berkelompok, saling
menolong, bakti anak terhadap orang tua, dan persahabatan, dapat memainkan
peranan dalam memperbaiki hal-hal yang tak menyenangkan akibat efek
modernisasi.
Bellah menganalisa bahwa Jepang sangat mengutamakan nilai-nilai
politis (Bellah 1992:8). Kedudukan sentral dari politik di Jepang terutama
terjadi karena adanya nilai kesetiaan kepada atasan. Kesetiaan dipandang
sebagai sebuah input dalam sistem integratif atau kelembagaan negara. Adapun
outputnya adalah kewenangan koordinasi. Otoritas politik yang memegang
wewenang koordinasi berkewajiban melimpahkan on (berkat) kepada rakyat di
bawahnya. On ini bisa dalam bentuk kedamaian dari perang, berbagai program
penanggulangan kemiskinan, gaji, dan sebagainya. Walaupun demikian, bagi
masyarakat Jepang kesetiaan tidak ada kaitannya dengan on, tetapi merupakan
kewajiban mutlak. Kesetiaan ini meski merupakan kewajiban mutlak namun
tidak mengandung unsur paksaan bagi masyarakat Jepang. Ini terjadi karena
identifikasi rakyat yang memandang seluruh bangsa sebagai sebuah keluarga
besar. Kaisar adalah yang ilahiah, pangeran, dan ayah dari seluruh keluarga
nasional. Sedangkan rakyat adalah pemuja, pelayan, dan anak. Dengan
demikian, kesetiaan tidak lain merupakan ketaatan agung seorang anak. Inilah
yang dimaksudkan dengan prinsip kokutai, yaitu sebuah konsep bernegara yang
membaurkan prinsip-prinsip kekeluargaan, politik, dan religius secara tak
terpisahkan. Kokutai menjadi sebuah identifikasi dari entitas religius dan politik
sekaligus sehingga kegiatan politik menjadi identik dengan kegiatan religius
(Bellah 1992:141-142). Dapat dilihat di sini bahwa dinamika politik di Jepang
berlatar belakang motivasi religius.
17
Nilai-nilai dalam spiritualitas di Jepang juga memiliki peran yang tidak
kecil dalam struktur sosial mereka. Berdasarkan penghayatan spiritualnya,
keluarga-keluarga di sana dapat dibedakan antara keluarga inti yang terdiri dari
orang tua dan anak, serta keluarga satu garis keturunan. Keluarga-keluarga yang
berasal dari satu garis keturunan ini berhubungan satu sama lain dalam
kerangka rumah induk dan rumah cabang. Dalam lingkup nasional, seluruh
keluarga di Jepang adalah satu, dengan keluarga Kaisar sebagai rumah induk
dari semua keluarga Jepang yang menjadi keluarga cabang (Bellah 1992:26).
Berdasarkan penelitiannya di Jepang, Bellah menjelaskan di dalam sebuah
rumah tangga, status kepala keluarga adalah sentral. Namun, di tengah
masyarakat, status tersebut merupakan status resmi terendah dalam negara.
Keluarga tidaklah otonom di luar negara namun berintegrasi dalam negara,
bahkan dalam tingkatan tertentu mengalami campur tangan negara.
Di Jepang berkembang sebuah teori kemasyarakatan dengan konsep
okupasi. Okupasi ini berkaitan dengan panggilan luhur mereka yang
menempatkan setiap orang dalam suatu jabatan atau kedudukan sosial tertentu.
Artinya, suatu okupasi merupakan panggilan yang ditentukan dari langit (Bellah
1992:157). Dalam pandangan Konfusian, panggilan ini menjadi suatu
kewajiban yang sudah pasti dan tertentu sehingga terbentuklah kelas-kelas dan
kelompok fungsional dalam masyarakat. Masalah panggilan ini juga dibahas
cukup banyak oleh Weber (1958). Perbedaan mencolok etika Protestan dengan
Konfusian adalah masyarakat Protestan bekerja keras agar memperoleh
kedudukan sosial yang baik, sebagai tanda mereka memperoleh berkat dari
Tuhan. Sebaliknya, para penganut Konfusian memandang kedudukan sosial
yang dimilikinya merupakan tanda panggilan hidupnya. Maka, ia perlu
menjalankan fungsinya dengan baik sesuai dengan kedudukan sosialnya
tersebut sehingga terciptalah sebuah ekuilibrium yang harmonis dalam sistem
sosial masyarakat tersebut. Tampaklah di sini bahwa kekerabatan memegang
peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang, dan kekerabatan
berkaitan erat dengan penghayatan spiritual masyarakatnya.
Di Indonesia pun nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat
rupanya ikut memengaruhi perilaku ekonomi masyarakat (Geertz 1977,
Abdullah 1994). Perubahan nilai-nilai kehidupan masyarakat mulai memasuki
kehidupan keluarga, sistem pendidikan, dan berbagai organisasi ekonomi serta
politik sehingga memunculkan berbagai perubahan sosial budaya yang cukup
besar. Digambarkan oleh Geertz (1977) perubahan itu dapat dilihat dari
munculnya proses komersialisasi dalam sektor pertanian, munculnya berbagai
18
perusahaan yang tidak tumbuh lagi dari ikatan kekerabatan, dan munculnya
pula penghargaan tinggi terhadap ketrampilan-ketrampilan teknis. Perubahan
nilai-nilai inilah yang berada di belakang kuantum variabel-variabel ekonomi.
Melalui penelitiannya di Mojokuto, Geertz (1977) menemukan bahwa
ternyata golongan entrepreneurs yang muncul di sana berasal dari golongan
kaum santri. Pada tingkat ideologis, golongan ini mengidentifikasikan dirinya
sebagai wadah sempurna dari nilai-nilai agama dan moral yang agung di tengah
masyarakat luas. Adapun penelitian Geertz di Tabanan menunjukkan golongan
entrepreneurs di sana justru berasal dari kalangan bangsawan. Bisa ditebak
bahwa hal ini berkaitan juga dengan motivasi spiritual karena setiap klan yang
ada di Bali berkaitan dengan pura tempat ibadat mereka. Kenyataan ini
mendorong Geertz untuk menyatakan bahwa tak dapat diharapkan satu pola
pertumbuhan ekonomi yang uniform di antara berbagai golongan masyarakat
Indonesia. Segala kebijakan pemerintah harus disesuaikan dengan kondisi
daerah setempat. Dalam hal ini, modal spiritual yang tertuang dalam
kelembagaan masyarakat setempat perlu mendapatkan perhatian. Hasil
penelitian Geertz di Mojokuto dan Tabanan menunjukkan dengan sangat jelas
mengenai hal ini. Doktrin yang dipegang secara radikal oleh para pengusaha di
Mojokuto adalah reformasi Islam yang ingin membersihkan agama Islam dari
unsur-unsur heterodoks 9 yang masih lumrah terjadi di dalam masyarakat umum.
Sementara itu ideologi para pengusaha di Tabanan lebih bersifat liberal dan
restorasionis. Bagaimanapun, motivasi yang berada di balik perilaku ekonomi
para pengusaha baik di Mojokuto maupun Tabanan adalah nilai-nilai “yang
benar” menurut mereka dibandingkan yang lazim ada dalam masyarakat umum.
Nilai-nilai inilah yang menjadi modal spiritual dalam pembangunan ekonomi di
Mojokuto dan Tabanan. Demikian pula yang terjadi di India. Ada suku-suku
tertentu yang kehilangan akar permukimannya sehingga sepenuhnya hidup
untuk melakukan layanan bagi suku lain. Dalam usahanya berasimilasi dengan
komunitas Hindu, maka ia mendapatkan predikat sebagai suku paria, suatu
kelas sosial rendah yang terjadi karena pengaruh penghayatan spiritual
(Andreski 1989:83-84). Namun, karena mereka berhasil beradaptasi dengan
penghayatan spiritual setempat, mereka dapat bertahan hidup dan secara relatif
mengatasi kemiskinannya yang semula tak punya tempat tinggal sama sekali.
Di tengah situasi Srinlanka yang dibelit kemiskinan dan terus memanas
karena konflik antara pemerintah dan Tamil (LTTE), Yapa (2006) lewat
pembahasannya tentang tulisan Ariyaratne menyatakan yakin bahwa
9
Pengertian heterodoks yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
19
spiritualitas Buddha merupakan satu-satunya solusi. Untuk mengubah struktur
masyarakat secara keseluruhan, dibutuhkan perubahan pribadi lebih dahulu
lewat penghayatan spiritual Buddha yang radikal. Bermula dari kesadaran
personal (puroshodaya), kemudian akan melahirkan kebangkitan komunitas
atau desa (gramodaya), sehingga dapat pula mengubah situasi negara
(deshodaya), dan akhirnya muncullah sebuah kebangkitan dunia yang baru
(vishovadaya). Jadi, semua perubahan sosial yang meningkatkan kesejahteraan
beradiasi keluar dan kunci pertama dari semua ini adalah agen personal yang
menghayati spiritualitasnya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun tidak memberikan definisi secara gamblang, namun secara
eksplisit Unruh & Sider (2005) menyebut istilah modal spiritual ketika
menggambarkan kongregasi dalam Gereja di Amerika Serikat dapat menjadi
sumber energi yang besar bagi karya-karya sosial karena memiliki kapasitas
yang unik dalam memotivasi dan memobilisasi jaringan konstituennya untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara Meyer (2001)
yang memerhatikan sejarah para presiden Amerika Serikat sejak Washington
melihat bahwa religiositas para Presiden berpengaruh langsung terhadap
pembangunan di Amerika Serikat. Pada saat dilantik sebagai Presiden Amerika
Serikat, George Bush berdoa,
Heavenly Father, we bow our heads and thank You for Your love. Accept our
thanks for the peace that yields this day and the shared faith that makes its
continuance likely. Make us strong to do Your work, willing to heed and to hear
Your will, and write on our hearts these words: “Use power to help people.” For
we are given power not to advance our own purposes, nor to make a great show
in the world, nor a name. There is but one just use of power, and it is to serve
people. Help us to remember it, Lord. Amen. (Meyer 2001:128)
Hal pertama yang dilakukan Bush ketika menjadi presiden adalah berdoa.
Meyer (2001:128-129) menyatakan masyarakat Amerika Serikat percaya bahwa
Tuhan telah memilih bangsa Amerika untuk membawa kabar politik yang
menggembirakan bagi dunia dengan bersinar menjadi teladan kebebasan,
keadilan, dan demokrasi di antara bangsa-bangsa. Untuk itu Tuhan akan
membimbing mereka menuju takdir bangsa Amerika tersebut. Para penghuni
Gedung Putih silih berganti dan masing-masing menginterpretasikan iman
bangsa Amerika melalui religiositasnya masing-masing. Melalui pribadi para
Presiden itulah Amerika dipuji dan diagungkan atau dipersalahkan dan
diserang. Dalam hal ini, seorang Presiden Amerika menjadi simbol modal
spiritual bangsanya. Zohar (2004) yakin seorang Presiden Amerika Serikat
dapat menentukan modal spiritual bangsanya. Para bapak pendiri negara
Amerika Serikat telah menanamkan nilai-nilai yang menjadi kekayaan rakyat,
20
modal spiritual Amerika. Sayangnya, walau George Bush mengawali masa
tugasnya dengan doa dan menarik simpati masyarakatnya, di akhir masa
jabatannya justru menuai banyak kecaman. Dinyatakan oleh Zohar (2004)
bahwa sikap dan kebijakan politik Bush telah menurunkan modal spiritual
bangsa secara serius. Penelitian-penelitian ini hendak menunjukkan bahwa
penghayatan spiritualitas seorang pemimpin dapat memengaruhi seluruh
komunitasnya.
Istilah modal spiritual berasal dari dua kata yang berlawanan, yaitu
spiritual dan modal, dipersatukan dalam khazanah pembangunan asosiasi
ekonomi dan perkembangan kultural. Dalam zaman kontemporer, Sir John
Templeton mendirikan dan mendanai suatu penelitian untuk melihat
konsekuensi agama dan spiritualitas terhadap ekonomi dan sosial. Dalam
website-nya dikatakan bahwa konsep modal spiritual ini dibangun berdasarkan
berbagai penelitian modal sosial yang menunjukkan bahwa agama menjadi
faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan jaringan sosial dan trust.
Hal senada diungkapkan Hardiyanto (2008) yang mengartikan modal
spiritual menurut Woodburry, yaitu sebagai konsekuensi ekonomi dan sosial
dari agama dan spiritualitas. Selanjutnya, disampaikannya juga bahwa menurut
Vaughan modal spiritual merupakan pengalaman subjektif dari yang sakral.
Bourdieu (1986, dalam Verter 2003) mengatakan ada tiga bentuk modal
spiritual, yaitu dalam bentuknya sebagai pembangun, sebagai objek, dan
sebagai kelembagaan. Pada hakekatnya, modal spiritual terjadi melalui proses
transubstansiasi. Modal spiritual dalam bentuknya sebagai pembangun terdapat
dalam pengetahuan, kemampuan, dan selera yang berkaitan dengan bidang
religius. Sebagai kelembagaan, modal spiritual ini terbangun dalam habitus
masyarakat serta dalam bagaimana cara mereka memahami dan bertindak yang
terstruktur secara sosial. Sebagai suatu objek, modal spiritual mengambil
bentuknya dalam rupa material atau komoditas simbolik. Modal spiritual
memang seringkali dikaitkan juga dengan simbol-simbol. Tempat
persemayaman raja yang diyakini sebagai wakil dewa serta rumah-rumah adat
yang menjadi pusat ritual tak jarang menjadi simbol penghayatan spiritual
masyarakat setempat. Persepolis 10 yang merupakan istana Raja Persia di masa
lampau mengalami kehancuran ketika diserang oleh Aleksander Agung.
Doxuan (1995) menyebutnya bahwa modal spiritual masyarakat Persia telah
dihancurkan bersama dengan runtuhnya Persepolis. Pada dasarnya, Bourdieu
(dalam Weininger [email protected] dan Lareau [email protected])
10
Saat ini bernama Thakht-e Jamshid dan terletak di Iran (Doxuan 1995).
21
menyatakan bahwa sebuah kompetensi menjadi sebuah kapital atau modal
sejauh ia memfasilitasi warisan kultural sebuah masyarakat sehingga
menciptakan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang eksklusif.
Berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan, Malloch (2003)
memandang modal spiritual lahir dari pengertian bahwa seluruh kekayaan alam
ini dipercayakan kepada manusia. Setiap orang dipanggil untuk memelihara dan
mengolah dengan baik segala sumber daya alam tanpa memunahkannya.
Dengan demikian, modal spiritual berkaitan dengan tanggung jawab akan
segala ciptaan di bumi ini. Segala norma yang mengatur perilaku ekonomi
masyarakat yang bertanggung jawab terhadap lingkungan ini berada di dalam
berbagai macam adat istiadat yang mencerminkan pengetahuan lokal dan iman
mereka. Adapun (Finke 2003) mendefinisikan modal spiritual sebagai keahlian
dan pengalaman khas akan agama, termasuk pengetahuan religius, keakraban
dengan ritual agama dan doktrinnya, serta persahabatan dengan saudara seiman.
Semua ini akan menolong seseorang untuk menghasilkan komoditas religiusnya
yang dipandang bernilai. Sedangkan pendapat lain menyampaikan bahwa modal
spiritual merupakan suatu potensi yang kekuatan, pengaruh, pengetahuan, dan
disposisinya diciptakan oleh partisipasi tradisi spiritual mereka (Berger and
Hefner 2003 dalam Hardiyanto 2008).
Semua pengertian mengenai modal spiritual yang telah diuraikan di atas
menunjukkan bahwa modal spiritual tidak selalu dikaitkan dengan yang
transenden. Sesungguhnya, spiritualitas menjalani sebuah proses evolusi pula.
Kierkegaard (1843 dalam 1992) menguraikan bahwa proses spiritualitas ini
melalui tiga tahapan, yaitu estetik, etik, dan religius. Tahapan estetik merupakan
sebuah tahap ketika hidup dikuasai semata oleh naluri-naluri sensual, mood, dan
dorongan hati. Pada saat keutamaan moral dianggap sebagai yang terpenting,
maka dikatakan seseorang memasuki tahap etik. Puncaknya adalah ketika orang
tersebut merasa bersalah jika berada di tahap estetik, merasa kurang sempurna
di tahap etik, dan mulai berkembang di dalam iman. Maka inilah yang disebut
tahap religius. Bagi Kierkegaard, beriman atau berelasi dengan Tuhan
merupakan puncak perealisasian diri sebagai makhluk rohani (Sugiharto
2000:100). Setiap tahapan spiritual ini memiliki nilai-nilai yang dihidupi
bersama dalam masyarakat komunal. Oleh karena itu, ada pendapat yang tidak
mengaitkan modal spiritual dengan yang transenden sama sekali. Semua
pembahasannya bersifat sangat humanis. Hal ini terjadi karena pembahasan
modal spiritual tersebut berada di tahapan etik.
22
Dalam berbagai tulisan yang ada, modal spiritual hampir selalu dikaitkan
dengan modal sosial (Friedly 2001, Wortham & Wortham 2007, Ramstedt
2008). Baker & Miles-Watson (2010) memandang bahwa paradigma “modal”
dalam modal spiritual merupakan sebuah jalan untuk menggambarkan dan
mengevaluasi peran serta kontribusi iman terhadap civil society. Pendapatnya
ini dibangun setelah melakukan penelitian terhadap modal sosial dan melihat
adanya keterkaitan antara modal spiritual dan modal sosial. Dikatakannya,
modal spiritual menjadi sumbangan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam
publik.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa modal spiritual merupakan bagian
dari modal sosial, namun ada pula yang justru sebaliknya. Berger & Hefner
(2003) menyatakan bahwa modal spiritual merupakan sub spesies dari modal
sosial. Alasannya adalah karena modal sosial selalu merujuk kepada kekuasaan,
pengaruh, pengetahuan, dan disposisi dari individu yang diperoleh dari
keanggotaannya dalam sebuah jaringan sosial. Adapun modal spiritual merujuk
kepada kekuasaan, pengaruh, pengetahuan, dan disposisi yang diciptakan oleh
partisipasi individu tersebut dalam tradisi religius. Dikatakan oleh Berger &
Hefner (2003) bahwa De Tocqueville’s mengamati Gereja di Amerika Serikat
pada abad ke-19 merupakan institusi lokal yang menjadi basis penumbuh “habit
of the heart” yang kompatibel dengan kehidupan demokrasi. Berbagai
penelitian Max Weber di Amerika Serikat dan berbagai negara di Asia juga
menjadi dasar dari pernyataan Berger & Hefner ini.
Di lain pihak, Weber (dalam 2006) percaya bahwa penghayatan spiritual
merupakan determinan terpenting yang memengaruhi rasionalitas dan perilaku
seseorang. Hal ini terjadi karena spiritualitas berkaitan dengan kedalaman
seseorang; pusat moral kehidupannya dikaitkan dengan yang transenden
(McLaughlin 2005). Dengan demikian, hasil penelitian Weber ini
mengindikasikan modal spiritual bukan merupakan bagian dari modal sosial
melainkan sebuah modal yang mengalirkan modal sosial. Penelitian Putnam
(2000) bahkan menunjukkan bahwa lebih dari separuh jaringan sosial di
Amerika Serikat merupakan kontribusi dari kehidupan religius masyarakat.
Dengan demikian, modal spiritual bukanlah bagian dari modal sosial melainkan
sebuah modal lain yang justru dapat melahirkan modal sosial.
Beragamnya pengertian modal spiritual sebagaimana dipaparkan di atas
mendorong penelitian ini untuk mencari bagaimanakah modal spiritual itu,
khususnya dalam konteks Mondo. Dalam tulisan ini modal spiritual akan
dipandang sebagai modal yang bukan merupakan bagian dari modal sosial.
23
Modal spiritual juga bukan merupakan bagian kognitif dari modal sosial.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh para aktor dalam tulisan ini bukan
berlandaskan rasionalitas individu yang dipengaruhi oleh pengalaman dan
pengetahuan (Dewey 1997, Voss 1999, Lawang 2005:40), melainkan
berdasarkan penghayatan spiritual mereka. Penghayatan spiritual tersebut
berkaitan erat dengan hubungan pribadi yang terjadi antara individu dengan
yang transenden yang dipercayainya. Oleh karena itu, tulisan ini menempatkan
modal spiritual bukan sebagai bagian dari modal sosial melainkan modal yang
dapat mengalirkan modal sosial. Dan itulah pula sebabnya, penelitian mengenai
modal spiritual menjadi penting.
Sampai sini lhooooooooooo
MODAL SPIRITUAL DALAM PEMBANGUNAN
Pada saat sebuah komunitas masyarakat berada dalam ancaman
terabaikan oleh pembangunan, maka dibutuhkanlah sebuah strategi untuk dapat
bertahan hidup. Agar dapat mengerti bagaimana sebuah komunitas dapat
bertahan dibutuhkan penelitian mengenai apa yang menjadi kekuatan internal
mereka. Kekuatan internal ini dapat terungkap dengan mempelajari nilai-nilai
yang berada di dalam komunitas maupun yang mengalir keluar (Goulet 2006).
Oleh karena itu, dalam mencari kekuatan internal masyarakat yang spiritualistis
perlu dipelajari dahulu bagaimana penghayatan spiritual mereka dan nilai-nilai
apa yang menonjol di dalamnya.
Spiritualitas yang sehat dapat menghantar orang kepada kebebasan
sejatinya, suatu tujuan ideal dari pembangunan (Sen 2000, Soedjatmoko 2004).
Di sinilah spiritualitas menjadi modal spiritual yang berguna bagi
pembangunan. Pada hakekatnya, semua orang memiliki sifat dasar spiritual,
yakni perasaan spiritual yang mempersatukan orang-orang, binatang, tanah, dan
segala sesuatu ke dalam satu kesatuan. Hal ini tak mengherankan, karena di saat
manusia berhadapan dengan alam yang jauh lebih besar dari dirinya, rasa ingin
tahunya tentulah akan muncul. Keingintahuannya itu mempertemukannya
dengan Sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sehingga terjadilah
kontemplasi. Dari sinilah manusia mendapatkan rasa religiositasnya. Kemudian,
rasa religiositas tersebut berkembang dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dengan demikian, spiritualitas dan kebudayaan suatu etnis memiliki kaitan
yang cukup erat. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika ternyata penghayatan
spiritual suatu masyarakat memegang peranan penting dalam pembangunan (Ife
24
2002:481). Bahkan, Berger dan Hefner (2003) mengamati adanya dampak
langsung antara modal spiritual dengan pasar dan demokrasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa agama, ritual kepercayaan, atau
spiritualitas tertentu dapat menjadi sebuah modal spiritual suatu masyarakat.
Penghayatan spiritual tersebut memberikan kontribusi yang cukup penting
dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sempat dilihat oleh
Geertz (1995:2) yang mengamati bahwa ibadat kepada leluhur mendukung
otoritas hukum generasi yang lebih tua, ritus-ritus inisiasi menjadi sarana untuk
penetapan identitas gender atau kedewasaan, pengelompokan ritual
mencerminkan oposisi politis, dan mitos-mitos memberikan dasar bagi pranata
sosial serta rasionalisasi hak-hak sosial yang istimewa. Shenk (2001:130)
mengamati umat Buddha yang bertahan dalam penderitaan memberikan
ketabahan yang mengagumkan bagi masyarakat pada umumnya. Di lain pihak,
wawasan orang Afrika yang memandang diri sebagai komunitas yang penuh
semangat memberikan kesegaran bagi masyarakat sekitar. Sedangkan slametan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan tujuan menenangkan rohroh dapat memperkuat solidaritas ketetanggaan (Geertz 1995:77). Semua
penghayatan spiritual tersebut memberikan kontribusinya sendiri terhadap
pembangunan.
Sebagaimana Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang, China kini juga
terhitung sebagai negara yang maju dari Asia. Dalam pembangunan di China,
rupanya semangat Konfusius masih menyala di tengah dunia perpolitikannya.
Misi dari Konfusius ini tidak lain adalah mengembangkan filsafat politik yang
dapat menjamin politik di negara tersebut dapat berlangsung dengan baik. Hal
ini penting karena mereka percaya kehidupan politik yang adil dapat menjamin
kesejahteraan kosmos (Shenk 2001:175). Sementara itu, Yewanggoe
(2004:133) mencatat Revolusi Petani Tonghak di Korea tak dapat dilepaskan
dari pengharapan mesianis pribumi mereka, yang didorong oleh keyakinan
shamanistis, suatu aliran yang mewarnai spiritualitas bangsa Korea di masa
lampau. Demikianlah dari waktu ke waktu di berbagai tempat, antara
penghayatan spiritual dan pembangunan selalu ada kaitan yang erat satu sama
lain (Alkire 2006). Itulah sebabnya modal spiritual merupakan hal yang perlu
diperhitungkan di tengah masyarakat komunal, karena di dalam struktur sosial
mereka tertanam nilai-nilai yang berasal dari penghayatan spiritual mereka.
Spiritualitas sesungguhnya merupakan kekuatan yang ada di balik
pembangunan (Mohatma Gandhi, dalam Singh 2006).
25
MODAL SPIRITUAL DAN INSTITUSI AGAMA
DALAM PEMBANGUNAN
Institusi agama berkaitan erat dengan penghayatan spiritual masyarakat.
Apabila penghayatan spiritual itu berperan dalam perkembangan pembangunan,
maka institusi agama berkaitan erat dengan pembentukan modal spiritual di
tengah umatnya. Berdasarkan realita yang ada di berbagai daerah tampak bahwa
agama sebagai lembaga kemasyarakatan dapat berperan besar dalam
mengembangkan spiritual umatnya dan pada akhirnya mengambil peranan pula
dalam pembangunan (Littell 1967, Daeng 1985, Putnam 2000:65-79, Fukuyama
2001, Munzer 2001, Shenk 2001, Brown and Brown 2003, Price 2004, Unruh
and Sider 2005:171-239, Ganiel 2009).
Paus Benediktus XVI (2009) dalam suratnya kepada duta besar Bulgaria
untuk Vatikan, Nikola Ivanov Kaludov, menulis bahwa pembangunan yang
otentik membutuhkan dimensi spiritual. 11 Hal ini bisa dimengerti mengingat
manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Dengan demikian, pembangunan
manusia seutuhnya bukan melulu mengandalkan pembangunan jasmani
melainkan sekaligus juga rohani. Hal ini diuraikan cukup panjang lebar oleh
Benedictus XVI dalam ensikliknya Caritas in Veritate.
“..it is vital for development not to be limited exclusively to economic
domination, but that it take account of the integrity of the human person. Human
beings must be measured not by what they possess, but by the extension of their
being in accordance with the capacities of their nature. This principle finds its
ultimate justification in the creative love of God, which fully reveals the Divine
Word. In this context, in order for the development of mankind and society to be
authentic, it must necessarily have a spiritual dimension". (Caritas in Veritate)
Salah satu contoh peran Gereja dalam pembangunan dapat dilihat di Hong
Kong. Sebelum tahun 1997, sekolah Katolik merupakan sektor yang sangat
penting dalam sistem pendidikan di Hong Kong (Tan 1997). Dalam hal ini,
Gereja memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan pihak pemerintah.
Bagaimanapun, sesungguhnya institusi agama dapat berbuat banyak dalam
pembentukan penghayatan spiritual umatnya yang akhirnya dapat
menggerakkan pembangunan.
Agama dan pembangunan memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejarah politik di berbagai tempat dipenuhi
dengan konflik dan kekerasan atas nama pembenaran agama. Sebaliknya,
dijumpai dinamika keagamaan penuh dengan konspirasi politik dari orang11
Surat ini dibuatnya pada bulan Oktober 2009
26
orang yang berkoar membela Tuhannya dan agamanya (Mulkhan 2007:4).
Begitu dekatnya politik dengan agama karena ternyata menurut Dhakidae
(2007:47) yang mengutip ulasannya Carl Schmitt, konsep atau ilmu politik
tidak lain merupakan sekularisasi dari konsep-konsep teologis. Dalam
pembangunan manusia seutuhnya, umat Buddha memilih untuk tidak aktif
mencari dan meraih kekuasaan tetapi memutuskan untuk berpolitik dalam arti
tanggung jawab kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat luas (Sutrisno
2007:60). Berbagai kenyataan ini menunjukkan bahwa penghayatan spiritual
yang lahir dari institusi agama memiliki peranan yang besar pula dalam dunia
politik.
Dalam sebuah masyarakat yang kristiani, kehidupan menggereja umat
dapat menjadi modal spiritual mereka pula. Verter (2003) mengungkapkan
bahwa Iannaccone menyatakan modal spiritual tidak lain merupakan keahlian
dan pengalaman dalam keagamaan, termasuk pengetahuannya tentang agama,
keakrabannya dengan ritual Gereja dan doktrin-doktrinnya, serta kebersamaan
dengan umat dalam berdoa dan menyembah Tuhan. Institusi-institusi ini
merupakan produser sekaligus konservator dari modal spiritual. Menanggapi
dunia yang semakin sekuler, Napolitano (1998) melihat adanya sikap baru yang
dilakukan oleh Gereja, yaitu terjun langsung ke tengah masyarakat melalui
perjuangan mobilisasi sosial yang dapat membawa perubahan struktural dan
perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Konsekuensi dari modal spiritual memang tidak selalu berkaitan
langsung dengan ekonomi, walaupun pada akhirnya dapat sampai ke sana pula.
Rosenberger (1997) menggambarkan kegiatan Gereja di Amerika Serikat dalam
kegiatan karitas seperti pendampingan gadis yang hamil di luar pernikahan,
korban AIDS, korban narkoba, dan sebagainya merupakan modal spiritual bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian Berger (2001) menunjukkan
adanya keterkaitan antara institusi agama dengan demokrasi. Diungkapkan
dalam sejarah Amerika Serikat, moralitas kaum puritan sangat kondusif bagi
perilaku ekonomi yang dibutuhkan untuk kebangkitan kapitalisme, sebagaimana
yang sudah dibahas oleh Weber sebelumnya. Oleh karena itu, kaum puritan
tersebut juga kondusif untuk partisipasi demokratik di arena publik. Konsili
Vatikan II dalam Gereja Katolik juga ternyata memengaruhi demokrasi di
Eropa Selatan, Amerika Latin, Filipina, dan kawasan Katolik di Rusia (Berger
2001:453). Di bawah rezim komunis, resistensi masyarakat di Eropa Timur
sangat dipengaruhi oleh penanaman spiritual Gereja kepada umatnya (Coleman
1991). Gereja di Polandia dan Yugoslavia memiliki relasi yang baik dengan
27
Vatikan dan memiliki kekuatan internal yang besar. Masyarakat di kedua
negara tersebut memberikan resistensi spiritual yang kuat karena dukungan
Gereja yang solid dalam memberikan pembinaan spiritual kepada para
seminaris dan juga kepada umat. Bahkan, di tahun 1970 masyarakat dengan
dukungan Gereja dapat memberikan kritik terhadap revisi konstitusi nasional,
sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh umat di Hongaria dan Cekoslovakia
yang kurang memiliki relasi harmonis dengan Vatikan.
Sesungguhnya, hingga saat ini spritualitas masih terus relevan dengan
dunia politik. Bahkan, Gandhi menekankan bahwa memenuhi kebutuhan akan
spiritualitas merupakan langkah pertama yang paling penting bagi para politisi
dan pemerintah (Singh 2006). Politik tanpa prinsip dan penghayatan spiritual
akan menjadi penyebab dari krisis global dan krisis keharmonisan sosial. Pada
saat itu, nilai-nilai tradisional tak mampu lagi menemukan keseimbangan antara
kebutuhan masyarakat dan keinginan masyarakat. Jalan yang seperti ini
hanyalah akan membawa pembangunan ke jalan yang buntu.
Berhubung spiritualitas senantiasa relevan dengan kehidupan realitas
setempat, dalam tulisan ini pengertian modal spiritual diambil langsung dari
lapangan. Pengertian ini berangkat dari pengertian spiritualitas menurut
Keuskupan Ruteng, agar lebih kontekstual dengan kondisi tempat penelitian.
Tertulis dalam Garis-Garis Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012,
spiritualitas dimengerti sebagai kualitas dalam diri manusia yang memengaruhi
seluruh pribadi dan kesadaran manusia; sebuah pengalaman keberadaan
manusia dalam relasinya dengan Allah yang tentunya juga bertalian dengan
dinamika kehidupan manusiawi. Oleh karena itu, modal spiritual merupakan
nilai-nilai yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok masyarakat berdasarkan
pengalaman relasinya dengan realitas tertinggi, yang dapat menstimulasi
kreativitas, mendorong perilaku moral, dan memotivasi individu (Hardiyanto
2008). Nilai-nilai yang dibicarakan di sini adalah nilai-nilai spiritualitas yang
telah melembaga dalam masyarakat sehingga menjadi nilai-nilai sentral
masyarakat setempat. Apakah nilai-nilai itu ada? Sesungguhnya, setiap
kelompok masyarakat selalu berusaha untuk mencari nilai-nilai pemaknaan
yang menghubungkan mereka dengan dunia (Bell 1976). Seluruh nilai ini
tertanam dalam spiritualitas mereka, kebudayaan mereka, dan terungkap pula
dalam keseharian mereka. Misalnya, bagi para Kibbutznik, bekerja merupakan
panggilan (Bell 1976). Oleh karena itu, ajaran iman kristiani, adat istiadat,
tradisi, norma-norma yang dihayati dan dihidupi suatu masyarakat, semua itu
dapat dipelajari untuk dapat mengerti modal spiritual dalam sebuah masyarakat
28
yang komunal. Bahkan, mitos-mitos yang berkembang di kalangan masyarakat
pun dapat dipelajari karena setiap mitos menyampaikan pesan tertentu yang
akhirnya dapat mengungkapkan nalar mereka (Lévi-Strauss 1980).
MODAL SPIRITUAL DALAM MASYARAKAT KOMUNAL
Bagi jiwa-jiwa yang kontemplatif, kehidupan mereka digerakkan oleh
spiritualitas mereka. 12 Dengan demikian, pembangunan dalam masyarakat
semacam ini tak dapat melepaskan diri dari mempelajari modal spiritual.
Memerhatikan modal spiritual merupakan hal yang penting dalam setiap usaha
pembangunan bagi masyarakat komunal yang spiritualistis. Suatu kelompok
masyarakat yang spiritualistis akan memandang yang transenden dalam
keseharian hidupnya, karena pada hakekatnya manusia senantiasa mencari
Allah (Huijbers 1982:10-11). Inilah yang menjadi ciri sekaligus makna dari
masyarakat spiritualistis, yaitu mereka yang menyadari kehadiran realitas
supernatural dalam realitas sosialnya sehari-hari, yang terutama terungkap
dalam upacara kebaktiannya (Janggur 2008:6). Realitas tertinggi itu dilihatnya
dalam alam semesta, dalam diri sesamanya, dan dalam berbagai peristiwa di
hari-hari hidupnya. Perlahan namun pasti, jiwa-jiwa kontemplatif yang
spiritualistis tersebut membiarkan diri tenggelam dalam sesuatu yang
melampaui pengertian mereka, yang mengatur alam semesta dan hidup manusia
(Indrakusuma 1993). Pada saat itulah mereka menyadari, bahwa setiap insan
bukanlah manusia yang lahir untuk menjadi sendirian. Ada udara yang
dibutuhkan untuk bernafas, ada alam semesta yang dibutuhkan untuk bernaung,
ada manusia lain yang dibutuhkannya untuk berelasi dan bersosialisasi. Yang
transenden itu bukan lagi sesuatu yang mereka pelajari melainkan sesuatu yang
sungguh-sungguh mereka alami, Ia hadir dalam eksistensi manusia (Huijbers
1982: 248). Kesadaran ini menghantar jiwa nan kontemplatif dalam muara
pengertian adanya benang merah yang mempersatukan ia dengan orang lain dan
alam semesta. Ia hanyalah titik kecil yang menjadi bagian dari segenap alam
semesta. Demikianlah titik-titik kecil itu saling memandang satu sama lain,
dengan kesadaran penuh bahwa setiap titik hadir bagi titik lainnya. “Aku
menjadi aku karena kamu,” menjadi sebuah kesadaran yang dihidupi oleh
mereka (Snijders 2004:27). Kelompok masyarakat yang merupakan kumpulan
titik kontemplatif itu pun akhirnya lahir sebagai sebuah masyarakat komunal,
12
Masyarakat tradisional yang selalu mengundang kehadiran arwah para leluhur dalam setiap upacara
mereka, merupakan salah satu ciri masyarakat kontemplatif pula yang selalu menyadari kehadiran realitas
supernatural dalam keseharian mereka.
29
masyarakat yang terikat oleh suatu komitmen antara satu dengan lainnya; suatu
komitmen yang terjadi karena kedekatan mereka dengan yang transenden.
Pencarian manusia akan Wajah Allah tidak lain sebetulnya karena Dia
yang lebih dahulu telah memanggil manusia kepada Diri-Nya. Allah yang
hakekat-Nya adalah sebuah kekudusan yang absolut (Bilaniuk, 1982:46)
memanggil manusia kepada kekudusan untuk bersatu dengan-Nya.
“Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah
memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku.”
(Im. 20:26)
“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna." (Mat. 5:48)
Oleh karena itu, tak mengherankan bahwa sepanjang sejarah manusia mencari
Wajah yang transenden dan dengan pertolongan-Nya semakin hari semakin
masuk dalam kekudusan. Dengan demikian, sejarah penghayatan spiritual umat
manusia pun mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Seorang filsuf
Karl Jaspers menyebutkan bahwa titik penting perkembangan spiritualitas di
dunia terjadi di Zaman Aksial, sekitar tahun 900 – 200 SM (Armstrong
2007:447). Tradisi spiritual besar di dunia lahir di empat titik yang berbeda,
yaitu Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Buddhisme di India,
Monoteisme di Israel, dan Rasionalisme Filosofis di Yunani. Sebelum Zaman
Aksial, ritual dan pengurbanan hewan merupakan inti agama. Akan tetapi, para
bijak Zaman Aksial mengubah hal ini. Walau masih menjunjung tinggi ritual
tetapi mereka memberikan pemaknaan etis yang baru dan meletakkan moralitas
sebagai dasar kehidupan spiritual. Dengan demikian, dapatlah dimengerti
bahwa penghayatan spiritual sebuah kelompok masyarakat akan
mengejawantah di dalam perilaku sosial mereka.
Masyarakat komunal yang terbentuk akibat hubungan mereka dengan
realitas yang tertinggi merupakan masyarakat yang spiritualistis. Spiritualitas
merekalah yang telah menganyam jalinan hubungan dari hati ke hati, sehingga
setiap orang akan melihat sesamanya sebagai “orang sendiri.” Di sinilah
spiritualitas memainkan peranannya dalam masyarakat komunal menurut
Bourdieu, yaitu mengabadikan relasi yang terjadi di antara sebuah kelompok
sosial masyarakat (Verter 2003). Vel (2010) juga mengamati adanya “jarak
sosial” di kalangan masyarakat Sumba yang dipengaruhi oleh aturan adat
mereka. Ada kelompok kita-kita yang meliputi kerabat-kerabat terdekat dan
tetangga-tetangga terdekat, ada kategori bukan orang lain, yang memiliki
hubungan tertentu dalam sebuah tatanan yang jelas, dan yang lainnya adalah
30
kategori orang lain yang mencakup ‘orang luar’ bahkan mungkin juga kategori
lawan. Aturan adat yang mengatur pengelompokan kategori-kategori ini
ternyata memengaruhi jalannya transaksi ekonomi yang terjadi di sana.
Kekomunalan yang berkaitan dengan penghayatan spiritual juga ditunjukkan
oleh sebuah cabang olahraga yang cukup populer di Jepang, yaitu Sheishin,
semacam olahraga dayung yang melibatkan sebuah kelompok dan
membutuhkan kesehatian antar anggotanya. Spiritualitas Jepang mengajarkan
bahwa pikiran dan tubuh adalah satu, yang dipersatukan oleh spirit atau roh.
Oleh karena itu, McDonald & Hallinan (2005) memandang hal ini sebagai
modal spiritual karena cabang olahraga yang melibatkan kelompok ini dapat
menjadi modal budaya bahkan modal ekonomi.
Beberapa kelompok masyarakat menjadi komunal karena kedekatan
mereka dengan arwah para leluhur. Ajaran leluhur mewariskan sebuah struktur
sosial yang mengikat keturunannya dalam sebuah kekerabatan. Penghayatan
spiritual masyarakat yang menghormati leluhur inilah yang membuat mereka
menjaga baik-baik setiap wasiat leluhur. Dengan demikian, kekerabatan mereka
lahir dari penghayatan spiritual mereka. Sebuah penelitian atas sebuah suku
Indian di Lakota menunjukkan hal ini. Bagi Suku Indian di Lakota, batas antara
“saya” dan “bukan saya” sangat mudah ditembus dan fleksibel (Voss 1999).
Ungkapan “saya” ini dapat menyeberang ke pribadi yang lain sehingga akhirnya
kata “saya” dapat mewakili orang lain pula. Hal ini terjadi karena setiap orang
memandang sesamanya sebagai warisan dari roh leluhur dan roh-roh segala
ciptaan. Oleh karena itu, setiap orang memiliki keterkaitan yang erat antara satu
sama lain dalam sebuah kekerabatan, baik secara biologis, spiritual, maupun
secara fisik dalam kehidupan sehari-hari yang komunal.
Masyarakat komunal hidup dalam sebuah komunitas sosial. Komunitas
yang di dalamnya terjadi interelasi 13 antar anggotanya itu menjadi wadah bagi
setiap orang di dalamnya untuk menjalani keseharian mereka. Bagi masyarakat
komunal, komunitas menjadi tempat penghayatan kehidupan sehari-hari
masyarakat, karena komunitas menjadi pusat religi, literatur, drama, dan seni
yang jejaknya terekam dalam hukum, etika, kekerabatan, dan bahkan ekonomi
mereka (Turner 2005). Di dalam komunitas tersebut terdapat sebuah local
genius, yaitu sejumlah karakteristik kultural yang dimiliki oleh sebagian besar
masyarakat sebagai hasil pengalaman kehidupan di masa-masa lampaunya
(Wales dalam Poespowardojo 1989). Adapun penanaman nilai-nilai spiritual
13
Interelasi ini mengandung pengertian saling bergantung dan saling memengaruhi satu
sama lain (Encarta Dictionaries, 2009).
31
yang dibicarakan dalam tulisan ini dilakukan dan terjadi dalam kelembagaan
masyarakat komunal tradisional. Mereka menerima warisan nilai-nilai leluhur
secara turun temurun sekaligus terbuka pula terhadap ajaran iman kristiani.
Nilai-nilai ini sesungguhnya merupakan ungkapan aktivitas jiwa. Dijelaskan
oleh Aristoteles ketika jiwa berkontemplasi maka ia mendapatkan kebajikankebajikan yang terbaik (Charles et al. 1999). Nilai-nilai kebajikan inilah yang
kemudian mendorong tindakan seseorang, yang jika dikaitkan dengan
pembangunan menjadi sebuah modal spiritual.
MODAL SPIRITUAL DI BALIK KEKERABATAN
Berdasarkan penjelasan mengenai peranan modal spiritual dalam
pembangunan di atas, tampaklah bahwa pada umumnya modal spiritual
memiliki keterkaitan erat dengan kekerabatan masyarakat komunal. Cukup
banyak tulisan mengenai kekerabatan, namun jarang yang menghubungkannya
dengan modal spiritual (Davidoff 2005, Holtzman 2005, Johnson 2009,
Samuels 2010). Padahal, kekerabatan inilah yang kemudian membawa dampak
langsung dalam pembangunan. Di balik kekerabatan yang dapat dilihat
tersimpan sebuah modal spiritual yang tak terlihat. Bagi masyarakat yang
memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, antara pembangunan dan kekerabatan
memiliki hubungan timbal balik. Bahkan, di beberapa tempat kekerabatan
menjadi unsur terpenting yang harus diperhitungkan jika ingin menerapkan
politik yang sesuai dengan masyarakat lokal. Pemerintahan Somalia dianggap
gagal karena tidak memerhatikan sistem kekerabatan masyarakat secara
keseluruhan (Mohamed 2007), sementara campur tangan demokrasi asing justru
membuat dunia Arab yang dibentuk oleh kekerabatan menjadi semakin tidak
stabil (Maziak dalam Anonymous 2009). Dengan demikian, mempelajari
dengan seksama nilai-nilai spiritual yang mewarnai kekerabatan, dapat
memberikan tuntunan bagi pembangunan di kalangan masyarakat komunal
yang hidup dalam kekerabatan.
Kekerabatan
dapat
memengaruhi
pembangunan,
sebaliknya,
pembangunan juga dapat memengaruhi kekerabatan. Salah satu contoh
penelitian di Ethiopia bagian selatan menunjukkan hal ini secara jelas (Ellison
2009). Ketika pemerintah meletakkan kebijakan ekonominya di garis
neoliberalisme, secara halus kebudayaan masyarakat pun bergerak melakukan
penyesuaian. Di sana ada sebuah ikatan kekerabatan yang disebut dengan
Etenta. Kekerabatan ini dibentuk oleh ikatan klan patrilineal yang memiliki hak
32
atas sebidang tanah yang cukup luas. Selain itu, ada pula ikatan kekerabatan
lain yang disebut Xauta, terdiri dari para pedagang, penempa, penenun, dan
pembuat keramik. Xauta tak memiliki hak atas tanah apa pun, dan karenanya
digolongkan sebagai kelompok yang lebih rendah status sosialnya dibandingkan
Etenta. Bahkan, mereka yang tergolong dalam kelompok Etenta dilarang untuk
berinteraksi akrab dengan mereka yang menjadi anggota kekerabatan Xauta.
Namun, ketika panen tak memberikan hasil yang baik, dan terutama ketika
pemerintah mulai menaruh perhatian besar terhadap para pedagang dan
pengrajin demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, beberapa pria Etenta
mulai meninggalkan ladangnya dan bergabung dengan kelompok Xauta. Maka,
muncullah sebuah kekerabatan baru, yang bukan terjadi karena hubungan darah,
melainkan lebih karena kehidupan yang dijalankan bersama.
Hubungan antara kekerabatan dan pembangunan ditunjukkan pula oleh
perjalanan panjang masyarakat Mongolia (Jamieson 2006). Ketika para
pahlawan Mongol masih sering berkuda membelah padang-padang rumput yang
luas, mereka menaklukkan banyak bangsa bahkan berinvasi sampai ke
Nusantara. Saat itu mereka hidup dalam kekerabatan yang kuat, yang terjalin
dalam ikatan sosial di antara mereka. Namun, saat era industri mulai merambah
dunia, Mongol menjadi daerah kecil yang terjepit dua negara raksasa, Rusia dan
China. Pada saat itulah Mongol menjadi negara yang miskin, nyaris terisolasi,
dan mau tak mau menerima kebijakan komunisme yang disodorkan oleh dua
negara raksasa tetangganya. Namun, ternyata komunisme dapat berjalan dengan
baik di Mongol karena kekerabatan tradisional Mongol telah lama
memraktikkan sosialisme. Kebiasaan yang dijalankan oleh sosialisme
berdasarkan kekerabatan tradisional Mongol adalah menyerahkan hartanya
sesuai dengan ketentuan yang diatur menurut tingkatan sosialnya dalam
kekerabatan. Namun, ketika Uni Soviet mengalami kejatuhan, komunisme di
Mongolia pun perlahan melenyap. Saat itu masyarakat Mongol ditawarkan
berbagai produk modernisasi, yang justru membuat mereka tak bisa kembali ke
kekerabatan mereka yang semula. Pembangunan negara mengajak masyarakat
menuju era industri, yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan kepada
Bank Dunia, International Monetary Fund, dan Asian Development Bank untuk
menolong masyarakat menghadapi perubahan politik dan ekonomi yang kini
berlaku di negeri mereka. Dengan demikian, tampaklah bahwa antara
pembangunan dan kekerabatan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Bagaimana kekerabatan bisa diwarnai oleh sebuah penghayatan spiritual?
Berdasarkan penelitiannya atas Suku Semit, Smith menyampaikan bahwa ritual
33
tidak lain merupakan pernyataan berulang-ulang dari sebuah kesatuan yang
berfungsi mengonsolidasikan komunitas (Hamilton 2001). Upacara-upacara
adat bertujuan untuk menguduskan kelompok sekaligus mempromosikan
kekomunalan dan solidaritas dalam komunitas tersebut. Dengan demikian,
muncullah sebuah kekerabatan, perasaan sebagai satu keluarga yang didorong
oleh penghayatan spiritual komunitas. Salah satu yang ditekankan oleh Smith
adalah bahwa spiritualitas ini merupakan urusan kelompok masyarakat, dan
karenanya sekaligus pula merupakan entitas politik. Dalam karya terkenalnya
Suicide, Durkheim menemukan bahwa umat Katolik memiliki angka statistik
bunuh diri yang rendah (Osborne 2005). Ia percaya ini karena kekomunalan dan
anti individualisme dari Katolisisme. Dengan demikian, penghayatan spiritual
dapat melahirkan sebuah solidaritas yang akhirnya membentuk kekerabatan.
Sebuah penelitian Durkheim atas Suku Aborigin meneguhkan hal ini
(Hamilton 2001). Suku tersebut percaya mereka merupakan keturunan dari
totem yang sakral, dan karenanya mereka pun sakral. Mereka tidak akan pernah
menyebut dirinya bagian dari klan kakaktua putih atau kakaktua hitam tetapi
mereka sendirilah kakaktua putih atau kakaktua hitam tersebut.
Konsekuensinya, mereka pun sakral sebagaimana totem-totem tersebut.
Kesimpulan yang diambil Durkheim saat itu adalah bahwa yang disembah dan
yang menyembah tidak lain satu, dengan kata lain, dewa dan masyarakat
bukanlah dua hal yang berbeda tetapi satu. Sifat dari dewa adalah superior
terhadap umat yang bergantung kepadanya dan umat menjadi sasaran perintah
dan kehendaknya. Hal ini sama dengan masyarakat yang membangkitkan
perasaan ketergantungan individu terhadap masyarakat. Setiap anggota
masyarakat tergantung terhadap lingkungan masyarakat yang menaunginya.
Oleh karena itu, kekerabatan tidak sekedar mempersatukan anggota-anggota
komunitas namun sekaligus mengatur perilaku sosial dan interaksi sosial di
kalangan masyarakat komunal tersebut.
Semua penjelasan di atas menunjukkan bagaimana penghayatan spiritual
dapat mewarnai kekerabatan. Hal yang paling menonjol di kalangan masyarakat
komunal umumnya adalah kekerabatan mereka. Namun, jika ditinjau lebih jauh,
kekerabatan tersebut sangat diwarnai oleh nilai-nilai yang mereka hayati, yang
sudah melembaga dalam masyarakat tersebut.
34
PENGHAYATAN SPIRITUAL
DI BALIK MODAL SOSIAL DAN CIVIL SOCIETY
Pertanyaan sangat klise yang sering didengung-dengungkan orang adalah
mengapa ada negara-negara yang kaya sumberdaya alamnya namun
penduduknya miskin, sementara negara-negara lain yang tidak kaya akan
sumberdaya alam penduduknya hidup sangat makmur. Seringkali jawaban yang
muncul adalah karena faktor manusia. Maka, pertanyaan lain yang muncul
adalah mengapa banyak negara yang masyarakatnya komunal tidak semakmur
negara-negara yang masyarakatnya individual? (Keefer and Knack, 2003)
Padahal, masyarakat yang komunal itu memiliki unsur-unsur yang dibutuhkan
untuk terbentuknya sebuah modal sosial, yaitu trust, norma, dan jaringan
(Kumar and Matsusaka, 2004), dan modal sosial merupakan sarana untuk dapat
mencapai tujuan bersama (Putnam 1995).
Pertanyaan ini mengundang semacam kecurigaan bahwa jaringan modal
sosial yang terbentuk di antara berbagai tipe masyarakat tidaklah sama. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Knack and Keefer (1997) menyatakan bahwa
nilai trust di negara-negara berkembang cukup rendah. Padahal, kalau kita
menerjunkan diri ke lapangan, akan ditemui kenyataan yang berbeda.
Masyarakat yang tinggal di pedesaan negara-negara berkembang banyak yang
masih hidup secara komunal dan tradisional. Segala transaksi dan interaksi
antar mereka dijalankan menurut adat. Dengan taat mereka menjalankan segala
aturan adat, selain didorong kesetiaan kepada tradisi juga karena tak ingin
menghadapi sanksi sosial. Oleh karena itu, trust di antara mereka tinggi karena
kebanyakan mereka percaya semua orang akan mengikuti aturan adat. Belum
lagi cara hidup mereka yang tinggal dalam kekerabatannya masing-masing serta
interaksi yang terus menerus, dengan sendirinya membuat trust yang ada di
antara mereka cukup tinggi.
Kumar and Matsusaka (2004) menengarai kesimpulan Knack and Keefer
yang menyatakan trust masyarakat di negara berkembang rendah karena
pertanyaan mereka yang salah. Pertanyaan yang diajukan Knack and Keefer
kepada responden adalah, “Menurutmu apakah kebanyakan orang dapat
dipercaya? Atau, apakah kamu dapat tidak usah terlalu berhati-hati mengadakan
persepakatan dengan orang lain?” Kedua pertanyaan ini berkaitan dengan
urusan bisnis. Padahal, Kumar dan Matsusaka berpendapat di negara
berkembang yang masyarakatnya komunal seharusnya yang ditanyakan adalah
seberapa besar trust antar anggota kerabat atau apakah mereka sering
35
berinteraksi satu dengan lainnya sebab cukup banyak transaksi di antara mereka
yang tidak berkaitan dengan bisnis. Oleh karena itu, Kumar dan Matsusaka
berpendapat bahwa modal sosial ada dua macam, yaitu village capital dan
market capital.
Village Capital sangat bergantung kepada relasi personal yang tinggal
bersama di suatu daerah. Interaksi di antara mereka terjadi berulang-ulang
sehingga menjamin terjadinya kontrak di antara mereka. Kumar and Matsusaka
percaya bahwa Village Capital ini efisien untuk ekonomi lokal. Sedangkan
Market Capital, dikatakan bergantung kepada pihak ketiga seperti auditor,
pengadilan, dan institusi formal lainnya. Market Capital ini dibutuhkan demi
berjalan efektifnya institusi pasar dan memungkinkan terjadinya perdagangan
antar mereka yang tidak saling mengenal. Selain itu, ciri dari Market Capital ini
menurut Kumar and Matsusaka adalah spesialisasi yang lebih menonjol
dibandingkan Village Capital.
Hampir mirip dengan yang dijelaskan Kumar and Matsusaka (2004),
Fukuyama (2000) juga menjelaskan akan adanya dua macam jaringan, yaitu
jaringan formal dan jaringan informal. Akan tetapi, Fukuyama menyampaikan
bahwa modal sosial akan lahir dari jaringan yang dihidupkan oleh norma-norma
informal. Ciri inilah yang membedakan jaringan yang dimaksud Fukuyama
berpotensi modal sosial dengan jaringan pasar dan hirarki. Sampai di sini,
tampak adanya konfrontasi antara pendapat Fukuyama dengan Kumar and
Matsusaka. Fukuyama lebih memercayai jaringan informal untuk
mengembangkan modal sosial, yang jika dibandingan dengan konsep Kumar
and Matsusaka termasuk kategori village capital. Sebaliknya, Kumar and
Matsusaka lebih mengandalkan market capital yang dapat memungkinkan pula
terjadinya transaksi antara orang yang tidak saling mengenal.
Dalam kalangan masyarakat komunal, ekonomi lokal terbangun terutama
atas dasar kekerabatan. Transaksi di sana terjadi antar orang yang sudah saling
mengenal. Interaksi ini terjadi berulang-ulang dan melibatkan status mereka
dalam relasi kekerabatan. Di sinilah penghayatan spiritual masyarakat
memainkan peranannya dalam menentukan bentuk modal sosial karena jaringan
yang terbentuk terjalin berdasarkan norma-norma informal. Dengan demikian,
modal sosial mereka merupakan village capital yang terbentuk oleh jaringan
informal (Kumar and Matsusaka 2004, Fukuyama 2001). Kekerabatan di antara
mereka menjadi sebuah kekuatan internal sehingga modal sosial mereka
cenderung bersifat bonding yang kuat. Bonding yang dimaksudkan di sini
adalah ikatan dalam sebuah kelompok eksklusif yang membedakannya dari
36
kelompok-kelompok lain karena adanya nilai-nilai yang dihidupi bersama,
sementara di kelompok lain tidak ada (Woolcock 1998, De Filippis 2001, Lin
2002, Bruegel dan Warren 2003). Walaupun demikian, bukan tidak mungkin
pula bonding tersebut bermetamorfosa menjadi bridging, apabila ada
keterbukaan masyarakat untuk menjalin relasi dan transaksi dengan dunia di
luar kekerabatan mereka. Pada saat itu, mereka dapat menjadi komunitas village
capital yang kuat dalam hal bonding namun sekaligus pula menciptakan
bridging di saat yang sama ketika bertransaksi dengan orang luar. Yang jelas,
jaringan yang terbentuk selalu informal. Adapun bridging yang dimaksud dalam
hal ini adalah terbangunnya trust antara dua komunitas yang mereduksi
ketidaksamaan yang ada sehingga terfasilitasi sebuah mobilitas sosial di antara
keduanya (Woolcock 1998, Bruegel dan Warren 2003). Itulah sebabnya walau
mereka berhasil melakukan bridging namun gagal bertransisi ke market capital
yang jelas-jelas membutuhkan jaringan formal. Kegagalan ini berarti tidak
terjadi linkage social, yaitu jalinan dengan institusi yang memiliki otoritas
(Woolcock 1998, Bruegel dan Warren 2003).
Modal sosial yang diwarnai oleh penghayatan spiritual ini memampukan
anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama mereka (Putnam, 1995),
bukan hanya di bidang ekonomi melainkan juga politik. Putnam (1995)
mengatakan bahwa modal sosial berkaitan langsung dengan partisipasi politik
karena partisipasi politik berelasi dengan institusi-institusi politik. Sebaliknya,
Newton (2001) tak sependapat dengan hal tersebut. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa hubungan antar individu di dalam asosiasi dan organisasi
hanya sedikit sekali yang dilandasi oleh trust. Argumentasinya adalah pada
umumnya orang-orang yang terlibat dalam asosiasi dan organisasi adalah
orang-orang yang berkelas tinggi dalam status sosial. Mereka adalah orangorang yang mempunyai rasa percaya diri cukup besar dan bisa dengan mudah
memercayai orang lain. Oleh karena itu, trust sudah ada lebih dahulu sebelum
mereka menggabungkan diri ke dalam asosiasi, bukan sebaliknya. Lebih lanjut,
Newton menunjukkan bahwa mereka yang memiliki trust besar kepada
sesamanya belum tentu memiliki trust yang besar pula kepada pemerintah.
Beberapa contoh yang dicatat oleh Newton adalah Finlandia yang memiliki
trust tinggi antar masyarakatnya, namun sulit untuk menaruh kepercayaan
kepada pemerintah pada masa runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tetangga dan
partner dagang krusial mereka. Demikian pula Jepang dikenal memiliki level
yang tinggi dalam hal modal sosial (Pharr 2000 dalam Newton 2001), namun
level kepuasan politik di Jepang umumnya rendah (Newton 2001). Sebaliknya,
di Jerman trust sosial meningkat dari tahun 1948 hingga 1993 (Cusack 1997
37
dalam Newton 2001). Hal ini terjadi karena sekitar tahun 1948 negara berada
dalam Era Nazi yang penuh ketakutan dan paranoia. Namun, seiring
berjalannya waktu, Jerman menjadi negara yang damai, demokratis, dan
makmur. Semua kenyataan ini membuat Newton (2001) menyimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang kuat antara modal sosial dengan stabilitas demokrasi
serta civil society. Berdasarkan kasus-kasus di atas, disimpulkan ada dua
macam trust, yaitu Trust Sosial dan Trust Politik yang masing-masing
independen satu sama lain.
Sebaliknya, Fukuyama (2001) menyampaikan bahwa civil society dan
demokrasi mempunyai hubungan yang kuat dengan modal sosial. Dikatakannya
bahwa kehidupan berasosiasi masyarakat diperlukan untuk membangun suatu
demokrasi yang modern. Suatu masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi
akan membangkitkan pula suatu fungsi politik yang baik. Dengan perkataan
lain, stok yang melimpah dari modal sosial akan menghasilkan civil society
yang kuat, yang dibutuhkan oleh demokrasi yang liberal. Civil society inilah
yang mengimbangi kekuasaan pemerintah dan melindungi individu-individu
dari kekuasaan negara. Oleh karena itu, modal sosial yang rendah dalam suatu
negara berkaitan erat dengan pemerintahan lokal yang tidak efisien.
Pendapat senada Fukuyama yang mendukung adanya keterkaitan erat
antara modal sosial dan demokrasi cukup banyak, antara lain Renshon (2000)
yang memandang modal sosial tidak meletakkan fondasi demokrasi kepada
trust penduduknya tetapi kepada relasi yang terjadi satu sama lain. Inilah yang
membedakannya dengan penelitian yang meletakkan fondasi demokrasi pada
trust (Newton 2001, Kumar and Matsusaka 2004), sehingga tidak terjadi
hubungan yang kuat antara modal sosial dengan demokrasi serta civil society.
Lebih dari itu, pola interaksi sosial yang membentuk modal sosial terdiri dari
relasi-relasi antara human capital dan partisipasi politik serta keterlibatan
organisasi dalam aktivitas politik (La Due Lake and Huckfeldt 1998). Dengan
demikian, modal sosial memberikan kontribusi yang besar dalam bidang politik
dengan mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses
demokrasi. Sehubungan dengan modal sosial dan civil society, Pye (1999)
mempunyai tiga konsep. Pertama, ia berpendapat bahwa kehidupan bermasyarakat
melibatkan sebagian besar norma-norma umum dari interaksi personal. Kedua,
modal sosial menentukan peraihan tujuan bersama bangsa dan komunitas. Ketiga,
civil society menjadi dasar yang utama bagi kepentingan pluralistik demokrasi.
Pye percaya bahwa modal sosial semakin meningkat karena kondisi sehat dari
civil society, yang pada gilirannya akan memberikan dinamika kepada politik
38
demokrasi. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya ada atau
tidaknya keterkaitan antara modal sosial dan demokrasi tergantung dari modal
sosialnya. Ada yang mengatakan tergantung kepada trust (Newton 2001, Kumar
and Matsusaka, 2004) ada juga yang mengatakan tergantung kepada relasi yang
terjadi (La Due Lake and Huckfeldt 1998, Pye 1999, Renshon 2000, Fukuyama
2001). Dalam masyarakat yang komunal dan spiritual, trust maupun relasi yang
terjadi sangat tergantung kepada penghayatan spiritual yang tertuang dalam
kelembagaan adat mereka. Oleh karena itu, bagi kelompok masyarakat yang
kehidupan spiritualnya masih sangat kuat, wajarlah jika atmosfer politik mereka
dipengaruhi oleh penghayatan spiritual mereka.
Sebagai anggota masyarakat dari sebuah negara demokrasi, pemahaman
mengenai civil society ini cukup penting. Sebuah otoritas membutuhkan sebuah
kekuatan lain yang otonom terhadap hegemoninya agar keseimbangan
pemerintahannya terjaga. Tanpa penyeimbang, pemerintahan dapat berjalan
kurang sehat karena otorita dapat berkembang tanpa batas dan bersifat
diktatoris. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Chandoke (1991), ”Tidak ada
teori negara tanpa civil society dan sama pula halnya civil society tidak dapat
diteorikan tanpa mereferensi kepada negara.”
Untuk keperluan seperti inilah civil society dilahirkan sehingga performa
demokrasi suatu negara dapat dipertahankan dengan lebih efektif (Putnam et al.
1995 dalam Pye 1999). Dengan demikian, civil society dapat dimengerti
sebagai sebuah kelompok otonom yang dapat memberikan tekanan kepada
pemerintah. Sifat otonom civil society ini mengandung pengertian sukarela,
swadaya, bebas, dan mandiri, sebagai sebuah upaya mencapai demokrasi
(Diamond 1992). Apabila sebuah civil society masih dibayang-bayangi
dominasi negara, maka ia tidak fungsional lagi. Berakhirnya masa keemasan
feodal telah menumbuhkan berbagai institusi yang dapat menjadi basis kuat
pembentukan civil society di zaman republik (Pye 1999). Masa demokrasi ini
memberikan peluang kepada masyarakat untuk berbicara dan didengarkan.
Dikatakan oleh Hegel bahwa civil society adalah suatu ruang yang berada di
antara keluarga dan negara (Stillman 1980). Dengan perkataan lain, civil society
juga tidak berkaitan dengan upaya pencapaian kekuasaan negara (Buttigieg
1995). Civil society menjadi sebuah arena tempat masyarakat memasuki
hubungannya dengan negara, namun berdiri secara mandiri dalam barisan
oposisi (Candhoke 1991). Itulah sebabnya civil society lebih merupakan
dinamika interaksi politik dari para aktornya daripada sebuah institusi (Thomas
2001). Dengan demikian, civil society memiliki beberapa ciri tertentu, antara
39
lain, adanya kemampuan dan keberanian untuk melakukan kritik terhadap negara
(critical discourse), adanya rasionalitas di dalam meminta pertanggung jawaban
negara (rationality), adanya partisipasi politik publik (political participation),
adanya kebebasan yang bertanggungjawab (freedom and accountable), adanya
keterbukaan (transparancy), adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia
(human right and non violence), dan adanya sifat yang inklusivitas (inclusivity)
(Schulte Nordholt 1999, Suwondo 2004, Suwondo 2005 dalam Suwondo 2009).
Dalam suatu masyarakat komunal yang spiritualistis, penghayatan
spiritual menjadi pengikat unik antar individu yang membentuk sistem maupun
struktur sosial masyarakat. Kekomunalan masyarakat ini dapat dilihat dari
karakteristik struktur sosialnya yang unik, definisi yang diberikan mengenai
para anggotanya, dan frekuensi serta jenisnya yang tipikal dari relasi sosial
mereka (Starr 1954). Setiap level kekomunalan masyarakat yang membentuk
struktur sosial ditandai dengan adanya sebuah pusat yang dikelilingi oleh
elemen lainnya sebagai satelit. Misalnya, di banyak kelompok masyarakat
komunal, rumah adat menjadi pusat kehidupan masyarakat yang tinggal di
sekitar tempat itu. Adapun, definisi yang diberikan mengenai anggota biasanya
tergantung kepada kesadaran anggota tersebut mengenai siapa atau bagaimana
dirinya. Misalnya, masyarakat mendefinisikan dirinya kristiani, atau Orang
Manggarai, tergantung apa yang menjadi pusat kehidupan mereka, Gereja atau
rumah adat. Adapun relasi sosial di antara mereka akan semakin frekuentatif
dalam komunitas yang semakin kecil dan komunal. Dapatlah dimengerti bahwa
dalam konteks ini, keberadaan civil society akan dipengaruhi oleh penghayatan
spiritual masyarakat tersebut.
Kehadiran civil society tak dapat dilepaskan dari konsep demokrasi
karena civil society tidak lain merupakan salah satu ungkapan demokrasi.
Seringkali demokrasi digambarkan sebagai kekuasaan di tangan rakyat.
Persoalannya adalah rakyat yang dimaksud adalah kelompok warga yang mana?
Dahl (1988:35) mengusulkan sebuah Prinsip Kepentingan Yang Terlibat, yaitu
rakyat yang dimaksud adalah setiap orang yang dipengaruhi oleh keputusan
suatu pemerintahan seharusnya mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan tersebut. Dalam hal ini civil society menjadi sekelompok warga
yang dipengaruhi oleh keputusan pemerintahan dan berpartisipasi dalam
pemerintahan walau bukan di barisan eksekusi melainkan oposisi. Lebih lanjut,
Dahl (1988:37-42) mengatakan ada berbagai macam bentuk demokrasi,
misalnya demokrasi dasar, perwakilan, referendum, komisi, dan delegasi.
Terakhir, berkembang pula prinsip devolusi yang menyerahkan kekuasaan
40
sepenuhnya kepada wilayah subordinasinya (Williams and Mooney 2008,
Edward 2009, Encarta dictionaries). Segala bentuk demokrasi yang ada ini tidak
memiliki keterkaitan dengan penghayatan spiritual masyarakat. Apabila ada
sekelompok masyarakat yang perilaku sosialnya dipengaruhi oleh penghayatan
spiritualnya, mungkinkah akan muncul sebuah bentuk demokrasi yang baru?
Pada akhirnya tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Di Indonesia pada masa belakangan ini tampak adanya bentuk civil
society yang sangat dipengaruhi oleh pertentangan dan konflik sehubungan
ikatan primordial dan sentimen keagamaan (Suwondo 2009). Dari sini dapat
dilihat bahwa sesungguhnya ada keterkaitan antara penghayatan spiritual dan
civil society. Hal ini terjadi karena bagaimanapun modal sosial yang
memengaruhi civil society tak mungkin dilepaskan dari budaya setempat
(Coleman 1999, Ife 2002). Budaya lokal inilah yang menjadi titik pusat
interaksi sosial yang dapat melibatkan masyarakat hingga lahirnya sebuah civil
society. Civil society disusun oleh asumsi-asumsi kultural mengenai keadaan
natural manusia, individu, masyarakat, dan sejarah (Thomas 2001). Dengan
demikian, tradisi budaya dan identitas kolektif yang menjadi penghayatan
spiritual suatu masyarakat menjadi dasar dari modal sosial dan kepemimpinan
politik mereka. Itulah sebabnya, pembahasan mengenai pembangunan di aras
lokal tak dapat dilepaskan dari budaya lokal yang ada, termasuk di dalamnya
penghayatan spiritual yang ada.
Penghayatan spiritual dapat juga lahir dari institusi agama. Dengan
demikian, institusi agama memiliki keterkaitan pula dengan demokrasi.
Beberapa penelitian mengungkapkan bagaimana Gereja dapat memengaruhi
situasi demokrasi. Mereka berasumsi bahwa kehadiran Gereja akan
membimbing kepada aktivitas politik yang dapat membuahkan dampak
signifikan dalam pembangunan lokal (Bebbington 1993, Putnam 2000, Brown
and Brown 2003). Di institusi Gereja itulah seseorang mendapatkan kesempatan
untuk mengembangkan keahliannya di bidang-bidang tertentu dan memasuki
jaringan komunikasi yang dapat membangun aktivitas politik. Dikatakan oleh
Putnam (2000) bahwa komunitas-komunitas iman yang dengannya umat
menyembah Tuhan merupakan modal sosial terpenting di Amerika Serikat.
Dengan terlibatnya dalam jaringan sosial, tingkat kesadaran seseorang dalam
hal informasi dan peluang akan bertambah, termasuk informasi politik. Tentu
saja hal ini memberikan efek positif bagi kelompok sosial tersebut.
Demikianlah bahwa ternyata di tengah masyarakat yang spiritualistis, ada
41
keterkaitan yang erat antara penghayatan spiritual dengan modal sosial dan civil
society.
42
Download