5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 adalah suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan. Untuk wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 Km2 (Sunaryo, 2004) Sungai merupakan perpaduan antara alur sungai dan aliran sungai di dalamnya. Alur sungai adalah suatu alur yang panjang di permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan maupun mata air. Di samping itu sungai juga merupakan saluran drainase yang terbentuk secara alami (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985 dalam Suadnyana, 1992). Sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup. Sungai berubah dari waktu ke waktu, mengalami masa muda, dewasa, dan masa tua. Siklus kehidupan sungai dimulai ketika tanah baru muncul di atas permukaan laut. Hujan kemudian mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit-parit itu bertemu sesamanya dan membentuk sungai. Danau menampung air pada daerah yang cekung, tapi kemudian hilang sebagai sungai 5 6 dangkal, kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke dasarnya membentuk sisi yang curam, lembah bentuk V. Anak-anak sungai kemudian tumbuh dari sungai utamanya seperti cabang tumbuh dari pohon. Semakin tua sungai, lembahnya semakin dalam dan anak-anak sungainya semakin panjang (Morris, 2008). Menurut Robert E. Horton, (2008) mengklasifikasikan sungai berdasarkan tingkat kerumitan anak-anak sungainya. Saluran sungai tanpa anaknya disebut sebagai orde satu. Sungai yang mempunyai satu atau lebih anak sungai orde satu disebut saluran sungai orde dua. Sebuah sungai dikatakan orde tiga jika sungai itu mempunyai sekurang-kurangnya satu anak sungai orde dua, dan seterusnya (Wikipedia, 2008). Kerusakan daerah tangkapan hujan dalam daerah DAS terutama disebabkan oleh ketimpangan dalam pemanfaatan lahan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh perubahan (konversi) lahan yang tidak terkendali sehingga kawasan hutan yang semula dilindungi oleh vegetasi alami berubah menjadi kawasan terbuka. Sementara lahan pertanian dan kawasan perdesaan lainnya berubah dengan cepat menjadi kawasan industri dan perkotaan. Perubahan tata guna lahan tersebut mengubah karakteristik hidrogeografis kawasan dan secara langsung mengancam kelestarian tata guna airnya. Waktu hujan, air tidak tertahan secara memadai di permukaan tanah sehingga proses penyerapannya ke dalam tanah atau penguapan ke udara yang tidak memungkinkan (Sunaryo, 2004). Akibatnya, air hujan dilimpaskan begitu saja ke permukaan tanah. Semakin besar jumlah air yang dilimpaskan, semakin pendek pula waktu retensinya. Tak pelak, keadaan tersebut dapat menyebabkan banjir besar yang datang secara mendadak. 7 Sebaliknya berkurangnya vegetasi penutup lahan di musim kemarau akan menyebabkan penguapan yang sangat tinggi dari permukaan tanah sehingga timbul kerusakan pada lapisan tanah berupa rekahan dan retakan tanah. Bila rekahan itu tersisi air secara tiba-tiba pada musim hujan dapat terjadi gangguan keseimbangan sehingga menyebabkan kelongsoran lereng (land-sliding). Sementara itu, hilangnya vegetasi di permukaan tanah akibat konversi tata guna lahan akan meningkatkan penguapan air tanah sehingga dalam jangka panjang menurunkan aliran air permukaan yang berasal dari air tanah atau yang disebut base flow (Sunaryo, 2004). Menurut Pradana (2006) pada penelitian pengaruh tata guna lahan terhadap laju erosi di daerah tangkapan Waduk Cisanti, bahwa pola tata guna lahan pada sepanjang daerah tangkapan suatu waduk memiliki peran dalam penurunan kualitas tanah yang diakibatkan oleh erosi dan degradasi kualitas tanah dan degradasi kualitas badan air yang diakibatkan proses sedimentasi. Setelah dilakukan simulasi perubahan tataguna lahan, yakni jika tataguna lahan hutan pada tataguna lahan kebun campuran dan perkebunan, didapatkan peningkatan erosi. Erosi yang terjadi pada saat tataguna lahan berupa kebun campuran lebih rendah dibanding pada saat tataguna lahan perkebunan. Adanya rotasi tanaman pada perkebunan campuran dapat memperkecil jumlah erosi yang terjadi. Berdasarkan simulasi perubahan tataguna lahan daerah tangkapan, disimpulkan bahwa kondisi daerah tangkapan dapat mempengaruhi erosi di daerah tangkapan Waduk Cisanti. 8 2. 2. Pencemaran Air 2.2.1. Sumber Pencemar Kegoncangan dan keseimbangan lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan akal dan otak manusia dan adanya ledakan penduduk. Temuan teknologi, di satu sisi akan menguntungkan manusia karena lebih efisien dalam pemanfaatan waktu dan biaya operasional, tetapi di sisi lain menyebabkan pemanfaatan sumberdaya alam melampaui daya pulih alami sumberdaya alam sehingga menimbulkan ketidakstabilan kualitas lingkungan (Salim dalam Nurmayanti, 2002). Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya. Industrialisasi dan urbanisasi telah membawa dampak pada lingkungan. Pembuangan limbah industri dan domestik ke badan air merupakan penyebab utama polusi air. Pencemaran air didefinisikan sebagai pembuangan substansi dengan karakteristik dan jumlah yang menyebabkan estetika, bau, dan rasa menjadi terganggu dan atau menimbulkan potensi kontaminasi (Suripin, 2002). Zat pencemar (pollutant) dapat didefinisikan sebagai zat kimia (cair, padat maupun gas) baik yang berasal dari alam yang kehadirannya dipicu oleh manusia (tidak langsung) ataupun dari kegiatan manusia (anthropogenic origin) yang telah diidentifikasi mengakibatkan efek yang buruk bagi kehidupan manusia 9 atau lingkungannya. Semua itu dipicu oleh aktivitas manusia, sedangkan kontaminan, sama seperti zat pencemar, hanya saja efek negatif atau dampaknya secara nyata terhadap manusia dan lingkungan belum teridentifikasi secara jelas. Zat pencemar yang ditinjau di sini adalah zat pencemar yang berbentuk cair atau dapat larut dalam air, yang dapat dibagi menjadi kontaminan anorganik, kontaminan organik, material radioaktif, dan mikroorganisme (Notodarmojo, 2005). Air sungai dalam perjalanannya menuju laut nyatanya mengangkut dan membawa berbagai jenis material baik berupa sampah, limbah buangan berbagai aktivitas yang ada di sepanjang daerah aliran sungai (Thohir, 1985). Ryadi, (1984) sungai merupakan bagian lingkungan terestrial yang sering mengalami pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah domestik dan limbah industri. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa limbah industri mengandung berbagai jenis bahan organis maupun anorganis . Pada umumnya limbah hasil kegiatan industri secara langsung disalurkan ke sungai sehingga akan mempengaruhi kualitas ekosistem perairan sungai yang ada. Pencemaran air merupakan persoalan khas yang terjadi di sungai dan badan -badan air di Indonesia. Sumber pencemaran air terutama disebabkan oleh aktivitas manusia dan dipicu secara kuadratika oleh pertumbuhan penduduk. Pencemaan air ada sungai dan badan air lain yang berada di kawasan perkotaan, terutama disebabkan oleh sektor domestik, berupa limbah cair dari rumah tangga dan insdutri rumah tangga. Pemerintah telah menetapkan limbah industri tidak boleh dilepaskan ke perairan bila belum memenuhi suatu standar. Artinya, pihak 10 industri harus membangun dan mengoprasikan instalasi pengolah air limbah (IPAL) (Sunaryo, 2004). Kelemahan dalam penyediaan infrastuktur pengolah limbah untuk sektor domestik akan menyebabkan limbah rumah tangga (baik cair maupun padat) memasuki perairan secara langsung, dengan demikian keadaan tersebut dapat merusak kualitas air permukaan. Penurunan kualitas air permukaan secara keseluruhan berpengaruh pada kelayakan sistem perairan Indonesia. Beberapa waduk di Indonesia (Waduk Jatiluhur, Waduk Sutami, dan lainnya) tampak mengalami fenomena eutrofikasi. Peningkatan kadar nitrogen dan fospat menyebabkan eutrofikasi sehingga terjadi algae blooming. Algae blooming juga menyebabkan banyak ikan mati dan alga yang mati akan menimbulkan bau busuk. Hal itu sangat merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar waduk, baik karena menurunnya tangkapan ikan, timbulnya penyakit kulit, maupun berkurangnya wisatawan yang mengunjungi waduk. Kelebihan kadar nutrisi yakni nitrogen dan fospat juga diikuti tumbuhnya enceng gondok (Ecehermon erasitus) yang berlebihan (Sunaryo, 2004). Sumber domestik (rumah tangga) berasal dari perkampungan, kota, pasar, jalan terminal, rumah sakit dan sebagainya, sedangkan sumber non domestik berasal dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi dan sumber-sumber lainnya (Chiras, 1991). Untuk limbah pertanian, biasanya terdiri atas bahan padat bekas tanaman yang bersigat organik, bahan pemberantas hama dan penyakit (pestisida), bahan pupuk yang mengandung nitrogen, fosfor, sulfur, mineral (kalium, kalsium) dan sebagainya (Miller, 1992 11 dalam Sastrawijaya, 2000). Komposisi limbah domestik secara umum terdiri dari 80% merupakan bahan organik, sisanya adalah berupa bahan-bahan anorganik, sedangkan limbah industri komposisinya sangat bervariasi dan kebanyakan mengandung berbagai bahan anorganik yang sangat mempengaruhi kualitas perairan seperti logam-logam berat, fenol dan sebagainya (Winarno, 1984). Limbah domestik berkontribusi tinggi terhadap pencemaran pada air sungai, pada penelitian identifikasi sumber pencemar dan kualitas air sungai di Desa Canggu dan Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara ,Kabupaten Badung dilakukan pada 15 titik sampel. Hasil nilai Indeks Pencemaran (IP) dibandingkan mutu air kelas 2 tergolong tercemar sedang dan keempat belas titik sampel tergolong tercemar ringan. Aktivitas manusia yang merupakan sumber pencemar adalah pemukiman, restoran, laundry, bengkel motor, bengkel mobil, pencucian motor, pencucian mobil (Suprabawati,2007). Penelitian Studi Pengaruh Air Limbah Pemotongan Hewan dan Unggas Terhadap Kualitas Air Sungai Subak Pakel I Di Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung tahun 2008 pembuangan limbah secara sengaja atau tidak disengaja dari aktivitas pemotongan hewan dan unggas, telah mencemari air sungai bagian tengah dan hilir dengan kandungan BOD5 yang melampaui baku mutu air semua kelas (Widya, 2008). Studi Tingkat Pencemaran Air Pencucian Kacang Koro (Vigina Unguiculata L) di Saluran Irigasi Timuhun, Desa Nyanglan, Kabupaten Klungkung tahun 2008 hasil penelitian 12 parameter untuk air limbah yang diteliti menunjukkan bahwa kandungan bahan pencemar dari usaha/kegiatan kacang koro yang telah melewati batas maksimum baku mutu ditunjukkan oleh tingginya 12 kandungan parameter kualitas air yaitu BOD5, dan COD. Berdasarkan indeks pencemaran (IP) diperoleh bahwa kualitas air Irigasi Timuhun menunjukkan tingkat cemar ringan pada semua kriteria mutu air yaitu mutu air kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV (Ariasih, 2008). 2.2.2. Limbah Domestik Menurut Asis (1992) dalam Nurmayanti (2002), limbah domestik adalah semua bahan limbah yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian dan cuci peralatan rumah tangga. Keputusan Meneg Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003, pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Secara kualitatif limbah rumah tangga sebagian besar terdiri dari zat organik baik berupa padatan maupun cair, garam, lemak dan bakteri, khususnya bakteri golongan E.Coli, jasad patogen dan parasit (Asis dalam Nurmayanti, 2002). Menurut Daryanto (1995) limbah domestik dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu limbah cair, limbah padat dan limbah gas. a. Limbah cair. Limbah cair adalah limbah yang mempunyai sifat cair dimana komposisinya terdiri atas 99,9% air dan sisanya bahan padat (Mahida, 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa limbah domestik cair terdiri atas buangan kamar mandi, dapur, tempat cucian, unsur-unsur yang terdapat didalamnya merupakan unsur yang sangat kompleks. Menurut Martopo (1984) dalam Nurmayanti (2002) campuran rumit yang terdapat dalam kotoran ini terdiri dari zat-zat batuan mineral dan organik dalam bentuk partikel-partikel besar 13 dan kecil, benda padat sisa bahan-bahan larutan dalam keadaan terapung, bentuk koloid dan setengah koloid. Secara lengkap disebutkan oleh Dix (1981) bahwa limbah cair terdiri atas 99,9% bentuk cair yang meliputi bahan organik, anorganik, padatan tersuspensi, koloida, padatan terlarut dan mikroorganisme. Bahan organik meliputi kertas, tinja, urin, sabun, lemak, deterjen dan sisa makanan. Sedang bahan anorganik, seperti amonia dan garam-garam amonium yang antara lain merupakan derivat dari dekomposisi tinja, urin dan nitrat. Sisa dari bentuk cair tersebut adalah berupa bahan padat (0,1%) yang terdiri atas bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik tersusun dari protein (65%), karbohidrat (25%) dan lemak (10%). Kadang-kadang dapat berupa pestisida, phenol, deterjen dan bahan lainnya. Bahan anorganik tersusun atas butiran dan garam metal. Selain itu dapat berupa klorida, logam berat, nitrogen, fosfor, belerang dan B3. Pada limbah cair yang sedang dalam proses pembusukan terdapat gas-gas hidrogen sulfida dan metan (Tanjung, 1993 dalam Nurmayanti, 2002). b. Limbah Padat. Menurut Dix (1981), limbah padat domestik biasanya dalam bentuk sampah dari rumah tangga dan pemukiman selain industri. Soemirat (1996), mengelompokkan limbah padat rumah tangga (sampah) dalam 4 golongan, yaitu : 1. Sampah yang dapat membusuk (garbage), misalnya sisa makanan dan dedaunan. Sampah jenis ini mudah membusuk sebagai akibat aktivitas mikroba. 14 2. Sampah yang sulit/tidak dapat membusuk (rubbish), misalnya kayu, besi, seng, kain, plastik dan karet. 3. Sampah berupa debu/abu. 4. Sampah berbahaya bagi kesehatan, seperti buangan industri dan kemasan zat-zat kimia toksik. c. Limbah gas. Limbah gas bisa berasal dari dapur rumah tangga, pembakaran sampah padat, dekomposisi sampah padat maupun cair, asap kendaraan bermotor, industri serta peristiwa alam seperti gunung meletus (Daryanto,1995). 2.2.3. Pembuangan Limbah dan Dampaknya Pada umumnya seluruh limbah domestik dibuang langsung ke dalam badan sungai atau sembarang tempat yang tidak bertuan dan tanpa didahului pengolahan walaupun sederhana. Padahal limbah domestik mengandung campuran unsur-unsur yang sangat kompleks. Kehadiran pencemar di dalam badan air ada yang secara langsung dapat diketahui tanpa melakukan pemeriksaan laboratorium, seperti timbulnya busa, warna dan bau yang tidak sedap (Suriawiria, 1996). Masuknya limbah yang membutuhkan oksigen ke badan air akan menurunkan secara cepat kandungan oksigen di dalam air (Kumar De, 1987). Limbah ini menimbulkan ancaman bagi kehidupan flora dan fauna yang terdapat dalam badan sungai. Selain itu kondisi tersebut sangat kondusif untuk pertumbuhan bakteri (Jackson and Jackson, 1996 dalam Sasongko, 2006). Manakala oksigen itu tidak terdapat lagi di dalam air, menurut Khiatuddin (2003), penguraian senyawa itu akan dilakukan oleh mikro anaerob yang menghasilkan 15 gas asam sulfida (H2S) dan gas metana (CH4). Dix (1981) menyatakan bahwa kehadiran 66% bahan organik dan aktivitas mikroorganisme anaerob di suatu tempat akan menyebabkan timbulnya perubahan warna dan bau busuk yang menusuk pada perairan. Dalam keadaan normal proses penguraian juga dilakukan oleh ion amonium (NH4+) dan ion nitrat (NO3-). Ini juga akan memberikan dampak pada lingkungan manakala mengalami batas kewajaran akan mengakibatkan tumbunya tanaman mikrofita (tumbuhan halus) seperti alga dan makrofita (tumbuhan besar/kasat mata, lebih besar dari alga) secara berlebihan (Khiatuddin, 2003). Sementara Chiras (1991) menyatakan banyaknya deterjen sintetik (tripolyphosfat) yang masuk ke sungai akan menaikkan densitas algae. Di Pulau Jawa, sungai-sungai yang mengalir melalui kota-kota besar merupakan tempat yang multiguna untuk segala keperluan, termasuk untuk sarana MCK dan pembuangan sampah (Suriawiria, 1996). Di negara berkembang, sekitar 90 % air limbah dibuang langsung ke badan air tanpa diolah sehingga baik langsung maupun tidak memberikan sumbangan terhadap pencemaran air (Khiatuddin,2003). Persentase kehadiran pencemar domestik di dalam badan air sering dijadikan indikator maju tidaknya suatu negara. Hal tersebut tidak dapat disangkal mengingat kebiasaan dan tatacara masyarakat di negara terbelakang dan sedang berkembang membuang berbagai jenis buangan ke dalam badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu (Suriawiria, 1996). Selama ini orang membuang limbah cair domestik ke badan air karena menganggap bahwa air dapat melakukan daur ulang limbah cair secara fisika, kimiawi dan biologis, berupa pelarutan hampir semua jenis zat/bahan 16 (Khiatuddin,2003). Selanjutnya diungkapkan oleh Soemarwoto (1997) bahwa kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan limbah yang dihasilkan penduduk tidak dapat ditangani dengan baik. Hasil penelitian yang dilakukan (Sugiharti, 1997 dalam Sasongko, 2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat penduduk terhadap sampah di Kota Semarang menyebutkan bahwa pembuangan limbah domestik meliputi faktor sosial ekonomi, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, partisipasi dan tersedianya fasilitas dan tingkat pendidikan. 2.3. Kualitas Air Berdasarkan atas sifat-sifat perairan, Husin (1992) membagi parameter kualitas air dalam 4 kelompok meliputi : a. Sifat fisika antara lain bau, warna, rasa, suhu, daya hantar listrik, kecerahan dan padatan tersuspensi. b. Sifat kimia antara lain DO, BOD, COD, TOC (total Organik Carbon), nilai permanganate, salinitas, kesadahan, asiditas, pH, Mangan Klorida, Sulfat, Sulfida, logam berat (Cd, Hg, Pb, Fe), Nitrogen dan Fosfor. c. Sifat mikrobiologis antara lain total coliform, fecal coli pathogen dan virus. d. Sifat radioaktif antara lain partikel (zarah) beta, 90 Sr dan 226 Ra. 2.3. 1. Parameter Fisika Parameter fisika yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air meliputi suhu, kekeruhan, dan padatan terlarut (TDS). a. Suhu, merupakan parameter fisik yang dapat secara langsung berpengaruh terhadap kondisi biota dalam air dan juga dapat berpengaruh terhadap oksigen 17 terlarut dalam air (Dahuri dan Dammar, 1994 dalam Sudiartawan, 2005). Perubahan suhu berpengaruh pada proses fisika, kimia dan biologi air. Peningkatan suhu mengkibatkan meningkatnya viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Suhu dipengaruhi oleh musim, letak lintang (latitude), ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude). Dalam laporan penelitian kualitas air Kabupaten Badung tahun 2004, disebutkan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang utama dalam proses alami dalam suatu perairan yakni menentukan fungsi fisiologis suatu organisme dan mempengaruhi kehidupan perairan dengan setiap perubahan kualitas airnya. Suhu air juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam penguraian bahan-bahan organik, dimana semakin tinggi suhu maka aktivitas mikroorganisme terlarut dalam air semakin meningkat. b. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi dan koloid adalah padatan yang dapat menyebabkan air menjadi keruh sedangkan sifat padatan ini adalah tidak bisa larut dalam air menjadi keruh sedangkan sifat padatan ini adalah tidak bisa larut dalam air dan pula tidak dapat mengendap secara langsung. Ukuran partikel dan beratnya lebih kecil dari pada sedimen, seperti tanah liat, bahan-bahan organik tertentu sel-sel mikroorganisme dan 18 pencemaran dan akan menentukan kesesuaian suatu jenis air sebagai sumber kehidupan. c. Padatan terlarut (TDS), Total Dissolved Solid atau padatan terlarut total merupakan zat padat yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992). Zat padat terlarut menyatakan jumlah zat padat yang terlarut dalam air/semua zat yang tertinggal setelah diuapkan pada suhu 103-1050 (Suriani, 2001), padatan terlarut meliputi: garam-garam anorganik dan sejumlah kecil zat organik serta gas. Berdasarkan kriteria baku mutu air golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga, batas maksimum yang diperbolehkan adalah 1000 mg/l. Penentuan padatan terlarut total sering dilakukan dengan penentuan daya hantar listrik. 2.3. 2.Parameter Kimia Parameter kimia dalam air dapat menentukan kualitas air meliputi: derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (dissolved Oxgen/DO), kebutuhan oksigen biologi (Biochemical Oxygen demand, BOD), kebutuhan oksigen kimia (Chemical Oxygen Demand), Nitrat (NO3), Nitrit (NO2), dan Fosfat (PO43). a. Derajat keasaman (pH) Kehidupan organisme di dalam air dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH), sehinga seringkali pH status perairan dipakai sebagai petunjuk baik-buruknya kualitas status perairan. Mikroorganisme tumbuh dengan baik pada pH netral 19 dan alkalis, sedangkan jamur (fungi) tumbuh baik pada pH rendah (asam), sehingga proses dekomposisi bahan organik berlangusng lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis (Effedi, 2003). Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat hirdroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Sementara adanya asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman. Nilai pH air dapat mempengaruhi jumlah dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya hara-hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak dapat diawetkan (Saeni, 1988). b. Oksigen Terlarut (dissolved Oxygen/DO) Kebutuhan dasar untuk kehidupan akuatik baik hewan dan tumbuhan air adalah oksigen terlarut. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanaman dan dari atmosfer yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi dari suhu dan tekanan atmosfer. Pada suhu 200 dengan tekanan 1 atm konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh adalah 9,2 ppm sedangkan pada suhu 500 C dengan tekanan 1 atm yang sama tingkat kejenuhannya hanya 5,6 ppm sehingga semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhannya 20 (Fardiaz, 1992). Semakin tinggi ketinggian tempat maka daya larut oksigen juga semakin rendah. Perairan yang turbulansinnya tinggi akibat adanya arus angin dan gelombang maka daya larut oksigen semakin tinggi. Batas mínimum dari pada DO yang diperbolehkan adalah > 6 (Saeni , 1989). c. Kebutuhan Oksigen Biologi (Bichemical Oxygen Demand/BOD) Nilai BOD tergantung pada suhu aktivitas biologis, cahaya matahari dan kadar oksigen terlarut dalam status perairan (Effendi, 2003). BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air (Fardiaz, 1992). Menurut Alzerts & Santika (1984 dalam Sasongko, 2006), Biochemical Oxygen Demand adalah suatu suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua zat organic yang terlarut dan sebagian zat organik yang tersuspensi dalam air. Bila suatu badan air dicemari oleh bahan organic maka bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air dan dapat menjadikan kondisi perairan menjadi anaerob, sehingga mengakibatkan kematian ikan. Nilai BOD yang baik untuk perikanan adalah tidak boleh lebih dari 20 mg/L. Perairan yang telah memiliki nilai BOD 5,0-7,0 mg/liter dianggap masih alami, sedangkan perairan yang memiliki nilai BOD > 10 mg/liter dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD industri pangan antara 500-4000 mg/liter (Rao, 1991). 21 d. Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD) Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan kimia dalam air. Uji COD (Chemical Oxygen Demand) adalah suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan bahan oksidan, seperti Kalium Dikhromat untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Nilai COD umumnya lebih tinggi dari BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Pengukuran nilai COD dapat terganggu dengan adanya chlor dalam air, sehingga harus dicegah dengan penambahan merkuri sulfat yang akan membentuk senyawa kompleks dengan chlor (Supirin, 2002). Perairan memiliki kadar COD tinggi tidak ideal bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya berkisar kurang dari 20 mg/liter. Sedangkan pada perairan yang tercemar lebih dari 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (Effendi, 2003). e. Nitrat (NO3) Nitrat merupakan nitrogen yang sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Pada kondisi aerob nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Sumber utama nitrat di perairan antara lain berasal dari limbah buangan (limbah domestik, industri) dan limbah pertanian. Limbah nitrogen organik yang masuk ke perairan akan mengalami transformasi menjadi amonia. Pada keadaan aerob (jika oksigen terlarut dalam 22 air cukup memadai) amonia akan mengalami nitrfikasi oleh bakteri nitrosomonas dan nitrosobacter menjadi nitrat dengan nitrit sebagai produk antaranya. Kadar nitrat nitrogen perairan alami biasanya tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat > 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran anthropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan (Effendi, 2003). f. Nitrit (NO2) Di perairan alami nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih kecil daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Denitrifikasi berlangsung dalam kondisi anaerob (Anonim , 2006). Perairan alami memiliki kadar nitrit dalam jumlah sedikit, lebih sedikit dari nitrat. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,01 mg/liter dan sebaliknya telah melebihi 0,06 mg/liter dapat besifat toksik. Pada manusia konsumsi nitrit yang belebihan dapat mengakibatkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah (Effendi, 2003). g. Fospat (PO4-3) Phosfat merupakan bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan, dalam Efendi, 2003). Dalam air, fosfor merupakan suatu komponen yang sangat penting dan sering menimbulkan permasalahan lingkungan. Fosfor termasuk salah satu dari beberapa unsur yang essensial untuk pertumbuhan 23 gangang dalam air. Fosfat banyak digunakan dalam pupuk, sabun, detergen, bahan industri keramik, minyak pelumas. Kadar fosfor yang diperkenankan bagi kepentingan air minum adalah 0,2 mg/liter. Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0,005-0,02 mg/liter (Effendi, 2003). Bentuk utama dari fosfor dalam limbah domestik cair adalah fosfor organik, ortho fosfat (H2PO4, HPO42 – , PO43 –) dan poli fosfat. Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai melalui drainase dan aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki sungai melaui air buangan penduduk dan industri yang menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industry pencucian, industri logam dan sebagainya. fosfat organis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. fosfat organis dapat pula terjadi dari ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri maupun tanaman menyerap fospat untuk pertumbuhannya (Winata, et al., 2000) fosfat terlarut adalah salah satu bahan nutrisi yang menstimulasi pertumbuhan yang sangat luar biasa pada alga dan rumput-rumputan dalam danau, estuaria, dan sungai berair tenang. Batas konsentrasi fosfat terlarut yang diijinkan adalah 1,0 mg/liter. Delapan puluh lima persen atau lebih dari jumlah tersebut berasal dari pembuangan limbah domestik. 24 2.3.3. Parameter Mikrobiologi Mikrobiologi merupakan parameter adanya mikroorganisme yang terdapat dalam air. Air merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Mikroorganisme pathogen kebanyakan berasal dari kotoran, maka untuk mengetahui kemungkinan kontaminasi air oleh mikroorganisme pathogen digunakan bakteri indikator seperti Escheria coli, Streptococcus fecal dan Clostridium perfringens. Sutrisno etal, (1991) menyatakan bahwa organisme pathogen di perairan merupakan indikasi adanya pencemaran air, oleh karena itu keberadaanya di perairan perlu diketahui. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bakteri coli adalah organisme yang biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia atau hewan yang berdarah panas. Bakteri coli dipakai sebagai indikator organisme karena mudah ditemukan cara sederhana, tidak berbahaya, sulit hidup lebih lama dari pathogen yang lainnya. Ditemukannya bakteri E. coli tidak berarti adanya pathogen di dalam air. Bakteri E. coli dijadikan sebagai indikator penting untuk mendeteksi tingkat perubahan kualitas suatu perairan yaitu tercemar atau tidaknya perairan (Diana, 1992). Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator polusi kotoran adalah bakteri yang tergolong dalam E. coli, Sterptococus fecal dan Clostrium perifengens (Taufik, 1985). Bakteri-bakteri ini merupakan bakteri komensal di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan dan tidak tumbuh dalam saluran pencernaan organisme lainnya. Menurut Dirjen POM, Departemen Kesehatan RI bahwa air yang memenuhi sebagai air minum tidak boleh mengandung bakteri golongan coli dalam 100 ml contoh air yang dianalisis. 25 Bakteri coliform tidak semua tergolong pathogen, terutama yang berasal dari hasil pembusukan bahan organik atau dari tanah. Tetapi dengan adanya bakteri coliform (bermacam-macam jenis coli) dapat dijadikan suatu pedoman terdapatnya suatu bakteri pathogen Escheria coli disebut juga Coliform fecal tergolong pathogen karena hidup secara normal didalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Uji Coliform fecal menunjukkan positif berarti contoh air yang diuji (air sungai maupun air laut) diduga mengandung bakteri-bakteri pathogen merupakan jenis air yang tidak boleh dimanfaatkan untuk air minum atau biasa dipakai jika harus dimasak dengan suhu 1000C. Dengan adanya pathogen ini akan berbahaya bagi air laut yang dimanfaatkan untuk keperluan rekreasi pantai seperti snorcling, diving atau mandi di laut (Wardoyo, 1975). Berdasarkan penelitian, bakteri koliform ini menghasilkan zat etionin yang dapat menyebabkan kanker. Selain itu, bakteri pembusuk ini juga memproduksi bermacam-macam racun seperti indol dan skatol yang menimbulkan penyakit bila jumlahnya berlebih di dalam tubuh. Penyakit yang ditularkan melalui air biasanya diakibatkan oleh bakteri coliform. Beberapa patogen yang telah dikenal sejak beberapa dekade lalu adalah giardia lamblia (giardiasis), cryptosporidium (cryptosporidiosis), hepatitis A (penyakit terkait hati), dan helminths (cacing parasit). Bakteri Fecal coliform atau E. coli yang mencemari air memiliki risiko yang langsung dapat dirasakan oleh manusia yang mengkonsumsinya (Mediaanakindonesia, 2010)