PEREMPUAN DAN SENSUALITAS: BENTUK

advertisement
PEREMPUAN DAN SENSUALITAS: BENTUK KOMODIFIKASI TUBUH
PEREMPUAN MELALUI BODY IMAGES YANG DIKONSTRUKSIKAN DI DALAM
IKLAN AXE
Oleh: Rizki Fitriana (071015059) – AB
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada sensualitas sebagai bentuk komodifikasi tubuh perempuan yang
ditampilkan di dalam iklan televisi AXE versi “Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs Perampok”
dan “Pemadam Kebakaran dan Astronot”. Sensualitas menjadi signifikan karena sering kali
iklan memberikan penggambaran yang bias tentang sosok perempuan, yang hanya
mengandalkan tubuhnya. Penelitian ini merupakan penelitian komunikasi karena representasi
perempuan yang dihadirkan oleh iklan dikonstruksi melalui teks-teks berupa tanda yang
dapat dimaknai dan dieksplorasi. Berdasarkan analisis, didapatkan temuan bahwa representasi
perempuan yang muncul di dalam iklan AXE berdasarkan aspek visualnya, lekat dengan sensualitas
yang ditunjukkan dengan pakaian minim, ekspresi wajah, serta teknik kamera yang menyasar bagian
tubuh tertentu dari perempuan, hal ini sekaligus menunjukkan bentuk ideologi patriarki.
Kata Kunci: sensualitas perempuan, komodifikasi, iklan, semiotik
PENDAHULUAN
Penelitian ini mengeksplorasi sensualitas tubuh perempuan yang ditampilkan di dalam
iklan AXE, versi “Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs Perampok”, dan “Pemadam Kebakaran
dan Astronot”, melalui tanda-tanda yang dilekatkan pada sosok perempuan tersebut.
Representasi perempuan di dalam iklan menjadi penting, karena iklan sering kali memberikan
gambaran yang bias mengenai perempuan (Prabasmoro, 2006: 320). Selain itu, berdasarkan
pengamatan peneliti, sosok perempuan telah mengalami komodifikasi oleh pelaku media,
termasuk yang ditampilkan di dalam iklan AXE, yang merupakan produk khusus laki-laki,
namun menjadikan perempuan sebagai objeknya, Prabasmoro (2006: 321) menyebutnya
perempuan sebagai selling point.
Prabasmoro (2006: 322) dalam bukunya tentang kajian feminis menyatakan bahwa
kebanyakan iklan yang beredar di media massa baik itu yang cetak maupun elektronik, masih
memperlihatkan adanya konstruksi yang mengarahkan seksualitas perempuan sebagai cara
penundukkan perempuan dalam kuasa laki-laki. Hal ini tak lain karena tubuh perempuan
dinilai memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga sosoknya dikomodifikasi untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Demikian pula menurut Baria (2005: 11), bagi produsen dan
pengiklan, tubuh perempuan tidak akan pernah surut memberi peluang yang menguntungkan.
Mulai urusan kuku hingga kepala pengiklan memanfaatkan pemaknaan tentang perempuan
yang berbasis tubuh untuk menentukan sebuah stereotip identitas, sehingga sangat peka
dengan rekayasa pembentukan citra.
Penyebaran iklan memanfaatkan media, yang mana media merupakan salah satu
instrumen utama yang berperan penuh dalam membentuk konstruksi gender dalam
masyarakat (Hariyanto, 2009: 2). Esplen dan Jolly (2006: 2-3) menguraikan bahwa gender
dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Gender merupakan peranan sosial yang
dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, sedangkan jenis kelamin berkaitan dengan organ fisik
dan genetik yang alamiah. Gender kemudian melahirkan dua stereotip yang berbeda, yaitu
feminin dan maskulin (Kurnia, 2004: 18). Perbedaan antara maskulin dan feminin
menggiring anggapan bahwa maskulin lekat dengan laki-laki macho, kuat, gagah, rasional,
dominan dan aktif. Sementara itu, karakteristik perempuan diidentikkan dengan perempuan
yang lemah, pasif, submisif dan emosional, serta mengandalkan daya tarik fisik meliputi
kecantikan, sensualitas dan lekuk tubuh (Kurnia, 2004: 20). Sensualitas dari seorang
perempuan merupakan aspek yang sering kali dieksploitasi oleh para pelaku media untuk
menarik minat para audiens. Menurut Ida dan Surya (2002), biasanya sensualitas ini
dimunculkan dengan melekatkan atribut-atribut tertentu pada si permepuan, misalnya pakaian
yang minim serta menerawang. Sifatnya yang visual, mampu menimbulkan gairah erotis bagi
yang melihat.
Konstruksi realitas atas kehidapan sosial yang tercermin di media, erat kaitannya
dengan representasi. Apa yang digambarkan oleh media bukanlah berupa refleksi atau
cerminan, melainkan sebatas representasi dari konstruksi realitas sosial itu sendiri, karena apa
yang ditampilkan oleh media sesungguhnya telah mengalami berbagai konstruksi simbolik
sehingga mengakibatkan adanya reduksi-reduksi terhadap realitas yang ada. Representasi
memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek, buku, majalah,
dan program televisi, termasuk iklan di dalamnya (Barker, 2004: 9).
Menjadi sebuah permasalahan ketika realitas yang dikonstruksi oleh pihak-pihak
berkepentingan ini dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Ketika terdapat perbedaan
antara realitas yang dibuat oleh media dengan realitas sebenarnya yang ada di masyarakat,
maka telah terjadi penyalahartian tanda secara simbolik. Sobur (2006: 32) lebih lanjut
menyebutkan bahwa dalam banyak fakta bisa ditemukan berbagai kelompok yang memiliki
kekuasaan mengendalikan makna di tengah-tengah pergaulan sosial melalui media massa.
Dengan demikian setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda berdasarkan
kepentingannya masing-masing. Sementara itu, Hall (dalam Dayanti dan Susantari, 2005: 13)
menyebutkan studi mengenai representasi berargumen bahwa media lah senjata utama dalam
rangka melanggengkan nilai-nilai yang ingin dikonstruksi oleh pihak-pihak dominan media,
sehingga dapat mempengaruhi konstruksi berpikir masyarakat.
Kuasa media inilah yang memungkinkan terjadinya komodifikasi-komodifikasi atas
tubuh perempuan demi kepentingan industri. Komodifikasi menurut Mosco (dalam Astuti,
2005: 23), adalah transformasi nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value).
Secara ringkas, komodifikasi memperlihatkan proses bagaimana produk-produk kultural
dikerangka sesuai dengan kepentingan pasar, hal ini dapat dilihat dari perubahan nilai guna
menjadi nilai tukar yang dikerangka oleh pasar dan diatribusikan kepada objek. Pertukaran
produksi makna di sini tidak lepas dari benturan kepentingan-kepentingan sosial,
sebagaimana yang dikatakan oleh Golding et al. (dalam Astuti, 2005: 26) bahwa produk
makna merupakan bentuk dari kekuasaan atau “The production of meaning as the exercise of
power”. Berbicara mengenai komodifikasi, tidak bisa dilepaskan dengan kuasa industri
kapitalis, di mana terjadi proses modifikasi terhadap komoditas yang sesungguhnya bukan
merupakan sebuah komoditas. Indutri memanipulasi yang bukan komoditas menjadi sebuah
“barang” yang dapat dipertukarkan, dalam konteks ini terjadi pertukaran informasi, pesan dan
ideologi di mana body images perempuan dikonstruksikan.
Konteks penelitian ini mengasumsikan bahwa iklan televisi AXE mencoba
membentuk imaji-imaji tertentu melalui representasi yang dihadirkan melalui gambaran
perempuan. Representasi ini digambarkan dalam iklan AXE dengan menonjolkan aspek
visual pada fisik dan segala atribut yang menempel pada pemeran perempuan, mulai dari
wajah, lekuk tubuh, tata rias, hingga pakaian yang dikenakan. Selain itu interaksinya dengan
lawan jenis dalam iklan hingga hal-hal teknis seperti pengambilan gambar juga menjadi
perhatian. Menurut pengamatan peneliti, terdapat makna (shared meaning) yang hendak
disampaikan oleh pembuat iklan di dalam iklan AXE tersebut kepada masyarakat terkait
penggambaran perempuan. Makna inilah yang kemudian berpotensi untuk membentuk
pandangan tertentu mengenai apa yang direpersentasikan oleh iklan. Makna ini dianggap
sebagai sistem yang kompleks dimana mencakup semua tanda yang dapat memprediksi pola
dari representasi yang diterima oleh seseorang atau masyarakat sehingga dapat mengubah
makna dari pesan tersebut (Danesi, 2010: 321).
Iklan AXE sendiri dipilih karena selain termasuk dalam jajaran merk terkemuka (Top
Brand), AXE sebagai produk khusus laki-laki, justru mengedepankan sosok perempuan di
dalam tiap iklannya, dibandingkan dengan kompetitornya yang lain seperti Bask, Direct dan
Rexona Men, yang sama-sama diperuntukkan untuk konsumen laki-laki, namun tidak
menggunakan sosok perempuan untuk mengedepankan sisi maskulinitas laki-laki itu sendiri.
Jumlah iklan parfum merk AXE yang akan diteliti sengaja dibatasi oleh peneliti sebanyak tiga
versi, antara lain adalah iklan AXE versi “Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs Perampok”, serta
“Pemadam Kebakaran dan Astronot”. Ketiga versi iklan AXE ini dipilih karena menurut
peneliti versi-versi tersebut memiliki konsep yang beragam dalam menempatkan perempuan
dalam iklan sehingga menimbulkan imaji-imaji yang berbeda-beda pula mengenai sosok
perempuan. Sementara itu dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan analisis semiotik
milik Fiske (1987: 5) mengenai three levels of social codes, yang meliputi: (1) reality; (2)
representation; (3) ideology sebagai pisau analisis. Teori Fiske yang digunakan untuk
mengkaji produk audio visual ini dinilai tepat untuk menganalisis representasi perempuan
dalam iklan teleisi AXE, karena posisi iklan televisi sendiri yang sifatnya auditif dan visual.
PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan, peneliti mengeksplorasi sosok perempuan di dalam ketiga
versi iklan AXE yang meliputi versi “Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs Perampok” serta
“Pemadam Kebakaran dan Astronot”, sebagai sosok yang lekat dengan sensualitas. Peneliti
melihat adanya kesamaan image yang ingin ditampillkan oleh iklan AXE tentang sensualitas
perempuan melalui body images yang dibentuk pada sosok perempuan di dalam masingmasing iklan.
Menurut Ida dan Surya (2002) definisi atas konsep sensualitas yang berkembang di
media massa tidak berhasil dirumuskan dalam definisi yang jelas. Namun demikian, asumsi
yang berkembang di masyarakat secara umum menyatakan bahwa sensualitas merujuk pada
aksi yang sengaja dipertontonkan untuk mengundang imajinasi seksual bagi siapa pun yang
mengonsumsinya. Pakaian minim, dan terbuka merupakan beberapa hal yang membentuk
konsep sensualitas itu sendiri. Konsep sensualitas ini berhubungan erat dengan kemampuan
panca indera manusia dalam menangkap objek tertentu. Biasanya objek yang sifatnya visual
lah yang paling kuat membentuk konsep sensualitas itu.
Aksi yang dimaksud di sini bertalian dengan usaha pengiklan dalam mengekspos aspek
fisik dari seseorang yang umum terjadi pada kaum perempuan. Aspek fisik ini dapat dengan
mudah terlihat dari pakaian yang digunakan dan bagian tubuh mana yang ditonjolkan
sehingga memunculkan kesan sensual. Selain itu ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang
ditunjukkan melalui cara berjalan serta bagaimana kerja kamera menangkapnya juga
berpengaruh besar dalam membentuk konsep sensualitas.
Pada level realitas, hal yang paling mudah dilihat dari sosok perempuan di dalam ketiga
iklan yang menjadi objek analisis adalah pakaian yang dikenakan. Iklan pertama, yakni iklan
AXE versi “Bidadari Jatuh”, mengangkat sosok perempuan yang diasosiasikan dengan
bidadari. Wujud bidadari di sini dapat kita lihat dari atribut-atribut yang bertindak sebagai
penanda. Pakaian yang dikenakan oleh sosok bidadari pada iklan ini berupa mini dress yang
terbilang minim. Mini dress merupakan pakaian berjenis terusan rok yang panjangnya hanya
beberapa sentimeter di atas lutut serta dengan berbagai modifikasi model atasan. Sementara
itu model mini dress yang dikenakan oleh para perempuan berwujud bidadari pada iklan iklan
AXE versi “Bidadari Jatuh” tidak memiliki lengan (sleeveless) dengan kerah tipe v-neck yang
lebar sehingga membuat belahan dada tampak. Sedangkan atribut pelengkap berupa sepasang
sayap yang terdapat di punggung perempuan semakin mempertegas bahwa sosok perempuan
di sini merujuk pada sosok bidadari.
Iklan AXE selanjutnya adalah versi “Polisi Wanita vs Perampok”. Iklan ini
menceritakan tentang polisi wanita yang melakukan pengejaran terhadap seorang perampok
(laki-laki). Dalam level realitas, seragam polisi beserta atribut pelengkap di sini bertindak
sebagai penanda bahwa perempuan tersebut berprofesi sebagai seorang polisi. Jika
dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan oleh sosok perempuan pada iklan AXE versi
“Bidadari Jatuh”, perempuan dalam iklan ini sama sekali tidak mengenakan pakaian terbuka
yang dapat menyebabakan bagian-bagian tubuhnya terlihat. Seragam polisi yang dikenakan
oleh perempuan tersebut tergolong longgar dan dilengkapi atribut seperti jaket serta topi
polisi di atas kepalanya. Dengan kata lain, berdasarkan pakaian yang dikenakan oleh sosok
perempuan di dalam iklan tersebut, sensualitas tidak begitu menonjol.
Sementara itu, iklan selanjutnya adalah iklan AXE versi “Pemadam Kebakaran dan
Astronot”. Iklan ini menawarkan variasi lain tentang gambaran perempuan. Jika
dibandingkan dengan dua iklan yang peneliti jabarkan di atas sebelumnya, sosok perempuan
di sini digambarkan sebagai perempuan biasa. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penanda
khusus berupa atribut tertentu yang menjelaskan apa profesi perempuan tersebut – seperti
yang terdapat di iklan AXE versi “Polisi Wanita vs Perampok” – atau pun dari mana asalnya –
seperti yang terdapat di iklan AXE versi “Bidadari Jatuh” di mana terdapat sosok bidadari
yang jatuh dari langit. Perwujudan sosok perempuan pada iklan ketiga ini cenderung lebih
sederhana. Pakaian yang dikenakan adalah kaos putih polos dengan kerah v-neck serta
berlengan pendek sebahu. Sedangkan bawahan yang dikenakan adalah celana skinny jeans
panjang berwarna gelap. Sementara itu tatanan rambutnya terkesan rapi, karena rambutnya
yang lurus panjang dikuncir ke belakang.
Jika dilihat berdasarkan model pakaian yang dikenakan oleh para perempuan di dalam
masing-masing iklan, model pakaian yang dikenakan para perempuan di dalam iklan pertama
yaitu versi “Bidadari Jatuh”, memberikan penggambaran sensualitas perempuan yang paling
menonjol. Hal ini dapat dilihat dari lekuk tubuh yang terbentuk dari pakaian mini dress yang
dikenakan para perempuan berwujud bidadari tersebut. Selain itu, bagian tubuh berupa
belahan payudara serta paha dan bokong juga terlihat akibat ketatnya pakaian yang mereka
gunakan.
Untuk semakin memperkuat kesan sensual dari sosok perempuan di masing-masing
iklan, teknik kamera sangat berperan penting. Teknik kamera memiliki pengaruh yang begitu
besar untuk menghadirkan pemaknaan tertentu bagi para audiens atas apa yang dilihatnya
(Thompson dan Bowen, 2009: 23). Teknik kamera termasuk dalam level representasi Fiske
(1987: 7), penyesuaian oleh kamera serta framing dan fokus yang dilakukan oleh operator
kamera terhadap objek yang ditangkap, dapat memberikan efek tertentu bagi audiens yang
melihat.
Penggunaan jarak pengambilan gambar tertentu pada jarak dekat (close up) misalnya,
dapat memberikan kesan intim bagi audiens di mana keterikatan emosi dengan objek yang
ada di layar terasa lebih dekat. Hal ini pula lah yang dilakukan oleh pengiklan di dalam iklan
AXE. Beberapa adegan yang muncul dihadirkan dengan menggunakan teknik kamera close
up. Dalam konteks iklan AXE versi “Bidadari Jatuh”, sensualitas tergambar melalui cara kerja
kamera yang menyasar bagian-bagian tubuh tertentu pada sosok perempuan.
Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya, sensualitas juga dapat tercipta
melalui adanya bagian-bagian tubuh tertentu yang diekspos. Berkaitan dengan hal tersebut,
eksploitasi atas bagian tubuh para perempuan berwujud bidadari di dalam iklan AXE versi
“Bidadari Jatuh” tersebut dapat dengan mudah terlihat karena tak lepas dari model pakaian
yang dikenakan. Pakaian mini dress ketat yang dikenakan mampu membentuk lekuk tubuh
para perempuan berwujud bidadari tersebut. Lekuk tubuh tersebut semakin memperlihatkan
bagian-bagian tubuh tertentu yang dinilai memiliki nilai sensual dan erotis bagi yang melihat.
Bagian-bagian tubuh tersebut meliputi paha, bokong dan belahan dada. Bagian-bagian tubuh
tersebut mampu membangkitkan sisi sensual perempuan (King, 2004: 4). Namun kerja
kameralah yang mampu memperkuat kesan sensual tersebut. Lensa kameralah yang
kemudian mengambil sudut-sudut gambar tertentu agar bagian tubuh yang mampu memicu
kesan sensual itu sendiri dapat dinikmati oleh audiens.
Pada salah satu adegan di dalam iklan AXE versi “Bidadari Jatuh”, sesosok bidadari
yang baru jatuh dari langit tampak bangkit dan berdiri perlahan, sementara orang-orang di
sekitarnya mengerumuninya. Pada saat itulah kerja kamera beraksi. Kamera mengambil
gambar dari dengan menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot (MS) di mana
belahan dada perempuan dapat terlihat jelas ketika ia membungkuk.
Gambar 1. Perempuan Berwujud Bidadari Mengenakan Mini Dress
Pada gambar di atas, belahan payudara perempuan berwujud bidadari tersebut tampak
secara kasat mata. Payudara memang merupakan bagian tubuh perempuan yang dinilai
paling mampu memicu hasrat seksual bagi siapa pun yang melihatnya, terutama bagi lawan
jenisnya. Payudara merupakan bagian dari tubuh perempuan yang
dianggap mampu
menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi yang melihat terutama laki-laki. Entwistle (2001:
54) menyebut “female breast as the most sexualized zone”, atau payudara sebagai bagian dari
tubuh perempuan yang paling mampu mengundang imajinasi seksual.
Selanjutnya kamera menangkap ekspresi wajah dua orang perempuan berwujud
bidadari yang tampak sedang terhanyut dengan aroma tubuh sang laki-laki. Ekspresi
terhanyut tersebut terlihat dari mimik wajah salah satu perempuan yang tampak memejamkan
mata ketika sedang menghirup aroma sang laki-laki. Kemudian ia terlihat membuka mata
seraya menunjukkan sorot mata yang tajam dan menggoda ke arah laki-laki tersebut. Pada
saat yang bersamaan, bibir perempuan tersebut tampak sedikit membuka sedikit menganga.
Hal serupa juga tampak pada sosok perempuan di dalam iklan AXE versi “Polisi
Wanita vs Perampok”. Kamera menangkap ekspresi wajah sang polisi wanita dengan
menggunakan angle medium close up. Angle ini mampu menangkap ekspresi wajah
perempuan tersebut secara jelas (Thompson dan Bowen, 2009: 17). Sang polisi wanita
tampak menunjukkan sorot mata yang tajam pada sang laki-laki. Sementara itu sambil
menatap laki-laki tersebut, sang polisi wanita terlihat menggigit sedikit bibir bawahnya,
seakan menunjukkan bahwa dirinya telah tergoda dengan laki-laki yang berperan sebagai
perampok tersebut.
“Menggigit bibir” merupakan ekspresi wajah lainnya yang dianggap dapat
memunculkan
kesan
sensual
pada
perempuan.
Mengutip
situs
www.study-body-
language.com “Biting the lips can be a signal of attraction and sexual arousal, but only if the
bite is on the lower lip.” Salah satu ekspresi wajah sensual dan mengundang adalah
menggigit bibir bagian bawah. Biasanya ekspresi tersebut dilakukan oleh perempuan sebagai
tanda bahwa ia telah tergoda atau ia ingin menggoda lawan jenisnya.
Selain ekspresi wajah, ada perubahan signifikan yang terjadi pada sosok perempuan
yang berperan sebagai polisi wanita tersebut. Jika diperhatikan, di awal adegan dalam iklan
AXE versi “Polisi Wanita vs Perampok”, sosok polisi wanita tampak masih mengenakan
atribut kepolisiannya dengan lengkap, mulai dari jaket, senjata yang menggantung di
pinggangnya, hingga topi yang dikenakan di atas kepalanya. Namun seiring dengan adegan
kejar-mengejar antara dirinya dengan sang perampok, sang polisi wanita tersebut mulai
menanggalkan atributnya satu persatu hingga akhirnya menjadi sosok polisi wanita dengan
rambut yang terkesan basah dan terurai.
Kamera semakin menekankan kesan sensual dengan menangkap perubahan
penampilan yang terjadi pada sosok polisi wanita, melalui jarak pengambilan kamera.
Kamera mengambil gambar dengan jarak dekat (close up) yang bertujuan agar audiens
menyadari adanya perubahan itu. Rambut hitam panjang polisi wanita yang sebelumnya
tersembunyi di balik topi polisinya, kini tampak terurai lepas. Kesan basah tampak begitu
jelas pada rambutnya. Rambut basah pada perempuan sering kali dianggap seksi dan sensual
oleh
sebagaian
laki-laki.
Sebagaimana
kutipan
yang
diambil
dari
laman
warungkopi.okezone.com (2012) yakni, “Pria menganggap rambut basah sehabis mandi itu
seksi dan natural sekali.”
Kesan sensual juga dapat dimunculkan melalui beberapa ekspresi wajah. Bagian
wajah berupa bibir dan mata dinilai memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk
sensualitas seorang perempuan. Bibir yang sedikit terbuka atau menganga dapat
menimbulkan kesan sensual terutama pada perempuan. Pease dan Pease (2006: 174) dalam
bukunya yang berjudul Definitive Book of Body Language, menjelaskan bahwa ekspresi
wajah perempuan dengan bibir menganga merujuk pada ekspresi sensual yang menunjukkan
kekuatan seksual seorang perempuan.
Slightly parting the lips is a cluster that has been used by women for centuries to show sexual
submissiveness.
Masih menurut Pease dan Pease, kesan sensual semakin kuat manakala ekspresi wajah
dengan bibir yang sedikit menganga tersebut dikaitkan dengan ekspresi ketika perempuan
mengalami orgasme saat berhubungan intim.
Konsep ekspresi wajah perempuan dengan bibir yang sedikit terbuka, sering kali
digunakan pada majalah-majalah fashion wanita atau majalah pria dewasa. Para model yang
tampil baik sebagai sampul majalah maupun pengisi rubrik tertentu di dalam majalah
tersebut, kebanyakan berpose sensual dengan memasang ekspresi wajah yang cenderung
serupa, yakni dengan menunjukkan sorot mata yang tajam ke arah kamera, serta gerak bibir
yang tidak menutup dengan sempurna atau dengan kata lain sedikit terbuka.
Berbicara mengenai ekspresi wajah, iklan pertama dan kedua, cenderung memiliki
kesamaan yang menonjol tentang bagaimana sensualitas perempuan dihadirkan berdasarkan
ekspresi yang digunakan oleh para perempuan di dalam masing-masing iklan. Namun pada
iklan ketiga, yakni AXE versi “Pemadam Kebakaran dan Astronot”, peneliti menangkap
adanya usaha untuk membentuk konsep sensualitas melalui cara yang berbeda, berdasarkan
ekspresi wajah yang tampak.
Ekspresi wajah yang muncul dari perempuan tersebut tak lepas dari rasa
ketertarikannya dengan sang astronot. Senyum yang sebelumnya tergambar di wajahnya,
seketika berubah saat sosok astronot mencuri perhatiannya. Ekspresi wajah perempuan
tersebut menjadi lebih menggoda saat ia menunjukkan sorot mata yang tajam. Di samping itu,
lagi-lagi bibir yang tidak menutup sempurna juga terlihat dari wajahnya. Hal tersebut
menunjukkan betapa ia terkesima dengan sosok astronot yang ia lihat. Meskipun ada
kemiripan pada ekspresi wajah yang tampak pada perempuan di dalam iklan ini, bahasa bibir
yang tergambar tidak sepenuhnya menunjukkan kesan sensual yang “menantang”,
sebagaimana yang tergambar pada dua iklan sebelumnya. Peneliti melihat adanya konsep
sensualitas yang lebih ringan, di mana hal ini terlihat dari Bahasa bibir yang meskipun tidak
menutup sempurna, masih tersirat senyuman di bibir perempuan tersebut.
Gambar 2. Perbandingan Ekspresi Wajah Perempuan di Masing-Masing Iklan
Kesan sensual yang lebih ringan pada iklan AXE versi “Pemadam Kebakaran dan
Astronot” dibandingkan dengan versi “Bidadari Jatuh” dan “Polisi Wanita vs Perampok”, tak
lepas dari body images yang dibentuk pengiklan kepada sosok perempuan di dalam iklan
tersebut. Dilihat dari penampilannya, perempuan di dalam iklan ini digambarkan sebagai
sosok perempuan biasa, jika dibandingkan dengan gambaran perempuan di dalam dua iklan
sebelumnya. Adegan penyelamatan oleh sang pemadam kebakaran menjadi buktinya. Hal ini
juga menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk menyelematkan diri sehingga
membutuhkan bantuan dari orang lain. Ketidakberdayaannya kemudian tercermin dari
ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh perempuan tersebut. Ekspresi wajah terpana karena
melihat sesosok astronot yang berada di depannya cenderung malu-malu, tidak seekspresif
sosok perempuan di dalam dua iklan sebelumnya.
Berangkat dari ekspresi wajah, peneliti juga melakukan eksplorasi pada aspek gerak
tubuh para perempuan di dalam masing-masing iklan. Hal ini karena gerak tubuh termasuk
dalam komunikasi nonverbal yang sifatnya mampu memperkuat konsep sensualitas yang
ditonjolkan oleh pengiklan (Pease dan Pease, 2006: 170). Masing-masing iklan memiliki
konsep dan jalan ceritanya sendiri-sendiri sehingga konsep sensualitas yang dihasilkan pun
tidak sama. Iklan pertama, yakni AXE versi “Bidadari Jatuh”, mengusung konsep iklan
dengan jalan cerita yang sifatnya imajinatif, di mana terdapat sosok bidadari yang tiba-tiba
jatuh dari langit hanya karena aroma parfum yang disemprotkan ke tubuh seorang laki-laki.
Didukung dengan latar musik orkestra yang bertempo lambat, gerak tubuh yang ditunjukkan
para perempuan berwujud bidadari melalui cara jalannya pun cenderung perlahan.
Berbeda dengan iklan AXE versi “Bidadari Jatuh”, iklan selanjutnya yakni versi
“Polisi Wanita vs Perampok” serta “Pemadam Kebakaran dan Astronot”, menunjukkan
tempo iklan lebih cepat. Hal ini tak lain karena jalan cerita yang diusung keduanya
berhubungan erat dengan adegan-adegan berbahaya dan sarat akan unjuk kekuatan fisik. Pada
iklan AXE versi “Polisi Wanita vs Perampok” misalnya, terjadi adegan kejar-kejaran antara
sang polisi wanita dan perampok. Sementara itu iklan AXE versi “Pemadam Kebakaran dan
Astronot” berada di setting pengadeganan yang menampilkan adegan-adegan berbahaya
seperti adegan penyelamatan menembus gedung yang terbakar. Jika iklan AXE versi
“Bidadari Jatuh” menggunakan musik latar bertema orkestra yang begitu mendayu-dayu dan
bertempo lambat, kedua iklan ini menggunakan musik latar yang keras dengan tempo yang
cepat. Musik latar yang demikian semakin mendukung adegan-adegan cepat yang
ditunjukkan sekaligus memperkuat aspek emosional audiens terhadap jalan cerita yang
disuguhkan.
Melihat kenyataan tersebut, gerak tubuh yang dihasilkan oleh sosok perempuan di
masing-masing iklan tidaklah sama. Peneliti melihat sosok bidadari pada iklan pertama paling
kuat kesan sensualnya. Cara jalannya yang lambat serta melenggak-lenggok layaknya model
catwalk mendukung konsep sensualitas yang berbicara mengenai segala aksi yang sengaja
dipertunjukkan untuk mengundang imajinasi erotis dan seksual terhadap siapa pun yang
melihatnya. Hal tersebut tak lepas dari jenis pakaian yang dikenakan, yakni mini dress yang
memperlihatkan kakinya yang jenjang. Menurut Pease dan Pease (2004: 307), perempuan
dengan
kaki
yang
jenjang
merupakan
bentuk
dari
sinyal
non
verbal
yang
mengkomunikasikan bahwa perempuan tersebut secara seksual telah matang, sehingga siap
untuk menjadi childbearer.
Secara garis besar, berdasarkan pengamatan peneliti, konsep sensualitas yang
dikonstruksi di dalam ketiga iklan AXE yakni versi “Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs
Perampok” serta “Pemadam Kebakaran dan Astronot”, sangat kental dengan ideologi
patriarki. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana sosok perempuan di masing-masing iklan,
diposisikan sebagai objek oleh pengiklan. Sosok perempuan menjadi kaum yang
diobjektifikasi karena dalam konteks ketiga iklan tersebut, masing-masing menghadirkan
perempuan sebagai sosok yang “dinikmati” melalui eksploitasi yang dilakukan pada
tubuhnya.
Peneliti melihat keterkaitan yang begitu erat antara sensualitas dengan komodifikasi
tubuh pada sosok perempuan di dalam iklan AXE. Komodifikasi yang terjadi tampak dari
adanya usaha untuk mengeksploitasi wujud fisik perempuan sebagai pemanis dan penghias di
dalam iklan. AXE yang notabene merupakan produk parfum dan deodorant yang menjadikan
laki-laki sebagai segmentasi utamanya, justru memainkan sosok perempuan sebagai objek
utamanya. Sosok perempuan yang dihadirkan di dalam masing-masing iklan tersebut seakan
semakin memantapkan asumsi bahwa perempuan memiliki citra peraduan, yakni sosoknya
yang dinilai hadir sebatas sebagai objek pemuas hasrat seksual laki-laki (Tomagola, 1998:
330). Pengiklan memanfaatkan sosok perempuan dengan melakukan komodifikasikomodifikasi melalui body images yang tampak. Body images yang tampak merupakan hasil
dari seleksi-seleksi yang dilakukan oleh sang pengiklan dalam rangka usahanya membentuk
konsep sensualitas.
Menurut Foucault (dalam King, 2004: 4) tubuh perempuan dianggap sebagai “other”.
Artinya, tubuh perempuan dinilai berbeda dengan tubuh laki-laki. Perempuan memiliki
bagian-bagian tubuh tertentu yang lebih menonjol ketimbang laki-laki, seperti payudara,
pinggul dan bokong. Hal ini lah yang kemudian membuat tubuh perempuan menjadi sasaran
eksploitasi. Bagian-bagian tubuhnya yang dianggap berbeda dengan laki-laki ini, dianggap
menjual. Sehingga tak heran, tubuh perempuan sering kali dijadikan objek visual oleh pelaku
media, terutama pengiklan.
Berkaitan dengan tatanan masyarakat patriarki, konstruksi sosial budaya atas tubuh
perempuan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki
atas perempuan (Arivia, 2006: 95). Dominasi ini terlihat dari kuasa media yang menempatkan
sosok perempuan sebagai objek pemuas hasrat seksual laki-laki.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa representasi perempuan yang
dilakukan oleh pengiklan, masih melekatkan sosok perempuan dengan sensualitas. Pengiklan
melakukan berbagai komodifikasi terhadap tubuh perempuan di dalam iklan AXE versi
“Bidadari Jatuh”, “Polisi Wanita vs Perampok”, serta “Pemadam Kebakaran dan Astronot”
melalui berbagai atribut yang ditempelkan kepadanya. Sensualitas ini muncul dari atributatribut yang dilekatkan pada body images perempuan yang meliputi pakaian yang dikenakan.
Sementara itu kerja kamera berperan untuk memberikan penguatan dalam mengonstruksi
konsep sensualitas di dalam iklan. Sedangkan ideologi yang muncul berdasarkan representasi
perempuan di dalam ketiga iklan AXE tersebut adalah, ideologi patriarki. Ideologi patriarki
yang berbicara mengenai dominasi kuasa laki-laki terhadap perempuan tergambar dari
bagaimana tubuh perempuan menjadi medan pertarungan kuasa yang dilakukan oleh media,
melalui komodifikasi-komodifikasi yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis. 2006, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Astuti. 2005. Komunika: Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan.
Baria, Ludfy. 2005, Media Meneropong Wanita, Konsorsium Swara Perempuan, Jakarta.
Barker, Chris. 2004, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Kreasi Wacana, Jogjakarta.
Danesi, Marcel. 2010, Pesan, Tanda dan Makna; Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikasi, Jalasutra, Jogjakarta.
Dayanti, Liestyaningsih Dwi & Susantari, Tri. 2005, Representasi Relasi Gender Dalam
Sinetron Bajaj Bajuri di Trans TV, Universitas Airlangga, Surabaya.
Entwistle, Joanne, & Wilson, Elizabeth. (eds). 2001, Dress, Body, Culture: Body Dressing,
Berg, UK.
Esplen, Emily & Jolly, Susie. 2006, Gender and Sex: A Sample of Definition, pp.2-3.
Fiske, John. 1987, Television Culture: Popular Pleasures and Politics, Rouletdge, London.
Hariyanto. 2009, Gender Dalam Konstruksi Media, Komunika, Vol.3, No. 2, pp. 167-183.
Ida, Rachmah & Surya, Yuyun Izzati. 2002, Politik Tubuh Dan Sensualitas Perempuan:
Diskursus Media Terhadap Fenomena Goyang Penyanyi Dangdut Perempuan,
Universitas Airlangga, Surabaya.
King, Angela. 2004, The Prisoner of Gender: Foucault and the Disciplining of the Female
Body, Vol. 5, No. 2, pp. 4.
Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas Dalam Iklan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Vol. 8, No. 1, pp. 17-36.
Pease, Allan & Pease, Barbara. 2004, The Definitive Book of Body Language, McPherson,
Australia.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra Dan Budaya
Pop, Jalasutra, Jogjakarta.
Thompson, Roy & Bowen, Christopher. 2009, Grammar of The Shot Second Edition.
Elsevier, Inggris.
The Meaning of Lips Biting, diakses pada 16 Mei 2014, tersedia di http://www.study-bodylanguage.com/body-language-lips.html#sthash.edpAXdPo.dpbs
Model Rambut yang Disuka dan Dibenci Pria, diakses pada 16 Juni 2014, tersedia di
http://warungkopi.okezone.com/showthread.php?4881-Model-Rambut-yang-Disukadan-Dibenci-Pria
Download