BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang sebagian besar masyarakatnya tidak memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu. Namun, bukan berarti kehidupan dan pribadi orang Jepang jauh dari kepercayaan maupun ajaran agama. Ajaran agama yang masih sangat kuat ada dalam kehidupan masyarakat Jepang adalah Shinto dan Buddha. Ajaran dari kedua agama tersebut memegang peranan penting yang dijadikan pedoman oleh masyarakat Jepang untuk diterapkan ke segala bidang kehidupan, mulai dari kehidupan bermasyarakat, berbudaya, hingga berkesenian. Pemerintah Jepang bahkan menganggap bahwa Shinto bukan hanya merupakan sebuah agama saja, tetapi juga sebagai ideologi negara Jepang (Morioka, 1975: 4). Agama Buddha yang dibawa ke Jepang oleh pendeta-pendeta China melalui Korea pada pertengahan abad ke-6, tepatnya pada 552 Masehi juga merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang (Kitagawa, 1987: xxv). Hal itu dibuktikan dengan pengaruh ajaran Buddha terhadap kesenian dan arsitektur bangunan Jepang yang kebanyakan dibangun sesuai dengan konsep ajaran Buddha. Atmojo (1993:149) menuturkan bahwa Buddha memang tidak pernah menjadi agama resmi di Jepang, tetapi pemikiran dan perasaan Buddha meninggalkan jejak yang tidak terhapuskan dalam kebudayaan Jepang selama lebih dari seribu tahun. 1 2 Shinto dan Buddha merupakan agama yang memiliki banyak kuil di Jepang. Kuil-kuil yang ada tersebut selain sebagai tempat pemujaan, juga digunakan sebagai tempat dilaksanakannya upacara keagamaan. Di Jepang, kuil dibedakan menjadi dua, yaitu kuil Shinto dan kuil Buddha. Kuil Shinto disebut juga sebagai jinja, sedangkan kuil Buddha disebut sebagai otera. Nishi dan Hozumi (1985: 12) mengatakan bahwa arsitektur bangunan Shinto dan Buddha di Jepang dianggap berpusat pada jinja dan otera ini. Pada keduanya terdapat unsur bangunan dan struktur ruang berbeda yang menjadi ciri khas masing-masing. Otera yang merupakan tempat ibadah agama Buddha merupakan tempat diadakannya upacara keagamaan, pemujaan, dan sekaligus sebagai simbol agama Buddha. Pada awalnya, konsep otera dipengaruhi oleh kebudayaan China yang dibawa ke Jepang oleh para imigran China maupun pendeta-pendeta Jepang yang datang dari China. Namun, perlahan-lahan arsitektur bangunan tersebut mengalami inovasi dan dikombinasikan dengan gaya Jepang asli (Nishi, Hozumi, 1985: 9). Pada umumnya, otera dibangun untuk penghormatan terhadap Buddha sebagai sosok yang sudah mencapai pencerahan. Oleh karena itu, di dalam otera terdapat patung Buddha sebagai orientasi utama dan simbol pencerahan itu sendiri. Di Jepang, otera memiliki garis aksis utara-selatan dan pembagian ruang yang satu dengan yang lainnya simetris serta seimbang. Sementara itu, dalam ajaran dasar Shinto, kami merupakan tuhan yang berperan sebagai objek persembahan. Bellah (1992: 52) mengatakan bahwa kami adalah istilah Jepang untuk dewa yang berasal dari kata kagami (cermin) yang 3 kemudian disingkat menjadi kami. Artinya, pikiran tuhan seperti sebuah cermin yang merefleksikan semua yang ada di alam. Untuk memberikan penghormatan dan pemujaan kepada kami, masyarakat Jepang membuat kuil-kuil (jinja) di lereng gunung. Kuil itu berbentuk bangunan sederhana yang tidak dapat dipisahkan dari alam sekitarnya. Hal ini dipandang sebagai cara untuk menyatukan pikiran orang yang bersifat keduniawian menuju ke arah keilahian. Jinja dan otera memiliki struktur bangunan yang berbeda. Jinja pada umumnya terbagi atas delapan bagian, yaitu sebagai berikut. Pertama, honden merupakan bangunan utama kuil. Kedua, haiden yang merupakan bangunan bagian depan kuil. Ketiga, heiden yang digunakan sebagai tempat persembahan atau dikenal sebagai ruang di antara bangunan utama dan bangunan depan kuil. Keempat, kaguraden/ buden yang digunakan sebagai aula pertunjukan. Kelima, shinsenden sebagai tempat yang digunakan untuk persembahan makanan atau sake. Keenam, saikan merupakan tempat penyucian diri. Ketujuh, shamusho merupakan kantor kuil. Kedelapan, chouzuya merupakan tempat untuk mencuci tangan dan mulut sebelum masuk kuil (Uryuu, 2003: 38-39). Lain halnya dengan jinja, otera pada dasarnya mengikuti konsep yang disebut Shicidogaran (kuil dengan 7 struktur bangunan). Shicidogaran terdiri dari 7 bangunan berupa kondo sebagai kuil utama, koudou sebagai ruang kuliah bikhsu, pagoda, jikidou yang digunakan sebagai bangunan untuk makan, shourou untuk menara tempat adanya lonceng, kyouzou sebagai tempat penyimpanan kitab, dan soubou sebagai tempat tinggal biksu (Okada, 2010: 33). 4 Jinja dan otera memiliki struktur bangunan kuil berbeda yang membuat keduanya memiliki ciri khas masing-masing. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai struktur-struktur bangunan jinja dan otera dikarenakan peneliti menduga bahwa struktur-struktur bangunan kuilnya memiliki keterkaitan dengan ajaran agama masing-masing. Bangunan jinja merepresentasikan ajaran Shinto, sementara bangunan otera merepresentasikan ajaran Buddha. Hal ini sesuai dengan konsep yang ada pada teori Strukturalisme Levi-Strauss. Dalam teori Strukturalisme Levi-Strauss dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Ahimsa-Putra (2006: 61) menyebutkan struktur dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur luar atau struktur lahir (surface structure) dan struktur dalam (deep strucutre). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan ciri-ciri struktur lahir yang sudah ada, tetapi tidak selalu tampak. Struktur luar dari jinja dan otera berupa struktur bangunan kuil yang terlihat, seperti struktur pembagian ruang kuil, pola bangunan kuil, dan orientasi utama kuil. Struktur luar dari jinja dan otera ini kemudian dianalisis menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss untuk diketahui struktur dalamnya. Relasi antara ciri-ciri pembeda yang muncul dapat ditemukan struktur dalamnya (makna) yang terkandung dalam jinja dan otera. Makna yang muncul tersebut diduga berhubungan dengan ajaran agama masing-masing yang dijadikan pedoman oleh masyarkat Jepang. 5 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Struktur-struktur luar (surface structure) apa saja yang ada di dalam bangunan jinja dan otera di Jepang? 2. Bagaimana susunan struktur dalam (deep structure) yang membentuk bangunan jinja dan otera yang merepresentasikan ajaran Shinto dan Buddha? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui dan memahami struktur luar (surface structure) apa saja yang membentuk bangunan jinja dan otera. 2. Mengetahui ajaran Shinto dan Budha yang direpresentasikan pada bangunan jinja dan otera dengan menggunakan analisis Strukturalisme Levi Strauss. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami struktur luar yang membentuk jinja dan otera, serta bagaimana susunan struktur itu merepresentasikan ajaran agama masing-masing, yaitu Shinto dan Buddha. Oleh karena itu, materi yang digunakan dibatasi hanya pada ajaran dasar dari agama Shinto dan Buddha saja. 6 Untuk pembahasan mengenai susunan struktur pada bangunan kuilnya dibatasi hanya pada jinja dan otera di Jepang yang dianggap dapat mewakili jinja dan otera secara keseluruhan. Kuil Buddha (otera) yang akan diteliti dipilih atas dasar perbedaan gaya tata ruang kuil sesuai periode didirikannya. Namun, pemilihannya tetap pada kuil yang dibangun pada periode awal (zaman Nara dan Asuka) dengan pertimbangan karena konsep kuil pada periode awal itu dijadikan dasar pembuatan kuil-kuil lainnya sehingga diharapkan dapat mewakili otera secara keseluruhan. Otera yang akan diteliti yakni; 1. Kuil Todaiji (The Great Buddha Temple) 2. Kuil Asukadera Kuil Shinto (jinja) yang akan diteliti dipilih atas dasar perbedaan periode didirikannya dan juga perbedaan tipe gaya kuil utamanya (honden). Namun, pemilihannya tetap pada kuil yang dibangun pada periode awal dengan pertimbangan kuil-kuil pada masa tersebut belum terpengaruh dengan gaya arsitektur Buddha. Kuil yang akan diteliti yakni; 1. Kuil Ise 2. Kuil Izumo Taisha 1.5 Tinjauan Pustaka Dari tinjauan pustaka yang sudah dilakukan sampai sekarang, disimpulkan bahwa masih belum ditemukan penelitian mengenai struktur bangunan kuil Shinto dan Buddha yang dianilisis menggunakan teori Strukturalisme Levi-Strauss. 7 Meskipun begitu, penelitian yang berkaitan dengan kuil Buddha pernah dilakukan oleh Adhisakti Pratama Putra dengan skripsinya yang berjudul Simbol-simbol Ajaran Zen pada Taman Karensui di Kuil Ryooanji. Dalam skripsinya, Adhisakti menjelaskan tentang konsep ajaran Zen dan simbol-simbol yang terkandung pada taman yang ada di Kuil Ryooanji. Pada penelitian ini lebih difokuskan pada makna ajaran Zen yang terkandung di taman karensui di Kuil Ryooanji saja dan bukan pada kuil Buddha secara keseluruhan. Penelitian yang berkaitan dengan kuil Shinto (jinja) juga pernah dilakukan oleh Asti Prihardian dalam skripsinya yang berjudul Makna Omikoshi sebagai Miniatur Jinja dalam Kehidupan Masyarakat Jepang (Studi Kasus Gion Matsuri). Pada penelitian ini Asti lebih memfokuskan pembahasan ke makna yang terkandung pada Omikoshi serta sejarahnya sebagai miniatur jinja dan bukan struktur jinja secara keseluruhan. Teori Strukturalisme Levi-Strauss sendiri jarang digunakan untuk penelitian yang membahas tentang struktur bangunan, namun lebih banyak digunakan sebagai dasar untuk menganalisis mitos atau cerita rakyat seperti penelitian yang dilakukan oleh Wening Udasmoro dengan judul penelitian Mitos Roro Jonggrang dalam Babad Prambanan dan Mitos Rara Mendut dalam Serat Pranacitra: Interpretasi dengan Teori Strukturalisme Claude Levi-Strauss ataupun tesis berjudul Jaka Tarub dan Tanabata: Kajian Strukturalisme LeviStrauss yang ditulis oleh Robi Wibowo. 8 1.6 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Strukturalisme yang dikemukakan oleh Levi-Strauss. Ahimsa-Putra (2006: 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut. 1. Dalam strukturalisme ada anggapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (AhimsaPutra, 2006: 66). 2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk structuring, yaitu untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa-Putra, 2006: 68). 3. Mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis dengan istilah-istilah yang lain. Para penganut 9 strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain. 4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam (deep structure) dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapkan akan dapat menjadi lebih utuh. Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa Strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Di samping itu juga kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. 1.7 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah penelitian dengan cara mendeskripsikan data-data yang diperoleh dari data rujukan kemudian menganalisisnya. Data rujukan didapat melalui metode kepustakaan dengan pengumpulan data tertulis yang berkaitan dengan jinja dan otera. Jenis data yang 10 digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa hasil analisis dari berbagai literatur yang berhubungan dengan jinja dan otera, seperti buku-buku, dokumen, jurnal, tesis, dan tulisan-tulisan pada situs yang relevan. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi; 1. Pengumpulan data yang berkaitan dengan topik penelitian dari berbagai literatur, seperti buku-buku, dokumen, jurnal, tesis, dan tulisan-tulisan pada situs. 2. Menjelaskan ajaran dasar dan konsep Shinto dan Buddha 3. Menjabarkan dan menjelaskan struktur bangunan jinja dan otera, memilah, dan membandingkan struktur satu sama lain. 4. Analisis data yang diperoleh dengan menggunakan teori Strukturalisme LeviStrauss sebagai pendukung untuk menemukan struktur luar dan dalamnya. 5. Pemaparan hasil analisa data untuk menjawab apa yang menjadi rumusan masalah penelitian ini. 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, metode penelitian dan pengumpulan data, dan sistematika penelitian. Bab II berisi konsep kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam mengalisis data serta penjelasan mengenai konsep ajaran dasar dari Shinto dan Buddha. Bab III berisi struktur luar bangunan jinja dan otera. Bab IV berisi penjelasan mengenai struktur dalam bangunan jinja dan otera. Bab V berupa kesimpulan dan penutup.